You are on page 1of 19

PENDEKATAN POST-MODERN DALAM STUDI AGAMA

Oleh:
Zaddatun Hawai

A. Pendahuluan
Dalam sejarah peradaban, setidak-tidaknya ada tiga era atau zaman yang
memiliki ciri khasnya masing-masing, yaitu pra-modern, modern dan post-modern.
Zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek. Pernyataan
Rene Descartes, “cogito ergo sum” [aku berpikir maka aku ada], telah menghantarkan
manusia sebagai makhluk yang dibimbing oleh rasionya sebagai subjek dan
berorientasi pada dirinya sendiri.1 Karena itu rasio atau akal budi manusia menjadi
pengendali manusia terutama tingkah lakunya.
Selanjutnya muncullah era kontemporer, yang disebut post-modern. Pemikiran
pada masa ini memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan
emansipasi.2 Intisari dari gerakan post-modern adalah ketidakpercayaannya dan
penolakannya terhadap gerakan modern yang dinyatakannya telah gagal menepati
janji-janjinya untuk membahagiakan umat manusia. Gerakan ini yang pada mulanya
mencuat dalam bidang bidang arsitektur dan estetika, segera merambah pada berbagai
aspek kehidupan manusia yang mempunyai variasi yang luar biasa banyaknya,
termasuk dalam studi agama.
Atas dasar itulah makalah singkat ini berusaha mengemukakan secara ringkas
mengenai gerakan post-modern meliputi pembahasan tentang: pengertian modern dan
post-modern, kritik post-modern dan metode pendekatannya, kritik-kritik post modern
terhadap agama dan studi agama, metode post-modern dan dekonstruksi dalam Islam,
pendekatan post-modern dalam studi Islam, signifikasi dan kontribusi pendekatan
post-modern dalam studi Islam.

B. Pengertian Modern dan Post-Modern


1. Pengertian Modern
Secara etimologis, Tom Jacob mengartikan ‘modern’ sebagai: (1) terbaru,
mutakhir; (2) sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.3
Dua abad sebelumnya, Imanuel Kant (1724-1804),4 mengemukakan sebagaimana
1
Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari
Adam Muller ke Post-modernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 97.
2
Ibid., h. 102.
3
Tom Jacob, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), h. 57.
4
Kant adalah filosof Jerman yang disebut Bapak Pengetahuan Modern, mengajukan
pertanyaan: Apakah yang diketahui, apakah yang harus dilakukan dan apakah yang bisa diharapkan?

1
2

diulas oleh Magnis Suseno, bahwa modernisme adalah pencapaian transendentalisasi


dari imanensi manusia, sehingga manusia dengan kemampuan rasionya, merupakan
kunci mencapai kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern.5 Di samping Kant,
sejarah kematangan kebudayaan modern ditunjukkan oleh Frederich Hegel (1770-
1831)6. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur
sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolutnya. Hegel dengan filsafat dialektika
identitas (idealisme absolut).7 Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri
dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan
linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.8
Dalam perspektif seorang post-modernis, bahwa modernisme itu bisa disebut
sebagai semangat yang diandaikan ada pada masyarakat intelektual sejak zaman
renaissance (abad ke-18) hingga paruh pertama abad ke-20. Semangat yang dimaksud
adalah semangat untuk progress (meraih kemajuan) dan untuk humanisasi manusia.
Semangat ini dilandasi oleh keyakinan yang sangat optimistik dari kaum modernis
akan kekuatan rasio manusia.9
Pada era ini rasio atau akal dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh
manusia untuk memahami realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan dan
teknologi, moralitas, dan estetika. Pendek kata, rasio dipandang sebagai kekuatan
tunggal yang menentukan segala-galanya.
Era modern yang berkembang dan terjadi di dunia Barat telah menghasilkan
dampak yang signifikan terhadap keberlangsungan perkembangan ilmu pengetahuan.
Suatu realita yang tidak dapat dipungkiri, ketika dunia Barat mencoba melepaskan dan
menafikan unsur dogmatis agama dari ranah sains, membuahkan hasil positif terhadap
perkembangan dan kemajuan sains.10 Berbagai pemikiran, penemuan dan inovasi
mulai berkembang secara terbuka pada era modern yang sebelumnya mengalami
stagnasi.11

Jawabannya adalah: Apa yang bisa diketahui manusia hanya yang dipersepsi dengan panca indra,
selainnya “ilusi” saja. Sesuatu yang harus dilakukan harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan
umum. Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akalnya. Lihat: Magnis Suseno, Pijar-pijar
Filsafat, h. 67.
5
Ibid., h. 68
6
Hegel, filosof Jerman terkenal dengan Filsafat Dialektika. Menurutnya, Dialektika adalah dua
hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran)
dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang empiris indrawi.
Semua pengetahuan harus empiris. Lihat: Ibid., h. 82
7
Ibid., h. 76.
8
Ibid.
9
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya,2003), h. 71.
10
Lihat Dja’far Siddik, “Peran dan Tanggung Jawab Guru Keilmuan dalam Pembinaan Akhlak
Peserta Didik”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap IAIN Sumatera Utara di Hadapan Rapat Senat
Terbuka IAIN SU pada tanggal 30 Desember 2009 (Medan, IAIN SU, 2009), h. 10 dan 12.
11
Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung:Mizan, 1999), h. 51-52.
3

Secara singkat dapat dikatakan bahwa modernisme telah menempatkan rasio


sebagai kekuatan yang dianggap mampu menyelami kenyataan faktual untuk
menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar yang esensial dan universal dari
kenyataan.
2. Pengertian Post-Modern
Secara etimologis post-modern terdiri atas dua kata, post dan modern. Kata
post, diartikan dengan ‘later or after’,12 yang bermakna kelanjutan atau melampaui.
Apabila kedua kata itu disandingkan berarti kelanjutan atau melampaui era modern.
Magnis Suseno mengatakan bahwa post-modern juga mengandung arti sebagai
koreksi terhadap modern itu sendiri yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang tidak dapat terjawab di zaman modern.13 Post-modern itu sendiri muncul sebagai
bagian era modern, maka ketika post-modern mulai memasuki ranah filsafat, maka
kata “post” dalam post-modern tidak dimaksudkan lagi sebagai sebuah periode atau
waktu semata, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala
hal yang berbau modern.14
Mencuatnya post-modern ke permukaan secara mengejutkan pada awalnya
tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya The Language of
Post-modern Architecture menyebut post-modern sebagai upaya mencari pluralisme
gaya arsitektur setelah ratusan terkukung satu gaya.15 Post-modernisme dalam
arsitektur kontemporer itu lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore,
dengan merubuhkan bangunan mewah komplek perumahan. Ketika pertama kali
didirikan, proyek perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis itu diklaim sebagai lambang
arsitektur modern.16 Bangunan yang dinyatakan sebagai simbol modernisasi yang
menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia itu, secara ironis
dihancurkan oleh para penghuninya karena dipandang tidak melambangkan
humanisasi. Pemerintah yang telah menghabiskan jutaan dollar akhirnya menyerah
dan bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Peristiwa inilah menurut Jencks,
menandai kematian modernisme dan pertanda kelahiran post-modernisme.17
Wacana post-modern pada awalnya muncul dalam dunia arsitektur dan sastra
yang mengkritik tajam arsitektur dan sastra modern yang dipandang totaliter, mekanis

12
John Gage Allee (Ed), Webster’s Dictionary Library (New York: Bell Publishing Company,
1980), h. 1978.
13
Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat, h. 102.
14
Bambang Sugiharto, Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat (Jakarta : Kanisius, 1996), h.
121.
15
Lihat: http://jelleq.wordpress.com/2009/06/15/ciri-posmo-menurut-charles-jencks diunduh
tanggal 21 Nopember 2010
16
Ibid.
17
Ibid.
4

dan kurang human itu berlanjut menjadi kritik terhadap kebudayaan modern pada
umumnya, yang kemudian dikenal sebagai era post-modern.
Ahmad Amir Aziz menyatakan bahwa untuk mendefenisikan post-modern itu,
perlu dilihat dari dua hal. Pertama, post-modern dipandang sebagai keadaan sejarah
setelah zaman modern, karena kata ’post” itu sendiri secara literal mengandung
pengertian sesudah. Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses
akhir yang segera digantikan oleh zaman berikutnya yaitu post-modern. Kedua, post-
modern dipandang sebagai gerakan intelektual yang mencoba menggugat bahkan
merekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam berbagai paradigma
pemikiran modern.18
Agak sulit memberikan batasan yang tepat mengenai post-modern itu sendiri.
Hal ini diakui oleh Ernest Gellner ketika ia mengatakan bahwa hampir mustahil untuk
memberikan defenisi dan paparan yang jelas tentang post-modern.19 Meskipun begitu
ada semacam kesamaan pandangan bahwa post-modern itu merupakan gerakan yang
menolak realitas modern karena dianggap gagal dalam melanjutkan proyek
pencerahannya.
Akbar S. Ahmed mencirikan ada 8 (delapan) karakter sosiologis post-
modernisme, yaitu: (1) timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek
modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-
narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran; (2)
meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem
indera, organ dan saraf , yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil.
Kekuatan media masa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam
artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa
disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi; (3) munculnya
radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau
alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan
filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi,
sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan; (4) munculnya kecenderungan baru untuk
menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu;
(5) semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan
wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya
dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai ‘titik
pusat’ yang menentukan gerak pada ‘lingkaran pinggir’; (6) semakin terbukanya

18
Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h.
11.
19
Ernest Gelner, Menolak Post-modernisme antara Fundamentalisme Rasionalis dan
Fundamentalisme Religius, [Postmodernism, Reason and Religion], terj. Hendro Prasetyo dan Nurul
Agustina (Bandung: Mizan, 1994), h. 47.
5

peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara
lebih bebas. Artinya, era post-modern ikut mendorong bagi proses demokratisasi; (7)
era post-modern juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya
eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan
realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok
budaya secara eksklusif; dan (8) bahasa yang digunakan dalam wacana post-modern
seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang
disebut ‘era post-moderni’ itu banyak mengandung paradoks.19

C. Kritik Post-Modern dan Metode Pendekatannya


Pauline Rosenau mengemukakan kritik-kritik post-modern secara gamblang
dalam istilah yang berlawanan dengan modernisme, antara lain: Pertama, post-
modern merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-
janjinya, serta cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan
modernisasi Barat seperti industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, kehidupan
dalam jalur cepat, serta meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan,
tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme,
egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan
impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi post-modern cenderung menolak apa
yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas,
dan yang seumpama dengan itu.20 Hal tersebut berkaitan dengan dinamika pemikiran
era modern yang dalam berbagai hal tidak berjalan lancar sehingga menimbulkan
kecemasan sehingga era modern lambat-laun tidak lagi diterima dan tidak dipercaya
oleh masyarakat yang sudah jenuh dengan unsur rasionalitas.
Bergesernya pendekatan yang dilakukan oleh post-modernis tidaklah melalui
revolusi yang tiba-tiba. Titik kulminasi terjadi ketika era modern dianggap tidak lagi
mampu menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Rasionalitas yang menjadi
semangat dalam gerakan modern justru dalam beberapa kurun waktu terakhir telah
membawa dampak yang buruk bagi keberlangsungan hidup umat manusia –seperti
perang nuklir, pembantaian etnis dan sejenisnya. Ketika modernisme mengalami krisis
identitas itulah, akhirnya post-modernisme lahir memainkan perannya.21

19
Akbar S. Ahmed, Post-modernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. Mhd. Sirozi
(Bandung: Mizan, 1993), h. 27-41. Lihat juga: Komaruddin Hidayat, "Melampaui Nama-Nama Islam
dan Post-modernisme ", dalam: Edy A Efendy, (Ed.), Dekonstruksi Mazhab Ciputat (Bandung: Wacana
Mulia, 1999), h. 91-93.
20
Pauline Marie Rosenau, Post Modernisme and Social Science (New Jersey: Princeton
University Press, 1982) h. 14.
21
Wahyudin Abu Bakar, “Post-Modernisme sebagai Wacana Komtemporer”, dalam Jurnal
Serambi Ilmu, No. XI Tahun I, Nopember 2009, h. 71.
6

Post-modernisme sendiri dari awal berkembang sampai dengan sekarang


walaupun mengalami ambiguitas dalam pemaknaannya, namun Jean Francois Lyotard
dengan tegas menyatakan bahwa kritik-kritik tajam post-modernisme terhadap
proyek-proyek modernisme berawal dari keraguan post-modernisme terhadap
metanarasi (narasi-narasi yang bersifat transenden) yang dikembangkan oleh
modernisme.22 Metanarasi sendiri adalah narasi-narasi agung dan dianggap suci dan
sakral yang selama ini diyakini kebenarannya secara absolut. 23
Beberapa pendekatan post-modern dalam pelbagai studinya, antara lain:
Pertama, membuat hubungan antar bidang sosiologi-antropologi, sastra, sejarah dan
filsafat semakin dekat satu sama lain dibandingkan sebelumnya, sehingga pendekatan
post-modern lebih banyak dijumpai dalam bidang sosiologi-antroplogi, sastera,
sejarah dan filsafat. Kedua, Pendekatannya terhadap suatu kebenaran lebih bersifat
relatif, dan tidak ada yang absolut (relativisme), sehingga berdampak pada tidak
adanya lagi kebenaran absolut, tetapi semuanya serba relatif. Ketiga, post-modernisme
lebih menekankan pada subjektivitas dan menolak adanya pengakuan terhadap fakta
yang objektif.24
Pendekatan yang bersifat relatif dan subyektif itu, menyebabkan kebenaran
pun bersifat relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif. Hal ini berimplikasi dalam hal
bagaimana seseorang melihat dirinya dan mengkonstruk identitas dirinya. Hal tersebut
senada dengan pandangan Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), yang disebut-
sebut sebagai tokoh post-modernisme awal abad ke 20,25 dengan suara nyaring
menentang rasionalitas, moralitas tradisional, dan objektivitas.26 Nietzsche yang
terkenal dengan ungkapannya mengenai “tuhan sudah mati”27 itu, berkata: “Ada
banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada
banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.”28 Menurut Tom
Jacob, bahwa kalangan post-modernist secara sadar melakukan perlawanan terhadap
masa lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru, dan tidak jarang
menjurus ke arah sekularisme dan anti Tuhan.29
C.S. Lewis, seorang yang menyatakan diri tidak menganut suatu agama,
karena meninggalkan iman Kristen sejak usia 15 tahun atau tepatnya tahun 1913,30

22
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 380.
23
Ernest Gelner, Menolak Post-modernisme , h. 47.
24
Ibid., h. 39.
25
M. Jazeri dan Listiono Santoso, Epistemologi Kiri (Yogyakarta: Andika Keluarga, 1996), h.
66.
26
Sri Rahayu, Epistemologi Friedrich Wilhelm Nietzsche, dalam Epistimologi Kiri,
(Jogyakarta, Ar-Ruuz, 2006), h. 67.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Yacob, Paham Allah, h. 66.
30
Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/C.S._Lewis
7

berusaha memperjelas pandangan Nietzsche dengan mengatakan: “My good is my


good, and your good is your good”31 [kebaikanku adalah kebaikanku, dan kebaikanmu
adalah kebaikanmu], atau dalam bahasa sehari-hari dapat diterjemahkan dengan kata-
kata yang agak kasar “Aku ya aku, kau ya kaulah”. Terlihat di sini bahwa tidak ada
standar absolut tentang benar atau salah dalam post-modern. Mungkin sering
terdengar orang berkata “Mungkin itu benar bagimu, tetapi tidak bagiku” atau “Itu
adalah apa yang kamu rasa benar.” Singkatnya, kebenaran itu bagi generasi post-
modern adalah relatif, tidak absolut.
Selanjutnya menurut Nietzsche, bahwa manusia harus menggunakan skeptisme
radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu
naif jika akal dipercaya mampu memperoleh kebenaran. Kebenaran itu sendiri tidak
ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka
akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.32
Kritik lain yang pemikirannya berpengaruh kuat dalam post-modern datang
dari Jacques Derrida (1930–2004) seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi dan
dianggap sebagai pendiri dekonstruktivisme, sebuah ajaran yang menyatakan bahwa
semuanya mesti dikonstruksi termasuk bahasa.33 Semua kata-kata dalam sebuah
bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di
luar bahasa. Jacques Derrida dianggap salah satu filsuf terpenting abad ke 20 dan ke
21, dengan konsep dekonstruksi.34
Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan
Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika Barat.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa manusia selalu cenderung untuk melepaskan
teks dari konteksnya. Satu terma tertentu harus dilepaskan dari konteks (dari jejaknya)
dan hadir sebagai makna final. Inilah yang disebut Derrida sebagai logosentrisme. 35
Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat Barat yang pada
umumnya bernaung dalam panji-panji modernisme.36
D. Kritik Post-Modern terhadap Agama dan Studi Agama
31
Ibid.
32
Ibid., h. 70
33
K. Bertens, Filsafat Barat, h. 97
34
Ibid.
35
Logosentrisme adalah metafisika yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran
transendental di balik segala hal yang nampak di permukaan atau yang terjadi di dunia fenomenal. Pada
akhirnya logosentrisme menjadi narasi besar (grand naratife) yang absolut dan menjadi satu-satunya
rujukan atau ukuran kebenaran. Logosentrisme juga bermakna sebagai cara berfikir dimana kebenaran
memiliki kodrat spiritual. Dalam logosentrisme Tuhan merupakan referensi transendental yang
menjamin makna yang stabil bagi segala ucapan dan pikiran mengenai Tuhan. Lihat: Muhammad al-
Fayadl, Derrida, h. 24. Lihat juga: Jean Grodin, Sejarah Hermeneutika: Dari Plato Sampai Gadamer,
terj. Add Qodir Sholeh (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), h. 253.
36
Steven B. dan D. Kellner, Teori Postmodern: Interogasi Kritis, terj. Indah Rohmani
(Malang: Boyan, 2003), h. 299.
8

Konsepsi epistemologis post-modern yang belum jelas merupakan persoalan


yang cukup mendasar. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi setiap
orang mempunyai sudut pandang dan perspektif sendiri-sendiri dan berbeda-beda.
Dalam perpektif post-modernisme, subjek-subjek tertentu bisa dianggap benar, namun
bisa jadi keliru bagi perspektif subjek yang lain.
Salah satu kritik yang cukup pedas mengapa post-modernitas meminggirkan
agama sebagai suatu ajaran yang akhirnya ditinggalkan, karena agama ketika
diajarkan disebut sebagai nilai yang absolut dan tak bisa disentuh. Dalam berbagai
studi agama, kelihatannya para tokoh agama cenderung menggunakan argumentasi
teks keagamaan sebagai pembenar absolut atas segala sikap dan tindakan yang mereka
lakukan, dan menutup kemajemukan (pluralis) serta menutup adanya interpretasi lain
yang berbeda dari pemahaman mereka. Nilai menjadi sesuatu yang sudah mutlak.
Setiap orang dipaksa untuk masuk ke dalam suatu keyakinan tanpa diberikan
kebebasan untuk melakukan interpretasi. Kerangka pemahaman seperti inilah yang
membuat orang-orang seperti Nietzsche dan para koleganya meninggalkan agama.
Dalam pengalaman mereka, agama hadir sebagai belenggu yang mematikan daya
cipta dan rasa kemanusiaannya. Nilai-nilai agama menjadi pasung yang
mengalienasikan manusia dari dirinya sendiri.37
Kritik yang datang dari kalangan intelektual Muslim, berasal dari Mohammed
Arkoun (2 Januari 1928-14 September 2010), yang disebut-sebut sebagai pengusung
post-modernisme yang juga menggunakan pendekatan dekonstruksi dalam berbagai
studi yang dilakukannya. Menurut Arkoun, epistemologi Islam tradisional tidak
mendukung kemajuan berpikir. karena agama cenderung ditafsirkan terlalu rigid,
eksklusif, tidak melihat aspek historis, sosial, budaya, etnik dan anti perubahan.38
Nalar yang seperti ini disebutnya sebagai sistem ortodoksi Islam tradisional. Dalam
pandangan Arkoun, ciri khas pemikiran Islam tradisionalis adalah, mempertahankan
kebenaran tunggal (truth claim), membuang pemikiran yang dianggap oposisi, dan
terkungkung oleh logosentrisme Islam.39
Mengenai hal ini ada 6 (enam) argumentasi yang digunakan Arkoun ketika
menyatakan bahwa umat Islam terkungkung dalam logosentrisme. Pertama, nalar
Islam dikuasai oleh nalar dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi (Tuhan)
yang tentu saja lebih bersifat estetisetis daripada ilmiah. Kedua, nalar yang bertugas
untuk mengenali kembali kebenaran (fungsi ‘aql) telah menjadi sempit dan hanya
berkutat di dalam wilayah tempat kelahirannya saja, misalnya bidang metafisika,
37
K.Bertens, Filsafat Barat, h. 391.
38
Machasin, ”Tawaran Arkoun dalam Kajian Al-Qur’an”, Makalah acara bedah buku
Muhammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada
tanggal 8 Oktober 1997, h. 2.
39
Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodrenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan
Pemikiran Muhammed Arkoun (Yogyakarta: LkiS, 1996), h. 12.
9

teologi, moral dan hukum. Ketiga, nalar hanya bertitik tolak pada rumusan-rumusan
umum dan menggunakan metode analogi, implikasi dan oposisi. Keempat, data-data
empiris digunakan secara sederhana dan terus dikaitkan dengan kebenaran
transendental, serta dimaksudkan sebagai alat legitimasi bagi penafsiran serta menjadi
alat apologi. Kelima, pemikiran Islam cenderung menutup diri dan tidak melihat aspek
kesejarahan, sosial, budaya dan etnik, sehingga cenderung dijadikan sebagai satu-
satunya wacana yang harus diikuti secara seragam dan taklid. Keenam, pemikiran
Islam lebih mementingkan suatu wacana yang lahir di dalam ruang bahasa yang
terbatas, sesuai kaidah bahasa dan cenderung mengulang-ulang sesuatu yang lama.
Selain itu, wacana batin yang melampaui batas-batas logosentris, dalam arti kekayaan
spiritual, cenderung diabaikan.40
Dari kondisi sedemikian ini, Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya yang
bercorak kritik epistemologis, dan membebankan beberapa tugas kepada kaum
intelektual Muslim (termasuk dirinya sendiri). Pertama, melakukan klarifikasi historis
terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alqur’an kembali secara benar dan
baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syari’ah sebagai sistem semiologis yang
merelevankan wacana al-Qur’an dengan sejarah manusia, di samping sebagai tatanan
sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan nalar,
wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan sebagainya) untuk
menyelaraskan teori dan praktik. Keempat, memperjuangkan suasana berfikir bebas
dalam mencari kebenaran agar tidak ada gagasan yang terkungkung di dalam
ketertutupan baru atau di dalam taqlid.41
Menurut Arkoun, bahwa untuk menerapkannya diperlukan usaha dan kerjas
yang jelas akan berhadapan dengan berbagai kendala, terutama kendala epistimelogis
dan pengetahuan yang mumpuni.42
Untuk menghilangkan semua kendala tersebut, perlu diberikan perhatian lebih
terhadap pengajaran dan studi sejarah sebagai antropologi masa lalu dan tidak hanya
sebagai pemaparan fakta-fakta sejarah yang naratif. Oleh karena itu, Arkoun
mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis yang dilakukan bukan
dengan tujuan untuk menghilangkan pentingnya pendekatan teologis dan filosofis,
melainkan bertujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan
keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam.43

40
Mohammad Arkoun, ”Logocentrism et verite religieus dans la pensee Islamique”, dalam
Studia Islamica XXXV, Paris 1972, h. 12-15, yang dikutip dan diterjemahkan oleh Suadi Putro,
Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 38
41
Ibid., h. 124
42
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun,
terj. Ahmad Baiquni, cet. II (Bandung: Mizan, 2002), h. 43.
43
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
terj. Rahayu S, Hidayat (Jakarta: Paramadina, 2008), h. 27.
10

E. Metode Post-Modern dan Dekonstruksi dalam Islam


Apabila disebut dekonstruksi dalam metode post-modern, hampir tidak bisa
dilepaskan dari Derrida, sebagai tokoh utama di balik metode ini. Ilstilah falsafinya
yang terpenting dalam metode dekonstruksi adalah différance,44 yang perlu dijelaskan
secara ringkas sebagai berikut:
Istilah différance dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha
menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan
lebih tua dibandingkan dengan struktur murni kehadiran diri (presence-to-self), yang
dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.45
Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain, dan
seseorang tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya
sendiri. Oleh karena itu suatu tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih
benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda.46 Proses
perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan
pernah sampai ke makna itu sendiri. Inilah pengertian “tulisan” yang ingin ditekankan
Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak
total keseluruhan logika tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah
tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna
tertentu.47
Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita
telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap
sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan
prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance. 48
Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolut,”
makna transendental, dan makna universal, yang diklaim pemikiran modern pada
umumnya. Penolakan ini, menurut Derrida, harus dilakukan karena adanya penjarakan
(spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah
selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara
penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna
absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi
jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya.49

44
Muhammad al-Fayadl, Derrida, (Yogyakarta: LkiS, 2006), h. 20; lihat juga: Dja’far Siddik,
“Penelitian Dokumen Pada Penelitian Kualitatif: Wacana Dekonstruksi”, Makalah Seminar
dipresentasikan pada Seminar Nasional Penelitian Agama STAIN Babel, tanggal 17 Juli 2009, h. 9.
45
Ibid.
46
Muhammad al-Fayadl, Derrida, h. 26..
47
Ibid., 28
48
Ibid., h. 30.
49
Ibid.
11

Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang
“ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan.
Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, adalah ketidakpastian, yang harus
ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari terus-menerus bermain bebas dengan
perbedaan (to differ).50
Di kalangan intelektual Muslim, Mohammed Arkoun adalah seorang yang
cukup terkenal dengan metode dekonstruksi.51 Menurut Arkoun, strategi dekonstruksi
tersebut hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern yang kritis. Dengan
demikian, nalar (reason) harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan
substansionalisme yang memenjarakannya, terutama di dalam nalar yang
dielaborasikan di dalam berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika
Yunani.52 Dalam konteks inilah terlihat kesamaan antara Arkoun dengan Derida yang
mengunggulkan metode dekonstruksi.
Seperti dikemukakan di depan, bahwa dekonstruksi merupakan sebuah metode
pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu
hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu
kontekstual dan anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah.
Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final.
Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut
pembentukannya dalam sejarah.53
Berkaitan dengan itu, menarik untuk melihat kembali wacana keberagamaan
melalui kacamata dekonstruksi yang dikemukakan Derrida. Bagi Derrida tidak ada
lagi makna yang transenden. Tidak ada makna yang mutlak. Ia menolak metafisika
yang mengasumsikan adanya makna yang sudah hadir sebelum teks itu menjelma
sebagai makna. Derrida bukan saja telah membebaskan makna dari kerangkeng
transendensi, tetapi ia telah menohok kebuntuan interpretasi yang selalu terperangkap
pada hasrat mendominasi, hingga terbuka keran dialog biner di mana satu dengan
yang lain bebas – sebebas-bebasnya – mengekspresikan diri dalam realitas dan makna
yang tidak tunggal (plural).54
Bila berpijak pada konsep dekonstruksi yang mewarnai sejumlah pemahaman
dalam dunia post-modernisme, mau tak mau, seperti diungkapkan Komaruddin
50
Konsep “differance” membawa konsekuensi terhadap metafisika barat. Pemikiran metafisika
Barat yang logosentrisme dan fonosentrisme. Pada logosentrisme, pemikiran dibawa ke seberang dunia
sana, dunia ideal, sebagai prinsip rasional yang mentotalitaskan segala sesuatu. Pada fonosentrisme
adalah anggapan tentang ekspresi murni bahasa dari kedalaman diri kita. Ketika budaya muncul, bahasa
bunyi yang telah dikorupsi oleh bahasa tulisan. Pemahaman logos dan phonos inilah yang yang harus
dikonstruksi Lihat. http://ajidedim.wordpress.com, diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
51
Ibid.
52
Ibid., h. 32.
53
http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
54
Jean Grodin, Sejarah Hermeneutika, h. 254.
12

Hidayat, kita akan sampai pada kesimpulan dan pemahaman tentang Tuhan dan
berbagai pesannya pada batas relativisme dan aproksimasi. Tidak akan ada lagi
pemaksaan atas nama absolutisme. Setiap orang bebas memainkan language games-
nya masing-masing untuk membangun epistemologis kehidupan menurut cara dan
pengalaman serta pilihan hidupnya sendiri.55
Oleh karena itu seperti diingatkan oleh Komaruddin Hidayat, agar penggunaan
dekonstruksi dalam studi Islam tidak mengikuti prinsip-prinsip dekonstruksi Derrida
yang mengarah pada nihilisme-relatifisme. Karena itu proses dialog dan dekonstruksi
ini hanya mungkin dan bermakna jika di sana terdapat prinsip yang diterima bersama.
Prinsip itu ialah adanya semua yang ada (beings) dan Ada (Being), adanya “ciptaan”
dan “Pencipta”. Secara konseptual kata “ciptaan” tidak bisa difahami kalau tak ada
hubungan relasional dengan konsep “Pencipta”, dan sebaliknya. Di sini pengakuan
terhadap sesuatu yang bersifat “meta-eksistensi” memang mengesankan loncatan.
Tetapi lebih sulit lagi kalau kita menolak pengakuan ini.56
Jika pada masa modern, manusia mengingkari agama oleh karena terlalu
kuatnya pengaruh rasionalitas, sedangkan pada masa post-modern ini manusia sangat
mungkin mengingkari agama dengan alasan-alasan yang irrasionalitas dan emosional.
Hal ini terlihat bahwa pada post-modern ini bermunculan agama-agama (isme) baru
buatan manusia yang merupakan hasil sinkritisme dan pluralisme.57
Secara agak ekstrim dapat dikatakan bahwa pada post-modernisme tidak ada
lagi kebenaran absolut, maka dalam agama apapun atau mungkin bahkan dalam kitab
suci apapun. Apa yang telah ada hanyalah kebenaran relatif dan subyektif, sehingga
suatu kebenaran menurut masing-masing orang yang memandangnya, sehingga
manusia di sini sebagai hakim penentu kebenaran, dan bukan melalui Kitab Suci yang
diwahyukan-Nya, sebab, tidak ada standard tertentu dalam segala hal. Post-
modernisme secara tidak langsung telah menempatkan relativisme sebagai acuan
dasar, dan segalanya direduksi menjadi relatif, yang memungkinkan terjadinya
penafsiran terhadap realita tidak terbatas. Selanjutnya tidak ada lagi nilai-nilai yang
memiliki keunggulan, kelebihan dari nilai-nilai lainnya.
Fenomena post-modernisme ini memunculkan berbagai persoalan tentang
peran iman dan agama. Ketika manusia tidak lagi percaya akan rasionalitas yang
dianggap telah gagal melanjutkan proyek pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur
oleh kebenaran tunggal dan sistem mekanis. Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak
dan direlatifkan, termasuk agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia

55
Komaruddin Hidayat, Post-modernisme : Pemberontakan terhadap Keangkuhan
Epistemolo-gis, dalam "Post-modernisme dan Masa Depan Peradaban" (Yogyakarta: Aditya Media,
2004), h. 63.
56
Ibid.
57
Ibid.
13

berada dalam kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian
jatuh kepada ekstrim fundamentalisme dan beberapa yang lain ke arah sekularisme.
F. Pendekatan Post-Modern dalam Studi Islam
Pemikiran mengenai post-modernisme mulai banyak direspon oleh kaum
agamawan dan peminat studi-studi agama, meskipun baru ada masa menjelang tahun
90-an respon itu menguat. Salah satu persoalan yang menarik muncul dalam
pembicaraan mengenai post-modernisme dan agama adalah bagaimana perspektif
pemikiran post-modernisme bisa dipakai untuk melihat agama. Atau bagaimana post-
modernisme bisa digunakan sebagai pisau analisis atau strategi untuk melihat agama.
Hal ini memang agak riskan, terutama karena sebahagian orang menilai bahwa
pemikiran post-modernisme masih belum menemukan bentuknya yang jelas.
Namun, persoalan penggunaan sebuah perspektif dan analisis tentunya untuk
melihat agama bukanlah persoalan yang luar biasa karena setiap persoalan senantiasa
dilihat dan dimulai dari sudut perpektif tertentu, baik sosiologis, antropologis, historis,
fenomenologis dan sebagainya. Yang utama di sini adalah mengapa perspektif analisis
post-modernisme dipilih.
Rudi Harisyah Alam, mencoba perspektif post-modernisme dalam kajian studi
Islam merujuk pada perspektif filosofis yang muncul di Prancis setelah kemunculan
aliran strukturalisme yang biasa disebut oleh para ahli sebagai pemikiran post-
strukturalisme. Terutama sekali, perspektif yang dikembangkan oleh Michel Foucault
(1926-1984).58
Jika disistematiskan penerapan perspektif Foucault untuk studi agama, maka
dapat dipraktekkan dengan beberapa cara. Pertama, menginventarisir, praktek-praktek
sosial (nondiskursif) yang akan menjadi sasaran investigasi. Investigasi ini dilakukan
berdasarkan hasil deskripsi dari praktek-praktek lokal yang berkembang di
masyarakat. Hal ini tentu saja melibatkan pilihan dan prioritas terhadap praktek mana
yang akan dijadikan sasaran investigasi, bergantung pada situasi dan kondisi saat
investigasi tersebut dilakukan. Namun hal yang perlu ditekankan adalah bahwa
investigasi ini diarahkan terutama kepada praktek-praktek yang secara efektif menjadi
wilayah di mana relasi-relasi kekuasaan menghasilkan efeknya yang refresentatif,
misalnya tentang perkawinan, sewa-menyewa dan kepemilikan. Kedua, mendes-
kripsikan bagaimana relasi-relasi kekuasaan bekerja lewat mekanisme yang
disediakan oleh praktek-praktek sosial tersebut dan bagaimana relasi-relasi kekuasaan
tersebut mengonstitusi, memproduksi serta memunculkan wacana keagamaan. Ketiga,
menganalisis bagaimana wacana-wacana keagamaan yang telah diproduksi oleh
relasi-relasi kekuasaan selanjutnya menopang dan menjustifikasikan bekerjanya
relasi-relasi kekuasaan tersebut bagaimana sebuah wacana keagamaan memproduksi
58
Rudi Harisyah Alam, “Postmodernisme”, dalam Jurnal Tajdid No.X Tahun II, h. 99-100.
14

suatu kebenaran pengetahuan dan strateginya untuk memelihara keberlangsungan


relasi-relasi kekuasaan. Keempat, mengelaborasikan berbagai wacana keagamaan
yang berbeda memperlihatkan hubungan antara wacana keagamaan tersebut maupun
hubungannya dengan wacana umum lainnya dalam suatu efek yang saling
menguatkan, saling membatasi, dan saling mengintegrasikan.59
Jadi tegasnya perspektif studi agama ini mengarahkan perhatian kepada
bekerjanyan efek-efek kekuasaan yang negatif seperti membatasi mengucilkan dan
merepresikan dalam konteks analisis wacana diharapkan mengarahkan perhatian pada
misalnya, bagaimana sebuah interpretasi atas teks-teks keagamaan mendominasi dan
meresepsikan interpretasi lainnya.
Bambang Sugiharto, menyatakan contoh konkrit kecenderungan dasar umum
post-modernisme dalam perspektif studi agama, yaitu: (1) konstruksi semiotis dan
ideologis dari kecenderungan menganggap segala klaim tentang realitas diri subyek,
sejarah, budaya, Tuhan, dan sebagainya; (2) skeptis terhadap segala bentuk keyakinan
tentang substansi objektif, meski tidak selalu harus menentang konsep tentang
universalitas; (3) pluralisme diangkat sebagai upaya mengungkap realitas; (4) melihat
secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya:
emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dan sebagainya; dan (5) menghargai terhadap
segala hal "lain" (otherness), yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau
bahkan dipinggirkan oleh wacana modern, seperti, kaum perempuan, tradisi-tradisi
lokal, paranormal, agama, sehingga segala hal dan pengalaman yang selalu mengelak
dan pola rumusan kita. 60
Akan tetapi, keluasan memang berarti juga kekaburan. lnilah memang
masalahnya. Kekaburan istilah post-modern yang sebagian besar juga adalah karena
kekaburan istilah modern itu sendiri. Modern dalam arti mana yang dikritik post-
modernisme itu. Berbagai kekisruhan dalam menempatkan tokoh mana dijalur mana
berakar pada persoalan itu. Artinya, kendati post-modernisme bisa dicanangkan
prinsip-prinsip dasarnya yang sama, - yang membuatnya bisa mencakup demikian
banyak aliran ternyata bisa juga dilihat perbedaan-perbedaannya pada tingkat rincian-
rincian. Dari sudut ini, sebagaimana Foucault bisa dilihat baik sebagai salah satu
tokoh post-modern sekaligus juga tokoh modern, tergantung dari perspektif mana
dilihat.61
G. Signifikasi dan Kontribusi Pendektan Post-Modern dalam Studi Islam
Studi-studi Islam hampir seluruhnya berkaitan dengan teks, baik hadits, tafsir,
hukum, fikih, ushul fikih, sejarah maupun studi-studi lainnya seperti bahasa, sastera,
59
Ibid.
60
Bambang Sugiharto, Postmodenisme, h. 128. Lihat juga, Harvey Cox, Religion in The
Secular City-Toward a Postmodern Teology (New York: Simon and Schuster, 1984), h. 30-31.
61
Ibid.
15

dan komunikasi, berkaitan erat dari teks. Hal itu berkaitan erat dengan sumber dasar
ajaran Islam adalah al-Qur’an dan hadis, yang tak lain adalah teks tertulis, yang telah
diabadikan sejak pertama kali diturunkan. Bahkan lebih jauh Komaruddin Hidayat
menyebutkan bahwa alam raya fisis ini merupakan teks yang harus dibaca,
sebagaimana dikatannya:
Dalam tradisi Islam, sejak awal diyakini bahwa teks itu tidak hanya terbatas
pada kitab suci Al-Qur'an. Juga alam raya adalah teks, bahkan perilaku
(tradisi) kenabian itu sendiri juga merupakan teks yang kesemuanya
menyimpan dan hendak mengkomunikasikan makna dan pesan yang
dikandungnya. Terdapat korelasi yang dialogis antara subyek (seorang
muslim), teks Al-Qur'an, tradisi kenabian, dan realitas alam raya dengan
hukum-hukumnya. Sejak pertama kali Al-Qur'an diwahyukan.62
Berkaitan dengan pernyataan di atas, maka pendekatan dekonstruksi terhadap
teks yang digunakan dalam studi Islam perlu mendapat perhatian, sebab, seperti
disebutkan Kamaruddin Hidayat di atas, bahwa sejak pertama kali al-Qur’an
diturunkan, ia sudah melakukan dekonstruksi radikal terhadap epistemologi serta
syair-syair Jahiliyah waktu itu.
Pendekatan dekonstruksi yang diperkenalkan Derrida, sebagaimana telah
dikemukakan di depan, di kalangan Muslim pun, telah dilakukan oleh Mohammed
Arkoun, walaupun dalam banyak hal tidak sama persis dengan yang dilakukan oleh
Derrida. Dalam kaitan ini Komaruddin Hidayat mengatakan, bahwa dalam berbagai
karya Arkoun, secara eksplisit memperkenalkan konsep dekonstruksi dari Derrida
dalam memahami Al-Qur'an, meskipun dalam segi yang amat fundamental Arkoun
berbeda dari Derrida dan pemikir postmodernis yang lain.63
Persoalannya sekarang adalah, mengapa studi Islam membutuhkan pendekatan
dekonstruksi terhadap teks-teks keagamaan? Masih menurut Komaruddin Hidayat
bahwa sekurang-kurangnya ada lima alasan mengapa konsep dekonstruksi itu
diperlukan, yaitu:64
1. Kitab Suci sebagai firman Tuhan diturunkan dalam penggalan ruang dan
waktu, sementara manusia yang menjadi sasaran atau “pemakai jasa” senantiasa
berkembang terus dalam membangun peradabannya. Dengan warisan kulminasi
peradaban yang turun temurun masyarakat modern bisa berkembang tanpa rujukan
kitab suci sehingga posisi kitab suci bisa saja semakin asing meskipun secara
substansial dan tanpa disadari berbagai ajarannya dilaksanakan oleh masyarakat.
62
Komaruddin Hidayat, “Islam dan Postmodernisme”, http://www.tokohindonesia.com/
ensiklopedi/k/komaruddin-hidayat/berita/06.shtml, diunduh tanggal 22 Nopember 2010. Lihat juga:
Komarudin Hidayat, “Melampaui Nama-Nama”, h. 95.
63
Ibid., hlm. 71.
64
Selengkapnya lihat Ibid., h. 72-73. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Islam dan
Postmodernisme”, http://www.tokohindonesia.com/ ensiklopedi/k/komaruddin-hidayat/berita/06.shtml,
diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
16

2. Bahasa apa pun juga, termasuk bahasa kitab suci, memiliki keterbatasan yang
bersifat lokal karena bahasa adalah realitas budaya. Sementara itu pesan dan
kebenaran agama yang termuat dalam bahasa lokal tadi mempunyai klaim
universal. Di sini sebuah bahasa agama akan diuji kecanggihannya untuk
menyimpan pesan agama tanpa harus terjadi anomali atau terbelenggu oleh
kendaraan bahasa yang digunakannya.
3. Ketika bahasa agama “disakralkan”, maka akan muncul beberapa
kemungkinan. Bisa jadi pesan agama terpelihara secara kokoh, tetapi bisa juga
justru makna dan pesan agama yang fundamental malah terkurung oleh teks yang
telah “disakralkan” tadi.
4. Kitab suci--di samping kodifikasi hukum Tuhan--adalah sebuah “rekaman”
dialog Tuhan dengan sejarah di mana kehadiran Tuhan diwakili oleh Rasul-Nya.
Ketika dialog tadi dinotulasi, maka amat mungkin telah terjadi reduksi dan
pemiskinan nuansa sehingga dialog Tuhan dengan manusia tadi menjadi
kehilangan “ruh”-nya ketika setelah ratusan tahun kemudian hanya berupa “teks”.
5. Ketika masyarakat dihadapkan pada krisis epistemologi, kembali pada teks
Kitab Suci yang “disakralkan” tadi akan lebih menenangkan ketimbang
mengambil faham dekonstruksi yang mengarah pada relativisme-nihilisme.
6. Semakin otonom dan berkembang pemikiran manusia, maka semakin otonom
manusia untuk mengikuti atau menolak ajaran agama dan kitab sucinya. Lebih dari
itu, ketika orang membaca teks kitab suci, bisa jadi yang sesungguhnya terjadi
adalah sebuah proses dialog kritis antara dua subyek. Dengan demikian, orang
bukannya menafsirkan dan minta fatwa pada kitab suci tetapi menempatkan kitab
suci sebagai teman dialog yang bebas dari dominasi.
Dari berbagai pertimbangan di atas, kata Komaruddin Hidayat lebih lanjut,
antara seorang muslim, kitab suci, sejarah kenabian, dan alam raya ini, terjadi
semacam lingkaran hermeneutik yang berdiri secara sejajar. Semakin cerdas kita
mengajak berdialog, maka akan semakin cerdas pula kitab suci, sejarah dan alam ini
memberikan jawaban balik pada kita.65
Dalam konteks inilah Kamaruddin Hidayat tetap mengingatkan agar
penggunaan dekonstruksi dalam studi Islam tidak seluruhnya mengikuti prinsip-
prinsip dekonstruksi Derrida yang mengarah pada nihilisme-relatifisme. Karena itu
proses dialog dan dekonstruksi ini hanya mungkin dan bermakna jika di sana terdapat
prinsip yang diterima bersama. Prinsip itu ialah adanya semua yang ada (beings) dan
Ada (Being), adanya “ciptaan” dan “Pencipta”. Secara konseptual kata “ciptaan” tidak
bisa difahami kalau tak ada hubungan relasional dengan konsep “Pencipta”, dan
sebaliknya. Di sini pengakuan terhadap sesuatu yang bersifat “meta-eksistensi”
65
Ibid.
17

memang mengesankan loncatan. Tetapi lebih sulit lagi kalau kita menolak pengakuan
ini.66
Demikianlah, tanpa dekonstruksi dan sikap kritis terhadap bangunan
epistemologi dan bahasa agama, bisa jadi seseorang akan menjadi tawanan bahasa,
pada hal bahasa mestinya sebagai jembatan (i'tibar) untuk menyeberang melampaui
simbol dan teks.
H. Kesimpulan
1. Post-modern yang lahir pertama-tama sebagai reaksi dan kritik terhadap
modernisme yang dipandang gagal memenuhi janji-janjinya untuk
mensejahterakan umat manusia.
2. Post-modernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan
dunia. Singkatnya, post-modernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran
universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif
terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing.
3. Berbeda dengan filsafat zaman modern yang mendasari metodenya dengan
rasionalitas. Pada masa post-modern seakan-akan tak ada lagi standar kebenaran,
kecuali bersifat relatif dan subyektif.
4. Kritik post-modern terhadap modern bukanlah gugatan ilmiah dan teoritik,
melainkan lebih bersifat emosional. Ia tak membawa konsep yang jelas, hanya
mengkritik konsep lama, namun tidak memperbaharuinya.
5. Post-modernisme adalah upaya menghidupkan relevansi nilai-nilai tradisional
yang selama ini diabaikan modernitas.
6. Perspektif post-modernisme dalam kajian studi Islam merujuk terjadinya
semacam lingkaran hermeunetik yang sejajar antara seorang muslim, kitab suci,
sejarah pemikiran dan alam raya ini.
7. Sumbangan post-modernisme terhadap studi Islam yang cukup signifikan
adalah konsep dekonstruksi yang dapat digunakan dalam berbagai kajian yang
berkaitan dengan teks, sehingga pemahaman umat Islam terhadap arti teks
semakin baik.

66
Ibid.
18

BAHAN BACAAN

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung:


PT. Remaja Rosda Karya,2003.
Ahmed, Akbar S., Post-modernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. Mhd.
Sirozi, Bandung: Mizan, 1993.
Allee, John Gage, (Ed), Webster’s Dictionary Library, New York: Bell Publishing
Company, 1980.
Arkoun, Mohammed, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru, terj. Rahayu S, Hidayat, Jakarta: Paramadina, 2008.
Aziz, Ahmad Amir, Neo Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Bakar, Wahyudin Abu, “Post-Modernisme sebagai Wacana Komtemporer”, dalam
Jurnal Serambi Ilmu, No. XI Tahun I, Nopember 2009
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
al-Fayadl, Muhammad, Derrida, Yogyakarta: LkiS, 2006.
Gelner, Ernest, Menolak Post-modernisme antara Fundamentalisme Rasionalis dan
Fundamentalisme Religius, [Postmodernism, Reason and Religion], terj. Hendro
Prasetyo dan Nurul Agustina, Bandung: Mizan, 1994.
Grodin, Jean, Sejarah Hermeneutika: Dari Plato Sampai Gadamer, terj. Add Qodir
Sholeh, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007.
Hidayat, Komaruddin, "Melampaui Nama-Nama Islam dan Post-modernisme ",
dalam: Edy A Efendy, (Ed.), Dekonstruksi Mazhab Ciputat, Bandung: Wacana
Mulia, 1999.
--------, “Islam dan Postmodernisme”, http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/k/
komaruddin-hidayat/berita/06.shtml,
diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
--------, Post-modernisme : Pemberontakan terhadap Keangkuhan Epistemologis,
Yogyakarta: Aditya Media, 2004.
Jacob, Tom, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Jazeri M. dan Listiono Santoso, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Andika Keluarga,
1996.
Lee, Robert D., Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis
Arkoun, terj. Ahmad Baiquni, cet. II Bandung: Mizan, 2002.
Machasin, ”Tawaran Arkoun dalam Kajian Al-Qur’an”, Makalah acara bedah buku
Muhammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta pada tanggal 8 Oktober 1997.
Meuleman, Johan Hendrik, Tradisi, Kemodrenan dan Metamodernisme:
Memperbincangkan Pemikiran Muhammed Arkoun, Yogyakarta: LkiS, 1996.
19

Putro, Suadi, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I, Jakarta:
Paramadina, 1998.
Rahayu, Sri, Epistemologi Friedrich Wilhelm Nietzsche, dalam Epistimologi Kiri,
Jogyakarta, Ar-Ruuz, 2006.
Rosenau, Pauline Marie, Post Modernisme and Social Science, New Jersey: Princeton
University Press, 1982.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Bandung:Mizan, 1999.
Siddik, Dja’far, “Penelitian Dokumen Pada Penelitian Kualitatif: Wacana
Dekonstruksi”, Makalah Seminar dipresentasikan pada Seminar Nasional
Penelitian Agama STAIN Babel, tanggal 17 Juli 2009.
-------, “Peran dan Tanggung Jawab Guru Keilmuan dalam Pembinaan Akhlak Peserta
Didik”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap IAIN Sumatera Utara di
Hadapan Rapat Senat Terbuka IAIN SU pada tanggal 30 Desember 2009,
Medan, IAIN SU, 2010)
Steven B. dan D. Kellner, Teori Postmodern: Interogasi Kritis, terj. Indah Rohmani,
Malang: Boyan, 2003.
Sugiharto, Bambang, Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta : Kanisius,
1996.
Suseno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan,
dari Adam Muller ke Post-modernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
http://ajidedim.wordpress.com, diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/C.S._Lewis
http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme_agama , diunduh tanggal 22 Nopember 2010.
http://jelleq.wordpress.com/2009/06/15/ciri-posmo-menurut-charles-jencks diunduh
tanggal 21 Nopember 2010

You might also like