You are on page 1of 6

KENANGAN SEORANG WARTAWAN NEKAD

Judul : Keliling Indonesia, Dari Era Bung Karno sampai SBY

Penulis : Gerson Poyk

Penerbit : Libri

Terbit : I, 2010

Halaman : xiii + 307Halaman

Harga : Rp. 55.000

Wartawan selalu memiliki kisah-kisah menarik selama menjalankan profesinya. Sayangnya, hal
itu tidak selalu dapat dituangkan ke dalam kolom-kolom di media tempat ia bekerja. Sebagai
alternatif dipilihlah media lain, baik blog pribadi ataupun buku.

Cara terakhir inilah yang dipililih olah Gerson Poyk, wartawan senior sekaligus sastrawan yang
acap kali menerima penghargaan baik di bidang jurnalistik maupun sastra. Gerson memilih buku
sebagai media untuk menampilkan apa yang tersisa dalam ingatannya berkaitan dengan karirnya di
dunia jurnalistik.

Buku ini berisi sejumlah catatan kenangan Gerson saat itu bekerja sebagai wartawan. Lelaki
yang sudah bekerja sebagai wartawan sejak tahun 1960 itu, mengisahkan kembali berbagai
pengalaman yang terekam dalam kenangan ketika menjalankan tugas jurnalistik.

Hal yang menarik, Gerson sengaja mengemas semua yang masih ada dalam kenangan itu
dengan cara yang jenaka. Itulah yang membuat tulisan dalam buku ini terasa begitu segar. Humor di
sana-sini membuat apa yang ditulisnya enak untuk dibaca dan lebih dari sekadar menuliskan sebuah
kisah lama.

Tengok saja ketika ia berpura-pura menjadi anggota rombongan pengantar Bung Karno ketika
Sukmawati, putrinya, menikah. Saat itu Gerson dan wartawan lain dilarang masuk ke dalam rumah
Fatmawati oleh petugas. Padahal para kuli tinta sudah tidak sabar untuk melihat Soekarno yang
sudah ditahan selama sekitar satu tahun.

Namun gagasan nekat Gerson muncul. Ia berpura-pura menjadi pendamping dua penghulu yang
masuk ke dalam rumah Fatmawati lewat gang belakang. Ia pun berhasil masuk ke dalam.
Lalu, Gerson pun berhasil "mengobok-obok" suasana di dalam rumah Fatmawati, mulai dari
kehadiran anggota keluarga, ranjang pengantin, seprai, kelambu, meja yang penuh dengan kue,
hingga para ibu yang tengah mencabuti bulu ayam.

Bahkan ketika itu Gerson sempat menyaksikan dengan jelas bagaimana kondisi Soekarno. Ia
mendeskripsikan lutut Soekarno yang gemetar ketika presiden pertama Republik Indonesia itu
menaiki tangga.

Kegemaran Gerson pada alam terbuka dan kesederhanaan, juga tampak dalam tulisan-
tulisannya. Tidak mengherankan jika ia memilih jalan darat dengan bus ketika pulang meliput
kegiatan presiden ketimbang menumpang pesawat terbang.

Menurutnya, perjalanan di darat bersama rakyat kecil banyak memberikan pemandangan yang
mengasyikkan, mulai dari pemandangan para mbok yang menggendong bungkusan batik, penjaja
seks pinggiran yang miskin, sampai petani garam di pesisir utara Jawa dengan kulit yang berwarna
tembaga.

Sayang, tidak diketahui secara pasti kapan tulisan-tulisan ini dibuat. Jika keterangan itu ada,
maka jarak waktu antara saat penulisan dan ketika Gerson mengalami peritiwa yang diceritakannya
itu, akan menjadi hal yang menarik.

Beragamnya kisah manusia yang dikisahkan oleh Gerson, menjadikan buku ini menjadi
semacam tulisan sosiologis. Dari situ setiap orang dapat belajar bagaimana seharusnya membangun
dan memperlakukan manusia.

Dari sudut pandang profesi wartawan, dari buku ini dapat juga dipetik pelajaran, bahwa
keterbatasan fasilitas wartawan di masa lalu, justru mencetus kesempatan--dan kenekadan--untuk
melihat Indonesia dan keindonesiaan.
SISI TAK TERUNGKAP SEJARAH BANGSA

Judul : Menguak Misteri Sejarah


Penulis : Asvi Warman Adam
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit : I, 2010
Halaman : xii + 292 Halaman
Harga : Rp. 40.800

Sebuah historiografi sulit untuk netral. Berbagai kepentingan selalu


berlibat-libat di situ. Jadi tidak mudah untuk mengetahui sejarah dengan lurus.
Metodologi penulisan yang ketat menjadi sebuah keharusan di situ.

Buku yang ditulis oleh Asvi Warman Adam ini memang tidak berpretensi
untuk meluruskan sekian banyak peritiwa sejarah yang terjadi di tanah air.
Namun, dari artikel-artikel yang ditulisnya, pembaca dapat mengetahui kisah-
kisah tidak terungkap sampai persolan-persoalan yang terkait dalam sejarah
Indonesia.

Membaca kisah-kisah tidak terungkap dalam buku ini, pembaca akan


merasa seperti menikmati mozaik sejarah yang belum banyak diketahui secara
luas. Sebut saja kisah mengenai Ibrahim Yacoob yang pernah menggagas
penyatuan Malaysia ke Indonesia (halaman 32-35).

Meskipun gagasan itu tidak pernah terwujud, namun pelajaran yang dapat
diambil dari peristiwa itu ialah, masih dapat dilakukannya kerja sama positif
antara Malaysia dan Indonesia. Jadi, seruan perang ketika hubungan antara
keduanya memanas, bukanlah rekomendasi yang tepat.

Tentu saja hubungan antara keduanya harus dilakukan dengan


menghormati prinsip-prinsip kesejajaran. Lebih penting lagi, kerja sama itu
harus mendatangan manfaat dan keuntungan bagi kedua belah pihak secara
seimbang.

Contoh mozaik lainnya adalah bahwa Pramoedya Ananta Toer, yang


pernah dicalonkan sebagai penerima hadiah Nobel, ternyata tidak hanya
seorang sastrawan, tetapi juga seorang sejarawan.
Dalam catatan Asvi, Pramoedya pernah mengumpulkan sejumlah bahan
tulisan mengenai gerakan nasionalis yang terjadi antara tahun 1898-1918.
Bahan yang disusun oleh Pramoedya tersebut kemudian menjadi diktat kuliah
yang diberi judul Sejarah Modern Indonesia.

Menurut Asvi wajar jika Pramoedya disebut sebagai sejarawan, sebab ia


selalu membawa peristiwa sejarah dengan perspektif baru. Di sinilah
Pramoedya berusaha mengurangi cara kekuasaan "mengonstruksi" kebenaran.
Baginya fakta adalah rekan kekuasaan.

Banyak topik menarik seputar sejarah dan penulisan sejarah yang ditulis
dalam buku ini, mulai dari kontroversi pemberian gelar pahlawan,
terlupakannya orang-orang penting dalam sejarah, hingga berbagai percikan
persoalan seputar sejarah bangsa.

Sejumlah materi yang disampaikan dalam buku ini pun terbilang aktual,
misalnya saja simpul-simpul masalah seputar kasus bank Century hingga
perdebatan mengenai pemberian gelar pahlawan. Inilah yang membuat buku
ini "dekat" dengan kekinian.

Dari kumpulan tulisan Asvi ini sebenarnya pembaca dapat memahami


bahwa penulisan sejarah tidak pernah lurus, artinya selalu ada kekuasaan yang
menempel padanya.

Tidak mengherankan jika kemudian penulisan sejarah selalu memihak


kepada kekuasaan. Bergantinya rezim akan berganti pula penulisan sejarah, di
sana ada mistifikasi fakta maupun kebenaran yang ditutup-tutupi. Wajar saja
jika sejarah dibaluti kontroversi serta misteri tak terungkap.

Dalam buku ini beberapa kali terjadi pengulangan "cerita" dalam tulisan
yang berbeda. Penyebabnya, tulisan-tulisan tersebut merupakan artikel yang
satu sama lain sebenarnya terpisah. Jika saja proses editing dilakukan dengan
baik, mungkin hal itu tidak akan terjadi.
AKU PEMBERONTAK MACAM TAMIL

Judul : Auman Terakhir Macan Tamil


Penulis : Yoki Rakaryan Sukarjaputra
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit : I, Agustus 2010
Halaman : xxviii + 203 Halaman
Harga : Rp. 42.000

Gerakan-gerakan di Indoneisa yang dipicu oleh tindak ketidakadilan, harus diwaspadai.


Pasalnya, hal itu dapat memicu persoalan yang lebih besar, mulai dari perang saudara hingga
pemberontakan berbiaya sosial tinggi.

Pelajaran berharga dapat diambil dari pemberontakan Macan Tamil di Sri Lanka. Seperti yang
dipaparkan dalam buku Auman Terakhir Macan Tamil ini, perang sipil yang terjadi di Sri Lanka
dipicu oleh ketidakpuasan atas kebijakan diskrimantif terhadap kelompok etnis Tamil.

Perlakuan tidak seimbang yang dilakukan secara sistemik oleh rejim penguasa, terakumulasi
sedemikian rupa, sehingga bermetamorfrosa menjadi gerakan perlawanan yang sulit dibendung.
Perlawanan tersebut sering bermuara pada pertumpahan darah yang merugikan banyak pihak.
Buku ini secara umum mengajak pembaca untuk melihat fakta historis akar masalah
terjadinya pemberontakan Macan Tamil di Sri Lanka. Akar masalah tersebut adalah ketidakpuasan
etnis Tamil dari India yang berada di Sri Lanka.

Semua itu bermula ketika Sri Lanka yang masih bernama Ceylon masih dipegang oleh
pemerintah kolonial yang sempat hadir di sana, yakni Portugis, Belanda dan kemudian Inggris. Saat
itu Ceylon dihuni oleh warga etnis Sinhala, Tamil dan Moor.
Konflik antar etnis yang sudah sering terjadi itu diperburuk oleh Inggris yang membuka
kawasan perkebunan di Ceylon. Ketika itu, Inggris dianggap diskriminatif karena lebih banyak
memberikan “kenyamanan’ kepada kelompok yang tidak banyak "membuat persoalan", yakni etnis
Sinhala.

Inilah yang memicu rasa tidak puas warga etnis Tamil. Akhirnya, pada tahun 1939 pecah
pertikaian antara warga Tamil dan Sinhala. Sejak itu, gesekan antara kedua kelompok tersebut kian
menjadi-jadi. Hal ini diperburuk dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Sri Lanka
pasca kemerdekaan.

Kebijakan itu antara lain menjadikan bahasa Sinhala menjadi bahasa resmi di Sri Lanka.
Kemudian dikeluarkannya aturan darurat yang memperbolehkan polisi mengubur atau mengkremasi
mayat tanpa otopsi terelebih dahulu.

Peraturan darurat itu keluar menyusul tewasnya seorang pemuda Tamil saat ditahan tanpa
dakwaan dalam penjara polisi. Anehnya, pihak kejaksaan di Jaffna menyatakan pemuda itu korban
bunuh diri. Padahal, beberapa luka bekas tusukan didapati di tubuhnya.

Buku ini juga menunjukkan fakta mengenai adanya usaha pembantaian terhadap etnis Tamil
yang dilakukan secara sistematis oleh kelompok Sinhala. Namun diingatkan, kejadian bukanlah
tindakan spontan, namun diatur dan direncakan oleh kekuatan tertentu.

Perlawanan macan Tamil mungkin sudah surut, menyusul tewasanya Velupillai Prabhakaran
sang pemimpin. Namun itu tidak berarti perlawanan Macan Tamil secara ideologis mati. Selama
penguasa dan kelompok mayoritas memperlakukan kelompok kecil secara diskriminatif,
sesungguhnya sumbu perlawanan itu masih menyala.

Kita kira, hal semacam inilah yang harus diwaspai di Indonesia. Perlakuan semena-mena
terhadap kelompok minoritas, baik secara langsung maupun lewat legalitas kebijakan, sangat
potensial menyulut gesekan, baik secara vertikal maupun horisontal. Jadi, waspadai saja.

You might also like