You are on page 1of 17

1

PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI PETANI


UNTUK REVITALISASI PERTANIAN 1

Lukman M Baga 2

A Prayer for Co-operatives


God Save Co-operatives, keep them from:
Those MANAGERS who want a co-operative to work for them, rather than for them to work for it
Those POLITICIANS who seek to use co-operative as stepping stones to power
Those GOVERNMENT that would bury co-operatives in bureaucracy
(Edgar Parnell, 1999)

1. Pendahuluan

Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) adalah komitmen dan program
Kabinet Indonesia Bersatu sebagai salah satu dari triple track strategy pembangunan
nasional, yaitu: stablilitas ekonomi makro yang mendukung pertumbuhan ekonomi 6,5
persen per tahun; pembenahan sektor riil, khususnya UMKM, untuk mampu menyerap
tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan revitalisasi sektor
pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Dengan ketiga strategi ini ditargetkan berkurangnya tingkat kemiskinan dari 16,6% tahun
2004 menjadi 8,2% tahun 2009 dan tingkat pengangguran turun dari 9,7% tahun menjadi
5,1% tahun 2009.

RPPK merupakan kebijakan yang bersifat lintas sektoral dengan komitmen penuh para
pimpinan negara untuk membangun pertanian, perikanan, dan kehutanan. Dengan
demikian, RPPK merupakan suatu momentum yang penting dalam merumuskan dan
melaksanakan usaha pembangunan pertanian secara lebih terarah, fokus dan
berkesinambungan.

1
Makalah disampaikan pada acara Seminar Revitalisasi Pertanian untuk Kesejahteraan Bangsa,
yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ilmuwan and Teknolog Indonesia (MITI) di Jakarta, 19 Juni
2005.
2
Staf Pengajar Departemen Sosial Ekonomi Pertanian IPB. Kandidat doktor pada Institute for
Co-operation in Developing Countries, Philipps University, Germany.
2

Selama kurun waktu lima tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu diharapkan
pertumbuhan sektor pertanian dapat mencapai 3,3% per tahun. Tingkat pertumubuhan ini
didukung oleh pertumbuhan sektor tanaman pangan 0,89 persen, hortikultura 3,38 persen,
perkebunan 6,27 persen, dan peternakan 4,37 persen. Untuk mencapai tingkat
pertumbuhan tersebut diperlukan investasi yang sangat besar. Target laju pertumbuhan
investasi yang ditetapkan adalah 3,4 persen, yaitu dari Rp 13,37 triliun menjadi Rp 14,40
triliun.3

Dalam merevitalisasi sektor pertanian ini, Menteri Pertanian telah menegaskan bahwa
pemerintah juga akan membenahi kerja sama petani rakyat dan petani pengusaha
(berskala besar). Pemerintah tidak akan berpihak hanya pada salah satu pihak saja,
karena masing-masing memiliki peran masing-masing, dan semua pihak memiliki hak
yang sama untuk berkembang.4

Makalah ini akan menyoroti kelembagaan petani yang juga penting untuk direvitalisasi.
Khususnya koperasi pertanian yang merupakan kelembagaan petani dengan fungsi ganda:
(1) sebagai wahana untuk meningkatkan peran dan kontribusi para petani dalam
pembangunan sektor pertanian, sekaligus (2) sebagai wahana yang memperjuangkan hak-
hak para petani dalam meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Pentingnya revitalisasi koperasi pertanian merupakan suatu keniscayaan. Di satu sisi


dikarenakan secara individu petani kita memiliki banyak kelemahan, yaitu dalam aspek
permodalan, kepemilikan sumberdaya dan kualitas sumberdaya manusia. Rendahnya
kualitas sumberdaya manusia petani ini mencakup rendahnya tingkat pendidikan,
keterampilan dan penguasaan teknologi, lemahnya motivasi untuk berkembang dan
mempertahankan hak-hak mereka, serta kurangnya jiwa kepemimpinan di kalangan para
petani itu sendiri. Berbagai kelemahan ini perlu diatasi dengan dibangunnya kekuatan
bersama di kalangan petani itu sendiri. Kekuatan yang akan melindungi individu petani
dari berbagai bentuk eksploitasi dan ketidakadilan.

Di sisi lain, pentingnya revitalisasi koperasi pertanian ini dikarenakan citra lembaga
koperasi di Indonesia sudah demikian negatif, dan membuat alergi banyak pihak terhadap
lembaga ini. Upaya untuk merevitalisasi lembaga koperasi terkait dengan penyadaran
kembali akan pentingnya lembaga ini dalam proses pembangunan pertanian yang
dicanangkan.

2. Mengapa Koperasi

3
Kompas, 19 Mei, 2005.
4
Republika on line, 7 Juni 2005.
3

Koperasi merupakan salah satu bentuk kelembagaan di antara sekian banyak kelembagaan
yang berperan dalam pengembangan sektor pertanian, seperti halnya KTNA, HKTI,
PPSKI dan berbagai bentuk asosiasi petani seperti asosiasi petani tebu, asosiasi petani
kopi, dll. Namun demikian ada suatu hal yang membedakan antara lembaga koperasi
dengan kelembagaan lainnya tersebut, yaitu pada koperasi tedapat ciri double identity.
Ciri ini menjelaskan bahwa para anggota koperasi merupakan para owner sekaligus
customer dari lembaga tersebut. Perbedaan ini terlihat dengan adanya unit usaha
ekonomi yang dimiliki dan diawasi bersama secara demokratis dengan satu tujuan yaitu
melayani kebutuhan anggota.5

Namun adanya unit usaha ekonomi ini tidak menjadikan koperasi sebagai suatu
perusahaan pada umumnya sebagaimana perusahaan swasta atau BUMN. Dengan kata
lain, dikembangkannya unit usaha pada suatu koperasi bukan menjadikan lembaga
koperasi sebagai lembaga bisnis semata. Koperasi bukan suatu perusahaan, namun
koperasi memiliki perusahaan (a co-operative is not a company, but has a company).
Dengan perusahaan yang dimiliki, koperasi berjuang untuk memperbesar usaha-usaha
yang dijalankan oleh anggotanya, bukannya untuk memperbesar usaha yang dijalankan
koperasi itu sendiri. Disamping menjalankan unit usaha, masih banyak hal lain yang
perlu mendapat perhatian sebuah koperasi, seperti halnya pendidikan anggota dan
community development.

Disinilah terlihat bahwa koperasi merupakan suatu bentuk organisasi yang unik, dimana
koperasi menjangkau sekaligus dua dimensi yang berbeda; ekonomi dan sosial. Kedua
dimensi ini menyatu pada lembaga koperasi bagaikan dua sisi mata uang yang sama.
Pentingnya kedua dimensi ini bagi koperasi terlihat pada Identitas Koperasi yang
ditegaskan kembali oleh International Co-operative Alliance (ICA) pada Kongres 100
tahun gerakan koperasi internasional pada tahun 1995 (Lihat Lampiran 1). Identitas
koperasi ini mencakup pengertian, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi.

Dalam konteks revitalisasi pertanian, peran koperasi tidak hanya terpaut pada peningkatan
produksi komoditas yang ingin dihasilkan. Namun lebih dari itu, koperasi dapat menjadi
agent of education bagi para petani agar dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam berusaha dan kehidupan bermasyarakat. Selain itu, gerakan koperasi
juga merupakan gerakan untuk pembangunan modal sosial (social capital) di kalangan
masyarakat. Hal ini menjadi sangat relevan mengingat pentingnya upaya untuk
memulihkan kohesivitas sosial bangsa Indonesia yang telah hancur diterpa badai
materialisme dan kapitalisme.6 Hancurnya kohesivitas sosial dikarenakan tindakan
5
Penjelasan lebih jauh mengenai perbedaan koperasi dengan lembaga sosial masyarakat dan
lembaga bisnis lainnya sebagaimana ditelaah oleh Hanel, 1992, h.33-42.
6
Sebagaimana analisis Adrinof Chaniago (2001) dalam bukunya “Gagalnya Pembangunan:
Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia” yang menunjukkan bahwa faktor penyebab
sulitnya pemulihan ekonomi di Indonesia setelah krisis lebih dikarenakan pada masalah kohesivitas
sosial yang telah hancur selama pemerintahan Orde Baru.
4

pragmatis pemerintah yang menjadikan pembangunan ekonomi sebagai aktivitas bisnis


yang diperebutkan oleh segelintir konglomerat, sementara nasib jutaan masyarakat
menjadi terabaikan. Sejarah gerakan koperasi internasional juga memberi pelajaran
berharga bahwa sejak awal gerakan ini telah memainkan peran penting sebagai organisasi
perjuangan rakyat melawan eksploitasi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta berupaya
untuk merubah dunia usaha yang dipenuhi dengan egoisme dan keserakahan dengan
semangat kerjasama dan solidaritas.7

3. Pentingnya Gerakan Koperasi dalam Pembangunan Pertanian

Gerakan koperasi merupakan salah satu gerakan terbesar dan tertua di dunia.
International Co-operative Alliace (ICA), merupakan organisasi puncak gerakan koperasi
internasional, mencatat keanggotaan 230 gerakan koperasi pada lebih 100 negara yang
secara total merepresentasikan lebih dari 730 juta anggota di seluruh dunia. Bidang
garapan gerakan koperasi menyebar dari sektor pertanian, perbankan, energi, industri,
asuransi, perumahan, pariwisata dan koperasi konsumsi.8

Peran penting koperasi dalam sektor pertanian banyak dijumpai baik pada negara maju
maupun negara berkembang. Pada negara-negara Eropa, koperasi pertanian merupakan
bagian terbesar dari jumlah koperasi yang ada; 44.260 koperasi atau 42,6 persent dari
jumlah koperasi, dengan total jumlah anggota sebanyak 14 juta dan memperkerjakan
720.000 pekerja. Di Jepang, gerakan koperasi pertanian menguasai 95 persen pemasaran
beras. Koperasi pertanian di Irlandia menguasai 79 persen produk pertanian. Sejumlah
14 koperasi pertanian di Amerika termasuk pada daftar perusahaan besar the Fortune 500.
Tabel 1 menunjukkan keadaan koperasi pertanian di negara masyarakat Eropa dan pangsa
pasar yang dikuasainya.

Tabel 1. Koperasi Pertanian di Negara-negara Eropa dan Pangsa Pasar yang Dikuasai

Pangsa pasar (%)


N Jumlah Jumlah
Negara Buah- Input Biji-
o Koperasi Anggota Susu Daging
Sayuran Pertanian bijian
1 Belgia NA NA 50 70-90 20-30
2 Denmark 214 113.000 93 20-25 66-93 64-59 87
3 Jerman 3.950 3.280.000 55-60 60 30 50-60
4 Yunani 6.919 782.000 20 12-51 5-30 49
5 Spanyol 4.350 950.000 35 15-40 20 20
6 Perancis 3.618 720.000 49 35-50 27-88 50-60 75
7 Irlandia 128 186.000 100 30-70 70 69
8 Itali 8.850 1.124.900 38 41 10-15 15 15
7
Lihat Münkner, 1989, h.2.
8
Mengenai informasi perkembangan koperasi internasional dapat dilihat lebih lanjut pada
International Labour Office, 2000, Promotion of Co-operatives, Report V (1). Geneva.
5

9 Luxemburg 25 80 25-30 75-95 70


10 Belanda 251 273.000 82 70-96 35 40-50
11 Austria 1.757 2.182.000 90 50 60
12 Portugis 909 800.000 83-90 35
13 Finlandia 403 1.228.500 94 68 40-60
14 Swedia 50 300.000 99 60 79-81 75 75
15 Inggris 506 271.000 98 35-45 20 20-25 20

Sumber: Van Bekkum dan Van Dijk (1997). Tahun data bervariasi antara 1991-1996.

Sementara pada banyak negara berkembang, koperasi pertanian merupakan jenis koperasi
yang sangat penting. Gerakan koperasi persusuan di India mencakup 57.000 koperasi
susu dengan 6 juta anggota. Koperasi pertanian di Uruguay memproduksi 90 persen
produksi susu dan mengekspor 70% surplus produksi terigu.

Terdapat banyak alasan yang menyebabkan koperasi menjadi suatu hal yang dibutuhkan,
bagi pengembangan sektor pertanian, di antaranya yaitu:9
1. Terlepas dari besarnya skala usaha pertanian yang dimiliki, petani pada umumnya
merupakan usaha yang relatif kecil dibandingkan dengan partner dagangnya,
sehingga petani pada umumnya memiliki posisi rebut tawar yang lemah.
2. Pasar produk pertanian umumnya dikuasai oleh pembeli yang jumlahnya relatif
sedikit dibandingkan jumlah petani yang sangat banyak.
3. Besarnya permintaan dari para pembeli produk pertanian ini umumnya baru dapat
dipenuhi dari menggabungkan volume produksi banyak petani.
4. Pengaruh aspek biologis produksi pertanian menyebabkan kualitas produksi yang
bervariasi. Hal ini dapat menyulitkan dalam proses pemasaran hasil produksi
pertanian. Disamping itu akan sangat menyulitkan bagi petani yang memasarkan
produknya secara individual.
5. Karakter sektor pertanian yang secara geographis tersebar menyebabkan hanya
sedikit kalangan petani yang berlokasi dekat dengan pasar. Hal ini juga menyebabkan
rendahnya kemampuan petani menjangkau berbagai alternatif pembeli.
6. Kualitas sumberdaya manusia petani yang umumnya relatif rendah, sehingga relatif
sulit untuk meningkatkan usahanya jika dilakukan secara individual.
7. Suasana kehidupan dan kerja para petani yang dekat dengan alam sedikit banyak
berpengaruh pada pola hidup yang mengajak masyarakat secara bersama-sama
berikhtiar untuk memecahkan masalah bersama.
Berdasarkan butir alasan di atas maka peran koperasi pertanian menjadi penting dalam
peningkatan produksi serta kesejahteraan hidup petani, dimana:

9
Bandingkan Van Bekkum and Van Dijk, 1997, h.20-21.
6

1. Melalui koperasi petani dapat memperbaiki posisi rebut tawar mereka baik dalam
memasarkan hasil produksi maupun dalam pengadaan input produksi yang
dibutuhkan. Posisi rebut tawar (bargaining power) ini bahkan dapat berkembang
menjadi kekuatan penyeimbang (countervailing power) dari berbagai ketidakadilan
pasar yang dihadapi para petani.
2. Dalam hal mekanisme pasar tidak menjamin terciptanya keadilan, koperasi dapat
mengupayakan pembukaan pasar baru bagi produk anggotanya. Pada sisi lain
koperasi dapat memberikan akses kepada anggotanya terahadap berbagai penggunaan
faktor produksi dan jasa yang tidak ditawarkan pasar.
3. Dengan bergabung dalam koperasi, para petani dapat lebih mudah melakukan
penyesuaian produksinya melalui pengolahan paska panen sehubungan dengan
perubahan permintaan pasar. Pada gilirannya hal ini akan memperbaiki efisiensi
pemasaran yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, dan bahkan kepada
masyarakat umum maupun perekonomian nasional.
4. Dengan penyatuan sumberdaya para petani dalam sebuah koperasi, para petani lebih
mudah dalam menangani risiko yang melekat pada produksi pertanian, seperti:
pengaruh iklim, heterogenitas kualitas produksi dan sebaran daerah produksi.
5. Dalam adah organisasi koperasi, para petani lebih mudah berinteraksi secara positif
terkait dalam proses pembelajaran guna meningkatkan kualitas SDM mereka.
Koperasi sendiri memiliki misi khusus dalam pendidikan bagi anggotanya.
6. Berdirinya koperasi sekaligus membuka lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi
para petani anggota maupun masyarakat di sekitarnya.

Dalam konteks pengembangan sistem agribisnis komoditas, peran koperasi pertanian


dapat dijumpai tidak hanya dalam konteks pengembangan sub-sistem budidaya (on-farm)
dan sub-sistem hulu (input factor supplies) serta sub-sistem hilir (processing dan
marketing), namun juga mengembangkan sub-sistem penunjang. Pada sub-sistem
penujang, koperasi dapat berperan koperasi dalam pengembangan sumberdaya manusia
petani, transfer teknologi, ketersediaan permodalan dan asuransi, dan sebagai advokator
negosiator terdepan dalam pembentukan regulasi yang melindungi nasib petani.

4. Koperasi Pertanian di Indonesia

Istilah koperasi pertanian pernah tercatat dalam sejarah perkoperasian Indonesia,10 yaitu
sebelum dicanangkannya KUD sebagai satu-satunya koperasi yang diizinkan beroperasi
di pedesaan pada tahun 1984. Hak monopoli KUD di pedesaan ini menyebabkan

10
Istilah Koperasi Pertanian digunakan sebelum tahun 1974. Dengan keluarnya Inpres 4/1973 tentang Unit
Desa, menyebabkan istilah ini tidak digunakan lagi, karena baik Koperasi Pertanian bersama dengan
Koperasi Desa digabungkan menjadi Badan Usaha Unit Desa yang merupakan cikal bakal berdirinya
KUD (lihat Djohan, 1997, hal 55-64).
7

kedekatannya dengan sektor pertanian. Dalam pembentukkan KUD lebih banyak


diinisiasi oleh pemerintah (top-down), dan dalam aktivitas usahanya banyak menjadi alat
perpanjangan tangan pemerintah dalam pelaksanaan program pengembangan ekonomi
pedesaan.
Seiring dengan proses reformasi politik dan ekonomi maka hak monopoli KUD di
pedesaan dihapuskan dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 18 tahun 1998. Hal ini
menyebabkan KUD dipaksa untuk mandiri dan sekaligus harus siap berkompetisi dengan
pelaku-pelaku ekonomi baru di wilayah pedesaan. Banyak KUD mengalami kesulitan
dalam posisinya yang baru. Antara tahun 1997 sampai 2000 terjadi penurunan jumlah
KUD sebesar 15 persen yaitu dari 8.427 menjadi 7.150 buah.
Ironisnya semangat pemerintah dalam membangun koperasi pada dekade terakhir terlihat
sangat menurun. Pada tahun 1993 Dapartemen Koperasi “dianugrahkan” tambahan
pekerjaan yang luar biasa besarnya untuk sekaligus membina Usaha Kecil dan Menengah,
yang berjumlah sekitar 39 juta unit. Beban tugas baru ini cukup mereduksi perhatian
pemerintah dalam pengembangan koperasi. Apalagi setelah dilakukan perubahan struktur
departemen koperasi menjadi kementerian negara pada tahun 1999, dimana anggaran
yang disediakan untuk pembangunan koperasi nasional menjadi sangat kecil.
Dalam konteks pengembangan sektor pertanian, pengembangan KUD yang banyak
dikemudikan dari atas menyebabkan tumpulnya manuver inovatif pengembangan
komoditas pertanian. KUD hanya berperan dalam mendistribusikan input pertanian,
namun umumnya gagal dalam memasarkan hasil produksi anggotanya. Alhasil
penerimaan petani dari hasil pertaniannya tidak mampu meningkatkan kesejahteran
mereka. Ironisnya, lembaga KUD seolah hanya menjadi binaan Departemen Koperasi.
Sementara Departemen Pertanian seolah-olah tidak terkait dengan lembaga KUD, lalu
berusaha mengembangkan kelembagaan lain di kalangan petani, baik berupa kelompok
tani, maupun asosiasi petani berbagai komoditi.
Hanya beberapa jenis koperasi yang menjadi perhatian Departemen Pertanian, yaitu
koperasi yang secara khusus mendapat izin Menteri untuk dapat terus beroperasi di
pedesaan pada era monopoli KUD. Diantara koperasi ini adalah koperasi peternak sapi
perah atau koperasi susu.

5. Pelajaran dari Pengembangan Koperasi Persusuan

Usaha peternakan sapi perah di Indonesia pada awalnya hanya berupa usaha rumah
tangga. Baru pada 1949 berdiri koperasi susu pertama di Indonesia, yaitu Gabungan
Petani Peternak Sapi Perah Pengalengan (GAPPSIP) yang diprakarsai oleh drh Soejono
dan drh Y. Hutabarat. Selajutnya pada tahun 1962 berdiri koperasi peternak bernama
SAE Pujon di Malang yang digerakkan oleh drh Memet Adinata.
Pada tahun 1963 GAPPSIP terpaksa tutup karena buruknya situasi sosial ekonomi dan
politik saat itu. Baru pada tahun 1969 di tempat yang sama kembali berdiri koperasi susu
8

dengan nama Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS). Lagi, pendirian koperasi ini
juga diprakarsai oleh seorang dokter hewan, yaitu drh Daman Danuwijaya.
Sampai dengan tahun 1978 di Propinsi Jawa Timur terdapat beberapa koperasi susu selain
SAE Pujon, yaitu KUD Batu, Koperasi Setia Kawan di Nongkojajar dan Koperasi Suka
Makmur di Grati. Namun demikian, produksi susu nasional antara tahun 1969-1978
berkembang dengan sangat lambat, dari 28.900 ton menjadi 62.300 ton. Perjalanan
koperasi persusuan di Indonesia jatuh dan bangun dihantam berbagai permasalahan,
khususnya terkait dengan masalah pemasaran susu kepada industri pengolah susu (IPS).
Koperasi susu memiliki posisi rebut tawar yang sangat lemah berhadapan dengan IPS,
baik dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan serta harga yang
diperoleh. Masalah ini muncul dikarenakan IPS menggunakan susu impor sebagai bahan
baku dan tidak mau menyerap susu domestik. Peternak yang telah berhasil diarahkan
untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri menjadi kecewa karena banyak susu
yang rusak dan harus dibuang.11
Titik balik perkembangan koperasi susu di Indonesia dimulai pada tahun 1978, dimana
terbentuknya Badan Koordinasi Koperasi Susu Indonesia (BKKSI) yang merupakan cikal
bakal GKSI yang dibentuk setahun berikutnya. Dengan kelembagaan koperasi persusuan
di level nasional, komunikasi antara gerakan koperasi persusuan dengan pemerintah
berjalan lebih baik sehingga memungkinkan berperannya subsistem penunjang agribisnis
susu di Indonesia. Beberapa permasalahan yang dihadapi koperasi susu sedikit demi
sedikit dapat diatasi dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan pemerintah, seperti
halnya penetapan kuota impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga
susu, penyediaan pakan ternak serta impor sapi perah berkualitas.
Baiknya komunikasi GKSI dengan pemerintah ini dipertegas dengan terbentuknya Tim
Koordinasi Persusuan Nasional (TKPN) yang melibatkan tujuh instansi pemerintah.
TKPN bertugas memantau perkembangan produksi dan konsumsi susu di Indonesia
Direktur Jenderal Peternakan yang saat itu dipegang oleh orang gerakan koperasi (Daman
Danuwidjaja) secara Ex-officio ditunjuk menjadi ketua TKPN. Posisi ini semakin
memungkinkan gerakan koperasi dalam melakukan terobosan yang bersifat lintas sektoral
dalam pengembangan agribisnis susu nasional berbasis koperasi.
Gambar 1. Tren Jumlah Populasi Sapi Pada Gambar 1 terlihat bahwa
Perah dan Produksi Susu (1969-1999) tingkat produksi susu yang tadinya
500
Dairy Cattle P o pulatio n (000
bergerak lamban hingga tahun 1979
400 heads): diikuti dengan petumbuhan yang
M ilk Productio n (millio n kg)
sangat pesat pada dekade 1980an.
300 Tercatat bahwa jumlah peternak sapi
perah berikut jumlah populasi sapi
200
perah berkembang hampir 40 kali
100 lipat antara tahun 1979-1989.
0 Share produksi susu dari koperasi
1969 1974 1979 1984 1989 1994 1999 terhadap produksi susu nasional

11
Sebagai contoh yang dialami KPBS Pangalengan antara tahun 1969-1979 tercatat kerusakan susu di
tingkat peternak yang harus dibuang mencapai 250.000 liter per tahun (lihat Syarief, 1997, hal.59).
9

meningkat dari sekitar 17,5% pada tahun 1979 menjadi 92,6% pada tahun 1984. Hal ini
tidak terlepas dengan dilaksanakannya kebijakan BUSEP (bukti serap) yang mewajibkan
IPS untuk menyerap susu dari koperasi. Dengan kebijakan ini ratio penyerapan susu
domestik dapat diperjuangkan menjadi 1:3,5 pada tahun 1984 dari perbandingan 1:20
pada tahun 1979. Dengan pendekatan yang baik terhadap IPS, harga susu di tingkat
peternak dinaikan menyesuaikan tingkat kebutuhan biaya hidup peternak saat itu.
Jumlah koperasi susu yang tadinya hanya 27 buah pada tahun 1979 berkembang 7 kali
lipat menjadi 198 pada tahun 1989. Demikian pula terjadi peningkatan yang signifikan
pada jumlah tenaga kerja yang terserap pada agribisnis persusuan, baik sebagai peternak
pemilik maupun sebagai pekerja (Gambar 2).
Gam bar 2: Tren Penyerapan Tenaga Kerja Namun sayangnya, Gambar 1
pada Aribisnis Susu (1979-1999)
160 menunjukkan tren yang melemah
140
dalam produksi susu pada dekade
120

100
1990-an, bahkan pada Gambar 2
80 terlihat tren yang menurun pada
60 jumah peternak dan tenaga kerja
40
yang diserap agribisnis susu. Hal
20
0 ini tidak terlepas dari melemahnya
1979 1984 1989 1994 1999
peran gerakan koperasi persusuan
Farmer
Labor dalam aktivitas sub-sistem jasa
No. of Co-ops Staffs
No. of Labor outside Co-op /KUD penunjang. Melemahnya peran ini
bisa jadi dikarenakan melemahnya
motivasi individu-individu koperasi persusuan dalam upaya terus meningkatkan kinerja
koperasi persusuan dalam agribisnis susu nasional.
Mempelajari sejarah agribisnis persusuan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, dapat
ditarik beberapa pelajaran penting, antara lain:
1. Susu merupakan komoditi yang tidak lebih mudah dikembangkan dibandingkan
komoditi agribisnis lainnya. Namun fakta menunjukkan bahwa pengembangan
agribisnis susu melalui gerakan koperasi pernah terjadi secara spektakuler pada era
1980-an. Hal ini juga mengindikasikan bahwa fokus pada single commodity sedikit
banyak berpengaruh pada pemecahan masalah yagn dihadapi oleh gerakan koperasi
pertanian.
2. Adanyan kesadaran koperasi primer persusuan untuk bekerjasama di tingkat nasional
dengan pembentukan koperasi sekunder persusuan (GKSI). Hal ini menjadi suatu
keniscayaan mengingat sebagian besar aktivitas off-farm persusuan berada di luar
wilayah pedesaan, di luar jangkauan pengelolaan koperasi primer. Terlebih lagi, tidak
sedikit dari penanganan masalah terkait aktivitas off-farm ini yang melibatkan
pengambil kebijakan di tingkat nasional.
10
Gambar 3. Peran Wirakoperasi dalam Pengembangan Sistem Agribisnis
Persusuan di Indonesia

Secondary Milk Co-operative (GKSI)

C
O Input Supply Farming Processing Marketing
0
P
Qualified human
E Intermediate Processing
R resources Transporting
A
T Primary Milk Milk
I Industries
V
Co-operatives
E
Education Willingness to absorbs
Technology Suitable price
E
N
Input Price Quality Control

T Suppliers Milk
R Commitment
E Feed, Straw, Cow,
P
Vaccine, Grass
Members Consumers
R
E
N
E
U Input Subsidies HR and Institutional Policy on : Investment, Price, Import and
R Supervised Credit development, R&D Domestic Market Development

Government as Support Sub System

3. Terbentuknya sistem koordinasi lintas sektoral dalam pembuatan kebijakan


pemerintah untuk persusuan nasional, yaitu TKPN. Proses ini merupakan langkah
strategis dalam menembus arogansi sektoral antar instansi, sehingga mampu
menghasilkan kebijakan yang bersifat terpadu dan terfokus pada pemecahan berbagai
masalah yang dihadapi oleh para peternak sapi perah dan koperasi persusuan.
4. Adanya orang-orang yang mampu membaca co-operative effect dalam pengembangan
persusuan rakyat. Selanjutnya orang-orang ini memiliki inisiatif, ketekunan dan
keberanian dalam menangkap peluang berkoperasi (co-operative opportunities) serta
berkemampuan untuk mengembangkannya dalam berbagai bentuk kesempatan usaha
yang menguntungkan banyak anggota koperasi. Dengan kata lain, terdapat orang-
orang yang berjiwa co-operative entrepreneur (wirakoperasi) dalam pengembangan
sistem agribisnis persusuan.
5. Akselerasi pengembangan agribisnis persusuan di Indoensia sangat tergantung pada
aktivitas co-operative entrepreneur ini. Menurunnya kinerja sistem agribisnis susu
dalam beberapa tahun terakhir, mengisyaratkan terjadinya penurunan kinerja para
wirakoperasi. Pada Gambar 3 dijelaskan pentingnya peran co-operative entrepreneur
dalam pengembangan sistem agribisnis secara simultan dan integratif.
11

6. Tidak sedikit dari co-operative entrepreneur yang berprofesi sebagai dokter hewan.
Hal ini mengisyaratkan dibutuhkannya suntikan sumberdaya manusia yang memiliki
idealisme, berpendidikan dan memiliki keahlian teknis dalam suatu bidang yang
terkait dengan pengembangan pedesaan.

7. Penguatan Kelembagaan Koperasi Petani


Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat ditarik implikasi penting tekait dengan
upaya memperkuat koperasi petani dalam konteks revitalisasi pertanian, yaitu:
1. Perlu adanya upaya untuk menjernihkan kembali citra koperasi di mata masyarakat.
Hal ini dapat dilakukan dengan gerakan kampanye kembali ke koperasi sebagai suatu
gerakan yang sebenarnya.
2. Disamping itu perlu dilakukan audit terhadap koperasi di sektor pertanian yang saat
ini terkategori bermasalah. Audit ini sekaligus merupakan proses penyaringan,
sehingga nantinya diperoleh hanya koperasi yang bersih dari pelanggaran. Hal ini
pada gilirannya akan mengurangi tingkat resistensi dari pihak-pihak yang selama ini
alergi dengan lembaga koperasi.
3. Pengembangan koperasi pertanian perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan
SDM dan ketersediaan sumberdaya yang ada di pedesaan. Oleh karenanya,
pengembangan koperasi single commodity menjadi suatu hal yang lebih baik, terkait
dengan ragam masalah yang harus diselesaikan, dibandingkan masalah yang dihadapi
oleh koperasi yang sekaligus menangani banyak komoditi. Pengembangan koperasi
single commodity dapat dikaitkan dengan strategi fokus pengembangan pedesan
berbasis komoditi unggulan (SPAKU atau One Village One Product).
4. Pengembangan koperasi single commodity ini perlu diikuti dengan pembentukan
koperasi sekunder di tingkat nasional dengan pendekatan subsidiaritas. Pendekatan
ini mengarahkan bahwa sesuatu yang diupayakan di tingkat sekunder merupakan hal
yang tidak dapat dilakukan secara lebih baik atau secara lebih murah oleh tingkat
koperasi di bawahnya.
5. Perlu dicetak para pemimpin koperasi pertanian melalui program pendidikan dan
pelatihan yang sistematis dan terarah. Para pemimpin koperasi ini diharapkan akan
sekaligus berperan sebagai wirakoperasi bukan sebagai manajer koperasi.
Departemen Pertanian perlu menginisiasi proses perkaderan wirakoperasi pertanian
ini dengan memperhatikan keunikan jenis komoditi dan wilayah produksi tertentu.

8. Pilar Pengembangan Wirakopeasi

Wirakoperasi merupakan suatu konsep yang relatif baru dalam pengembangan koperasi.
Para wirakoperasiwan seharusnya lahir dari kalangan insan koperasi, yaitu orang yang
memahami dan menghayati benar hakekat dan prinsip-prinsip koperasi dan berupaya
untuk mengembangkannya secara konsisten. Seorang wirakoperasi adalah orang yang
memiliki keyakinan yang tinggi bahwa koperasi merupakan satu jalan pemecahan dari
berbagai masalah pelik yang dihadapi oleh masyarakat lemah seperti halnya petani.
12

Wirakoperasi juga yakin bahwa meningkatkan kesejahteraan anggota melalui gerakan


koperasi bukanlah suatu utopi, tapi merupakan suatu hal yang achieveable.
Bagi pengembangan koperasi pertanian, wirakoperasi juga dituntut memiliki pengetahuan
dalam aspek spesifik atau komoditi yang diusahakan. Disamping itu, penguasaan aspek
teknis (teknologi) ini juga memungkinkan timbulnya dorongan positif dalam membangun
visi, misi dan strategi bagi aktivitas koperasi.
Peran seorang wirakoperasi berbeda dengan wirausaha pada umumnya. Wirakoperasi
tidak berlari sendirian, melainkan bersama dengan puluhan dan bahkan ribuan
anggotanya. Oleh karenanya, seorang wirakoperasi adalah seorang pemimpin. Pemimpin
yang diikuti anggotanya, dan juga yang mengembangkan sumberdaya yang dimiliki
anggotanya, termasuk sumberdaya manusia anggota.
Terdapat tiga pilar bagi pengembangan wirakoperasi yang satu dengan lainnya sangat
terkait. Pengembangan hanya salah satu atau dua pilar saja tidak akan menghasilkan para
wirakoperasi sebagaiamana yang dibutuhkan. Ketiga pilar ini yaitu: (1) Pemahaman yang
benar tentang lembaga koperasi yang diikuti dengan keyakinan yang tinggi bahwa
koperasi dapat diandalkan sebagai ujung tombak gerakan ekonomi rakyat, (2)
Keterampilan usaha dan pemahaman tentang teknologi yang dibutuhkan, dan (3)
Kepemimpinan altruistik (Gambar 4).

Gambar 4. Tiga Pilar Pengembangan Wirakoperasi (WK)

Pengala man Pengalaman


berkoperasi berbisnis

I II
Paham dan WK Pengetahuan /
yakin terhadap Keterampilan
koperasi bisnis dan
teknologi

Motivasi III Motivasi


mengembang- Kepemimpinan mengembang-
kan koperasi Altruistik kan bisnis

Pengembangan ketiga pilar ini sangat terkait dengan aktivitas pendidikan. Koperasi
adalah pendidikan, dimana salah satu prinsip gerakan koperasi adalah pendidikan.
Sehingga pengembangan koperasi tidak akan pernah lepas dari aktivitas pendidikan.
Atau dengan kata lain, lembaga koperasi tidak akan pernah berkembang jika tidak disertai
dengan kegiatan pendidikan. Pendidikan koperasi ditujukan kepada para pengurus,
manajer, karyawan, anggota koperasi dan masyarakat umum lainnya. Namun terkait
13

dengan pengembangan jiwa wirakoperasi, pendidikan bagi para pengurus / pemimpin


koperasi perlu mendapat prioritas.
Untuk memenuhi Pilar Pertama, pendidikan perlu ditekankan pada peningkatan
pemahaman dan keyakinan peserta didik terhadap keampuhan lembaga koperasi sebagai
alat perjuangan ekonomi rakyat. Tanpa adanya pemahaman yang tepat yang disertai
keyakinan terhadap lembaga dan mekanisme perkoperasian, maka akan sulit diharapkan
munculnya motivasi untuk mendirikan koperasi, walaupun seseorang memiliki
keterampilan bisnis dan jiwa kepemimpinan yang baik.
Upaya menumbuhkan pemahaman dan keyakinan ini perlu didahului dengan pemberian
kesan positif tentang gerakan koperasi. Misalnya dengan menggambarkan berbagai
keberhasilan gerakan koperasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kesan positif ini
berfungsi untuk menghancurkan image negatif lembaga koperasi yang steoritif dengan
lembaga usaha yang lemah dan gurem, sekaligus untuk meningkatkan motivasi altruistik
para peserta didik dalam upaya menyelamatkan perekonomian, khususnya bagi
masyarakat lemah.
Selanjutnya pendidikan diarahkan pada pengembangan keterampilan bisnis dan teknologi
yang terkait dengan jenis usaha yang dijalankan (Pilar Kedua). Aspek ini sangat
dibutuhkan dalam pengembangan usaha yang inovatif, efektif dan efisien. Namun,
penguatan pilar ini tidak boleh terlepas dari pilar pertama. Kalau tidak, pendidikan yang
dijalankan justeru akan menjadikan sumber kebocoran sdm koperasi ke luar koperasi.
Akhirnya, perlu disadari bahwa seorang wirakoperasi pada dasarnya adalah seorang
pemimpin koperasi. Pemimpin yang membuka jalan terobosan bagi pemecahan masalah
yang dihadapi oleh anggota koperasi. Jiwa kepemimpinan sangat diperlukan, karena
dalam keseharian seorang wirakoperasi berhubungan dengan orang banyak, yaitu
anggotanya. Tercakup dalam masalah kepemimpinan ini adalah kecakapan
menyampaikan gagasan dan mempengaruhi orang lain, kecakapan dalam berkomunikasi
interpersonal, keberanian dalam mengambil keputusan dan memikul tanggung jawab, dll.
Namun, khusus bagi wirakoperasi diperlukan pengembangan jiwa kepemimpinan
altruistik (Pilar Ketiga), yaitu jiwa kepemimpinan yang menaruh perhatian besar pada
permasalahan orang lain (alam hal ini para anggota koperasi). Jiwa kepemimpinan
altruistik ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para penggerak koperasi yang
luhur seperti Hermann Schulze-Delitzsch, Friedrich Wilhelm Raiffeissen (Jerman), Jose
Maria Arizmendi (Spanyol), Alphonse Desjardins (Kanada), Mohammad Hatta dan
Daman Danuwidjaja. Mereka ini merupakan sedikit contoh di antara para pemimpin
altruistik, yang mengantarkan gerakan koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi
masyarakat kecil. Mereka adalah para pahlawan perekonomian yang terus dikenang
masyarakat perkoperasian internasional. Tanpa adanya pengembangan aspek altruistik
ini, sangat dikhawatirkan bahwa koperasi akan sekedar menjadi tempat berkumpulnya
para pemimpin yang oportunistik, pemimpin koperasi yang berjaya di atas penderitaan
para anggotanya.

9. Penutup
14

RPKK merupakan suatu program besar. Komitmen para pemimpin negara telah
ditunjukkan. Semoga hal ini bukan sekedar menjadi retorika politik belaka. RPKK
sekaligus merupakan momentum emas untuk membangkitkan sektor pertanian dari
berbagai ketertinggalannya. Diharapkan kemauan politik para pimpinan ini gayung
bersambut dengan meningkatnya semangat para petani untuk membangun usahataninya
ke arah yang lebih baik.
Kehadiran para wirakoperasi sangat diharapkan untuk berperan sebagai lokomotif yang
akan menghela maju ribuan gerbong kereta (usahatani) para anggota petani. Lokomotif
yang akan mengantarkan rangkaian gerbong tersebut menuju sasaran yang tepat dengan
tempo waktu yang cepat. Saat ini begitu banyak usahatani yang bergerak tak tentu arah,
bahkan yang tidak lagi mampu bergerak. Mereka menunggu datangnya sang lokomotif
yang akan menggerakan dan mengantarkan mereka secara bersama-sama menuju kondisi
yang lebih baik.
Pendidikan dan latihan ke arah pengembangan ketiga pilar wirakoperasi perlu dijalankan
dan dikembangkan sedemikian rupa, sehingga mampu menghadirkan semakin banyak
wirakoperasi handal. Dengannya, akan semakin banyak koperasi yang mampu
berkembang pesat, dan pada gilirannya banyak pihak yang akan tersadarkan bahwa
gerakan koperasi tidak bisa diabaikan dalam memajukan gerakan ekonomi rakyat.

10. Daftar Rujukan

Baga L M. A. Herindajanto, A H Dharmawan, D B Hakim, E. Hartulistiyoso, H Ahmad S and L


Abdullah. Revitalization of Scientist’s Contribution on Agribusiness Development.
Proceeding, the 4th ISSM, 1999. Kassel.
Chaniago Adrinof A. 2001. Gagalnya Pembangunan; Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar
Krisis Indonesia. LP3ES. Jakarta.
Djohan Djabaruddin. 1997. Setengah Abad Pasang Surut Gerakan Koperasi Indonesia, 12 Juli
1947 – 12 Juli 1997. Dekopin. Jakarta.
Hanel Alfred. 1992. Basic Aspects of Co-operative Organizations and Co-operative Self-Help
Promotion in Developing Countries. Marburg Consult. Marburg.
International Labour Office. Promotion of Co-operatives, Report V (1). ILO-Geneva.
Münkner Hans-H. 1989. Co-operative Ideas, Principles and Practices. Institut für Kooperation
in Entwicklungsländern. Marburg.
Parnell Edgar. 1999. Reinventing Co-operation, The Challenge of the 21st Century. Plunkett
Foundation. Oxford.
Röpke Jochen. 1992. Co-operative Entrepreneurship: Entrepreneurial Dynamics and Their
Promotion in Self-help Organizations, Marburg Consult für Selbsthilfeförderung, Reihe A-
7.
Soejono Ibnoe, et.al. 1997. Koperasi di Tengah Arus Liberalisasi Ekonomi. Yayasan Formasi.
Jakarta.
Syarief A. 1997. Membangun Usha Koperasi Persusuan Mandiri: Pengalaman, Pemikiran dan
Perjuangan Drh. H. Dman Danuwidjaja. KPBS Pangalengan.
15

Van Bekkum Onno-Frank and Gert van Dijk (Eds). 1992. Agricultural Co-operatives in the
European Union, Trends and Issues on the Eve of the 21st Century. Van Gorcum.
Breukelen.
16

Lampiran 1

IDENTITAS KOPERASI

DEFINISI
Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela
untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya mereka yang sama
melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis.

NILAI-NILAI
Koperasi melandaskan nilai-nilai menolong diri sendiri, bertanggungjawab kepada diri
sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan dan solidaritas. Berdasarkan tradisi para
pendirinya, para anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etis: kejujuran, keterbukaan,
tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain.

PRINSIP-PRINSIP
Prinsip-prinsip koperasi adalah pedoman bagi koperasi-koperasi dalam melaksanakan
nilai-nilai koperasi dalam praktek.

Prinsip ke-1: Keanggotaan yang Sukarela dan Terbuka


Koperasi adalah organisasi yang bersifat sukarela, terbuka bagi semua orang yang
bersedia menggunakan jasa-jasanya dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan,
tanpa membedakan jenis kelamin (gender) latar belakang sosial, ras, politik atau agama.

Prinsip ke-2: Pengawasan Demokratis oleh Anggota.


Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh para anggotanya, yang secara
aktif menetapkan kebijakan dan membuat keputusan. Pria dan wanita yang dipilih
sebagai wakil anggota bertanggungjawab kepada rapat anggota. Dalam koperasi primer,
para anggota memiliki hak suara sama (satu anggota satu suara) dan koperasi pada
tingkat-tingkat lainnya juga dikelola secara demokratis.

Prinsip ke-3: Partisipasi Anggota dalam Kegiatan Ekonomi


Para anggota memberikan kontribusi permodalan koperasi secara adil dan melakukan
pengawasan secara demokratis (terhadap modal tersebut). Setidak-tidaknya sebagian dari
modal itu adalah milik bersama koperasi. Apabila ada, para anggota biasanya menerima
kompensasi yang terbatas atas modal yang disyaratkan untuk menjadi anggota.
Para anggota mengalokasikan sisa hasil usaha untuk beberapa atau semua dari tujuan
berikut ini:
 Mengembangkan koperasi mereka, mungkin dengan membentuk dana cadangan,
sebagian dari padanya tidak dapat dibagikan;
 Membagikan kepada anggota seimbang dengan transaksi mereka dengan koperasi;
 Mendukung kegiatan lainnya yang disahkan oleh rapat anggota.
17

Prinsip ke-4: Otonomi dan Kemandirian (Independen)


Koperasi adalah organisasi otonom, menolong diri sendiri serta diawasi oleh para
anggotanya. Apabila koperasi mengadakan perjanjian dengan organisasi lain, termasuk
pemerintah, atau memupuk modal dari sumber luar, koperasi melakukannya berdasarkan
persyaratan yang menjamin pengawasan demokratis oleh para anggotanya dan yang
mempertahankan otonomi mereka.

Prinsip ke-5: Pendidikan, Pelatihan dan Penerangan


Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para anggota, wakil-wakil anggota
yang dipilih oleh rapat anggota serta para manajer dan karyawan, agar mereka dapat
melakukan tugasnya lebih efektif bagi pengembangan koperasinya. Mereka memberikan
penerangan kepada masyarakat umum – khususnya pemuda dan para pembentuk opini di
masyarakat – tentang hakekat perkoperasian dan manfaat berkoperasi.

Prinsip ke-6: Kerjasama antar Koperasi


Koperasi melayani para anggotanya secara efektif dan memperkuat gerakan koperasi
dengan bekerjasama melalui organisasi koperasi tingkat lokal, nasional, regional dan
internasional.

Prinsip ke-7: Kepedulian terhadap Masyarakat


Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat sekitarnya secara
berkelanjutan, melalui kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh rapat anggota.

Manchester, United Kingdom


23 September 1995

You might also like