You are on page 1of 21

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah


masyarakat. Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke
fase depresi. Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri
tanpa pengobatan.Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir
dengan bunuh diri. Secara global, lima puluh persen dari penderita depresi
berpikiran untuk bunuh diri, tetapi yang akhirnya mengakhiri hidupnya ada lima
belas persen. Selain itu, depresi yang berat juga menimbulkan munculnya
berbagai penyakit fisik, seperti gangguan pencernaan (gastritis), asma, gangguan
pada pembuluh darah (kardiovaskular), serta menurunkan produktivitas. Sejak
depresi sering didiagnosis, WHO memperkirakan depresi akan menjadi penyebab
utama masalah penyakit dunia pada tahun 2020 (Sianturi, 2006).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat depresi adalah gangguan


mental yang umum terjadi di antara populasi. Diperkirakan 121 juta manusia di
muka bumi ini menderita depresi. Dari jumlah itu 5,8 persen laki-laki dan 9,5
persen perempuan, dan hanya sekitar 30 persen penderita depresi yang benar-
benar mendapatkan pengobatan yang cukup, sekalipun telah tersedia teknologi
pengobatan depresi yang efektif. Ironisnya, mereka yang menderita depresi
berada dalam usia produktif, yakni cenderung terjadi pada usia kurang dari 45
tahun. Tidaklah mengherankan, bila diperkirakan 60 persen dari seluruh kejadian
bunuh diri terkait dengan depresi (Sianturi, 2006).

Sekitar 15 persen penduduk di Indonesia diketahui mengalami depresi yang


disebabkan tekanan hidup yang semakin berat. Hal ini disampaikan Ketua Komite
Medik RS Jiwa Dr.Soeharto Heradjan, Jakarta, Dr. Gerald Mario Semen SpKJ di
sela pelatihan 140an orang dokter umum dari seluruh puskesmas di Nusa
Tenggara Barat. Hasil penelitian sebanyak 15 persen dari populasi masyarakat

1
Indonesia yang mengalami depresi - gangguan jiwa ringan. Belum termasuk
gangguan jiwa lainnya. Direktur RSJ Mataram Dr.Elly Rosila Wijaya
menyebutkan 50 persen penderita gangguan jiwa melakukan usaha bunuh diri dan
10-15 persen pasien tersebut meninggal akibat bunuh diri. ‘’Pasien dapat
teragitasi dan pengendalian impuls yang rendah jika mereka sakit,’’ ucapnya
(Khafid, 2008)

Depresi sering dianggap hal yang sepele oleh sebagian besar masyarakat.
Tetapi, jika depresi ringan tidak segera ditanggulangi, akhirnya akan menjadi
depresi berat. Bila tidak diberikan terapi dengan baik, akan membahayakan
individu yang mengalami depresi tersebut.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah seminar klinis dengan
memfokuskan pada kasus depresi.

2
ISI

A. DEFINISI
Sebelum menjelaskan tentang defenisi depresi akan lebih baik jika
membuat parameter yang jelasa antara depresi, kecemasan dan stres. Agar
perbedaan antara depresi, stres dan depresi bisa jelas serta tidak komorbid.
Stres (Sriati, 2008) menjelaskan bahwa stres adalah stimulus atau
situasi yang menimbulkan distress dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis
pada seseorang.
Sedangkan untuk kecemasan, menurut Lazarus (Trismiati, 2004)
konsep kecemasan memegang peranan yang sangat mendasar dalam teori-
teori tentang stres dan penyesuaian diri. Kecemasan (Trismiati, 2008) adalah
kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan-
perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran, dan juga
ditandai dengan aktifnya system saraf pusat.
Depresi merupakan salah satu gangguan mood (mood disorder).
Depresi sendiri adalah gangguan unipolar, yaitu gangguan yang mengacu
pada satu kutub (arah) atau tunggal, yang terdapat perubahan pada kondisi
emosional, perubahan dalam motivasi, perubahan dalam fungsi dan perilaku
motorik, dan perubahan kognitif (Nevid dkk, 2005)
Depresi adalah gangguan penyesuaian diri (gangguan dalam
perkembangan emosi jangka pendek atau masalah-masalah perilaku, dimana
dalam kasus ini, perasaan sedih yang mendalam dan perasaan kehilangan
harapan atau merasa sia-sia, sebagai reaksi terhadap stressor) dengan kondisi
mood yang menurun (Wenar & Kerig, 2000).
Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila
kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial
sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu gangguan depresi
(www.id.wikipedia.org).

3
Depresi Mayor adalah suatu gangguan mood yang parah yang ditandai
oleh episode-episode depresi mayor, individu mengalami salah satu diantara
mood depresi (merasa sedih, putus asa, terpuruk) atau kehilangan minat atau
rasa senang dalam semua atau berbagai aktivitas untuk periode waktu paling
sedikit 2 minggu (Nevid dkk, 2005).
Depresi Mayor merupakan gangguan yang lebih berat, membutuhkan
lima atau lebih symptom-simptom selama dua minggu, salah satunya harus
ada gangguan mood, atau ketidaksenangan pada anak-anak (Wenar & Kerig,
2000).
Sedangkan episode depresi berat menurut kriteria DSM-IV-TR, dalam
Durand dan Barlow (2006), adalah suasana perasaan ekstrem yang
berlangsung apling tidak dua minggu dan meliputi gejala-gejala kognitif
(seperti perasaan tidak berharga dan tidak pasti) dan fungsi fisik yang
terganggu (seperti perubahan pola tidur, perubahan nafsu makan dan berat
badan yang signifikan, atau kehilangan banyak energi) sampai titik dimana
aktivitas atau gerakan yang paling ringan sekalipun membutuhkan usaha yang
luar biasa besar.
Dari beragam definisi tentang depresi, penulis cenderung menyepakati
definisi yang dibuat oleh Nevid (2005) yang mengemukakan bahwa depresi
merupakan gangguan unipolar, yaitu gangguan yang mengacu pada satu kutub
(arah) atau tunggal, yang terdapat perubahan pada kondisi emosional,
perubahan dalam motivasi, perubahan dalam fungsi dan perilaku motorik, dan
perubahan kognitif.

B. SEBAB-SEBAB
1. Biologis
Suatu bidang pengetahuan yang semakin berkembang
mengimplikasikan faktor-faktor genetis pada gangguan mood. Kita
mengetahui bahwa gangguan mood, termasuk depresi mayor dan

4
gangguan bipolar cenderung menurun pada keluarga. Namun, bukti
yang mengacu pada suatu dasar genetis untuk gangguan mood berasal
dari penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa semakin dekat
hubungan genetis yang dibagi seseorang dengan orang lain yang
menderita suatu gangguan mood mayor (depresi mayor atau ganguan
bipolar), semakin besar kecenderungan bahwa orang tersebut juga
akan menderita suatu gangguan mood mayor (Nevid dkk, 2005).
Penelitian awal mengenai dasar penyebab biologis dari depresi
berfokus pada berkurangnya tingkat neurotransmiter dalam otak, pada
tahun 1950-an. Penemuan yang dilaporkan pada masa itu adalah
pasien hipertensi (tekanan darah tinggi) yang meminum obat reserpine
sering menjadi depresi. Reserpine menurunkan suplai dari berbagai
neurotransmiter di dalam otak, termasuk norepinephrine dan
serotonin. Kemudian muncul penemuan bahwa obat-obatan yang
menaikkan tingkat neurotransmiter seperti norepinephrine dan
serotonin di otak dapat mengurangi depresi (Nevid dkk, 2005).
Metode lain dari penelitian berfokus pada kemungkinan
abnormalitas dalam korteks prafrontal (preforontal cortex), area dari
lobus frontal yang terletak di depan area motorik. Peneliti menemukan
bukti dari aktivitas metabolism yang lebih rendah dan ukuran korteks
prefrontal yang lebih kecil pada diri orang yang secara klinis
mengidap depresi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
sehat. Korteks prefrontal terlibat dalam pengaturan neurotransmiter
yang dipercaya terlibat dalam gangguan mood, termasuk serotonin dan
norepinephrine, sehingga tidak mengagetkan bila bukti menunjukkan
ketidakteraturan pada bagian otak ini (Nevid dkk, 2005).

2. Psikologis

5
a. Faktor kepribadian premorbid. Tidak ada satu kepribadian atau
bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap
depresi. Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat
mengalami depresi, walaupun tipe-tipe kepribadian seperti oral
dependen, obsesi kompulsif, histerik mempunyai risiko yang besar
mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya
b. Kehilangan harga diri. Depresi sebagai suatu efek yang dapat
melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam
dirinya. Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak
hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan
mereka putus asa
c. Teori kognitif menurut A.T. Beck menunjukkan perhatian
gangguan kognitif pada depresi. Beck mengidentifikasikan 3 pola
kognitif utama pada depresi yang disebut sebagai triad kognitif,
yaitu pandangan negatif terhadap masa depan, pandangan negatif
terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu,
bodoh, pemalas, tidak berharga, pandangan negatif terhadap
pengalaman hidup (Durand dan Barlow, 2006).
d. Learned Helplessness. Teori Seligman mengatakan bahwa orang
menjadi cemas dan depresi ketika membuat atribusi bahwa mereka
tidak memiliki kontrol atas stres dalam kehidupannya baik sesuai
kenyataan maupun tidak (Durand dan Barlow, 2006).

3. Sosial
Peristiwa hidup yang penuh tekanan, seperti kehilangan
seseorang yang dicintai atau lama menganggur. Kurangnya
reinforcement. Interaksi yang negatif dengan orang lain menghasilkan
penolakan. Selain hal tersebut ada beberapa hal yang dapat memicu
terjadinya depresi yaitu hubungan perkawinan yang tidak memuaskan,

6
kurangnya dukungan sosial dari orang-orang terdekat (Durand dan
Barlow, 2006).

4. Spiritual

Depresi dapat terjadi karena rendahnya kadar kagamaan dalam


diri seseorang. Orang yang kadar imannya atau ketakwaannya rendah,
cenderung lebih mungkin menderita depresi karena kurangnya
pegangan hidup. Tanpa pegangan hidup yang berupa kaidah-kaidah
keagamaan, kehidupan seseorang akan terombang ambing tak
menentu, dan dapat mengakibatkan kekurang-mampuan dalam
menghadapi tantangan, sehingga dapat menimbulkan depresi. Sebab-
sebab yang di kemukakan di atas saling berkaitan satu dengan lainnya,
dan semuanya bermuara pada diri individu masing-masing (Sivalintar,
sivalintar.tripod.com/sebab_depresi.html).

C. PERSPEKTIF ALIRAN-ALIRAN
1. Psikodinamika
Teori psikodinamika klasik mengenai depresi dari Freud dan
para pengikutnya meyakini bahwa depresi mewakili kemarahan yang
diarahkan ke dalam diri sendiri dan bukan terhadap orang-orang yang
dikasihi. Rasa marah dapat diarahkan kepada self setelah mengalami
kehilangan yang sebenarnya atau ancaman kehilangan dari orang-
orang yang dianggap penting ini (Nevid dkk, 2005).
Menurut pandangan ini, gangguan bipolar mewakili dominansi
yang berubah-ubah dari kepribadian individu antara ego dan superego.
Dalam fase depresi, superego adalah dominan, memproduksi
kesadaran yang berlebihan atas kesalahan-kesalahan dan membanjiri

7
individu dengan perasaan bersalah dan ketidakberhargaan (Nevid dkk,
2005).
Model psikodinamika terbaru lebih terfokus pada isu-isu yang
berhubungan dengan perasaan individual akan self-worth atau self-
esteem. Suatu model, yang disebut model self-focusing,
mempertimbangkan bagaimana mengalokasikan proses atensi mereka
setelah suatu kehilangan (kematian orang yang dicintai, kegagalan
personal, dll). Menurut model ini, orang yang mudah terkena depresi
mengalami suatu periode self-examination (self-focusing) yang intens
setelah terjadinya suatu kehilangan atau kekecewaan yang besar.
Mereka menjadi terpaku pada pikiran-pikiran mengenai objek atau
tujuan penting yang hilang dan tetaap tidak dapat merelakan harapan
akan entah bagaimana cara mendapatkannya kembali (Nevid dkk,
2005).
2. Humanistik
Menurut kerangka kerja humanistik, orang menjadi depresi
saat mereka tidak dapat mengisi keberadaan mereka dengan makna
dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan autentik yang menghasilkan
self-fulfillment. Kemudian dunia dianggap menjadi tempat yang
menjemukkan. Pencarian orang akan makna memberikan warna dan
arti bagi kehidupan mereka. Perasaan bersalah dapat timbul saat orang
percaya bahwa mereka tidak membangkitakn potensi-potensi mereka.
Mereka dapat meningkatkan suatu perasaan suram yang terekspresikan
dalam perilaku depresi – kelelahan, mood yang murung, dan menarik
diri (Nevid dkk, 2005).
Humanistik juga berfokus pada hilangnya self-esteem yang
dapat muncul saat orangg kehilangan teman atau anggota keluarga,
ataupun mengalami kemunduran atau kehilangan dalam pekerjaan.
Depresi adalah konsekuensi yang sering terjadi dari kehilangan seperti

8
itu, terutama jika kita mendasarkan self-esteem kita pada peran
pekerjaan atau kesuksesan (Nevid dkk, 2005).
3. Behavioristik
Dalam perspektif teori belajar lebih kepada faktor-faktor
situasional, seperti kehilangan reinforcement positif. Kita memiliki
kinerja terbaik saat tingkat reinforcement sepadan dengan usaha kita.
Perubahan pada frekuensi atau efektivitas reinforcement dapat
mengubah keseimbangan sehingga kehidupan menjadi tidak berharga.
Saat reinforcement berkurang, orang akan merasa tidak termotivasi
dan depresi, yang dapat menyebabkan ketidakaktifan dan nantinya
semakin mengurangi kesempatan untuk mendapatkan reinforcement
(Nevid dkk, 2005)
4. Kognitif
Model kognitif Beck berfokus pada peran berpikir yang negatif
atau terdistorsi dalam depresi. Orang yang rentan mengalami depresi
memegang keyakinan yang negatif terhadap dirinya sendiri,
lingkungan, dan masa depan. Segi tiga kognitif dari depresi ini
menghasilkan kesalahann tertentu dalam berpikir, atau distorsi
kognitif, dalam berespons pada peristiwa negatif, yang pada gilirannya
akan menyebabkan depresi (Nevid dkk, 2005).
5. Learned Helplessness (teori ketidakberdayaan)
Model ketidakberdayaan yang dipelajari didasarkan pada
keyakinan bahwa orang dapat menjadi depresi saat mereka mulai
memandang dirinya sendiri sebagai tidak berdaya untuk mengontrol
reinforcement yang terdapat dalam lingkungan mereka atau untuk
mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Suatu versi yang
diformulasikan kembali dari teri tersebut menganggap bahwa cara di
mana seseorang menjelaskan suatu peristiwa –atribusi mereka-

9
menentukan kerentanannya terhadap depresi dalam menghadapi
peristiwa yang negatif (Nevid dkk, 2005).

D. GEJALA
Berdasarkan DSM IV-TR gejala depresi adalah sebagai berikut :
1. Lima (atau lebih) gejala berikut diteruskan selama periode 2 minggu yang
sama dan menunjukkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya; paling
kurang satu gejala dari salah satu mood depresi atau dua kehilangan minat
atau kesenangan.
Catatan : jangan masukkan gejala yang jelas disebabkan oleh suatu
kondisi medis umum atau waham atau halusinasi yang sesuai mood.
a. Mood depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari seperti yang
ditunjukkan baik oleh laporan subjektif (misalnya, perasaan sedih atau
kosong) maupun pengamatan yang dilakukan oleh orang lain
(misalnya, tampak sedih).
Catatan : pada anak-anak dan remaja dapat berupa mood yang iritabel
(mudah kesal).
b. Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua atau
hampir semua, aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari
(seperti yang ditunjukkan baik oleh laporan subjektif maupun
pengamatan yang dilakukan oleh orang lain).
c. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau
penambahan berat badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari
5% sebulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir
setiap hari.
Catatan : Pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk mencapai
peningkatan berat badan yang diharapkan.
d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.

10
e. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati
oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif tentang adanya
kegelisahan atau menjadi lamban).
f. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari.
g. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan yang
tidak sesuai (yang dapat berupa waham) hampir setiap hari (bukan
hanya menyalahkan diri sendiri atau bersalah karena sakit).
h. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau
keragu-raguan, hampir setiap hari (baik oleh laporan subjektif maupun
yang diamati oleh orang lain).
i. Pikiran tentang kematian yang berulang (tidak hanya ketakutan akan
kematian), ide bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik,
atau percobaan bunuh diri atau rencana khusus untuk melakukan
bunuh diri.
2. Gejala tidak memenuhi kriteria Episode Campuran.
3. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau
gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi bidang penting
lainnya.
4. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya,
penyalahgunaan zat pengobatan) atau suatu kondisi medis umum
(misalnya, hipotirodisme).
5. Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh berduka yaitu setelah kehilangan
orang yang dicintai, gejala menetap lebih lama dari 2 bulan atau ditandai
oleh gangguan fungsional yang nyata, preokupasi morbid dengan perasaan
tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik atau retardasi psikomotor.

E. ONSET
Onset seseorang untuk menderita depresi pada populasi umum
berkisar antara umur 20 dan 40 tahun (dewasa muda), sedangkan DSM-IV

11
menyatakan bahwa usia rerata onset depresi pada populasi umum adalah
pertengahan 20-an (Kandouw, dkk, 2007).
Dalam Durand dan Barlow (2006), umur rata-rata onset gangguan
depresi berat adalah 25 tahun di dalam komunitas sampel subjek yang tidak
menerima penanganan dan 29 tahun untuk pasien-pasien yang menerima
penanganan. Tetapi, menurut Kessler dan kawan-kawan (2003) dalam Duran
dan Barlow (2006) umur rata-rata onset ini tampak cenderung menurun.

F. PREVALENSI
Prevalensi seumur hidup dari gangguan depresi dalam Durand dan
Barlow (2006) adalah sebagai berikut :

Umur Prosentase
18-29 5,0
30-44 7,5
45-64 4,0
65+ 1,4

Jenis Kelamin Prosentase


Laki-laki 2,6
Perempuan 7,0

Umur Prosentase
Kulit putih 5,1
Kulit hitam 3,1
Hispanik 4,4
Total 4,9

Gangguan tidak terlalu sering terjadi pada anak-anak dibanding pada


orang dewasa tetapi prevalensinya meningkat tajam pada masa remaja dan

12
jika terjadi, depresi itu lebih sering dibanding orang dewasa (Kashani, Hoeper,
Beck, dan Corcoran, 1987; Lewinsohn, dkk, 1993; Compas, Brooks-Gunn,
Stemmler, dan grant, 1993).
Depresi dengan onset terlambat berhubungan dengan kesulitan tidur
yang nyata, hipokondiasis dan agitasi. Prevalensi gangguan depresi berat pada
orang lanjut usia sama atau sedikit lebih rendah dibanding prevalensi dalam
populasi secara umum. Ini mungkin disebabkan karena peristiwa stressfull
dan memicu episode depresif cenderung berkurang dengan semakin
bertambahnya umur (Durand dan Barlow, 2006).
Di sebuah desa orang Amerika asli, prevalensi seumur hidup untuk
gangguan perasaan yang sebagian disebabkan oleh depresi sebesar 19,4%
pada laki-laki dan 36,7% pada perempuan dan 28% secara keseluruhan.
Kondisi sosial dan ekonomi yang memprihatinkan memenuhi semua kondisi
untuk stress kehidupan yang berat dan kronis yang berkaitan erat dengan onset
gangguan depresi berat (Durand dan Barlow, 2006).
Wanita memiliki kecenderungan hamper dua kali lipat lebih besar
daripada pria untuk mengalami depresi mayor (APA, 2000; Blazer dkk., 1994;
Kessler dkk., 1994). Perbedaan dalam risiko relative antara pria dan wanita
bermula pada awal usia remaja dan bertahan hingga paling itdak usia
pertengahan 50 (Barefoot dkk., 2001; Kessler dkk., 1993). Sebuah diskusi
panel yang diselenggarakan oleh American Psychological Association (APA)
menyatakan bahwa perbedaan gender sebagian besar disebabkan oleh lebih
banyaknya jumlah stress yang dihadapi wanita dalam kehidupan kontemporer.
Misalnya wanita lebih cenderung menghadapi factor-faktor kehidupan yang
penuh penganiayaan fisik dan seksual, kemiskinan, orang tua tunggal. Dan
diskriminasi gender (Goleman,1990; McGrath dkk., 1990).
Perbedaan dalam gaya coping juga dapat membantu menjelaskan
tentang kerentanan wanita untuk terkena depresi. Terlepas dari apakah factor-
faktor yang memicu depresi itu biologis, psikologis, atau social; respon

13
coping seseorang dapat menambah atau mengurangi keparahan dan durasi dari
episode depresi. Nolen dan kolega-koleganya dalam Durand dan Barlow
(2006) menyatakan bahwa pria lebih cenderung untuk mengalihkan pikiran
mereka saat depresi, seperti beralih ke alkohol sebagai self-medication,
sementara wanita lebih cenderung memperbesar depresi dengan merenungkan
perasaan mereka dan kemungkinan penyebabnya.

G. TERAPI
Terapi yang dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat depresi adalah
terapi kognitif perilaku. Dengan terapi kognitif perilaku terjadi perubahan
pikiran negatif menjadi pikiran positif, mampu menciptakan aktivitas
menyenangkan, mampu mengidentifikasi pikiran positif dan negatif serta
mampu bersikap asertif dan meningkatkan kualitas hidup (Haeba dan
Moordiningsih, 2009).
Selain itu, dengan Coping With Depression (CWD-A) yang termasuk
dalam pemberian intervensi Cognitive – Behavioral Therapy (CBT). Terdapat
beberapa aspek-aspek yang diukur mealui kuisioner terkait, yaitu
Demographic Variables (sex, age, and race/ethnicity), Depression Spesific
Psychopathology Factors (age of first MDD (Major Depressive Disorder)
onset, number of prior MDD episodes, depression severity, suicidal ideation),
Broader Psychopathology Factors (current ADHD, current substance
disorder, durrent anxiety disorder, functional impairment, and parent report
of problem behaviors), CBT-Specific Psychosocial Factors (negative
thoughts, dysfunctional attitudes, hopelessness during the past week and
frequency of pleasant events), dan Resiliency Psychosocial Factors (social
adjustment, family cohesion, and coping skills) (Rohde, Seeley, Kaufman,
Clarke, dan Stice, 2006).
Hal tersebut sama dengan yang telah disebutkan dalam Nevid dkk
(2005), yaitu terapi behavioral berfokus pada membantu orang dengan

14
meningkatkan frekuensi reinforcement dalam kehidupan mereka melalui cara-
cara seperti meningkatkan jumlah aktivitas yang menyenangkan dimana
mereka berpartisipasi dan membimbing mereka dalam mengembangkan
keterampilan social yang lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan
mereka dalam memperoleh reinforcement sosial dari orang lain. Misalnya,
program terapi kelompok dengan 12 sesi selama 8 minggu yang
diorganisasikan sebagai suatu kursus, Coping With Depression (CWD)
Course.
Terapi dapat juga dengan pemberian obat-obatan antidepresan dan
mengkombinasikannya dengan pemberian treatment lainnya. Monroe dkk
(2006), pasien yang mengalami gangguan diberikan treatment bulanan yaitu,
Maintenance Interpersonal Psychotherapy (IPT-M), IPT-M dengan
impiramine (obat andtidepresan), IPT-M dengan placebo, impiramine dan
check up secara rutin ke klinik, dan placebo dengan check up secara rutin ke
klinik. Melakukan pengobatan secara aktif, dapat mengurangi kemungkinan
gangguan depresi berulang.
Nevid dkk (2005) menyatakan bahwa obat-obatan anti depresan dapat
meningkatkan tingkat (berfungsinya) otak dan mungkin fungsi dari
neurotransmitter, walaupun memiliki efek tunda, biasaya membutuhkan
beberapa minggu (rata-rata 2-8 minggu) penanganan sebelum suatu manfaat
terapeutik dicapai. Durand-Barlow (2006) menjelaskan, adanya efek samping
ketika mengkonsumsi obat-obatan anti depresan seperti penglihatan kabur,
mulut kering, konstipasi, kesulitan buang air kecil, mengantuk, berat badan
bertambah dan mungkin disfungsi seksual. Berdasarkan analisis rangkuman
dari lebih dari 100 studi (American Psychiatric Association, 2000; Depression
Guideline Panel, 1993), tricyclic (imipramine, amitriptyline, desipramine, dan
doxepin) mengurangi depresi pada kira-kira 50% pasien dibanding dengan
dengan kira-kira 25%-30% yang minum pil placebo.

15
Psikoterapi interpersonal yaitu piskoterapi yang fokus pada hubungan
interpersonal untuk meningkatkan hubungan dan kemampuan komunikasi
serta konsep diri individu. Penekanannya adalah disini dan sekarang dan pada
masalah spesifik bahwa pengalaman orang-orang depresi pada masa sekarang.
Individu diajarkan cara mengatasi masalah-masalah hidup dan keadaan
depresi dengan belajar perilaku adaptif baru untuk meningkatkan ketrampilan
interpersonal dan komunikasi, terapis interpersonal cenderung fokus pada
empat masalah potensial dalam pengalaman hidup orang depresi yaitu
kesedihan, perselisihan peran interpersonal, peran transisi, dan deficit
interpersonal.
Pendekatan herbal yaitu dengan St John’s Wort bunga berwarna
kuning, umumnya tumbuh di alam liar. Obat herbal ini diyakini oleh banyak
orang menjadi pengobatan yang efektif untuk beberapa bentuk depresi.
Terapi tertawa, sebagaimana penelitian yang telah dilakukan
Nugraheni (Sulistyowati, 2009) tentang pengaruh tertawa terhadap depresi
pada usia lanjut di Wirosaban. Tingkat depresi sesudah dilakukan terapi
tertawa sebagian besar tidak terjadi depresi.
Terapi dari pandangan psikoanalisis, terapi ini menyelediki jiwa
pasien serta membawa impuls-impuls dan perilaku bawah sadar pasien ke
permukaan.
Terapi musik klasik, penelitian ini dilakukan oleh Jumiatun
(Sulistiyowati, 2009) yang menunjukkan adanya perbedaan perilaku antara
sebelum dan sesudah diberikan terapi musik klasik pada pasien.

H. PREVENSI

16
Sekarang ini usaha-usaha pencegahan depresi untuk para remaja dan
anak-anak sudah mulai dilakukan. Usaha-usaha pencegahan tersebut bisa
dilakukan dengan cara penanaman ketrampilan sosial dan ketrampilan untuk
mengatasi masalah pada anak-anak yang cukup adekuat untuk mencegah
timbulnya depresi (Durand dan Barlow, 2006). Dalam Durand dan Barlow
(2006), Sanders, dkk (1992) menyatakan bahwa komunikasi yang terganggu
dan kurangnya ketrampilan untuk mengatasi masalah, terutama dalam
keluarga, merupakan cirri khas anak-anak yang mengalami depresif dan
menjadi target yang wajar bagi intervensif preventif.
Cara lain untuk mencegah depresi yaitu membangun kepercayaan diri,
berpikir optimis, melakukan hal-hal yang disukai, mengembangkan sisi
spiritual, banyak tertawa karena tertawa juga merangsang otak untuk
memproduksi leboh banyak endolfin yakni hormon pembawa rasa hormon
selain hal-hal tersebut cara pencegahan yang tidak kalah pentingnya adalah
pola hidup sehat yang mencakup pola makan sehat, istirahat cukup serta
olahraga ( Hadi, 2004).

I. KUALITAS HIDUP
Kualitas hidup pasien depresi mengalami penurunan dibandingkan
pasien tanpa depresi. Semakin tinggi tingkat depresi maka semakin buruk
kualitas hidupnya (Wijaya, 2005).
Monroe et all (2006) menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa hidup yang lebih
serius (berat) akan memicu timbulnya gangguan depresi berulang, karena
ketika individu tersebut menghadapi peristiwa-peristiwa hidup yang lebih
serius itu akan merasa stres dan stres merupakan awal munculnya depresi.
Dan ternyata tidak menutup kemungkinan bahwa individu yang mengalami
peristiwa-peristiwa hidup yang tidak berat juga bisa memicu munculnya
gangguan depresi berulang. Hanya saja, individu yang berada dibawah

17
pengaruh obat-obatan (mengalami terapi obat-obatan) lebih mungkin memicu
munculnya gangguan depresi berulang dibanding yang tidak.

J. AL-QURAN
1. … hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi
itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta
mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja…" (QS. At Taubah, 9:118)
2. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah. (QS, An.nisa, 4:28)
3. Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya
berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan
apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa. (QS. Al-Isra 17:
83)

18
KESIMPULAN

Ketika seseorang mengalami gangguan mood atau lebih khususnya mengalami


gangguan depresi yang mana terjadi perubahan dalam kondisi emosional, fungsi
motorik, kogintif serta motivasinya dan jika tidak segera diberi penanganan maka
akan memicu timbulnya gangguan depresi mayor satu episode dan depresi mayor
baerulang. Apabila hal tersebut terjadi maka itu akan lebih susah untuk ditangani dan
akan berujung pada bunuh diri.

Ada beberapa sebab-sebab yang dapat menimbulkan depresi yaitu dari sisi
biologis karena adanya ketidakseimbangan otak yaitu berkurangnya neurotransmitter,
dari sisi psikologis yaitu karena adanya kepribadian-kepribadian yang rentan
terhadapa timbulnya depresi, dari sisi sosial karena keadaan lingkungan-lingkungan
sekitar yang tidak mendukung berlangsungnya kehidupan yang baik dan dari sisi
spiritual adalah kurangnya keimanan dan ketakwaan.

Penulis merekomendasikan hal-hal yang terkait dengan perbaikan tulisan agar


lebih baik ke depannya yaitu memperbanyak referensi serta penulisan topik lebih
dikhususkan sehingga penjabarannya akan lebih jelas.

19
DAFTAR PUSTAKA

Durand, V. Mark, & Barlow, David H. (2006). Psikologi Abnormal. Edisi


Keempat. Jilid Pertama. Jogjakarta : Pustaka Pelajar
Hadi, Pranowo. (2004). Depresi dan Solusinya. Cetakan pertama. Jogjakarta :
Tugu Publisher

Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Beverly. (2005). Psikologi
Abnormal. Edisi Kelima. Jilid Pertama. Jakarta : Penerbit Erlangga

Wenar, Charles, Kerig, Patricia. (2000). Developmental Psychopathology : From


Infancy Through Adolenscence. Fourth Edition. Singapore : Mc Graw-Hill
Companies, Inc.

Haeba, Haerani Nur, & Moordiningsih. (2009). Terapi Kognitif Perilaku dan
Depresi Pasca Melahirkan. Jurnal Intervensi Psikologi, 1, 41-68.

Monroe, et all. (2006). Life Stress and The Long-Term Treatment Course of
Recurrent Depression : III. Nonserve Life Events Predict Recurrence for
Medicated Over 3 Years. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 74,
112-120.

Rohde, Seeley, Kaupman, Clarke, and Stice. (2006). Predicting Time to Recovery
Among Depressed Adolescent Treated in Two Psychosocial Group
Interventions. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 74, 80-88.

20
Allen, et all. (2006). A Social-International Model of the Development of
Depressive Symptoms in Adolescence. Journal of Counseling and Clinical
Psychology, 74, 55-65.

Kandouw, dkk. (2007). Proporsi Gangguan Depresi pada Penyalahguna Zat yang
Menjalani Rehabilitasi di RS Marzoeki Mahdi. Cermin Dunia Kedokteran,
156, 136-142.

21

You might also like