You are on page 1of 60

Kedatangan dan penyebaran agama Islam di Nusantara

Sejarah tentang kedatangan dan penyebaran agama Islam di Nusantara bersumber


dari catatan para pengelana yang telah mengunjungi wilayah nusantara berabad-abad
yang lalu.

[sunting] Sumber/bukti masuknya Islam ke Nusantara


Bukti awal mengenai agama Islam berasal dari seorang pengelana Venesia bernama
Marcopolo. Ketika singgah di sebelah utara pulau Sumatera, dia menemukan sebuah kota
Islam bernama Perlakyang dikelilingi oleh daerah-daerah non-Islam. Hal ini diperkuat
oleh catatan-catatan yang terdapat dalam buku-buku sejarah seperti Hikayat Raja-Raja
Pasai dan Sejarah Melayu.

Bukti kedua berasal dari Ibnu Batutah ketika mengunjungi Samudera Pasai pada tahun
1345 megatakan bahwa raja yang memerintah negara itu memakai gelar Islam yakni
Malikut Thahbir bin Malik Al Saleh.

Bukti ketiga berasal dari seorang pengelana Portugis bernama Tome Pires, yang
mengunjungi Nusantara pada awal abad ke-16. Dalam karyanya berjudul Summa
Oriental, dia menjelaskan bahwa menjelang abad ke-13 sudah ada masyarakat Muslim di
Samudra Pasai, Perlak, dan Palembang. Selain itu di Pulau Jawa juga ditemukan makam
Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 1082 M dan sejumlah
makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13.

Golongan lain berpendapat bahwa Islam sebenarnya sudah masuk ke Nusantara sejak
abad ke-7 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas pernyataan pengelana Cina I-tsing yang
berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671. Dia menyatakan bahwa pada waktu
itu lalu-lintas laut antara Arab, Persia, India, dan Sriwijaya sangat ramai.

Bukti kelima menurut catatan Dinasti Tang, para pedagang Ta-Shih(sebutan bagi kaum
Muslim Arab dan Persia) pada abad ke-9 dan ke-10 sudah ada di Kanton dan Sumatera.

[sunting] Penyebar Islam di Nusantara


Penyebar Agama Islam menurut teori Gujarat, yaitu bahwa penyebarnya adalah
Muhammad Fakir. Buktinya, teori ini mendasarkan argumentasinya pada pengamatan
terhadap bentuk relief nisan Sultan Malik Al Saleh yang memiliki kesamaan dengan
nisan-nisan yang terdapat di Gujarat.
Penyebar Agama Islam menurut teori Makkah, yaitu bahwa penyebarnya adalah Sjech
Ismail dari Makiyah. Buktinya adalah, bahwa kelompok penduduk Nusantara pertama
yang Islam menganut mazhab Syafi'i. Mazhab Syafi'i merupakan mazhab istimewa di
Makiyah.

Penyebar Agama Islam menurut teori Persia, yaitu bahwa penyebarnya adalah P.A.
Hoessein Djajaningrat. Buktinya adalah pada adanya beberapa kesamaan budaya yang
hidup dikalangan masyarakat Nusantara dengan bangsa Persia denagn memperingati
Asyura, suatu peringatan bagi kaum Syi'ah.

Penyebar Agama Islam menurut teori Sejarawan, yaitu penyebarnya adalah Wali Songo.

[sunting] Islamisasi di Nunsantara


Alasan yang menyebabkan penduduk nusantara banyak yang beragama Islam antara lain:

• Pernikahan antara para pedagang dengan bangsawan. Contoh: Raja Brawijaya


menikah dengan Putri Jeumpa yang menurunkan Raden Patah.
• Pendidikan pesantren
• Pedagang Islam
• Seni dan kebudayaan. Contoh: Wayang, disebar oleh Sunan Kalijaga.
• Dakwah

Faktor-faktor penyebab Agama Islam dapat cepat berkembang di Nusantara antara lain:

• Syarat masuk agama Islam tidak berat, yaitu dengan mengucapkan kalimat
syahadat.
• Upacara-upacara dalam Islam sangat sederhana.
• Islam tidak mengenal sistem kasta.
• Islam tidak menentang adat dan tradisi setempat.
• Dalam penyebarannya dilakukan dengan jalan damai.
• Runtuhnya kerajaan Majapahit memperlancar penyebaran agama Islam.

Sejarah Nusantara pada era kerajaan Islam

Kerajaan Islam di Indonesia diperkirakan kejayaannya berlangsung antara abad ke-13


sampai dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong oleh
maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan pedagang-pedagang Islam dari Arab, India,
Persia, Tiongkok, dll. Kerajaan tersebut dapat dibagi menjadi berdasarkan wilayah pusat
pemerintahannya, yaitu di Sumatera, Jawa, Maluku, dan Sulawesi.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Kerajaan Islam di Sumatera


• 2 Kerajaan Islam di Jawa
• 3 Kerajaan Islam di Maluku
• 4 Kerajaan Islam di Sulawesi
• 5 Kerajaan Islam di Kalimantan

• 6 Rujukan

[sunting] Kerajaan Islam di Sumatera


Periode tahun tepatnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera masih simpang siur dan
memerlukan rujukan lebih lanjut.

• Kesultanan Perlak (abad ke-9 - abad ke-13)


• Kesultanan Samudera Pasai (abad ke-13 - abad ke-16)
• Kesultanan Malaka (abad ke-14 - abad ke-17)
• Kesultanan Aceh (abad ke-16 - 1903)
• Kesultanan Inderapura (abad ke-16 - abad 18)
• Kerajaan Pasaman Kehasilan Kalam (abad ke-16 - akhir abad ke-18)
• Kerajaan Melayu Jambi
• Kesultanan Johor-Riau

[sunting] Kerajaan Islam di Jawa


• Kesultanan Demak (1500 - 1550)
• Kesultanan Banten (1524 - 1813)
• Kesultanan Pajang (1568 - 1618)
• Kesultanan Mataram (1586 - 1755)
• Kesultanan Cirebon (sekitar abad ke-16)

[sunting] Kerajaan Islam di Maluku


• Kesultanan Ternate (1257 - ..... )
• Kesultanan Tidore (1110 - 1947?)
• Kesultanan Jailolo
• Kesultanan Bacan
• Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682)

[sunting] Kerajaan Islam di Sulawesi


• Kesultanan Gowa (awal abad ke-16 - 1667?)
• Kesultanan Buton (1332 - 1911)
• Kesultanan Bone (abad 17)

[sunting] Kerajaan Islam di Kalimantan


• Kesultanan Pasir (1516)
• Kesultanan Banjar (1526-1905)
o Kesultanan Kotawaringin
o Kerajaan Pagatan (1750)
• Kesultanan Sambas (1675)
• Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
• Kesultanan Berau (1400)
o Kesultanan Sambaliung (1810)
o Kesultanan Gunung Tabur (1820)
• Kesultanan Pontianak (1771)
• Kerajaan Tidung
• Kesultanan Bulungan(1731)

[sunting] Rujukan
• Yusuf, Mundzirin (editor); Sejarah Peradaban Islam di Indonesia; Yogyakarta:
Penerbit PUSTAKA, 2006.

Garis waktu sejarah Indonesia


Sejarah Nusantara
Prasejarah Kerajaan Hindu-Buddha Tarumanagara (358–669) Sriwijaya (abad ke-7
sampai ke-13) Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9) Kerajaan Sunda (669–1579) Kerajaan
Medang (752–1045) Kediri (1045–1221) Singhasari (1222–1292) Majapahit (1293–
1500) Kerajaan Islam Kesultanan Ternate (1257–sekarang) Kesultanan Malaka (1400–
1511) Kesultanan Demak (1475–1548) Kesultanan Aceh (1496–1903) Kesultanan Banten
(1526–1813) Kesultanan Mataram (1500-an—1700-an) Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850) VOC (1602-1800) Belanda (1800-1942) Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942) Pendudukan Jepang (1942–1945) Revolusi nasional
(1945–1950) Indonesia Merdeka Orde Lama (1950-1959) Demokrasi Terpimpin (1959-
1965) Orde Baru (1966-1998)
Kerajaan Islam Jawa Pertama
Raden Patah Mendirikan Demak
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar
menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya
di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian
mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan
Glagahwangi menjadi sebuah pesantren.

Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya di Majapahit khawatir


kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat
menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.

Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya merasa terkesan dan
akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat
sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota
bernama Bintara.

Menurut kronik Cina, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia
menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-
bu-mi di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel),
Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya
sebagai bupati di Bing-to-lo.

[sunting] Perang Demak dan Majapahit


Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan serat, terutama
Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah
memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah
Raden Patah. Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang
Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama
lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.

Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun
melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo
(alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre
Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit
menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang Cina muslim bernama Nyoo Lay Wa
sebagai bupati.

Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin
Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga
menantu Kung-ta-bu-mi.
Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah
Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa
Majapahit, Janggala, dan Kadiri.

Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang
perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun
1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga
Girindrawardhana.

[sunting] Pemerintahan Raden Patah


Apakah Raden Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, yang jelas ia adalah raja
pertama Kesultanan Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun
Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan
menurut Serat Pranitiradya, bergelar Sultan Syah Alam Akbar, dan dalam Hikayat
Banjar disebut Sultan Surya Alam.

Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia
memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.

Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia
juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan.
Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di
Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh
Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam.

Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat
Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang
Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau
Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga
memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak
di Gresik.

Tome Pires dalam Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden
Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512
menantunya yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.

Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Cina yang diberitakan
menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus
adalah menantu Pate Rodin, sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik
dari sumber Portugis ataupun sumber Cina, sama-sama menyebutkan armada Demak
hancur dalam pertempuran ini.

Menurut kronik Cina, Jin Bun alias Raden Patah meninggal dunia tahun 1518 dalam usia
63 tahun. Ia digantikan Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah Jawi
bergelar Pangeran Sabrang Lor.
[sunting] Keturunan Raden Patah
Menurut naskah babad dan serat, Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama
adalah putri Sunan Ampel, menjadi permaisuri utama, melahirkan Raden Surya dan
Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan kemudian naik takhta, bergelar
Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.

Istri yang kedua seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden
Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep.

Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas
Nyawa. Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Raden Kikin dan Raden
Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra
sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi
sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen,
artinya bunga yang gugur di sungai.

Kronik Cina hanya menyebutkan dua orang putra Jin Bun saja, yaitu Yat Sun dan Tung-
ka-lo, yang masing-masing identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.

Suma Oriental menyebut Pate Rodin memiliki putra yang juga bernama Pate Rodin, dan
menantu bernama Pate Unus. Berita versi Portugis ini menyebut Pate Rodin Yunior lebih
tua usianya dari pada Pate Unus. Dengan kata lain Sultan Trenggana disebut sebagai
kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.

Raja k-2 Demak (Pati Unus)


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Pati Unus atau Adipati Unus (1480?–1521) adalah Sultan Demak kedua, yang
memerintah dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah menantu Raden Patah, pendiri
Kesultanan Demak. Pada tahun 1521, Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka
melawan pendudukan Portugis. Pati Unus gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan
oleh adik iparnya, Sultan Trenggana.

Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor (sabrang=menyeberang,
lor=utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan
Portugis.
Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Silsilah
• 2 Kiprah
• 3 Expedisi Jihad II
• 4 Keturunan
• 5 Kiprah Putra Pati Unus di Banten
• 6 Kiprah Putra Pati Unus di wilayah Galuh (Priangan Timur)

• 7 Sumber

[sunting] Silsilah
Nama asli beliau Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara.
Raden Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang
dikenal dengan sebutan Syekh Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar ini datang
dari Parsi ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal 1400-an masehi.
Silsilah Syekh ini yang bernama lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad
Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin
Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat
di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) merupakan keturunan cucu
Nabi Muhammad generasi ke 19, beliau memiliki ibu Syarifah Ummu Banin Al-Hasani
(keturunan Imam Hasan bin Fathimah binti Nabi Muhammad) dari Parsi (dari Catatan
Sayyid Bahruddin Ba'alawi tentang ASYRAF DI TANAH PERSIA, di tulis pada tanggal
9 September 1979)

, Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina
Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.

Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus menikah dengan putri seorang
Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh
Mawlana Akbar, seorang Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang
mempelopori dakwah diAsia Tenggara. Seorang putra beliau adalah Syekh Ibrahim
Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong,
Kamboja) yang sekarang masih ada perkampungan Muslim. Seorang putra beliau dikirim
ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau terkenal
sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa) ikut
dibawa ke Pulau Jawa untuk ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk
langkah awal meng-Islam-kan tanah Jawa.

Raja Brawijaya berkenan menikah tapi enggan terang-terangan masuk Islam. Putra yang
lahir dari pernikahan ini dipanggil dengan nama Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam
yang pertama di beri gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Disini terbukalah rahasia
kenapa beliau Raden Patah diberi gelar Alam Akbar karena ibunda beliau adalah cucu
Ulama Besar Gujarat Syekh Mawlana Akbar yang hampir semua keturunannya
menggunakan nama Akbar seperti Ibrahim Akbar, Nurul Alam Akbar, Zainal Akbar dan
banyak lagi lainnya.

Kembali ke kisah Syekh Khaliqul Idrus, setelah menikah dengan putri Ulama Gujarat
keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putra beliau yang bernama Raden
Muhammad Yunus yang setelah menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di
Jepara dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini lahirlah seorang
putra yang kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang
setelah menjadi menanntu Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin Yunus
atau terkenal lagi sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur di Malaka di kenal
masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor.

[sunting] Kiprah
Setelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500-an beliau diambil mantu oleh
Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden
Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahiran
beliau sendiri). Karena ayahanda beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat,
maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau
putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah
Pati Unus.

Dari pernikahan ini beliau diketahui memiliki 2 putra. Ke 2 putra beliau yang merupakan
cucu-cucu Raden Patah ini kelak dibawa serta dalam expedisi besar yang fatal yang
segera merubah nasib Kesultanan Demak.

Sehubungan dengan intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia Tenggara meningkat
sangat cepat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis di tahun 1511, maka Kesultanan
Demak mempererat hubungan dengan kesultanan Banten-Cirebon yang juga masih
keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif
Hidayatullah adalah putra Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana Akbar,
sedangkan Raden Patah seperti yang disebut dimuka adalah ibundanya cucu Syekh
Mawlana Akbar yang lahir di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari pihak ayah
adalah juga keturunan Syekh Mawlana Akbar.

Hubungan yang semakin erat adalah ditandai dengan pernikahan ke 2 Pati Unus, yaitu
dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511. Tak hanya itu, Pati Unus
kemudian diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada
Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang
merupakan Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan
Gunung Jati. Gelar beliau yang baru adalah Senapati Sarjawala dengan tugas utama
merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Gentingnya situasi
ini dikisahkan lebih rinci oleh Sejarawan Sunda Saleh Danasasmita di dalam Pajajaran
bab Sri Baduga Maharaja sub bab Pustaka Negara Kretabhumi.
Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini membuat tugas
Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera
dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba
mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan balik kembali ke tanah Jawa.
Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat
persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak
375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam
pembuatan kapal.

Di tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat,
beliau berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak
berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, Adipati
wilayah Jepara yang garis nasab (Patrilineal)-nya adalah keturunan Arab dan Parsi
menjadi Sultan Demak II bergelar Alam Akbar At-Tsaniy.

[sunting] Expedisi Jihad II


Memasuki tahun 1521, ke 375 kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru
menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala
kemudahan dan kehormatan dari kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putra beliau (yang
masih sangat remaja) dari pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi
(yang juga masih sangat remaja) dari seorang seorang isteri,anak kepada Syeikh Al
Sultan Saiyid ISMAIL, PULAU BESAR, dengan risiko kehilangan segalanya termasuk
putus nasab keturunan, tapi sungguh Allah membalas kebaikan orang-orang yang
berjuang di jalannya.

Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat
pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang
sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus
bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah
keluarga beliau akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah
Jawa akan berubah.

Armada perang Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah
mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar
pula yang mencuat dari benteng Malaka.

Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu
untuk merapat ke pantai. Ia gugur sebagai Syahid karena kewajiban membela sesama
Muslim yang tertindas penjajah (Portugis) yang bernafsu memonopoli perdagangan
rempah-rempah.

Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3
hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis,
karena itu sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat
di tahun 1521 ini . Melalui situs keturunan Portugis di Malaka (kaum Papia Kristang)
hanya terdapat kegagahan Portugis dalam mengusir armada tanah jawa (expedisi I) 1513
dan armada Johor dalam banyak pertempuran kecil.

Armada Islam gabungan tanah Jawa yang juga menderita banyak korban kemudian
memutuskan mundur dibawah pimpinan Raden Hidayat, orang kedua dalam komando
setelah Pati Unus gugur. Satu riwayat yang belum jelas siapa Raden Hidayat ini,
kemungkinan ke-2 yang lebih kuat komando setelah Pati Unus gugur diambil alih oleh
Fadhlulah Khan (Tubagus Pasai) karena sekembalinya sisa dari Armada Gabungan ini ke
Pulau Jawa , Fadhlullah Khan alias Falathehan alias Fatahillah alias Tubagus Pasai-lah
yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada
Gabungan yang baru menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka.

Kegagalan expedisi jihad yang ke II ke Malaka ini sebagian disebabkan oleh faktor -
faktor internal, terutama masalah harmoni hubungan kesultanan - kesultanan Indonesia

Putra pertama dan ketiga Pati Unus ikut gugur, sedangkan putra kedua, Raden Abdullah
dengan takdir Allah untuk meneruskan keturunan Pati Unus, selamat dan bergabung
dengan armada yang tersisa untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang
balik ke Jawa, sebagian tentara Kesultanan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah
Jawa karena negerinya gagal direbut kembali dari tangan penjajah Portugis. Mereka
orang Melayu Malaka ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah
putra Pati Unus dalam meng-Islam-kan tanah Pasundan hingga dinamai satu tempat
singgah mereka dalam penaklukan itu di Jawa Barat dengan Tasikmalaya yang berarti
Danau nya orang Malaya (Melayu).

Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan
gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan
Armada Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh
Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan belakangan disebut Fatahillah
setelah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan
adalah atas inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putri beliau
yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan dengan Fadhlullah Khan.

[sunting] Keturunan
Dengan selamatnya putra Pati Unus yang kedua yaitu Raden Abdullah, maka sungguh
Allah hendak melestarikan keturunan para Syahid, seperti yang terjadi pada pembantaian
cucu nabi Muhammad, Imam Husain dan keluarganya ternyata keturunan beliau justru
menjadi berkembang besar dengan selamatnya putra beliau Imam Zaynal Abidin. Bukan
kebetulan pula bila Pati Unus pun seperti yang disebut diatas adalah keturunan Imam
Husayn cucu Nabi Muhammad SAW, karena hanya Pahlawan besar yang melahirkan
Pahlawan besar.

Ketika armada Islam mendaratkan pasukan Banten di teluk Banten, Raden Abdullah
diajak pula untuk turun di Banten untuk tidak melanjutkan perjalanan pulang ke Demak.
Para komandan dan penasehat armada yang masih saling berkerabat satu sama lain sangat
khawatir kalau Raden Abdullah akan dibunuh dalam perebutan tahta mengingat
sepeninggal Pati Unus, sebagian orang di Demak merasa lebih berhak untuk mewarisi
Kesultanan Demak karena Pati Unus hanya menantu Raden Patah dan keturunan Pati
Unus (secara patrilineal) adalah keturunan Arab seperti keluarga Kesultanan Banten dan
Cirebon, sementara Raden Patah adalah keturunan Arab hanya dari pihak Ibu sedangkan
secara patrilineal (garis laki-laki terus menerus dari pihak ayah, Brawijaya) adalah murni
keturunan Jawa (Majapahit).

Kebanggaan Orang Jawa sebagai orang Jawa walaupun sudah menerima Islam berbeda
dengan sikap orang Pasundan setelah menerima Islam berkenan menerima Raja mereka
dari keturunan Arab seperti Sultan Cirebon Sunan Gunung jati dan putranya Sultan
Banten Mawlana Hasanuddin. Kebanggaan orang Jawa sebagai bangsa yang punya
identitas sendiri, dengan gugurnya Pati Unus, membuka kembali konflik lama yang
terpendam dibawah kewibawaan dan keadilan yang bersinar dari Pati Unus. Kisah ini
nyaris mirip dengan gugurnya Khalifah umat Islam ketiga di Madinah, Umar bin Khattab
yang segera membuka kembali konflik lama antara banyak kelompok yang sudah lama
saling bertikai di Mekah dan Madinah.

Sedangkan di tanah Jawa, sejak Islam merata masuk hingga pelosok dibawah
kepeloporan kesultanan Demak pada akhirnya timbul persaingan antara kaum Muslim
Santri di pesisir dengan Muslim Abangan di pedalaman yang berakibat fatal dengan
perang saudara berkelanjutan antara Demak, Pajang dan Mataram.

[sunting] Kiprah Putra Pati Unus di Banten


Sebagian riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra
Pati Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana Hasanuddin dengan putri yang ke III,
Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat
kekerabatan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya pangeran Yunus yang
juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah Banten, banyak
berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (adik ipar beliau)
sebagai penasehat resmi Kesultanan . Dari titik ini keturunan beliau selalu mendapat pos
Penasehat Kesultanan Banten , seperti seorang putra beliau Raden Aryawangsa yang
menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke
IV Mawlana Abdul Qadir.

Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih menjadi
Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga paman
beliau sendiri karena Ibunda beliau adalah kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi
Raden Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah
kekuasaan Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat
Serpong). Raden Aryawangsa menikahi seorang putri Istana Pakuan dan keturunannya
menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya
menjadi panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi
tetap tunduk dibawah hukum Kesultanan Banten.
Seperti yang disebut diatas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di
Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah beliau wafat kiprah keluarga Pati
Unus kemudian diteruskan oleh putra dan cucu beliau para Sultan Pakuan Islam hingga
Belanda menghancurkan keraton Surosoan di zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683), dan
membuat keraton Pakuan Islam ,sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari
percaturan politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan
Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran Sabrang
Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar
Ciampea.

[sunting] Kiprah Putra Pati Unus di wilayah Galuh


(Priangan Timur)
Selain Raden Aryawangsa, Raden Abdullah putra Pati Unus juga memiliki anak lelaki
lainnya yaitu yang dikenal sebagai Raden Suryadiwangsa yang belakangan lebih dikenal
dengan gelar Raden Suryadiningrat yang diberikan Panembahan Senopati ketika
Mataram resmi menguasai Priangan Timur pada tahun 1595.

Kehadiran putra Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas dari kerjasama
dakwah antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha meng islam kan sisa-sisa
kerajaan Galuh di wilayah Ciamis hingga Sukapura (sekarang Tasikmalaya).

Raden Surya dikirim ayahnya, Raden Abdullah putra Pati Unus yang telah menjadi
Penasehat Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam usaha peng
Islaman Priangan Timur. Raden Surya memimpin dakwah (karena hampir tanpa
pertempuran) hingga mencapai daerah Sukapura dibantu keturunan tentara Malaka yang
hijrah ketika Pati Unus gagal merebut kembali Malaka dari penjajah Portugis.
Beristirahatlah mereka di suatu tempat dan dinamakan Tasikmalaya yang berarti
danaunya orang Malaya (Melayu) karena didalam pasukan beliau banyak terdapat
keturunan Melayu Malaka.

Raden Surya di tahun 1580 ini di angkat oleh Sultan Cirebon II Pangeran Arya Kemuning
atau dipanggil juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung Jati, karena putra
kandung Pangeran Muhammad Arifin telah wafat) sebagai Adipati Galuh Islam. Akan
tetapi seiring dengan makin melemahnya kesultanan Cirebon sejak wafatnya Sunan
Gunung Jati pada tahun 1579, maka wilayah Galuh Islam berganti-ganti kiblat
Kesultanan. Pada saat 1585-1595 wilayah Sumedang maju pesat dengan Prabu Geusan
Ulun memaklumkan diri jadi Raja memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon. Sehingga
seluruh wilyah Priangan taklukan Cirebon termasuk Galuh Islam bergabung ke dalam
Kesultanan Sumedang Larang. Inilah zaman keemasan Sumedang yang masih sering di
dengungkan oleh keturunan Prabu Geusan Ulun dari dinasti Kusumahdinata.

Sekitar tahun 1595 Panembahan Senopati dari Mataram mengirim expedisi hingga
Priangan, Sumedang yang telah lemah sepeninggal Prabu Geusan Ulun kehilangan
banyak wilayah termasuk Galuh Islam. Maka Kadipaten Galuh Islam yang meliputi
wilayah Ciamis hingga Sukapura jatuh ke tangan Panembahan Senopati. Raden
Suryadiwangsa cucu Pati Unus segera diangkat Panembahan Senopati sebagai Penasehat
beliau untuk perluasan wilayah Priangan dan diberi gelar baru Raden Suryadiningrat.

Di sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi kepala daerah
Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan
putri bangsawan setempat. Raden Wirawangsa kelak di tahun 1635 resmi menjadi Bupati
Sukapura diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa memadamkan
pemberontakan Dipati Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung Wiradadaha I
yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya). Gelar
Wiradadaha mencapai yang ke VIII dan dimasa ini dipindahkanlah ibukota Sukapura ke
Manonjaya. Bupati Sukapura terakhir berkedudukan di Manonjaya adalah kakek dari
kakek kami bergelar Raden Tumenggung Wirahadiningrat memerintah 1875-1901.
Setelah beliau pensiun maka ibukota Sukapura resmi pindah ke kota Tasikmalaya.

[sunting] Sumber
• Nasab silsilah Kesultanan Banten, Nasab silsilah Kesultanan Cirebon, Nasab
silsilah Kesultanan Demak, Sejarah kota-kota lama Jawa Barat,
Negarakerthabumi Parwa I Sargha II, Berita-berita sumber Portugis abad 15-16
(Barros, Tome Pirres, Hendrik De Lame).

Didahului oleh: Sultan Demak Digantikan oleh:


Raden Patah 1518—1521 Sultan Trenggono

Raja ke-3 Demak ( Sultan Trenggana )


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Sultan Trenggana adalah raja ketiga Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1521-
1546. Di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Demak meluas sampai ke Jawa
Timur.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Silsilah Sultan Trenggana


• 2 Sultan Trenggana Naik Takhta
• 3 Menaklukkan Majapahit dan Sekitarnya
• 4 Mengirim Ekspedisi ke Banjarmasin
• 5 Sultan Trenggana Mengundang Sunan Kalijaga
• 6 Kematian Sultan Trenggana
• 7 Kepustakaan

• 8 Referensi

[sunting] Silsilah Sultan Trenggana


Sultan Trenggana adalah putra Raden Patah pendiri Demak yang lahir dari permaisuri
Ratu Asyikah putri Sunan Ampel. Menurut Suma Oriental, ia dilahirkan sekitar tahun
1483. Ia merupakan adik kandung Pangeran Sabrang Lor, raja Demak sebelumnya (versi
Serat Kanda).

Sultan Trenggana memiliki beberapa orang putra dan putri. Diantaranya yang paling
terkenal ialah Sunan Prawoto yang menjadi raja penggantinya, Ratu Kalinyamat yang
menjadi bupati Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menjadi istri Sultan Hadiwijaya, dan
Pangeran Timur yang berkuasa sebagai adipati di wilayah Madiun dengan gelar Rangga
Jumena.

[sunting] Sultan Trenggana Naik Takhta


Sepeninggal Pangeran Sabrang Lor tahun 1521 terjadi perebutan takhta antara kedua
adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana. Putra sulung Trenggana yaitu Raden
Mukmin (nama kecil Sunan Prawoto) mengirim utusan membunuh Raden Kikin di tepi
sungai. Sejak itu Raden Kikin terkenal sebagai Pangeran Sekar Seda ing Lepen (artinya,
"bunga yang gugur di sungai").

Raden Trenggana pun naik takhta, bergelar Sultan Trenggana.

Pada tahun 1524 datang seorang pemuda dari Pasai bernama Fatahillah. Sultan
Trenggana menyukainya dan menikahkan pemuda itu dengan adiknya, yaitu Ratu
Pembayun (janda Pangeran Jayakelana putra Sunan Gunung Jati).

Sebaliknya, Fatahillah juga memperkenalkan pemakaian gelar bernuansa Arab


sebagaimana yang lazim dipakai oleh raja-raja Islam di Sumatra. Maka, Sultan
Trenggana kemudian juga bergelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.
Tokoh Fatahillah inilah yang pada tahun 1527 dikirim membantu Sunan Gunung Jati raja
Cirebon menghadapi Pajajaran dan Portugis. Ia berhasil membebaskan pelabuhan Sunda
Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta atau Jakarta.

[sunting] Menaklukkan Majapahit dan Sekitarnya


Upacara pernikahan Fatahillah tahun 1524 dikejutkan dengan berita kematian Sunan
Ngudung dalam perang melawan Majapahit. Adapun ibu kota Majapahit saat itu sudah
pindah ke Daha di bawah pemerintahan Girindrawardhana. Raja Majapahit ini hanyalah
bersifat simbol, karena pemerintahan dikendalikan penuh oleh Patih Hudara. Sang Patih
juga menjalin persahabatan dengan Portugis untuk memerangi Demak.

Akhirnya pada tahun 1527 pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus (putra Sunan
Ngudung) berhasil mengalahkan Majapahit. Kerajaan yang pernah berjaya di masa lalu
itu akhirnya musnah sama sekali. Terjadi arus pelarian besar-besaran dari kerabat
kerajaan Majapahit, hal ini disebabkan mereka takut akan dihukum karena dukungan
mereka pada Girindrawardhana saat ia mengkudeta Brawijaya pada tahun 1478.
Tampaknya ibukota Daha juga mengalami nasib yang sama dengan Trowulan, hal ini
merupakan pembalasan keturunan Brawijaya yang menjadi penguasa Demak atas
tindakan Girindrawardhana pada saat ia merebut tahta Majapahit.

Selain itu Tuban juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Penguasa Tuban menurut
catatan Portugis bernama Pate Vira, seorang muslim tapi setia kepada Majapahit. Berita
ini menunjukkan kalau perang antara Demak dan Majapahit dilandasi persaingan
kekuasaan, bukan karena sentimen antara agama Islam dan Hindu.

Pada tahun 1528 Sultan Trenggana menaklukkan Wirasari, kemudian Gagelang atau
Gelanggelang (nama sekarang: Madiun) tahun 1529, Medangkungan (Blora) tahun 1530,
Surabaya tahun 1531, Pasuruan tahun 1535. Hampir sebagian besar penyerangan
terhadap daerah-daerah tersebut dipimpin oleh Trenggana sendiri.

Antara tahun 1541-1542 Demak menaklukkan Lamongan, Blitar, dan Wirasaba


(Mojoagung, Jombang). Gunung Penanggungan yang menjadi pusat sisa-sisa pelarian
Majapahit direbut tahun 1543. Kemudian Kerajaan Sengguruh di Malang, yang pernah
menyerang Giri Kedaton, dikalahkan tahun 1545.

[sunting] Mengirim Ekspedisi ke Banjarmasin


Menurut Hikayat Banjar, Sultan Demak yang diduga kuat adalah Sultan Trenggana telah
megirimkan seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera untuk berperang
melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir.
Kemenangan diraih oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin I, sedangkan
Pangeran Tumenggung diijinkan menetap di pedalaman (daerah Alay) dengan seribu
penduduk.
Hikayat Banjar : Maka Pangeran Samudera itu, sudah tetap kerajaannya di Banjarmasih
itu, maka masuk Islam. Diislamkan oleh Penghulu Demak itu. Maka waktu itu ada orang
negeri Arab datang, maka dinamainya Pangeran Samudera itu Sultan Suryanullah.
Banyak tiada tersebut. Maka Penghulu Demak dengan Menteri Demak itu disuruh Sultan
Suryanullah kembali. Maka orang Demak yang mati berperang ada dua puluh itu, disilih
laki-laki dan perempuan yang [di]-dapat menangkap, tertangkap tatkala berperang itu,
orang empat puluh. Maka Penghulu Demak dan Menteri Demak serta segala kaumnya
sama dipersalin. Yang terlebih dipersalinnya itu penghulunya, karena itu yang
mengislamkan. Serta persembah Sultan Suryanullah emas seribu tahil, intan dua puluh
biji, lilin dua puluh pikul, pekat seribu galung, damar seribu kindai, tetudung seribu
buah, tikar seribu kodi, kajang seribu bidang. Sudah itu maka orang Demak itu kembali.
Itulah maka sampai sekarang ini di Demak dan Tadunan itu ada asalnya anak-beranak
cucu-bercucu itu asal orang Nagara itu; tiada lagi tersebut.[1]

[sunting] Sultan Trenggana Mengundang Sunan


Kalijaga
Pada tahun 1543 Sultan Trenggana mengundang Sunan Kalijaga pindah ke Demak.
Sunan Kalijaga sendiri sebelumnya membantu Sunan Gunung Jati berdakwah di Cirebon.

Beberapa waktu kemudian terjadi perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga dengan
Sunan Kudus dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Dalam hal ini Sultan Trenggana
lebih memilih pendapat Sunan Kalijaga. Akibatnya, Sunan Kudus kecewa dan
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak.

Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam baru dan diberi tanah perdikan di Kadilangu.

[sunting] Kematian Sultan Trenggana


Berita kematian Sultan Trenggana ditemukan dalam catatan seorang Portugis bernama
Fernandez Mendez Pinto.

Pada tahun 1546 Sultan Trenggana menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu
dikuasai Blambangan. Sunan Gunung Jati membantu dengan mengirimkan gabungan
prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta sebanyak 7.000 orang yang dipimpin Fatahillah.
Mendez Pinto bersama 40 orang temannya saat itu ikut serta dalam pasukan Banten.

Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama tiga bulan, tapi belum juga dapat
merebut kota itu. Suatu ketika Sultan Trenggana bermusyawarah bersama para adipati
untuk melancarkan serangan selanjutnya. Putra bupati Surabaya yang berusia 10 tahun
menjadi pelayannya. Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat sehingga tidak
mendengar perintah Trenggana. Trenggana marah dan memukulnya. Anak itu secara
spontan membalas menusuk dada Trenggana memakai pisau. Sultan Demak itu pun tewas
seketika dan segera dibawa pulang meninggalkan Panarukan.
[sunting] Kepustakaan
• Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007.
Yogyakarta: Narasi
• H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
• Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta:
Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
• M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
• Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
• Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-
Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
• Winarsih Partaningrat Arifin. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya
• Yuliadi Soekardi. 2002. Nalusur Sejarahe Sunan Gunungjati. Dalam Majalah
Panjebar semangat edisi 23-27 Surabaya

Didahului oleh: Sultan Demak Digantikan oleh:


Pati Unus 1521—1546 Sunan Prawoto

Raja ke-4 Demak (Sunan Prawoto)


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Sunan Prawoto (nama lahirnya Raden Mukmin) adalah raja keempat Kesultanan
Demak, yang memerintah tahun 1546-1549. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli
agama daripada ahli politik. Pada masa kekuasaannya, daerah bawahan Demak seperti
Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas tanpa mampu dihalanginya.
Menurut Babad Tanah Jawi, ia tewas dibunuh oleh orang suruhan bupati Jipang Arya
Penangsang, yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Setelah kematiannya, Hadiwijaya
memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan Kesultanan Demak pun berakhir.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Masa muda
• 2 Pemerintahan
• 3 Kematian
• 4 Kronik Cina

• 5 Kepustakaan

[sunting] Masa muda


Naskah babad dan serat[rujukan?] menyebut Raden Mukmin sebagai putra sulung Sultan
Trenggana. Ia lahir saat ayahnya masih sangat muda dan belum menjadi raja.

Pada tahun 1521, Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia tanpa keturunan. Kedua
adiknya, yaitu Raden Trenggana dan Raden Kikin, bersaing memperebutkan tahta. Raden
Trenggana adalah adik kandung Pangeran Sabrang Lor, sama-sama lahir dari permaisuri
Raden Patah; sedangkan Raden Kikin yang lebih tua usianya lahir dari selir, yaitu putri
bupati Jipang.

Raden Mukmin memihak ayahnya dalam persaingan ini. Ia mengirim pembantunya


bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat. Raden Kikin
tewas di tepi sungai, sedangkan para pengawalnya sempat membunuh Ki Surayata. Sejak
saat itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen, dalam
bahasa Jawa artinya "bunga yang gugur di sungai". Pangeran Sekar Seda Lepen
meninggalkan dua orang putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan
Arya Mataram.

[sunting] Pemerintahan
Sepeninggal Sultan Trenggana yang memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546,
Raden Mukmin selaku putra tertua naik tahta. Ia berambisi untuk melanjutkan usaha
ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun, keterampilan berpolitiknya tidak begitu baik,
dan ia lebih suka hidup sebagai ulama daripada sebagai raja. Raden Mukmin
memindahkan pusat pemerintahan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Lokasinya
saat ini kira-kira adalah desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.

Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama
Manuel Pinto.[rujukan?] Pada tahun 1548, Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang
mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat
bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa,
serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras
ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh
bujukan Manuel Pinto.

Cita-cita Sunan Prawoto pada kenyataannya tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk
sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah
bawahan, seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas; sedangkan
Demak tidak mampu menghalanginya.[rujukan?]

[sunting] Kematian
Sepeninggal Sultan Trenggana, selain Sunan Prawoto terdapat dua orang lagi tokoh kuat,
yaitu Arya Penangsang bupati Jipang dan Hadiwijaya bupati Pajang. Masing-masing
adalah keponakan dan menantu Sultan Trenggana.

Arya Penangsang adalah putra Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang mendapat dukungan
dari gurunya, yaitu Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak. Pada tahun 1549 ia
mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya.
Menurut Babad Tanah Jawi,[rujukan?] pada suatu malam Rangkud berhasil menyusup ke
dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Sunan mengakui kesalahannya telah membunuh
Pangeran Seda Lepen. Ia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni. Rangkud
setuju, lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus.
Ternyata istri Sunan yang sedang berlindung di balik punggungnya ikut tewas pula.
Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan sempat membunuh Rangkud
dengan sisa-sisa tenaganya.

Pada tahun 1549 itu pula, Aryo Penangsang berhasil dibunuh oleh Danang Sutawijaya
atas siasat dari Ki Juru Martani.

Sunan Prawoto meninggalkan seorang putra yang masih kecil bernama Arya Pangiri,
yang kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah dewasa, Arya
Pangiri menjadi menantu Sultan Hadiwijaya raja Pajang, dan diangkat sebagai bupati
Demak.

[sunting] Kronik Cina


Raden Mukmin disebut dengan nama Muk Ming, menurut kronik Cina dari kuil Sam Po
Kong, di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang. Disebutkan bahwa pada
tahun 1529, ia menggantikan Kin San (Raden Kusen) sebagai kepala galangan kapal di
Semarang. Kin San adalah adik Jin Bun adik (Raden Patah).

Muk Ming dibantu masyarakat Cina yang muslim dan non muslim bekerja
menyelesaikan 1.000 kapal besar yang masing-masing dapat memuat 400 orang prajurit.
Pembangunan kapal-kapal perang tersebut untuk kepentingan angkatan laut ayahnya,
yaitu Tung-ka-lo (Sultan Trenggana) yang berniat merebut Maluku. Belum sempat Tung-
ka-lo merebut Maluku, ia lebih dulu tewas saat menyerang Panarukan tahun 1546. Muk
Ming pun naik takhta namun dimusuhi sepupunya yang menjadi bupati Ji-pang (Arya
Penangsang). Perang saudara terjadi, dan kota Demak dihancurkan bupati Ji-pang. Muk
Ming pindah ke Semarang tapi terus dikejar musuh, sehingga ia akhirnya tewas di kota
itu. Galangan kapal hancur terbakar pula, dan yang tersisa hanya masjid dan kelenteng
saja.
[sunting] Kepustakaan
• Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
• H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
• Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius
• Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-
Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS

Didahului oleh: Sultan Demak


Digantikan oleh:
Sultan Trenggono 1546—1549

Kesultanan Demak
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Akurasi Terperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini sudah memiliki daftar catatan kaki, bacaan terkait atau pranala luar, tapi
sumbernya masih belum jelas karena tak memiliki kutipan pada kalimat.
Mohon tingkatkan kualitas artikel ini dengan memasukkan rujukan yang lebih
mendetil bila perlu.

Kesultanan Demak adalah kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden
Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten)
vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di
pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan
segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat
kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang
yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak
ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi
ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan
dinamakan Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota
Demak di Jawa Tengah. Periode ketika beribukota di sana kadang-kadang dikenal
sebagai "Demak Bintara". Pada masa sultan ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata
(dibaca "Prawoto").

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Cikal-bakal
• 2 Di bawah Pati Unus
• 3 Di bawah Sultan Trenggana
• 4 Kemunduran
• 5 Lihat pula

• 6 Pranala luar

[sunting] Cikal-bakal
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-
kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada
masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati,[rujukan?] yaitu Raden Patah dan Ki
Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng
Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.

[sunting] Di bawah Pati Unus


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Invasi Kesultanan Demak ke Malaka

Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya
adalah menjadikan Demak sebagai kesultanan maritim yang besar. Pada masa
kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka.
Dengan adanya Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal
menunggu waktu.

[sunting] Di bawah Sultan Trenggana


Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di
bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti
merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan
mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527),
Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa
(1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai
(Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal
pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian
digantikan oleh Sunan Prawoto
[sunting] Kemunduran
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan
Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya
terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya "dihabisi" oleh suruhan
Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian
menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran
Hadiri adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya
Penangsang.

Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak
angkat Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di
sana ia mendirikan Kesultanan Pajang.

[sunting] Lihat pula

Ki Ageng Pandan Arang


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian.
Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki.
Pandanaran beralih ke sini.
Untuk kegunaan lain dari Pandanaran, lihat Pandanaran (disambiguasi).

Ki Ageng Pandan Arang (disebut juga Pandanaran, Pandanaran I) adalah bupati


pertama Semarang, yang diangkat oleh sultan Demak Bintara. Konon nama Semarang
diberikan olehnya, karena di tempat ia tinggal ditumbuhi oleh pohon asam yang jarang-
jarang (bahasa Jawa: asem arang). Tokoh ini juga dikenal sebagai penyebar Islam di
daerah tersebut. Meskipun sezaman dengan para Wali Sanga, ia tidak termasuk ke
dalamnya. Putranya dikenal dengan nama yang sama, namun kemudian lebih terkenal
sebagai Sunan Bayat.

Tokoh ini berkedudukan di Pragota, yang sekarang adalah tempat bernama Bergota di
kelurahan Randusari, Semarang Selatan. Dahulu Pragota berada sangat dekat dengan
pantai, karena wilayah Kota Lama Semarang merupakan daratan baru yang terbentuk
karena endapan dan proses pengangkatan kerak bumi. Tanah Semarang diberikan kepada
Pandan Arang oleh Sultan Demak.
Asal-usul Pandan Arang tidak pasti, meskipun sebagian besar babad menyatakan bahwa
ia adalah putra dari Panembahan Sabrang Lor (sultan kedua Kesultanan Demak) yang
menolak tahta karena lebih suka memilih mendalami spiritualitas. Posisi sultan ketiga
Demak kemudian diberikan kepada pamannya. Pendapat lain menyatakan bahwa ia
adalah saudagar asing, mungkin dari Arab, Persia, atau Turki, yang meminta izin sultan
Demak untuk berdagang dan menyebarkan Islam di daerah Pragota. Izin diberikan
baginya di daerah sebelah barat Demak. Cerita lain bahkan menyebutkan ia adalah putra
dari Brawijaya V, raja Majapahit terakhir, meskipun tidak ada bukti tertulis apa pun
mengenainya.

Makamnya terletak di wilayah Kelurahan Mugassari, Semarang Selatan.

[sunting] Rujukan
• Budiman, Amen. Semarang Riwayatmu Dulu. Penerbit Satya Wacana, Semarang.

Kesultanan Pajang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kesultanan pajang)

Akurasi Terperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini sudah memiliki daftar catatan kaki, bacaan terkait atau pranala luar, tapi
sumbernya masih belum jelas karena tak memiliki kutipan pada kalimat.
Mohon tingkatkan kualitas artikel ini dengan memasukkan rujukan yang lebih
mendetil bila perlu.

Kesultanan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai
kelanjutan Kesultanan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas
fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Surakarta dan Desa
Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.

Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Asal-usul
• 2 Kesultanan Pajang
• 3 Perkembangan
• 4 Peran Wali Songo
• 5 Pemberontakan Mataram
• 6 Keruntuhan
• 7 Daftar Raja Pajang

• 8 Kepustakaan

[sunting] Asal-usul
Sesungguhnya nama negeri Pajang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit.
Menurut Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, ada seorang adik perempuan Hayam
Wuruk (raja Majapahit saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i
Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Nama aslinya adalah Dyah Nertaja, yang
merupakan ibu dari Wikramawardhana, raja Majapahit selanjutnya.

Dalam naskah-naskah babad, negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita
Rakyat yang sudah melegenda menyebut Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah
dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini
dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.

Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah babad), nama
Pengging muncul kembali. Dikisahkan putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu
Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul
seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan
membunuh penculiknya.

Atas jasanya itu, Jaka Sengara diangkat Brawijaya sebagai bupati Pengging dan
dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar
Andayaningrat.

[sunting] Kesultanan Pajang


Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya
perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang
bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging
menjadi daerah bawahan Kesultanan Demak.

Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak
memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa
justru mengabdi ke Demak.
Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai
menantu Sultan Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya. Wilayah
Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan
Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik takhta, namun kemudian
tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah itu,
Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun gagal.

Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara putri Sultan Trenggana), Hadiwijaya
dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris
takhta Kesultanan Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.

[sunting] Perkembangan
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Kesultanan Pajang hanya meliputi sebagian
Jawa Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak
kematian Sultan Trenggana.

Pada tahun 1568 Sultan Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri
Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui
kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji
Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan
dengan putri Sultan Hadiwijaya.

Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang
bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu
Sultan Hadiwijaya.

[sunting] Peran Wali Songo


Pada zaman Kesultanan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting,
bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama
periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.

Sepeninggal Sultan Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan
terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Sultan Trenggana.

Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan
dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai
pelantik Hadiwijaya sebagai sultan. Ia juga menjadi mediator pertemuan Sultan
Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga
juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Sultan Hadiwijaya
atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Penangsang.
Wali lain yang masih berperan menurut naskah babad adalah Sunan Kudus. Sepeninggal
Sultan Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan
putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri.

Mungkin yang dimaksud dengan Sunan Kudus dalam naskah babad adalah Panembahan
Kudus, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550.

[sunting] Pemberontakan Mataram


Tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Sultan Hadiwijaya untuk siapa saja yang
mampu menumpas Arya Penangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan,
Arya Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.

Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng
Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal
ini disebabkan karena Sultan Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di
Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.

Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki


Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya
membunuh Arya Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah Mataram semakin hari
semakin maju dan berkembang.

Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram karena Sutawijaya membela adik
iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh Sultan
Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan Pajang
jumlahnya lebih besar.

[sunting] Keruntuhan
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi
persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri
sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta
tahun 1583.

Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap
Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang
sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.

Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang.
Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran
Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya
Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian
menjadi raja Pajang yang ketiga.

Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang
menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.

Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama


bergelar Panembahan Senopati.

[sunting] Daftar Raja Pajang


1. Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya
2. Arya Pangiri bergelar Sultan Ngawantipura
3. Pangeran Benawa bergelar Sultan Prabuwijaya

[sunting] Kepustakaan
• Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang:
Aneka Ilmu
• Andjar Any. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon.
Semarang: Aneka Ilmu
• Babad Majapahit dan Para Wali Jilid 3. 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
• Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007.
Yogyakarta: Narasi
• H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di
Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
• Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta:
Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
• M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
• Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius
• Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
• Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:
Bhratara

[sembunyikan]
l•b•s
Kerajaan di Jawa

0-600
(Hindu-
Buddha Salakanagara · Tarumanagara · Sunda-Galuh · Kalingga · Kanjuruhan
pra-
Mataram)

600-1500
Mataram Hindu · Kahuripan · Janggala · Kadiri · Singasari · Majapahit ·
(Hindu-
Pajajaran · Blambangan
Buddha)

1500-
Demak · Pajang · Banten · Cirebon · Sumedang Larang · Mataram Islam ·
sekarang
Kartasura · Surakarta · Yogyakarta · Mangkunagara · Paku Alam
(Islam)

Joko Tingkir
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Jaka Tingkir)
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini sudah memiliki daftar catatan kaki, bacaan terkait atau pranala luar, tapi
sumbernya masih belum jelas karena tak memiliki kutipan pada kalimat.
Mohon tingkatkan kualitas artikel ini dengan memasukkan rujukan yang lebih
mendetil bila perlu.

Jaka Tingkir, kadang-kadang juga ditulis Joko Tingkir, adalah pendiri sekaligus raja
pertama Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1549-1582, bergelar Sultan
Adiwijaya.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Asal-usul
• 2 Mengabdi ke Demak
• 3 Menjadi Sultan Pajang
• 4 Sumpah setia Ki Ageng Mataram
• 5 Menundukkan Jawa Timur
• 6 Pemberontakan Sutawijaya
• 7 Kematian
• 8 Pengganti
• 9 Catatan kaki

• 10 Referensi

[sunting] Asal-usul
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga.
Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan
dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang
dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh


memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan
Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal
pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki
Ageng Tingkir).

Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir.
Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan
dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng
Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Silsilah Jaka Tingkir :

Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→


Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka
Tingkir

[sunting] Mengabdi ke Demak


Babad Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota
Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir)
yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir pandai
menarik simpati Sultan Trenggana sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak
berpangkat lurah wiratamtama.

Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru.
Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir
menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan SADAK
KINANG. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.

Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo


Kanigoro(saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demak bersama
ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.

Rombongan Jaka Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit.


Muncul kawanan siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan,
kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.

Saat itu Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir
melepas seekor kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi
mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang
pesanggrahan Sultan di mana tidak ada prajurit yang mampu melukainya.

Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas
jasanya itu, Sultan Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah
wiratamtama.

Kisah dalam naskah-naskah babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa setelah dipecat,
Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan ia tampil sebagai pahlawan yang
meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan simpati Sultan kembali.

[sunting] Menjadi Sultan Pajang


Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam
Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati
Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempa, putri Sultan
Trenggana.

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, putranya yang bergelar Sunan Prawoto
seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di
Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya
membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang
yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan salat ashar di tepi
Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan adik Kandung Sultan Trenggono sekaligus
juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan
dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga
membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.

Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang,


tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi
mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar
menumpas Aryo Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati
Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena
sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama
murid Sunan Kudus.

Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo


Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah.

Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki
Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil
menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan)
dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika
Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak
Rimang.

Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke
Pajang dengan Adiwijaya sebagai sultan pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten
dengan anak Suan Prawoto yang menjadi Adipatinya

Sultan Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan.


Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki
Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.

[sunting] Sumpah setia Ki Ageng Mataram


Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng
Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan
Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.

Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan
segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua
muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas
Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah
kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia
dilantik menjadi sultan usai kematian Arya Penangsang.

Sunan Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah
panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia
kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah
Mataram pada kakak angkatnya itu.

Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu
sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk
Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya
sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang
kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara
rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.

[sunting] Menundukkan Jawa Timur


Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja,
karena sepeninggal Sultan Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan
diri.

Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan
saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut
sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan
Blambangan.

Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan
antara Sultan Adiwijaya dengan para adipati Bang Wetan. Sunan Prapen berhasil
meyakinkan para adipati sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan Kesultanan
Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji
Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.

Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu
yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi
menantunya.

Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan
Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan
ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.

Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan
semuanya pada kehendak takdir.

[sunting] Pemberontakan Sutawijaya


Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan
Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di
Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.

Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim
Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka
menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun
kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka
yang disampaikan secara halus.

Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia
pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang
berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang
menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh
Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden
Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad
sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.

Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya,


sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya
kecelakaan saja. Sultan Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan
diri.

Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden
Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar
Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang
dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.

Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke
Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam
perjalanan pembuangannya ke Semarang.

[sunting] Kematian
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram.
Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan
jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang
mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan
Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.

Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam


Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya
sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.

Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah
tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang
makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya,
membuat sakitnya bertambah parah.

Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci
Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain
itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra
tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung
Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.

Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia
dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.
[sunting] Pengganti
Sultan Adiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan
dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban.
Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak. Arya
Pangiri sebenarnya adalah anak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang menggantikan
Sultan Trenggono menjadi Raja Demak.

Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus) untuk menjadi raja.
Pangeran Benawa sang putra mahkota disingkirkan menjadi bupati Jipang. Arya Pangiri
pun menjadi raja baru di Pajang, bergelar Sultan Ngawantipura.

[sunting] Catatan kaki


1. ^ Kedua nama "Ki Ageng" ini bukanlah nama asli tetapi nama sebutan yang
terkait dengan asal daerah keduanya. Pengging adalah daerah di wilayah Boyolali
sekarang dan Tingkir merupakan tempat di dekat Salatiga.

[sunting] Referensi
• Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang:
Aneka Ilmu
• Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007.
Yogyakarta: Narasi
• H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di
Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
• Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta:
Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
• M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
• Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius
• Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Arya Pangiri
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Arya Pangiri adalah adipati Demak yang berhasil menjadi raja kedua Kesultanan Pajang,
yang memerintah tahun 1583-1586 bergelar Sultan Ngawantipura.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Asal-Usul
• 2 Arya Pangiri Sebagai Bupati Demak
• 3 Arya Pangiri Merebut Pajang
• 4 Pemerintahan Arya Pangiri
• 5 Kekalahan Arya Pangiri

• 6 Kepustakaan

[sunting] Asal-Usul
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya
Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.

Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati
Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai
bawahannya.

Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan
Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.

[sunting] Arya Pangiri Sebagai Bupati Demak


Kerajaan Aceh mencatat Arya Pangiri sebagai seorang bupati yang mudah curiga. Pada
tahun 1564 Sultan Ali Riayat Syah raja Aceh mengirim utusan meminta bantuan Demak
untuk bersama mengusir Portugis dari Malaka. Tapi Arya Pangiri justru membunuh
utusan tersebut. Akhirnya pada tahun 1567 Aceh tetap menyerang Malaka tanpa bantuan
Jawa. Serangan itu gagal walaupun memakai meriam hadiah dari sultan Turki.

[sunting] Arya Pangiri Merebut Pajang


Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang.
Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan
dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda
daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri
sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya
Penangsang).

Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan
Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya
Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran
Kudus.

[sunting] Pemerintahan Arya Pangiri


Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura.
Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada
menciptakan kesejahteraan rakyatnya.

Arya Pangiri melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci


Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari
Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.

Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan
orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat
Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang
yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi
pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.

[sunting] Kekalahan Arya Pangiri


Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya di Mataram. Kedua
saudara angkat itu berunding di desa Weru. Akhirnya diambilah keputusan untuk
menyerbu Pajang.

Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berangkat untuk menurunkan Arya Pangiri dari
takhtanya. Perang terjadi di kota Pajang. Pasukan Arya Pangiri yang terdiri atas 300
orang Pajang, 2000 orang Demak, dan 400 orang seberang dapat ditaklukkan. Arya
Pangiri sendiri tertangkap dan diampuni nyawanya atas permohonan Ratu Pembayun,
istrinya.

Sutawijaya mengembalikan Arya Pangiri ke Demak, serta mengangkat Pangeran Benawa


sebagai raja baru di Pajang.

[sunting] Kepustakaan
• Andjar Any. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon.
Semarang: Aneka Ilmu
• Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007.
Yogyakarta: Narasi
• H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
• Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta:
Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
• M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
• Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius
• Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Pangeran Benawa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-
1587, bergelar Sultan Prabuwijaya.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Silsilah Pangeran Benawa


• 2 Kisah Hidup Pangeran Benawa
• 3 Akhir Kesultanan Pajang

• 4 Kepustakaan

[sunting] Silsilah Pangeran Benawa


Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama
Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang
mendirikan Kesultanan Mataram.

Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas
Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian
melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak
menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan
Surakarta.

[sunting] Kisah Hidup Pangeran Benawa


Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi
ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa
berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih
Mancanegara.

Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang
bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya
Pamalad mengajak rombongan pulang.

Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram


berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan
Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.

Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan
kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan
oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.

Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan
Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu
dianggap kurang adil dalam memerintah.

Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram.
Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih.
Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata
pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.

Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang
berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan
takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta
beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.

Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan
Prabuwijaya.

[sunting] Akhir Kesultanan Pajang


Naskah-naskah babad memberitakan versi yang berlainan tentang akhir pemerintahan
Pangeran Benawa. Ada yang menyebut Benawa meninggal dunia tahun 1587, ada pula
yang menyebut Benawa turun takhta menjadi ulama di Gunung Kulakan bergelar Sunan
Parakan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Pangeran Benawa menuju ke arah barat
dan membangun sebuah pemerintahan yang sekarang bernama Pemalang. Konon beliau
juga meninggal di Pemalang, di desa Penggarit.

Sepeninggal Benawa, Kesultanan Pajang berakhir pula, dan kemudian menjadi bawahan
Mataram. Yang diangkat menjadi bupati di Pajang ialah Pangeran Gagak Baning adik
Sutawijaya. Setelah meninggal, Gagak Baning digantikan putranya yang bernama
Pangeran Sidawini.

[sunting] Kepustakaan
• Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang:
Aneka Ilmu
• Andjar Any. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon.
Semarang: Aneka Ilmu
• Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007.
Yogyakarta: Narasi
• H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
• Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius
• Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Kesultanan Banten
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kesultanan banten)

Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke


daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon dibantu pasukan
Demak menduduki pelabuhan Banten, salah satu dari pelabuhan kerajaan Sunda, dan
mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Cirebon dan Demak. Menurut sumber
Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan utama Kerajaan Sunda
selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Sejarah
o 1.1 Puncak kejayaan
o 1.2 Masa kekuasaan Sultan Haji
o 1.3 Penghapusan kesultanan
• 2 Daftar pemimpin Kesultanan Banten
• 3 Referensi
o 3.1 Sumber
o 3.2 Pranala luar

• 4 Garis waktu kerajaan-kerajaan di Jawa Barat/Banten/Jakarta

[sunting] Sejarah
Anak dari Sunan Gunung Jati atau Fatahillah (Faletehan) yaitu Maulana Hasanudin
menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak.
Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan
anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara. Terjadi perebutan kekuasaan
setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kesultanan
Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena
Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang
Kesultanan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kesultanan Banten karena dibantu oleh
para ulama.

[sunting] Puncak kejayaan

Wilayah Kekuasaan Banten

Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fath
Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan
Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat.
Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan
Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong
menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan
Banten.

[sunting] Masa kekuasaan Sultan Haji

Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung
diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de
Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu
kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat
VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

[sunting] Penghapusan kesultanan

Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun
itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford
Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-
Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.[1]

[sunting] Daftar pemimpin Kesultanan Banten


• Sunan Gunung Jati
• Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
• Maulana Yusuf 1570 - 1580
• Maulana Muhammad 1585 - 1590
• Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut
pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.[2])
• Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
• Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
• Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
• Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
• Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
• Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
• Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
• Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
• Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
• Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
• Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
• Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
• Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
• Aliyuddin II (1803-1808)
• Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
• Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
• Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

[sunting] Referensi
[sunting] Sumber

1. ^ Memimpikan Takhta Kesultanan Banten. Harian Kompas, Senin, 22


Desember 2003,
2. ^ Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia

[sunting] Pranala luar

• (id)Sia-sia, Kalau Bangkitkan Sosok Sultan Banten. Harian Kompas, 28 Maret


2003
• (id)Menunggu Kembalinya Sultan Banten. Republika, 7 September 2003
• (id)Ribuan Peziarah Serbu Masjid Agung Banten. TempoInteraktif, 26 Oktober
2006
• (id)Kesultanan Banten? Wallahualam…. Harian Kompas, 26 April 2003

[sunting] Garis waktu kerajaan-kerajaan di Jawa


Barat/Banten/Jakarta

Artikel bertopik sejarah Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat
membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

Kesultanan Cirebon
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kesultanan cirebon)

Akurasi Terperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad
ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan
pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan
antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan"
antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Sejarah
• 2 Perkembangan awal
o 2.1 Ki Gedeng Tapa
o 2.2 Ki Gedeng Alang-Alang
• 3 Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
o 3.1 Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
o 3.2 Sunan Gunung Jati (1479-1568)
o 3.3 Fatahillah (1568-1570)
o 3.4 Panembahan Ratu I (1570-1649)
o 3.5 Panembahan Ratu II (1649-1677)
• 4 Terpecahnya Kesultanan Cirebon
o 4.1 Perpecahan I (1677)
o 4.2 Perpecahan II (1807)
• 5 Masa kolonial dan kemerdekaan
• 6 Perkembangan terakhir
• 7 Lihat pula

• 8 Referensi

[sunting] Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja
pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah
dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang
menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran),
karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama,
bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal
atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai
nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas
pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon
(Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara
maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

[sunting] Perkembangan awal


[sunting] Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang
saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan
membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358
(tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para
pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

[sunting] Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu
adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah
Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng
Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi
penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

[sunting] Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)


[sunting] Pangeran Cakrabuana (…. –1479)

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng
Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan
nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/
Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota
Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan
oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di
Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.
Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari
istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.

Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan
istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang
dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji
kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang
memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada
penduduk Cirebon.

[sunting] Sunan Gunung Jati (1479-1568)

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai


Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif
Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati
dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif
Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba
Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini
sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta
penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh),
Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan
jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti
Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan
Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

[sunting] Fatahillah (1568-1570)

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat


keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan
dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan
memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki
takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada
tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan
dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
[sunting] Panembahan Ratu I (1570-1649)

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua
Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar
Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

[sunting] Panembahan Ratu II (1649-1677)

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim,
karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan
nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian
dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan


kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga
sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua
Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak
sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak
dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan


Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja
Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun
Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan
Agung di Imogiri.

[sunting] Terpecahnya Kesultanan Cirebon


Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan
Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti
Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa
kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat
itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka
kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa
kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan
Cirebon.
[sunting] Perpecahan I (1677)

Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon,
dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan
para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya
adalah:

• Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh


Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
• Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
• Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran
Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya
ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan
Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan
penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat
menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar
para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak
tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan
menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada,
akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku
jabatan itu sebagai pejabat sementara.

[sunting] Perpecahan II (1807)

Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa
pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah
seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun
kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan
keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda
yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun
1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar
sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu
penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.
Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama
Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

[sunting] Masa kolonial dan kemerdekaan


Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur
dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton
Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-
tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi
dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup
luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb.
1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.

Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan
Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif
masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

[sunting] Perkembangan terakhir


Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat
dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton
yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di
wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara
dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival
Keraton Nusantara (FKN).

Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling
penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton
Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah
Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara
Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk
pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan
menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.

[sunting] Lihat pula


• Kota Cirebon
• Kabupaten Cirebon

[sunting] Referensi
• Wildan, H.Dadan, Dr. M.Hum, Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat,
Edisi Selasa, 8 Juni 2004 [1]
• Permana, Aan Merdeka, Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran
Rakyat, Edisi Kamis 17 Juni 2004 [2]
Kesultanan Mataram
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Nagari Mataram
[[Kesultanan Pajang|← ]] 1588–1681 [[Kasunanan Kartasura| →]]

Kota Gede (1588-


1613)
Ibu kota
Kerta (1613-1647)

Pleret (1647-1681)
Bahasa Jawa
Agama Islam
Pemerintahan Monarki absolut
Panembahan, Susuhunan (Sunan), Sultan
Panembahan
- 1588-1601; t. 1584
Senopati
Susuhunan Ing
Ngalogo (Paku
- 1677-1681 Buwono I);
Hamangku Rat II
(pengasingan)
Sejarah
- wafat Sultan III
1588
Pajang
- Pemberontakan
Trunajaya/Penaklukan
28 November 1681
Susuhunan Ing
Ngalogo
Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah
Perang Diponegoro. Pada peta ini terlihat bahwa Kasunanan Surakarta memiliki banyak
enklave di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan wilayah Belanda. Mangkunagaran juga
memiliki sebuah enklave di Yogyakarta. Kelak enklave-enklave ini dihapus.

Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada
abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng
Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa
Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di
"Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas
jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki
Ageng Pemanahan.

Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan
sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk
mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus
menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.

Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim.
Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung
Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan
hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas
administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.

Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Masa awal
• 2 Sultan Agung
• 3 Terpecahnya Mataram
• 4 Peristiwa Penting
• 5 Lihat pula

• 6 Pranala luar

[sunting] Masa awal


Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan
gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat
ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah
yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto
sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di
Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di
Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar
Prabu Hanyokrowati.

Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena
kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan
Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di)
Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang
bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf
sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.

[sunting] Sultan Agung


Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau
lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk
mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-
kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi
kraton ke Kerta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Kerta"). Akibat terjadi
gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di
Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan
terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat
(dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat
(Amangkurat I).

[sunting] Terpecahnya Mataram


Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain
itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau
"Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak
ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di
Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya,
Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana
banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton
dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton
yang lama dianggap telah tercemar.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708),


Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749).
VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC
mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja
dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi
"king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan
Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian
Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar,
Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah.
Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.

[sunting] Peristiwa Penting


• 1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang
Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
• 1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
• 1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya,
putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar
"Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
• 1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda
diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
• 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar
"Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama
Pengatur Kehidupan Beragama.
• 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang
bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan
Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
• 1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo
Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas
Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma
atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau
menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an
beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga
Abdurrahman"
• 1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
• 1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram,
yang dimanfaatkan oleh VOC.
• 1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I
mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di
pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret
mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
• 1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
• 1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
• 1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi
Susuhunan Amangkurat III.
• 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku
Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III
membentuk pemerintahan pengasingan.
• 1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai
wafatnya pada 1734.
• 1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota
dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal
Perang Tahta II (1719-1723).
• 1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang
bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
• 1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II
berada dalam pengasingan.
• 1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan
pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat
(menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi
hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II
sebagai imbalan atas bantuan VOC.
• 1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di
tepian Bengawan Beton.
• 1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang
dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P.
Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung
lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua
Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
• 1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan
kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat
ditundukkan sepenuhnya pada

1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan


Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan
Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.

• 1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi


Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan
Mangkubumi-RM Said.
• 1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23
September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III
meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain
selain meratifikasi nota yang sama.
• 1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti
yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan
Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku
Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama
Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
• 1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai
penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari
Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
• 1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
• 1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
• 1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
• 1799 - Voc dibubarkan
• 1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai
penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari
Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku
Alam".
• 1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan
Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal
yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen
Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta,
dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure
dikuasai oleh Hindia Belanda.

[sunting] Lihat pula


• Sejarah Nusantara
• Kasunanan Surakarta
• Kasultanan Yogyakarta
• Kadipaten Paku Alaman
• Praja Mangkunagaran

[sunting] Pranala luar


• Menelusuri jejak-jejak situs kerajaan Mataram Islam
• Kronologi sejarah Indonesia 1670-1800 di www.gimonca.com
Sutawijaya
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Panembahan Senopati

Danang Sutawijaya (lahir: ? - wafat: Jenar, 1601) adalah pendiri Kesultanan Mataram
yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan
Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini
dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak
digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para
pujangga zaman berikutnya.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Asal-Usul
• 2 Peran Awal
• 3 Memberontak Terhadap Pajang
• 4 Memerdekakan Mataram
• 5 Menjadi Raja
• 6 Memperluas Kekuasaan Mataram
• 7 Akhir Pemerintahan

• 8 Kepustakaan

[sunting] Asal-Usul
Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai
Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja
terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga.
Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-
raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.

Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian
diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam
mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.

Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai
pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai
anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun
terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.

[sunting] Peran Awal


Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang
pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya
Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan.
Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.

Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto
raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan
tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok
Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui
kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya
sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah.

[sunting] Memberontak Terhadap Pajang


Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak
tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak
tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan
kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya
“panglima di medan perang”).

Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk
menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak
menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah
tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu
pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.

Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk


mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya
membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan
Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu
dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil
dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.

Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan
menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran
Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya
saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan
Arya Pamalad.

[sunting] Memerdekakan Mataram


Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke
Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam
keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri
dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.

Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan
untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.

Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri
memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat
dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.

Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal
dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang
membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati
sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.

[sunting] Menjadi Raja


Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia
didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan
menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.

Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena
pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi.
Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.

Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati
hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.

Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya,
ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi
raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh
Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.
Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak
mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa.
Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.

[sunting] Memperluas Kekuasaan Mataram


Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang
melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri
terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun
dapat dipisah utusan Giri Kedaton.

Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk
secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak
perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu
membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan
kakaknya itu.

Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak
menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jumena (putra bungsu Sultan
Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya.
Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke
Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri
Senapati.

Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati
sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama
Ratujalu hasil pilihan Surabaya.

Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram
dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama
Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).

Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun
dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat
dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh
sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.

Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini
dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua
Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang
kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin
langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.

[sunting] Akhir Pemerintahan


Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat
berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk
sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.

[sunting] Kepustakaan
• Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007.
Yogyakarta: Narasi
• H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
• M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
• Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius
• Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Didahului oleh: Sultan Mataram Digantikan oleh:


- 1587-1601 Hanyakrawati

You might also like