You are on page 1of 15

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

KIMIA ANALISIS

PENETAPAN KADAR PARACETAMOL DENGAN KLT-


SPEKTRODENSITOMETRI

OLEH :

KELOMPOK 7

Ni Wayan Ria Medisina [0808505030]

I Gede Dwija Bawa Temaja [0808505031]

Rico Pramana Sugiarto [0808505032]

1
Made Adi Wira Darma [0808505033]

Arry Andy Yastawa [0808505034]

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

BUKIT JIMBARAN

2010

I. TUJUAN
Memahami metode penetapan kadar parasetamol dengan KLT-Spektrofotodensitometer.

II. DASAR TEORI


Prinsip dalam praktikum ini, suatu campuran zat dapat dipisahkan dengan teknik KLT
berdasarkan perbedaan afinitas masing-masing komponen terhadap fase gerak dan fase diamnya.
Komponen yang telah terpisah, besar serapannya dapat diukur dengan spektrofotodensitometer.
Kadar dari sampel dapat ditentukan dari perbandingan antara serapan sampel dan bakunya.
Kromatografi lapis tipis atau KLT adalah suatu metode pemisahan campuran analit dengan
mengelusinya melalui fase diam yang datar pada plat penyangga. KLT termasuk kromatografi
adsorpsi, walaupun sebenarnya mekanisme yang terjadi adalah kombinasi adsorpsi dan partisi.
Suatu campuran zat dapat dipisahkan dengan teknik KLT berdasarkan perbedaan afinitas
masing-masing komponen terhadap fase gerak dan fase diamnya. Komponen yang telah terpisah,
besar serapannya dapat diukur dengan spektrofotodensitometer. Kadar dari sampel dapat
ditentukan dari perbandingan antara serapan sampel dan bakunya (Widjaja dan Laksmiani,
2010). Dalam KLT fase geraknya berupa cairan, pemisahan akan terjadi jika salah satu
komponen dari campuran diadsorpsi lebih kuat dari komponen yang lainnya. Untuk suatu fase
2
diam yang polar dapat digunakan suatu fase gerak yang non polar sampai yang paling polar dan
untuk fase diam yang non-polar biasanya digunakan fase gerak larutan berair, metanol dan
isopropanol. Pemilihan fase gerak sangat tergantung pada jenis pemisahan yang hendak dicapai.
Secara umum pemilihan fase gerak harus dihindari menggunakan pelarut berbahaya atau
beracun. Beberapa hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut adalah pelarut harus tidak
toksik yang dapat menyebabkan masalah kesehatan jangka pendek maupun jangka panjang, tidak
mudah meledak pada kondisi normal, tidak reaktif atau bereaksi secara kimia dengan analit atau
fase diam, dan tidak memberikan masalah pada pembuangan atau ramah lingkungan.
Fase diam pada KLT digunakan adsorben dengan partikel halus yang dilapiskan pada
lempeng penyangga kaca, logam atau plastik. Adsorben yang dapat digunakan diklasifikasikan
berdasarkan sifat kimia atau daya ikatnya. Adsorben pada KLT adalah analog dengan yang
digunakan pada kromatografi kolom, hanya berbeda ukuran (Widjaja dkk., 2008). Fase diam
yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel
antara 10-30μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran
ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya (Gandjar
dan Rohman, 2009).
Parameter migrasi analaitik pada KLT dinyatakan dalam nilai Rf atau waktu tambat. Rf
atau waktu tambat adalah waktu yang diperlukan untuk mengelusio maksimum suatu sampel
dihitung dari titit awal penotolan. Oleh karena itu, bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0
(Widjaja dkk., 2008)
Kromatografi lapis tipis sangat memungkinkan untuk analisis kualitatif
sekaligus analisis kuantitatif dengan spektrofotodensitometer. Di samping
itu, senyawa hasil analisis setelah dengan KLT maupun
spektrofotodensitometer dapat di simpan, diulang untuk analisis selanjutnya
dan juga untuk analisis beberapa sampel sekaligus. Oleh karena itu
diperlukan perbandingan campuran larutan pengembang yang sesuai agar
diperoleh pemisahan yang optimum dalam analisis dengan kromatografi
lapis tipis sebelum dengan spektrofotodensitometri (Suaniti dan Hitapretiwi,
2007).
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh jika menotolkan
sampel dengan ukuran bercak sekecil mungkin, karena apabila sampel yang digunakan terlalu

3
banyak dapat menurunkan resolusi dan akan menyebabkan bercak menyebar ke puncak ganda,
sehingga dapat mengganggu proses scanning dengan spektrofotodensitometer karena
memungkinkan terjadinya himpitan puncak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan
sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secar manual terutama apabila sampel
yang akan digunakan lebih dari 15 µ l (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).
Medium pemisahan merupakan suatu lapisan barangkali setebal 0,1 hingga 0,3 mm dari
suatu adsorben padat di atas lempengan gelas, plastik atau aluminium. Lempengan khas
berukuran 8 x 2 inchi (Day dan Underwood, 1981). Penjerap yang paling sering digunakan
adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah
partisi dan adsorpsi. Kebanyakan penjerap dikontrol keajegan ukuran partikel dan luas
permukaannya (Gandjar dan Rohman, 2009).
Sebelum digunakan, lapisan disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab dan bebas dari
uap. Untuk itu biasanya plat KLT yang akan digunakan diaktifasi terlebih dahulu selama 30
menit di dalam pengering pada 110oC dengan posisi tegak di dalam rak pengering. Ini bertujuan
untuk bila dilihat dalam sinar jatuh dan sinar lewat, lapisan yang kering mempunyai wajah yang
seragam dan membentuk ikatan yang baik dengan penyangga; disamping itu, kadar air
mempunyai pengaruh terhadap daya pemisahnya (Stahl, 1985).
Setelah sampel ditotolkan, proses selanjutnya adalah mengembangkan sampel tersebut ke
dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Untuk
melakukan penjenuhan biasanya bejan dilapisi dengan kertas saring. Jika fase gerak telah
mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh. Selama
proses elusi, bejana kromatografi harus ditutup rapat, bisa menggunakan lembar aluminium.
Kemudian tepi bagian bawah lempeng lapis tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam
fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm, dan tinggi fase gerak dalam bejana harus dibawah lempeng
yang telah berisi totolan sampel (Gandjar dan Rohman, 2009). Setelah plat KLT dicelupkan ke
dalam bejana, kemudian dilakukan pengembangan. Terdapat beberapa teknik untuk melakukan
pengembangan dalam KLT yaitu pengembangan menaik atau ascending, pengembangan
menurun atau descending, melingkar dan mendatar. Tetapi, pengembangan cara menaik adalah
cara yang paling sering digunakan daripada cara yang lain. Setelah pengembangan mencapai
batas akhir lintasan, plat KLT dikeringkan pada temperatur yang sesuai dengan titik didih pelarut

4
yang digunakan. Tujuannya adalah agar tidak mengganggu analisis saat discanning dengan
spektrofotodensitometri (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).
Densitometer dapat bekerja secara serapan atau fluororesensi.
Kebanyakan densitometer mempunyai sumber cahaya, monokromator untuk
memilih panjang gelombang yang cocok, sistem untuk memfokuskan sinar
pada lempeng, pengganda foton dan recorder. Pada sistem serapan dapat
dilakukan dengan model pantulan atau btransmisi. Pada sara pantulan, yang
diukur adalah sinar metanol, asetonitril dan isopropanol (Widjaja dkk., 2008).
Analisis kuantitatif penyusun-penyusun yang telah dipisah pada lempeng lapisan tipis umumnya
dilakukan dengan pengukuran rapatan (fotodensitas) dan luas bercak, yakni dengan
fotodensitometri lempeng itu (Basset dkk., 1994). Melakukan scanning pada permukaan lempeng
dengan densitometer, suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan
dari permukaan lempeng ketika disinari dengna lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut
yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatat (recorder)
(Gandjar dan Rohman, 2009). Semua densitometer pemayar mempunyai rancang bangun tertentu
yang meliputi sumber cahaya, perangkat pemilih panjang gelombang, sistem pengumpul dan
pemusat cahaya, serta detektor. Selain itu diperlukan mekanisme gerak lempeng di bawah cahaya
terpusat untuk memayar lempeng. Dalam hal ini pemilih panjang gelombang adalah
monokromator (MK) dan perangkat indera adalah tabung photomultiplier (PM) (Munson, 1991).
Penggunaan monokromator lebih menguntungkan karena memudahkan pengubahan panjang
gelombang dan menghasilkan berkas sinar dengan sedikit panjang gelombang. Jenis sumber
cahaya tergantung pada panjang gelombang cahaya yang digunakan, yaitu: lampu hidrogen,
raksa atau, ksenon untuk pengukuran sinar UV dan lampu wolfram untuk panjang gelombang
sinar tampak (Munson, 1991). Dasar teori terapan densitometri dalam analisis kuantitatif
lempeng lapisan tipis adalah persamaan Kubelka dan Munk. Bentuk persamaan Kubelka-Munk
dapat dinyatakan :

( I − R) 2 C

2R S

Keterangan :

5
R = cahaya terpantul pada permukaan lempeng
ε = koefisien serapan terokan
C = kadar terokan dan
S = koefisien hambur lempeng
Persamaan ini meramalkan ketidaklurusan yang sering teramati pada pengukuran pantul.
Tetapi persamaan ini dapat diluruskan dengan pendekatan seperti menggambarkan (luas puncak)2
versus kadar atau log luas puncak versus log kadar (Munson, 1991).
Paracetamol merupakan turunan senyawa sintesis dari p-aminofenol yang memberikan
efek analgesia dan antipiretika. Senyawa ini dikenal dengan nama lain asetaminofen, merupakan
senyawa metabolit aktif fenasetin, namun tidak memiliki sifat karsinogenik (menyebabkan
kanker) seperti halnya fenasetin. Senyawa ini memilik nama kimia N-asetil-p-aminofenol atau p-
asetamidofenol atau 4’-hidroksiasetanilida. Paracetamol mengandung tidak kurang
dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C8H9NO2 dihitung terhadap zat yang
telah dikeriungkan. Serbuk hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau;
rasa sedikit pahit. Kelarutannya dalam 709 bagian air, dalam 7 bagian etanol
95% P, dalm 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9
bagian propilenglikol P; larut dalam larutan alkali hidroksida (Depkes RI,
1979). Paracetamol memiliki struktur molekul sebagai berikut :

Gambar 1. Struktur molekul paracetamol

III. ALAT DAN BAHAN


1. ALAT :
• Chamber
• Oven

6
• Spite
• Plat KLT silica GF 254
• Penotol nanomat
• Spektrofotodensitometer CAMAG TLC-
SCANNER
2. BAHAN :
• Larutan sampel
• Metanol
• Larutan baku dengan konsentrasi (50 ng, 100
ng, 200 ng, 375 ng, 750 ng)

IV. PELAKSANAAN PERCOBAAN


1. Siapkan larutan baku dan sampel (sediaan parasetamol)  disiapkan asisten.
2. Pencucian plat dilakukan dengan cara meneteskan sebanyak 5 mL metanol di salah
satu sisi chamber, kemudian dimasukkan plat dengan tepi bertemu kertas saring, tutup
chamber, ditunggu sampai keseluruhan bagian plat telah larut dalam metanol.
3. Setelah itu plat dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 1200C.
4. Plat dikeringkan dengan cara diangin-anginkan sampai benar-benar kering.
5. Plat ditotolkan dengan sampel paracetamol sebanyak 2 µL dengan penotol linomat
dengan jarak 10 mm di setiap penotolan.
6. Plat yang telah ditotolkan lalu dielusikan pada chamber yang telah dijenuhkan.
7. Plat dikeringkan pada oven dengan suhu 600C selama 15 menit.
8. Plat discanning dengan CAMAG TLC-SCANNER pada λ = 248 nm.
9. Tentukan serapan masing-masing komponen pada panjang gelombang tertentu
dengan spektrofotodensitometer.

V. HASIL DAN PERHITUNGAN


Diketahui:
Larutan baku
• Konsentrasi larutan baku 1 ( C1 ) = 50 ng

7
Konsentrasi larutan baku 2 ( C2 ) = 100 ng
Konsentrasi larutan baku 3 ( C3 ) = 200 ng
Konsentrasi larutan baku 4 ( C4 ) = 375 ng
Konsentrasi larutan baku 5 ( C5 ) = 750 ng

• AUC larutan baku 1 ( AUC1 ) = 717,3

AUC larutan baku 2 ( AUC2 ) = 1327,3


AUC larutan baku 3 ( AUC3 ) = 2355,1
AUC larutan baku 4 ( AUC4 ) = 19187,7
AUC larutan baku 5 ( AUC5 ) = 22914,8

Larutan sampel
• AUC larutan sampel 1 ( AUCs1 ) = 19032,7

• AUC larutan sampel 2 ( AUCs2 ) = 19776,3


Ditanya:
a. Kurva kalibrasi larutan baku = …?

b. Persamaan regresi linier antara konsentrasi dan AUC =…?

c. Konsentrasi sampel 1 ( Cs1 ) =…?

Konsentrasi sampel 2 ( Cs2 ) =…?

Jawab:
a. Kurva kalibrasi larutan baku

8
b. Persamaan regresi linier antara konsentrasi dan AUC

Perhitungan ini didapat dari perhitungan manual regresi linier dengan menggunakan
kalkulator merek Casio dengan memasukan datanya dalam Microsoft Excel. Jika
konsentrasi (C) adalah x dan Area Under Curve ( AUC ) adalah y maka diperoleh
persamaan regresi linier larutan baku paracetamol yaitu y = 33,76x – 1861,40 dengan r² =
0.964

c. Konsentrasi sampel
Sampel 1
y = 33,76x – 1861,40
AUC1 = 33,76x – 1861,40
19032,7 = 33,76x – 1861,40
19032,7+1861,40 = 33,76x
33,76x = 20894,1
x = 618,90 ng

Sampel 2
y = 33,76x – 1861,40

9
AUC2 = 33,76x – 1861,40
19776,3 = 33,76x – 1861,40
19776,3+1861,40 = 33,76x
33,76x = 21637,7
x = 640,927 ng

VI. PEMBAHASAN
Percobaan kali ini bertujuan untuk memahami metode penetapan kadar zat aktif pada
sediaan paracetamol secara kuantitatif dengan metode KLT-spektrofotodensitometer. Prinsip
yang pertama yaitu dengan menggunakan metode KLT kemudian hasil di baca dengan
menggunakan alat CAMAG TLC-SCANNER.
Metode KLT menggunakan fase diam silica gel GF 254 nm dan fase geraknya berupa
metanol. Pertama-tama plat KLT dicuci dalam chamber dengan melarutkan pelarut metanol
sebanyak 5 mL. Chamber dialiri dengan 5 mL metanol pada satu sisi chamber. Plat dimasukkan
ke dalam chamber kemudian plat ditempel dengan kertas saring. Tujuan ditempelnya kertas
saring yaitu untuk menjaga kapilaritas plat agar semua methanol dapat mengisi seluruh bagian
plat sehingga pengotor-pengotor dalam plat. Setelah itu plat dikeringkan dalam oven selama 30
menit dengan suhu 1200C. Aktivasi ini bertujuan untuk menghilangkan sisa air atau menghidrasi
yang terdapat pada fase diam dan untuk memindahkan pengotor agar berada pada ujung plat
KLT sehingga tidak mengganggu proses pemisahan (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Setelah
diaktivasi, plat dikeringkan dengan cara diangin-anginkan sampai benar-benar kering. Setelah itu
plat ditotolkan dengan sampel paracetamol sebanyak 2 µL dengan penotol linomat dengan jarak
10 mm di setiap penotolan. Sampel yang ditotolkan harus memiliki ukuran bercak sekecil dan
sesempit mungkin karena jika sampel yang digunakan terlalu banyak akan menurunkan resolusi.
Selain itu, penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar ke
puncak ganda. Pelebaran bercak dapat mengganggu proses scanning dengan spektrodensitometri
karena memungkinkan terjadinya himpitan puncak (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).
Kemudian, apabila konsentrasi senyawa pada plat sangat tinggi adalah maka ketika discanning
dengan TLAC-CAMAG SCANNER sinar yang mengenai sampel akan diabsorbsi oleh lapisan
pertama larutan dan hanya sedikit radiasi yang diserap oleh bagian lain sampel pada jarak yang

10
lebih jauh sehingga fluoresensi sampel yang berkonsentrasi tinggi ini tidak seragam dan tidak
proporsional dengan konsentrasi senyawa (Gandjar dan Rohman, 2009).
Setelah dilakukan penotolan sampel, plat yang telah ditotolkan lalu dielusikan pada
chamber yang telah dijenuhkan. Chamber ditutup rapat dan volume fase gerak dibuat sedikit
mungkin namun dapat mengelusi lempeng sampai pada batas jarak pengembangan. Hal ini
bertujuan agar tidak terjadi kontaminasi dari kontaminan selama proses elusi/pengembangan
(Gandjar dan Rohman, 2009). Selanjutnya plat dikeringkan pada oven dengan suhu 600C selama
15 menit. Pengeringan ini bertujuan untuk menguapkan sisa pelarut yang masih terdapat pada
plat KLT sehingga tidak mengganggu proses scanning dengan spektrofotodensitometer..
Selanjutnya dilakukan scanning pada permukaan lempeng dengan
spektrofotodensitometer, yaitu suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang
direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar
tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak (peak) oleh
pencatat (recorder). Dengan spektrofotodensitometer diperoleh konsentrasi zat aktif dari sampel
paracetamol berdasarkan sifat absorpsi yang dimiliki oleh paracetamol. Intensitas absorbansi
berbanding langsung dengan absorpvitas molar, oleh karena itu pada analisis fluorometri
disarankan penggunaan panjang gelombang yang memberikan absorpsi maksimal (Gandjar dan
Rohman, 2009).

Kurva absorbansi larutan baku paracetamol


Setelah praktikum dilakukan, diperoleh hasil yang berbeda antara panjang gelombang
maksimum pada percobaan (248 nm) dan literatur (245 nm). Hal ini mungkin disebabkan karena

11
perbedaan kondisi larutan paracetamol dan juga perbedaan kondisi percobaan di mana pada
literatur percobaan dilakukan di luar negeri yang iklimnya berbeda dengan di negara kita yaitu
beriklim tropis. Setelah diperoleh kurva baku paracetamol kemudian dilakukan pengukuran
absorbansi sampel paracetamol.
Berikut ini merupakan spektrum absorbansi dari sampel paracetamol:
Sampel 1

Sampel 2

Dengan membandingkan kurva baku paracetamol dengan kurva sampel paracetamol yang
diperoleh, kita dapat mengetahui apakah senyawa yang terukur absorbansinya memang senyawa
parasetamol. Dari dua kurva di atas terlihat bahwa kurva yang terbentuk hampir sama dengan
kurva baku paracetamol sehingga dapat dipastikan bahwa senyawa yang dibaca absorbansinya

12
adalah memang senyawa paracetamol. Kurva baku yang telah dihasilkan kemudian dibandingkan
dengan membaca absorbansi paracetamol pada berbagai konsentrasi. Setelah itu kurva
absorbansi dicari persamaan garisnya dengan menggunakan regresi linier. Dari hasil perhitungan
didapatkan persamaan regresi sebagai berikut:

y = 33,76x – 1861,40

dimana y = nilai AUC dan x = konsentrasi paracetamol. Perhitungan ini didapat dari
perhitungan manual regresi linier dengan menggunakan kalkulator merek Casio. Kadar dari
sampel paracetamol ditentukan dari perbandingan antara serapan sampel dan bakunya. Dari hasil
perhitungan diperoleh kadar paracetamol sampel 1 adalah 618,90 ng dan kadar paracetamol
sampel 2 yaitu 640,927 ng.

VII. KESIMPULAN
1. Kadar sampel paracetamol dapat ditentukan secara spektrofotodensitometri
dengan menggunakan kurva kalibrasi
2. Persamaan garis regresi linier larutan paracetamol setelah dilakukan perhitungan,
yaitu: y = 33,76x – 1861,40
3. Kadar paracetamol sampel 1 yaitu 618,90 ng
4. Kadar paracetamol sampel 2 yaitu 640,927 ng

DAFTAR PUSTAKA

13
Basset. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Day, R.A. dan A.L. Underwood. 1981. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2009. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Kusmardiyani, S. dan A. Nawawi. 1992. Kimia Bahan Alam. Jakarta: Universitas Bidang Ilmu
Hayati.

Munson, J.W. 1991. Analisis Farmasi Metode Modern. Surabaya: Airlangga University Press.

N. M. Suaniti dan M. A. Hitapretiwi Suryadhi. 2007. Penentuan Kuantitatif Morfin dalam Urin

Stahl E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: Penerbit ITB.

Widjaja, I.N.K., K. W. Astuti., N.M.P. Susanti., dan I.M.A.G. Wirasuta. 2008. Buku Ajar
Analisis Farmasi Fisiko Kimia. Jimbaran: Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas
Udayana.

Widjaja, I N.K. dan N.P.L. Laksmiani. 2010. Petunjuk Praktikum Analisis Fisiko Kimia.
Jimbaran: Jurusan Farmasi FMIPA UNUD.

14
15

You might also like