Professional Documents
Culture Documents
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Euphoria reformasi membuat kita ada dalam keadaan senang-senangnya membuat
atau mengubah, merevisi atau mengamandamen undang-undang dan menggantinya dengan
undang-undang baru, bahkan Undang-undang Dasar 1945 saja diamandemen. Dalam
mengubah atau membentuk undang-undang baru jarang diperhatikan bahwa hukum itu
merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa suatu undang-undang itu tidak berdiri sendiri,
tetapi merupakan sistem (berkaitan) dengan undang-undang yang lain. Selain itu yang juga
harus diperhatikan adalah undang-undang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan
masyarakat dimana undang-undang itu diberlakukan karena hukum dan masyarakat saling
mempengaruhi.
Undang-undang Narkotika juga telah beberapa kali diganti dengan undang-undang
baru karena dianggap undang-undang Narkotika yang lama sudah tertinggal oleh
perkembangan dan maraknya peredaran gelap narkotika di Indonesia. Tindak pidana
narkotika yang menunjukkan kecenderungan semakin meningkat baik di tingkat nasional
maupun internasional mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, sehingga dipandang
perlu memperbaharui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dengan
membentuk undang-undang baru, yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1997. Undang-
undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika yang mempunyai cakupan yang lebih luas
baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat.
Kemudian Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 kembali dicabut dan diganti
dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang mulai berlaku sejak
tanggal 12 Oktober 2009. Jika ditinjau dari ancaman pidananya terdapat perbedaan antara
Undang-undang Nomor 9 tahun 1976, Undang-undang Nomor 22 tahun 1997, dan Undang-
undang Nomor 35 tahun 2009. Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tidak mengatur ancaman
pidana mati, sedangkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 dan Undang-undang Nomor
35 tahun 2009 mengatur ancaman pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika. Ancaman
pidana mati untuk tindak pidana narkotika di Indonesia baru diberlakukan sejak tahun 1997
hingga saat ini.
2
Perubahan maupun pergantian peraturan perundang-undangan ini dilakukan untuk
mengikuti perkembangan masyarakat dinamis. Laju peradaban manusia, teknologi dan
informasi sulit diikuti sektor hukum sehingga menyebabkan hukum seakan-akan mengalami
ketertinggalan dalam menghadapi persoalan-persoalan konkrit dalam kehidupan masyarakat.
Para sarjana berpikir ulang tentang hukum dan mulai memberikan perhatian serius terhadap
interaksi antara sektor hukum dan masyarakat, tidak hanya berkutat pada persoalan-persoalan
normatif belaka.
Dalam praktik terkadang terjadi suatu aturan hukum maupun sanksi hukum tidak
efektif sehingga tujuan undang-undang tersebut tidak dapat dicapai secara maksimal. Hal ini
bisa saja terjadi pada Undang-undang Narkotika, walaupun undang-undang tersebut telah
disertai dengan ancaman pidana mati. Efektivitas suatu undang-undang bukan semata-mata
dipenggaruhi oleh faktor norma (kosong, kabur, atau konflik) dalam undang-undangnya
sendiri, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat dalam masyarakat,
seperti kesadaran hukum, penegakan hukum, kepatuhan hukum, faktor ekonomi, dan faktor-
faktor sosial masyarakat lainnya sehingga dapat menimbulkan kesenjangan antara law in
book dan law in action.
Untuk dapat mengetahui efektivitas Undang-undang Narkotika dan sanksi pidana mati
yang diatur dalam undang-undang tersebut terhadap upaya pemberantasan tindak pidana
narkotika, maka harus dilakukan suatu penelitian dengan pendekatan sosiologi hukum.
Istilah “ Sosiologi Hukum” pertama sekali digunakan oleh seorang Itali yang bernama
Anzilloti pada tahun 1822.1 Istilah sosiologi hukum mulai terkenal tersebut setelah
munculnya tulisan-tulisan Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Max Weber, Karl Liewellyn, Emile
Durkhim, serta tokoh-tokoh lain yang concern terhadap sosiologi hukum baik nasional
maupun internasional. Sosiologi hukum merupakan disiplin yang sudah berkembang dewasa
ini. Kini banyak penelitian hukum di Indonesia dilakukan dengan mengunakan metode
sosiologi hukum. Para sarjana di Indonesia mulai menyadari bahwa hukum tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan masyarakat, hukum dan masyarakat saling mempengaruhi,
serta efektivitas hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor empiris dalam masyarakat,
bukan semata-mata hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor normatif.
I.2. Rumusan Masalah
1 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet.19, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010,
h.32
3
1. Apakah Undang-undang Narkotika dan sanksi pidana mati efektif terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana narkotika di Indonesia ?
2. Bagaimanakah pengaruh kesadaran hukum masyarakat dan penegakan hukum
terhadap efektivitas Undang-undang Narkotika di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence),
Kencana, Jakarta, 2009, h.204
4
Data Jumlah Kasus Narkotika
Kasus Tahun
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Narkotika 622 958 1.833 3.478 3.617 3.751 7.140 8.409 16.252 17.355 22.630 29.359
% kenaikan 0 54,4 91,3 89,7 4,0 3,7 90,3 17,8 93,3 6,8 30,4 29,7
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Narkotika 939 1.308 2.590 4.955 4.924 5.320 9.717 11.323 22.780 31.635 36.169 44.694
% kenaikan 0 39,3 98,0 91,3 -0,6 7,8 83,0 16,5 101,2 38,9 14,3 23,6
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa setiap tahun terjadi peningkatan
jumlah tindak pidana narkotika dan terjadi kecenderungan peningkatan kasus dan jumlah
pelaku tindak pidana narkotika. Data ini membuktikan bahwa Undang-undang Narkotika
yang berlaku sejak tahun 1997 (kurun waktu 11 tahun hingga 2008) yang menggunakan
ancaman pidana mati tidak efektif dalam upaya pemberantasan tindak pidana narkotika di
Indonesia.
Dengan diberlakukannya ancaman pidana lebih berat atau pidana mati terhadap
pelaku tindak pidana narkotika, maka seharusnya terjadi kencenderungan jumlah tindak
pidana narkotika mengalami penurunan, tetapi yang terjadi sebaliknya sehingga tujuan
pembentuk undang-undang ini tidak tercapai. Hal ini membuktikan bahwa ancaman pidana
mati bukanlah syarat mutlak dalam mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana
narkotika secara maksimal.
3
Badan Narkotika Nasional, Data Jumlah Kasus dan Tersangka Narkotika, http://www.bnn.go.id
5
Beberapa studi yang telah dilakukan memberitahu kepada kita tentang keharusan
untuk senantiasa bersikap kritis terhadap penggunaan konsepsi-konsepsi yang tampak sebagai
sesuatu yang wajar, seperti misalnya bahwa pidana mati itu akan mempunyai efek menakut-
nakuti. Dari studi empiris yang kemudian dilakukan ternyata, bahwa pendapat-pendapat itu
ternyata lebih merupakan suatu kesan yang umum daripada suatu pendapat yang didasarkan
kepada penyelidikan seksama.4 Penggunaan ancaman pidana mati bukan sesuatu yang mutlak
dapat menakut-nakuti sehingga mampu mencegah orang tidak akan melakukan tindak pidana
narkotika.
Menurut Achmad Ali, kesadaran hukum ada dua macam, yaitu ; kesadaran hukum
positif, identik dengan ketaatan hukum, dan kesadaran hukum negatif, identik dengan
4 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cet.III, Angkasa, Bandung, 1984, h. 169
5 Ibid., h.168
6 Sudikno Mertokusumo, 19 Maret 2008, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat,
http://sudiknoartikel.blogspot.com
6
ketidaktaatan hukum.7 Sedangkan Oetojo Oesman menjelaskan bahwa kesadaran hukum itu
ada dua : kesadaran hukum yang baik , yaitu ketaatan hukum dan kesadaran hukum yang
buruk, yaitu ketidaktaan hukum.8 Soerjono Soekanto mengemukakan empat indikator
kesadaran hukum, yaitu ; pengetahuan tentang hukum, pemahaman tentang hukum, sikap
terhadap hukum, dan prilaku hukum.9 Kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan dan
karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain,
kesadan hukum adalah persoalan “hukum sebagai perilaku”, dan bukan sebagai aturan, norma
atau asas. Dengan kesadaran hukumnya, seseorang dapat berlaku positif yaitu mentaati
hukum, tetapi sebaliknya seseorang juga dapat berprilaku negatif, yaitu melanggar hukum.
Kesadaran hukum bukan monopoli dari sarjana hukum saja, bukan hanya harus
dimiliki oleh hakim, jaksa, dan polisi saja, tetapi pada dasarnya ada pada diri setiap manusia
baik ia terpelajar maupun tidak. Kesadaran hukum pada hakekatnya adalah tentang manusia
secara umum, bukan bicara tentang manusia dalam lingkungan tertentu atau manusia dalam
profesi tertentu seperti hakim, jaksa, polisi, dan sebagainya. Walaupun kesadaran hukum itu
ada pada setiap manusia tetapi kesadaran hukum itu tidak selalu disertai dengan perbuatan
yang positif yang sesuai dengan kesadaran hukum manusia pada umumnya, tetapi justru
disertai dengan perbuatan yang tidak terpuji.10
Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan
hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan
hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan
hukum.11 Apabila kesadaran hukum masyarakat kuat, maka proses perkembangan dan
efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Kesadaran hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh kesadaran hukum setiap
individu dalam masyarakat tersebut. Apabila setiap individu tersebut memiliki kesadaran
hukum yang baik, maka akan baik pula kesadaran hukum masyarakat tersebut. Kesadaran
hukum masyarakat yang baik disebabkan karena memang jiwanya sadar bahwa mereka
membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengatur masyarakat secara baik,
benar, dan adil, bukan karena paksaan dan sanksi.
7
Pada dasarnya masyarakat Indonesia tahu dan paham hukum, tetapi secara sadar pula
mereka masih melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum. Para pemakai dan
pengedar narkotika tahu bahwa mengkomsumsi dan mengedarkan narkotika secara melawan
hukum adalah tindak pidana, tetapi faktanya perbuatan itu masih tetap dilakukan. Para
pengedar tahu bahwa narkotika merusak mental generasi muda yang pada akhirnya dapat
berakibat fatal bagi kemajuan dan pembangunan bangsa, tetapi mereka tetap melakukannya
demi kepentingan pribadi atau golongan dengan alasan financial (uang).
Kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih lemah atau dengan kata lain kesadaran
hukum negatif (kesadaran hukum yang buruk) yang identik dengan ketidaktaatan hukum.
Walaupun masyarakat Indonesia memiliki kesadaran hukum, tetapi kesadaran hukum itu
tidak selalu disertai dengan perbuatan yang positif yang sesuai dengan kesadaran hukum
manusia pada umumnya, tetapi justru disertai dengan perbuatan yang melanggar hukum. Jadi
kesadaran hukum yang dimiliki warga masyarakat belum menjamin bahwa warga masyarakat
tersebut akan mentaati suatu atauran hukum atau perundang-undangan.12
Kesadaran hukum dalam masyarakat bukan merupakan proses sekali jadi, melainkan
merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap. Kesadaran hukum tidaklah
bersifat permanen, tidak stabil, tidak uniter atau tidak konsisten. Sebagai gantinya, kita
melihat kesadaran hukum sebagai sesuatu yang bersifat lokal, kontekstual, pluralistik, yang
diisi dengan konflik dan kontradiksi. Oleh karena itu, harus diupayakan, kesadaran hukum
negatif masyarakat diubah menjadi kesadaran hukum positif.13
Pemerintah dan para penegak hukum harus melakukan upaya-upaya berkelanjutan
untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Kesadaran hukum itu
berhubungan dengan manusianya bukan dengan hukum. Bukan hukum yang harus
direformasi. Yang harus diperbaiki atau ditingkatkan adalah manusianya atau sumber daya
manusianya, yaitu moral, mental dan intelektualitasnya. Upaya tersebut dapat dialakukan
melalui pendidikan. Selama ini sistem pendidikan kita kurang menaruh perhatian dalam
menanamkan kesadaran hukum.
Upaya sosialisasi hukum kepada masyarakat juga harus terus dilakukan untuk
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Sosiologi hukum sangat berperan dalam upaya
sosialisasi hukum demi meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warga
masyarakat secara keseluruhan, maupun dari kalangan penegak hukum. Sosialisasi
14 Satjipto Raharjo, Sosilogi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Cet.II, Genta,
Yogyakarta, h.190.
15 Ibid., h.192
16 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010, h.8.
9
hukum. Kelima faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap penegakan hukum. Mungkin
pengaruhnya adalah positif dan mungkin juga negatif. Akan tetapi, di antara semua faktor
tersebut, maka faktor penegak hukum yang menempati titik sentral.17
Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam penulisan ini hanya akan dibatasi pada
Undang-undang Narkotika saja. Undang-undang Narkotika telah mengalami pembaharuan
dengan maksud agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang dinamis, dan
mencegah serta memberantas peredaran narkotika yang menunjukkkan kecendrungan
semakin meningkat. Dalam perubahan undang-undang narkotika mengatur mengenai
pemberatan ancaman pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara
seumur hidup, maupun pidana mati. Diatur pula mengenai penguatan kelembagaan yang
sudah ada yaitu BNN.
Secara normatif Undang-undang Narkotika sudah baik dan seharusnya mampu
mencegah dan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana narkotika karena undang-
undang tersebut mengatur ancaman pidana yang lebih berat daripada undang-undang
sebelumnya dan memberikan sanksi pidana mati kepada pelaku, memenuhi asas-asas dalam
pembentukan peraturan perundang-undang, seperti tidak berlaku surut (asas legalitas),
kemudian tidak terdapat norma yang kabur, norma kosong maupun konflik norma dalam
undang-undang tersebut, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,
sehingga seharusnya dapat dilaksanakan secara maksimal oleh para penegak hukum dalam
praktik. Namun berdasarkan data-data di atas dapat diketahui bahwa undang-undang
Narkotika tidak efektif.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak menerapkan hukum. Ruang lingkup dari
istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara
langsung dan tidak secara laangsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Di dalam
tulisan ini, yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara
langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law
enforcement, akan tetapi juga peace maintenance kiranya sudah dapat diduga bahwa
kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakimaan, kejaksaan,
kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.18
Selama ini pihak penegak hukum bukan saja gagal menangkal tindak pidana
narkotika tetapi mungkin saja ikut membantu kelancaran pelaksanaan dan atau terlibat tindak
17 Ibid., h.69
18 Ibid., h.19.
10
pidana narkotika maupun sebagai pengguna narkotika. Satu fakta yang diambil dari media
cetak yang mengungkapkan adanya keterlibatan oknum penegak hukum dalam tindak pidana
narkotika, yaitu sebagai pengguna narkotika, oknum anggota Brimob mengakui bahwa ia
mengkonsumsi Ganja Aceh karena stres dalam persidangan di PN Denpasar pada Kamis
19
(21/10/2010). Bukan hanya oknum Polisi yang terlibat tindak pidana narkotika, oknum
Jaksa juga ada yang terlibat tindak pidana narkotika, seperti yang terjadi di Tanjung Perak,
Surabaya. Ditangkapnya jaksa maupun staf kejaksaan yang tersangkut kasus narkoba,
membuat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur gerah. Salah satu staf kejari yang terjerat
kasus sabu-sabu yakni, Aswin Ardi, staf Kejari Tanjung Perak.20
Petugas sipir LP / Rutan tidak melakukan pengawasan yang ketat, sehingga di dalam
LP / Rutan juga terjadi tindak pidana narkotika. Di TV maupun media cetak diberitakan
bahwa ditemukan adanya pabrik dan peredaran narkotika di dalam RUTAN (Rumah
Tahanan) dan LP (Lembaga Permasyarakatan), seperti yang terjadi di Rutan Medaen,
Sidoarjo, Jawa Timur pada tahun 2007.21 Di awal tahun 2011 ini Badan Narkotika Nasional
(BNN) membongkar sindikat perdangan narkoba yang dikendalikan oleh napi kasus narkoba
di Lapas Nusakambangan. Jaringan itu diduga melibatkan sejumlah sipir lapas yang dikenal
berpengaman ketat tersebut.22 Dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan petugas sipir turut
serta menikmati hasil penjualan atau peredaran narkotika. Bahkan pernah terjadi oknum
penegak hukum menghilangkan barang bukti narkotika, kemudian barang bukti tersebut
dijual oleh oknum aparat penegak hukum.
Masih sering terjadi disparitas pemidanaan terhadap kasus tindak pidana narkotika.
Disparitas pidana adalah penerapan pidana tidak yang sama terhadap tindak pidana yang
sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat
diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.23
Terhadap kasus tindak pidana narkotika yang serupa (sama), tetapi hakim menjatuhkan sanksi
pidana yang berbeda. Bahkan terkadang hakim menjatuhkan vonis ringan bagi pelaku tindak
pidana narkotika. Vonis ringan tersebut tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatannya. Vonis tersebut juga tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dan setelah
31 Andi Suruji dkk, 21 Desember 1998, Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi; Krisis Ekonomi 1998,
Tragedi tak Terlupakan, http://www.seasite.niu.edu.
32 Harian Bali Post, 22 Oktober 2010, h. 10
14
masyarakat akan sangat membantu aparat penegak hukum memberantas tindak pidana dan
peredaran gelap narkotika. Belum semua lapisan masyarakat menyadari pentingnya peran
serta mereka. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan
tindak pidana narkotika, maka diberikan penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa
dalam upaya pemberantasan tindak pidana narkotika.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu
dengan faktor masyarakaat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non
materiil. Pasangan nilai-nilai kebendaan dan keakhlakan, juga merupakan pasangan nilai
yang bersifat universal. Akan tetapi di dalam kenyataan masyarakat Indonesia pada masing-
masing masyarakat timbul perbedaan-perbadaan karena berbagai macam pengaruh. Pengaruh
dari kegiatan modernisasi di bidang materiil, misalnya tidak mustahil akan menempatkan
nilai kebendaaan pada posisi yang lebih tinggi daripada nilai keakhlakan, sehingga akan
timbul pula suatu keadaan yang tidak serasi. Penempatan nilai kebendaan yang pada posisi
lebih tinggi dan lebih penting, akan mengakibatkan bahwa berbagai aspek proses hukum akan
mendapat penilaian dari segi kebendaan belaka.33
Penempatan nilai kebendaan lebih tinggi daripada nilai keakhlakan sebenaarnya telah
terjadi dalam masyarakat Indonesia, dimana beberapa masyarakat Indonesia memilih
melakukaan peredaran gelap narkotika demi keuntungan yang berlipat ganda. Segala sesuatu
disandarkan pada cost and benefit. Akhlak tidak menjadi prioritas bagi mereka yang telah
melakukan tindak pidana narkotika. Hal inilah yang membuktikan bahwa nilai kebendaan
lebih penting daripada nilai keakhlakan. Padahal pandangan seperti ini sangat bertentangan
nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan Indonesia sangat menjunjung akhlak,
moral, etika berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan. Jika nilai-nilai kebudayaan ini dipegang teguh
dan diamalkan, maka seharusnya bangsa Indonesia tidak terlibat dalam tindak pidana
narkotika.
III.2. Saran
Solusi yang harus dilakukan terhadap upaya pemberantasan tindak pidana narkotika,
sebagai berikut :
16
1) Harus ditanamkan kesadaran hukum pada diri setiap orang (masyarakat dan
penegak hukum) melalui pendidikan dan sosialisai. Proses pendidikan harus lebih
memperhatikan nilai-nilai moral dan etika untuk membangkitkan kesadaran
hukum, tidak hanya mengedepankan intelektualitas semata.
2) Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tidak saja berpedoman
kepada peraturan perundang-undangan, tetapi juga berpedoman pada hati nurani
dan moral.
3) Pemerintah harus memberikan dana (anggaran) yang cukup sehingga upaya
pemberantasan tindak pidana narkotika didukung penggunaan peralatan canggih.
4) Pemerintah harus mampu meningkatan pembangunan pada sektor riil serta
membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
5) Masyarakat harus meningkatkan peran sertanya dalam pemberantasan tindak
pidana narkotika.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence),
Kencana, Jakarta, 2009.
Muladi dan Barda Arief Nawawi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya,
Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h.52
Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cet.III, Angkasa, Bandung, 1984.
Satjipto Raharjo, Sosilogi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Cet.II,
Genta, Yogyakarta, 2010.
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum, Cet.I, Genta, Yogyakarta, 2009.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2010.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet.19, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2010.
18
Mertokusumo, Sudikno,Kesadaran Hukum Sebagai Landasan Untuk Memperbaiki Sistem
Hukum, 19 Maret 2008, http://sudiknoartikel.blogspot.com Harian
News, Viva, Seorang Perempuan Filipina Ditangkap Membawa Heroin, 13/07/2010,
http://metro.vivanews.com
Rois, 19-11-2010, Dua Kali Terjerat Kasus Narkoba, Staf Kejari Tanjung Perak Dipecat,
http://surabaya.detik.com Harian
Sofia, Kesadaran Hukum Masyarakat Dan Pengaruhnya Bagi Efektifitas Perkembangan
Hukum, 2010, http://s2hukum.blogspot.com
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang narkotika.
Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 Tentang Narkotika.
19