You are on page 1of 19

PENGARUH KESADARAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM

TERHADAP EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NARKOTIKA DI INDONESIA

(Dosan : I Ketut Wirta Griadhi, S.H., M.H.)

I Made Widana Putra, S.H.


1092461024

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Euphoria reformasi membuat kita ada dalam keadaan senang-senangnya membuat
atau mengubah, merevisi atau mengamandamen undang-undang dan menggantinya dengan
undang-undang baru, bahkan Undang-undang Dasar 1945 saja diamandemen. Dalam
mengubah atau membentuk undang-undang baru jarang diperhatikan bahwa hukum itu
merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa suatu undang-undang itu tidak berdiri sendiri,
tetapi merupakan sistem (berkaitan) dengan undang-undang yang lain. Selain itu yang juga
harus diperhatikan adalah undang-undang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan
masyarakat dimana undang-undang itu diberlakukan karena hukum dan masyarakat saling
mempengaruhi.
Undang-undang Narkotika juga telah beberapa kali diganti dengan undang-undang
baru karena dianggap undang-undang Narkotika yang lama sudah tertinggal oleh
perkembangan dan maraknya peredaran gelap narkotika di Indonesia. Tindak pidana
narkotika yang menunjukkan kecenderungan semakin meningkat baik di tingkat nasional
maupun internasional mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, sehingga dipandang
perlu memperbaharui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dengan
membentuk undang-undang baru, yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1997. Undang-
undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika yang mempunyai cakupan yang lebih luas
baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat.
Kemudian Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 kembali dicabut dan diganti
dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang mulai berlaku sejak
tanggal 12 Oktober 2009. Jika ditinjau dari ancaman pidananya terdapat perbedaan antara
Undang-undang Nomor 9 tahun 1976, Undang-undang Nomor 22 tahun 1997, dan Undang-
undang Nomor 35 tahun 2009. Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tidak mengatur ancaman
pidana mati, sedangkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 dan Undang-undang Nomor
35 tahun 2009 mengatur ancaman pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika. Ancaman
pidana mati untuk tindak pidana narkotika di Indonesia baru diberlakukan sejak tahun 1997
hingga saat ini.

2
Perubahan maupun pergantian peraturan perundang-undangan ini dilakukan untuk
mengikuti perkembangan masyarakat dinamis. Laju peradaban manusia, teknologi dan
informasi sulit diikuti sektor hukum sehingga menyebabkan hukum seakan-akan mengalami
ketertinggalan dalam menghadapi persoalan-persoalan konkrit dalam kehidupan masyarakat.
Para sarjana berpikir ulang tentang hukum dan mulai memberikan perhatian serius terhadap
interaksi antara sektor hukum dan masyarakat, tidak hanya berkutat pada persoalan-persoalan
normatif belaka.
Dalam praktik terkadang terjadi suatu aturan hukum maupun sanksi hukum tidak
efektif sehingga tujuan undang-undang tersebut tidak dapat dicapai secara maksimal. Hal ini
bisa saja terjadi pada Undang-undang Narkotika, walaupun undang-undang tersebut telah
disertai dengan ancaman pidana mati. Efektivitas suatu undang-undang bukan semata-mata
dipenggaruhi oleh faktor norma (kosong, kabur, atau konflik) dalam undang-undangnya
sendiri, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat dalam masyarakat,
seperti kesadaran hukum, penegakan hukum, kepatuhan hukum, faktor ekonomi, dan faktor-
faktor sosial masyarakat lainnya sehingga dapat menimbulkan kesenjangan antara law in
book dan law in action.
Untuk dapat mengetahui efektivitas Undang-undang Narkotika dan sanksi pidana mati
yang diatur dalam undang-undang tersebut terhadap upaya pemberantasan tindak pidana
narkotika, maka harus dilakukan suatu penelitian dengan pendekatan sosiologi hukum.
Istilah “ Sosiologi Hukum” pertama sekali digunakan oleh seorang Itali yang bernama
Anzilloti pada tahun 1822.1 Istilah sosiologi hukum mulai terkenal tersebut setelah
munculnya tulisan-tulisan Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Max Weber, Karl Liewellyn, Emile
Durkhim, serta tokoh-tokoh lain yang concern terhadap sosiologi hukum baik nasional
maupun internasional. Sosiologi hukum merupakan disiplin yang sudah berkembang dewasa
ini. Kini banyak penelitian hukum di Indonesia dilakukan dengan mengunakan metode
sosiologi hukum. Para sarjana di Indonesia mulai menyadari bahwa hukum tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan masyarakat, hukum dan masyarakat saling mempengaruhi,
serta efektivitas hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor empiris dalam masyarakat,
bukan semata-mata hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor normatif.
I.2. Rumusan Masalah

1 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet.19, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010,
h.32
3
1. Apakah Undang-undang Narkotika dan sanksi pidana mati efektif terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana narkotika di Indonesia ?
2. Bagaimanakah pengaruh kesadaran hukum masyarakat dan penegakan hukum
terhadap efektivitas Undang-undang Narkotika di Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Efektivitas Undang-undang Narkotika di Indonesia


Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya
kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum.
Efektifitas hukum yang di maksud berarti mengkaji kembali hukum yang harus memenuhi
syarat ; yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis.
Efektivitas hukum dipengaruhi oleh sistem hukum yang menurut Lawrence M. Friedman
terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu ; struktur, substansi, kultur hukum. Stuktur adalah
keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain
kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain. Substansi
meliputi keseluruhan aturan hukum, norma hokum, dan asas hukum, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis. Komponen terakhir adalah kultur hukum yaitu opini-opini,
kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan
cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum
dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.2
Untuk mengetahui efektifitas Undang-undang Narkotika dalam upaya pemberantasan
tindak pidana narkotika, maka diperlukan data-data yang dapat membuktikan meningkat atau
menurun jumlah tindak pidana maupun pelaku tindak pidana narkotika tersebut. Data tersebut
dapat diperoleh dari pihak-pihak yang memiliki wewenang maupun terkait dengan upaya
pemberantasan tindak pidana narkotika di Indonesia, seperti Badan Narkotika Nasional
(selanjutnya ditulis BNN), Polisi, Kejaksaan, Departemen Hukum dan Ham, atau Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang concern terhadap upaya pemberantasan tindak pidana
narkotika. Di bawah ini disajikan data-data jumlah kasus dan pelaku tindak pidana narkotika
yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 11 tahun (1997-2008), sebagai berikut :

2 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence),
Kencana, Jakarta, 2009, h.204
4
Data Jumlah Kasus Narkotika
Kasus Tahun

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Narkotika 622 958 1.833 3.478 3.617 3.751 7.140 8.409 16.252 17.355 22.630 29.359

% kenaikan 0 54,4 91,3 89,7 4,0 3,7 90,3 17,8 93,3 6,8 30,4 29,7

Catatan : Kenaikan kasus rata-rata 50,1% per tahun.


Data Jumlah Tersangka Narkotika
Tersangka Tahun

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Narkotika 939 1.308 2.590 4.955 4.924 5.320 9.717 11.323 22.780 31.635 36.169 44.694

% kenaikan 0 39,3 98,0 91,3 -0,6 7,8 83,0 16,5 101,2 38,9 14,3 23,6

Catatan : Kenaikan rata-rata 52,8 % per tahun.


Jumlah kasus dan pelaku tindak pidana narkotika yang terjadi pada tahun 2009 dan 2010 belum dirilis oleh BNN.
Sumber : Dit IV/Narkoba BNN RI, Januari 2009.3

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa setiap tahun terjadi peningkatan
jumlah tindak pidana narkotika dan terjadi kecenderungan peningkatan kasus dan jumlah
pelaku tindak pidana narkotika. Data ini membuktikan bahwa Undang-undang Narkotika
yang berlaku sejak tahun 1997 (kurun waktu 11 tahun hingga 2008) yang menggunakan
ancaman pidana mati tidak efektif dalam upaya pemberantasan tindak pidana narkotika di
Indonesia.
Dengan diberlakukannya ancaman pidana lebih berat atau pidana mati terhadap
pelaku tindak pidana narkotika, maka seharusnya terjadi kencenderungan jumlah tindak
pidana narkotika mengalami penurunan, tetapi yang terjadi sebaliknya sehingga tujuan
pembentuk undang-undang ini tidak tercapai. Hal ini membuktikan bahwa ancaman pidana
mati bukanlah syarat mutlak dalam mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana
narkotika secara maksimal.

3
Badan Narkotika Nasional, Data Jumlah Kasus dan Tersangka Narkotika, http://www.bnn.go.id
5
Beberapa studi yang telah dilakukan memberitahu kepada kita tentang keharusan
untuk senantiasa bersikap kritis terhadap penggunaan konsepsi-konsepsi yang tampak sebagai
sesuatu yang wajar, seperti misalnya bahwa pidana mati itu akan mempunyai efek menakut-
nakuti. Dari studi empiris yang kemudian dilakukan ternyata, bahwa pendapat-pendapat itu
ternyata lebih merupakan suatu kesan yang umum daripada suatu pendapat yang didasarkan
kepada penyelidikan seksama.4 Penggunaan ancaman pidana mati bukan sesuatu yang mutlak
dapat menakut-nakuti sehingga mampu mencegah orang tidak akan melakukan tindak pidana
narkotika.

II.2. Pengaruh Kesadaran Hukum dan Penegakan Hukum Terhadap Efektivitas


Undang-undang Narkotika Di Indonesia
Data pada pembahasan di atas telah membuktikan bahwa Undang-undang Narkotika
dengan ancaman pidana mati tidak efektif dalam upaya pemberantasan tindak pidana
narkotika. Ancaman pidana mati bukanlah syarat mutlak bahwa suatu Undang-undang dapat
berlaku secara efektif dan tercapai tujuan pembentuk Undang-undang tersebut. Faktor
kesadaran hukum, penegakan hukum, dan faktor-faktor sosial lain sangat berpengaruh
terhadap efektivitas suatu Undang-undang. Untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi Undang-undang Narkotika tidak efektif dalam upaya pemberantasan tindak
pidana narkotika di Indonesia, maka hukum (Undang-undang Narkotika) tidak dapat
dipandang sebagai suatu fenomen yang semata-mata otonom dan tersisih dari interaksinya
dengan fenomen kehidupan sosial di luarnya, melainkan ia diperkaitkan secara sadar pada
basis sosial dan kulturnya.5
Efektivitas suatu undang-undang dan sanksinya dalam penerapannya di masyarakat
sangat berkaitan dengan upaya penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat dimana
hukum tersebut bekerja. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa :
“Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa
hukum itu atau apa seharusnya hokum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan
kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara
yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan”.6

Menurut Achmad Ali, kesadaran hukum ada dua macam, yaitu ; kesadaran hukum
positif, identik dengan ketaatan hukum, dan kesadaran hukum negatif, identik dengan

4 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cet.III, Angkasa, Bandung, 1984, h. 169
5 Ibid., h.168
6 Sudikno Mertokusumo, 19 Maret 2008, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat,
http://sudiknoartikel.blogspot.com
6
ketidaktaatan hukum.7 Sedangkan Oetojo Oesman menjelaskan bahwa kesadaran hukum itu
ada dua : kesadaran hukum yang baik , yaitu ketaatan hukum dan kesadaran hukum yang
buruk, yaitu ketidaktaan hukum.8 Soerjono Soekanto mengemukakan empat indikator
kesadaran hukum, yaitu ; pengetahuan tentang hukum, pemahaman tentang hukum, sikap
terhadap hukum, dan prilaku hukum.9 Kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan dan
karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain,
kesadan hukum adalah persoalan “hukum sebagai perilaku”, dan bukan sebagai aturan, norma
atau asas. Dengan kesadaran hukumnya, seseorang dapat berlaku positif yaitu mentaati
hukum, tetapi sebaliknya seseorang juga dapat berprilaku negatif, yaitu melanggar hukum.
Kesadaran hukum bukan monopoli dari sarjana hukum saja, bukan hanya harus
dimiliki oleh hakim, jaksa, dan polisi saja, tetapi pada dasarnya ada pada diri setiap manusia
baik ia terpelajar maupun tidak. Kesadaran hukum pada hakekatnya adalah tentang manusia
secara umum, bukan bicara tentang manusia dalam lingkungan tertentu atau manusia dalam
profesi tertentu seperti hakim, jaksa, polisi, dan sebagainya. Walaupun kesadaran hukum itu
ada pada setiap manusia tetapi kesadaran hukum itu tidak selalu disertai dengan perbuatan
yang positif yang sesuai dengan kesadaran hukum manusia pada umumnya, tetapi justru
disertai dengan perbuatan yang tidak terpuji.10
Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan
hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan
hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan
hukum.11 Apabila kesadaran hukum masyarakat kuat, maka proses perkembangan dan
efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Kesadaran hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh kesadaran hukum setiap
individu dalam masyarakat tersebut. Apabila setiap individu tersebut memiliki kesadaran
hukum yang baik, maka akan baik pula kesadaran hukum masyarakat tersebut. Kesadaran
hukum masyarakat yang baik disebabkan karena memang jiwanya sadar bahwa mereka
membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengatur masyarakat secara baik,
benar, dan adil, bukan karena paksaan dan sanksi.

7 Achmad Ali, op.cit., h. 298


8 Ibid., 510
9 Ibid.
10 Sudikno Mertokusumo, Kesadaran Hukum Sebagai Landasan Untuk Memperbaiki Sistem Hukum,
19 Maret 2008, http://sudiknoartikel.blogspot.com
11 Sofia, Kesadaran Hukum Masyarakat Dan Pengaruhnya Bagi Efektifitas Perkembangan Hukum,
2010, http://s2hukum.blogspot.com

7
Pada dasarnya masyarakat Indonesia tahu dan paham hukum, tetapi secara sadar pula
mereka masih melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum. Para pemakai dan
pengedar narkotika tahu bahwa mengkomsumsi dan mengedarkan narkotika secara melawan
hukum adalah tindak pidana, tetapi faktanya perbuatan itu masih tetap dilakukan. Para
pengedar tahu bahwa narkotika merusak mental generasi muda yang pada akhirnya dapat
berakibat fatal bagi kemajuan dan pembangunan bangsa, tetapi mereka tetap melakukannya
demi kepentingan pribadi atau golongan dengan alasan financial (uang).
Kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih lemah atau dengan kata lain kesadaran
hukum negatif (kesadaran hukum yang buruk) yang identik dengan ketidaktaatan hukum.
Walaupun masyarakat Indonesia memiliki kesadaran hukum, tetapi kesadaran hukum itu
tidak selalu disertai dengan perbuatan yang positif yang sesuai dengan kesadaran hukum
manusia pada umumnya, tetapi justru disertai dengan perbuatan yang melanggar hukum. Jadi
kesadaran hukum yang dimiliki warga masyarakat belum menjamin bahwa warga masyarakat
tersebut akan mentaati suatu atauran hukum atau perundang-undangan.12
Kesadaran hukum dalam masyarakat bukan merupakan proses sekali jadi, melainkan
merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap. Kesadaran hukum tidaklah
bersifat permanen, tidak stabil, tidak uniter atau tidak konsisten. Sebagai gantinya, kita
melihat kesadaran hukum sebagai sesuatu yang bersifat lokal, kontekstual, pluralistik, yang
diisi dengan konflik dan kontradiksi. Oleh karena itu, harus diupayakan, kesadaran hukum
negatif masyarakat diubah menjadi kesadaran hukum positif.13
Pemerintah dan para penegak hukum harus melakukan upaya-upaya berkelanjutan
untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Kesadaran hukum itu
berhubungan dengan manusianya bukan dengan hukum. Bukan hukum yang harus
direformasi. Yang harus diperbaiki atau ditingkatkan adalah manusianya atau sumber daya
manusianya, yaitu moral, mental dan intelektualitasnya. Upaya tersebut dapat dialakukan
melalui pendidikan. Selama ini sistem pendidikan kita kurang menaruh perhatian dalam
menanamkan kesadaran hukum.
Upaya sosialisasi hukum kepada masyarakat juga harus terus dilakukan untuk
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Sosiologi hukum sangat berperan dalam upaya
sosialisasi hukum demi meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warga
masyarakat secara keseluruhan, maupun dari kalangan penegak hukum. Sosialisasi

12 Achmad Ali, op.cit., h.300


13
Ibid., h.510
8
merupakan salah satu aspek penting dalam proses control sosial sebab untuk dapat
mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah hukum
berlaku.
Masalah penegakan hukum tampaknya sangat sederhana, tetapi dalam kenyataan
keadaan adalah tidak seperti itu, melainkan yang terjadi adalah bahwa penegakan hukum itu
mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan kepada kenyataan yang
kompleks.14 Dalam ilmu hukum normatif, kompleksitas tersebut diabaikan, sedangkan
sosiologi hukum sebagai ilmu empiris sama sekali tak dapat mengabaikannya. Karena
memasukkan kompleksitas tersebut ke dalam pemahaman dan analisisnya, maka dalam
sosiologi hukum, penegakan hukum itu tidak bersifat logis universal, melainkan variabel.
Penegakan hukum dapat juga dilihat sebagai proses yang melibatkan manusia di dalamnya.
Sosiologi hukum melihat penegakan hukum dengan pengamatan yang demikian itu. Sesuai
dengan tradisi empirisnya, maka dalam pengamatan terhadap kenyataan penegakan hukum,
faktor manusia sangat terlibat dalam usaha menegakkan hukum tersebut. Penegakan hukum
itu bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat dengan keterlibatan manusia di
dalamnya.15
Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut,
adalah sebagai berikut ;16
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakaan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan
esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan

14 Satjipto Raharjo, Sosilogi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Cet.II, Genta,
Yogyakarta, h.190.
15 Ibid., h.192
16 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010, h.8.
9
hukum. Kelima faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap penegakan hukum. Mungkin
pengaruhnya adalah positif dan mungkin juga negatif. Akan tetapi, di antara semua faktor
tersebut, maka faktor penegak hukum yang menempati titik sentral.17
Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam penulisan ini hanya akan dibatasi pada
Undang-undang Narkotika saja. Undang-undang Narkotika telah mengalami pembaharuan
dengan maksud agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang dinamis, dan
mencegah serta memberantas peredaran narkotika yang menunjukkkan kecendrungan
semakin meningkat. Dalam perubahan undang-undang narkotika mengatur mengenai
pemberatan ancaman pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara
seumur hidup, maupun pidana mati. Diatur pula mengenai penguatan kelembagaan yang
sudah ada yaitu BNN.
Secara normatif Undang-undang Narkotika sudah baik dan seharusnya mampu
mencegah dan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana narkotika karena undang-
undang tersebut mengatur ancaman pidana yang lebih berat daripada undang-undang
sebelumnya dan memberikan sanksi pidana mati kepada pelaku, memenuhi asas-asas dalam
pembentukan peraturan perundang-undang, seperti tidak berlaku surut (asas legalitas),
kemudian tidak terdapat norma yang kabur, norma kosong maupun konflik norma dalam
undang-undang tersebut, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,
sehingga seharusnya dapat dilaksanakan secara maksimal oleh para penegak hukum dalam
praktik. Namun berdasarkan data-data di atas dapat diketahui bahwa undang-undang
Narkotika tidak efektif.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak menerapkan hukum. Ruang lingkup dari
istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara
langsung dan tidak secara laangsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Di dalam
tulisan ini, yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara
langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law
enforcement, akan tetapi juga peace maintenance kiranya sudah dapat diduga bahwa
kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakimaan, kejaksaan,
kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.18
Selama ini pihak penegak hukum bukan saja gagal menangkal tindak pidana
narkotika tetapi mungkin saja ikut membantu kelancaran pelaksanaan dan atau terlibat tindak

17 Ibid., h.69
18 Ibid., h.19.
10
pidana narkotika maupun sebagai pengguna narkotika. Satu fakta yang diambil dari media
cetak yang mengungkapkan adanya keterlibatan oknum penegak hukum dalam tindak pidana
narkotika, yaitu sebagai pengguna narkotika, oknum anggota Brimob mengakui bahwa ia
mengkonsumsi Ganja Aceh karena stres dalam persidangan di PN Denpasar pada Kamis
19
(21/10/2010). Bukan hanya oknum Polisi yang terlibat tindak pidana narkotika, oknum
Jaksa juga ada yang terlibat tindak pidana narkotika, seperti yang terjadi di Tanjung Perak,
Surabaya. Ditangkapnya jaksa maupun staf kejaksaan yang tersangkut kasus narkoba,
membuat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur gerah. Salah satu staf kejari yang terjerat
kasus sabu-sabu yakni, Aswin Ardi, staf Kejari Tanjung Perak.20
Petugas sipir LP / Rutan tidak melakukan pengawasan yang ketat, sehingga di dalam
LP / Rutan juga terjadi tindak pidana narkotika. Di TV maupun media cetak diberitakan
bahwa ditemukan adanya pabrik dan peredaran narkotika di dalam RUTAN (Rumah
Tahanan) dan LP (Lembaga Permasyarakatan), seperti yang terjadi di Rutan Medaen,
Sidoarjo, Jawa Timur pada tahun 2007.21 Di awal tahun 2011 ini Badan Narkotika Nasional
(BNN) membongkar sindikat perdangan narkoba yang dikendalikan oleh napi kasus narkoba
di Lapas Nusakambangan. Jaringan itu diduga melibatkan sejumlah sipir lapas yang dikenal
berpengaman ketat tersebut.22 Dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan petugas sipir turut
serta menikmati hasil penjualan atau peredaran narkotika. Bahkan pernah terjadi oknum
penegak hukum menghilangkan barang bukti narkotika, kemudian barang bukti tersebut
dijual oleh oknum aparat penegak hukum.
Masih sering terjadi disparitas pemidanaan terhadap kasus tindak pidana narkotika.
Disparitas pidana adalah penerapan pidana tidak yang sama terhadap tindak pidana yang
sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat
diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.23
Terhadap kasus tindak pidana narkotika yang serupa (sama), tetapi hakim menjatuhkan sanksi
pidana yang berbeda. Bahkan terkadang hakim menjatuhkan vonis ringan bagi pelaku tindak
pidana narkotika. Vonis ringan tersebut tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatannya. Vonis tersebut juga tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dan setelah

19 Harian Bali Post, 22 Oktober 2010, h.3


20 Rois, 19-11-2010, Dua Kali Terjerat Kasus Narkoba, Staf Kejari Tanjung Perak Dipecat,
http://surabaya.detik.com
21 Harian Jawa Pos, 27 Mei 2007, h.1
22
Harian Jawa Pos, 9 Januari 2011, h.12
23 Muladi dan Barda Arief Nawawi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Teori-Teori
dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h.52.
11
bebas kembali tergoda untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda dari peredaran gelap
narkotika. Menurut Kepala Kesatuan Psikotropika, Direktorat Narkoba, Polda Metro Jaya,
Ajun Komisaris Besar Hendra Joni, hampir sebagian besar nama yang pernah dipenjara,
berulang kali keluar masuk penjara dengan kasus serupa, yakni perdagangan narkoba.24
Di antara pekerjaan-pekerjaan penegakan hukum, pekerjaan kepolisian adalah yang
paling menarik. Hal tersebut menjadi menarik, karena di dalamnya banyak dijumpai
keterlibatan manusia sebagai pengambil keputusan. Polisi pada hakekatnya dapat dilihat
sebagai hukum yang hidup, karena di tangan polisi tersebut mengalami perwujudannya,
setidak-tidaknya di bidang hukum pidana. Apabila hukum bertujuan untuk menciptakan
ketertiban dalam masyarakat, diantaranya dengan melawan kejahatan. Akhirnya polisi, yang
akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban. Siapa-siapa
yang harus ditundukkan, siapa-siapa yang harus dilindungi dan seterusnya. Melalui polisi hal-
hal yang bersifat falsafi dalam hukum dapat ditransformasi menjadi ragawi dan manusiawi.
Oleh karena pekerjaannya tersebut, polisi banyak menanggung risiko mendapatkan sorotan
yang tajam dari masyarakat yang dilaayaninya.25
Dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan pada hukum, terdapat
kecendrungan yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidetifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi).26
Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola
perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari
hukum sebagai struktur maupun proses.27 Dari beberapa fakta bahwa perilaku oknum polisi
dan penegak hukum lainnya terlibat dalam tindak pidana narkotika, maka ini menyebabkan
muncul citra buruk hukum. Yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketidaktaatan
masyarakat terhadap hukum.
Faktor berikutnya adalah sarana atau fasilitas yang mendukung penegakaan hukum.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin upaya pemberantasan tindak
pidana narkotika berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain,
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan
yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.28

24 Harian Kompas, 2 Maret 2008


25 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum, Cet.I, Genta, Yogyakarta, h.111.
26 Soerjono Soekanto, op.cit., h.46
27 Ibid.
28 Ibid., h.37
12
Tenaga manusia atau Sumber Daya Manusia (SDM) POLRI dan BNN sangat tidak
memadai untuk mengawasi luasnya wilayah Republik Indonesia. Hal inilah yang
menyebabkan sering terjadi penyelundupan narkotika melalui pulau-pulau terluar. Pantai di
Indonesia rawan penyelundupan narkotika karena di sepanjang pantai pengawasannya masih
lemah, sehingga perlu peningkatan pengawasan di sepanjang pantai di Indonesia mengingat
penyelundup itu lebih pandai, apalagi penyelundup narkotika.29 Penyelundupan narkotika
tidak hanya dilakukan melalui transportasi laut saja, tetapi juga dilakukan melalui transportasi
udara. Pada tanggal 12 Juli 2010 Petugas Bea dan Cukai Bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali
menangkap seorang perempuan warga negara Filipina yang kedapatan membawa heroin
seberat 2,5 Kg.30
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 juga mengatur mengenai penguatan
kelembagaan BNN dengan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Diatur pula mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), serta teknik
penyidikan lainnya. Kewenangan BNN harus didukung oleh sarana atau fasilitas yang
memadai, misalnya dalam melakukan penyadapan, maka seharusnya penyidik BNN
dilengkapi dengan peralatan canggih guna melakukan penyadapan. Tetapi realitanya
pengunaan peralatan canggih dalam membantu tugas POLRI maupun BNN belum banyak
dilakukan. Hal ini tentu sangat ironis bila melihat perkembangan modus operandi tindak
pidana narkotika semakin canggih yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja
secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
Permasalahan utama di Indonesia dalam memenuhi sarana atau fasilitas yang
memadai adalah belum tersedia cukup dana (anggaran) untuk pengadaan alat-alat canggih
seperti di negara-negara maju guna mendukung upaya pemberantasan tindak pidana
narkotika. Inilah penyebab BNN hanya tampak hebat dari sisi normatif karena undang-
undang memberikan penguatan kewenangan kepada BNN, tapi dalam kenyataannya sangat
lemah, tidak banyak yang dapat dilakukan karena tidak didukung peralatan yang memadai
dalam pelaksanaan tugas.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
juga merupakan faktor yang sangat menentukan efektivitas hukum. Berdasarkan data di atas
terjadi peningkatan sangat signifikan jumlah tindak pidana narkotika pada tahun 1999. Pada

29 Gories Mere, Pantai Indonesia Rawan Penyelundupan Narkoba, 21 September 2010,


http://www.tempointeraktif.com.
30 Viva News, Seorang Perempuan Filipina Ditangkap Membawa Heroin, 13/07/2010,
http://metro.vivanews.com
13
tahun 1998 terjadi 958 kasus, kemudian pada tahun 1999 terjadi 1.833 kasus, berarti terjadi
kenaikan 91,3 %. Harus diingat bahwa pada tahun 1998 Indonesia dilanda krisis ekonomi
yang menimbulkan efek domino di segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Puluhan,
bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan.
Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene
bangkrut.31 Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan
perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar
20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja. Akibat PHK dan naiknya harga-harga
dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai
sekitar 50 persen dari total penduduk.
Tingginya angka penganguran pada saat itu mengakibatkan meningkat pula angka
kriminalitas, termasuk tindak pidana narkotika. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
semakin mahal, penganguran terpaksa menempuh cara yang melanggar hukum yaitu menjadi
pengedar atau kurir narkotika. Sebuah cara mudah mencari uang dengan hasil yang berlipat
ganda. Tidak disadari bahwa melakukan tindak pidana narkotika amat berbahaya dan dapat
dijatuhi sanksi yang berat (misal pidana mati). Atau mungkin keinginan untuk keluar dari
pusaran kemiskinan telah mengalahkan ketakutan akan bahaya hukuman mati. Faktor
ekonomi ini masih sangat relevan sampai saat ini mempengaruhi meningkatnya jumlah tindak
pidana narkotika di Indonesia. Dalam sebuah media cetak nasional diberitakan bahwa ;
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengakui faktor ekonomi menghambat upaya pemberantasan
tanaman ganja di provinsi itu. “Cukup sulit mengajak mereka berhenti menanam ganja karena
keuntungan cukup menggiurkan”.32 Aceh merupakan salah satu wilayah dengan tingkat
tindak pidana narkotika cukup tinggi.
Dalam Undang-undang Narkotika diatur juga peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika. Selama ini masyarakat belum
banyak memberikan kontribusi dalam upaya pemberantasan tindak pidana di Indonesia. Ada
ketakutan dalam masyarakat untuk melaporkan kepada POLRI atau BNN jika di daerahnya
ditemukan ada indikasi tindak pidana narrkotika. Mereka takut keselamatan dirinya dan
keluarganya terancam jika melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Padahal peran serta

31 Andi Suruji dkk, 21 Desember 1998, Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi; Krisis Ekonomi 1998,
Tragedi tak Terlupakan, http://www.seasite.niu.edu.
32 Harian Bali Post, 22 Oktober 2010, h. 10
14
masyarakat akan sangat membantu aparat penegak hukum memberantas tindak pidana dan
peredaran gelap narkotika. Belum semua lapisan masyarakat menyadari pentingnya peran
serta mereka. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan
tindak pidana narkotika, maka diberikan penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa
dalam upaya pemberantasan tindak pidana narkotika.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu
dengan faktor masyarakaat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non
materiil. Pasangan nilai-nilai kebendaan dan keakhlakan, juga merupakan pasangan nilai
yang bersifat universal. Akan tetapi di dalam kenyataan masyarakat Indonesia pada masing-
masing masyarakat timbul perbedaan-perbadaan karena berbagai macam pengaruh. Pengaruh
dari kegiatan modernisasi di bidang materiil, misalnya tidak mustahil akan menempatkan
nilai kebendaaan pada posisi yang lebih tinggi daripada nilai keakhlakan, sehingga akan
timbul pula suatu keadaan yang tidak serasi. Penempatan nilai kebendaan yang pada posisi
lebih tinggi dan lebih penting, akan mengakibatkan bahwa berbagai aspek proses hukum akan
mendapat penilaian dari segi kebendaan belaka.33
Penempatan nilai kebendaan lebih tinggi daripada nilai keakhlakan sebenaarnya telah
terjadi dalam masyarakat Indonesia, dimana beberapa masyarakat Indonesia memilih
melakukaan peredaran gelap narkotika demi keuntungan yang berlipat ganda. Segala sesuatu
disandarkan pada cost and benefit. Akhlak tidak menjadi prioritas bagi mereka yang telah
melakukan tindak pidana narkotika. Hal inilah yang membuktikan bahwa nilai kebendaan
lebih penting daripada nilai keakhlakan. Padahal pandangan seperti ini sangat bertentangan
nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan Indonesia sangat menjunjung akhlak,
moral, etika berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan. Jika nilai-nilai kebudayaan ini dipegang teguh
dan diamalkan, maka seharusnya bangsa Indonesia tidak terlibat dalam tindak pidana
narkotika.

33 Soerjono Soekanto, op.cit., h.65.


15
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
1. Ancaman pidana mati dalam Undang-undang Narkotika tidak efektif dalam upaya
pemberantasan tindak pidana narkotika.
2. Dari pembahasan dapat diketahui bahwa kesadaran hukum masyarakat dan penegak
hukum di Indonesia masih buruk (negatif), artinya walaupun mereka tahu bahwa
mengkomsumsi dan peredaran gelap narkotika adalah tindak pidana, tetapi hal itu
masih tetap dilakukan. Penegakan hukum di dalam bidang Undang-undang Narkotika
belum maksimal yang dipengaruhi oleh beberapa faktor Undang-undang narkotika
tidak efektif, sebagai berikut :

i) Faktor hukumnya sendiri.


ii) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak menerapkan hukum.
iii) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakaan hukum.
iv) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
v) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Faktor hukum (Undang-undang Narkotika) secara normatif sudah baik, tetapi yang
paling menyebabkan undang-undang tersebut tidak efektif adalah faktor penegak
hukum, sarana atau fasilitas penegakan hukum, masyarakat, dan faktor kebudayaan.

III.2. Saran

Solusi yang harus dilakukan terhadap upaya pemberantasan tindak pidana narkotika,
sebagai berikut :

16
1) Harus ditanamkan kesadaran hukum pada diri setiap orang (masyarakat dan
penegak hukum) melalui pendidikan dan sosialisai. Proses pendidikan harus lebih
memperhatikan nilai-nilai moral dan etika untuk membangkitkan kesadaran
hukum, tidak hanya mengedepankan intelektualitas semata.
2) Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tidak saja berpedoman
kepada peraturan perundang-undangan, tetapi juga berpedoman pada hati nurani
dan moral.
3) Pemerintah harus memberikan dana (anggaran) yang cukup sehingga upaya
pemberantasan tindak pidana narkotika didukung penggunaan peralatan canggih.
4) Pemerintah harus mampu meningkatan pembangunan pada sektor riil serta
membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
5) Masyarakat harus meningkatkan peran sertanya dalam pemberantasan tindak
pidana narkotika.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence),
Kencana, Jakarta, 2009.
Muladi dan Barda Arief Nawawi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya,
Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h.52
Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cet.III, Angkasa, Bandung, 1984.
Satjipto Raharjo, Sosilogi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Cet.II,
Genta, Yogyakarta, 2010.
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum, Cet.I, Genta, Yogyakarta, 2009.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2010.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet.19, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2010.

Media Elektronik dan Cetak :


Andi Suruji dkk, Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi; Krisis Ekonomi 1998, Tragedi tak
Terlupakan, http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Reformasi/Krisis_ekonomi.htm,
21 Desember 1998.
Badan Narkotika Nasional, Data Jumlah Kasus dan Tersangka Narkotika,
http://www.bnn.go.id
Gories Mere, Pantai Indonesia Rawan Penyelundupan Narkoba,
http://www.tempointeraktif.com, 21 September 2010.
Harian Bali Post, 22 Oktober 2010.
Harian Jawa Pos, 27 Mei 2007.
Harian Jawa Pos, 9 Januari 2011.
Mertokusumo, Sudikno, 19 Maret 2008, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat,
http://sudiknoartikel.blogspot.com

18
Mertokusumo, Sudikno,Kesadaran Hukum Sebagai Landasan Untuk Memperbaiki Sistem
Hukum, 19 Maret 2008, http://sudiknoartikel.blogspot.com Harian
News, Viva, Seorang Perempuan Filipina Ditangkap Membawa Heroin, 13/07/2010,
http://metro.vivanews.com
Rois, 19-11-2010, Dua Kali Terjerat Kasus Narkoba, Staf Kejari Tanjung Perak Dipecat,
http://surabaya.detik.com Harian
Sofia, Kesadaran Hukum Masyarakat Dan Pengaruhnya Bagi Efektifitas Perkembangan
Hukum, 2010, http://s2hukum.blogspot.com

Peraturan Perundang-undangan :
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang narkotika.
Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 Tentang Narkotika.

19

You might also like