You are on page 1of 4

TUGAS FILSAFAT SAINS

KORUPSI DITINJAU DARI SEGI POLEKSOSBUD


DAN AGAMA

Oleh :
YUHANA NUHANANING K. (083654215)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
2010
Budaya Korupsi dan Budaya Moral

Kasus dugaan korupsi anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota terjadi


hampir disemua provinsi. Melibatkan lebih dari 300 anggota legislative dengan
kerugian negara ratusan miliar. Belum termasuk yang ditangani kepolisian. Dan Kemas
menduga, anggota dewan yang terlibat kasus korupsi masih bisa bertambah jumlahnya.
Selama enam bulan terakhir total korupsi yang dilakukan anggota DPRD tercatat lebih
dari Rp 394 miliar, yakni di 59 DPRD. Nilai ini sebatas data yang dihimpun dari
berbagai media massa nasional.

Saat ini masyarakat masih terpaku melihat fenomena pengungkapan kasus


korupsi. Perkara ini memang sulit untuk dijelaskan. Belum ditemukan pemaparan para
ahli dibidang sosial mengenai sakit yang melanda bangsa ini. Oleh karena itu gejala
sakit masyarakat ini sebagai hyper corruptus. Yaitu keadaan dimana korupsi sebagai
bentuk penyimpangan moral telah melewati batas-batas nalar kemanusiaan kita sebagai
bangsa beradab. Bangsa dengan lima sila yang agung. Yang selalu menyelaraskan
kehendak berke-Tuhan-an sekaligus berkemanusiaan. Menjadikan hubungan antar
individu dalam masyarakat dalam konteks interaksi yang diwarnai nilai-nilai persatuan
dan keadilan.

Dampak korupsi telah menghancurkan sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa.


Ditinjau dari aspek politik dapat dilihat manakala proses politik itu didasarkan bukan
membawa kepentingan masyarakat secara umum, tetapi lebih didasarkan atas kemauan
dan kepentingan untuk maksud-maksud tertentu dengan membawa agenda pribadi yang
dibungkus kepentingan masyarakat. Contohnya, pada bentuk-bentuk kolutif pemilihan
walikota/bupati. Penyusuna/pembuatan perda. LPT/LPJ Bupati/walikota. Pemenangan
tender proyek dan pada perijinan yang diskriminatif.Alih-alih terjadilah apa yang
disebut lemahnya pelayanan terhadap kepentingan publik. Selain itu menimbulkan
diskriminasi hukum dan kebijakan. Kemudian mengarah pada legalisasi produk
kebijakan yang korup.

Ditinjau dari aspek ekonomi, korupsi selalu dilakukan dengan cara-cara tidak
sah dalam mendapatkan sesuatu melalui pola dan modus yang memanfaatkan
kedudukan. Dampaknya, terjadi pemusatan ekonomi pada elit kekuasaan. Yang
dimaksud kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam arti pengambil kebijakan (DPRD
dan Bupati/Walikota) dan kekuasaan modal (pengusaha) untuk melakukan aktifitas
ekonomi. Disini MCW memberi catatan sebagai berikut, “Apabila aliran dana ekonomi
berputar pada ketiga kelompok tersebut maka kelompok lain yaitu masyarakat yang
tidak cukup punya modal dan kemampuan untuk menembus birokrasi pemerintahan
akan tetap mengais rejeki dari sisa-sisa kelompok pemodal.

Dalam segi aspek sosial-budaya lebih mengkawatirkan lagi. Sebagai dampak


adanya korupsi, maka akan membawa pemahaman baru bagi masyarakat tentang makna
pemerintahan, aktifitas bermasayarakt atau proses bersosialisasi dengan sesama. Terkait
dengan hal demikian, adalah bagaimana korupsi mampu merubah pandangan hidup
masyarakat yang penuh semangat kekeuargaan menjadi masyarakat yang berberfaham
kebendaan.Dimana budaya masyarakat yang gotong royong dan suka menolong berubah
sedemikian rupa menjadi masyarakat yang pamrih setiap membantu yang lain.

Budaya korupsi muncul pertama-tama karena tidak adanya kejujuran, baik


dalam berkata maupun berbuat. Karena itu, nilai-nilai kejujuran merupakan hal utama
yang harus ditanamkan kepada semua orang. Semua orang harus sepakat untuk
mewujudkan kejujuran dalam setiap perilaku mereka dan untuk yang satu ini tidak ada
kompromi. Setiap pelanggaran terhadap kejujuran harus mendapat sanksi yang keras.

Dalam aspek agama korupsi muncul akibat sikap tamak dan serakah. Sikap ini
amat dikecam dalam Al-Qur`an: "Orang-orang tidak memenuhi seruan-Nya, sekiranya
mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan ditambah sebanyak isi
bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan
itu…." (Q.S. ar-Ra`d, 13: 18).

Korupsi terjadi karena manusia terjerat pola hidup materialistik, kapitalistik dan
hedonistik. Manusia berlomba-lomba memenuhi selera biologisnya yang tidak pernah
puas. Punya satu mobil ingin mobil kedua, ketiga dan seterusnya. Setiap muncul merek
mobil terbaru, pikirannya lalu tidak bisa tenang sebelum mendapatkannya. Demikian
halnya dengan rumah, pakaian, dan asesoris lainnya. Pendek kata manusia seperti ini
menjadi budak bagi dirinya sendiri, budak bagi hasrat badaninya sendiri, dan budak bagi
materi yang selalu didambakannya. Batinnya tidak pernah merasa puas, melainkan
selalu dahaga dan gersang, meskipun hidupnya penuh dibalut dengan kemegahan dan
kemewahan harta yang bergelimpangan. Keadaan ini persis seperti gambaran dalam
hadis Nabi saw:"Rasullullah saw bersabda: "Celakalah hamba dinar dan hamba dirham,
hamba permadani, dan hamba baju. Apabila ia diberi ia puas dan apabila tidak diberi ia
menggerutu kesal. (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah). Mengantisipasi hal ini,
hendaknya secara dini menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, kebersahajaan, dan
keikhlasan. Dan yang tidak kurang pentingnya adalah menanamkan kesadaran kepada
diri sendiri dan orang lain bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, sedangkan
kehidupan yang abadi tersedia di akhirat nanti. Karena itu, kehidupan dunia yang cuma
sementara ini harus diisi secara maksimal dengan amal-amal saleh yang akan menjadi
bekal bagi kehidupan kelak. Selain itu, kita juga harus menanamkan kesadaran bahwa
semua yang kita miliki berupa harta benda apapun akan dipertanggungjawabkan kelak
di hadapan Sang Pencipta. Kita akan ditanyai dari mana asal-usul harta tersebut dan
bagaimana kita menggunakannya.

Melalui mekanisme kontrol yang ketat inilah diharapkan kita berfungsi menjadi
benteng bagi tumbuhnya budaya korupsi di masyarakat. Jika setiap orang mampu
melakukan kontrol yang efektif terhadap setiap anggotanya maka dapat diprediksikan
bahwa generasi mendatang akan bebas dari perilaku korupsi. Ketika itulah negara dan
bangsa kita akan menikmati ketenteraman dan kejayaan di bawah limpahan karunia
Tuhan.

Mempertanyakan kembali moralitas sebagai bangsa yang menjunjung tinggi


nilai-nilai moral, mutlak dilakukan. Masyarakat Indonesia tidak perlu merasa rendah
diri. Apalagi merasa malu untuk memperbaiki keadaan yang sudah sedemikian
rusaknya. Sebaiknya, boleh merasa kehilangan kehormatan. Ketika bangsa lain
mengarahkan telunjuk dengan sinis kepada kita sebagai bangsa yang tidak mampu
memperbaiki diri. Mereka akan bertanya dimana nilai-nilai dan pranata masyarakat kita
sebagai bangsa yang diwarnai adat ketimuran.

Sumber :

http://korananakindonesia.wordpress.com/2010/04/17/budaya-korupsi-dan-budaya-
moral/

You might also like