You are on page 1of 13

PSIKOLOGI DAN LINGKARAN KEKUASAAN [1]:

Pengategorian Status Ilmuwan Psikologi dan


Psikolog
Oleh:
Audifax[1]
Di Indonesia, ranah psikologi tampaknya dibedakan bagi dua jenis mahluk, yaitu
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Pembagian ini, seolah menyiratkan kasta
kemampuan. Lantas menjadi tidak relevan ketika kasta itu dikaitkan dengan
praktikalitas yang diistilahkan sebagai praktik psikologi, karena ketika dirunut
pada aturannya, pembagian itu sama sekali tak mengarakterisasi, apalagi
mencerminkan perbedaan kualitas kemampuan. Ada sesuatu yang luput dari
cermatan di sini, bahwa di tengah percepatan perkembangan dunia beserta kultur
di masyarakat, segala bentuk hirarki, sentralisasi, kategori justru akan
mematikan. Diakui atau tidak, saat ini masyarakat justru secara radikal
melepaskan diri dari keterpusatan dan menyebar, mengindividu, mendiferensiasi.
Jika dulu konsumsi cenderung mass consumption dan oleh karenanya menjadi
masuk akal mass production (yang memungkin adanya hirarki, sentralisasi,
kategori) saat ini pemasaran justru masuk ke ceruk-ceruk pasar (niche). Inilah
yang agaknya tak tertangkap oleh siapapun yang mengategorikan Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog.

Agar lebih jelas, pada awal analisis akan saya paparkan terlebih dahulu kutipan
dari buku kode etik psikologi Indonesia berkaitan dengan Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog. Setidaknya ada tiga pasal penting berkaitan dengan pembedaan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
ILMUWAN PSIKOLOGI adalah para lulusan perguruan tinggi dan
universitas di dalam maupun di luar negeri, yaitu mereka yang telah
mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud No.
18/D/O/1993) untuk pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi);
lulusan pendidikan tinggi strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang
psikologi, yang pendidikan strata (S1) diperoleh bukan dari fakultas
psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong kriteria tersebut dinyatakan
DAPAT MEMBERIKAN JASA PSIKOLOGI TETAPI TIDAK BERHAK
DAN TIDAK BERWENANG UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK
PSIKOLOGI DI INDONESIA[2].
PSIKOLOG adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti pendidikan
tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket
Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau Sistem Kredit Semester
(SKS) PTN; atau Kurikulum Nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993)
yang meliputi pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi) dan
program pendidikan profesi (Psikolog); atau kurikulum lama Perguruan
Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana
psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah
mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh
Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan
BERHAK DAN BERWENANG untuk melakukan PRAKTIK PSIKOLOGI
di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sarjana Psikologi menurut
kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai PSIKOLOG. Untuk
melakukan praktik psikologi maka Sarjana Psikologi yang tergolong
kriteria ini DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai
ketentuan yang berlaku[3].
PRAKTIK PSIKOLOGI adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog
dalam memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam
pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun
kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam
pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi
yang berkaitan dengan melakukan kegiatan DIAGNOSIS, PROGNOSIS,
KONSELING, dan PSIKOTERAPI[4].
Ada beberapa pertanyaan yang menurut saya mendasar pada pasal-pasal di atas,
terutama berkaitan dengan pembagian “jatah” antara Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog (menarik juga ketika ilmu itu dikastakan, saya kok tidak melihat
pembagian itu pada bidang kedokteran, menjadi ilmuwan kedokteran dan dokter
misalnya). Menjadi pertanyaan pula lantas apa gunanya kuliah psikologi empat
tahun kalau masih dibatasi wewenangnya? Lalu apakah memang ada peningkatan
kemampuan secara signifikan setelah mengikuti pelatihan diagnostik atau
program profesi? Makin kacau lagi ketika program profesi psikologi digabung
dengan S-2; bagaimana masalah profesi dan mastery bisa dicampuradukkan?

Dalam analisis saya, pembagian tersebut lebih merupakan upaya memapankan


kelompok tertentu karena sebenarnya tidak terlihat alur logika bahwa psikolog
lebih tinggi kemampuannya dibanding ilmuwan psikologi sehingga patut diberi
wewenang lebih. Bagaimana misalnya peraturan itu bisa menjelaskan kompetensi
‘ilmuwan psikologi’ seperti Andrias Harefa yang dalam training-training dan
tulisan-tulisannya, sangat dekat dengan psikologi pendidikan dan
industri/organisasi; Frans Mardi Hartanto, yang tidak bisa masuk Himpsi (karena
S-1 nya Teknik) tapi justru diakui di asosiasi psikologi luar negeri seperti APA
(American Psychological Association); atau Goenawan Muhammad dengan tulisan
dan analisisnya yang tajam; bagaimana pula dengan tayangan-tayangan
interaktif seperti Dunia Lain, Pemburu Hantu dan sejenisnya? Bahkan seorang
Deddy Corbuz! ier atau Romy Rafael pun menunjukkan tingkat kepiawaian yang
luar biasa dalam bidang psikologi. Bukankah apa yang mereka lakukan juga
mengandung unsur diagnosis, prognosis, konseling dan psikoterapi[5]? Apakah
peraturan dalam Kode Etik Psikologi itu lantas bisa melegitimasi dan
menempatkan para psikolog pada posisi yang lebih dari nama-nama di atas?
Apakah peraturan itu l! antas bisa menafikkan begitu saja kenyataan bahwa para
“klien” benar-benar merasakan manfaat dari nama-nama itu? (bahkan maaf,
mungkin para klien inipun lebih percaya pada nama-nama itu dibanding psikolog
bersertifikat yang baru saja lulus program profesi dan belum pernah menangani
kasus riil satupun).

Apa yang bisa kita tangkap di sini? Masyarakat sudah tak percaya lagi pada
narasi-narasi besar dan masuk pada narasi-narasi kecil yang berdasarkan
pengalaman. Inilah titik krusial yang terkesan menjadi kelemahan dari
pengategorian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog beserta segala wewenangnya.
Masalah wewenang itu sendiri, kemudian justru menjadi sangat lemah karena
bagaimanapun, untuk masalah penggunaan ‘jasa psikologi’; fakta di lapangan
yang membuktikan, bukan legitimasi dari otoritas. Psikologi, saya coba ingatkan
lagi akar katanya; yaitu ilmu (logos) tentang jiwa (psike). Saya rasa ilmuwan-
ilmuwan psikologi yang saya sebutkan tadi telah menunjukkan suatu langkah
berani dalam bermain-main dengan psike; namun jangan lupa, mereka juga
menunjukkan kepiawaian yang tinggi dalam pemahaman, penguasaan psike. Ya,
inilah yang justru men! jadi kelemahan Psikolog yang memahami psike hanya
sebatas apa yang dijelaskan dalam manual-manual interpretasi alat tes.
Sementara mereka sendiri mungkin tak pernah menyadari seberapa akurat alat
tes tersebut mengungkap psike.

Ini persis seperti yang dijelaskan oleh Jean Francois-Lyotard mengenai


keruntuhan narasi-narasi besar dan munculnya narasi-narasi kecil. Imbas dari
spirit di jaman posmodernisme. Pada jaman ini, kode etik adalah sebuah narasi
besar yang memiliki potensi untuk berbenturan dan diruntuhkan oleh narasi-
narasi kecil yang berbasis pengalaman riil.

Kode etik yang membedakan wewenang Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini akan
makin terasa kontradiksinya (sekaligus kelemahannya) dengan mencermati bunyi
pasal 9:
Asas kesediaan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak
pemakai jasa atau klien untuk menolak keterlibatannya dalam
pemberian jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela yang
mendasari pemakai jasa dalam menerima atau melibatkan diri dalam
proses pemberian jasa/praktik psikologi[6].
Bagaimana jika klien menolak seorang psikolog dan minta dilayani oleh Ilmuwan
Psikologi, termasuk dalam hal prognosis, diagnosis, konseling, dan psikoterapi?
Pasal yang membagi Ilmuwan psikologi/Psikolog dan pasal mengenai asas
kesediaan yang terkesan kontradiktif ini terlihat menafikkan kemungkinan bahwa
klien bisa jadi akan memilih Ilmuwan Psikologi ketimbang Psikolog. Seolah, klien
sudah pasti merasa puas kalau yang melayani Psikolog dan memiliki
kemungkinan tidak puas kalau yang menangani Ilmuwan Psikologi. Sebuah
legitimasi yang terkesan hegemonik. Ini akan makin jelas terasa ketika kita
memperhatikan penjelasan pasal 9 pada Bab Pedoman Pelaksanaan. Jika kita tak
cermat dalam melihat pasal-pasal itu berikut implikasinya; maka kita akan masuk
begitu saja dalam sebuah lingkaran kekuasaan.

Saya mencoba menghadirkan pembahasan mengenai kuasa dalam pembagian


Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini. Salah satu tokoh yang lantang berbicara
mengenai kekuasaan adalah Michel Foucault, yang mendefinisikan kuasa agak
berbeda dengan beberapa ahli lain. Bagi Foucault kuasa tidak bermakna
“kepemilikan”, atau keadaan di mana seseorang memiliki sumber kekuasaan.
Kuasa, dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang
secara strategis berkaitan satu sama lain. Di mana saja terdapat susunan,
aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang
mempunyai hubungan tertentu satu sama lain, di situ kuasa sedang bekerja.
Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan, dan hubungan
dari dalam[7]. Dalam hal ini, HIMPSI adalah bagian dari sebuah institusi
kekuasaan yang bertugas untuk memapankan kelompok orang-orang tertentu,
terutama dari kemungkinan terlindas oleh persaingan dari orang-orang di luar
kelompok tersebut.

Menurut Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui


kekerasan atau hasil dari persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang
menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan,
persuasi atau bias; juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan
institusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama
yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat.
Kekuasaan ada di mana-mana; tetapi bukan berarti mencakup semua; melainkan
kekuasaan datang dari mana-mana. Begitu merasuknya kekuasaan dalam
kehidupan, sehingga banyak manusia tak bisa lagi merasakannya. Manusia mati
dalam rantai kekuasaan yang beroperasi dalam tanda. Orang atau institusi yang
menguasai dan mampu memanipulasi tanda akan mampu menguasai orang lain.
Kita dapat secara lebih cermat melihat pada fenomena pembagian Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog ini.

Selain Foucault, saya akan coba menghadirkan pemikiran Pierre Bourdieu, yang
menjelaskan kekuasaan dari sisi-sisi tertentu yang belum terjelaskan oleh
pemikiran Foucault. Menurut Bourdieu, konsep kekuasaan selalu berada dan
beroperasi pada suatu arena (field). Dalam arena tersebut, terdapat pelaku-
pelaku yang memiliki modal, baik itu ekonomik, simbolik, maupun kultural.
Predikat sebagai Ilmuwan Psikologi maupun Psikolog adalah modal simbolik.
Modal inilah yang menentukan siapa pada posisi ordinat dan siapa berada di
posisi sub-ordinat. Dalam pola kepemilikan modal di arena psikologi ini, jelas
Ilmuwan Psikologi berada di posisi sub-ordinat dan psikolog berada pada posisi
ordinat. Padahal penguasaan modal itu sendiri, sama sekali tak ada hubungannya
dengan tinggi-rendahnya kualitas penguasaan psikologi. Namun, bisa jadi tak
ban! yak orang yang secara cermat menyadari ini.

Modal simbolik adalah suatu bentuk modal ekonomi fisikal yang telah mengalami
transformasi dan, karenanya, telah tersamarkan, sehingga menghasilkan efek
yang tepat sepanjang dan hanya sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia
tampil dalam bentuk-bentuk modal ‘material’ yang adalah, pada hakikatnya,
sumber-sumber efeknya juga[9]. Sistem-sistem simbolik merupakan instrumen
pengetahuan dan dominasi, yang memungkinkan terjadinya sebuah konsensus di
dalam suatu komunitas yang terkait dengan signifikansi dunia sosial; sistem ini
juga memberikan kontribusi terhadap kelangsungan reproduksi tatanan
sosial[10]. Inilah kunci yang per! tama kali harus dipahami oleh orang-orang
yang ingin menggugat kekuasaan. Konsensus yang menempatkan pihak dalam
suatu komunitas dalam posisi menguasai-terkuasai, kerap beroperasi secara
halus sehingga tak disadari sama sekali oleh anggota komunitas. Bahkan bisa jadi
konsensus ini telah berlangsung dalam waktu lama dan turun temurun.

Kita dapat melihat bahwa mahasiswa yang menekuni keilmuan psikologi, berada
dalam rantai kekuasaan ini. Kekuasaan yang dibangun melalui berbagai nilai yang
ditradisi oleh institusi, serta dimainkan melalui retorika pengetahuan. Kekuasaan
ini tak hanya terjadi pada suatu masa, tetapi juga antar masa. Kekuasaan bahkan
mungkin hidup turun temurun. Seorang mahasiswa belajar psikologi agar kelak
dapat digunakan untuk menguasai orang lain, namun dirinya juga terkuasai oleh
para dosen atau institusi fakultas melalui berbagai eksploitasi yang dilakukannya.
Secara lebih luas, operasi kekuasaan seperti ini juga tampak pada mereka yang
percaya begitu saja pada pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas terhadap
kebenaran suatu pengetahuan, seperti agama, orang tua, aparat penegak
kebenaran, dan lain-lain. Orang sudah kehilangan kebebasannya sebagai manusia
ketika berhadapan deng! an pemegang-pemegang kebenaran itu. Intinya bukan
pada adanya pihak yang mendominasi dan terdominasi, karena hanya ada satu
pihak yaitu yang terdominasi. Kekuasaan terjadi ketika tidak adanya kesadaran
diri telah terkuasai dan ketidakjelian melihat pihak yang diuntungkan dalam
situasi itu.

Bourdieu melihat bahwa kekuasaan tak lepas dari habitus yang memiliki
keterhubungan erat dengan ‘modal’. Sebagian habitus itu berperan sebagai
pengganda berbagai jenis modal. Dan pada kenyataannya, ia menciptakan
sebentuk modal (simbolik) di dalam dan dari mereka sendiri[11]. Habitus adalah
konsep kunci yang digunakan Bourdieu untuk tidak terjebak dalam oposisi antara
struktur dan agen. Istilah habitus sendiri, sulit didefinisikan secara tepat dan
memiliki intensi keragaman makna. Namun, justru di situlah kekuatan habitus
dalam menjelaskan dunia keseharian (ordinary world). Bourdieu melihat relasi
antara individu dan dunia sosial orang di luar individu sebagai suatu mutual
possesion (“the body is in the social world but the social world is in the body” -
Bourdieu, 1982). Di sini habitus secara mendasar merujuk pada menyatunya
sensibilitas yang membuat masuk akal suatu perilaku terstruktur sekaligus
mengalami improvisasi. Sebagai analog! i, gambaran ini mirip dengan musisi
yang melakukan “jam session” [12].

Pandangan yang menurut saya dapat melengkapi hadir pada pemikiran Foucault
ketika ia mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak
mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok
terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan.
Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan pada satu titik atau satu sumber
otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan[13]. Hubungan
dan perbedaan dalam hubungan menjadi salah satu faktor penting munculnya
kekuasaan. Orang kerap menerima dan menempatkan dirinya berbeda dengan
orang lain sehingga memungkinkan munculnya dominasi atau kekuasaan. Kita
dapat merujuk pada munculnya kekuasaan dalam institusi agama yang melarang
pernikahan antar agama. Ini bisa terjadi hanya ketika kita menempatkan adanya
perbedaan dalam berelasi dengan orang yang berbeda agama. Hal yang sama
juga terjadi ketika terjadi suatu pembedaan antara ilmuwan psikologi dan
psikolog yang dilegitimasi melalui peraturan dan bukan kenyataan kompetensi di
lapangan. Ketika terjadi suatu situasi di mana seorang pengguna sebenarnya
lebih cocok dengan Ilmuwan Psikologi, namun di sisi lain ia bimbang atau
kesulitan menggunakan jasa Ilmuwan Psikologi karena alas! an legitimasi, maka
pada posisi ini jelas Psikolog diuntungkan oleh legitimasi. Win by rule, not
competition; legitimate by symbol not competency!

Ini menunjukkan bahwa sebuah kelas menjadi dominan dan mampu meyakinkan
dominasinya pada suatu masyarakat, karena dominasi tersebut mampu
mereproduksi dirinya sendiri. Dominasi, dengan demikian bukan merupakan efek
dari sejumlah taktik prarencana aktual yang beroperasi dengan strategi-strategi
untuk meyakinkan dominasinya; karena dominasi tersebut mampu mereproduksi
dirinya sendiri. Namun, di antara strategi-strategi yang membaur, mereproduksi,
menggandakan, dan menonjolkan relasi-relasi kekuatan yang ada, dan kelas
yang kemudian menyadari bahwa dirinya dalam posisi memerintah, terdapat
suatu relasi produksi yang timbal balik[14]. Dalam konteks psikologi, kekuasaan
sebenarnya beroperasi pada titik-titik seperti: Himpsi, Institusi Pendidikan, klien
hingga mereka yang memperoleh “modal simbolik” dari pengategorian Psikolog
dan Ilmuwan Psikologi. Ketika para pelaku psikologi atau pengguna menerima
dan memercayai segala sesuatu “begitu saja”, maka seketika itulah rantai
kekuasaan beroperasi.

Menurut Bourdieu, ini bisa terjadi karena setiap masyarakat memiliki caranya
sendiri untuk menutupi, menyembunyikan, atau menciptakan sistem yang
menyediakan topeng-topengnya sendiri agar struktur dan praktik penindasan
tidak dapat dikenali (méconnaissance). Di sini dapat ditunjuk salah satu fungsi
ideologi, yakni sebagai topeng-topeng bagi praktik-praktik sosial yang melawan
atau mempertahankan suatu penindasan atau dominasi. Seorang yang
memegang modal otoritas tertentu melakukan konstruksi terhadap pemikiran
masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan dipatuhi oleh kalangan yang
terdominasi. Untuk menutupi motivasi sesungguhnya maka diperlukan topeng
dengan mengatakan apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan bersama[15].
Psikologi Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri dari pelaku dan
pengguna. Pihak-pihak tertentu yang memiliki penguasaan modal (baik
ekonomik, simbolik, maupun kultural) tampaknya berusaha mengonstruksi suatu
struktur tertentu untuk menutupi realitas.

Pada titik ini, bisa dicermati adanya kenyataan bahwa kekuasaan beroperasi dan
menyembunyikan diri melalui budaya. Kelompok terdominasi adalah kumpulan
individu-individu yang menerima begitu saja (taken-for-granted) terhadap
konstruksi-konstruksi yang ditawarkan oleh kelompok pendominasi. Agar
kelompok yang didominasi menerima begitu saja, maka kelompok terdominasi
harus memiliki modal yang mampu melegitimasi dominasinya melalui penaklukan
moral dan intelektual kelompok terdominasi. Modal adalah hal-hal yang dalam
kebudayaan merupakan suatu yang diyakini penting.

Kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan: psikologi, sosiologi,


ekonomi, kriminologi, dan jurnalisme. Semua ranah pemahaman tersebut
memproduksi hasil tertentu dan menghasilkan kriteria keilmiahan yang kemudian
menjadi ukuran kebenaran, sehingga pada gilirannya membentuk dan menguasai
individu. Dengan psikologinya, seorang psikolog bisa mendefinisikan seseorang
sebagai sosok matang, kekanak-kanakkan, menyimpang, abnormal, dll. Padahal,
tidak semua hal bisa dijelaskan oleh psikologi. Lebih ironis lagi jika kita temukan
kenyataan bahwa tidak semua psikolog mengerti psikologi. Keadaan menjadi
bertambah runyam ketika orang-orang yang tidak mengerti psikologi ini malang
melintang menilai, menginterpretasi dan mengategorikan orang. Silang sengkarut
ini tampak dari perubahan pengategorian manusia dalam psikologi. Dalam studi
Foucault misalnya, ditemukan bahwa orang g! ila mengalami pergeseran kategori
dari “orang tak bermoral” menjadi “orang yang mengalami gangguan jiwa”. Kita
juga dapat mencermati bahwa sekian tahun lalu gay digolongkan sebagai
abnormal, sementara sekarang gay digolongkan sama normalnya dengan mereka
yang heteroseksual. Lantas, dari sini kita bisa menarik sesuatu. Seberapa benar
sebuah pengategorian? Bagaimana implikasinya bagi kemanusiawian? Apa
tanggung jawab yang bisa diberikan pada mereka yang dulu terlanjur
dikategorikan tak normal? Apakah pernah memperhitungkan perlakuan
masyarakat terhadap seseorang yang dikategorikan tak normal? Lalu apa
kenormalan itu? Bagaimana orang-orang yang mengategorikan normal-tak
normal itu berbicara mengenai kenormalan dirinya di hdapan figur-figur seperti:
Beethoven, Einstein, Leonardo Da Vinci, Michelangelo atau Nietszche? Kekacauan
pengategorian sebenarnya terjadi ketika orang percaya begitu saja pada sesuatu
atau menempatkannya sebagai dogma. Sejarah membuktikan itu ketika gereja
pernah menganggap bahwa bumi ini flat dan menghukum mereka yang
berpendapat bahwa bumi ini bulat.

Bagaimana beroperasinya kekuasaan, sehingga sesuatu bisa diterima “begitu


saja” atau ditempatkan sebagai dogma? Bagi Foucault, kekuasaan selalu
terartikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa.
Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan
sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan
samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi
kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena
pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan
sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa
konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai
produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan
disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu!
[16]. Gereja yang mengatak bahwa bumi flat,memiliki kuasa dan pengetahuan.
Pengetahuan itu sendiri ditempatkan sebagai sesuatu yang bernilai keagungan
sehingga memiliki kuasa. Hal yang sama sebenarnya terjadi dalam pengategorian
Ilmuwan Psik! ologi dan Psikolog.

Kekuasaan manifest dalam Habitus yang merepresentasikan suatu kerangka


konseptual yang menggambarkan suatu ‘prisma kemungkinan persepsi’, yang
menempatkan bermacam-macam disposisi sosial yang, menurut logika
utamanya, memperhitungkan klasifikasi budaya dari dunia sosial[17]. Habitus
sebagai suatu bangunan disposisi bersama, kategori-kategori klasifikasi dan
skema-skema generatif, jika tak ada lagi yang lain, merupakan sejarah kolektif
yang dialami sebagai hal yang dianggap benar tanpa sikap kritis (taken-for-
granted), kebutuhan aksiomatik terhadap realitas objektif[18]. Inilah sebabnya
tak banyak orang bisa melihat kekuasaan, bahkan orang kerap tak menyadari
bahwa dirinya sudah jatuh dalam jejaring kekuasaan.

Kekuasaan baru bisa dilihat ketika ada kesadaran akan akibat dari posisi yang
didominasi. Foucault memberi ilustrasi psikiatri yang mendefinisikan konsepsi
modern tantang alienasi mental, kemudian konsep ini mengubah praktik
penanganan orang gila. Konsepsi itu lalu diterjemahkan melalui praktik-praktik
baru seperti didirikannya rumah sakit yang tertutup atau adanya pengasingan
untuk penderita penyakit tersebut. “Orang gila” merupakan hasil pendefinisian
pengetahuan-kekuasaan, atau akibat posisi yang didominasi. Mereka yang
dianggap menderita alienasi mental tidak bisa lagi tinggal di keluarga. Dalam
kasus seperti ini, sulit untuk menunjuk siapakah yang mengakibatkan posisi
pengasingan itu. Siapa yang terlibat di dalamnya? Tidak hanya psikiater, namun
juga ilmu kedokteran, penguasa politik, pandangan masyarakat, kenyamanan
hidup keluarga, hubungan politik dan ilmu.

Kekuasaan pada banyak hal sebenarnya bertujuan untuk menghindari


ketakstabilan posisi atau ancaman yang datang untuk menggoyang suatu posisi.
Jika anda adalah seorang Psikolog dan memiliki lisensi beserta konsekuensi hak
yang terberikan sesuai kode etik psikologi bikinan Himpsi itu, maka posisi anda
dalam “rimba psikologi Indionesia” akan termapankan dan tak perlu takut oleh
ancaman dari “pendekar-pendekar” yang tak memiliki lisensi. Sementara, para
“pendekar-pendekar” itu, tak selalu sepaham dengan Himpsi, terutama berkaitan
dengan tata cara dan penggunaan alat yang menurut Himpsi sudah dibakukan.
Sementara di sisi lain, Masyarakat, yang dalam hal ini banyak bertindak sebagai
pengguna atau klien bisa jadi hanya akan melihat dan memercayai begitu saja
mereka yang memegang lisensi. Tak peduli seberapa kemampuan mereka dan
bagaimana sejarah perolehan lisensi itu. Di sini! lah bahaya implikasi kekuasan
itu. Pernahkah terpikir untuk memberi kompensasi pada para gay yang dulu
pernah dikategorikan tidak normal? Pernahkah terpikir bagaimana perlakuan
masyarakat ketika mereka dikategorikan tak normal? Ini tak hanya terjadi pada
kasus gay, namun juga siswa-siswi yang setiap awal tahun ajaran diharuskan
mengikuti psikotes. Sementara, jika dicermati banyak sekali kelemahan dari
sebuah psikotes karena validasinya yang tak pernah diungkapkan secara jelas.
Pun ke-”aus”-an akurasi karena ketidakmampuan tes itu mengantisipasi
percepatan perkembangan jaman, luput dari cermatan.

Di sinilah saya bisa melihat bahwa dalam banyak hal, berbagai peraturan, atau
kode etik itu sebenarnya hanya bertujuan untuk “menormalisir” agar situasi tetap
terjaga. Mereka yang memainkan aturan-aturan ini, tak lebih dari orang-orang
yang mempertahankan status quo. Foucault mengatakan bahwa “kekuasaan yang
menormalisir” tidak hanya dijalankan dalam penjara, tetapi juga beroperasi
melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan,
pengetahuan, dan kesejahteraan. Kekuasaan dalam pandangan Foucault
disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk
kategorisasi seperti pada fenomena Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, yang ujung-
ujungnya adalah pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi
bentuk subjektivitas dan perilaku dalam pemahaman yang kompleks dan
tergambarkan sebagai b! entuk restriksi. Dengan demikian, manusia menjadi
layak untuk ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan
fisik, tetapi melalui wacana dan mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan
sebagainya.

Ada tiga hal penting dalam komponen kekuasaan/pengetahuan, yaitu Disiplin


Ilmu, Institusi, dan Tokoh. Ketiganya berdialektika dalam sebuah sistem regulasi
yang mengatur dan menormalisir. Mekanisme kekuasaan berjalan melaui sistem
regulasi ini. Agar dapat berjalan dengan baik, maka pengawasan (surveillance)
harus dilakukan. Dalam suatu sistem sosial, pengawasan dilakukan oleh aparat.
Foucault sebenarnya memberi penekanan (salah satunya) pada pengawasan
sebagai upaya menstabilkan atau memapankan suatu konstruksi kebenaran.
Konsep panoptikon adalah salah satu cermatan yang dia kemukakan. Ketiganya
adalah pihak-pihak yang menguasai modal simbolik, kultural, maupun ekonomi.
Modal inilah yang berguna untuk memapankan diri, meletakkan pihak-pihak
tertentu di atas pihak lain. Menentukan mana yang ordinat dan sub-ordinat,
menentukan ma! na yang mendominasi dan terdominasi.

Menurut Bourdieu, pada satu sisi masyarakat distrukturkan oleh pembedaan


distribusi dan penguasaan modal. Pada sisi lain, individu-individu juga berjuang
untuk memperbesar modal yang dimiliki. Hasil yang dicapai dalam pembesaran
dan diversifikasi modal ini menentukan posisi dan status di dalam masyarakat
(social trajectory dan class distinction). Modal oleh Bourdieu juga dilihat sebagai
basis dominasi (meskipun tidak selalu disadari atau disembunyikan oleh pelaku-
pelaku)[19]. Dalam pertarungan di arena ini, apa yang luput terjelaskan oleh
Bourdieu, ada dalam paparan Foucault yaitu keberadaan aparat. Pertarungan
dalam arena menjadi semakin berat ketika penguasa modal menempatkan
“aparat” untuk mengatur pertarungan itu.

Makna aparat secara esensial adalah strategi, artinya hal ini mengasumsikan
adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun
ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya.
Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus
berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya,
tetapi dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan
relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis
pengetahuan tertentu[20].

Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada kegiatan yang ada


dalam masyarakat. Pada titik ini, kekuasaan yang memberi struktur kegiatan
manusia dalam masyarakat ini, selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-
struktur kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan
struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu
dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pengetahuan yang menyatakan
diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu. Dengan demikian, kekuasaan
tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Kekuasaan dilaksanakan bukan pertama-
tama melalui perjuangan, pembatasan, atau larangan, tetapi melalui manajemen.
Kegiatan-kegiatan yang diatasnamakan kelimiahan membentuk kriteria yang
menjadi ukuran kebenaran. Pada gilirannya kebenaran itu membentuk individu.

Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuan untuk menjadi suatu
himpunan konstruksi pemikiran yang berfungsi membentuk dan melestarikan
hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian
mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan; Foucault menunjukkan bahwa
konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep
abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-
wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran,
serta ilmu pengetahuan pada umumnya[21].

Penelitian historis Foucault terhadap kegilaan misalnya, adalah serangan Foucault


terhadap pemutlakan kegilaan sebagai penyakit mental. Kegilaan bagi Foucault
bukan merupakan sesuatu yang secara kodrati adalah penyakit. Penelitiannya
membuktikan bahwa pada suatu masa kegilaan bukan dikonsepsikan sebagai
penyakit, melainkan kesalahan moral yang mereduksi manusia ke tingkat
kebinatangan. Degradasi yang membuat manusia harus dikurung dan diiisolasi,
bukan disembuhkan. Kategorisasi kegilaan ini bukan kesalahan yang kemudian
dibenahi oleh psikologi modern. Kegilaan, baik sebagai cacat moral maupun
penyakit mental, tak lebih dari sekedar konstruksi sosial. Konstruksi berdasarkan
prinsip penataan hal-ihwal yang membuat beberapa hal mungkin lainnya tidak.
Prinsip penataan yang oleh Foucault diberi julukan teknis: episteme[22].

Episteme tidak bisa dijamah. Kerjanya sangat halus menguasai pola pikir orang
pada satu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja episteme
bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan, didefinisikan,
dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen diskursif: disiplin ilmu,
institusi, dan tokoh. Kegilaan misalnya, saat ini didominasi oleh disiplin psikologi.
Disiplin yang didapatkan melalui institusi yang namanya universitas. Dan di
universitas jualah mahasiswa berkenalan dengan tokoh-tokoh psikologi seperti
Freud, Jung, Adler, dan lain sebagainya. Orang menggunakan kombinasi
ketiganya guna menghasilkan satu mesin kebenaran untuk berbicara mengenai
kegilaan. Di luar itu, semua adalah omong kosong yang menyesatkan. Hakim di
pengadilan tidak akan memanggil dukun untuk dimintai keterangannya tentang
kesehatan menta seorang terdakwa. Haki! m pasti akan memanggil ahli psikologi
jebolan universitas yang sudah banyak mengunyah jajanan intelektual dari
beraneka ragam tokoh psikologi[23].

Saya akan hadirkan satu contoh yang dialami teman saya. Teman saya itu, sebut
saja Wawan (nama samaran) pernah diminta oleh seorang dosen, sebut saja
Doraemon (nama samaran) untuk memberi testimoni di depan kelas Psikologi
Dalam. Dosen Doraemon ini beralasan karena Wawan dulu pernah didiagnosis
Schizophrenia. Secara umum sebenarnya tidak ada yang salah dalam diri Wawan,
bahkan pemikiran-pemikirannya tampak cermat. Permasalahannya justru terletak
pada orang-orang di sekelilingnya yang tidak semua mampu menangkap apa
yang dipikirkan Wawan. Perilaku si dosen Doraemon yang meminta Wawan untuk
memberi testimoni (atas nama pengetahuan pikirnya) adalah cerminan
bagaimana pengetahuan memiliki kekuasaan untuk menempatkan seseorang
dalam posisi tertindas. Si dosen ini, yang menurut saya tidak memiliki
kompetensi untuk mengajar ‘psikologi dalam’ (karena sejauh pengenalan saya
ia ! hanya pernah menggunakan teori Lacan dalam tesisnya, itupun parsial
karena sifat penerapannya yang direduksi sebatas confirmatory pada sebuah
penelitian eksperimen kuantitatif dan bukan pewacanaan) tapi oleh pihak
Fakultas ia didapuk mengajar mata kuliah Psikologi Dalam. Di sinilah ia
memperoleh modal simbolik yang melegitimasi. Pengetahuan yang kurang, bisa
ditutup dengan penguasaan modal simbolik.

Pada titik ini, kita bisa sampai pada pemahaman bahwa Pengetahuan selalu
bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan,
melainkan saling menguatkan. Berbekal pengetahuan psikologi, seseorang
mempunyai kekuasaan untuk menghakimi kondisi mental orang lain. Bukan
hanya itu. Pengetahuan juga memiliki dampak sosial. Pengetahuan bisa
mengakibatkan rekonfigurasi sosial. Pendapat ahli bahwa kegilaan adalah
penyakit mental menjebloskan para orang gila ke dalam asilum. Pendapat ahli
bahwa homoseksual adalah sebuah kelainan seksual melahirkan kebijakan yang
melarang pernikahan sesama jenis. Pendapat ahli yang mengatakan bahwa
masturbasi pada anak dapat menimbulkan kebodohan berujung pada
pengawasan super ketat yang digelar mulai dari rumah sampai sekolah.
Semuanya itu adalah permainan kuasa-pengetahuan yang bertujuan
menghasilkan tubuh-tubuh yang taat. Seb! uah permainan yang mematri perilaku
badani yang sehat, normal, dan baik[24].

Berdasar pengertian ini, memungkinkan untuk memahami baik itu struktur sosial
dalam suatu ranah maupun berbagai posisi serta perbedaan besar modal yang
digenggam oleh pihak-pihak yang berada pada posisi tersebut. Beranjak dari
pemikiran ini, Hirarki kelas sosial lebih jauh bisa dipahami sebagai ruang
multidimensi, dibanding linearitas sebab akibat yang sederhana[25].
Pengetahuan adalah modal. Namun, ketika pengetahuan ini berada di tangan
aparat, maka nilai dari pengetahuan ini sebagai modal dapat dipermainkan.
Orang yang memiliki pengetahuan rendah bisa mendapat legitimasi, sementara
mereka yang memiliki kemampuan tinggi bisa dihalangi untuk memperoleh
legitimasi.

Ini karena modal bersifat convertible atau dapat dipertukarkan satu sama lain.
Konversi paling penuh kuasa adalah konversi dari berbagai modal ke modal
simbolis, karena di dalam bentuknya yang berbeda dipersepsikan dan diakui
sebagai absah (legitimate). Dalam konsteks ini, legitimasi adalah salah satu
unsur penting dari modal simbolis. Dipandang sebagai seseorang dari kelas,
status dan prestise tertentu, adalah pasti diterima sebagai absah. Posisi semacam
itu memberikan kuasa pada seseorang atau suatu kelompok untuk memberi
label, kuasa untuk merepresentasi akal sehat (common sense) dan di atas
segalanya adalah kuasa untuk menciptakan ‘versi resmi dunia sosial’[26].

Foucault melihat bahwa objektivitas adalah ranah investigasi. Dalam investigasi,


orang selalu mencari dan tak pernah puas pada finalitas definisi. Di sini Foucault
mencoba membuat model yang membuat orang mengerti dominasi atau
teknologi kekuasaan yang luput dari perhatian Marxisme klasik. Teknologi
kekuasaan, seperti Panopticon atau sistem disiplin, dikomposisi oleh
konglomerasi diskursus dan praktek, menit demi menit ditata untuk
mengendalikan tubuh dan pikiran. Level pengertian bisa didekati oleh rujukan
pada subjek atau bentuk kesadaran, tetapi lebih pada melalui analisis yang
cermat akan ranah objektivitas. Melalui Bourdieu, kita bisa belajar banyak untuk
memetakan arena. Mengidentifikasi siapa pemilik modal dan bagaimana mereka
mengoperasikan modalnya. Apa yang ditawarkan oleh Foucault dan Bourdieu,
dapat menjadi bekal b! agi kita untuk lebih cermat melihat realitas dan tidak
bersikap taken-for-granted.

Refleksi

Pada pembahasan mengenai kategorisasi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini, ada
setidaknya dua hal yang bisa kita refleksikan untuk sesuatu yang lebih baik bagi
kehidupan:

Pertama, sudah saatnya kita dapat melihat secara kritis dan tidak
menempatkan segala sesuatu secara taken-for-granted. Termasuk dalam
melihat badan-badan pemegang otorita seperti Himpsi. Retorika mengenai
keabsahan, standarisasi, kualifikasi yang dilekatkan pada otoritas semacam
Himpsi hendaknya kita telaah lagi substansinya; jika kita tak mau
membiarkan diri makin terhanyut dalam dramatisasi kekuasaan yang
berorientasi pada kemapanan pihak tertentu. Jika mau berbicara pro! fesi
dan profesionalisme maka kualifikasi, standarisasi dan keabsahan lebih
ditentukan oleh diri sendiri ketimbang segala badan yang mengklaim
dirinya punya kuasa.

Kedua, pembatasan-pembatasan itu sebenarnya tak pernah dekat


dengan upaya menjaga kualitas atau layanan, namun justru memasung
potensi-potensi yang ada karena tak memiliki sertifikasi. Pembatasan itu
juga membuat mereka yang tak berpotensi bisa berlindung di balik
sertifikat untuk mendongkrak harga dirinya. Suatu kemampuan absurd dan
simbolis, dapat dilekatkan pada yang tak berkemampuan dengan adanya
sertifikasi tersebut. Pada perkembangan globalisasi yang cenderung
meniadakan sekat-sekat kelas, jelas ini berpotens! i membuat tenaga-
tenaga potensial dari negeri sendiri terpinggirkan, sementara yang
bersertifikat tapi tak memiliki kemampuan juga akan tetap kalah dalam
kompetisi dengan tenaga asing.

Dengan menerima begitu saja segala finalitas pendefinisian, maka pertumbuhan


kita akan mati. Kita akan tak pernah berpusat pada pengembangan potensi
melainkan menenggelamkan diri dalam arus birokrasi. Implikasi dari semua ini,
psikologi dan semua insan di dalamnya, akan mati dalam birokrasi.

Semoga menjadi cermatan!

You might also like