Professional Documents
Culture Documents
A. SUPERVISI AKADEMIK
1. Defenisi Supervisi Akademik
Meskipun demikian, supervisi akademik tidak bisa terlepas dari penilaian unuuk
kerja guru dalam mengelola pembelajaran. Apabila di atas dikatakan, bahwa supervisi
akademik merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan
kemampuannya mengelola proses pembelajaran, maka menilai unjuk kerja guru dalam
mengelola proses pembelajaran merupakan salah satu kegiatan yang tidak bisa
dihindarkan prosesnya (Sergiovanni, 1987). Penilaian unjuk kerja guru dalam mengelola
proses pembelajaran sebagai suatu proses pemberian estimasi kualitas unjuk kerja guru
dalam mengelola proses pembelajaran, merupakan bagian integral dari serangkaian
kegiatan supervisi akademik.
Menurut Alfonso, Firth, dan Neville, ada tiga konsep pokok (kunci) dalam
pengertian supervisi akademik.
1. Supervisi akademik harus secara langsung mempengaruhi dan mengembangkan
perilaku guru dalam mengelola proses pembelajaran. Inilah karakteristik esensial
supervisi akademik. Sehubungan dengan ini, janganlah diasumsikan secara sempit,
bahwa hanya ada satu cara terbaik yang bisa diaplikasikan dalam semua kegiatan
pengembangan perilaku guru. Tidak ada satupun perilaku supervisi akademik yang
baik dan cocok bagi semua guru (Glickman, 1981). Tegasnya, tingkat kemampuan,
kebutuhan, minat, dan kematangan profesional serta karakteristik personal guru
lainnya harus dijadikan dasar pertimbangan dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan program supervisi akademik (Sergiovanni, 1987 dan Daresh,
1989).
3. Tujuan akhir supervisi akademik adalah agar guru semakin mampu memfasilitasi
belajar bagi murid-muridnya. Secara rinci, tujuan supervise akademik akan diuraikan
lebih lanjut berikut ini.
sumber : (http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2025213-supervisi-akademik/)
2. Tujuan Dan Fungsi Supervisi Akademik
sumber : (http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2025213-supervisi-akademik/)
Menurut Sergiovanni (1987) ada tiga tujuan supervisi akademik adalah sebagai
berikut:
Hanya dengan merefleksi ketiga tujuan inilah supervisi akademik akan berfungsi
mengubah perilaku mengajar guru. Pada gilirannya nanti perubahan perilaku guru ke arah
yang lebih berkualitas akan menimbulkan perilaku belajar murid yang lebih baik.
Adanya problema dan kendala tersebut sedikit banyak bisa diatasi apabila dalam
pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah menerapkan prinsip-prinsip supervisi
akademik. Akhir-akhir ini, beberapa literatur telah banyak mengungkapkan teori supervisi
akademik sebagai landasan bagi setiap perilaku supervisi akademik.
sumber : (http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2025215-prinsip-prinsip-supervisi-
akademik/)
4. DIMENSI SUPERVISI AKADEMIK DI SEKOLAH DASAR
Para pakar pendidikan telah banyak menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara
profesional apabila ia memiliki kompetensi yang memadai. Maksudnya adalah seseorang
akan bekerja secara profesional apabila ia memiliki kompetensi secara utuh. Seseorang tidak
akan bisa bekejra secara profesional apabila ia hanya memenuhi salah satu kompetensi di
antara sekian kompetensi yang dipersyaratkan. Kompetensi tersebut merupakan perpaduan
antara kemampuan dan motivasi.
Menurut Neagley (1980) terdapat dua aspek yang harus menjadi perhatian supervisi
akademik baik dalam perencanaannya, pelaksanaannya, maupun penilaiannya, Yaitu :
a. Kompetensi Kepribadian
Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki
karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang mantap dari sosok seorang
guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun
masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati
nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan
perilakunya).Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar
anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000:225-226) menegaskan
bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan
pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau
penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih
kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat
menengah).
Sumber : Rudien87 2010 (oneline) http://rudien87.wordpress.com /2010/03/20/
kompetensi-kepribadian/
b. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik yang dimaksud dalam tulisan ini yakni antara lain
kemampuan pemahaman tentang peserta didik secara mendalam dan penyelenggaraan
pembelajaran yang mendidik. Pemahaman tentang peserta didik meliputi pemahaman
tentang psikologi perkembangan anak. Sedangkan Pembelajaran yang mendidik
meliputi kemampuan merancang pembelajaran, mengimplementasikan pembelajaran,
menilai proses dan hasil pembelajaran, dan melakukan perbaikan secara
berkelanjutan.
Sumber : Mahmuddin “Belajar jadi Manusia” 2008 “Kompetensi Pedagogik
Guru Indonesia”(Oneline) http://mahmuddin.wordpress.com/2008/03/19/
kompetensi-pedagogik-guru-indonesia/
c. Kompetensi Professional
Kompetensi Professional antara lain :
a. Guru dituntut untuk menguasai bahan ajar
b. Guru mampu mengelola program belajar mengajar.
c. Guru mampu mengolah kelas.
d. Guru mampu menggunakan media dan sumber pengajaran.
e. Guru mampu menguasai landasan – landasan pendidikan.
f. Guru mampu mengelola interaksi belajar mengajar.
g. Guru mampu menilai prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran.
h. Guru mengenal dan mampu ikut penyelenggaraan administrasi sekolah.
Sumber:Indrayanto2010(oneline)http://id.shvoong.com/social-sciences/education/
2024777- proposal-skripsi-pai-kompetensi-guru/
d. Kompetensi Sosial
Kemampuan bekerjasama, Kerja sama merupakan salah satu fitrah manusia
sebagai mahluk sosial. Kerja sama memiliki dimensi yang sangat luas dalam
kehidupan manusia, baik terkait tujuan positif maupun negatif. Contoh Sekolah
adalah sebuah oganisasi. Di dalam sekolah terdapat struktur organisasi, mulai kepala
sekolah, wakil kepala, dewan guru, staf, komite sekolah, dan tentu saja siswa-siswi.
Dalam sekolah terdapat kurikulum dan pembelajaran, biaya, sarana, dan hal-hal lain
yang harus direncanakan, dilaksankan, dipimpin, dan diawasi. Semuanya itu bermuara
pada hubungan kerja sama atau human relation. Dalam proses pembinaan atau
supervisi, pengawas diharapkan dapat menjalin kerjasama yang harmonis dan egaliter
yaitu tidak mengedepankan kewenangan yang dimilikinya.
Sumber : Akhmad Sudrajat (2010) “Kompetensi Sosial- Kemampuan Bekerja Sama”
(oneline) http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/01/25/kompetensi-
sosial-pengawas-sekolah-kerja-sama/
Akhirnya seorang guru harus mau mengembangkan (will grow) kemampuan dirinya
sendiri.
Contoh
Sering dijumpai adanya kepala sekolah dalam melaksanakan supervisi
akademik hanya datang ke sekolah dengan membawa instrumen pengukuran kinerja.
Kemudian masuk ke kelas melakukan pengukuran terhadap kinerja guru yang sedang
mengajar. Setelah itu, selesailah tugasnya, seakan-akan supervisi akademik sama dengan
pengukuran kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Perilaku supervisi akademik sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah
satu contoh perilaku supervisi akademik belum baik. Perilaku supervisi akademik yang
demikian tidak akan memberikan banyak pengaruh terhadap tujuan dan fungsi supervisi
akademik. Seandainya memberikan pengaruh, pengaruhnya relatif sangat kecil artinya
bagi peningkatan mutu guru dalam mengelola proses pembelajaran. Supervisi akademik
sama sekali bukan penilaian unjuk kerja guru. Apalagi bila tujuan utama penilaiannya
semata-mata hanya dalam arti sempit, yaitu mengkalkulasi kualitas keberadaan guru
dalam memenuhi kepentingan akreditasi guru belaka.
Ada lima langkah pembinaan kemampuan guru melalui supervisi akademik, yaitu:
(1) menciptakan hubungan-hubungan yang harmonis,
(2) analisis kebutuhan,
(3) mengembangkan strategi dan media,
(4) menilai, dan
(5) revisi
Komunikasi antara kepala sekolah dan guru dikatakan efektif apabila guru benar-
benar menerima supervisi akademik sebagai upaya pembinaan kemampuannya.
Dalam upaya ini, diperlukan kejelasan informasi mengenai hakikat dan tujuan
supervisi akademik. Dalam upaya memperjelas program supervisi akademik, tentu
diperlukan suatu cara dan prinsip-prinsip tertentu dalam berkomunikasi.
Bagaimanakah berkomunikasi secara efektif.
Ada sejumlah prinsip komunikasi yang harus diterapkan oleh kepala sekolah,
sebagaimana dikemukakan oleh Marks, Stoops dan Stoops, sebagai berikut.
a. Berbicaralah sebijaksana dan sebaik mungkin
b. Ikutilah pembicaraan orang lain secara saksama
c. Ciptakan hubungan interpersonal antar personil
d. Berpikirlah sebelum berbicara
e Ikutilah norma-norma yang berlaku pada latar sekolah
f. Usahakanlah untuk memahami pendapat orang lain
g. Konsentrasikan pada pesanmu, bukan pada dirimu sendiri
h. Kumpulkan materi untuk mengadakan diskusi bila perlu
i. Persingkat pembicaraan
j. Ciptakan ketidaksanggupan
k. Bersemangatlah
l. Raihlah sikap orang lain untuk membantu program
m. Berkomunikasilah dengan “eye communication”
n. Selalu mencoba
o. Jadilah pendengar yang baik
p. Ketahuilah kapan sebaiknya berhenti berkomunikasi
2. Analisis Kebutuhan
sumber : (http://www.khusnuridlo.net/2010/07/langkah-langkah-supervisi-akademik.html
Pada bab I telah ditegaskan bahwa esensial supervisi akademik itu sama sekali
bukan mengukur unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran, melainkan
bagaimana membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalnya. Meskipun
demikian, supervisi akademik tidak bisa terlepas dari pengukuran kemampuan guru dalam
mengelola proses pembelajaran. Pengukuran kemampuan guru dalam mengelola proses
pembelajaran merupakan salah satu kegiatan yang tidak bisa dihindarkan dalam proses
supervisi pembelajaran (Sergiovanni, 1987). Prinsip dasar ini tampak jelas sekali pada
langkah-langkah pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Menurut Marks, Stoops dan
Stoops, sebagaimana telah dibahas di muka, di mana salah satu langkahnya berupa analisis
kebutuhan. Esensial langkah atau fase analisis kebutuhan ini adalah mengukur
pengetahuan dan kemampuan untuk menentukan pengetahuan dan kemampuan mana pada
guru yang harus dibina. Ini berarti dalam setiap merencanakan dan memprogram supervisi
akademik selalu diperlukan instrumen pengukuran.
Instrumen pengukuran ini, baik pengetahuan maupun kemampuan, bila berupa
tes-tes tertentu yang secara valid dan reliabel bisa mengukur pengetahuan dan kemampuan
guru dalam mengelola proses pembelajaran. Khusus untuk mengukur kemampuan guru,
karena lebih berbentuk performansi atau perilaku (behavioral), biasanya digunakan
instrumen observasi yang mengamati unjuk kerja guru dalam mengelola proses
pembelajaran.
Instrumen ini banyak diambil dari yang sudah ada, yang sudah valid dan reliabel,
maupun dikembangkan sendiri oleh supervisor. Apabila kepala sekolah ingin
mengembangkan sendiri instrumen observasi maka disarankan agar merujuk kepada jenis-
jenis kemampuan pembelajaran yang menang harus dimiliki oleh guru. Setiap jenis
kemampuan yang dikembangkan dalam instrumen observasi harus disediakan skala
pengukuran.
Ada bermacam-macam skala pengukuran, misalnya skala tigas, skala lima, dan
skala tujuh. Apabila digunakan skala tiga, maka bentuknya menjadi tidak mampu (1)
cukup mampu (2) dan mampu (3) Apabila digunakan skala lima, maka bentuknya menjadi
sangat kurang mampu (1) kurang mampu (2) cukup mampu (3) mampu (4) dan sangat
mampu (5). Nantinya apabila telah digunakan, maka semakin kecil skor kemampuannya
(kategori kemampuannya) berarti semakin perlu dibina. Semakin rendah skornya berarti
guru semakin tidak mampu mengelola proses pembelajaran.
sumber : (http://www.khusnuridlo.net/2010/07/langkah-langkah-supervisi-akademik.html
E. KONSEP KINERJA
1. Performance diartikan sebagai hasil pekerjaan, atau (Pariata Westra et al.
pelaksanaan tugas pekerjaan 1977:246).
2. kinerja adalah proses kerja dari seorang individu untuk Bateman (1992:32)
mencapai hasil-hasil tertentu,
5. Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara A. Anwar Prabu
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang Mangkunegara
pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan (2001:67)
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Dari beberapa pengetian kinerja di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
kinerja merupakan suatu kemampuan kerja atau prestasi kerja yang diperlihatkan oleh
seorang pegawai untuk memperoleh hasil kerja yang optimal. Dengan demikian istilah
kinerja mempunyai pengertian akan adanya suatu tindakan atau kegiatan yang ditampilkan
oleh seseorang dalam melaksanakan aktivitas tertentu. Kinerja seseorang akan nampak pada
situasi dan kondisi kerja sehari-hari. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam
melaksanakan pekerjaannya menggambarkan bagaimana ia berusaha mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Menurut A. Dale Timpe dalam bukunya Performance sebagaimana dikutip
oleh Ch. Suprapto (1999:14) dikemukakan bahwa Kinerja adalah akumulasi dari tiga elemen
yang saling berkaitan yaitu keterampilan, upaya, dan sifat-sifat keadaan eksternal.
Keterampilan dasar yang dibawa seseorang ke tempat pekerjaan dapat berupa pengetahuan,
kemampuan, kecakapan interpersonal dan kecakapan teknis.
Keterampilan diperlukan dalam kinerja karena keterampilan merupakan aktivitas
yang muncul dari seseorang akibat suatu proses dari pengetahuan, kemampuan, kecakapan
interpersonal, dan kecakapan teknis. Upaya dapat digambarkan sebagai motivasi yang
diperlihatkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Tingkat keterampilan berhubungan dengan apa
yang “dapat dilakukan”, sedangkan “ upaya” berhubungan dengan apa yang “akan
dilakukan”. Kondisi eksternal adalah faktor-faktor yang terdapat dilingkungannya yang
mempengaruhi kinerja. Kondisi eksternal merupakan fasilitas dan lingkungan kerja yang
mendukung produktivitas/kinerja karyawan, interaksi antara faktor internal dengan eksternal
untuk menghasilkan sesuatu dengan kualitas tertentu merupakan unsur yang membentuk
kinerja, ini sejalan dengan pendapat
Dalam mencapai tujuan tidak terlepas dari unsur manusia dan unsur non manusia.
Oleh karena itu, kinerja yang ditunjukan oleh unsur-unsur tersebut akan menunjukan
kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sebagai
pegawai akan selalu dituntut tentang sejauh mana kinerja pegawai tersebut dalam
melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaannya, apakah mereka berkinerja tinggi/memuaskan
atau berkinerja rendah/jelek. Dengan demikian, seorang pegawai dalam penilaian kerja oleh
atasannya selalu dihubungkan dengan kinerja.
Dari pendapat di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kinerja merupakan suatu
kemampuan kerja atau prestasi kerja yang diperlihatkan oleh seseorang dalam memperoleh
hasil kerja yang optimal. Sejalan dengan itu menurut pendapat Sedarmayanti (1995:53)
pengertian kinerja dengan menunjuk pada ciri-cirinya sebagai berikut : “Kinerja dalam suatu
organisasi dapat dikatakan meningkat jika memenuhi indikator-indikator antara lain :
Kualitas hasil kerja, Ketepatan waktu, Inisiatif, Kecakapan, Komunikasi yang baik”.
berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang
dicapai dan dapat diperlihatkan melalui kualitas hasil kerja, ketepatan waktu, inisiatif,
kecakapan dan komunikasi yang baik.
Kinerja menunjukan suatu penampilan kerja seseorang dalam menjalankan peran dan
fungsinya dalam suatu lingkungan tertentu termasuk dalam organisasi. Dalam kenyataannya,
banyak faktor yang mempengaruhi prilaku seseorang, sehingga bila diterapkan pada pekerja,
maka bagimana dia bekerja akan dapat menjadi dasar untuk menganalisis latar belakang yang
mempengaruhinga . Menurut Sutermeister (1976:45) produktivitas ditentukan oleh kinerja
pegawai dan teknologi, sedangkan kinerja pegawai itu sendiri tergantung pada dua hal yaitu
kemampuan dan motivasi. Bila digambarkan akan nampak sebagai berikut
Sementara itu Gibson et al (1995: 56), memberikan gambaran lebih rinci dan
komprehensif tentang faktor–faktor yang berpengaruh terhadap performance/kinerja, yaitu :
a. Variabel Individu, meliputi kemampuan, keterampilan, mental fisik, latar
belakang keluarga, tingkat sosial, pengalaman, demografi (umur, asal – usul,
jenis kelamin).
b. Variabel Organisasi, meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur
desain pekerjaan.
c. Variabel Psikologis yang meliputi persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan
motivasi.
pendapat tersebut menggambarkan tentang hal-hal yang dapat membentuk atau
mempengaruhi kinerja seseorang, faktor individu dengan karakteristik psikologisnya yang
khas serta faktor organisasi berinteraksi dalam suatu proses yang dapat mewujudkan suatu
kualitas kinerja yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan peran dan tugasnya
dalam organisasi.
Sementara itu Zane K. Quible (2005:214) berkaitan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja manyatakan: “basic human traits affect employees’ job related
behaviour and performance. These human traits include ability, aptitude, perception, values,
interest, emotions, needs and personality”. Ability atau kemampuan akan menentukan
bagaimana seseorang dapat melakukan pekerjaan, bakat akan berperan dalam membantu
melaksanakan pekerjaan jika ada kesesuaian dengan jenis pekerjaannya, demikian juga
halnya dengan persepsi, konsep diri, nilai-nilai, minat, emosi, kebutuhan dan kepribadian.
Semua itu akan berpengaruh terhadap dorongan (motivasi) seseorang dalam melaksanakan
pekerjaannya. Dengan demikian kajian tentang kinerja memerlukan juga pembahasan tentang
motivasi sebab prilaku seseorang dalam melaksanakan pekerjaan tidak terlepas dari dorongan
yang melatarbelakanginya.
Dorongan untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu dapat bersifat intrinsik dan
ekstrinsik, dorongan intrinsik merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang dan
mengarah pada suatu objek tertentu untuk berbuat atau berprilaku, sementara dorongan
ekstrinsik merupakan dorongan akibat rangsangan-rangsangan dari luar yang dalam hal ini
faktor organisasi dan kepemimpinan dapat dipandang sebagai contoh faktor eksternal yang
akan mempengaruhi pada kinerja seseorang dalam organisasi.
Kedua dorongan tersebut dapat berjalan sendiri-sendiri maupun bersamaan,
perwujudan dalam bentuk prilaku pada dasarnya menunjukan tentang intensitas dorongan
tersebut, dimana bila intensitasnya rendah maka kecenderungan prilakunya pun akan
menunjukan kualitas yang rendah demikian juga sebaliknya, oleh karena itu pemahaman
tentang motivasi dapat memperdalam pemahaman tentang apa dan bagaimana prilaku
seseorang dalam mengerjakan sesuatu baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun dalam
kehidupan organisasi. Dorongan merupakan daya penggerak kinerja, namun demikian tanpa
dibarengi dengan kemampuan, kinerja yang akan terwujud tidak akan optimal sesuai dengan
yang diharapkan
James M. Higgins (1982:28) dalam bukunya Human Relations, Concept and Skills
mengemukakan suatu model siklis proses motivasi dan kinerja “A cyclical Model of the
Motivation/Performance Process” dalam bentuk bagan nampak seperti dalam gambar 2.8.
Dari gambar tersebut, nampak bahwa Kinerja seseorang berkaitan dengan berbagai faktor
yang dapat mempengaruhinya, baik yang bersifat internal yang melekat dalam individu itu
sendiri maupun yang bersifat eksternal dari lingkungan kerja, juga Dari bagan tersebut di
atas dapat deperoleh beberapa pemahaman tentang kinerja dan motivasi, dengan
disatukannya kedua hal tersebut sebagai unsur yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
menunjukan bahwa kinerja dan motivasi merupakan sesuatu yang terus menerus
berinteraksi, kinerja merupakan dimensi perwujudan dari prilaku sedangkan motivasi
merupakan dimensi internal dari prilaku seseorang. Pertama ada faktor kebutuhan yang
perlu dipuaskan dan perwujudannya ditentukan oleh bagaimana sikap manajer dan organisasi
dalam berupaya memenuhinya, keadaan ini akan diikuti dengan langkah-langkah yang
dilakukan oleh organisasi dalam menawarkan pemuas kebutuhan tersebut. Penawaran
pemuasan tersebut akan diperhatikan dan direspon sesuai dengan pertimbangan
perbandingan antara
pemuas dan tindakan yang disyaratkan atau diminta oleh organisasi, jika penilaian terhadap
pemuas kebutuhan tersebut positif maka seseorang (pekerja) akan terdorong untuk melakukan
atau meningkatkan upaya-upaya dalam melaksanakan pekerjaan, namun upaya tersebut
tidaklah cukup melainkan perlu dibarengi dengan kemampuan yang berkaitan dengan
pekerjaan yang harus dilakukannya, kombinasi antara upaya yang termotivasi dengan
kemampuan akan melahirkan kinerja, dengan kinerja yang telah diwujudkan maka akan
diperoleh pemuas kebutuhan, kemudian hal itu akan dinilai oleh pekerja yang kemudian akan
memutuskan apakah akan melanjutkan dengan kinerja yang sama atau tidak.
Kinerja merupakan gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program
dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi. Oleh karena itu bila ingin
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, maka perlu memperhatikan faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi kinerja tersebut. Faktor yang mempengaruhi pencapaian
kinerja adalah faktor kemampuan (Ability) dan faktor motivasi (Motivation). Hal ini sesuai
dengan pendapat Keith Davis (1994:484) yang dikutip oleh A. Anwar Prabu Mangkunegara
(2001:67) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah :
1. Faktor Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja.
Motivasi merupakan kondisi yang menggerakan diri pegawai yang terarah untuk
mencapai tujuan organisasi. Sikap mental merupakan kondisi mental yang
mendorong diri pegawai untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara
maksimal. Pegawai akan mampu mencapai kinerja maksimal jika ia memiliki
motivasi tinggi.
2. Faktor Kemampuan
Secara psikologis kemampuan (Ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi
(IQ) dan kemampuan reality (Knowledge + Skill). Artinya pegawai yang
memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai
untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia
akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, pegawai
perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
berdasarkan pendapat ahli di atas jelaslah bahwa faktor kemampuan dapat mempengaruhi
kinerja karena dengan kemampuan yang tinggi maka kinerja pegawaipun akan tercapai,
sebaliknya bila kemampuan pegawai rendah atau tidak sesuai dengan keahliannya maka
kinerjapun tidak akan tercapai. Begitu juga dengan faktor motivasi yang merupakan kondisi
yang menggerakan diri pegawai untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal.
sumber :(http://uharsputra.wordpress.com/pendidikan/pengembangan-kinerja-guru/)
F. KINERJA GURU
Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di
dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi
bahan pembicaraan banyak orang, dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan
totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya.
Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita, bagaimana kinerja guru
akan berdampak kepada pendidikan bermutu. Kita melihat sisi lemah dari system pendidikan
nasional kita, dengan gonta ganti kurikulum pendidikan, maka secara langsung atau tidak
akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban
psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan
tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal, dan tidak
demikian halnya guru professional.
Selain itu, kinerja guru juga sangat ditentukan oleh output atau keluaran dari
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), sebagai institusi penghasil tenaga guru,
LPTK juga memiliki tanggungjawab dalam menciptakan guru berkualitas, dan tentunya suatu
ketika berdampak kepada pembentukan SDM berkualitas pula. Oleh sebab itu LPTK juga
memiliki andil besar di dalam mempersiapkan guru seperti yang disebutkan diatas,
berkualitas, berwawasan serta mampu membentuk SDM mandiri, cerdas, bertanggungjawab
dan berkepribadian.
Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negative kiranya akan
menjadi masukan yang sangat berarti bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah
putus asa, dan menjadi kritikan sebagai pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan
pembenahan diri di masa yang akan datang. Kritik terhadap kinerja guru perlu dilakukan,
tanpa itu bagaimana guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama ini, dengan
demikian akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan lebih lanjut.
Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya,
dan indicator sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya.
Semakin tinggi sumber daya manusianya, maka semakin baik tingkat pendidikannya, dan
demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu indicator tersebut sangat ditentukan oleh kinerja
guru.
Bila kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukan kinerja maksimal di
dalam menjalan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Akan tetapi
barangkali masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan kinerja baik, tentunya secara
akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro.
Kinerja guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun terus
ditingkatkan. Guru punya komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu maka guru akan
kerdil dalam ilmu pengetahuan, akan tetap tertinggal akan akselerasi zaman yang semakin
tidak menentu. Apalagi pada kondisi kini kita dihadapkan pada era global, semua serba cepat,
serba dinamis, dan serba kompetitif.
sumber : (http://re-searchengines.com/isjoni12.html)
F. Manajemen Kinerja Guru
Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan
mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance
management). Dengan mengacu pada pemikiran Robert Bacal (2001) dalam bukunya
Performance Management di bawah ini akan dibicarakan tentang manajemen kinerja guru.
Robert Bacal mengemukakan bahwa manajemen kinerja, sebagai :
Dari ungkapan di atas, maka manajemen kinerja guru terutama berkaitan erat
dengan tugas kepala sekolah untuk selalu melakukan komunikasi yang berkesinambungan,
melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya. Dalam mengembangkan
manajemen kinerja guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta
pemahaman tentang :
Perencanaan kinerja merupakan suatu proses di mana guru dan kepala sekolah
bekerja sama merencanakan apa yang harus dikerjakan guru pada tahun mendatang,
menentukan bagaimana kinerja harus diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi
kendala, serta mencapai pemahaman bersama tentang pekerjaan itu.
Evaluasi kinerja adalah salah satu bagian dari manajemen kinerja, yang
merupakan proses di mana kinerja perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk
menjawab pertanyaan, “ Seberapa baikkah kinerja seorang guru pada suatu periode
tertentu ?”. Metode apapun yang dipergunakan untuk menilai kinerja, penting sekali bagi kita
untuk menghindari dua perangkap. Pertama, tidak mengasumsikan masalah kinerja terjadi
secara terpisah satu sama lain, atau “selalu salahnya guru”. Kedua, tiada satu pun taksiran
yang dapat memberikan gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa.
Penilaian kinerja hanyalah sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.
Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson (2000) memberikan gambaran
tentang proses manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen kinerja,
yang terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi.
Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab, dan
ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan,– di mana guru
dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan upaya mereka melalui
dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam fase evaluasi, kinerja guru dikaji
dan dibandingkan dengan ekspektasi yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana
terus dikembangkan, siklus terus berulang, dan guru, kepala sekolah, dan staf administrasi ,
serta organisasi terus belajar dan tumbuh.
Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya dan menghasilkan
keluaran, yang pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya lagi. Semua dari ketiga fase
Siklus Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu proses dan ketiganya harus
diperlakukan secara berurut. Perencanaan harus dilakukan pertama kali, kemudian diikuti
Pembinaan, dan akhirnya Evaluasi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala sekolah atau
pengawas sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan menetapkan
standar evaluasi. Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan : (1) keterampilan-
keterampilan dalam mengajar; (2) bersifat seobyektif mungkin; (3) komunikasi secara jelas
dengan guru sebelum penilaian dilaksanakan dan ditinjau ulang setelah selesai dievaluasi, dan
(4) dikaitkan dengan pengembangan profesional guru .
1. Mengobservasi kegiatan kelas (observe classroom activities). Ini merupakan bentuk umum
untuk mengumpulkan data dalam menilai kinerja guru. Tujuan observasi kelas adalah untuk
memperoleh gambaran secara representatif tentang kinerja guru di dalam kelas.
Kendati demikian, untuk memperoleh tujuan ini, evaluator dalam menentukan hasil
evaluasi tidak cukup dengan waktu yang relatif sedikit atau hanya satu kelas. Oleh
karena itu observasi dapat dilaksanakan secara formal dan direncanakan atau secara
informal dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga dapat diperoleh informasi
yang bernilai (valuable)
2. Meninjau kembali rencana pengajaran dan catatan – catatan dalam kelas. Rencana
pengajaran dapat merefleksikan sejauh mana guru dapat memahami tujuan-tujuan
pengajaran. Peninjauan catatan-cataan dalam kelas, seperti hasil test dan tugas-tugas
merupakan indikator sejauhmana guru dapat mengkaitkan antara perencanaan
pengajaran , proses pengajaran dan testing (evaluasi).
3. Memperluas jumlah orang-orang yang terlibat dalam evaluasi. Jika tujuan evaluasi
untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja guru maka kegiatan evaluasi sebaiknya
dapat melibatkan berbagai pihak sebagai evaluator, seperti : siswa, rekan sejawat, dan
tenaga administrasi. Bahkan self evaluation akan memberikan perspektif tentang
kinerjanya. Namun jika untuk kepentingan pengujian kompetensi, pada umumnya
yang bertindak sebagai evaluator adalah kepala sekolah dan pengawas.
DAFTAR PUSTAKA