Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Di dunia ini ada kasih dan kekerasan. Keduanya saling bertentangan satu
sama lain. Di mana ada kasih, di sana tidak ada kekerasan, dan sebaliknya.
Tuhan berpesan kepada manusia untuk mengasihi, baik mengasihi Tuhan,
maupun mengasihi sesama manusia. Tuhan tidak menginginkan manusia
memakai kekerasan, karena Ia adalah pribadi yang lemah lembut dan tidak
menyukai kekerasan. Tuhan menginginkan manusia hidup damai dalam kasih,
seperti yang telah dipesankannya. Ironisnya, manusia yang hidup dalam
kekerasan dan pertikaian jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan manusia
yang hidup dalam kasih dan damai sejahtera. Mereka seolah tidak pernah
mengenal kasih, yang mereka kenal hanyalah kekerasan dan konflik.
Dewasa ini, lebih banyak manusia yang lebih mudah memusuhi dan
melakukan kekerasan terhadap orang lain dibandingkan dengan manusia yang
mengasihi sesama dengan tulus. Kasih perlahan mulai hilang dari hati manusia,
digantikan oleh rasa benci, dendam, marah, iri hati, egois, yang membuahkan
kekerasan.
Sejak akhir abad XX dan awal abad XXI, konflik dan kekerasan merebak di
mana-mana, termasuk Indonesia. Hal ini menjadi keprihatinan Gereja yang
menganut ajaran kasih yang merupakan ajaran Yesus. Karena kekerasan, wajah
bangsa Indonesia yang tadinya ramah dan penuh kelemahlembutan tercoreng
dengan berbagai macam tindakan yang bertentangan dengan kasih.
1
BAB II
KASIH
Ada empat kata dalam bahasa Yunani untuk kasih yang penting dimengerti
orang Kristen. Kata-kata itu adalah agape, phileo, storge, dan eros. Keempat
kata tersebut merupakan jenis-jenis kasih, yang digolongkan berdasarkan siapa
yang dikasihi.
a. Kasih Eros
Eros adalah bahasa Yunani untuk kasih seksual atau hasrat kasih (dalam
bahasa Inggris disebut erotic). Secara alkitabiah, kasih eros diartikan
sebagai hawa nafsu. Dalam bahasa Yunani, jika kata eros digunakan
sebagai kata benda, menunjuk kepada dewa kasih Yunani. Kasih eros
umumnya muncul karena hal-hal lahiriah (penampilan fisik) ataupun
2
rohaniah (muncul karena kemampuan seseorang maupun karakternya).
Kasih eros berpusat pada diri sendiri, sehingga cenderung bersifat
negatif. Orang-orang Yunani menggambarkan kasih Eros dengan simbol
ular yang memakan ekornya sendiri, artinya adalah adanya ketertarikan
dan kecintaan pada diri sendiri, sehingga secara ekstrim dapat
digambarkan sebagai seseorang yang memakan dirinya sendiri.
Seseorang yang memiliki kasih eros akan kelihatan seperti mengasihi
namun bila diamati lebih lanjut maka ego orang tersebut dapat ditemukan.
Kasih eros sangat pandai menipu karena menjanjikan kenyamanan,
penampilan yang baik, kesenangan dan kenikmatan namun
menyembunyikan akibat buruk bagi orang-orang yang memilih kasih
semacam ini. Kasih eros hanya menuntut, merampas dan menyedot.
Sayangnya banyak yang mengasihi Tuhan dengan kasih eros , mereka
rajin beribadah, berdoa, memberi dan membaca Alkitab supaya
mendapatkan banyak berkat dan kekayaan, mereka melakukan ibadah
bukan karena mengasihi Tuhan namun karena hawa nafsu (berdasarkan
Yak 4: 1-3).
b. Kasih Phileo/Filia
Phileo berarti “memiliki minat yang spesial kepada seseorang atau
sesuatu, sering kali dengan fokus kepada kerja sama yang dekat;
memiliki kasih sayang terhadap, seperti memandang seseorang sebagai
sahabat.” Kata ini menunjuk kepada perasaan suka yang kuat atau
persahabatan yang kuat. Kasih phileo adalah kasih persaudaraan yang
timbal balik, artinya kasih yang diungkapkan adalah sebagai balasan atas
kasih yang sudah kita terima. Kasih Phileo merupakan kasih yang
terbatas dan dapat berubah-ubah karena pada dasarnya kasih phileo ini
adalah kasih manusia, dimana seseorang dapat memiliki kasih ini
sekalipun dia belum mengalami lahir baru di dalam Tuhan. Kasih phileo
bagaikan sebuah jalan yang ujungnya buntu. Kasih phileo mengikuti
keadaan hati, jika hati terluka dan sakit maka kasih phileo pun berubah
pula. Di dalam kasih phileo juga ada unsure perasaan, emosi,
kehangatan dan kesetiakawanan (berdasarkan Roma 12:10; Ibrani 13:1).
Kasih yang mendasari hubungan antara teman ini tidak begitu stabil. Hal
3
ini dapat dilihat dari banyaknya permusuhan atau perselisihan yang
terjadi antar teman.
c. Kasih Storge
Kasih storge ditimbulkan oleh adanya ikatan darah, misalnya antara
orangtua dan anaknya, atau orang yang bersaudara. Sifat kasih storge
pada dasarnya mirip dengan kasih phileo. Kata storge muncul dalam
Roma 12:10 dengan kata “philostorgos”, yang merupakan gabungan kata
philos (bentuk kata benda dari phileo) dan storge.
d. Kasih Agape
Kasih agape adalah tingkatan tertinggi dari semua kasih. Agape adalah
sifat inti Tuhan, karena Tuhan adalah kasih (berdasarkan 1 Yoh. 4:7-12,
16b). Cara untuk mengerti kasih agape adalah dengan menyadari bahwa
kasih agape dapat dikenal dari tindakan yang mendorongnya. Agape
adalah kasih karena apa yang dilakukannya, bukan karena bagaimana
perasaannya. Jika manusia memiliki kasih agape, ia akan mengasihi
musuhnya dengan bertindak dalam kasih kepada musuhnya itu. Kasih
Agape adalah kasih yang Allah perintahkan untuk dilakukan manusia
dalam kehidupan sehari-hari (berdasarkan Yoh 13:34). kasih Agape
adalah perintah Tuhan, bukan sekedar undangan yang boleh tidak
dipenuhi. Kasih Agape tidak pernah gagal dan tak pernah berkesudahan
(1 Kor 13:8). Kasih agape berkaitan dengan ketaatan dan komitmen.
Kasih Agape ini akan bekerja dengan sempurna manakala kita
mempraktekkannya dengan penuh ketaatan bukan sebagai suatu
perasaan belaka.
Contoh yang paling mendasar dari kasih agape adalah Tuhan yang
sangat “mengasihi” (agape) dunia ini sehingga Ia memberikan Anak-Nya
yang tunggal (berdasarkan Yoh. 3 : 16). Kristus sangat mengasihi (agape)
manusia sehingga Dia memberikan hidup-Nya, padahal sebenarnya Ia
tidak mau wafat, tetapi karena Ia mengasihi manusia, Ia melakukan apa
yang diminta oleh Bapa.
4
Dalam berbagai perikop di dalam Kitab Suci, dapat ditemukan bahwa kasih
Allah tidak memaksakan diri pada orang lain. Orang-orang datang kepada-Nya
sebagai respons terhadap kasih-Nya. Kasih Allah menyatakan kemurahan pada
semua orang.
Kasih Yesus berupa berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang
bulu. Kasih Yesus tidak iri hati atau cemburu pada apa yang dimiliki orang lain,
melainkan hidup sederhana tanpa mengeluh. Yesus yang penuh kasih tidak
membesar-besarkan diri sekalipun Ia adalah Putra dari Sang Pencipta, bahkan Ia
rela menjadi sama dengan manusia. Kasih Allah tidak menuntut ketaatan. Allah
tidak menuntut ketaatan dari Putra-Nya, namun Putra-Nya secara sukarela
menaati Bapa-Nya di surga. Hal ini dapat dilihat dalam Yohanes 14 : 31 yang
berbunyi : ”Dunia tahu, bahwa Aku mengasihi Bapa dan bahwa Aku melakukan
segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku” (Yohanes 14:31).
Kasih Yesus juga dibuktikan dalam ajaran-Nya, Yesus bukan saja mengajak
manusia untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi
juga mengasihi musuh dengan tulus. Ia mengajak manusia untuk mengasihi
sesama, siapapun itu, termasuk musuh atau orang yang paling tidak disukai
sekalipun, sebagai perwujudan dari budaya kasih. Pada zaman Yesus, ajaran
Yesus tentang mengasihi sesama sangat bertolak belakang dengan hukum yang
berlaku saat itu, mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tetapi Yesus berhasil mengubah
hukum yang telah berlaku selama berabad-abad itu, Ia mengajarkan manusia
untuk mengikuti kasih Bapa di surga yang mengasihi setiap orang. Untuk
menghayati kasih Bapa di surga diperlukan dasar kasih Kristiani yang berupa
keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah anak-anak Bapa di
surga.
Mengasihi Pencipta dan sesama adalah perintah Allah yang harus ditaati,
tidak bersifat opsional. Manusia harus mengasihi karena Allah telah terlebih
dahulu mengasihi manusia. Jika manusia mengasihi, manusia menjadi sahabat
Allah. Yohanes 15 : 12-14 berbunyi : “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu
saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih
besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-
sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang
Kuperintahkan kepadamu.”. Manusia yang saling mengasihi berkenan di
5
hadapan Allah, seperti ayat yang berbunyi : “…barangsiapa mengasihi Aku, ia
akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan
menyatakan diri-Ku kepadanya.” (Yoh 14: 21)
Tidak ada artinya kalau hanya mulut yang memuji dan memuliakan Allah,
atau hanya karena atribut, sikap dan ritual yang menampakkan citra sebagai
orang suci. Mengasihi Allah harus dari lubuk hati dan harus diwujudkan dalam
tingkah laku kita sehari-hari. Mengasihi Allah berarti juga mengasihi semua
ciptaan-Nya, tidak terkecuali musuh. Ciptaan Allah adalah alam semesta ini
berikut segala isinya, yaitu manusia, binatang (di darat, di laut dan di udara), dan
juga tumbuh-tumbuhan.
Setiap orang akan sangat marah atau sedih jika pemberiannya kepada
seseorang kemudian rusak atau bahkan sengaja dirusak oleh orang tersebut.
Mereka tentu akan merasa tidak dihargai dan tidak dihormati oleh orang yang
merusak itu. Apalagi jika pemberian itu diberikan dengan hati yang tulus dengan
maksud yang baik.
Semua ucapan terima kasih atau puji-pujian yang diucapkan atau sikap
sopan dengan membungkuk yang dilakukan oleh si penerima itu pasti tidak akan
ada artinya lagi bagi yang memberikannya. Demikian juga dengan Allah. Allah
yang dapat melihat apa yang tersembunyi, yaitu yang ada dalam lubuk hati
manusia, tidak akan menghargai semua puji-pujian atau atribut atau sikap yang
menampilkan citra suci itu jika ternyata manusia tidak menghargai dan
menghormati ciptaan-Nya yang diberikan-Nya kepada manusia. Sikap munafik
seperti itu sangat dibenci dan bahkan dikutuk oleh Allah.
Manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan citra Allah. Manusia diberi roh
sehingga manusia memiliki sebagian kemuliaan Allah. Dan alam seisinya pun
diberikan kepada manusia. Tidak berlebihan jika Allah juga menuntut agar
manusia juga saling mengasihi seperti Allah yang sangat mengasihi manusia.
Suatu agama atau ajaran kepada Allah tidak akan ada artinya jika tidak
menghargai dan menghormati semua ciptaan Allah, yaitu manusia lain, alam,
binatang dan tumbuh-tumbuhan.
6
Jika manusia sudah mulai dapat menghargai dan menghormati diri sendiri,
sesama manusia dan juga kepada bumi, binatang dan tumbuhan, berarti
manusia juga menghargai dan menghormati Allah yang telah memberikan itu
semua kepada manusia. Inti dari ajaran Yesus Kristus, yaitu: “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan
hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat
dan kitab para nabi.” (Matius 22:37, berdasarkan: Matius 5:43, 5:44, 19:19,
Markus 12:30-31, Lukas 6:27, 6:35, 10:27, Yohanes 15:17)
7
BAB III
KEKERASAN
8
Frustrasi dialami bila tujuan yang ingin dicapai dihalang-halangi, sehingga
orang yang bersangkutan gagal mencapai tujuannya. Faktor frustrasi
menjadi salah satu sumber mengapa orang-orang yang berpendidikan
dan status sosial ekonomi rendah lebih rentan melakukan tindak
kekerasan. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme
(kesenangan duniawi) mulai merambah berbagai kalangan, entah
kalangan atas, entah kalangan bawah. Bagi kalangan atas, kesenangan
duniawi dapat dicapai dengan harta yang dimiliki, sedangkan kalangan
bawah hanya memiliki sumber daya yang sangat terbatas, sehingga akan
mudah sekali timbul frustrasi di kalangan bawah.
Reaksi terhadap frustrasi tersebut umumnya ada tiga. Pertama,
menghindari situasi yang menyebabkan frustrasi tersebut. Kedua, tingkah
laku apatis (acuh tak acuh). Ketiga, dengan melakukan tingkah laku
agresi. Biasanya keputusan untuk menggunakan salah satu dari ketiga
reaksi tersebut didasarkan pada pertimbangan apakah pelaku merasa
dirinya lemah (minoritas) ataukah kuat (berkuasa/mayoritas).
Jika pelaku merasa lemah, ia akan mengambil keputusan untuk
melakukan tingkah laku menghindar terhadap situasi yang menyebabkan
frustrasi. Tetapi jika situasi tersebut ternyata tidak bisa lagi dihindari,
maka reaksi apatis (acuh tak acuh) menjadi pilihan yang terakhir.
Sebaliknya jika pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan
tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi.
9
yang sama seperti yang pernah dialaminya pada waktu kecil kepada
orang lain ketika dia dewasa.
c. Faktor kepribadian
Pada gangguan jiwa ada istilah gangguan kepribadian, salah satunya
adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang
mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan
tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif (merusak) bila
keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang
menyebabkannya menjadi frustrasi. Selain gangguan kepribadian, tingkah
laku kekerasan juga terjadi karena adanya kepribadian status.
Kepribadian status adalah kepribadian yang dimiliki oleh seseorang
berkaitan dengan statusnya. Kepribadian status ini seringkali berbeda
bahkan sangat berbeda dengan kepribadian asli dari orang yang
bersangkutan. Contoh dari kepribadian status tersebut adalah peristiwa
kekerasan yang dilakukan para praja senior STPDN terhadap para praja
junior STPDN (sekarang IPDN). Di kehidupan sehari-hari mungkin
mahasiswa yang melakukan tindak kekerasan tidak pernah ditemui
melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status sebagai senior
menyebabkannya berperilaku keras terhadap juniornya.
10
yang satu ingin menguasai bahkan mencaplok kelompok lainnya. Analisis
fungsionalisme structural berpendapat bahwa hamper semua kerusuhan
berdarah di Indonesia disebabkan oleh disfungsi sejumlah institusi sosial,
terutama lembaga politik. Dalam hal ini negara gagal menerapkan sebuah politik
yang menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.
Fenomena seperti pecahnya otoritas pemerintah, buyarnya otoritas negara,
semakin intensifnya konflik etnis dan agama, pengungsi yang berjumlah puluhan
juta, dan pembasmian etnis tertentu merupakan gejala-gejala yang mengancam
integritas bangsa. Mungkin kesalahan yang paling besar yang dibuat pemerintah
Indonesia sejak awal adalah menerima kesatuan Indonesia itu sebagai “taken for
granted” sebagai barang yang sudah jadi. Padahal, kesatuan itu tidak dapat
diolah secara paksa tetapi harus dibangun bersama-sama.
Kebijakan politis yang sentralistis di mana pemerintah sangat dominant dan
sering menyamakan dirinya dengan negara, pola relasi ”pusat pinggiran” dalam
segala nuansanya boleh dianggap sebagai akar konflik berdarah seperti di Aceh,
Papua, dan Sampit. Pusat menghendaki sentralisasi sedangkan daerah
menuntut sebuah otonomi. Karena itu ada DOM(daerah operasi militer) di Aceh
dan penempatan banyak tentara di Irian Jaya.
11
dapat vokal lagi, tidak boleh berbicara kritis. Taruhan mahal dimensi ini adalah
kebebasan manusia. Ia terpaksa menjadi jinak. Ini juga satu bentuk kekerasan.
Contoh kekerasan tidak langsung adalah melempar batu ke rumah orang dan
uji coba bom/nuklir. Dalam peristiwa ini, tetap ada kekerasan fisik dan psikologis.
Meski kelihatanya tidak makan korban, namun hal itu tetap membatasi tindakan
manusia dan membawa ketakutan. Dalam dua aksi ini kelihatannya tidak ada
objek langsung manusia, namun dampaknya luas bagi manusia secara fisik dan
psikologis.
Suatu kekerasan disebut kekerasan biasanya jika ada pelakunya. Jika tidak
ada pelaku, kekerasan itu disebut kekerasan tersamar atau kekerasan struktural.
Dalam kekerasan biasa, kita mudah melacak pelakunya sedangkan dalam
kekerasan struktural sulit ditemukan pelakunya. Hal ini sering juga dikenal
dengan istilah “black power”. Kondisi kekerasan struktural yang kita temukan
sering juga digelar sebagai “ketidakadilan sosial”.
Menurut Galtung, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian
rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi
potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga
tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam
pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak
terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.
Galtung (1998) juga memperkenalkan istilah "Segitiga Kekerasan"-kekerasan
langsung, struktural, dan kultural. Kekerasan langsung melukai kebutuhan dasar
manusia, tetapi tak ada pelaku langsung yang bisa dimintai tanggung jawabnya.
Sementara kekerasan kultural adalah legitimasi atas kekerasan struktural
maupun kekerasan langsung secara budaya.
Sedangkan kekerasan struktural terjadi akibat adanya struktur di masyarakat
yang menekan dan menghambat masyarakat untuk tumbuh berkembang secara
optimal. Menurut Galtung, kekerasan bisa mencuat dari salah satu sudut
"Segitiga Kekerasan", lalu menjalar dan dipertajam dari dua sudut lain.
12
Sebaliknya, ketika legitimasi kultural atas kekerasan berkurang, terjadi
peredaman kekerasan langsung maupun struktural.
Kekerasan itu sengaja atau tidak sengaja, tetap sebuah kekerasan bagi si
korban. Karena itu, dari segi korban, misalnya mati atau cacat, maka kekerasan
yang hanya dimengerti dari tolak ukur sengaja terlalu sempit dan melanggar rasa
keadilan. Kekerasan yang tidak sengaja sering dihubungkan dengan kekerasan
struktural.
13
biasanya berlanjut dengan ‘marginalisasi’ dan berujung pada ‘viktimasi’. Mereka
yang mengusung ‘stigma’ tertentu sepertinya layak ditertibkan, dibunuh, dan
diperlakukan tidak manusiawi.
14
wanita dianggap aneh dan mengada-ada. Perkosaan terhadap hak perempuan
dilakukan secara terpola dan sistematis. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
juga merupakan kekerasan gender.
3.4.5.1 Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap Istri
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan
oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual
dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam
rumah tangga atau keluarga. Bentuk-bentuk KDRT terhadap istri adalah
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT terhadap istri, di
antaranya :
- Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan
bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran,
- Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat,
-Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi, dan
-Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
KDRT terhadap istri akan memberi pengaruh yang besar bagi sang istri dan
anak. Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah:
mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga
diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang
sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi,
dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan sang istri
adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari
bantuan pada psikolog ataupun psikiater, dan merasa takut kehilangan
pekerjaan. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan
dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-
anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi
untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena
anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana
yang dilakukan oleh orang tuanya.
15
Adalah kekerasan yang terjadi dengan paradigma “politik adalah panglima”.
Demokratisasi adalah sebuah proses seperti yang didiktekan oleh penguasa.
Ada ekonomi, manajemen, dan agama versi penguasa. Karena politik adalah
panglima, maka paradigma politik harus diamankan lewat pendekatan
keamanan. Semua yang berbicara vokal dan kritis harus dibungkam dengan
segala cara termasuk diisolasi atau penjara. Tidak ada partai oposisi dan kalau
ada partai itu tidak lebih hanya sebagai boneka. “Single majority” adalah sesuatu
yang sangat ideal, indoktrinasi adalah sarana ampuh yang harus dilestarikan,
sistem monopartai adalah kehendak Tuhan.
16
Sebuah tindakan dan sikap yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran
eksploitatif. Bumi manusia tidak dilihat lagi secara akrab dan demi kehidupan
manusia itu sendiri.
17
BAB IV
18
1. Dialog dan komunikdasi dengan kelompok lain.
2. Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak atau
kelompok yang melakukan kesalahan atau penyebab konflik kekerasan
19
Pengakuan ini harus dilakukan secara terbuka, jujur, tanpa mekanisme
bela diri. Pengakuan yang jujur harus menghindarkan sikap memaafkan
diri atau rasa bersalah, melainkan sebuah sikap ikhlas menerima diri
sendiri dengan semua keterbatasannya. Rasa curiga, pandangan yang
keliru, dan prasangka-prasangka terhadap kelompok lain yang
menyebabkan konflik berdarah termasuk dalam pengakuan kesalahan
dan minta maaf ini. Dengan cara ini, semua beban masa lalu yang
membebani seseorang atau kelompok dapat dibebaskan, karena semua
beban tersebut diungkapkan secara transparan.
Meminta maaf adalah tindakan menuju rekonsiliasi, karena dalam
pengakuan kesalahan orang mengalami keterbatasan yang membuka
peluang bagi manusia untuk berharap dan menantikan petunjuk dan jalan
keluar yang diberikan pihak ketiga (pihak luar).
Dalam rekonsiliasi, manusia harus tahu apa yang harus ia ampuni dan
siapa yang harus diampuni. Yang berhak memberi pengampunan adalah
para korban kekerasan, berarti para korban harus meninggalkan balas
dendam terhadap pelaku kekerasan, membiarkan segala beban dendam
pergi. Pengampunan adalah mukjizat yang berkuasa menyembuhkan
hubungan antarmanusia. Jika ada pengampunan, maka ada rekonsiliasi.
Kemampuan untuk mengampuni asalnya dari Allah dan tumbuh dari
iman. Jika manusia mengampuni, berarti ia ikut serta dalam sifat Allah
sendiri.
4. Rekonsiliasi (Pemulihan)
20
kekerasan ingin dipulihkan, tetapi jangan sampai tenggelam pada
peristiwa masa lalu. Allah sendiri melakukan rekonsiliasi dengan manusia
melalui sengsara dan wafat Putra-Nya, Yesus Kristus.
21
BAB V
22
“Violence has always been endemic to religion. Images of destruction and
death are envoked by some of religion’s most popular symbols, and religious
wars have left through history a trail of blood. The savage martyrdom of
Hussain in Shiite Islam, the crucifixion of Jesus in Christianity, the sacrifice of
Guru Tegh Bahadur in Sikhism, the bloody conquest in the Hebrew Bible, the
terrible battles in the Hindu epics, and the religious wars attested to in
Sinhalese Buddhist chronicles indicate that in virtually every tradition images
of violence occupy as central a place as portrayals of non-violence.”
(Juergensmeyer 1992:1).
1.Agama memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh para
pemimpin politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan
kekerasan.
2.Agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu apabila
para pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang
mayoritas, untuk mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap
kekerasan akan terbuka lebar.
3.Agama bisa digunakan secara politis untuk mencapai tujuan pribadi atau
kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan, ekonomi atau perkara material
lainnya.
23
5.1.2 Kekerasan Agama Berdasarkan Teori John D’Mello
5.1.2.1 Kekerasan dan Intepretasi Agama
Perlu disadari bahwa faktor kekerasan agama tidak hanya dipicu oleh faktor
eksternal seperti kepentingan politik, ekonomi dan sosial. Faktor internal juga
dapat memberikan kontribusi yang besar. Masalah interpretasi merupakan salah
satu masalah utama yang bisa mendorong umat beragama melakukan tindak
kekerasan.
Di dalam sejarah kekristenan banyak tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh Gereja karena kesalahan dalam melakukan penafsiran terhadap Kitab Suci.
Orang-orang yang tekstualis memahami apa yang tertulis di dalam Alkitab secara
literal dan menerapkannya di dalam konteks yang berbeda. Proses eksegese
yang sebenarnya diabaikan sehingga mereka gagal untuk mendapatkan makna
dari apa yang tertulis dan memusatkan perhatian terhadap teks secara mentah
tanpa melakukan penggalian apapun.
Salah satu contoh yang memalukan adalah Perang Salib yang merupakan
gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh Gereja pada
periode 1095 - 1291. Perang ini direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen,
dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci dari
kekuasaan Muslim. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah
sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu
akan dianggap sebagai “tentara Gereja”. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah
faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang
merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di
Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib
tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka
percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin
masuk surga pada saat meninggal dunia.
Perang yang meniru model penguasaan tanah Kanaan di Perjanjian Lama ini
sudah jelas merupakan produk dari kegagalan Gereja dalam melakukan
intepretasi Kitab Suci secara benar. Akibatnya kesalahan tersebut merembet ke
faktor-faktor eksternal seperti politik, ekonomi dan kekuasaan. Jemaat Gereja
yang pada jaman itu tidak diperkenankan memiliki Alkitabnya sendiri dengan naif
24
mempercayai para pemimpin agama mereka dan bergabung dengan pasukan
perang salib.
Hal yang sama terjadi dengan praktek perbudakan di Amerika yang dilakukan
secara legal pada tahun 1654 sampai 1865. Pelanggaran terhadap hak asasi
manusia tersebut dilegalkan dengan ayat-ayat Alkitab yang menunjukkan bahwa
orang-orang yang hidup di jaman PL dan PB pun melakukan praktek
perbudakan.
Jajang Jahroni seorang peneliti dari Jaringan Islam Liberal juga memaparkan
kesalahan yang sama terjadi di Islam khususnya di Indonesia. Berdasarkan
survei yang dilakukan, dia mengambil kesimpulan bahwa perilaku kekerasan
agama di Indonesia berkorelasi positif dengan pemahaman agama yang tekstual.
Ajaran-ajaran agama tentang kekerasan baik itu berasal dari Alqur’an, seperti
kebolehan suami memukul istri bila ia mangkir dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35),
maupun Sunnah seperti hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan salat
ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul (bila tidak salat) ketika berumur
sepuluh, adalah sedikit contoh dari ajaran Islam tentang perlunya kekerasan.
Survei menunjukkan bahwa orang yang bersedia merusak Gereja yang tidak
memiliki izin berjumlah 14,7%, mengusir kelompok Ahmadiyah 28,7%, merajam
orang berzina 23,2%, perang melawan non-muslim yang mengancam 43,5%,
menyerang atau merusak tempat penjualan minuman keras 38,4%, mengancam
orang yangg dianggap menghina Islam 40,7%, jihad di Afghanistan dan Irak
23,1%, dan jihad di Ambon dan Poso 25,2%. Sementara untuk bentuk tindakan
kekerasan yang bersifat domestik, diperoleh tingkat kesediaan berikut: mencubit
anak agar patuh pada orangtua 22%, memukul anak di atas sepuluh tahun agar
salat 40,7%, suami memukul istri jika tidak melakukan kewajibannya 16,3%.
Jajang Jahroni menolak untuk mengatakan bahwa agama merupakan
sumber dari kekerasan akan tetapi pemahaman yang tekstualis terhadap Kitab
Suci agama tersebut bisa menjadi variabel yang paling signifikan dalam
mendorong timbulnya perilaku kekerasan agama. Di samping mendorong
perilaku kekerasan agama, tekstualisme dan Islamisme juga berkorelasi positif
dengan perilaku kekerasan umum dan kekerasan negara. (Jajang Jahroni,
Tekstualisme, Islamisme dan Kekerasan Agama, dalam: Islamlib.com, 07
Agustus 2008).
25
5.1.2.2 Agama dan Identitas
Tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan sumber identitas yang
sangat kuat dalam diri seseorang. Agama profetik seperti Islam dan Kristen,
cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka terancam.
Persaingan antar agama yang memicu konflik sangat mudah terjadi apabila salah
satu kelompok merasa identitasnya terancam.
Potensi ini menjadi semakin besar ketika para pemimpin politik berusaha
mengkonstruksi identitas negara berdasarkan agama tertentu yang mayoritas. Di
satu sisi itu bisa menimbulkan arogansi dari kelompok pemeluk agama yang
mayoritas dan perasaan terancam dan terintimidasi yang dirasakan oleh
kelompok minoritas.
Dalam pandangan Said Agil Sirojd agama mempunyai dua kecenderungan
yakni pertama, kecenderungan esensial yang berasal dari lubuk hati manusia
yang paling dalam dan kedua, kecenderungan sekunder yang berasal dari
proses historis kehidupan masyarakat dalam menjalankan agamanya.
Kecenderungan agama sekunder dapat dilihat dalam bentuknya yang tradisional,
dogmatis, ritualistik, institusinalis, dan legal. Sedangkan kecenderungan agama
esensial dapat dilihat pada bentuknya yang liberal, spiritual, moral, internal,
individual, dan humanis (Said Agil Sirodj, Reposisi Terhadap Dialog antar Umat
Beragama, dalam Opini harian Kompas, Edisi : 18 Februari 2004).
Apabila kecenderungan agama yang sekunder mengalami gangguan berupa
tekanan dan intimidasi dari kelompok agama lain, maka konflik tidak bisa
dihindari. Pemikir Pos-Strukturalis Jacques Derrida, menawarkan investigasi
politik terhadap kekerasan atas nama agama atau agama tanpa agama sebagai
bentuk kekerasan yang tidak terkendalikan yang menyertai kembalinya agama
dalam maknanya yang paling kaku. Hefner mengingatkan bahwa kekerasan bisa
terjadi karena negara memanfaatkan agama, atau bisa pula agama
memanfaatkan negara. (Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama,
(Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002:1).
Namun demikian, sejarah kekristenan telah membuktikan bahwa semakin
dekat Gereja secara institusi dengan politik pemerintahan semakin bobrok
kondisi keagamaannya. Usaha-usaha untuk mebentuk negara Kristen telah
dilakukan dan terbukti gagal. Calvin mencoba menciptakan sebuah kota yang
26
ilahi di Geneva dan tidak berhasil. Demikian juga pada abad ke-4 ketika
Konstantinus bertobat dan menyatukan Gereja dengan negara, pada akhirnya itu
pun mengalami kegagalan baik di dalam sisi pemerintah maupun Gereja itu
sendiri. Gereja pada akhirnya terlibat secara aktif dalam tindak kekerasan yang
imoral dan melawan ajaran dari agamanya sendiri.
Di Indonesia pada saat ini kita sedang berhadapan dengan gerakan Islam
fundamentalis yang berusaha untuk mendirikan negara Islam. Sudah terbukti
bahwa itu merupakan salah satu sumber terbesar kekerasan agama yang terjadi
di negara kita. Bukan hanya Gereja atau kelompok agama lain yang dianggap
sebagai musuh melainkan juga kelompok Islam lainnya yang tidak setuju dengan
ide negara Islam tersebut. Akibatnya negara kita mengalami penderitaan yang
sangat dalam. Muncul kecurigaan antara pemeluk agama dan memicu
terbentuknya semangat separatis.
Dalam realitas negara kita sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata
dari kekerasan politik-agama di Indonesia. Dalam konteks teologis, terorisme
bisa mengambil bentuknya dari agama sebagai landasan dan alat untuk
mendapatkan kekuasaan, sebagai tujuan dari teror tersebut.
27
Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus
dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena
bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan
kekuatan moralnya.
28
jaman. Pada saat itu Dia akan memberikan keselamatan kekal, kehidupan di
dalam sorga bagi orang benar yang percaya kepada Kristus dan sebaliknya
penghukuman kekal bagi yang tidak percaya. Tugas kekristenan pada saat ini
bukan menjalankan hukuman dan bertindak sebagai Allah yang menghakimi
dunia, melainkan menjalankan hukum kasih dan menyerahkan penghakiman
sepenuhnya kepada Allah sendiri. Dengan demikian kekerasan yang dilakukan
oleh Gereja terhadap umat yang tidak percaya sangat bertentangan dengan
esensi dari kekristenan itu sendiri.
29
bergabung dengan Kesusteran Loreto, sebuah komunitas biarawati Irlandia di
Rathfarnham dengan sebuah misi di Kalkuta.
Beliau memilih Kesusteran Loreto karena panggilan mereka adalah untuk
menyediakan pendidikan bagi anak perempuan. Setelah beberapa bulan
pelatihan di Institut "Blessed Virgin Mary" di Dublin dia dikirim ke Darjeeling di
India sebagai suster novisiat. Pada 1931 dia melakukan kaulnya yang pertama di
sana, memilih nama Suster Maria Teresa sebagai penghormatan kepada Teresa
Avila dan Thérèse de Lisieux. Dia mengambil kaulnya yang terakhir pada Mei
1937, mendapatkan gelar keagamaan Bunda Teresa.
Dari 1930 sampai 1948 Bunda Teresa mengajar geografi dan katekisme di
SMA St. Mary di Kalkuta, menjadi kepala sekolah pada 1944. Beliau kemudian
mengatakan bahwa kemiskinan di sekitar meninggalkan kesan yang dalam
dirinya. Pada September 1946, atas keinginan sendiri, dia menerima panggilan
yang dalam dari Tuhan "untuk melayani Dia di antara termiskin dari yang miskin".
Pada 1948 beliau menerima izin dari Paus Pius XII, melalui Uskup Agung
Kalkuta, untuk meninggalkan komunitasnya dan hidup sebagai suster merdeka.
Dia keluar dari SMA tersebut dan setelah pendidikan pendek dengan "Medical
Mission Sisters" di Patna, dia kembali ke Kalkuta dan mendirikan tempat tinggal
sementara dengan "Little Sisters of the Poor" di perkampungan Moti Jihl, Kalkuta.
beliau kemudian memulai sekolah ruang terbuka untuk anak-anak tak memiliki
rumah. Kemudian beliau bergabung dengan sukarelawan penolong, dan dia
menerima dukungan finansial dari organisasi Gereja dan otoritas munisipal.
Pada Oktober 1950 Teresa menerima izin dari Vatikan untuk memulai
ordonya sendiri. Vatikan awalnya menamakannya "Diocesan Congregation of the
Calcutta Diocese", tapi kemudian berubah menjadi Missionaries of Charity, yang
misinya adalah untuk memberikan perhatian untuk (dalam katanya sendiri) "si
lapar, si telanjang, si gelandangan, si pincang, si buta, si lepra, dan semua orang
yang merasa tak diinginkan, tak dicintai, tak diperhatikan dalam masyarakat,
orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan ditolak oleh siapa pun."
Dengan bantuan dari pejabat India dia mengubah sebuah kuil Hindu yang
telah ditinggalkan menjadi Kalighat Home for the Dying, sebuah 'rumah sakit
kecil' ("hospis") bagi si miskin. Tidak lama setelah dia membuka hospice lainnya,
Nirmal Hriday (Hati Murni), sebuah rumah lepra disebut Shanti Nagar (Kota
30
Kedamaian), dan sebuah panti asuhan, dan pada 1960-an telah membuka
banyak hospis, panti asuhan, dan rumah lepra di banyak tempat di India.
Pada 1965 dengan memberikan Decree of Praise, Paus Paulus VI
mengizinkan permintaan Bunda Teresa untuk mengembangkan ordonya ke
negara lain. Ordo Teresa mulai tumbuh cepat, dengan rumah-rumah baru dibuka
di banyak tempat di dunia. Rumah pertama ordo ini di luar India didirikan di
Venezuela, dan kemudian diikuti di Roma dan Tanzania, dan kemudian di
banyak negara di Asia, Afrika, dan Eropa, termasuk Albania. Sebagai tambahan,
rumah Missionaries of Charity pertama di Amerika Serikat didirikan di Bronx
Selatan, New York.
31
penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah,
serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.
Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan
oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati nurani"
menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.
32
BAB VI
Banyak orang yang sangat menjunjung tinggi ego dan ambisinya serta
membenarkan dirinya sendiri atau golongannya dengan mengambil segala
sesuatu untuk kepentingan dirinya sendiri atau pun golongannya
mempergunakan segala cara, seperti kekerasan.
33
karena overdosis dan bunuh diri menjadi tindakan merusak diri sendiri yang
paling parah.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Kasih harus dibudidayakan, karena merupakan perintah Allah yang terutama.
Budaya kekerasan harus dicegah, bahkan dihapuskan agar dapat terwujud dunia
yang damai dan tentram serta penuh kasih, seperti yang dikehendaki Tuhan
dalam alam ciptaan-Nya.
7.2 Saran
Penyusun menyarankan agar dalam penyusunan makalah dengan tema
yang serupa di masa mendatang, data yang telah dikumpulkan dapat lebih
dilengkapi lagi.
34
DAFTAR PUSTAKA
Komisi Kateketik KWI. Perutusan Murid-Murid Yesus buku siswa IA. 2007.
Yogyakarta: Kanisius.
Komisi Kateketik KWI. Perutusan Murid-Murid Yesus buku siswa 2B. 2007.
Yogyakarta: Kanisius.
Firman Allah Yang Hidup. Jakarta: Centra Print.
Civis Vol. 01 No. 01 Okt 2009.
SUMBER LAINNYA
www.wikipedia.org
www.yahoo.com
www.google.com
www.docstoc.com
www.gizi.net
www.menegpp.go.id
www. tabloid_info.sumenep.go.id
www.obrolin.com
www.indonesia.irib.ir
www.berita8.com
www.hariansumutpos.com
www.tempointeraktif.com
www.lintasberita.com
35
LAMPIRAN
1. Kekerasan Gender
36
kesehatan. Termasuk pula kesempatan hidup jutaan perempuan. Pasalnya
penyiksaan psikologis selalu disertai penyiksaan fisik.
Dijelaskannya, kekerasan berbasis gender diakui sebagai masalah
kesehatan masyarakat dan merupakan pelanggaran serius hak asasi manusia.
Karena itu agama perlu mendukung kehormatan perempuan dan mengutuk
setiap kekerasan terhadap kaum perempuan.
Walaupun demikian, katanya, masih saja terdapat interpretasi yang tidak
tepat. ''Di mana agama dipergunakan sebagai dalih untuk menampikkan adanya
kekerasan yang mengakibatkan kehancuran hidup dan kesehatan perempuan,''
ujar Coquelin.
Dia berharap agama yang diajarkan kepada generasi muda menjadi wadah
upaya meningkatkan kesadaran mengenai gender dan hak-hak perempuan.
Suatu institusi pendidikan agama yang mengakar seperti pesantren dan pusat
pendidikan agama diharapkan merupakan pilihan yang tepat untuk menanamkan
pengertian lebih baik mengenai hak-hak perempuan, keadilan, dan kesetaraan
gender.
Lebih lanjut, ia menjelaskan pada 1999, UNFPA mendukung proyek
Penguatan Kemitraan antara Pemerintah dan Organisasi Non Pemerintah
(Ornop) untuk Manajemen Pencegahan dan Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan. Proyek tersebut menghasilkan pengembangan rencana Aksi
Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dan
pendirian pusat penanganan krisis berbasis rumah sakit di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta.
Untuk menindaklanjuti keberhasilan proyek itu, UNFPA mendukung proyek
Jaringan Antar Agensi untuk Manajemen Pencegahan dan Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan di Tingkat Pusat dan Lokal. Kali ini UNFPA
menyediakan bantuan sebesar US$200.000 untuk tahun anggaran selama 2004-
2005.
Jumlah tersebut dengan proporsi 77% untuk Yayasan Puan Amal Hayati,
Ornop yang mengampanyekan pencegahan dan penghapusan kekerasan
terhadap wanita. Untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan 18% dan 5%
untuk administrasi pengelolaan proyek di UNFPA.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki Sumaryoto
mengharapkan program itu berjalan lancar dan memberi manfaat lebih dari yang
37
direncanakan. “Penandatanganan ini juga merupakan bentuk nyata dari dua hal
penting. Pertama, penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan misi
ketiga dari enam misi pembangunan pemberdayaan perempuan. Kedua, sesuai
amanat GBHN, maka kegiatan ini menunjukkan betapa lembaga swadaya
masyarakat mendapat dukungan dari negara,” ujar Sri.
(sumber : www.gizi.net)
2. Kekerasan Politik
38
dengan kondisi dan sistem politik yang berada diseberangnya, yakni sistem poltik
otoriter.
Gelombang baru tentang demokrasi bahkan saat ini ditandai dengan upaya
melakukan dekonstruksi pemikiran tentang demokrasi, yang seiring dikenal
dengan pemikiran tentang “democracy without adjectives”, demokrasi
kerakyatan, demokrasi parlementer, dan demokrasi dengan tambahan kata-kata
sifat lainnya, selain mereduksi sifat universalitas demokrasi juga pada saat
bersamaan merupakan pembatasan-pembatasan terhadap praktik demokrasi
yang sesungguhnya. Setiap kata sifat sering kali digunakan oleh pihak penguasa
untuk membatasi pelaksanaan demokrasi sebagaimana mestinya, sehingga
demokrasi kehilangan fungsi dalam aktualisasi kehidupan suatu sistem politik di
suatu bangsa dan negara. Penguasa di beberapa negara otoriter bahakan
seringkali sembunyi dibalik kata-kata sifat itu untuk mengebiri demokrasi dan
tegaknya kedaultan rakyat.
Demokrasi sebagai sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar
demokrasi desa atau demokrasi negara kota sebagaimana era Yunani dan
Romawi kuno. Tetapi, demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan
dengan perkembangan negara kebangsaan (nation state). Setiap rezim memang
selalu memerlukan conflicts dan management of conflicts. Kedua hal tersebut
diyakini penguasa sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan demokrasi. Namun
yang lebih sering terjadi justru hal tersebut direkayasa untuk mengalihkan
perhatian publik dari suatu persoalan, sekaligus juga menempatkan sang
penguasa sebagai pahlawan yang mampu meredakan pertikaian tersebut.
Para operator politik memperlakukan ‘mereka’ sebagai partner shadow
boxing hanya untuk sementara waktu hingga tujuan politiknya terpenuhi. Namun
celakanya bagi masyarakat yang terprovokasi, ‘mereka’ tetap disembah sebagai
berhala, yang kemudian mengkultuskan setiap opini politik yang terbentuk
dengan melakukan pembenaran terhadap setiap tindakan, bahkan kekerasan
sekalipun. Hal ini tidak berati kita harus menggugat elite politik sebagai pelaku
dan penanggungjawab utama kekerasan politik yang selama ini terjadi di
masyarakat. Ini hanya sekilas catatan untuk menunjukan apa yang terhilang dari
analisis sosial yang terlanjur menonjol dalam masyarakat.
Dalih yang sering dibuat adalah bahwa perilaku tersebut sebagai bagian dari
sebuah proses demokrasi. Padahal pemahaman tentang demokrasi tidaklah
39
sempit seperti yang dijabarkan diatas. Bernhard Sutor menyebutkan bahwa
demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk
mengeluarkan pendapat, memperoleh informasi bebas, kebebasan pers,
berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan partai-
partai, beroposisi, pemilihan yang sama, bebas, rahasia atas dasar nilai dua
alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu terbatas.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya memberikan
pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam
masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai
kebijaksanaan pemerintah negara oleh karena kebijaksanaan tersebut
menyangkut kehidupan rakyat juga. Meskipun pada umumnya pengertian
demokrasi dapat dikatakan tidak mengandung kontradiksi karena di dalamnya
meletakkan posisi rakyat dalam posisi yang amat penting, namun
pelaksanaannya (perwujudannya) dalam lembaga kenegaraan ternyata prinsip ini
telah menempuh berbagai rute yang tidak selalu sama.
Adanya berbagai rute atau pengejawantahan tentang demokrasi itu
menunjukkan pula beragamnya kapasitas peranan negara maupun rakyat. Ada
negara yang memberikan peluang yang amat besar terhadap peran rakyat yang
melalui sistem pluralisme-liberal, dan ada juga yang sebaliknya negara yang
memegang dominasi yang jauh lebih besar daripada rakyatnya. Studi politik
tentang Dunia Ketiga yang umumnya memperlihatkan lebih dominannya negara
daripada peranan rakyat telah melahirkan berbagai konsep yang dimaksudkan
sebagai alat pemahaman bagi realitas tersebut. Berbagai uapaya pemahaman
dengan memberikan pijakan teoritis itulah telah menunjukkan betapa di negara
Indonesia telah terjadi hubungan tolak-tarik antara negara dengan masyarakat
dalam memainkan peranannya.
Penting kiranya untuk segera memberikan porsi yang layak bagi
pembangunan demokrasi, serta menciptakan suatu kebijakan publik yang
mampu mengatur agar simbol-simbol kekerasan tidak digunakan, setidaknya
dibatasi, dalam wacana politik. Dan yang terpenting agar penalaran masyarakat
tidak diredusir dari esensi menjadi simbol dan menyihir simbol menjadi esensi.
Masyarakat perlu diberi ketentraman untuk mengembangkan demokrasinya,
bukan dicabik untuk kepentingan politik.
40
Namun, kini kita menyaksikan kecenderungan yang semakin kuat munculnya
public podium yang bersifat merusak tradisi demokrasi di berbagai wilayah di
Tanah Air. Ikatan-ikatan kepercayaan yang dibangun oleh kelompok-kelompok
masyarakat cenderung semakin menyempit, meniadakan pentingnya pluralisme.
Kecenderungan semacam ini sudah barang tentu mendorong pengerasan batas-
batas antar kelompok dalam transaksi politik. Akibatnya, arena publik sebagai
arena penyelamatan masyarakat berubah menjadi arena kekerasan politik.
Setidaknya ada dua bentuk model kekerasan politik, yakni kekerasan
struktural dan kekerasan kultural. Dalam tataran struktural, kekerasan politik
dipahami sebagai hasil hubungan-hubungan sosial atau struktural dimana para
pelaku tersebut berada. Nilai dan norma dipandang sebagai imperatif struktural
yang terinternalisasi dalam diri individu, sehingga orang berprilaku selaras
dengan-atau fungsional terhadap sistem.
Menurut Muhammad Asfar, ada empat kondisi struktural yang menjadi akar
persoalan munculnya kekerasan politik : Pertama, kekerasan politik tersebut
merupakan reaksi beberapa kelompok masyarakat, khususnya pendukung OPP
tertentu, yang menilai para pemegang kekuasaan kurang adil dalam mengelola
berbagai konflik dan sumber kekuasaan yang ada. Bahkan dengan wewenang
strukturalnya memakai cara-cara non-dialogis, non-musyawarah untuk
menyelesaikan konflik kepentingan. Karena tidak memakai cara-cara dialogis
dan beradab untuk menyelesaikan konflik, maka jalan kekerasan kekuasaanlah
yang dipakai untuk memenangkan kepentingan terhadap lawan-lawan yang
bersengketa atau berbeda kepentingan. Kedua, cara-cara kekerasan politik
tersebut ditempuh karena para pelaku menilai bahwa institusi-institusi demokrasi
tidak mampu mengartikulasikan dan mengagregatkan berbagai kepentingan
politik dalam masyarakat. Akibatnya, berbagai kelompok yang tidak mempunyai
akses kepada kekuasaan menyalurkan berbagai aspirasi politiknya melalui cara-
cara diluar lembaga demokrasi yang ada. Strategi perjuangan politik kemudian
dilakukan di jalan dan tidak jarang dengan cara kekerasan. Ketiga, akibat
kekakuan lembaga-lembaga politik sehingga mereka tidak mampu menampung
dan menyelesaikan berbagai konflik kepentingan dalam masyarakat. Akibatnya
setiap ada perbedaan dan konflik kepentingan dengan kelompok lain, terutama
kelompok yang berkuasa, masyarakat memendam berbagai perasaan konflik
tersebut. Ketika berbagai perasaan konfliktual ini terakumulasi, dan ada
41
kesempatan untuk melampiaskannya—misalnya pada masa kampanye pemilu—
maka kekerasan politik sebenarnya terletak pada kekakuan lembaga-lembaga
politik. Keempat, adanya beberapa tekanan pemerintah di satu sisi dan tidak
terpenuhinya di sisi lain. Dalam banyak kasus, tidak jarang masyarakat merasa
tidak berdaya dalam menghadapi berbagai ketentuan pemerintah. Sebagian
masyarakat merasa hak-haknya telah dirampas oleh pihak-pihak tertentu. Ketika
sebagian warga yang mempunyai hak pilih tidak memperoleh kartu suara karena
beberapa oknum panitia pemilihan, masyarakat merasa hak mereka telah
dirampas oleh oknum tersebut. Ketika diperjuangkan selalu membentur tembok
kekuasaan, yang memenangkan pihak status quo kepentingan sendiri, sehingga
ketidakadilan lalu mengkristal menjadi struktur tidak adil. Keadaan seperti ini
mengakibatkan frustasi, yang pada akhirnya disalurkan melalui tindak kekerasan.
Sedangkan dalam tatanan kultural, kekerasan lebih dikarenakan faktor
budaya suatu komunitas. sebagai faktor pendukung (stimuli) adalah rendahnya
tingkat pendidikan dalam masyarakat. Fanatisme keagamaan sangat sempit
dengan prinsip apa yang didengarkan orang dan juga faktor kesejahteraan
menjadi alasan berbuat asosial. Jika Violence Studies kita arahkan dalam
perspektif sosial, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan; pertama,
membebaskan tradisi kekerasan dalam proses relasi politik dalam penetapan
sebuah kebijakan publik. Apa yang dilakukan disini sama artinya dengan
melakukan transformasi demokrasi dalam tataran praktis. Kedua, konsekuensi
dari poin pertama tersebut adalah dengan melakukan kritik terhadap setiap
pewacanaan yang benar yang mencakup bahasa, stratifiksi sosial, politik,
ekonomi, budaya termasuk Pengistilahan RAS. Transformasi ini berjalan tanpa
henti untuk mencapai tujuan. Ketiga, sikap kritis-transformatif poin kedua tersebut
menggunakan prinsip; “ mempertahankan sistem yang baik dan mengambil
sistem baru yang lebih baik”, sebab banyak juga value system yang lebih baik di
dunia ini.
42
tindak kekerasan. Semua tipe atau kategori negara pasti mempunyai
kecenderungan untuk mengabsahkan penggunaan kekerasan terhadap pihak
lain yang dipersepsi sebagai orang-orang yang mengancam eksistensi negara.
Negara dihubungan dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam banyak hal.
Pertama, negara membangkitkan dikotomi konseptual dan psikologis yang
cenderung mendorong tindak kekerasan politik. Kedua, negara dilibatkan dalam
perjuangan memperebutkan otonomi politik yang dipahami sebagai kontrol atas
instrumen koersif dan regulasi wilayah. Ketiga, kekerasan negara berhubungan
dengan peran penting peperangan dalam perkembangan historis negara.
Dalam negara demokrasi baik di Amerika dan Perancis, dimana
kemerdekaan, kebebasan, persamaan, wibawa hukum dihormati dan dijunjung
tinggidalam konstitusi, ternyata penindasan terlindung cukup aman dan
terhormat. Demokrasi yang ganjil seperti ini oleh Soekarno disebut sebagai
demokrasi yang antisosial, sebab tidak menyelamatkan, menyejahterakan, dan
melindungi segenap masyarakat.
Negara dan sistem politik yang dianut merupakan aspek yang berhubungan
erat dengan aktivitas dan kedudukannya dalam penggunaan kekerasan.
Pandangan state centcred bahwa negara adalah aktor yang turut bermain dalam
arena, termasuk menentukan sistem politik yang dianut dan adanya upaya untuk
memonopoli dan melegitimasi penggunaan kekuatan fisik.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada, tampaknya sistem politik
demokrasi memiliki sumber kekuasaan negara yang cenderung persuasif.
Namun, tidak berarti sistem politik bebas dari kekerasan politik, karena di dalam
sistem politik demokrasi juga melekat kekerasan struktural, kekerasan memang
gejala yang serba hadir.
43
dengan kekerasan itu wajar dan sah-sah saja, bahkan harus, katanya saat
Pencanangan Gerakan Nasional Perlindungan Anak di Sekolah Gratis Yayasan
Bina Insan Mandiri di Terminal Depok.
Berdasarkan data Komnas PA, tahun 2008 kekerasan fisik terhadap anak
yang dilakukan ibu kandung mencapai 9,27 persen atau sebanyak 19 kasus dari
205 kasus yang ada. Sedangkan kekerasan yang dilakukan ayah kandung 5,85
persen atau sebanyak 12 kasus. Ibu tiri (2 kasus atau 0,98 persen), ayah tiri (2
kasus atau 0,98 persen).
Dalam sehari Komnas PA menerima 20 laporan kasus, termasuk kasus anak
yang belum terungkap. Komnas PA kuat karena dukungan masyarakat dan
media massa, katanya.
Kak Seto panggilan Seto Mulyadi mencontohkan pepatah yang mengatakan
di ujung rotan ada emas yang mengingatkan masa depam anak akan baik, jika
dipukul dengan rotan. Ini merupakan paradigma keliru yang harus diluruskan
bersama.
Kekerasan terhadap anak banyak dilakukan masyarakat menengah ke
bawah karena terkait dengan kemiskinan. Tapi bukan berarti kasus tersebut tidak
terjadi pada kalangan menengah atas, bahkan ada guru besar dan CEO
perusahaan ternama yang melakukan kekerasan terhadap putra-putrinya.
Seto Mulyadi mengajak seluruh orang tua untuk tidak lagi melakukan
kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak bukan saja dalam arti fisik
tetapi konflik rumah tangga yang memperebutkan anak antar istri dan suami juga
merupakan bentuk lain dari kekerasan.
Jika ada kasus perebutan anak hendaknya diselelasikan melalui
kekeluargaan. Bukan diputuskan oleh pengadilan, harapnya. Diharapkannya
peran pemerintah dalam melindungi anak-anak dari kekerasan bisa lebih
ditingkatkan.
Peran Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) bisa
ditingkatkan untuk menangani masalah anak-anak, begitu juga dengan
Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, dan Pendidikan yang mempunyai
dirjen yang mengurusi anak-anak. Meneg PP lebih banyak diharapkan untuk
mengatasi masalah anak, ujarnya.
Aspek Politik
44
Seto Mulyadi juga mengemukakan penanganan masalah anak selama ini
banyak mengedepankan aspek politik dibandingkan dengan aspek lainnya.
Penanganan masalah kekerasan terhadap anak belum menjadi skala prioritas,
tapi hanya mengendepankan aspek politiknya.
Seharusnya semua pihak, bukan hanya pemerintah saja, tapi juga
masyarkat, media massa dan perusahaan melalui program Corporate Social
Responsibility (CSR) membantu secara serius penanganan masalah anak tanpa
aspek politiknya.
Ia mengharapkan partai politik (parpol) dan pemimpin partai untuk peduli
terhadap permasalahan anak secara serius. Mengenai kasus penganiayaan
terhadap anak hingga tewas dan hingga kini belum terungkap, Kak Seto
menyarankan agar media massa selalu mengangkat masalah tersebut agar
segera ditangani secara serius.
(sumber : www.menegpp.go.id)
4. Kekerasan Militer
45
Kasus ini dipicu sengketa tanah antara warga dengan TNI Angkatan Laut. Di
lokasi bentrok, Desa Alastlogo, Kecamatan Lekok, sebanyak 33 selongsong
peluru berserakan di tempak kejadian. Korban yang tewas umumnya tertembak
bagian kepala dan dada hingga tembus.
(sumber : www.tempointeraktif.com)
46
(sumber : www.berita8.com)
6. Kekerasan Keagamaan
47
Begitu pula dengan teori konspirasi. Argumen ini dibangun atas dasar asumsi
dan dugaan belaka. Sebagai argumen dalam kata-kata, teori konspirasi
kelihatannya meyakinkan. Namun, di lapangan, kekerasan keagamaan umumnya
memiliki latar belakang dan aktor yang berbeda-beda dan spesifik. Aktor-aktor
aksi kekerasan keagamaan bukan orang bodoh yang dengan mudah
dikendalikan. Dengan latar belakang konflik yang sangat lokal, mereka memilih
cara kekerasan untuk menyelesaikannya.
Peran negara
Julie Chernov Hwang dalam bukunya, Peaceful Islamist Mobilization (2009),
mengajukan dua variabel kenapa gerakan sekelompok muslim tertentu
menggunakan kekerasan atau cara-cara damai mengekspresikan keyakinannya.
Pertama, partisipasi politik. Gerakan apa pun akan menyampaikan aspirasinya
dengan cara damai jika negara membuka arena berkompetisi. Kekerasan adalah
cara terakhir bagi gerakan sekelompok muslim tertentu, karena arena formal
tertutup bagi mereka. Partisipasi politik tersebut harus terinstitusikan. Usulan dan
aspirasi gerakan “sekelompok muslim tertentu” akan dipertaruhkan dalam pemilu,
lobi politik, koalisi, dan sebagainya. Cita-cita ideologi kelompok muslim tertentu
bertarung di arena tersebut secara sehat dan di bawah payung hukum formal.
Kedua, kapasitas negara yang efektif. Variabel ini diukur dengan sejauh
mana negara menegakkan hukum di wilayahnya dan memberi layanan sosial
secara efektif. Jika negara menjalankan hukum yang berlaku melalui
perangkatnya–polisi, jaksa, dan hakim–kekerasan dapat diatasi dan gerakan
keagamaan tidak berani mengekspresikan lewat kekerasan.
Di samping penegakan hukum, pemerintah dapat mengendalikan gerakan
sosial, termasuk keagamaan, agar tidak anarkistis dengan memberi pelayanan
sosial yang efektif. Kebijakan yang menguntungkan masyarakat, seperti
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, menumbuhkan wibawa pemerintah di
hadapan rakyatnya. Sehingga, alih-alih main hakim sendiri, masyarakat malah
percaya bahwa pemerintah dapat mengatasi konflik yang ada.
Membangun wibawa
Membandingkan antara Indonesia masa Orde Baru dan masa reformasi,
Julie menyimpulkan bahwa kini Indonesia merupakan ineffective participatory
48
state. Yaitu negara yang secara politik membuka lebar ruang semua elemen
masyarakat–kecuali PKI–berkompetisi menentukan kebijakan berdasarkan
ideologi masing-masing. Kehadiran PKS, PPP, dan PBB, yang secara terang-
terangan memperjuangkan syariat Islam dalam dua-tiga pemilu terakhir,
membuktikan partisipasi tersebut.
Namun, di pihak lain, pemerintah Indonesia belum mampu memberikan
layanan publik yang efektif. Temuan LSI terakhir menunjukkan bahwa tren
kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan kinerja pemerintah dalam
layanan publik menurun. Aparat pemerintah masih lamban menegakkan hukum.
Wibawa aparat kian buruk pascaperseteruan antara “cicak” dan “buaya”. Situasi
ini adalah puncak dari wibawa polisi yang mendapat citra “pemalak jalanan”, atau
“lembaga negara terkorup”, dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan layanan publik. Pemerintah masih setengah hati. Slogan
sekolah gratis belum juga terbukti. Betul bahwa pemerintah menggelontorkan
uang untuk dana pendidikan hingga 20 persen, tapi uang pendidikan tidak juga
murah. Begitu juga dengan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, yang
merupakan wilayah yang masih dipenuhi setengah hati.
Wibawa penegakan hukum yang masih rendah ini memungkinkan gerakan
keagamaan menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengekspresikan
pendapatnya. Dalam konteks ini, perusakan Gereja dan penyerangan terhadap
aliran Surga Eden pada awal tahun memperlihatkan kinerja penegakan hukum
yang tidak jalan. Penegak hukum diacuhkan kelompok muslim tertentu karena
ketidakpercayaan.
Evaluasi 100 hari seyogyanya menyentuh masalah-masalah mendasar ini.
Sebab, kekerasan atas nama agama bukan kekerasan tiba-tiba. Kekerasan yang
mereka lakukan penuh dengan pertimbangan. Semakin negara memberi ruang
partisipasi politik dan memberi layanan publik yang efektif, kekerasan atas nama
agama sulit menjadi pilihan. Jika tidak, sudilah kita hidup layaknya di rimba raya.
(sumber : www.hariansumutpos.com)
7. Kekerasan Etnis
49
Baru-baru ini terjadi Kekerasan berdarah di Benares Karachi yang menewaskan
dan melukai 64 orang. Sebagaimana dilansir Geo TV Pakistan, kekerasan mulai
berlangsung saat milisi tak dikenal menembaki rakyat terutama para penjual kaki
lima.
Kondisi ini terjadi pada saat pemerintahan Pakistan tengah menghadapi berbagai
masalah dan acaman diantaranya krisis ekonomi, serangan AS ke kawasan adat
dan baru-baru ini serangan teroris Mumbai. Berbagai aksi kekerasan berdarah
terutama konflik etnis di Karachi bagaimanapun sangat merugikan pemerintah
dan rakyat Pakistan. Menyikapi hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Negara
Bagian Sarhan, Zulfiqar Mirza menegaskan pihaknya akan menindak keras
pemicu ketidakamanan di Karachi tanpa memperdulikan tekanan politik.
Peningkatan kekerasan berdarah di Karachi yang menjadi pusat perdagangan
Pakistan mengancam keamanan Pakistan. Selain itu, hal tersebut menghambat
penerapan berbagai program pemerintah untuk menyedot investasi domestik dan
asing guna memperkuat pertumbuhan ekonomi Pakistan.
Meskipun Zulfiqar Mirza menyebut para milisi tak dikenal sebagai pengacau,
namun tampaknya tekanan politik mereka sangat jelas dan upaya pencegahan
terhadap perluasan krisis dan kemungkinan terciptanya perang saudara bukan
hal yang terlalu sulit.
Sebulan lalu, Muttahida Qaumi Movement (MQM) menuding para imigran
Pashtun di Karachi yang disebut-sebut sebagai Taliban dengan beragam alasan
berusaha membelah negara bagian Sindh yang menimbulkan kekacauan di
kawasan tersebut. Tampaknya pihak yang berafilisi ke MQM berusaha
mengacaukan keadaan dengan menyerang para pedagang kaki lima agar para
imigran Pashtun meninggalkan Karachi.
Menyikapi kedaan tersebut, para pemimpin partai dan kelompok agama di
antaranya Jemaat Islam, Liga Muslim dan Organisasi Ulama Islam berkumpul
dalam sebuah konferensi partai di Karachi. Berbagai lembaga ini
memperingatkan dan tidak mengizinkan MQM dengan alasan pengaruh Taliban
menciptakan kekisruhan dan kerasan etnis di Karachi dan menghalangi kalangan
miskin mencari nafkah. Dalam kondisi ini, Komisi Pelaksana etnis Pashtun pun
mendesak perlindungan kerja dan jaminan keamanan para imigran Pashtun
kepada orang-orang berbahasa Urdu.
50
Dengan memperhatikan konflik meluas antara partai dan kelompok keagamaan
dalam berbagai peristiwa di Karachi, tampaknya pemerintah pusat Pakistan
tengah menanggung beban berat untuk menghalangi perluasan kekerasan.
Ketidakperdulian mereka terhadap hal tersebut bisa meningkatkan pertumpahan
darah. Bagaimanapun, dengan melihat kondisi strategis Karachi sebagai sentral
bisnis Pakistan, kelanjutan ketidakamanan merugikan rakyat dan pemerintahan
Pakistan.
(sumber : indonesian.irib.ir, dengan pengubahan)
8 Kekerasan Kultural
Salah satu bentuk budaya yang pernah berkembang adalah sistem Kasta.
Kasta adalah klasifikasi sosial masyarakat yang berkembang pada masa India
kuno dalam agama Hindu, dan seiring penyebarannya juga pernah terjadi di
Indonesia. Sistem Kasta membagi masyarakat menjadi empat golongan
berdasarkan posisi/pekerjaannya yaitu Brahmana, Ksatria, Sudra dan Waisya.
Kasta Brahmana berisi antara lain kumpulan pemuka agama Hindu, Ksatria
adalah para bangsawan dan keluarga kerajaan, Sudra berisi para pedagang, dan
Waisya adalah kumpulan petani. Sifat masing-masing kasta adalah eksklusif.
Pada awalnya sistem ini dibuat untuk mencegah terjadinya perkawinan antara
keluarga bangsawan atau kerajaan dengan rakyat biasa.
Sistem kasta merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam hal budaya.
Kasta mengelompokkan manusia kedalam kelas-kelas tertentu dimana antara
mereka dilarang terjadi interaksi kekerabatan, perkawinan dll. Sehingga manusia
menjadi mempunyai derajat yang berbeda-beda dalam masyarakat. Golongan
Brahmana dan Ksatria sudah tentu menjadi warga kelas satu sedangkan Waisya
dan Sudra menjadi warga kelas bawah dengan derajat lebih rendah. Sudah
barang tentu Waisya dan Sudra menjadi kelompok yang tereksploitasi, tertindas
dan menjadi sasaran berbagai kekerasan dari kelompok masyarakat diatasnya.
Sistem Kasta menempatkan beberapa golongan sebagai manusia tetapi
mendiskriminasikan golongan lain ke derajat yang lebih rendah daripada
manusia. Sehingga menjadi justifikasi bagi tindak kekerasan lain terhadap
51
kelompok masyarakat yang dianggap lebih rendah. Pada dasarnya manusia
mempunyai derajat yang sama. Manusia bagaimanapun bentuknya adalah
manusia yang seharusnya diperlakukan seperti layaknya manusia.
(sumber : www.obrolin.com)
9. Kekerasan Sosial
52
penduduk di negeri ini berjuang sekuat tenaga untuk mengakumulasi kapital
sebanyak mungkin sebagai “modal” untuk mendapatkan penghargaan dan
apresiasi dari orang lain.
Jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin pun semakin lebar.
Sementara semua orang semakin paham bahwa kondisi ini memang sengaja
dicipta oleh struktur yang kemudian berwajah lahirnya aturan dan perundang-
undangan yang tidak populis. Pemahaman inilah yang pada perkembangan
selanjutnya memicu lahirnya kekerasan sosial di masyarakat. Rasa tak berdaya
rakyat kecil untuk melakukan perlawanan kepada penguasa menyebabkan
mereka melakukan tindak kekerasan kepada lingkungan yang terde kat dengan
mereka. Muncullah crash, benturan sosial. Konflik horizontal pun tak bisa
dihindari. Kekerasan dan Konflik kemudian berwujud menjadi situasi yang tak
memungkinkan masyarakat untuk melakukan aktivitas sosial ekonomi dengan
tenang. Pendapatan dan daya beli masyarakat pun menurun.
Uraian ini akan terus berlanjut hingga pada titik yang tak jelas, atau
singkatnya bagai lingkaran setan; tak jelas mana kepala, mana ekor. Atas dasar
inilah, penulis sepakat dengan salah satu inti Pidato Kenegaraan Presiden SBY
pada 16 Agustus 2007 bahwa peningkatan ekonomi Indonesia berpijak pada
pemberdayaan dan pemerataan.
Pemberdayaan saja tak cukup, karena kata ini punya makna orang yang
akan berdaya adalah orang yang bermodal. Lagi-lagi bermuara pada akumulasi
kapital. Pemberdayaan harus berbanding lurus dengan pemerataan ekonomi.
Jika kedu anya berjalan searah, maka wajah buram perekonomian negeri ini
akan semakin hilang. Jika salah satu akar konflik telah sirna, maka rekonstruksi
dan demokrati sasi di negeri ini akan dengan mudah tercapai.
Akar konflik yang kedua adalah pema haman agama parsial. Ajaran Islam,
dan tentu agama lain, yang tidak mengajarkan kekerasan serta perilaku merusak
tidak dipahami sebagai ajaran yang menyatu dengan kewajiban menjalankan
dakwah dan keharusan menyebarkan agamanya kepada orang lain. Sehingga
pemenuhan kewajiban berdakwah dianggap ibadah yang tak lagi perlu
memperhatikan lingku ngan dan ketenangan orang lain.
Pemahaman parsial atas ajaran aga ma yang dianutnya atas kekerasan yang
dilakukan menjadikan situasi semakin buruk, karena pelaku kekerasan merasa
53
benar dengan pijakan teologis yang dipahami dari ajaran agama yang parsial
tersebut.
Kekerasan dan konflik sosial akan menghambat demokratisasi yang sedang
berjalan di negeri ini. Dari uraian tentang akar konflik tersebut tentu
mempermudah kita dalam mencoba menawarkan solusi atas kemelut ini.
Berbagai upaya dari banyak pihak tentu merupakan sumbangan yang sama
besarnya kepada bangsa ini. Pemerintah tentu tak perlu berkecil hati karena jika
ruang aktualisasi rakyat dibuka, maka akan banyak kekuatan yang bisa diguna
kan untuk keluar dari seluruh problem kebangsaan kita, termasuk problem
kekerasan dan konflik sosial. Yang dibutuhkan adalah political will dari
pemerintah.
54
Di samping itu, tahun 2008 Komnas Perempuan juga mencatat terdapat
terobosan kebijakan yang kondosif bagi pemenuhan hak-hak perempuan korban
kekerasan, diantaranya ada 1 (satu) peraturan perundang-undangan yaitu UU
No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, ada 2 (dua)
inisiatif internasional terkait rekomendari umum No. 26 Komite CEDAW tentang
Perempuan Pekerja Migran dan Piagam Asean.
Termasuk juga 8 (delapan) peraturan setingkat Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Kepolisian tentang Pelayanan
Perempuan Korban Kekerasan, dan satu Keputusan Pengadilan Agama Jakarta
Pusat tentang Sita Marital dalam kasus perceraian.
Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang
menjauhkan perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, seperti lahirnya UU
Np. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Putusan MA-RI No. 01K/AG/JN/2008
tentang Perkara Kasasi Jinayat Peradilan Agama, dan Keputusan Mahkamah
Konstitusi No. 22/PUU-VI/2008 tentang calon yang memperoleh suara atau
dukungam rakyat paling banyak dalam pemilu.
Di area pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum nasional
dan daerah bagi pekerja migran di tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang
saling kontradiktif dan cenderung memperlemah perlindungan bagi pekerja
migran.
Disebutkan, kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian
khusus pada tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin,
perempuan pekerja sektor hiburan, dan perempuan pembela HAM, sementara
empat sosok pelaku kekerasan terhadap perempuan yang menunut pemantauan
adalah para pejabat politik, para kepala daerah, anggota legislatif, dan pendiidik.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan 12 hal penting
diantaranya, karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang paling tinggi adalah
kekerasan ekonomi, maka pemerintah dan para pendamping KDRT, perlu
membuat upaya khusus untuk meningkatkan kemandirin ekonomi bagi para
korban, selain memfasilitasi pemulihan psiko-sosial dan pelayanan medisnya.
Pemerintah juga perlu mengembangkan pendekatan yang tepat untuk
mendukung pemulihan perempuan di bawah umur yang telah menjadi korban
kekerasan seksual dalam komunitas.
(sumber : www.lintasberita.com)
55
56