Professional Documents
Culture Documents
PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN TEKNOLOGI
MASYARAKAT DI DAERAH
Tatang A Taufik dan Ign Subagjo*)
1. PENDAHULUAN
A. Isu Pokok
Salah satu langkah penting dan strategis dalam pengelolaan aset intelektual
bangsa adalah inovasi dan perlindungan hukum bagi teknologi
masyarakat/indigenous technology (selanjutnya disingkat “tekmas”). Tentu saja
perlu ada upaya-upaya tertentu agar tekmas dapat memenuhi
persyaratan/ketentuan perundangan regim HKI yang berlaku.
Siapa yang “seharusnya” mewakili kepentingan “kelompok masyarakat pemilik
tekmas atau pengetahuan tradisional tertentu,” mempunyai atensi dan empati
untuk memperjuangkan pengembangan/inovasinya dan secara hukum “berhak
atas kepemilikannya”? Sejauh ini belum ada ketentuan yang mengatur hal
demikian. Sehubungan dengan hal tersebut, setting kelembagaan merupakan
salah satu isu penting yang perlu ditelaah.
Sampai saat ini, hampir keseluruhan proses pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) masih ditangani secara terpusat di Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual – Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
yang berlokasi di Jalan Daan Mogot Km. 24 Tangerang, Banten. Harus diakui
bahwa hal ini sering dianggap menjadi hambatan signifikan sebagian besar
masyarakat. Keterbatasan akses karena jarak fisik, walaupun sering diungkap oleh
masyarakat yang tinggal di daerah luar Jabotabek, sebenarnya relatif mudah
diatasi oleh kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi saat ini. Tetapi
keterbatasan akses karena mekanisme prosedural, tidaklah semudah itu. Alternatif
yang rasional adalah dengan perbaikan kelembagaan, yang “mendekatkan”
dengan sumber kekayaan intelektual bangsa Indonesia.
B. Dasar Pemikiran
* )
Dr. Tatang A Taufik, MSc. dan Ir. Ign Subagjo, MSCE bekerja di Pusat Pengkajian Kebijakan
Teknologi Pengembangan Unggulan Daerah dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat (P2KT
PUDPKM) – BPPT.
109
PENGETAHUAN/TEKNOLOGI MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF MULTIDIMENSI
Aksesibilitas dalam arti “kedekatan” jarak fisik dan kemudahan yang dipersepsikan
oleh mereka yang membutuhkan pelayanan informasi, pendaftaran, dan
penyelesaian persoalan lain yang terkait dengan HKI sangat penting dalam
mendorong meningkatnya perolehan HKI dan kesadaran hukum tentang HKI di
masyarakat. Dalam hal tertentu, ini sebenarnya analog dengan kesehatan
masyarakat dan keluarga berencana (KB) serta pembangunan pertanian. Adanya
Puskesmas, Posyandu atau tenaga penyuluh pertanian (di bidang pertanian)
banyak membantu masyarakat memperoleh layanan yang sangat dibutuhkan
karena “kedekatannya.” Mekanisme kelembagaan yang lebih “membumi” bagi
masyarakat menjadi kunci. Kesehatan keluarga, perencanaan anak yang lebih baik
atau praktek bertani yang baik secara perlahan tak lagi menjadi “barang mewah.”
Hal demikianlah yang sebenarnya perlu diupayakan dengan pengelolaan HKI bagi
tekmas. Tentu saja sesuai ketentuan yang berlaku, keputusan perolehan HKI tetap
menjadi kewenangan Depkeh dan HAM. Namun “siapa yang, dan bagaimana”
menjembatani antara masyarakat di daerah dengan penentu regulasi (dalam hal ini
HKI) sejauh ini belum ada.1
Masyarakat umumnya mempunyai persepsi tipikal birokrasi dengan citra yang
kurang positif dan acapkali sinisme. Birokrasi bertele-tele, panjang/lama, berbelit-
belit, dengan kualitas layanan yang rendah, sementara biayanya mahal, tidak
efisien dan sebagainya. Gagasan yang ditawarkan oleh Osborne dan Gaebler
(1996) sangat menarik dan relevan untuk Indonesia. Indonesia pada dasarnya juga
menghadapi masalah yang sama seperti halnya Amerika. Semangat perbaikan
paradigma Osborne dan Gaebler ini yang juga tampaknya perlu diadopsi dalam
pengembangan kelembagaan tekmas dan HKI di daerah.
Rancangan kelembagaan sebagai salah satu sarana (baik dalam pengertian
organisasi dan pengorganisasian koordinasi, tata kerja dan sekaligus mekanisme
kerja) yang sesuai sangatlah diperlukan agar tujuan yang dikehendaki dapat
diwujudkan dengan efektif dan efisien. Dalam kaitan ini, beberapa pokok pemikiran
tentang aspek kelembagaan disusun sebagai bahan pertimbangan untuk
pengembangan “lembaga pengelola aset intelektual lokal/daerah,” khususnya
teknologi masyarakat (untuk memudahkan, dalam makalah ini selanjutnya
disingkat PASINDA).2
Pengembangan PASINDA diajukan dengan semangat pemberdayaan produsen
dan pengguna karya intelektual di daerah, baik dunia usaha sebagai pengguna
sekaligus penghasil potensial karya intelektual, maupun peneliti/perekayasa di
1
Beberapa konsultan hukum dan program insentif pemerintah (misalnya dari Deperindag
dan Kantor Riset dan Teknologi) di antaranya memang menawarkan pengurusan paten. Namun
selain jasa konsultan hukum masih dinilai mahal bagi masyarakat umum, program insentif dari
pemerintah pun jangkauannya masih relatif terbatas. Karenanya kelembagaan di daerah
(khususnya peran pemerintah daerah dan stakeholder kunci lainnya di setiap daerah) menjadi kunci
tanpa selalu harus bergantung pada program “instansi pusat.”
2
Singkatan ini sekedar memudahkan saja. Penamaan lembaga yang sebenarnya
sepenuhnya ditentukan oleh masing-masing stakeholder daerah.
2. KERANGKA INISIATIF
Jika dinilai lebih baik, terutama efektif bagi implementasi operasionalnya, maka
alternatif bentuk “forum” juga bisa dipilih.
Secara garis besar, organisasi/lembaga (atau forum) tersebut dapat dikembangkan
atas beberapa bidang yang sesuai dengan kebutuhan yang dipimpin oleh seorang
pimpinan/ketua lembaga. Dalam hal ini bidang-bidang yang diperlukan adalah
Bidang Teknologi, Bidang HKI dan Bidang Pendukung serta mungkin sebuah Unit
Pelayanan Teknis.
Bidang Teknologi berperan dalam hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan
teknologi masyarakat dan pemberian jasa pelayanan teknologi-bisnis. Bidang HKI
berperan dalam hal peningkatan kesadaran masyarakat tentang HKI, peningkatan
perolehan HKI dan pemberian perlindungan/advokasi permasalahan HKI. Bidang
Pendukung berperan mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Bidang Teknologi
dan Bidang HKI dalam hal administrasi dan penyediaan fasilitas kerja.
Pembiayaan untuk operasionalisasi lembaga tersebut dapat berasal dari subsidi
pemerintah, sponsorship, keanggotaan, sumbangan, kemitraan pendanaan dan
imbalan jasa pelayanan, dan/atau sumber-sumber pendanaan lain yang legal.
Sejak tahun 1977 Indonesia telah meratifikasi “Convention Establishing the World
Trade Organization (Konvensi WTO) yang di dalamnya termuat pula tentang
Agreement on the Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights
(Persetujuan TRIPs) yang mulai diberlakukan 1 Januari 2000 (dalam
pelaksanaannya ditunda sampai Juni 2000). Sebagai konsekuensi, Indonesia
harus menyesuaikan undang-undang di bidang HKI, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta (dan sedang dalam
perbaikan lagi);
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten;
3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek;
4. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman;
5. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
6. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
Selain itu, sejalan dengan persetujuan TRIPs, Indonesia juga masih harus
mengakomodasi jenis HKI lainnya, yaitu tentang Indikasi Geografis. Beberapa
perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu:
1. Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention
Establishing the World Intelectual Property Organization (melalui Keputusan
Presiden RI Nomor 15 Tahun 1997);
2. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT (melalui
Keputusan Presiden RI Nomor 16 Tahun 1997);
3. Trademarks Law Treaty (melalui Keputusan Presiden RI Nomor 17 Tahun
1997);
4. Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Work (melalui
Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 1997);
5. WIPO Copyright Treaty (melalui Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun
1997).
Tugas Pokok
PASINDA mempunyai tugas pokok:
1. Mewakili kepentingan “kelompok masyarakat pemilik tekmas dan/atau
pengetahuan tradisional tertentu di daerah;”
2. Melaksanakan/mengorganisasikan dan mengkoordinasikan secara
sistematis pengembangan/ inovasi dan perlindungan HKI tekmas di
daerah;
3. Memberikan pelayanan kepada masyarakat penghasil dan pengguna
karya intelektual, khususnya teknologi masyarakat, berupa sosialisasi,
konsultasi dan advokasi HKI;
4. Membantu pemerintah daerah dalam bidang pengembangan teknologi
dan pengelolaan HKI tekmas di daerah.
Fungsi
Dalam melaksanakan tugas pokok, PASINDA menyelenggarakan fungsi-
fungsi sebagai berikut:
1. Perwakilan stakeholder tekmas setiap daerah;
2. Pelaksanaan/pengorganisasian secara sistematis pengkajian,
pemanfaatan, pemasyarakatan dan pengembangan/inovasi teknologi
masyarakat dan yang bermanfaat bagi pengembangan potensi daerah
untuk mendukung pembangunan daerah;
3. Pengkoordinasian pengkajian, pemanfaatan, pemasyarakatan dan
pengembangan/inovasi teknologi masyarakat dan yang bermanfaat
bagi pengembangan potensi daerah untuk mendukung pembangunan
daerah;
Organisasi
Susunan Organisasi PASINDA terdiri dari:
1. Ketua dan Wakil Ketua.
2. Bidang Teknologi dan Manajemen; Bidang HKI; dan Bidang
Pendukung (Administrasi, Humas, dan Sarana-Prasarana), yang
masing-masing dipimpin oleh Ketua Bidang.
PASINDA
Lembaga
Litbangyasa,
Individu
Ditjen HKI Pengembangan/
Depkeh & HAM Inovasi
Tekmas
Pendaftaran, Inventarisasi,
Perlindungan PASINDA Pemutakhiran
HKI Tekmas
Komersialisasi/
Difusi Sumber Lokal
Tekmas
Upaya resource-sharing, risk and benefit sharing antar pihak yang menilai urgensi
PASINDA sangat penting untuk ditumbuhkembangkan. Oleh karena itu, sosialisasi
PASINDA beserta programnya perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan baik.
Lembaga Penanggung
Tahap Mitra Kerja
Jawab
Tahap Persiapan Pemerintah Daerah 1. Perguruan Tinggi
dan Tahap (dapat menunjuk 2. Asosiasi Pengusaha dan
Operasional lembaga/perorangan Profesi
dalam 3. LSM setempat
operasionalisasinya) 4. Ditjen HKI – Dep.Kehakiman
dan HAM
5. Lembaga litbangyasa (mis.
BPPT/lembaga litbang lain).
Tahap Operasional Swadana secara penuh3 Lembaga di atas dan/atau
Penuh dan lembaga lain yang dinilai perlu.
Independen
3
Sekedar contoh jika berbentuk organisasi bisnis sepenuhnya.
Pendaftaran
Dokumen pendaftaran yang telah disusun sesuai dengan format yang telah
ditetapkan selanjutnya didaftarkan ke Ditjen HKI. Pendaftaran ini dilakukan
oleh Kelompok Hukum – Bidang HKI, PASINDA.
Pemeriksaan Formalitas
Oleh Ditjen HKI, selanjutnya dokumen tersebut diperiksa kelengkapan dan
kebenaran persyaratan formal yang telah ditetapkan. Apabila telah
memenuhi persyaratan, maka permohonan HKI tersebut akan diumumkan
secara terbuka kepada masyarakat selama 6 bulan untuk mendapatkan
tanggapan.
Pemeriksaan Substantif
Pemeriksaan substantif dilakukan dalam waktu paling lama 24 bulan
terhitung sejak tanggal diterimanya surat permohonan pemeriksaan
substantif. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan apakah
penemuan yang dimintakan paten tersebut dapat diluluskan atau tidak
dengan mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Aspek kebaruan;
2. Langkah inventif yang terkandung;
3. Dapat atau tidaknya penemuan tersebut diterapkan atau digunakan
dalam industri;
4. Apakah penemuan tersebut termasuk atau tidak dalam kelompok
penemuan yang tidak dapat diberikan paten;
5. Apakah pemohon memang berhak atau tidak atas paten bagi
penemuan tersebut;
6. Apakah penemuan tersebut bertentangan atau tidak dengan
peraturan perundang-undangan, ketertiban umum serta kesusilaan.
C. Komersialisasi/Pemasaran HKI
HKI yang telah didapat harus dipasarkan agar menghasilkan nilai tambah
baik secara ekonomi maupun sosial. Komersialisasi/pemasaran ini
sebaiknya dilakukan oleh bagian tersendiri pada PASINDA yang sangat
kompeten (misalnya oleh Kelompok Pemasaran – Bidang HKI).
Tugas-tugas lain dari Kelompok Pemasaran adalah:
Melakukan sosialisasi HKI;
Melakukan estimasi nilai komersial dari setiap usulan paten;
Memasarkan HKI, khususnya paten dan lisensi;
Melakukan koordinasi dengan Kelompok Hukum dan Kelompok
Teknologi untuk negosiasi bisnis pemanfaatan paten;
Mengembangkan Sistem Basis Data HKI dalam dan luar negeri.
E. Pembagian Royalti
Apabila suatu HKI, khususnya paten, yang telah diluluskan berhasil laku
dipasarkan, maka pembagian royaltinya diatur berdasarkan kesepakatan bersama
antara pihak-pihak yang terkait dalam proses penemuan teknologi dan proses
perolehan HKI. Royalti tersebut, setelah dikurangi biaya perolehan HKI, secara
umum dibagi sebagai berikut:
40% diberikan kepada penemu;
20% diberikan kepada unit tempat penemu bekerja hingga menghasilkan
penemuan tersebut;
40% diberikan kepada Lembaga Tekno-Bisnis dan HKI sebagai pengelola
HKI di daerah.
7. PENUTUP
DAFTAR KEPUSTAKAAN