Professional Documents
Culture Documents
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Kehancuran sektor industri kita saat ini bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Syarat-syarat
atas mundurnya sektor industri kita bahkan sudah ada semenjak era kolonialisme. Sejarah
bangsa di era kolonoial banyak melahirkan cendekiawan, politisi, sastrawan, namun hanya
ada segelintir nama saudagar. Sejak dari awal, penguasa Hindia Belanda memang tidak
mempunyai kepentingan dengan lahir dan menguatnya kaum borjuasi pribumi, yang
salah-salah bisa menjadi kekuatan perlawanan. Oleh karena itu, memasuki paruh awal abad
19, Hindia Belanda ditandai dengan melemahnya peran ekonomi kaum priyayi dan saudagar
pribumi. Sebelum menundukkan politik, tundukkan ekonominya. Demikian seolah doktrin
yang digunakan oleh belanda ketika menjajah Indonesia. Jadi jangan heran kalau mereka
sudah menerapkan sistem monopoli sejak abad ke-17. Mereka memonopoli kontrol atas
pelabuhan dan jalur pelayaran perdagangan. Akibatnya, sampai pertengahan abad ke 19,
borjuasi pribumi tidak kunjung berkembang meski ekonomi nasional saat itu sedang menguat.
Masyarakat Indonesia dari kalangan priyayi pada saat itu memang sedikit yang berdagang
ataupun berwirausaha. Mereka kebanyakan menjadi ambtenaar atau clerk. Walaupun sejarah
mencatat adanya SDI (Sarekat Dagang Islam) pada 1912, yang kemudian berganti nama
menjadi SI (Sarekat Islam), sebagai asosiasi para pedagang, mereka gagal dalam membangun
kekuatan ekonomi nasional termasuk melakukan akumulasi modal. Bahkan hingga Belanda
hengkang dari tanah air, mereka belum kunjung memperkuat diri dengan mesin-mesin
modern. Disamping itu, kebijaksanaan ekonomi pemerintah Belanda sama sekali bukan untuk
meningkatkan pembangunan industri secara besar-besaran melainkan untuk :
· Meningkatkan ekspor bahan mentah ke luar negeri terutama negeri Belanda (Siahaan,
1996)
Pada era pemerintahan Soekarno, sektor ekonomi di nomor duakan setelah politik. Beberapa
kali pemerintah sukses menjalankan proyek politik seperti KTT Asia-Afrika, GNB, Asian
Games, CONEFO,GANEFO, dsb. Namun sebaliknya, terjadi salah urus di sektor ekonomi
hingga terjadi inflasi tiga digit. Memang sempat ada beberapa kebijakan maju dari Soekarno
di bidang ekonomi, antara lain nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Disamping itu, program pembangunan industri nasional sebenarnya pernah dilakukan pada
masa Orde Lama melalui Rencana Pembangunan Industri Pola Banting Stir. Program
pembangunan industri nasional tersebut oleh Presiden Soekarno diletakkan dalam kerangka
Nation and Character Building dan Politik Pembiayaan yang Berdikari. Namun program
UUD 1945 sebagai basis dari konstitusi kita, telah sangat jelas menegaskan bahwa ciri khas
perekonomian kita adalah berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Bab XIV UUD 1945,
terutama Pasal 33 dan 34 mengatur bagaimana seharusnya perekonomian ini diatur serta
bagaimana negara harus bertanggungjawab pada kesejahtaraan masyarakatnya. Jika di
belahan dunia yang lain ada sistem Negara Kesejahteraan (Welfare State), kita pun
sebenarnya memiliki semangat dan nilai yang sama. Namun semangat dan cita-cita luhur
tersebut tidak hadir dalam tatanan bernegara dan bermasyarakat.
Indonesia adalah negara dengan potensi sumber daya (alam dan manusia) yang sangat kaya.
Masalahnya, ada kecenderungan “cara mengelola”nya salah. Akibatnya, meskipun terjadi
peningkatan kegiatan ekonomi, tetapi tidak semua lapisan masyarakat mampu memiliki akses
untuk menikmatinya. Tuduhan yang lebih lugas, sumber daya alam telah dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh para industrialis, demi kesejahteraan sekelompok orang saja. Sementara
amanat UUD kita menegaskan bahwa kekayaan tersebut harus dimanfaatkan demi
kemakmuran bangsa, namun ironisnya tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat masih
rendah. Bila menggunakan pendekatan jumlah keluarga yang masih layak mendapatkan
Raskin (beras untuk orang miskin) sebanyak 19,2 juta keluarga, maka dengan rata-rata
anggota per keluarga 4 orang, paling tidak saat ini jumlah orang miskin dan mendekati miskin
minimal 40 juta orang. Angka tersebut lebih banyak dari data BPS yang yang sebanyak 32,5
juta orang (2009) dengan batasan pengeluaran Rp 200.262 per orang per bulan, atau Rp 6.675
(USD 0,725) per orang per hari. Dengan kata lain, jika menggunakan indikator internasional
USD 2 per orang per hari, maka jumlah orang Indonesia yang belum sejahtera akan jauh lebih
besar.
Tidak hanya kemiskinan yang masih besar, namun ketimpangan pendapatan juga makin
melebar. Pada 2005, 40% orang berpendapatan rendah menguasai 22% pendapatan nasional,
sedangkan pada 2008 jumlah ini menurun hingga mencapai 19%. Data ini sejalan dengan tren
peningkatan angka Gini Index yang mengindikasikan kesenjangan antar individu yang
semakin lebar.
Situasi di atas masih diperburuk dengan banyaknya pengangguran di republik ini. Angka
Dari fakta ini, ada indikasi bahwa pola intervensi negara yang selama ini dijalankan salah
arah dan tidak berada dalam rel yang sama dengan UUD 1945. Negara hanya hadir saat pasar
tidak bisa bekerja dengan baik. Contohnya sewaktu terjadi krisis 1997/98, negara
habis-habisan hadir menyelamatkan perekonomian dengan mengeluarkan biaya yang sangat
mahal. Krisis telah memaksa peran negara menjadi besar untuk memacu perekonomian.
Demikian juga ketika terjadi krisis global pada 2007/2008 yang lalu, negara kembali hadir
dalam bentuk stimulus anggaran yang digelontorkan untuk menggerakkan ekonomi yang
tidak maksimal. Bagaimana peran negara setelah perekonomian berjalan normal? Intervensi
cenderung dilucuti sambil menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
Jika melihat perkembangan tiga dekade ke belakang hingga tahun 2004, sektor
industri manufaktur merupakan penggerak utama perekonomian nasional. Namun
sejak 2004, kontribusi sektor industri manufaktur terus mengalami penurunan dari
28,37% menjadi 26,16 pada 2009. Padahal selain menyumbang PDB terbesar, sektor
industri manufaktur juga merupakan sektor yang padat karya di samping sektor
pertanian yang tentunya mempunyai implikasi yang siginifkan terhadap angka
pengangguran.
2. Menurunnya ekspor
Saat ini pasar-pasar di dalam negeri lebih didominasi oleh komoditi-komoditi dari luar
negeri. Barang-barang impor membanjiri mulai dari pasar modern (mall) hingga
Meskipun potensi rezim pertumbuhan tinggi akan kita capai, tetapi yang tumbuh
adalah sektor yang sedikit menyerap tenaga kerja. Sektor-sektor seperti sektor jasa,
perdagangan dan keuangan (non-tradable sector) akhir-akhir ini tumbuh lebih cepat
ketimbang sektor seperti pertanian, pertambangan dan manufaktur (tradable).
Barang-barang dari luar negeri saat ini secara luar biasa telah membanjiri Indonesia, terutama
dari China. Saat ini 17% impor non migas Indonesia datang dari China, sebaliknya hanya
8,5% ekspor non migas masuk China. Defisit neraca perdagangan Indonesia dengan china ini
bukanlah sekedar ketimpangan hubungan dasar, namun ini adalah sebuah proses tergusurnya
industri Indonesia oleh industri China.
Industri Manufaktur, poros sebuah Masyarakat Industrial, kita masih lemah. Sekalipun tetap
menyumbang seperempat dari total produk negeri ini, hanya industri-industri ringan saja yang
ada di negeri ini – sesuatu yang ditunjukkan oleh perbandingan angkatan kerja yang bekerja
di sektor industri manufaktur dan tingkat output-nya.
Jumlah dan produktivitas dari mereka yang bekerja di sektor-sektor industri perdagangan, jasa
dan perbankan jauh lebih besar dari mereka yang ada di sektor industri manufaktur. Ini
menunjukkan bahwa sektor-sektor yang seharusnya hanya menjadi pendukung manufaktur
malah menjadi tumpuan industrialisasi Indonesia.
Dengan demikian, kapitalisme Indonesia juga lemah. Fundamental ekonomi sebuah negeri
kapitalis haruslah didasarkan pada tingkat produktivitas yang tinggi pada sektor industri
manufakturnya. Dengan lemahnya sektor industri manufaktur Indonesia, kapitalisme
Walaupun Indonesia telah masuk ke dalam sistem manufaktur regional, namun peralihan
teknologi ke Indonesia (teknikal, manajemen organisasi, pemasaran, pengembangan produk)
dan keterkaitan eksternal sangatlah terbatas. Ketergantungan pada PMA telah membuat
proses peningkatan kemampuan perusahaan-perusahaan lokal dalam proses manufaktur dan
kemampuan mengembangkan produk dengan merk sendiri serta membangun jaringan
pemasaran sendiri sangatlah lemah. Kondisi ini diperparah dengan adanya konsentrasi
regional dan terbatasnya ketersediaan infrastruktur. Industri-industri skala menengah dan
besar terutama sangat terkonsentrasi di Jawa khususnya di Jabotabek
c. Di pihak lain industri berteknologi rendah tumbuh pesat. Hal ini disebabkan oleh
pesatnya pertumbuhan industri-industri padat karya sepeti tekstil, pakaian jadi, dan
alas kaki.
a. Industri-industri yang padat karya sangat tergantung pada impor bahan baku, input
perantara dan komponen mulai dari 40%-43% di industri-industri tekstil, pakaian jadi,
dan kulit serta hingga 56% di industri-industri alas kaki. Ketergantungan ini
disebabkan oleh tidak adanya suplai domestik dan industri-industri pendukung serta
lemahnya keterkaitan produksi antar industri di dalam negeri.
c. Walaupun pertumbuhan PMA di sektor industri sangatlah besar dan Indonesia telah
masuk kedalam sistem manufaktur regional, namun peralihan teknologi ke Indonesia
(teknikal, manajemen organisasi, pemasaran, pengembangan produk) dan keterkaitan
eksternal sangatlah terbatas.
Industri pengolahan pun akhirnya memiliki linkage bisnis yang rendah di dalam negeri dan
memiliki ketergantungan impor terhadap bahan baku maupun bahan mentah.
Kemudian untuk sektor pangan, Indonesia tidak hanya mengalami ketergamtungan tetapi
mungkin dapat dikatakan sudah masuk pada food trap (perangkap pangan). Tujuh komoditas
pangan utama non beras sangat tergantung pada impor. Empat dari tujuh komoditas pangan
utama nonberas, yakni gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras sudah masuk
kategori kritis. Meningkatnya ketergantungan pangan dapat dilihat dari naiknya volume impor
pangan dalam bentuk komoditas, benih maupun bibit. Data KADIN dan BPS menunjukkan
impor kedelai pernah mencapai 61% dari kebutuhan dalam negeri, gula 31%, dan daging
50%.
Memang masalah ini diawali dari syarat kebijakan liberalisasi oleh IMF yang dituangkan
dalam LoI di bidang pertanian sejak 1998. Namun kebijakan ini terus berlanjut sehingga
peran pemerintah untuk menciptakan kedaulatan pangan semakin kecil. Ini sangat
Jelas bahwa setiap negara akan mengelola ekonomi berdasarkan konstitusinya dan
menomorsatukan kepentingan nasional. Saat krisis 1998, Pemerintah AS memberlakukan
kebijakan Buy American yang mengharuskan dana stimulus fiskal digunakan untuk membeli
produk dalam negeri. Kebijakan tersebut diambil karena pemerintah berkewajiban
menyelamatkan ekonominya dan memprioritaskan kepentingan nasional di atas kesepakatan
internasional yang melarang negara-negara melakukan kebijakan proteksi dalam menghadapi
krisis.
Ketergantungan pembiayaan pembangunan terhadap dana utang juga terjadi. APBN yang
selalu disusun defisit telah mendorong peningkatan stok utang pemerintah baik utang dalam
negeri maupun dalam negeri. Memang benar bahwa porsi utang terhadap PDB telah turun,
namun ketergantungan terhadap utang tidak hanya dilihat dari rasio, tetap juga pada
kemampuan bayar dan sumbernya.
Menurunnya kualitas pertumbuhan bisa dideteksi dari data mengenai penyaluran kredit.
Kredit saat ini lebih banyak mengucur pada sektor-sektor yang tidak banyak menyerap tenaga
kerja (non-tradable sector). Kredit juga lebih banyak mengalir pada aktivitas konsumsi dan
bukan pada investasi. Dengan kata lain, uang telah mengalir pada sektor yang tidak produktif
atau bukan dalam rangka untuk memproduksi barang/jasa. Lalu ke mana? Untuk konsumsi
dan tidak menutup kemungkinan untuk spekulasi.
Di sisi lain, perekonomian kita juga masih berkutat dan terlalu bertumpu pada komoditas
primer dan belum masuk pada fase perkembangan sektor industri yang lebih bersifat maju.
Ketergantungan pada sumber daya alam sebagai sumber pertumbuhan memiliki bahaya.
Harga dari komoditas primer, terutama akhir-akhir ini, sangat fluktuatif dan sangat
dipengaruhi oleh stabilitas keuangan global. Akibatnya, pertumbuhan yang bertumpu pada
ekstraksi sumber daya alam cenderung mengalami ketidakstabilan. Sumber daya alam pada
saatnya akan habis, terutama jika sumber daya tersebut bersifat tak terbarukan (non renewable
resources). Dan jika kita menghabiskan cadangan kekayaan bumi untuk keperluan saat ini,
Pada saat bersamaan, terjadi gelombang krisis mulai dari krisis pangan, krisis energi, krisis
lingkungan hidup, dan krisis anggaran. Ketergantungan anggaran kita pada harga komoditas
minyak di pasar dunia menjadi sebuah ancaman tersendiri. Ini adalah fakta yang sangat nyata
tentang dampak dari siklus komoditas primer (primary product cycle). Pada tahun 1970/80
an, perekonomian kita sangat diuntungkan dengan bonanza minyak. Pada waktu itu, harga
minyak di pasar dunia sedang melonjak menyusul krisis minyak, sementara industri domestik
sedang mengalami booming. Dan karena itu, anggaran kita sangat ditopang oleh pendapatan
dari minyak bumi. Dan karena kita selama ini tidak pernah mengembangkan refinary product
dan hanya menjual minyak dalam bentuk mentah, maka ketika sekarang kita harus menjadi
negara pengimpor minyak (net importer), kondisinya jadi berubah menjadi petaka, karena
anggaran pemerintah harus mengalokasikan subsidi yang cukup besar untuk konsumsi bahan
bakar minyak (BBM), yang sebenarnya bahan bakunya kita miliki dan produksi.
Kemerosotan kualitas pertumbuhan juga bisa dilihat dari masih rendahnya pembangunan
kualitas manusia Indonesia. Pada tahun 2009, posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia masih relatif rendah, yaitu pada posisi 111. Padahal, negara-negara tetangga kita sudah
berada pada posisi yang lebih baik, Singapura (23), Malaysia (66), Thailand (87), Filipina (105).
Dalam hal ini, negara diharapkan hadir dalam rangka menegakkan kesejahtaraan umum masyarakat
melalui berbagai pola kebijakan, baik langsung maupun tidak. Dan ukuran yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi berhasil tidaknya pola intervensi itu, salah satunya, adalah Human Development Index
(HDI). Dalam HDI, tercakup beberapa indikator seperti pendapatan perkapita, ketimpangan
masyarakat, kemiskinan, pengangguran dsb.
Pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode 1970 – 2008 memang mengalami kemajuan
(pertumbuhan positif). Namun demikian, kita patut menilai kemajuan tersebut dari dua sisi.
Pertama, apakah kemajuan ekonomi tersebut lebih baik dari negara-negara lain, terutama
negara tetangga di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Kedua, apakah kemajuan
ekonomi tersebut sudah dapat membuat rakyat Indonesia menjadi sejahtera sesuai yang kita
mimpikan, seperti yang tersurat pada Sila ke Lima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, dengan penjabaran seperti di atas.
Pendapatan per kapita Indonesia tahun 2008 (USD 2,246) jauh di bawah Thailand (USD
4,043), Malaysia (USD 8,209), Singapore (USD 37,597), maupun China (USD 3,267).
Tingkat pengangguran di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 8,4%, merupakan yang tertinggi
di ASEAN-6 dan China. Jumlah rakyat miskin Indonesia dengan pendapatan $2 (PPP) per
hari mencapai 53,8% dari jumlah populasi, juga merupakan yang tertinggi di ASEAN-6 dan
China.
Selama 40 tahun terakhir (periode 1970-2008), tingkat pertumbuhan riil Indonesia lebih
rendah dari negara-negara ASEAN-6 lainnya, kecuali Philippines. Sedangkan tingkat
pertumbuhan investasi (Gross Fixed Capital Formation) Indonesia selama periode yang sama
lebih besar dari negara-negeara ASEAN-6 lainnya, kecuali Vietnam. Hal ini menunjukkan
bahwa produktivitas investasi terhadap output (GDP) di Indonesia relatif lebih rendah dari
negara-negara ASEAN-6 lainnya, kecuali Vietnam.
Teknologi
Kapitalisme internasional pada dasawasa terakhir ini telah mengalami perubahan dasar dalam
pola persaingan global dalam produksi dan perdagangan internasional, dimana kapasitas
teknologi menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan persaingan sektor industri
manufaktur suatu negara. Kemampuan teknologi tersebut terdiri dari beberapa unsur yang
penguasaannya tergantung pada tahap industrialisasi suatu negara. Ada enam kategori
kemampuan teknologi :
Walaupun dalam 30 tahun belakangan ini tingkat kemampuan teknologi pada tingkat nasional
di sejumlah negara sedang berkembang semakin meningkat namun monopoli teknologi maju
tetap ada di tangan negara maju. Dalam membuat penilaian mengenai kemampuan teknologi
industri suatu negara perlu dibedakan dua hal :
Indonesia sebagai negara miskin saat ini kalah bersaing dalam kompetisi teknologi, baik itu
dalam lingkup teknologi perusahaan maupun teknologi negara. Sejak akhir dekade 80-an
dunia sudah dalam proses “revolusi industri kedua” yakni suatu era yang dikendalikan oleh
berbagai macam teknologi mulai dari teknologi informasi (misal super-integrated chips,
sistem telepon, mobile phone, internet, dan supercomputer), genetika, material dan energi
baru, dan ruang angkasa. Perkembangan teknologi yang diwujudkan dalam berbagai
penemuan tersebut telah membantu kapitalisme dalam mempertahankan hidupnya. Tanpa
penemuan, kapitalisme tidak akan mampu merevolusionerkan alat produksinya. Tanpa
merevolusionerkan alat produksi, kapitalisme tidak akan bertahan hidup.
Sumberdaya Manusia
Untuk menunjang proses industrialisasi, SDM berkualitas menjadi faktor yang sangat penting.
Modal
Pemerintah yang berkuasa saat ini masih menghadapi persoalan defisit anggaran dimana
Penerimaan Negara lebih kecil daripada Belanja Negara. Kekurangan Penerimaan Negara
memaksa pemerintah mengajukan pinjaman luar negeri. Sampai saat ini pemerintah masih
menghadapi persoalan tingginya beban pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman
pemerintah, serta belum optimalnya keefektifan pemanfaatan pinjaman luar negeri. Sampai
bulan Juni 2010, posisi pinjaman luar negeri pemerintah mencapai USD 63,5 miliar atau
sebesar 36% dari total pinjaman pemerintah pusat. Situasi Industri Nasional yang seperti ini
masih diperparah dengan kurangnya modal, akibat kredit perbankan nasional yang masih
terlalu tinggi menetapkan suku bunga kredit, yang berkisar antara 11-13 %, sementara bunga
deposito sekitar 7 %. Ini tidak lepas dari kebijakan liberalisasi modal yang paling liberal,
sehingga arus keluar masuk modal lebih banyak pada spekulasi saham maupun pada obligasi,
dan bukan pada sektor real/Industri.
UUD 1945 mempunyai pasal 33 yang mengatur perekonomian, namun eksistensi pasal 33
tentang pengelolaan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang tanggungjawab
pemerintah terhadap warga negara seperti menyediakan pendidikan, kesehatan, pangan,
pekerjaan, dan menjamin orang miskin. Dengan demikian dalam UUD 1945 terdapat enam
pasal, yakni pasal 23, 27, 28, 31, 33, dan 34 dimana keenam pasal tersebut harus
diimplementasikan secara utuh.
Dengan kembali kepada ekonomi konstitusi, berbagai kekayaan alam akan dikembalikan
sebagai modal pembangunan Indonesia dalam mewujudkan kemajuan dan kemandirian.
Sehingga kekayaan alam tersebut harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besar
bagi kemakmuran rakyat. Jika kita bersungguh-sungguh mengimplementasikan tersebut,
maka tidak ada lagi kekayaan alam yang diambil oleh negara lain. Ironisnya, berbagai
undang-undang mengenai pengelolaan SDA saat ini tidak sedikit yang menyimpang dari
konstitusi. Misalkan UU Migas No. 22 tahun 2001 misalnya, paling tidak ada empat pasal
yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi.
Namun putusan MK tersebut sampai saat ini belum dijalankan karena akan mengganggu
kepentingan sekelompok elit asing dan dalam negeri yang selama ini mendapat manfaat besar
dari liberalisasi SDA. Kita juga harus mengevaluasi UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara (Minerba) karena tidak mengatur pentingnya DMO (domestic market
obligation) bagi kepentingan nasional. Kita juga harus mengevaluasi UU No. 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang hingga
95% serta melakukan koreksi terhadap berbagai undang-undang yang telah disusun dengan
paradigma liberal, seperti UU Kelistrikan, UU Air, dll. Mengembalikan ekonomi kepada
konstitusi juga berarti bersedia mengoreksi berbagai kontrak-kontrak tambang sehingga
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.
Tingkat pertumbuhan rata-rata di atas 10% bukan merupakan mission impossible bagi
Indonesia. Hal ini dapat dicapai apabila Indonesia mampu merubah strategi kebijakan
industrinya sehingga dapat memproduksi barang setengah jadi (intermediate goods) dan
barang jadi (finished goods) secara mandiri. Struktur industri tersebut harus beragam,
terintegrasi dan sinergis (diversity) sehingga dapat menciptakan skala ekonomis dan efek
multiplier yang tinggi, yang kemudian menciptakan produktivitas yang tinggi. Sebagai
contoh, China ekspor 5,40% produk primer dan 94,60% barang jadi. Artinya, barang setengah
jadi China diproses di dalam negeri sehingga menciptakan efek multiplier yang tinggi dan
berakibat pada peningkatan efisiensi dan produktivitas. Sedangkan struktur industri Indonesia
jauh dari kondisi di atas: ekspor produk primer dan barang setengah jadi Indonesia cukup
besar. Selain itu, China juga sukses mengembangkan teknologi maju yang diterapkan di
industri-industri mereka sehingga produktivitas naik, yang mana mengakibatkan harga
produksi turun dan produk China jauh lebih kompetitif di pasar internasional.
Dengan kata lain, economies of scale, industry diversity dan technology merupakan faktor
kunci untuk meningkatkan produktivitas, di mana hal ini merupakan pra-kondisi (necessary
condition) untuk mencapai pembangunan ekonomi yang sukses menuju kesejahteraan. Oleh
karena itu, langkah awal Restorasi Ekonomi Indonesia harus dimulai dengan membangun
Struktur Industri manufaktur yang terintegrasi serta beragam (industry diversity) yang pada
akhirnya dapat menciptakan efek multiplier dan skala ekonomis yang tinggi yang dapat
meningkatkan produktivitas.
Membangun Struktur Industri yang efisien hanya dapat dicapai dengan dukungan kebijakan
ekonomi dan kebijakan pemerintah yang tepat, baik dalam bidang kebijakan ekonomi makro
dan mikro, untuk memastikan bahwa economies of scale, industry diversity dan teknologi
yang diinginkan berada di jalur yang benar.
Di bawah ini beberapa contoh kebijakan utama untuk mencapai hal tersebut di atas. Tentu
saja merupakan tanggung jawab kita semua, para cendekiawan, politikus dan segenap elemen
masyarakat, untuk menjabarkannya secara lebih rinci.
Diplomasi Ekonomi
- Pemerintah tidak anti asing (chauvinis), namun aktif dan terlibat dalam pergaulan
internasional dengan tetap mengutamakan kedaulatan dan kepentingan nasional.
- Pemerintah harus mengoreksi keikutsertaan dalam kesepakatan-kesepakatan
internasional yang dinilai mengancam kepentingan nasional.
Kebijakan Moneter
- Pemerintah harus dapat menciptakan tingkat suku bunga yang kompetitif untuk
merangsang investasi sekaligus mengurangi beban bunga.
- Pemerintah harus dapat mengendalikan nilai tukar yang stabil. Hot money yang masuk
untuk investasi di pasar modal harus seluruhnya menjadi cadangan devisa, sehingga
apabila hot money tersebut ditarik secara tiba-tiba tidak membuat gejolak nilai rupiah.
- Pemerintah harus dapat mengendalikan tingkat inflasi: apabila Struktur Industri sudah
cukup kuat dan efisien (diversity), maka ekonomi nasional akan lebih steril terhadap
ketergantungan barang impor sehingga tingkat inflasi karena pengaruh fluktuasi nilai
tukar akan lebih mudah dikendalikan.
Kebijakan Perdagangan
- Mengurangi atau eliminasi tarif bea masuk untuk barang mentah, barang setengah jadi
serta mesin dan perlengkapan mesin agar produksi barang jadi dapat menjadi lebih murah.
- Naikkan tarif bea masuk sementara bagi produk impor yang merupakan saingan produk
industri baru (infant industry).
- Memberi insentif pajak untuk ekspor barang jadi misalnya tax rebate atau penurunan tarif
pajak perusahaan.
- Memberi fasilitas currency swap yang dapat membantu pengusaha menghindari fluktuasi
nilai tukar.
Peran BUMN
- Pemerintah harus dapat meningkatkan peran BUMN, artinya memperbesar skala
ekonomis produksi untuk dapat menjadi motor pembangunan maupun kepanjangan
tangan pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonominya, terutama untuk industri
strategis, industri infrastruktur dan industri dengan karakteristik increasing returns.
- BUMN harus dapat berperan aktif mempercepat pembaharuan dan inovasi teknologi di
industri masing-masing, baik bekerja sama dengan universitas negeri maupun BPPT.
- (Sebagian atau seluruh) keuntungan (dividen) dari BUMN harus dapat digunakan untuk
meningkatkan usaha kecil dan sektor pertanian melalui pendidikan keterampilan atau
bantuan teknologi untuk meningkatkan produktivitas yang tercermin dalam APBN –
redistribusi pendapatan pemerintah dari BUMN ke masyarakat kecil.