Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Zaddatun Hawai
A. Pendahuluan
Dalam sejarah peradaban, setidak-tidaknya ada tiga era atau zaman yang
memiliki ciri khasnya masing-masing, yaitu pra-modern, modern dan post-modern.
Zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek. Pernyataan
Rene Descartes, “cogito ergo sum” [aku berpikir maka aku ada], telah menghantarkan
manusia sebagai makhluk yang dibimbing oleh rasionya sebagai subjek dan
berorientasi pada dirinya sendiri.1 Karena itu rasio atau akal budi manusia menjadi
pengendali manusia terutama tingkah lakunya.
Selanjutnya muncullah era kontemporer, yang disebut post-modern. Pemikiran
pada masa ini memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan
emansipasi.2 Intisari dari gerakan post-modern adalah ketidakpercayaannya dan
penolakannya terhadap gerakan modern yang dinyatakannya telah gagal menepati
janji-janjinya untuk membahagiakan umat manusia. Gerakan ini yang pada mulanya
mencuat dalam bidang bidang arsitektur dan estetika, segera merambah pada berbagai
aspek kehidupan manusia yang mempunyai variasi yang luar biasa banyaknya,
termasuk dalam studi agama.
Atas dasar itulah makalah singkat ini berusaha mengemukakan secara ringkas
mengenai gerakan post-modern meliputi pembahasan tentang: pengertian modern dan
post-modern, kritik post-modern dan metode pendekatannya, kritik-kritik post modern
terhadap agama dan studi agama, metode post-modern dan dekonstruksi dalam Islam,
pendekatan post-modern dalam studi Islam, signifikasi dan kontribusi pendekatan
post-modern dalam studi Islam.
1
2
Jawabannya adalah: Apa yang bisa diketahui manusia hanya yang dipersepsi dengan panca indra,
selainnya “ilusi” saja. Sesuatu yang harus dilakukan harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan
umum. Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akalnya. Lihat: Magnis Suseno, Pijar-pijar
Filsafat, h. 67.
5
Ibid., h. 68
6
Hegel, filosof Jerman terkenal dengan Filsafat Dialektika. Menurutnya, Dialektika adalah dua
hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran)
dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang empiris indrawi.
Semua pengetahuan harus empiris. Lihat: Ibid., h. 82
7
Ibid., h. 76.
8
Ibid.
9
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya,2003), h. 71.
10
Lihat Dja’far Siddik, “Peran dan Tanggung Jawab Guru Keilmuan dalam Pembinaan Akhlak
Peserta Didik”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap IAIN Sumatera Utara di Hadapan Rapat Senat
Terbuka IAIN SU pada tanggal 30 Desember 2009 (Medan, IAIN SU, 2009), h. 10 dan 12.
11
Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung:Mizan, 1999), h. 51-52.
3
12
John Gage Allee (Ed), Webster’s Dictionary Library (New York: Bell Publishing Company,
1980), h. 1978.
13
Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat, h. 102.
14
Bambang Sugiharto, Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat (Jakarta : Kanisius, 1996), h.
121.
15
Lihat: http://jelleq.wordpress.com/2009/06/15/ciri-posmo-menurut-charles-jencks diunduh
tanggal 21 Nopember 2010
16
Ibid.
17
Ibid.
4
dan kurang human itu berlanjut menjadi kritik terhadap kebudayaan modern pada
umumnya, yang kemudian dikenal sebagai era post-modern.
Ahmad Amir Aziz menyatakan bahwa untuk mendefenisikan post-modern itu,
perlu dilihat dari dua hal. Pertama, post-modern dipandang sebagai keadaan sejarah
setelah zaman modern, karena kata ’post” itu sendiri secara literal mengandung
pengertian sesudah. Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses
akhir yang segera digantikan oleh zaman berikutnya yaitu post-modern. Kedua, post-
modern dipandang sebagai gerakan intelektual yang mencoba menggugat bahkan
merekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam berbagai paradigma
pemikiran modern.18
Agak sulit memberikan batasan yang tepat mengenai post-modern itu sendiri.
Hal ini diakui oleh Ernest Gellner ketika ia mengatakan bahwa hampir mustahil untuk
memberikan defenisi dan paparan yang jelas tentang post-modern.19 Meskipun begitu
ada semacam kesamaan pandangan bahwa post-modern itu merupakan gerakan yang
menolak realitas modern karena dianggap gagal dalam melanjutkan proyek
pencerahannya.
Akbar S. Ahmed mencirikan ada 8 (delapan) karakter sosiologis post-
modernisme, yaitu: (1) timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek
modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-
narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran; (2)
meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem
indera, organ dan saraf , yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil.
Kekuatan media masa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam
artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa
disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi; (3) munculnya
radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau
alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan
filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi,
sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan; (4) munculnya kecenderungan baru untuk
menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu;
(5) semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan
wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya
dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai ‘titik
pusat’ yang menentukan gerak pada ‘lingkaran pinggir’; (6) semakin terbukanya
18
Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h.
11.
19
Ernest Gelner, Menolak Post-modernisme antara Fundamentalisme Rasionalis dan
Fundamentalisme Religius, [Postmodernism, Reason and Religion], terj. Hendro Prasetyo dan Nurul
Agustina (Bandung: Mizan, 1994), h. 47.
5
peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara
lebih bebas. Artinya, era post-modern ikut mendorong bagi proses demokratisasi; (7)
era post-modern juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya
eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan
realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok
budaya secara eksklusif; dan (8) bahasa yang digunakan dalam wacana post-modern
seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang
disebut ‘era post-moderni’ itu banyak mengandung paradoks.19
19
Akbar S. Ahmed, Post-modernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. Mhd. Sirozi
(Bandung: Mizan, 1993), h. 27-41. Lihat juga: Komaruddin Hidayat, "Melampaui Nama-Nama Islam
dan Post-modernisme ", dalam: Edy A Efendy, (Ed.), Dekonstruksi Mazhab Ciputat (Bandung: Wacana
Mulia, 1999), h. 91-93.
20
Pauline Marie Rosenau, Post Modernisme and Social Science (New Jersey: Princeton
University Press, 1982) h. 14.
21
Wahyudin Abu Bakar, “Post-Modernisme sebagai Wacana Komtemporer”, dalam Jurnal
Serambi Ilmu, No. XI Tahun I, Nopember 2009, h. 71.
6
22
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 380.
23
Ernest Gelner, Menolak Post-modernisme , h. 47.
24
Ibid., h. 39.
25
M. Jazeri dan Listiono Santoso, Epistemologi Kiri (Yogyakarta: Andika Keluarga, 1996), h.
66.
26
Sri Rahayu, Epistemologi Friedrich Wilhelm Nietzsche, dalam Epistimologi Kiri,
(Jogyakarta, Ar-Ruuz, 2006), h. 67.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Yacob, Paham Allah, h. 66.
30
Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/C.S._Lewis
7
teologi, moral dan hukum. Ketiga, nalar hanya bertitik tolak pada rumusan-rumusan
umum dan menggunakan metode analogi, implikasi dan oposisi. Keempat, data-data
empiris digunakan secara sederhana dan terus dikaitkan dengan kebenaran
transendental, serta dimaksudkan sebagai alat legitimasi bagi penafsiran serta menjadi
alat apologi. Kelima, pemikiran Islam cenderung menutup diri dan tidak melihat aspek
kesejarahan, sosial, budaya dan etnik, sehingga cenderung dijadikan sebagai satu-
satunya wacana yang harus diikuti secara seragam dan taklid. Keenam, pemikiran
Islam lebih mementingkan suatu wacana yang lahir di dalam ruang bahasa yang
terbatas, sesuai kaidah bahasa dan cenderung mengulang-ulang sesuatu yang lama.
Selain itu, wacana batin yang melampaui batas-batas logosentris, dalam arti kekayaan
spiritual, cenderung diabaikan.40
Dari kondisi sedemikian ini, Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya yang
bercorak kritik epistemologis, dan membebankan beberapa tugas kepada kaum
intelektual Muslim (termasuk dirinya sendiri). Pertama, melakukan klarifikasi historis
terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alqur’an kembali secara benar dan
baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syari’ah sebagai sistem semiologis yang
merelevankan wacana al-Qur’an dengan sejarah manusia, di samping sebagai tatanan
sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan nalar,
wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan sebagainya) untuk
menyelaraskan teori dan praktik. Keempat, memperjuangkan suasana berfikir bebas
dalam mencari kebenaran agar tidak ada gagasan yang terkungkung di dalam
ketertutupan baru atau di dalam taqlid.41
Menurut Arkoun, bahwa untuk menerapkannya diperlukan usaha dan kerjas
yang jelas akan berhadapan dengan berbagai kendala, terutama kendala epistimelogis
dan pengetahuan yang mumpuni.42
Untuk menghilangkan semua kendala tersebut, perlu diberikan perhatian lebih
terhadap pengajaran dan studi sejarah sebagai antropologi masa lalu dan tidak hanya
sebagai pemaparan fakta-fakta sejarah yang naratif. Oleh karena itu, Arkoun
mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis yang dilakukan bukan
dengan tujuan untuk menghilangkan pentingnya pendekatan teologis dan filosofis,
melainkan bertujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan
keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam.43
40
Mohammad Arkoun, ”Logocentrism et verite religieus dans la pensee Islamique”, dalam
Studia Islamica XXXV, Paris 1972, h. 12-15, yang dikutip dan diterjemahkan oleh Suadi Putro,
Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 38
41
Ibid., h. 124
42
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun,
terj. Ahmad Baiquni, cet. II (Bandung: Mizan, 2002), h. 43.
43
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
terj. Rahayu S, Hidayat (Jakarta: Paramadina, 2008), h. 27.
10
44
Muhammad al-Fayadl, Derrida, (Yogyakarta: LkiS, 2006), h. 20; lihat juga: Dja’far Siddik,
“Penelitian Dokumen Pada Penelitian Kualitatif: Wacana Dekonstruksi”, Makalah Seminar
dipresentasikan pada Seminar Nasional Penelitian Agama STAIN Babel, tanggal 17 Juli 2009, h. 9.
45
Ibid.
46
Muhammad al-Fayadl, Derrida, h. 26..
47
Ibid., 28
48
Ibid., h. 30.
49
Ibid.
11
Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang
“ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan.
Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, adalah ketidakpastian, yang harus
ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari terus-menerus bermain bebas dengan
perbedaan (to differ).50
Di kalangan intelektual Muslim, Mohammed Arkoun adalah seorang yang
cukup terkenal dengan metode dekonstruksi.51 Menurut Arkoun, strategi dekonstruksi
tersebut hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern yang kritis. Dengan
demikian, nalar (reason) harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan
substansionalisme yang memenjarakannya, terutama di dalam nalar yang
dielaborasikan di dalam berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika
Yunani.52 Dalam konteks inilah terlihat kesamaan antara Arkoun dengan Derida yang
mengunggulkan metode dekonstruksi.
Seperti dikemukakan di depan, bahwa dekonstruksi merupakan sebuah metode
pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu
hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu
kontekstual dan anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah.
Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final.
Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut
pembentukannya dalam sejarah.53
Berkaitan dengan itu, menarik untuk melihat kembali wacana keberagamaan
melalui kacamata dekonstruksi yang dikemukakan Derrida. Bagi Derrida tidak ada
lagi makna yang transenden. Tidak ada makna yang mutlak. Ia menolak metafisika
yang mengasumsikan adanya makna yang sudah hadir sebelum teks itu menjelma
sebagai makna. Derrida bukan saja telah membebaskan makna dari kerangkeng
transendensi, tetapi ia telah menohok kebuntuan interpretasi yang selalu terperangkap
pada hasrat mendominasi, hingga terbuka keran dialog biner di mana satu dengan
yang lain bebas – sebebas-bebasnya – mengekspresikan diri dalam realitas dan makna
yang tidak tunggal (plural).54
Bila berpijak pada konsep dekonstruksi yang mewarnai sejumlah pemahaman
dalam dunia post-modernisme, mau tak mau, seperti diungkapkan Komaruddin
50
Konsep “differance” membawa konsekuensi terhadap metafisika barat. Pemikiran metafisika
Barat yang logosentrisme dan fonosentrisme. Pada logosentrisme, pemikiran dibawa ke seberang dunia
sana, dunia ideal, sebagai prinsip rasional yang mentotalitaskan segala sesuatu. Pada fonosentrisme
adalah anggapan tentang ekspresi murni bahasa dari kedalaman diri kita. Ketika budaya muncul, bahasa
bunyi yang telah dikorupsi oleh bahasa tulisan. Pemahaman logos dan phonos inilah yang yang harus
dikonstruksi Lihat. http://ajidedim.wordpress.com, diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
51
Ibid.
52
Ibid., h. 32.
53
http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
54
Jean Grodin, Sejarah Hermeneutika, h. 254.
12
Hidayat, kita akan sampai pada kesimpulan dan pemahaman tentang Tuhan dan
berbagai pesannya pada batas relativisme dan aproksimasi. Tidak akan ada lagi
pemaksaan atas nama absolutisme. Setiap orang bebas memainkan language games-
nya masing-masing untuk membangun epistemologis kehidupan menurut cara dan
pengalaman serta pilihan hidupnya sendiri.55
Oleh karena itu seperti diingatkan oleh Komaruddin Hidayat, agar penggunaan
dekonstruksi dalam studi Islam tidak mengikuti prinsip-prinsip dekonstruksi Derrida
yang mengarah pada nihilisme-relatifisme. Karena itu proses dialog dan dekonstruksi
ini hanya mungkin dan bermakna jika di sana terdapat prinsip yang diterima bersama.
Prinsip itu ialah adanya semua yang ada (beings) dan Ada (Being), adanya “ciptaan”
dan “Pencipta”. Secara konseptual kata “ciptaan” tidak bisa difahami kalau tak ada
hubungan relasional dengan konsep “Pencipta”, dan sebaliknya. Di sini pengakuan
terhadap sesuatu yang bersifat “meta-eksistensi” memang mengesankan loncatan.
Tetapi lebih sulit lagi kalau kita menolak pengakuan ini.56
Jika pada masa modern, manusia mengingkari agama oleh karena terlalu
kuatnya pengaruh rasionalitas, sedangkan pada masa post-modern ini manusia sangat
mungkin mengingkari agama dengan alasan-alasan yang irrasionalitas dan emosional.
Hal ini terlihat bahwa pada post-modern ini bermunculan agama-agama (isme) baru
buatan manusia yang merupakan hasil sinkritisme dan pluralisme.57
Secara agak ekstrim dapat dikatakan bahwa pada post-modernisme tidak ada
lagi kebenaran absolut, maka dalam agama apapun atau mungkin bahkan dalam kitab
suci apapun. Apa yang telah ada hanyalah kebenaran relatif dan subyektif, sehingga
suatu kebenaran menurut masing-masing orang yang memandangnya, sehingga
manusia di sini sebagai hakim penentu kebenaran, dan bukan melalui Kitab Suci yang
diwahyukan-Nya, sebab, tidak ada standard tertentu dalam segala hal. Post-
modernisme secara tidak langsung telah menempatkan relativisme sebagai acuan
dasar, dan segalanya direduksi menjadi relatif, yang memungkinkan terjadinya
penafsiran terhadap realita tidak terbatas. Selanjutnya tidak ada lagi nilai-nilai yang
memiliki keunggulan, kelebihan dari nilai-nilai lainnya.
Fenomena post-modernisme ini memunculkan berbagai persoalan tentang
peran iman dan agama. Ketika manusia tidak lagi percaya akan rasionalitas yang
dianggap telah gagal melanjutkan proyek pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur
oleh kebenaran tunggal dan sistem mekanis. Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak
dan direlatifkan, termasuk agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia
55
Komaruddin Hidayat, Post-modernisme : Pemberontakan terhadap Keangkuhan
Epistemolo-gis, dalam "Post-modernisme dan Masa Depan Peradaban" (Yogyakarta: Aditya Media,
2004), h. 63.
56
Ibid.
57
Ibid.
13
berada dalam kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian
jatuh kepada ekstrim fundamentalisme dan beberapa yang lain ke arah sekularisme.
F. Pendekatan Post-Modern dalam Studi Islam
Pemikiran mengenai post-modernisme mulai banyak direspon oleh kaum
agamawan dan peminat studi-studi agama, meskipun baru ada masa menjelang tahun
90-an respon itu menguat. Salah satu persoalan yang menarik muncul dalam
pembicaraan mengenai post-modernisme dan agama adalah bagaimana perspektif
pemikiran post-modernisme bisa dipakai untuk melihat agama. Atau bagaimana post-
modernisme bisa digunakan sebagai pisau analisis atau strategi untuk melihat agama.
Hal ini memang agak riskan, terutama karena sebahagian orang menilai bahwa
pemikiran post-modernisme masih belum menemukan bentuknya yang jelas.
Namun, persoalan penggunaan sebuah perspektif dan analisis tentunya untuk
melihat agama bukanlah persoalan yang luar biasa karena setiap persoalan senantiasa
dilihat dan dimulai dari sudut perpektif tertentu, baik sosiologis, antropologis, historis,
fenomenologis dan sebagainya. Yang utama di sini adalah mengapa perspektif analisis
post-modernisme dipilih.
Rudi Harisyah Alam, mencoba perspektif post-modernisme dalam kajian studi
Islam merujuk pada perspektif filosofis yang muncul di Prancis setelah kemunculan
aliran strukturalisme yang biasa disebut oleh para ahli sebagai pemikiran post-
strukturalisme. Terutama sekali, perspektif yang dikembangkan oleh Michel Foucault
(1926-1984).58
Jika disistematiskan penerapan perspektif Foucault untuk studi agama, maka
dapat dipraktekkan dengan beberapa cara. Pertama, menginventarisir, praktek-praktek
sosial (nondiskursif) yang akan menjadi sasaran investigasi. Investigasi ini dilakukan
berdasarkan hasil deskripsi dari praktek-praktek lokal yang berkembang di
masyarakat. Hal ini tentu saja melibatkan pilihan dan prioritas terhadap praktek mana
yang akan dijadikan sasaran investigasi, bergantung pada situasi dan kondisi saat
investigasi tersebut dilakukan. Namun hal yang perlu ditekankan adalah bahwa
investigasi ini diarahkan terutama kepada praktek-praktek yang secara efektif menjadi
wilayah di mana relasi-relasi kekuasaan menghasilkan efeknya yang refresentatif,
misalnya tentang perkawinan, sewa-menyewa dan kepemilikan. Kedua, mendes-
kripsikan bagaimana relasi-relasi kekuasaan bekerja lewat mekanisme yang
disediakan oleh praktek-praktek sosial tersebut dan bagaimana relasi-relasi kekuasaan
tersebut mengonstitusi, memproduksi serta memunculkan wacana keagamaan. Ketiga,
menganalisis bagaimana wacana-wacana keagamaan yang telah diproduksi oleh
relasi-relasi kekuasaan selanjutnya menopang dan menjustifikasikan bekerjanya
relasi-relasi kekuasaan tersebut bagaimana sebuah wacana keagamaan memproduksi
58
Rudi Harisyah Alam, “Postmodernisme”, dalam Jurnal Tajdid No.X Tahun II, h. 99-100.
14
dan komunikasi, berkaitan erat dari teks. Hal itu berkaitan erat dengan sumber dasar
ajaran Islam adalah al-Qur’an dan hadis, yang tak lain adalah teks tertulis, yang telah
diabadikan sejak pertama kali diturunkan. Bahkan lebih jauh Komaruddin Hidayat
menyebutkan bahwa alam raya fisis ini merupakan teks yang harus dibaca,
sebagaimana dikatannya:
Dalam tradisi Islam, sejak awal diyakini bahwa teks itu tidak hanya terbatas
pada kitab suci Al-Qur'an. Juga alam raya adalah teks, bahkan perilaku
(tradisi) kenabian itu sendiri juga merupakan teks yang kesemuanya
menyimpan dan hendak mengkomunikasikan makna dan pesan yang
dikandungnya. Terdapat korelasi yang dialogis antara subyek (seorang
muslim), teks Al-Qur'an, tradisi kenabian, dan realitas alam raya dengan
hukum-hukumnya. Sejak pertama kali Al-Qur'an diwahyukan.62
Berkaitan dengan pernyataan di atas, maka pendekatan dekonstruksi terhadap
teks yang digunakan dalam studi Islam perlu mendapat perhatian, sebab, seperti
disebutkan Kamaruddin Hidayat di atas, bahwa sejak pertama kali al-Qur’an
diturunkan, ia sudah melakukan dekonstruksi radikal terhadap epistemologi serta
syair-syair Jahiliyah waktu itu.
Pendekatan dekonstruksi yang diperkenalkan Derrida, sebagaimana telah
dikemukakan di depan, di kalangan Muslim pun, telah dilakukan oleh Mohammed
Arkoun, walaupun dalam banyak hal tidak sama persis dengan yang dilakukan oleh
Derrida. Dalam kaitan ini Komaruddin Hidayat mengatakan, bahwa dalam berbagai
karya Arkoun, secara eksplisit memperkenalkan konsep dekonstruksi dari Derrida
dalam memahami Al-Qur'an, meskipun dalam segi yang amat fundamental Arkoun
berbeda dari Derrida dan pemikir postmodernis yang lain.63
Persoalannya sekarang adalah, mengapa studi Islam membutuhkan pendekatan
dekonstruksi terhadap teks-teks keagamaan? Masih menurut Komaruddin Hidayat
bahwa sekurang-kurangnya ada lima alasan mengapa konsep dekonstruksi itu
diperlukan, yaitu:64
1. Kitab Suci sebagai firman Tuhan diturunkan dalam penggalan ruang dan
waktu, sementara manusia yang menjadi sasaran atau “pemakai jasa” senantiasa
berkembang terus dalam membangun peradabannya. Dengan warisan kulminasi
peradaban yang turun temurun masyarakat modern bisa berkembang tanpa rujukan
kitab suci sehingga posisi kitab suci bisa saja semakin asing meskipun secara
substansial dan tanpa disadari berbagai ajarannya dilaksanakan oleh masyarakat.
62
Komaruddin Hidayat, “Islam dan Postmodernisme”, http://www.tokohindonesia.com/
ensiklopedi/k/komaruddin-hidayat/berita/06.shtml, diunduh tanggal 22 Nopember 2010. Lihat juga:
Komarudin Hidayat, “Melampaui Nama-Nama”, h. 95.
63
Ibid., hlm. 71.
64
Selengkapnya lihat Ibid., h. 72-73. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Islam dan
Postmodernisme”, http://www.tokohindonesia.com/ ensiklopedi/k/komaruddin-hidayat/berita/06.shtml,
diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
16
2. Bahasa apa pun juga, termasuk bahasa kitab suci, memiliki keterbatasan yang
bersifat lokal karena bahasa adalah realitas budaya. Sementara itu pesan dan
kebenaran agama yang termuat dalam bahasa lokal tadi mempunyai klaim
universal. Di sini sebuah bahasa agama akan diuji kecanggihannya untuk
menyimpan pesan agama tanpa harus terjadi anomali atau terbelenggu oleh
kendaraan bahasa yang digunakannya.
3. Ketika bahasa agama “disakralkan”, maka akan muncul beberapa
kemungkinan. Bisa jadi pesan agama terpelihara secara kokoh, tetapi bisa juga
justru makna dan pesan agama yang fundamental malah terkurung oleh teks yang
telah “disakralkan” tadi.
4. Kitab suci--di samping kodifikasi hukum Tuhan--adalah sebuah “rekaman”
dialog Tuhan dengan sejarah di mana kehadiran Tuhan diwakili oleh Rasul-Nya.
Ketika dialog tadi dinotulasi, maka amat mungkin telah terjadi reduksi dan
pemiskinan nuansa sehingga dialog Tuhan dengan manusia tadi menjadi
kehilangan “ruh”-nya ketika setelah ratusan tahun kemudian hanya berupa “teks”.
5. Ketika masyarakat dihadapkan pada krisis epistemologi, kembali pada teks
Kitab Suci yang “disakralkan” tadi akan lebih menenangkan ketimbang
mengambil faham dekonstruksi yang mengarah pada relativisme-nihilisme.
6. Semakin otonom dan berkembang pemikiran manusia, maka semakin otonom
manusia untuk mengikuti atau menolak ajaran agama dan kitab sucinya. Lebih dari
itu, ketika orang membaca teks kitab suci, bisa jadi yang sesungguhnya terjadi
adalah sebuah proses dialog kritis antara dua subyek. Dengan demikian, orang
bukannya menafsirkan dan minta fatwa pada kitab suci tetapi menempatkan kitab
suci sebagai teman dialog yang bebas dari dominasi.
Dari berbagai pertimbangan di atas, kata Komaruddin Hidayat lebih lanjut,
antara seorang muslim, kitab suci, sejarah kenabian, dan alam raya ini, terjadi
semacam lingkaran hermeneutik yang berdiri secara sejajar. Semakin cerdas kita
mengajak berdialog, maka akan semakin cerdas pula kitab suci, sejarah dan alam ini
memberikan jawaban balik pada kita.65
Dalam konteks inilah Kamaruddin Hidayat tetap mengingatkan agar
penggunaan dekonstruksi dalam studi Islam tidak seluruhnya mengikuti prinsip-
prinsip dekonstruksi Derrida yang mengarah pada nihilisme-relatifisme. Karena itu
proses dialog dan dekonstruksi ini hanya mungkin dan bermakna jika di sana terdapat
prinsip yang diterima bersama. Prinsip itu ialah adanya semua yang ada (beings) dan
Ada (Being), adanya “ciptaan” dan “Pencipta”. Secara konseptual kata “ciptaan” tidak
bisa difahami kalau tak ada hubungan relasional dengan konsep “Pencipta”, dan
sebaliknya. Di sini pengakuan terhadap sesuatu yang bersifat “meta-eksistensi”
65
Ibid.
17
memang mengesankan loncatan. Tetapi lebih sulit lagi kalau kita menolak pengakuan
ini.66
Demikianlah, tanpa dekonstruksi dan sikap kritis terhadap bangunan
epistemologi dan bahasa agama, bisa jadi seseorang akan menjadi tawanan bahasa,
pada hal bahasa mestinya sebagai jembatan (i'tibar) untuk menyeberang melampaui
simbol dan teks.
H. Kesimpulan
1. Post-modern yang lahir pertama-tama sebagai reaksi dan kritik terhadap
modernisme yang dipandang gagal memenuhi janji-janjinya untuk
mensejahterakan umat manusia.
2. Post-modernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan
dunia. Singkatnya, post-modernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran
universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif
terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing.
3. Berbeda dengan filsafat zaman modern yang mendasari metodenya dengan
rasionalitas. Pada masa post-modern seakan-akan tak ada lagi standar kebenaran,
kecuali bersifat relatif dan subyektif.
4. Kritik post-modern terhadap modern bukanlah gugatan ilmiah dan teoritik,
melainkan lebih bersifat emosional. Ia tak membawa konsep yang jelas, hanya
mengkritik konsep lama, namun tidak memperbaharuinya.
5. Post-modernisme adalah upaya menghidupkan relevansi nilai-nilai tradisional
yang selama ini diabaikan modernitas.
6. Perspektif post-modernisme dalam kajian studi Islam merujuk terjadinya
semacam lingkaran hermeunetik yang sejajar antara seorang muslim, kitab suci,
sejarah pemikiran dan alam raya ini.
7. Sumbangan post-modernisme terhadap studi Islam yang cukup signifikan
adalah konsep dekonstruksi yang dapat digunakan dalam berbagai kajian yang
berkaitan dengan teks, sehingga pemahaman umat Islam terhadap arti teks
semakin baik.
66
Ibid.
18
BAHAN BACAAN
Putro, Suadi, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I, Jakarta:
Paramadina, 1998.
Rahayu, Sri, Epistemologi Friedrich Wilhelm Nietzsche, dalam Epistimologi Kiri,
Jogyakarta, Ar-Ruuz, 2006.
Rosenau, Pauline Marie, Post Modernisme and Social Science, New Jersey: Princeton
University Press, 1982.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Bandung:Mizan, 1999.
Siddik, Dja’far, “Penelitian Dokumen Pada Penelitian Kualitatif: Wacana
Dekonstruksi”, Makalah Seminar dipresentasikan pada Seminar Nasional
Penelitian Agama STAIN Babel, tanggal 17 Juli 2009.
-------, “Peran dan Tanggung Jawab Guru Keilmuan dalam Pembinaan Akhlak Peserta
Didik”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap IAIN Sumatera Utara di
Hadapan Rapat Senat Terbuka IAIN SU pada tanggal 30 Desember 2009,
Medan, IAIN SU, 2010)
Steven B. dan D. Kellner, Teori Postmodern: Interogasi Kritis, terj. Indah Rohmani,
Malang: Boyan, 2003.
Sugiharto, Bambang, Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta : Kanisius,
1996.
Suseno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan,
dari Adam Muller ke Post-modernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
http://ajidedim.wordpress.com, diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/C.S._Lewis
http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme_agama , diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
http://jelleq.wordpress.com/2009/06/15/ciri-posmo-menurut-charles-jencks diunduh
tanggal 21 Nopember 2010