Professional Documents
Culture Documents
Agar lebih jelas, pada awal analisis akan saya paparkan terlebih dahulu kutipan
dari buku kode etik psikologi Indonesia berkaitan dengan Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog. Setidaknya ada tiga pasal penting berkaitan dengan pembedaan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
ILMUWAN PSIKOLOGI adalah para lulusan perguruan tinggi dan
universitas di dalam maupun di luar negeri, yaitu mereka yang telah
mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud No.
18/D/O/1993) untuk pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi);
lulusan pendidikan tinggi strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang
psikologi, yang pendidikan strata (S1) diperoleh bukan dari fakultas
psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong kriteria tersebut dinyatakan
DAPAT MEMBERIKAN JASA PSIKOLOGI TETAPI TIDAK BERHAK
DAN TIDAK BERWENANG UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK
PSIKOLOGI DI INDONESIA[2].
PSIKOLOG adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti pendidikan
tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket
Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau Sistem Kredit Semester
(SKS) PTN; atau Kurikulum Nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993)
yang meliputi pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi) dan
program pendidikan profesi (Psikolog); atau kurikulum lama Perguruan
Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana
psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah
mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh
Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan
BERHAK DAN BERWENANG untuk melakukan PRAKTIK PSIKOLOGI
di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sarjana Psikologi menurut
kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai PSIKOLOG. Untuk
melakukan praktik psikologi maka Sarjana Psikologi yang tergolong
kriteria ini DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai
ketentuan yang berlaku[3].
PRAKTIK PSIKOLOGI adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog
dalam memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam
pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun
kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam
pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi
yang berkaitan dengan melakukan kegiatan DIAGNOSIS, PROGNOSIS,
KONSELING, dan PSIKOTERAPI[4].
Ada beberapa pertanyaan yang menurut saya mendasar pada pasal-pasal di atas,
terutama berkaitan dengan pembagian “jatah” antara Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog (menarik juga ketika ilmu itu dikastakan, saya kok tidak melihat
pembagian itu pada bidang kedokteran, menjadi ilmuwan kedokteran dan dokter
misalnya). Menjadi pertanyaan pula lantas apa gunanya kuliah psikologi empat
tahun kalau masih dibatasi wewenangnya? Lalu apakah memang ada peningkatan
kemampuan secara signifikan setelah mengikuti pelatihan diagnostik atau
program profesi? Makin kacau lagi ketika program profesi psikologi digabung
dengan S-2; bagaimana masalah profesi dan mastery bisa dicampuradukkan?
Apa yang bisa kita tangkap di sini? Masyarakat sudah tak percaya lagi pada
narasi-narasi besar dan masuk pada narasi-narasi kecil yang berdasarkan
pengalaman. Inilah titik krusial yang terkesan menjadi kelemahan dari
pengategorian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog beserta segala wewenangnya.
Masalah wewenang itu sendiri, kemudian justru menjadi sangat lemah karena
bagaimanapun, untuk masalah penggunaan ‘jasa psikologi’; fakta di lapangan
yang membuktikan, bukan legitimasi dari otoritas. Psikologi, saya coba ingatkan
lagi akar katanya; yaitu ilmu (logos) tentang jiwa (psike). Saya rasa ilmuwan-
ilmuwan psikologi yang saya sebutkan tadi telah menunjukkan suatu langkah
berani dalam bermain-main dengan psike; namun jangan lupa, mereka juga
menunjukkan kepiawaian yang tinggi dalam pemahaman, penguasaan psike. Ya,
inilah yang justru men! jadi kelemahan Psikolog yang memahami psike hanya
sebatas apa yang dijelaskan dalam manual-manual interpretasi alat tes.
Sementara mereka sendiri mungkin tak pernah menyadari seberapa akurat alat
tes tersebut mengungkap psike.
Kode etik yang membedakan wewenang Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini akan
makin terasa kontradiksinya (sekaligus kelemahannya) dengan mencermati bunyi
pasal 9:
Asas kesediaan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak
pemakai jasa atau klien untuk menolak keterlibatannya dalam
pemberian jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela yang
mendasari pemakai jasa dalam menerima atau melibatkan diri dalam
proses pemberian jasa/praktik psikologi[6].
Bagaimana jika klien menolak seorang psikolog dan minta dilayani oleh Ilmuwan
Psikologi, termasuk dalam hal prognosis, diagnosis, konseling, dan psikoterapi?
Pasal yang membagi Ilmuwan psikologi/Psikolog dan pasal mengenai asas
kesediaan yang terkesan kontradiktif ini terlihat menafikkan kemungkinan bahwa
klien bisa jadi akan memilih Ilmuwan Psikologi ketimbang Psikolog. Seolah, klien
sudah pasti merasa puas kalau yang melayani Psikolog dan memiliki
kemungkinan tidak puas kalau yang menangani Ilmuwan Psikologi. Sebuah
legitimasi yang terkesan hegemonik. Ini akan makin jelas terasa ketika kita
memperhatikan penjelasan pasal 9 pada Bab Pedoman Pelaksanaan. Jika kita tak
cermat dalam melihat pasal-pasal itu berikut implikasinya; maka kita akan masuk
begitu saja dalam sebuah lingkaran kekuasaan.
Selain Foucault, saya akan coba menghadirkan pemikiran Pierre Bourdieu, yang
menjelaskan kekuasaan dari sisi-sisi tertentu yang belum terjelaskan oleh
pemikiran Foucault. Menurut Bourdieu, konsep kekuasaan selalu berada dan
beroperasi pada suatu arena (field). Dalam arena tersebut, terdapat pelaku-
pelaku yang memiliki modal, baik itu ekonomik, simbolik, maupun kultural.
Predikat sebagai Ilmuwan Psikologi maupun Psikolog adalah modal simbolik.
Modal inilah yang menentukan siapa pada posisi ordinat dan siapa berada di
posisi sub-ordinat. Dalam pola kepemilikan modal di arena psikologi ini, jelas
Ilmuwan Psikologi berada di posisi sub-ordinat dan psikolog berada pada posisi
ordinat. Padahal penguasaan modal itu sendiri, sama sekali tak ada hubungannya
dengan tinggi-rendahnya kualitas penguasaan psikologi. Namun, bisa jadi tak
ban! yak orang yang secara cermat menyadari ini.
Modal simbolik adalah suatu bentuk modal ekonomi fisikal yang telah mengalami
transformasi dan, karenanya, telah tersamarkan, sehingga menghasilkan efek
yang tepat sepanjang dan hanya sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia
tampil dalam bentuk-bentuk modal ‘material’ yang adalah, pada hakikatnya,
sumber-sumber efeknya juga[9]. Sistem-sistem simbolik merupakan instrumen
pengetahuan dan dominasi, yang memungkinkan terjadinya sebuah konsensus di
dalam suatu komunitas yang terkait dengan signifikansi dunia sosial; sistem ini
juga memberikan kontribusi terhadap kelangsungan reproduksi tatanan
sosial[10]. Inilah kunci yang per! tama kali harus dipahami oleh orang-orang
yang ingin menggugat kekuasaan. Konsensus yang menempatkan pihak dalam
suatu komunitas dalam posisi menguasai-terkuasai, kerap beroperasi secara
halus sehingga tak disadari sama sekali oleh anggota komunitas. Bahkan bisa jadi
konsensus ini telah berlangsung dalam waktu lama dan turun temurun.
Kita dapat melihat bahwa mahasiswa yang menekuni keilmuan psikologi, berada
dalam rantai kekuasaan ini. Kekuasaan yang dibangun melalui berbagai nilai yang
ditradisi oleh institusi, serta dimainkan melalui retorika pengetahuan. Kekuasaan
ini tak hanya terjadi pada suatu masa, tetapi juga antar masa. Kekuasaan bahkan
mungkin hidup turun temurun. Seorang mahasiswa belajar psikologi agar kelak
dapat digunakan untuk menguasai orang lain, namun dirinya juga terkuasai oleh
para dosen atau institusi fakultas melalui berbagai eksploitasi yang dilakukannya.
Secara lebih luas, operasi kekuasaan seperti ini juga tampak pada mereka yang
percaya begitu saja pada pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas terhadap
kebenaran suatu pengetahuan, seperti agama, orang tua, aparat penegak
kebenaran, dan lain-lain. Orang sudah kehilangan kebebasannya sebagai manusia
ketika berhadapan deng! an pemegang-pemegang kebenaran itu. Intinya bukan
pada adanya pihak yang mendominasi dan terdominasi, karena hanya ada satu
pihak yaitu yang terdominasi. Kekuasaan terjadi ketika tidak adanya kesadaran
diri telah terkuasai dan ketidakjelian melihat pihak yang diuntungkan dalam
situasi itu.
Bourdieu melihat bahwa kekuasaan tak lepas dari habitus yang memiliki
keterhubungan erat dengan ‘modal’. Sebagian habitus itu berperan sebagai
pengganda berbagai jenis modal. Dan pada kenyataannya, ia menciptakan
sebentuk modal (simbolik) di dalam dan dari mereka sendiri[11]. Habitus adalah
konsep kunci yang digunakan Bourdieu untuk tidak terjebak dalam oposisi antara
struktur dan agen. Istilah habitus sendiri, sulit didefinisikan secara tepat dan
memiliki intensi keragaman makna. Namun, justru di situlah kekuatan habitus
dalam menjelaskan dunia keseharian (ordinary world). Bourdieu melihat relasi
antara individu dan dunia sosial orang di luar individu sebagai suatu mutual
possesion (“the body is in the social world but the social world is in the body” -
Bourdieu, 1982). Di sini habitus secara mendasar merujuk pada menyatunya
sensibilitas yang membuat masuk akal suatu perilaku terstruktur sekaligus
mengalami improvisasi. Sebagai analog! i, gambaran ini mirip dengan musisi
yang melakukan “jam session” [12].
Pandangan yang menurut saya dapat melengkapi hadir pada pemikiran Foucault
ketika ia mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak
mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok
terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan.
Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan pada satu titik atau satu sumber
otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan[13]. Hubungan
dan perbedaan dalam hubungan menjadi salah satu faktor penting munculnya
kekuasaan. Orang kerap menerima dan menempatkan dirinya berbeda dengan
orang lain sehingga memungkinkan munculnya dominasi atau kekuasaan. Kita
dapat merujuk pada munculnya kekuasaan dalam institusi agama yang melarang
pernikahan antar agama. Ini bisa terjadi hanya ketika kita menempatkan adanya
perbedaan dalam berelasi dengan orang yang berbeda agama. Hal yang sama
juga terjadi ketika terjadi suatu pembedaan antara ilmuwan psikologi dan
psikolog yang dilegitimasi melalui peraturan dan bukan kenyataan kompetensi di
lapangan. Ketika terjadi suatu situasi di mana seorang pengguna sebenarnya
lebih cocok dengan Ilmuwan Psikologi, namun di sisi lain ia bimbang atau
kesulitan menggunakan jasa Ilmuwan Psikologi karena alas! an legitimasi, maka
pada posisi ini jelas Psikolog diuntungkan oleh legitimasi. Win by rule, not
competition; legitimate by symbol not competency!
Ini menunjukkan bahwa sebuah kelas menjadi dominan dan mampu meyakinkan
dominasinya pada suatu masyarakat, karena dominasi tersebut mampu
mereproduksi dirinya sendiri. Dominasi, dengan demikian bukan merupakan efek
dari sejumlah taktik prarencana aktual yang beroperasi dengan strategi-strategi
untuk meyakinkan dominasinya; karena dominasi tersebut mampu mereproduksi
dirinya sendiri. Namun, di antara strategi-strategi yang membaur, mereproduksi,
menggandakan, dan menonjolkan relasi-relasi kekuatan yang ada, dan kelas
yang kemudian menyadari bahwa dirinya dalam posisi memerintah, terdapat
suatu relasi produksi yang timbal balik[14]. Dalam konteks psikologi, kekuasaan
sebenarnya beroperasi pada titik-titik seperti: Himpsi, Institusi Pendidikan, klien
hingga mereka yang memperoleh “modal simbolik” dari pengategorian Psikolog
dan Ilmuwan Psikologi. Ketika para pelaku psikologi atau pengguna menerima
dan memercayai segala sesuatu “begitu saja”, maka seketika itulah rantai
kekuasaan beroperasi.
Menurut Bourdieu, ini bisa terjadi karena setiap masyarakat memiliki caranya
sendiri untuk menutupi, menyembunyikan, atau menciptakan sistem yang
menyediakan topeng-topengnya sendiri agar struktur dan praktik penindasan
tidak dapat dikenali (méconnaissance). Di sini dapat ditunjuk salah satu fungsi
ideologi, yakni sebagai topeng-topeng bagi praktik-praktik sosial yang melawan
atau mempertahankan suatu penindasan atau dominasi. Seorang yang
memegang modal otoritas tertentu melakukan konstruksi terhadap pemikiran
masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan dipatuhi oleh kalangan yang
terdominasi. Untuk menutupi motivasi sesungguhnya maka diperlukan topeng
dengan mengatakan apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan bersama[15].
Psikologi Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri dari pelaku dan
pengguna. Pihak-pihak tertentu yang memiliki penguasaan modal (baik
ekonomik, simbolik, maupun kultural) tampaknya berusaha mengonstruksi suatu
struktur tertentu untuk menutupi realitas.
Pada titik ini, bisa dicermati adanya kenyataan bahwa kekuasaan beroperasi dan
menyembunyikan diri melalui budaya. Kelompok terdominasi adalah kumpulan
individu-individu yang menerima begitu saja (taken-for-granted) terhadap
konstruksi-konstruksi yang ditawarkan oleh kelompok pendominasi. Agar
kelompok yang didominasi menerima begitu saja, maka kelompok terdominasi
harus memiliki modal yang mampu melegitimasi dominasinya melalui penaklukan
moral dan intelektual kelompok terdominasi. Modal adalah hal-hal yang dalam
kebudayaan merupakan suatu yang diyakini penting.
Kekuasaan baru bisa dilihat ketika ada kesadaran akan akibat dari posisi yang
didominasi. Foucault memberi ilustrasi psikiatri yang mendefinisikan konsepsi
modern tantang alienasi mental, kemudian konsep ini mengubah praktik
penanganan orang gila. Konsepsi itu lalu diterjemahkan melalui praktik-praktik
baru seperti didirikannya rumah sakit yang tertutup atau adanya pengasingan
untuk penderita penyakit tersebut. “Orang gila” merupakan hasil pendefinisian
pengetahuan-kekuasaan, atau akibat posisi yang didominasi. Mereka yang
dianggap menderita alienasi mental tidak bisa lagi tinggal di keluarga. Dalam
kasus seperti ini, sulit untuk menunjuk siapakah yang mengakibatkan posisi
pengasingan itu. Siapa yang terlibat di dalamnya? Tidak hanya psikiater, namun
juga ilmu kedokteran, penguasa politik, pandangan masyarakat, kenyamanan
hidup keluarga, hubungan politik dan ilmu.
Di sinilah saya bisa melihat bahwa dalam banyak hal, berbagai peraturan, atau
kode etik itu sebenarnya hanya bertujuan untuk “menormalisir” agar situasi tetap
terjaga. Mereka yang memainkan aturan-aturan ini, tak lebih dari orang-orang
yang mempertahankan status quo. Foucault mengatakan bahwa “kekuasaan yang
menormalisir” tidak hanya dijalankan dalam penjara, tetapi juga beroperasi
melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan,
pengetahuan, dan kesejahteraan. Kekuasaan dalam pandangan Foucault
disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk
kategorisasi seperti pada fenomena Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, yang ujung-
ujungnya adalah pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi
bentuk subjektivitas dan perilaku dalam pemahaman yang kompleks dan
tergambarkan sebagai b! entuk restriksi. Dengan demikian, manusia menjadi
layak untuk ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan
fisik, tetapi melalui wacana dan mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan
sebagainya.
Makna aparat secara esensial adalah strategi, artinya hal ini mengasumsikan
adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun
ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya.
Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus
berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya,
tetapi dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan
relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis
pengetahuan tertentu[20].
Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuan untuk menjadi suatu
himpunan konstruksi pemikiran yang berfungsi membentuk dan melestarikan
hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian
mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan; Foucault menunjukkan bahwa
konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep
abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-
wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran,
serta ilmu pengetahuan pada umumnya[21].
Episteme tidak bisa dijamah. Kerjanya sangat halus menguasai pola pikir orang
pada satu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja episteme
bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan, didefinisikan,
dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen diskursif: disiplin ilmu,
institusi, dan tokoh. Kegilaan misalnya, saat ini didominasi oleh disiplin psikologi.
Disiplin yang didapatkan melalui institusi yang namanya universitas. Dan di
universitas jualah mahasiswa berkenalan dengan tokoh-tokoh psikologi seperti
Freud, Jung, Adler, dan lain sebagainya. Orang menggunakan kombinasi
ketiganya guna menghasilkan satu mesin kebenaran untuk berbicara mengenai
kegilaan. Di luar itu, semua adalah omong kosong yang menyesatkan. Hakim di
pengadilan tidak akan memanggil dukun untuk dimintai keterangannya tentang
kesehatan menta seorang terdakwa. Haki! m pasti akan memanggil ahli psikologi
jebolan universitas yang sudah banyak mengunyah jajanan intelektual dari
beraneka ragam tokoh psikologi[23].
Saya akan hadirkan satu contoh yang dialami teman saya. Teman saya itu, sebut
saja Wawan (nama samaran) pernah diminta oleh seorang dosen, sebut saja
Doraemon (nama samaran) untuk memberi testimoni di depan kelas Psikologi
Dalam. Dosen Doraemon ini beralasan karena Wawan dulu pernah didiagnosis
Schizophrenia. Secara umum sebenarnya tidak ada yang salah dalam diri Wawan,
bahkan pemikiran-pemikirannya tampak cermat. Permasalahannya justru terletak
pada orang-orang di sekelilingnya yang tidak semua mampu menangkap apa
yang dipikirkan Wawan. Perilaku si dosen Doraemon yang meminta Wawan untuk
memberi testimoni (atas nama pengetahuan pikirnya) adalah cerminan
bagaimana pengetahuan memiliki kekuasaan untuk menempatkan seseorang
dalam posisi tertindas. Si dosen ini, yang menurut saya tidak memiliki
kompetensi untuk mengajar ‘psikologi dalam’ (karena sejauh pengenalan saya
ia ! hanya pernah menggunakan teori Lacan dalam tesisnya, itupun parsial
karena sifat penerapannya yang direduksi sebatas confirmatory pada sebuah
penelitian eksperimen kuantitatif dan bukan pewacanaan) tapi oleh pihak
Fakultas ia didapuk mengajar mata kuliah Psikologi Dalam. Di sinilah ia
memperoleh modal simbolik yang melegitimasi. Pengetahuan yang kurang, bisa
ditutup dengan penguasaan modal simbolik.
Pada titik ini, kita bisa sampai pada pemahaman bahwa Pengetahuan selalu
bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan,
melainkan saling menguatkan. Berbekal pengetahuan psikologi, seseorang
mempunyai kekuasaan untuk menghakimi kondisi mental orang lain. Bukan
hanya itu. Pengetahuan juga memiliki dampak sosial. Pengetahuan bisa
mengakibatkan rekonfigurasi sosial. Pendapat ahli bahwa kegilaan adalah
penyakit mental menjebloskan para orang gila ke dalam asilum. Pendapat ahli
bahwa homoseksual adalah sebuah kelainan seksual melahirkan kebijakan yang
melarang pernikahan sesama jenis. Pendapat ahli yang mengatakan bahwa
masturbasi pada anak dapat menimbulkan kebodohan berujung pada
pengawasan super ketat yang digelar mulai dari rumah sampai sekolah.
Semuanya itu adalah permainan kuasa-pengetahuan yang bertujuan
menghasilkan tubuh-tubuh yang taat. Seb! uah permainan yang mematri perilaku
badani yang sehat, normal, dan baik[24].
Berdasar pengertian ini, memungkinkan untuk memahami baik itu struktur sosial
dalam suatu ranah maupun berbagai posisi serta perbedaan besar modal yang
digenggam oleh pihak-pihak yang berada pada posisi tersebut. Beranjak dari
pemikiran ini, Hirarki kelas sosial lebih jauh bisa dipahami sebagai ruang
multidimensi, dibanding linearitas sebab akibat yang sederhana[25].
Pengetahuan adalah modal. Namun, ketika pengetahuan ini berada di tangan
aparat, maka nilai dari pengetahuan ini sebagai modal dapat dipermainkan.
Orang yang memiliki pengetahuan rendah bisa mendapat legitimasi, sementara
mereka yang memiliki kemampuan tinggi bisa dihalangi untuk memperoleh
legitimasi.
Ini karena modal bersifat convertible atau dapat dipertukarkan satu sama lain.
Konversi paling penuh kuasa adalah konversi dari berbagai modal ke modal
simbolis, karena di dalam bentuknya yang berbeda dipersepsikan dan diakui
sebagai absah (legitimate). Dalam konsteks ini, legitimasi adalah salah satu
unsur penting dari modal simbolis. Dipandang sebagai seseorang dari kelas,
status dan prestise tertentu, adalah pasti diterima sebagai absah. Posisi semacam
itu memberikan kuasa pada seseorang atau suatu kelompok untuk memberi
label, kuasa untuk merepresentasi akal sehat (common sense) dan di atas
segalanya adalah kuasa untuk menciptakan ‘versi resmi dunia sosial’[26].
Refleksi
Pada pembahasan mengenai kategorisasi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini, ada
setidaknya dua hal yang bisa kita refleksikan untuk sesuatu yang lebih baik bagi
kehidupan:
Pertama, sudah saatnya kita dapat melihat secara kritis dan tidak
menempatkan segala sesuatu secara taken-for-granted. Termasuk dalam
melihat badan-badan pemegang otorita seperti Himpsi. Retorika mengenai
keabsahan, standarisasi, kualifikasi yang dilekatkan pada otoritas semacam
Himpsi hendaknya kita telaah lagi substansinya; jika kita tak mau
membiarkan diri makin terhanyut dalam dramatisasi kekuasaan yang
berorientasi pada kemapanan pihak tertentu. Jika mau berbicara pro! fesi
dan profesionalisme maka kualifikasi, standarisasi dan keabsahan lebih
ditentukan oleh diri sendiri ketimbang segala badan yang mengklaim
dirinya punya kuasa.