You are on page 1of 6

Keberadaan Tasawuf

Relevansinya di Nusantara
Oleh : Abdul Hadi W. M.

o Sunan Bonang dan Peranan Pemikiran Sufistiknya

Maraknya pengajian tasawuf dewasa ini, dan kian bertambahnya minat masyarakat terhadap
tasawuf memperlihatkan bahwa sejak awal tarikh Islam di Nusantara tasawuf berhasil
memikat hati masyarakat luas. Minat tersebut boleh serius, boleh setengah serius, atau
sekadar ingin tahu. Namun yang jelas pengaruh dan peranan tasawuf, yang menjamin
keberadaan dan relevansinya, ternyata tidak pudar sejak dulu sampai sekarang. Itu pun juga
dengan sedikit mengabaikan penyimpangan-penyimpangan, yang boleh saja terjadi,
sebagaimana penyimpangan boleh juga terjadi dalam amalan ilmu dan gerakan keagamaan
nontasawuf.
Dalam Hikayat Aceh, yang ditulis atas titah Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M),
dipaparkan, betapa tua muda, kalangan menengah atas, dan bawah sama-sama bergairah
mempelajari ilmu tasawuf. Kala itu justru pada saat Kesultanan Aceh Darussalam berada di
puncak kejayaannya, dan minat tasawuf tidak menyebabkan kegiatan ekonomi dan
perdagangan mundur. Begitu juga kegiatan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu agama dan
pengetahuan umum.
Perdebatan tentang tasawuf juga sering terjadi dan kadang-kadang tampak sengit. Hasil
kalam para sastrawan dan ulama sejak abad ke-15 M sampai abad ke-19 M, yaitu kitab-kitab
keagamaan, ilmu dan sastra, juga menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh tasawuf
pada masyarakat terpelajar dan menengah Muslim Nusantara yang menganut madazat Sunni
aliran Syafii.
Dalam banyak buku sejarah diuraikan bahwa tasawuf telah mulai berperanan dalam
penyebaran Islam sejak abad ke-12 M. Peran tasawuf kian meningkat pada akhir abad ke-13
M dan sesudahnya, bersamaan munculnya kerajaan Islam pesisir seperti Perulak, Samudra
Pasai, Malaka, Demak, Ternate, Aceh Darussalam, Banten, Gowa, Palembang, Johor Riau
dan lain-lain. Ismail Faruqi dalam bukunya Atlas Budaya Islam menghubungkan hal ini
dengan perpindahan besar-besaran orang Islam dari negeri-negeri yang ditaklukkan oleh
Jengis Khan dan pasukan Mongolnya. Bersama mereka juga pindah para ulama, ahli
tasawuf, cendekiawan, tabib, pedagang, dan bekas panglima perang. Tidak sedikit di antara
jutaan pengungsi itu pada akhirnya memilih pesisir Sumatra, semenanjung Melayu, dan
Pulau Jawa sebagai tempat tinggal baru.
Tidak mengherankan tasawuf ikut berkembang di kepulauan Nusantara. Sebab sejak abad
ke-12 M, peranan ulama tasawuf memang sangat dominan di dunia Islam. Hal ini antara lain
disebabkan pengaruh pemikiran islam al-Ghazali (wafat 111 M), yang berhasil
mengintegrasikan tasawuf ke dalam pemikiran keagamaan madzab Sunnah wal Jamaah
menyusul penerimaan tasawuf di kalangan masyarakat menengah.

Bukti Sejarah

Bukti-bukti arkeologi, seperti tulisan pada makam raja-raja dan bangsawan Pasai (1272-1400
M) membuktikan besarnya pengaruh tasawuf sejak awal tarikh Islam. Pada makam-makam
kuno itu tertulis bukan saja ayat-ayat Alquran yang sufisfik, tetapi juga sajak-sajak sufisfik
karangan Sayidina Ali dan penyair Sufi Persia abad ke-13 M, Mulla Sa`di. Sumber-sumber
sejarah Melayu sepeti Hikayat Raja-raja Pasai (anonim, abad ke-15 M), Slalat al-Salatin
(karangan Tun Sri Lanang, abad ke-16 M), Hikayat Aceh (anomin), Babad Banten dan lain-
lain, juga memaparkan aktivitas para Sufi dan besarnya pengaruh mereka dalam kehidupan
masyarakat Muslim.
Menurut Tun Sri Lanang, Sultan Malaka Mansyur Syah (1459-1477 M) adalah seorang
pengikut ajaran tasawuf yang terkemuka. Beliau pernah memerintahkan agar memperbanyak
sebuah kitab tasawuf karangan Abu `Isyaq, seorang ulama Arab terkemuka abad ke-14,
berjudul Dur al-Manzum (Untaian Mutiara Puisi). Nuruddin al-Raniri dalam Bustan al-Salatin
menyatakan bahwa pada akhir abad ke-16 di Aceh terjadi perbincangan seru tentang ajaran
Wujudiyah Ibn `Arabi. Seorang ulama Arab terkemuka menulis buku tasawuf berjudul Syaf al-
Qati (Pedang Tajam) untuk meluruskan pemahaman tentang paham Wujudiyah.
Sultan Aceh, kakek Iskandar Muda, Alauddin Ri`ayat Syah (1589-1604 M) adalah tokoh
Tarekat Qadiriyah. Pada mulanya beliau adalah seorang saudagar kaya, yang dilantik oleh
musyawarah orang-orang kaya menjadi raja, untuk mengisi takhta kerajaan Aceh yang
lowong disebabkan sengketa dan krisis politik yang berkepanjangan. Begitu pula Sultan
Iskandar Muda, seorang penggemar sufi kelas berat. Pendamping Sultan ini dalam
pemerintahan ialah Syamsudin Pasai, seorang Sufi terkemuka dan penganjur ajaran
Martabat Tujuh perdana menteri yang disegani.
Sultan Banten Zainal Abidin yang memerintah pada akhir abad ke-17 adalah juga seorang
pengikut tasawuf dan kolektor kitab sufi terkemuka. Pangeran Diponegoro (w. 1855), juga
pengikut Tarekat Qadiriyah sebagaimana penentang kolonial Belanda pendahulunya, yaitu
Pangeran Trunojoyo (w. 1211). Di antara tarekat yang berpengaruh ialah tarekat-tarekat yang
muncul pada abad ke-13 M. Misalnya Tarekat Rifa`iyah, Qadiriyah, Syadiliyah,
Naqsyabandiyah, Sattariyah, Khalwatiyah lain-lain. Tokoh-tokoh tarekat ini, khususnya
Ahmad Riaf`i, Abdul Qadir al-Jilani, Naqsyabandi dan lain-lain dipengaruhi Imam al-Ghazali.

Tokoh dan Kitab

Kitab tasawuf paling awal yang muncul di Nusantara ialah Bahar al-Lahut (lautan Ketuhanan)
karangan `Abdullah Arif (w. 1214). Isi kitab ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang
wujudiyah Ibn `Arabi dan ajaran persatuan mistikal (fana) al-Hallaj. Syekh Abdullah Arif
adalah pemuka tasawuf dari Arab. Beliau tiba di Sumatra (Perulak, Pasai) pada tahun 1177.
Menurut T. Arnold dalam The Preaching of Islam (1036), Syekch Abdullah Arif termasuk Sufi
paling awal yang menyebarkan Islam bercorak tasawuf di Sumatra.
Namun, baru pada abad ke-16 muncul kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu. Sedangkan
kitab-kitab yang ada sebelumnya ditulis dalam bahasa Arab. Di antara kitab-kitab tasawuf
dalam bahasa Melayu yang berpengaruh ialah Syarab al-Asyiqin (Minuman Orang Berahi),
Asrar al-ARifin (Rahasia Ali Makrifat) dan al-Muntahi karangan Hamzah Fansuri (wafat awal
abad ke-17) dan sebagainya.

Relevansi Tasawuf

Tasawuf ialah perwujudan spiritualitas Islam, yang mengambil bentuk sebagai ilmu falsafah,
gerakan sastra dan estetik, ajaran tentang jalan kerohanian atau tarekat. Sebagai
pengetahuan kerohanian, tasawuf membicarakan masalah tatanan rohani kehidupan,
mencakup kewujudan Yang Satu keesaan-Nya dan hubungan Tuhan dengan dunia ciptaan.
Walaupun tasawuf tertuju pada alam kerohanian, namun sebagai ilmu ia tidak hanya
membicarakan masalah rohani dan jiwa manusia, tetapi juga tatanan yang berbeda-beda di
alam benda dan dunia.
Rumi mengatakan bahwa tujuan tasawuf ialah untuk memperteguh jiwa manusia. Caranya
ialah dengan meningkatkan cinta dan keimanan, moral dan pengetahuan rohani,
memperbanyak ibadah dan amal saleh. Cinta yang dimaksud ialah cinta ilahi atau gairah
ketuhanan. Ia harus dihidupkan dalam diri manusia. Adapun moral yang dimaksud ialah
moral yang benar kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan sekitar dan diri sendiri.
Secara garis besarnya ringkas ajaran Sufi dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, hakikat segala sesuatu, dari mana semua keberadaan berasal ialah satu. Yang satu
disebut Wujud Wajib, artinya ada-Nya merupakan keharusan, agar yang banyak selain-Nya
juga memperoleh keberadaan. Sebagi Wujud Wajib (al-wajib al-wujud) Yang satu meliputi
segala sesuatu dengan ilmu atau pengetahuan dan cinta-Nya.
Di sini Sufi meyakini bahwa sebagai Dzat Tunggal, Tuhan itu bersifat transenden; sedangkan
pengejawantahan pengetahuan dan cinta-Nya di alam ciptaan merupakan sesuatu yang
immanen (tasybih).
Kedua, segala sesuatu sesungguhnya dicipta karena Dia (yaitu lautan ilmu-Nya yang tak
terhingga) ingin diketahui dan diabdi. Dengan mencipta segala sesuatu, maka cinta-Nya atau
kehendak-Nya, dapat dikenal. Paham Wujudiyah misalnya mengatakan bahwa Wujud Tuhan
itu sendiri ialah Cinta. Ini tertera dalam kalimat Basmallah, berupa al-rahman (Pengasih) dan
al-rahim (Penyayang).
Pengasih adalah cinta Tuhan yang esensial, artinya diberikan kepada semua makhluknya
dan semua umat manusia: Melayu, Arab, Eropah, Cina, Persia ataupun Jawa; atau Yahudi,
Buddha, Hindu, Kristen, dan Islam. Sedang Penyayang (al-rahim) ialah cinta yang wajib,
artinya diberikan hanya kepada yang beriman, bertakwa dan banyak beramal saleh.
Ketiga, hakikat diri manusia ialah makhluk kerohanian dengan potensi kerohanian yang luar
biasa besar.
Kelima, tujuan hakiki kehidupan ialah mencapai Pengetahuan Tertinggi, yaitu mengenal
keesaan Tuhan dalam arti sesungguhnya, mengenal hakikat diri sebagai makhluk rohani dan
mengenal dunia sebagai hamparan ayat-ayat Tuhan.
Keenam, jalan cinta ditempuh dengan menyucikan jiwa (nafsu) hingga dapat dikendalikan:
memurnikan pikiran, yaitu keterpukauan berlebihan pada yang selain Tuhan; dan
membeningkan kalbu hingga menjadi penglihatan rohani yang tajam.
Ketujuh, cinta dalam tahapan tertentu dapat disamakan dengan iman, kepatuhan
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi laranganya.
Delapan, aspek-aspek Cinta mencakup rasa rindu, karib, penuh hasrat, majenun (rindu
dendam), kepada Yang Satu. Seorang sufi ingin menyatukan kehendak, pikiran, rasa dan
arah hidup kepada Yang Satu. Cinta memberikan sifat-sifat mulia kepada seseorang; ikhlas,
tawadduk, tidak egosentris, penuh pengorbanan, bersemangat kesatria (futuwwa) dalam
hidup; dan merdeka, dalam arti merdeka dari selain Tuhan, dan hanya tergantung kepada-
Nya.

*) Pengajar Universitas Paramadina Mulya, Jakarta

Sunan Bonang dan Peranan Pemikiran


Sufistiknya
Oleh Dr Abdul Hadi WM
DI kalangan ulama tertentu mungkin peranan Sunan Bonang dianggap tidak begitu menonjol
dibanding wali-wali Jawa yang lain. Tetapi apabila kita mencermati manuskrip-manuskrip
Jawa lama peninggalan zaman Islam yang terdapat di Museum Leiden dan Museum Batavia
(sekarang dipindah ke Perpustakaan Nasional), justru Sunan Bonang yang meninggalkan
warisan karya tulis paling banyak, berisi pemikiran keagamaan dan budaya bercorak sufistik.

Putra Raden Rahma alias Sunan Ampel, dan cucu Maulana Malik Ibrahim, yang nenek
moyangnya berasal dari Samarkand ini, masih bersaudara dengan Sunan Giri, wali yang
paling berpengaruh di Jawa Timur. Kedua bersaudara ini diperkirakan lahir pada pertengahan
abad ke-15 M, pada saat Kerajaan Majapahit sedang di ambang keruntuhan. Sunan Bonang
(nama sebenarnya Makhdum Ibrahim bergelar Khalifah Asmara) wafat sekitar tahun 1530 M
di Tuban, tempat kegiatannya terakhir dan paling lama, pada masa jayanya Kerajaan Demak
Darussalam.

Kedua wali itu dikenal sebagai pendakwah Islam yang gigih. Keduanya sama-sama belajar di
Malaka dan Pasai, baru kemudian menunaikan ibadah haji di Mekah. Bedanya, jika Sunan
Giri lebih condong pada ilmu fiqih, syariah, teologi, dan politik; Sunan Bonang --tanpa
mengabaikan ilmu-ilmu Islam yang lain-- lebih condong pada tasawuf dan kesusastraan.
Sumber-sumber sejarah Jawa, termasuk suluk-suluknya sendiri menyatakan bahwa ia sangat
aktif dalam kegiatan sastra, mistik, seni lakon, dan seni kriya. Dakwah melalui seni dan
aktivitas budaya merupakan senjatanya yang ampuh untuk menarik penduduk Jawa memeluk
agama Islam.

Sebagai musikus dan komponis terkemuka, konon Sunan Bonang menciptakan beberapa
komposisi (gending), di antaranya Gending Dharma. Gending ini dicipta berdasarkan
wawasan estetik sufi, yang memandang alunan bunyi musik tertentu dapat dijadikan sarana
kenaikan menuju alam kerohanian. Gending Darma, konon, apabila didengar orang dapat
menghanyutkan jiwa dan membawanya ke alam meditasi (tafakkur). Penabuhan gending ini
pernah menggagalkan rencana perampokan gerombolan bandit di Surabaya. Manakala
gending ini ditabuh oleh Sunan Bonang, para perampok itu terhanyut ke alam meditasi dan
lupa akan rencananya melakukan perampokan. Keesokannya pemimpin bandit dan anak
buahnya menghadap Sunan Bonang, dan menyatakan diri memeluk Islam.

Sunan Bonang bersama Sunan Kalijaga dan lain-lain, jelas bertanggung jawab bagi
perubahan arah estetika Gamelan. Musik yang semula bercorak Hindu dan ditabuh
berdasarkan wawasan estetik Sufi. Tidak mengherankan gamelan Jawa menjadi sangat
kontemplatif dan meditatif, berbeda dengan gamelan Bali yang merupakan warisan musik
Hindu. Warna sufistik gamelan Jawa ini lalu berpengaruh pada gamelan Sunda dan Madura.

Sunan Bonang juga menambahkan instrumen baru pada gamelan. Yaitu bonang (diambil dari
gelarnya sebagai wali yang membuka pesantren pertama di Desa Bonang). Bonang adalah
alat musik dari Campa, yang dibawa dari Campa sebagai hadiah perkawinan Prabu
Brawijaya dengan Putri Campa, yang juga saudara sepupu Sunan Bonang. Instrumen lain
yang ditambahkan pada gamelan ialah rebab, alat musik Arab yang memberi suasana
syahdu dan harus apabila dibunyikan. Rebab, yang tidak ada pada gamelan Bali, sangat
dominan dalam gamelan Jawa, bahkan didudukkan sebagai raja instrumen.

Sebagai Imam pertama Masjid Demak, Sunan Bonang bersama wali lain, terutama murid dan
sahabat karibnya Sunan Kalijaga, sibuk memberi warna lokal pada upacara-upacara
keagamaan Islam seperti Idul Fitri, perayaan Maulid Nabi, peringatan Tahun Baru Islam (1
Muharram atau 1 Asyura) dan lain-lain. Dengan memberi warna lokal maka upacara-upacara
itu tidak asing dan akrab bagi masyarakat Jawa. Syair Islam pun akan mulus dan ajaran
Islam mudah diresapi. Toh, menurut Sunan Bonang, kebudayaan Islam tidak mesti kearab-
araban. Menutupi aurat tidak mesti memakai baju Arab, tetapi cukup dengan memakai
kebaya dan kerudung.

Di antara upacara keagamaan yang diberi bungkus budaya Jawa, yang sampai kini masih
diselenggarakan ialah upacara Sekaten dan Grebeg Maulid. Beberapa lakon carangan
pewayangan yang bernapas Islam juga digubah oleh Sunan Bonang bersama-sama Sunan
Kalijaga. Di antaranya Petruk Jadi Raja dan Layang Kalimasada.

Setelah berselisih paham dengan Sultan Demak I, yaitu Raden Patah, Sunan Bonang
mengundurkan diri sebagai Imam Masjid Kerajaan. Ia pindah ke desa Bonang, dekat Lasem,
sebuah desa yang kering kerontang dan miskin. Di sini ia mendirikan pesantren kecil,
mendidik murid-muridnya dalam berbagai keterampilan di samping pengetahuan agama. Di
sini pula Sunan Bonang banyak mendidik para mualaf menjadi pemeluk Islam yang teguh.
Suluk-suluknya seperti Suluk Wujil, menyebutkan bahwa ia bukan saja mengajarkan ilmu fikih
dan syariat serta teologi, melainkan juga kesenian, sastra, seni kriya, dan ilmu tasawuf.
Tasawuf diajarkan kepada siswa-siswanya yang pandai, jadi tidak diajarkan kepada
sembarangan murid.

Keahliannya di bidang geologi dipraktekkan dengan menggali banyak sumber air dan sumur
untuk perbekalan air penduduk dan untuk irigasi pertanian lahan kering. Sunan Bonang juga
mengajarkan cara membuat terasi, karena di Bonang banyak terdapat udang kecil untuk
pembuatan terasi. Sampai kini terasi Bonang sangat terkenal, dan merupakan sumber
penghasilan penduduk desa yang cukup penting.

Karya dan Ajaran

Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup banyak. Di antaranya sebagaimana disebut B
Schrieke (1913), Purbatjaraka (1938), Pigeaud (1967), Drewes (1954, 1968 dan 1978) ialah
Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh,
Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain. Satu-satunya karangan prosanya yang dijumpai
ialah Wejangan Seh Bari. Risalah tasawufnya yang ditulis dalam bentuk dialog antara guru
tasawuf dan muridnya ini telah ditranskripsi, mula-mula oleh Schrieke dalam buku Het Boek
van Bonang (1913) disertai pembahasan dan terjemahan dalam bahasa Belanda, kemudian
disunting lagi oleh Drewes dan disertai terjemahan dalam bahasa Inggris yakni The
Admonition of Seh Bari (1969).
Sedangkan Suluk Wujil ditranskripsi Purbatjaraka dengan pembahasan ringkas dalam
tulisannya "Soeloek Woedjil: De Geheime leer van Soenan Bonang" (majalah Djawa no. 3-5,
1938). Melalui karya-karyanya itu kita dapat memetik beberapa ajarannya yang penting dan
relevan. Seluruh ajaran Tasawuf Sunan Bonang, sebagai ajaran Sufi yang lain, berkenaan
dengan metode intuitif atau jalan cinta (isyq) pemahaman terhadap ajaran Tauhid; arti
mengenal diri yang berkenaan dengan ikhtiar pengendalian diri, jadi bertalian dengan
masalah kecerdasan emosi; masalah kemauan murni dan lain-lain.

Cinta menurut pandangan Sunan Bonang ialah kecenderungan yang kuat kepada Yang Satu,
yaitu Yang Mahaindah. Dalam pengertian ini seseorang yang mencintai tidak memberi tempat
pada yang selain Dia. Ini terkandung dalam kalimah syahadah La ilaha illa Llah. Laba dari
cinta seperti itu ialah pengenalan yang mendalam (makrifat) tentang Yang Satu dan perasaan
haqqul yaqin (pasti) tentang kebenaran dan keberadaan-nya. Apabila sudah demikian, maka
kita dengan segala gerak-gerik hati dan perbuatan kita, akan senantiasa merasa diawasi dan
diperhatikan oleh-Nya. Kita menjadi ingat (eling) dan waspada.

Cinta merupakan, baik keadaan rohani (hal) maupun peringkat rohani (maqam). Sebagai
keadaan rohani ia diperoleh tanpa upaya, karena Yang Satu sendiri yang menariknya ke
hadirat-Nya dengan memberikan antusiasme ketuhanan ke dalam hati si penerima keadaan
rohani itu. Sedangkan sebagai maqam atau peringkat rohani, cinta dicapai melalui ikhtiar
terus-menerus, antara lain dengan memperbanyak ibadah dan melakukan mujahadah, yaitu
perjuangan batin melawan kecenderungan buruk dalam diri disebabkan ulah hawa nafsu.
Ibadah yang sungguh-sungguh dan latihan kerohanian dapat membawa seseorang mengenal
kehadiran rahasia Yang Satu dalam setiap aspek kehidupan.

Kemauan murni, yaitu kemauan yang tidak dicemari sikap egosentris atau mengutamakan
kepentingan hawa nafsu, timbul dari tindakan ibadah. Kita harus menjadikan diri kita masjid
yaitu, tempat bersujud dan menghadap kiblat-Nya, dan segala perbuatan kita pun harus
dilakukan sebagai ibadah. Kemauan mempengaruhi amal perbuatan dan perilaku kita.
Kemauan baik datang dari ingatan (zikir) dan pikiran (pikir) yang baik dan jernih tentang-Nya.

Dalam Suluk Wujil, yang memuat ajaran Sunan Bonang kepada Wujil pelawak cebol
terpelajar dari Majapahit yang berkat asuhan Sunan Bonang memeluk agama Islam sang --
wali bertutur:

Jangan terlalu jauh mencari keindahan


Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai Tuhan
...
Sebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
...
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya

Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin menyatakan betapa
pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang
menentukan yang material, bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia
menyangka yang material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi
kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.

Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:

"Jangan meninggikan diri


Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan".
Dalam Suluk Ing Aewuh ia menyatakan:
"Perkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia."

Relevansi dan Pengaruh

Jelas sekali bahwa Sunan Bonang mengajarkan tasawuf positif dengan menekankan
pentingnya ikhtiar dan kemauan (kehendak) dalam mencapai cita-cita.

Pengaruh ajaran ini juga terasa pula pada pandangan hidup dan budaya masyarakat muslim
pesisir, khususnya di Jawa Timur dan Madura. Penduduk muslim Jawa Timur dan Madura
sejak lama ialah pengikut madzab Syafii yang patuh dengan kecenderungan tasawuf yang
kuat. Namun mereka juga memiliki etos kerja keras dan akrab dengan budaya dagang.

Tasawuf yang diresapi dan dipahami ternyata bukan tasawuf yang eskapis dan pasif.
Sebaliknya yang dihayati ialah tasawuf yang aktif dan militan; aktif dan militan dalam
kehidupan sosial, ekonomi dan politik, dan juga dalam kehidupan agama dan kebudayaan.

Pengaruh penting lain ajaran Sunan Bonang ialah pada pemikiran kebudayaan termasuk
dalam seni atau wawasan estetik. Sunan Bonang berpendapat bahwa agama apa pun,
termasuk Islam, dapat tersebar cepat dan mudah diresapi oleh masyarakat, apabila unsur-
unsur penting budaya masyarakat setempat dapat diserap dan diintegrasikan ke dalam
sistem nilai dan pandangan hidup agama bersangkutan.

*) Pengajar Universitas Paramadina-Mulya, Jakarta.

You might also like