You are on page 1of 62

Menciptakan Alokasi Sumber Daya Nasional yang Efisien

Melalui Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah


Yang Transparan, Akuntabel, dan Berkeadilan

ZÜtÇw Wxá|zÇ
DESENTRALISASI FISKAL INDONESIA

1
Daftar Isi

Daftar Isi .................................................................................................................................. 2

Desentralisasi Fiskal di Indonesia ........................................................................................ 4

Visi, Misi & Matriks Kebijakan........................................................................................... 13

Tujuan 1: Ketimpangan Vertikal dan Horizontal yang Minimum................................ 22

Tujuan 2: Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efisien dan Efektif .................. 28

Tujuan 3: Siklus Dan Proses Belanja Daerah yang Efisien dan Efektif ......................... 32

Tujuan 4: Harmonisasi Belanja Pusat dan Daerah........................................................... 42

Desentralisasi EKonomi....................................................................................................... 52

Appendix: Perbandingan Internasional Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Daftar Tabel

Tabel 1 Grand Desain Desentralisasi: Aplikasi di Negara-Negara Lain ...................... 10

Tabel 2 Policy Matrix ........................................................................................................... 18

Tabel 3 Dana Perimbangan Tahun 2001 dan 2008 ........................................................... 22

Tabel 4 Komposisi Pendapatan dari Pemerintah Daerah 2001-2005............................. 29

Tabel 5 Perbandingan Belanja APBD Per Jenis Belanja................................................... 39

2
3
1
Desentralisasi Fiskal di Indonesia

1.1. Pendahuluan

Indonesia memasuki era baru desentralisasi dalam waktu yang sangat cepat (Alm,
Aten, dan Bahl 1999). Undang-undang No. 22 dan No. 25 tahun 1999 disusun dan
ditetapkan dalam periode yang sangat singkat setelah jatuhnya pemerintahan
Presiden Suharto, yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan
termasuk dalam hal hubungan antar-tingkat pemerintahan. Pada pemerintahan
Presiden Habibie selama periode 1998-1999, berbagai undang-undang yang
mencerminkan paradigma baru tersebut disusun dan ditetapkan. Sementara itu,
ronde kedua perumusan kebijakan desentralisasi yang ditandai oleh keluarnya
Undang-undang No. 32 dan No. 33 tahun 2004. Hubungan antara pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota ditata kembali. Secara spesifik, peranan pemerintah
provinsi dikembalikan sebagai penghubung antara pemerintah pusat dan
pemerintah kabupaten/kota.

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan


pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No. 22
dan No. 25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi
Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang
telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang
berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas
kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi
yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan
oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran
pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU No. 33 tahun 2004
memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah,
maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi
sumber DAU. Perubahan kebijakan desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan
cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek soft
budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya
reformasi pajak daerah.

Meskipun telah dilakukan berbagai penyempurnaan kebijakan, desentralisasi fiskal


di Indonesia masih mempunyai berbagai kelemahan dan kekurangan, baik dalam
tataran konsep maupun implementasinya. Masih terdapat peraturan yang saling
berbenturan satu sama lain, masih terdapat perbedaan pendapat maupun perebutan
kewenangan antar level pemerintahan dalam pengelolaan fiskal daerah, ataupun
masih sering terjadi multi-tafsir dalam implementasi kebijakan di daerah. Hal ini

4
disebabkan karena tidak adanya kesamaan persepsi mengenai desentralisasi fiskal di
Indonesia. Kesamaan persepsi inilah yang seharusnya diwadahi dalam suatu grand
design desentralisasi fiskal.

Harus diakui bahwa dua kali perumusan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia
tidak dilakukan berdasarkan suatu grand design yang menjadi cetak biru jangka
panjang pengaturan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Perumusan
kebijakan desentralisasi fiskal lebih diwarnai oleh rangkaian aspirasi jangka pendek
yang dipicu oleh observasi terkini pada saat kebijakan tersebut dirumuskan.
Perumusan kebijakan seperti ini seyogyanya tidak dipertahankan ke depannya.
Perumusan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia harus didasarkan atas suatu
grand design yang menjadi cetak biru dari hubungan keuangan pemerintah pusat dan
daerah. Cetak biru ini memuat rangkaian bentuk ideal yang seyogyanya dicapai
dalam jangka panjang.

Cetak biru ini diharapkan pada akhirnya dapat menjadi bagian dari aturan
perundang-undangan di Indonesia. Bentuk hukum formal ini diperlukan agar grand
design ini dapat menjadi acuan bagi proses desentralisasi fiskal ke depan. Bentuk
hukum formal dari grand design ini diharapkan tidak lebih rendah dari Undang-
undang.

Lebih dari itu, perlu pula disadari grand design desentralisasi fiskal ini tidak saja
menjadi acuan bagi satu kementrian saja di struktur Pemerintahan. Grand design ini
pada hakekatnya harus menjadi acuan bagi beberapa Kementrian/Lembaga di
Pemerintah Pusat, dan pada saat yang bersamaan menjadi acuan bagi Pemerintah
Daerah di Indonesia. Karena itu posisi Undang-undang yang nantinya memuat
grand design ini dapat menjadi semacam undang-undang pokok yang seyogyanya
dijadikan referensi bagi pembentukan undang-undang lainnya.

Konsep Grand Design Desentralisasi Fiskal akan diawali dengan uraian mengenai
perspektif hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang dilanjutkan
dengan elaborasi singkat mengenai arah jangka panjang dari pelaksanaan
desentralisasi fiskal di negara lain. Selanjutnya, grand design ini akan mengurai
secara detail perumusan visi dan misi kebijakan desentraliasi fiskal. Visi dan misi ini
kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa tujuan kebijakan serta strategi praktis
yang harus dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

1.2. Peranan Pemerintah Daerah

Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari
swasta atau individu. Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah
redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial
(Gramlich 1990).

Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi (Musgrave 1959).
Kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan distribusi
pendapatan yang merata. Padahal, distribusi pendapatan yang (relatif) merata
merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum.
Karenanya, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian
pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat.

5
Selanjutnya, dalam sistem yang terdiri dari pemerintahan dengan beberapa
tingkatan (multi-level government), pertanyaannya menjadi apakah yang menjadi
tugas dari masing-masing tingkat pemerintahan yang berbeda dalam mencapai
distribusi pendapatan yang lebih merata. Teori awal menjawab pertanyaan ini (yang
belakangan disebut sebagai first-generation theory of fiscal federalism) menunjukkan
bahwa pemerintah pusat seyogyanya memainkan peranan utama dalam melakukan
redistribusi pendapatan (Oates 2005). Redistribusi pendapatan akan sangat sulit
dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang menerapkan suatu
sistem pajak progresif memang akan mendapatkan distribusi pendapatan yang lebih
merata untuk daerahnya, tetapi kemungkinan besar terjadi dengan perginya
kelompok masyarakat (dan dunia usaha) berpendapatan tinggi dari daerah yang
bersangkutan.

Sistem multi-level government juga biasanya memiliki aktifitas redistribusi yang lain,
yaitu pemerataan fiskal (fiscal equalization). Prinsip utamanya adalah transfer dari
daerah yang lebih kaya kepada daerah yang lebih miskin sedemikian hingga setiap
daerah memiliki kemampuan yang kurang lebih sama untuk menyediakan sejumlah
layanan publik. Jumlah dan kualitas layanan publik yang sama di setiap daerah
sering menjadi kunci dari konsep pemerataan antar daerah. Namun demikian,
bukan hanya jumlah transfer fiskal saja yang penting. Padovano (2007) juga mencatat
pentingnya perbedaan pengadministrasian program redistribusi pendapatan di
tingkat pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari sisi pemerintah pusat
membedakan treatment redistribusi terhadap pemerintah daerah, dengan tujuan
mendapatkan konsensus pemerintah daerah terhadap program pemerintah pusat
(Alesina et al., 1999; Lockwood, 2002; Besley dan Coate, 2003). Ataupun dapat pula
dilihat sebagai perbedaan strategi pemerintah daerah dalam mengadministrasikan
program redistribusi (misalnya di Emerson, 1988).

Berbeda dengan apa yang dikatakan Musgrave (1959) di atas, Buchanan (1974)
menunjukkan bahwa redistribusi pendapatan juga dapat secara efektif jika
dilakukan oleh pemerintah daerah. Kuncinya adalah dalam penyediaan barang
publik lokal. Penyediaan barang publik oleh pemerintah biasanya dilandaskan atas
sifat dari barang publik itu sendiri. Beberapa barang memiliki ciri non-exludability
dan non-rivalry dalam konsumsinya. Mekanisme pasar menghadapi sifat optimal
individu sebagai free rider yang pada gilirannya akan menyebabkan barang publik
tidak akan tersedia dalam jumlah yang cukup. Buchanan (1974) menunjukkan
bahwa dengan penyediaan barang publik yang dipadukan dengan adanya
persaingan antar daerah, maka tingkat kesejahteraan masyarakat tidak akan terlalu
jauh dari batas optimal Pareto.

Alasan lain mengapa pemerintah perlu melakukan intervensi di perekonomian


adalah untuk menyediakan perlindungan sosial. Masyarakat menginginkan adanya
perlindungan sosial dari resiko kemiskinan di usia tua, resiko kesehatan, dan resiko
pengangguran dalam jangka waktu lama. Gramlich (1990) menyatakan bahwa
penyediaan skema perlindungan sosial akan lebih efisien dilakukan oleh pemerintah
pusat. Ditambah lagi dengan kemungkinan terjadinya mobilitas orang antardaerah.
Namun yang tidak boleh dilupakan juga adalah, seperti yang diuraikan di atas,
bahwa literatur telah menunjukkan perlunya pembedaan pengadministrasian
program redistribusi pendapatan di tingkat pemerintah daerah. Karena itu
pemerintah daerah, dalam kerangka hubungan fiskal pemerintah pusat dan daerah,
juga dapat menjadi agen perubahan dalam hal perlindungan sosial di masyarakat.

6
Dari sisi praktis, peranan pemerintah daerah di Indonesia dapat dianggap sangat
dominan sejak digulirkannya era otonomi daerah pada tahun 2001. Sebagai implikasi
dari pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah, daerah dituntut
untuk dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan, baik dari sisi perencanaan
maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Untuk mendanai
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut,
pada dasarnya dilakukan dengan prinsip ”money follow function”. Dalam
implementasinya, seiring dengan pelimpahan kewenangan Pusat kepada yang
Daerah, kepada daerah diberikan sumber-sumber pendanaan, terutama melalui
transfer yang jumlahnya cukup besar.

Selaras dengan esensi otonomi daerah, maka besarnya sumber pendanaan untuk
daerah tersebut juga dibarengi dengan diskresi yang luas untuk membelanjakannya
sesuai kebutuhan dan prioritas daerah. Dengan demikian, diharapkan agar local
government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi
perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
sangat tergantung pada Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan belanjanya pada
program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan
publik), sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah
penduduk miskin.

1.3. Elemen utama desentralisasi fiskal Indonesia

Satu hal penting yang harus dipahami oleh semua pihak, bahwa desentralisasi fiskal
adalah instrumen, bukan suatu tujuan. Desentralisasi fiskal adalah salah satu
instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna
mendorong perekonomian daerah maupun nasional. Melalui mekanisme hubungan
keuangan yang lebih baik diharapkan akan tercipta kemudahan-kemudahan dalam
pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi
perekonomian yang lebih baik. Sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan
masyarakat.

Hal penting lainnya yang juga harus dipahami oleh semua pihak, bahwa
desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang
didanai terutama melalui transfer ke daerah. Dengan desain desentralisasi fiskal ini
maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi
(kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing-
masing daerah. Penerimaan negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah
Pusat, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan berpijak pada dua hal tersebut di atas, strategi kebijakan dari grand design
desentralisasi fiskal di Indonesia pada prinsipnya adalah bagaimana sistem yang ada
saat ini dapat dikembangkan dan diperbaiki untuk disesuaikan dengan normatif dari
kebijakan desentralisasi yang seharusnya dimunculkan. Dari perkembangan
kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, terdapat empat elemen utama
desentralisasi fiskal yang harus disempurnakan, yaitu 1) sistem dana perimbangan
(transfer), 2) sistem pajak dan pinjaman daerah, 3) sistem administrasi dan anggaran

7
pemerintahan pusat dan daerah, serta 4) penyediaan pelayanan publik dalam
konteks penerapan SPM.

Arah dari kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menghindari kegagalan dari


sistem desentralisasi (Prud’homme 1995), yaitu praktek kebijakan desentralisasi
yang justru menciptakan inefisiensi dari perekonomian. Mekanisme atau desain dari
desentralisasi fiskal yang dapat memperparah inefisiensi suatu perekonomian,
misalnya terjadi ketika sistem transfer justru menimbulkan kondisi soft budget
constraint, terciptanya local capture yang melemahkan akuntabilitas dari sistem
pemerintahan pada tingkatan yang lebih rendah, serta kondisi low transaction costs di
tingkat lokal tidak terpenuhi.1

Sistem Dana Perimbangan

Masalah strategis pada desentralisasi fiskal di Indonesia adalah pada sistem transfer
antar tingkat pemerintahan. Transfer dari pemerintah pusat pada prakteknya masih
merupakan sumber pembiayaan dominan pada sebagian besar pemerintah daerah di
Indonesia. Sampai saat ini, penerapan sistem transfer di Indonesia di cirikan oleh: 1)
Sering adanya perubahan formula untuk block grants (DAU) dan juga conditional
grants DAK, 2) Peningkatan cakupan sektor dari dana bagi hasil (DBH) dan
penerapan earmarked pengeluaran dari alokasi DBH yang diterima oleh daerah, dan
3) Perubahan total alokasi block grants DAU dan DAK, serta 4) belum adanya
hubungan antara transfer dan expenditure assignments atau dalam hal ini target
pencapaian SPM (standar pelayanan minimum).

Sistem Pajak Lokal dan Pinjaman Daerah

Pembatasan otonomi dari segi penerimaan cenderung berimplikasi pada penetapan


retribusi baru, dan juga untuk beberapa daerah, pembatasan atau penundaan
mekanisme penerusan pinjaman luar negeri, tidak berarti tidak adanya praktek
defisit anggaran. Kondisi yang ada di Indonesia, pemerintah daerah di Indonesia
cenderung menetapkan berbagai jenis retribusi untuk mengurangi keterbatasan jenis
pajak yang berada di bawah kebijaksanaan pemerintah daerah (Lewis 2003). Praktek
penetapan berbagai retribusi oleh pemerintah daerah untuk mengatasi keterbatasan
penerimaan dari pajak daerah bukan merupakan kejadian yang hanya terjadi di
Indonesia. Negara-negara lain di mana pemerintah daerahnya memiliki otonomi
pajak yang relatif rendah juga mengalami peningkatan praktek adopsi retribusi
untuk menghasilkan pendapatan tambahan (Bryson 2008).

Namun, apakah keleluasaan untuk menentukan tarif pajak atau perluasan pajak
daerah vis a vis penurunan alokasi transfer akan mendapatkan dukungan dari
daerah, sangat tergantung dari kondisi awal keuangan publik daerah dan juga

1 Tingginya transaction costs bisa diakibatkan dari misalnya tingginya uncertainty dari
penetapan kebijakan pemerintah daerah yang berubah-ubah, dikarenakan tata perundang-
undangan yang masih dalam taraf pembenahan serta lemahnya enforcement; biaya finansial
atau administrasi yang lebih tinggi diakibatkan lemahnya kapasitas daerah; serta akibat dari
informasi yang terpusat ataupun ekslusif untuk setiap daerah sehingga tidak ada
pembelajaran dari best practices.

8
konsensus politik. 2 Pengalaman negara-negara lain menunjukkan pemerintah
daerah dengan ketergantungan tinggi pada dana transfer lebih memilih "status quo"
dalam penerimaan pembiayaan dari pemerintah pusat (Inanga dan Osei Wusu 2004).

Sementara itu, dari sisi pinjaman daerah, perubahan regulasi dalam bentuk
peningkatan batasan defisit anggaran daerah (dan juga batasan akumulasi pinjaman),
kemungkinan menandakan bahwa fiskal disiplin belum sepenuhnya berjalan, atau
terbatasnya sumber penerimaan untuk penyediaan barang publik, menyebabkan
beberapa daerah memiliki anggaran defisit.

Administrasi Pusat dan Penganggaran Daerah

Isu tentang desentralisasi fiskal tidak hanya terbatas pada sistem penerimaan untuk
pemerintah daerah, yaitu sistem transfer dan revenue assignments, tetapi juga
menyangkut efisiensi dari pengeluaran pemerintah. Efisiensi pada bagian
pendapatan tidak akan efektif jika tidak ada disiplin fiskal dari pengeluaran
pemerintah dan peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran pusat dan daerah.
Kebijakan penganggaran pada pemerintahan pusat dan daerah merupakan
reformasi yang relatif baru dilakukan untuk kasus Indonesia (Harun 2007). 3
Perubahan terbaru pada proses administrasi penganggaran di tingkat pusat dan
daerah adalah menyatukan proses penganggaran antara pemerintah pusat dan
daerah, yang bertujuan untuk memperkuat 1) akuntabilitas dari pengeluaran (input),
2) keterkaitan dengan kinerja pemerintah (output), dan 3) keterkaitan dengan
pancapaian peningkatan aspek kesejahteraan di masyarakat (outcome).

Penyediaan Layanan Publik dan Standar Pelayanan Minimum (SPM)

Dalam konteks penyediaan layanan publik, otonomi luas untuk tingkat


kabupaten/kota belum dikaitkan dengan skala ekonomis terkait dengan jenis
pelayanan publik, hal yang sama terjadi pada pembagian kewenangan untuk
propinsi, yang sampai saat ini lebih berfungsi sebagai lapisan representasi unit dan
fungsi pemerintah pusat pada tingkat lokal. Untuk itu, terkait dengan isu pemekaran
wilayah, kriteria benefit costs dari kebijakan pemekaran juga tidak disertai oleh
kebijakan pemerintah pusat untuk tetap mendasarkan administrasi pelayanan
berdasarkan cakupan skala ekonomis dari pelayanan publik yang terkait.

2 Daerah dengan kapasitas perpajakan tinggi, mengacu pada sumber daya alam yang
melimpah besar atau basis pajak yang luas, cenderung akan melobi pemerintah pusat untuk
memperluas otonomi pajak, sementara pemerintah daerah yang memiliki ketergantungan
terhadap dana transfer relatif tinggi cenderung akan mempertahankan sistem dana
perimbangan yang dominan.

3 Tahap pertama desentralisasi, mengacu pada penerapan UU No 22 dan 25 tahun 1999,


belum mencakup urusan administrasi penganggaran dan pengeluaran.

9
Penyediaan layanan publik melalui penerapan SPM seyogyanya mengkaitkan
antaran batasan sumberdaya dan penetapan target SPM sektor (Martinez-Vazquez et
al. 2004, Brodjonegoro 2004). Pengaturan standar pelayanan minimum (SPM) adalah
langkah pemerintah pusat untuk mempertahankan kesamaan akses pada
penyampaian layanan dasar, sehingga, konsep penerapan SPM harus juga
mempertimbangkan diskresi bagi pemerintah daerah.4 Namun demikian, konsep
desentralisasi penyediaan barang publik yang disesuaikan preferensi lokal, juga
berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan dalam akses dan kualitas pelayanan
publik (Joumard dan Giorno 2005).

1.4. Penetapan Grand Design di Negara Lain

(Hal ini mungkin tidak perlu disampaikan karena justru akan memperlemah
argumentasi diperlukannya Grand Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia, karena
toh tidak banyak negara yang membuatnya)

Dari kajian dan informasi yang dapat diperoleh, seperti terlihat di Tabel 1, aplikasi
dari Grand Design ataupun dokumen sejenis lainnya yang menjabarkan framework
kebijakan desentralisasi suatu negara umumnya dapat berbentuk sebagai bagian
kebijakan jangka pajang negara seperti yang terjadi di Korea, dicantumkan dalam
nota keuangan tahun berjalan seperti yang terjadi di Ireland, ataupun bagian dari
perubahan besar konstitusi seperti dicontohkan oleh Afrika Selatan, ataupun bagian
dari perundang-undangan mengenai desentralisasi yang umumnya dirumuskan
pada awal adopsi kebijakan desentralisasi.

Tabel 1 Grand Desain Desentralisasi: Aplikasi di Negara-Negara Lain

Negara Bentuk Naskah Institusi Tahun di


Tetapkan dan
Jangka Waktu

Koreaa Cetak Biru (tergabung dalam Disusun oleh Komite di bawah 2004
Dokumen Rencana Jangka Presiden
Panjang Nasional)

Japanb Package Promoting 2000


Decentralization Act

4 Namun, Wrede (2006) berpendapat bahwa keseragaman peraturan pada sistem terpusat
dipandang sebagai kelemahan sentralisasi karena preferensi lokal cenderung bervariasi,
sebenarnya adalah sebuah alat untuk membuat pemerintah pusat akuntabel. Dengan
demikian, keseragaman penyediaan barang publik akan menjadi pendekatan yang lebih
efektif secara kelembagaan.

10
Irelandc Decentralisation Blueprint 3 members of government – low 2003
(bagian dari 2003 Budget) key approach

Afrika Selatan Konstitusi 1996

Namibia UU Directorate Decentralisation 1997


Coordination

Sumber:
a.http://16cwd.pa.go.kr/cwd/en/archive/archive_view.php?meta_id=en_speeches&navi=president&id=015560845
75392ca4a2df672; b. Yagi (2004); c. Irish Times (2007);

Dalam konteks Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia, yang patut


diperhatikan adalah keterkaitan dokumen ini dengan dokumen kebijakan lainnya
yang menyangkut arah dari desentralisasi. Hal ini dimaksudkan untuk membuat
framework dengan cakupan seluas mungkin (broad) mengenai kebijakan desentralisasi
fiskal di Indonesia dalam jangka yang lebih panjang dan juga menetapkan
kesesuaian pencapaian tujuan dengan kerangka besar yaitu visi dan misi dari tujuan
desentralisasi fiskal.

Referensi

Alm, J., R. H. Aten, and R. Bahl. (2001). “Can Indonesia decentralise successfully?
Plans, problems and prospects”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 37, no.1: 83-
102.

Alesina, A., Danninger, S., dan Rostagno, M (1999). “Redistribution Through Public
Employment: The Case of Italy” Working Paper of the IMF, no. 177

Besley, T. dan Coate, S. (2003). “Central Versus Local Provision of Public Goods: A
Political Economy Analysis” Journal of Public Economics 87, hal. 2611-2637.

Brodjonegoro, B. (2004). Three Years of Fiscal Decentralization in Indonesia: Its


Impacts on Regional Economic Development and Fiscal Sustainability. Hitotsubashi
Conference.

Bryson, P. J. (2008). "User Fees in Local Finance: Performance and Potential in the
Czech Republic and Slovakia." Eastern European Economics 46(2): 5.

Buchanan, James M. (1974). “Who Should Distribute What in a Federal System?”


dalam Hochman dan Peterson (eds.), Redistribution Through Public Choice, New York,
Columbia University Press.

Departemen Keuangan. (2007). Municipalities’ Budget Realizations 1994-2005, available


at Indonesian Ministry of Finance website at http://www.sikd.djapk.go.id/.

Emerson, M. (1988). What Model for Europe?, Cambridge, MIT Press.

11
Gramlich, Edward M. (1990). “The Economics of Fiscal Federalism and Its Reform”
dalam Swartz dan Peck (eds.), The Changing Face of Fiscal Federalism, Armonk, NY,
M.E. Sharpe, Inc.

Harun (2007). "Obstacles to Public Sector Accounting Reform in Indonesia." Bulletin


of Indonesian Economic Studies 43(3): 365.

Inanga, E. L. and D. Osei-Wusu (2004). "Financial Resource Base of Sub-national


Governments and Fiscal Decentralization in Ghana." African Development Review
16(1): 72.
Lewis, B.D. (2003). Tax and Charge Creation by Regional Governments under Fiscal
Decentralisation: Estimates and Explanations, Bulletin of Indonesian Economic Studies,
39(2): 177-192

Lockwood, B (2002). “Inter-Regional Insurance” Journal of Public Economics 72, hal 1-


37.

Martinez-Vazquez, J., J. Boex, and G. Ferrazzi. (2004). Linking Expenditure


Assignments and Intergovernmental Grants in Indonesia. ISP Working Paper 04-05,
AYSPS, Georgia State University.

Musgrave, Richard M. (1959). The Theory of Public Finance, New York, McGraw-Hill.

Oates, William E. (2005). “Toward a Second Generation Theory of Fiscal Federalism”,


International Tax and Public Finance 12, hal. 349-73.

Padovano, Fabio (2007). The Politics and Economics of Regional Transfers,


Massachusetts, Edward-Elgar.

Prud’homme, R. (1995). “On the Dangers of Decentralization”, Research Observer 10,


201-220.

Irish Times (2007). “Decentralisation Review Necessary”

12
2
Visi, Misi & Matriks Kebijakan

Desentralisasi fiskal adalah salah satu bagian dari proses desentralisasi yang terjadi
di Indonesia. Di samping desentralisasi fiskal masih terdapat desentralisasi politik,
desentralisasi administrasi dan desentralisasi ekonomi. Desentralisasi politik telah
berlangsung dengan sudah beralihnya sebagian kekuasaan politik kepada
pemerintah daerah dimana kepala daerah dan anggota DPRD sudah dipilih secara
langsung. Desentralisasi administrasi sudah terwujud melalui pengalihan sebagian
besar kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah sehingga praktis
sebagian besar pelayanan masyarakat dilakukan oleh pemerintah daerah.
Desentralisasi fiskal sendiri juga sudah berlangsung sejak tahun 2001 dengan
pengalihan dana ke daerah dalam jumlah besar.

Proses ketiga jenis desentralisasi tersebut masih akan terus berlanjut dan masyarakat
akan menuntut lebih jauh untuk melihat bukti bahwa terjadinya desentralisasi
memang akan membawa perbaikan kesejahteraan buat mereka. Karenanya
desentralisasi ekonomi adalah tahapan berikut dari proses desentralisasi di
Indonesia dimana daerah dituntut untuk lebih bertanggung jawab terhadap
permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi yang
dimilikinya sehingga memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.

Keempat jenis desentralisasi tersebut akan saling terkait dan tidak dapat terlepas
antara satu dengan yang lainnya. Keempatnya harus dibingkai dalam suatu konsep
grand design yang utuh. Untuk mempersiapkan grand design yang komprehensif
tersebut maka masing-masing jenis desentralisasi juga harus mempunyai konsep
yang jelas dalam jangka panjang, yang dirangkai dalam suatu penjabaran visi, misi,
tujuan dan strategi yang jelas dan tersinergi satu dengan yang lainnya. Dalam kaitan
itulah, grand design desentralisasi fiskal ini disusun dengan jangkauan menuju
desentralisasi fiskal tahun 2030.

Visi Desentralisasi Fiskal Indonesia (menuju tahun 2030) ialah:

Alokasi Sumber Daya Nasional Yang Efisien

Melalui Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Yang Transparan dan Akuntabel

13
Karena desentralisasi fiskal berbicara mengenai sumber daya yang
didesentralisasikan sedangkan sumber daya adalah barang yang terbatas, maka
salah satu faktor yang sangat penting adalah prinsip alokasi yang efisien. Sumber
daya nasional yang sebelumnya lebih banyak dikuasasi oleh pusat diserahkan
kepada daerah. Efisiensi menjadi kunci karena sifat sumber daya yang senantiasa
terbatas akan menuntut strategi pengalokasian dan penggunaan yang jitu sehingga
dapat seoptimal mungkin memberikan manfaat bagi pembangunan dan
perekonomian.
Selain itu untuk menjamin tercapainya azas adil dan bersih, maka hubungan fiskal
antara Pusat dan daerah harus transparan dan akuntabel. Transparan mengandung
maksud untuk menjaga obyektifitas pencapaian tujuan pengalokasian dan
penggunaannya. Sementara akuntabel mengandung pengertian bahwa setiap bentuk
pengalokasian dan penggunaan sumber daya nasional dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, sebagai “pemilik” dari sumber daya
nasional tersebut. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya akan berhenti di
lembaga legislatif di pusat maupun daerah, namun lebih jauh kepada setiap individu
karena setiap kepala pemerintahan, baik pusat, propinsi, kabupaten/kota telah
dipilih secara langsung oleh masyarakat.

Untuk menjabarkan visi tersebut, maka ditetapkan beberapa misi yang harus dicapai,
sebagai berikut:

1. Mengembangkan hubungan keuangan pusat dan daerah yang


meminimumkan ketimpangan vertikal dan horizontal
2. Mengembangkan sistem pajak daerah yang mendukung alokasi sumber
daya nasional yang efisien
3. Mengembangkan keleluasaan belanja daerah yang bertanggung jawab
untuk mencapai standar pelayanan minimum
4. Harmonisasi belanja pusat dan daerah untuk penyelenggaraan layanan
publik yang optimal

Misi pertama adalah menyeimbangkan hubungan Pusat dan daerah sehingga tidak
terdapat lagi kesenjangan fiskal yang besar. Ketimpangan vertikal yang minimum
berarti pusat memberikan perhatian dan apresiasi kepada daerah sebagai penghasil
sumber daya, sehingga tercipta keharmonisan hubungan keuangan antara pusat dan
daerah. Ketimpangan horizontal yang minimum mempunyai pengertian bahwa pola
hubungan keuangan yang terbangun akan menciptakan kapasitas fiskal yang relatif
seimbang antar-daerah, untuk menjamin pencapaian standar pelayanan minimum
yang dapat dimanfaatkan oleh setiap lapisan masyarakat. Secara umum, yang ingin
dituju adalah daerah mempunyai sumber daya fiskal yang cukup signifikan untuk
menunjang tugas otonominya tanpa membuat pusat kekurangan sumber daya fiskal
untuk menjalankan fungsinya sebagai pemerintah negara kesatuan.

14
Selain mencapai keseimbangan fiskal, perlu adanya penguatan pajak daerah tanpa
merusak prinsip efisiensi secara nasional; inilah yang dijadikan misi kedua.
Meskipun desain desentralisasi fiskal di Indonesia bertumpu pada desentralisasi di
sisi pengeluaran yang didanai melalui transfer ke daerah, local taxing power tetap
harus dijaga. Namun demikian, penguatan pajak daerah tidak dimaksudkan untuk
menjadikan penerimaan pajak daerah sebagai pendapatan yang dominan di daerah.
Pajak daerah lebih dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi akuntabilitas fiskal
daerah, karena ada pungutan-pungutan yang akan langsung dilakukan oleh
pemerintah daerah. Misi yang kedua ini juga bertumpu pada prinsip efisiensi
sumber daya fiskal.
Daerah yang mempunyai kekuatan fiskal yang memadai harus mempunyai orientasi
belanja pembangunan yang berkelanjutan. Keleluasaan belanja ini jangan sampai
berjalan tanpa arah sehingga menimbulkan inefisiensi dan mengabaikan
kesejahteraan rakyat. Menjadikan Standar Pelayanan Minimum (SPM) sebagai tolak
ukur rata-rata minimum nasional bagi daerah merupakan salah satu indikator yang
terukur dan objektif, sehingga hal ini dianggap penting untuk dijadikan misi yang
ketiga. SPM harus dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan anggaran daerah,
bersama-sama dengan penerapan standar analisa belanja secara konsisten. Misi yang
ketiga ini akan menjadi kunci bagi penilaian keberhasilan pengelolaan keuangan di
daerah. Dengan berpatokan pada SPM, masyarakat akan secara lebih mudah melihat
dan menilai sejauh mana keberhasilan pemerintah daerah yang bersangkutan dalam
menyelenggarakan layanan-layanan yang menjadi hak dasar masyarakat.
Di saat yang sama dengan penguatan pajak daerah dan keleluasaan belanja daerah,
Pusat juga mempunyai kewajiban dan wewenang untuk menjalankan program-
program nasional terutama pada bidang yang menjadi prioritas pembangunan
nasional. Hal ini jelas penting karena keberagaman daerah di Indonesia membuat
potensi ketimpangan horizontal yang besar. Selain itu, adanya program nasional dan
program daerah juga berpotensi terjadinya pengulangan dan belanja yang
berlebihan (over-supply) untuk bidang tertentu dan belanja yang kurang (under-
supply) di bidang lainnya. Hal ini perlu dihindari dengan membuat Misi yang ke
empat, yaitu adanya harmonisasi belanja Pusat dan daerah demi mencapai
pelayanan publik yang optimal. Satu hal yang perlu dicermati dalam harmonisasi ini
adalah bahwa semua bentuk belanja tersebut harus berangkat dari kejelasan tugas
dan kewenangan masing-masing level pemerintahan.
Desentralisasi fiskal yang benar tidak akan berhenti pada aspek fiskal saja, tetapi
justru tujuan besarnya adalah mendukung pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Ekonomi daerah yang kuat akan mempermudah proses desentralisasi
fiskal yang bersih dan sehat, karena sumber daya fiskal mencukupi untuk daerah
dan pusat. Jika ekonomi daerah lemah, maka problem desentralisasi fiskal akan
didominasi oleh permasalahan kekurangan dan perebutan sumber daya, bukan pada
tujuan untuk menyediakan layanan publik yang memadai dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Oleh karena itulah dalam bagian akhir konsep grand design ini
juga dipaparkan keterkaitan antara desentralisasi fiskal dengan desentralisasi
ekonomi.

15
Gambar 1. Fondasi dan pilar pencapaian visi dan misi
Grand Design Desentralisasi Fiskal

VISI
VISI
Alokasi
Alokasi sumber
sumber daya
daya nasional
nasional
yang
yang efisien
efisien melalui
melalui hubungan
hubungan keuangan
keuangan pusat
pusat
dan
dan daerah
daerah yang
yang transparan
transparan dan
dan akuntabel
akuntabel

MISI 1, MISI 2, MISI 3, MISI 4, MISI 5

Kerjasama
- Pusat, Propinsi, Kota/Kabupaten-

Untuk mencapai visi dan misi tersebut, setiap pemangku kepentingan baik di pusat
maupun daerah harus memahami fondasi dan pilar-pilar yang harus dimiliki dan
dikembangkan secara terus menerus. Terdapat lima pilar yang yang menjadi faktor
penting dalam implementasi misi-misi guna mendukung pencapaian visi,
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1. Kelima pilar tersebut adalah sumber
daya manusia, kelembagaan, sistem informasi, kebijakan dan pengetahuan.
Sumber daya manusia akan menjadi faktor pertama yang harus dibenahi. Sumber
daya manusia yang merupakan faktor imperatif yang harus memadai tidak saja dari
segi kuantitas namun juga kualitasnya. Pembenahan faktor sumber daya manusia
tidak akan berhenti pada aparat pemerintahan di pusat dan daerah namun juga
legislatif maupun masyarakat secara keseluruhan. Hal ini sangat diperlukan karena
semua pemangku kepentingan akan mempunyai andil terhadap keberhasilan
pencapaian misi dan visi.
Pilar yang kedua adalah kelembagaan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Sumber daya manusia yang mencukupi dan mumpuni hanya akan dapat berfungsi
secara baik apabila diwadahi dalam sistem kelembagaan yang tertata rapi. Kejelasan
struktur kelembagaan dan tanggung jawab masing-masing pihak akan menjadi
kunci keberhasilan pembenahan kelembagaan.
Sistem informasi yang baik merupakan kelemahan mendasar pada negara-negara
berkembang. Sistem informasi masih dinomorduakan, bahkan seringkali terjadi
sumber daya manusia yang bekerja di bidang penyelenggaraan informasi ini
merupakan orang-orang yang terpinggirkan. Hal ini tidak boleh terjadi dalam
pengembangan grand design desentralisasi fiskal di Indonesia, karena sistem
informasi justru akan menjadi landasan dari berbagai kebijakan yang diambil.

16
Informasi yang jelek akan menghasilkan kebijakan yang jelek, demikian pula
sebaliknya. Oleh karena itu, sistem informasi harus menjadi salah satu pilar yang
menyangga pencapaian visi dan misi grand design desentralisasi fiskal di Indonesia.
Pengambilan kebijakan melalui regulasi harus terus dibenahi. Kebijakan umum
mengenai desentralisasi fiskal terutama dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai
regulatornya. Hal utama yang harus dibenahi adalah ketidakserasian peraturan yang
dikeluarkan oleh beberapa unit yang berbeda-beda sehingga justru membingungkan
dalam implementasinya. Satu hal penting yang harus diperhatikan adalah ketaatan
pada peranan yang diemban oleh masing-masing pengambil kebijakan, sehingga
tidak justru saling mengambil peranan antar-unit. Kebijakan ataupun regulasi ini
merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan visi dan misi
grand design ini, karena tidak akan ada implementasi yang baik apabila
kebijakannya juga tidak tepat.
Pilar yang terakhir adalah pengetahuan atau know how. Implementasi desentralisasi
fiskal akan berhasil dengan baik apabila semua pemangku kepentingan yang terlibat
mempunyai pengetahuan yang relatif sama, sesuai dengan porsinya masing-masing.
Kebijakan yang disusun dengan baik tidak akan berhasil diimplementasikan apabila
pihak yang terkait tidak mempunyai pengetahuan yang cukup atas kebijakan itu
sendiri. Pengetahuan ini tidak hanya terbatas pada aparan pemerintahan, namun
juga harus menyentuh masyarakat luas. Dengan pemahaman yang baik di semua lini
dan aspek, diharapkan tidak akan muncul tuntutan-tuntutan “aneh” yang justru
akan mendistorsi implementasi desentralisasi fiskal, seperti misalnya tuntutan
pendaerahan semua bentuk pajak pusat atau tuntutan pembagian hasil laba BUMN.
Secara bersama-sama, kelima pilar tersebut harus dipersiapkan dan terus dibenahi
untuk mendukung pencapaian visi dan misi yang telah ditetapkan. Pembenahan
atau penguatan kelima pilar tersebut harus terkoordinasi dengan baik dan tidak
berjalan sendiri-sendiri. Sebagai fondasi dari lima pilar tersebut adalah kerjasama
yang baik diantara pihak-pihak yang terkait, baik di Pusat maupun Daerah.
Setiap misi mempunyai tujuan dan strategi serta rencana aksi yang harus dicapai
dalam jangka waktu tertentu. Sebagai summary dari tujuan, strategi dan rencana
aksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 matrik kebijakan di bawah ini. Dalam matrik
tersebut dijabarkan secara lebih detail strategi dari tiap-tiap tujuan serta rencana aksi
pada jangka yang paling pendek yaitu sampai dengan tahun 2015. Rencana aksi
tentunya akan terus berkembang sesuai kondisi dan menyesuaikan dengan keadaan
eksternal, namun dengan tetap berpegang pada tujuan dan strategi yang telah
ditetapkan sehingga akan mendukung pencapaian misi dan visi yang ingin dicapai
pada tahun 2030.

17
Tabel 2 Matrik Kebijakan

TUJUAN 1 :

KETIMPANGAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL YANG MINIMUM

STRATEGI Rencana Aksi ke 2015


Meningkatkan proporsi DAK dalam alokasi dana perimbangan
1. Sistem yang adil, transparan dan akuntabel
dengan tidak mengurangi diskresi daerah secara signifikan.
2. Dana Perimbangan untuk memenuhi pencapaian
standar pelayanan minimum pemerintah daerah Memperbaiki transparansi dan akuntabilitas sistem transfer.
3. Pengeluaran dari berbagai tingkat pemerintahan yang
Menentukan pembagian tugas dan hak yang jelas antara pusat
sesuai dengan pembagian kewenangan
dan daerah dalam pelaksanaan DAK.
4. DAK difokuskan pada prioritas nasional dan fungsi
yang didesentralisasikan Menetapkan dan membatasi prioritas sektoral untuk DAK
5. DBH untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal Menata sistem pengawasan dan evaluasi DAK.
dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal nasional
6. DAU difokuskan untuk mengurangi kesenjangan *Memperbaiki skema distribusi DBH SDA dan DBH Pajak agar
horisontal dengan tetap menjaga keseimbangan vertikal lebih merata dalam satu periode anggaran.
7. Kebutuhan fiskal yang terukur dari setiap tingkat *Menghilangkan tumpang tindih pengeluaran pemerintah
pemerintahan dan kesenjangan fiskal yang terukur pusat (anggaran kementerian, dana dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan) dengan urusan yang sudah didesentralisasikan.

*Memperbaiki formula DAU dengan memperhatikan ASB dan


menghilangkan alokasi dasar (belanja pegawai).

18
TUJUAN 2 :

PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN YANG EFISIEN DAN EFEKTIF

STRATEGI Rencana Aksi ke 2015

1. Pajak pusat dan daerah yang harmonis Intensifikasi dan ekstensifikasi PPN untuk pajak pusat dan
memberikan kewenangan pajak untuk daerah yang siap.
2. Local taxing power yang lebih optimal
Perubahan penamaan beberapa pajak daerah yang sebenarnya
3. Pajak daerah yang tidak distortif terhadap perekonomian adalah PPN sebagai penyesuaian dengan karakteristik pajak
daerah tersebut. Dalam jangka panjang basis pajaknya menjadi basis
pajak yang dikelola daerah.
4. *Peran pinjaman daerah yang meningkat untuk
pembiayaan infrastruktur dasar perkotaan. Mempercepat pengalihan PBB perkotaan dan perdesaan
menjadi pajak daerah (dari rencana masa pengalihan 5 tahun
menjadi 3 tahun).

Penguatan pajak daerah melalui regrouping dengan basis


pajak nasional, contohnya opsen dari PPh.

Memberlakukan Pajak Pengelolaan Usaha (business tax) yang


merupakan penggabungan semua jenis retribusi perizinan di
daerah di dalam sistem OSS (pelayanan satu pintu).

*Mempersiapkan daerah-daerah yang potensial untuk dapat


menerbitkan obligasi daerah sesuai dengan persyaratan yang
berlaku.

19
TUJUAN 3 :

SIKLUS DAN PROSES BELANJA DAERAH YANG EFISIEN DAN EFEKTIF

STRATEGI Rencana Aksi ke 2015

1. Perbaikan ASB secara berkelanjutan melalui regulasi Review dan pemetaan kesiapan daerah untuk menerapkan
dalam rangka menuju ASB yang rinci, rasional, dan Medium Term Expenditure Framework (MTEF)
dapat digunakan
Membuat standar ASB oleh pemerintah pusat berkoordinasi
2. Membuat dan memperkuat peraturan yang mengaitkan
dengan daerah terutama daerah yang siap.
anggaran dengan pelayanan dasar (SPM)
3. Menentukan skala prioritas berdasarkan kombinasi Menggunakan ASB dalam pengalokasian belanja daerah untuk
pendekatan perencanaan bottom-up dan top-down mencapai SPM

DAK dialokasikan berbasis MTEF

Menyusun standar evaluasi pelaksanaan MTEF

Harmonisasi siklus budget antara pemerintah pusat dan


daerah

20
TUJUAN 4 :

HARMONISASI BELANJA PUSAT DAN DAERAH

STRATEGI Rencana Aksi ke 2015


Pemda membangun sistem basis data keuangan daerah yang
1. Meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan
terintegrasi dengan SIKD
daerah melalui pelibatan masyarakat
2. Melaksanakan evaluasi secara reguler terhadap Evaluasi terhadap dokumen perencanaan tahunan daerah yang
dokumen perencanaan tahunan daerah yang dimulai dimulai dari sektor yang memberikan pelayanan dasar.
dari sektor yang memberikan pelayanan dasar
Simplifikasi dokumen evaluasi perencanaan daerah untuk
3. Mewajibkan setiap Pemda membangun sistem basis
efisiensi prosedur evaluasi
data perencanaan pembangunan
4. Penguatan peran institusi perencana di tingkat nasional Karena DAK mencerminkan prioritas nasional, Pemda
dalam mengkoordinasikan dan menyelaraskan menyelaraskan belanja daerah dalam memenuhi prioritas
perencanaan seluruh tingkatan pemerintahan nasional melalui DAK
5. Melakukan evaluasi tahunan terhadap pencapaian SPM

21
3
Tujuan 1: Ketimpangan Vertikal dan Horizontal
yang Minimum

Kebijakan desentralisasi fiskal yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2001


bertumpu pada alokasi pusat kepada daerah yang dikenal sebagai dana
perimbangan. Selama 8 (delapan) tahun berjalannya desentralisasi fiskal, telah
dialokasikan secara signifikan dana perimbangan ke daerah, dalam bentuk dana
alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana bagi hasil (DBH), baik
yang berasal dari pajak maupun sumber daya alam.

Dari data yang diperoleh, dapat ditunjukkan bahwa terjadi peningkatan secara
signifikan jumlah yang dialokasikan ke daerah untuk semua jenis dana perimbangan,
dimana peran DAU dalam dana perimbangan sangatlah menonjol, sedangkan peran
DAK adalah yang terkecil terhadap dana perimbangan. Besarnya peran DAU dan
juga DBH juga menunjukkan bahwa dalam era desentralisasi saat ini, pemerintah
daerah memperoleh kepercayaan yang sangat besar dalam penggunaan dana
transfer dari pusat, mengingat bahwa penggunaan kedua jenis dana perimbangan
tersebut samasekali tidak diatur oleh pemerintah pusat.

Tabel 3 Dana Perimbangan, Tahun 2001 dan 2008

Kategori 2001 2008 Perubahan


(Milyar Rupiah) (Milyar Rupiah) (skala)
DAU 60.345,8 179.507, 15 1,97
DAK 700,9 21.202,14 29,25
DBH 20.007,7 62.671,38 2,13
Total 81.054,4 263.370, 67 2,25
Sumber : Diperoleh dari data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Depkeu.

Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU merupakan dana perimbangan yang memiliki tujuan utama adalah


pengurangan kesenjangan fiskal antar daerah. Konsep kesenjangan fiskal untuk
mengalokasikan DAU sudah tepat untuk diadopsi di Indonesia, karena
memperhitungkan dua aspek sekaligus, yaitu kebutuhan dan juga kemampuan

22
fiskal pemerintah daerah. Formula DAU mungkin berbeda dengan model alokasi
IRA (Internal Revenue Allotment) yang merupakan dana transfer di Filipina yang
dimana alokasi transfer hanya didasarkan kebutuhan fiskal saja; yaitu menggunakan
variabel luas wilayah dan jumlah penduduk. Formula DAU juga mungkin berbeda
dengan alokasi transfer di Kanada yang alokasi transfernya hanya berdasarkan
kemampuan pemungutan pajak daerah (sisi kapasitas fiskal daerah ) saja.

Kondisi saat ini. Dalam UU no.33/2004 telah dinyatakan dengan tegas bahwa DAU
dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar dan kesenjangan
fiskal (fiscal gap). Alokasi dasar ditetapkan terutama berdasarkan besarnya belanja
pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal dihitung dari selisih antara kebutuhan fiskal
dan kapasitas fiskal. Dengan masih adanya peran belanja pegawai, mendorong
pemerintah daerah untuk terus menambah jumlah pegawainya, terlepas dari
pertimbangan efisiensi pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai
dalam formula DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan
pemekaran daerah, karena bagi daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran,
mereka akan otomatis membutuhkan pegawai yang pembiayaannya dijamin oleh
alokasi DAU.

Sementara itu, perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang sesungguhnya, melainkan masih
menggunakan beberapa variabel pendekatan (proxy variables), diantaranya adalah:
jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB).

Kondisi yang diharapkan. 1) DAU harus mampu mengatasi ketimpangan horizontal


yang sampai saat ini masih cukup tinggi, sebagai akibat adanya kebijakan-kebijakan
yang justru mendistorsi formulasi DAU untuk mencapai tujuan tersebut, seperti
holdharmless policy dan penggunaan belanja pegawai sebagai variabel. 2) Penilaian
kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy, namun telah
menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiap-tiap daerah. 3)
Penghitungan DAU dilakukan oleh lembaga yang independen yang terlepas dari
berbagai macam kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan
politik tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang sebenarnya yaitu
kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan minimum.

Penjabaran startegi. Formulasi penghitungan DAU harus diarahkan kembali untuk


mengatasi ketimpangan horizontal dan tidak dibebani tujuan-tujuan lain yang
bersifat non teknis/politis. 1) Salah satu cara untuk menghindari campur tangan
politik dalam penetapan DAU adalah dengan membentuk suatu lembaga
independen yang melakukan penghitungan DAU. 2) Arah ke depan, penggunaan
belanja pegawai sebagai variabel untuk alokasi DAU harus ditiadakan. 3) Selain itu,
untuk mewujudkan perhitungan kebutuhan fiskal yang benar-benar didasarkan atas
perhitungan belanja yang dibutuhkan daerah memang tidak mudah, setidaknya
harus diperoleh kejelasan tentang ASB untuk setiap urusan yang didaerahkan, yang
mempertimbangkan pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM). Atas dasar ini,
maka diperlukan suatu kebijakan yang mendorong agar pemerintah daerah
menggunakan ASB dalam pengalokasian belanja daerahnya untuk mencapai target
SPM di daerah.

23
Dana Alokasi Khusus (DAK)

DAK merupakan suatu bentuk transfer pusat guna mendanai kewenangan yang
telah didesentralisasikan, yang juga sekaligus mengemban tugas untuk mendukung
prioritas nasional. Sebagaimana terdapat di banyak negara lain, maka bentuk
transfer yang bersifat specific grant akan mempunyai peranan yang sangat penting
dalam menjaga keselarasan arah pembangunan nasional. Di samping itu, DAK di
Indonesia juga mempunyai fungsi untuk menjembatani pencapaian standar
pelayanan minimum secara nasional, yang berarti bahwa DAK selayaknya
dilakosikan kepada daerah tertentu yang belum bisa mencapai kualitas standar
nasional pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan. DAK tidak dialokasikan
kepada semua daerah, namun hanya kepada daerah tertentu yang mempunyai
kondisi khusus.

Kondisi saat ini. Semenjak dilakukannya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun
2001, sangat dirasakan tidak jelasnya peran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam
membiayai otonomi daerah. Euforia terhadap desentralisasi dan otonomi daerah
pada tahun 2000 tampaknya mengakibatkan pengambil keputusan untuk lebih
memberikan prioritas kepada alokasi dana transfer, seperti DAU dan DBH, yang
memberikan diskresi yang luas bagi pemda untuk mengatur penggunaannya.
Sebagai akibatnya, peran DAK yang dapat dijadikan stimulus tercapainya target
pembangunan nasional dan mengedepankan eksternalitas dari pelayanan publik
daerah menjadi terabaikan. Hal ini tampak dari alokasi DAK yang hanya sebesar
700,9 Milyar Rupiah pada tahun 2001. Alokasi DAK inipun pada dasarnya adalah
alokasi dana reboisasi, yang seperti diamanatkan oleh Undang-undang pada saat itu
(UU No.25/1999) sebagian didaerahkan kembali dalam bentuk alokasi DAK.

Namun sejalan dengan waktu dan menguatnya kebutuhan untuk pemenuhan


berbagai program prioritas nasional, maka peran DAK menjadi meningkat. Besarnya
alokasi DAK pada tahun 2008 telah menjadi 21.202 Milyar Rupiah, suatu
peningkatan sangat signifikan dibandingkan dengan alokasi DAK tahun 2001.
Namun demikian, alokasi DAK yang pada saat ini hanya sebesar 8,05 % dari total
dana perimbangan, relatif masih rendah peranannya dalam mendukung kebijakan
desentralisasi fiskal.

Selain itu, DAK masih dirasakan belum jelas arah dan kegunaannya. Seperti
diketahui, jenis-jenis DAK saat ini meliputi 12 (dua belas) bidang, yaitu : Pendidikan,
kesehatan, jalan,irigasi,air bersih, kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana
pemerintahan, lingkungan hidup,kependudukan dan kehutanan. Dengan demikian,
jumlah alokasi DAK yang meningkat pada dasarnya terbagi atas alokasi untuk
banyak bidang, sehingga efektivitas alokasi DAK per bidang menjadi sangat minimal.

Kondisi yang diharapkan. Oleh karena itu, menjadi suatu urgensi bagi Indonesia
untuk merumuskan kembali peran dari dana alokasi khusus (DAK) dalam
mekanisme dana perimbangan. Arah yang benar adalah bahwa DAK menjadi
instrumen utama dalam rangka mendorong pembangunan daerah untuk memenuhi
berbagai prioritas pembangunan nasional. Oleh karena itu, besarnya alokasi DAK
seyogyanya meningkat secara signifikan. Bila porsi DAK dalam dana perimbangan
saat ini hanya sekitar 8,05%, maka di masa mendatang, untuk dapat menjadi alokasi
DAK yang efektif bagi pemenuhan prioritas nasional, diharapkan dapat meningkat
porsinya menjadi setidak-tidaknya 30% terhadap total dana perimbangan.

24
Penjabaran strategi dan rencana aksi. Strategi utama yang harus terus didorong
adalah meningkatkan peranan DAK sebagai suatu bentuk transfer yang
mengutamakan prioritas nasional. Untuk itu, perlu adanya peningkatan yang
signifikan dari DAK di masa mendatang. Hal ini seyogyanya juga harus dibarengi
dengan berbagai tindakan kebijakan (policy action) yang lebih terfokus, dan lebih
teradministrasi dengan baik untuk alokasi maupun implementasinya. Untuk itu,
maka beberapa kebijakan yang harus diambil sampai dengan 2015 berikut ini
menjadi penting dalam mendukung efektifitas DAK di masa mendatang:

 Perlunya diperjelas prioritas nasional yang perlu didukung oleh DAK: Pada
saat ini terdapat 12 bidang yang menjadi prioritas DAK. Di masa depan
tampaknya perlu dipertajam menjadi hanya 3 (tiga) bidang prioritas, yaitu
khususnya : Infrastruktur, Kesehatan dan Pendidikan. Prioritas bidang dalam
DAK diharapkan dapat memberikan arah kepada belanja daerah untuk juga
turut memfokuskan kepada 3 bidang tersebut, sehingga ketertinggalan nasional
dan regional dalam ketiga bidang tersebut akan dapat teratasi.

 Menentukan pembagian tugas dan hak yang jelas antara pusat dan daerah
dalam pelaksanaan DAK: Pembagian tugas perlu diperjelas antara pusat dan
daerah dalam pelaksanaan DAK. Pada saat ini, pemerintah pusat terlalu dalam
melakukan intervensi dalam pelaksanaan DAK. Berbagai kasus di daerah
menunjukkan bahwa pembelanjaan untuk proyek-proyek yang dibiayai oleh
DAK terkadang dilakukan oleh instansi pusat, sedangkan dinas terkait hanya
tinggal melaksanakannya. Oleh karena itu, ke depan sebaiknya pelaksanaan
DAK dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah, dan untuk itu diperlukan
penata sistem pengawasan dan evaluasi DAK yang lebih baik lagi.

 Menyederhanakan Formula alokasi DAK : Pada saat ini alokasi DAK ditetapkan
dengan menggunakan 3 (tiga) kelompok kriteria; (i) Kriteria Umum (ii) Kriteria
Khusus dan (iii) Kriteria Teknis. Dalam penjabarannya, formula alokasi DAK
menjadi lebih rumit dari formula Alokasi DAU. Oleh karena itu, dalam desain
DAK ke depan, akan dilakukan penyederhanaan formula DAK dengan
mempertimbangkan fungsi dan manfaat dari DAK bagi kepentingan nasional
dan daerah.

Dana Bagi Hasil (DBH)

Dana bagi hasil merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerah-daerah
yang memiliki sumber-sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi
penerimaan pajak pusat yaitu pajak penghasilan perseorangan (PPh perseorangan),
pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam (Minyak Bumi, Gas Alam,
Pertambangan Umum, Kehutanan dan Perikanan). Berdasarkan UU No.33/2004,
bagian daerah dari pajak maupun sumber daya alam tersebut telah ditetapkan
besarnya berdasarkan suatu persentase tertentu.

Kondisi saat ini. Untuk melihat kondisi saat ini dari kebijakan DBH dapat ditinjau
dari beberapa segi:

25
 Formula alokasi DBH : Persentase yang dibagi-hasilkan dengan daerah relatif
tidak mengalami perubahan semenjak ditetapkan kebijakan tersebut pada tahun
2001. Pengecualian terjadi untuk besarnya persentase bagi-hasil minyak dan gas
bumi, yang mengalami kenaikan sebesar 0,5% pada tahun 2004.Rumusan bagi
hasil untuk setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber daya alam sangat
bervariasi satu dengan yang lain, selain itu, semenjak ditetapkan rumusan
alokasi ini pada tahun 2001, tidak ada argumentasi yang jelas tentang formula
bagi hasil tersebut. Formula DBH menjadi makin kompleks karena
pemberlakuan formula yang berbeda untuk daerah otonomi khusus, yaitu
Nanggro Aceh Darussalam dan Papua.

 Dasar nilai penetapan bagi hasil: Selain dari beragamnya formula, yang juga
menambah rumit alokasi DBH adalah beragamnya dasar penetapan untuk bagi
hasil.Saat ini, untuk minyak dan gas bumi, yang dibagi-hasilkan kepada daerah
adalah nilai net-operating income setelah dikurangi berbagai jenis pajak (PPh, PPN,
dan PBB), dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi dan gas
alam.Sedangkan untuk Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan, nilai yang
dibagi-hasilkan pada dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa perijinan usaha
dan royalti untuk produksi yang dihasilkan.

 Pemanfaatan DBH di daerah : Bagi pemerintah daerah yang memperoleh alokasi


DBH yang cukup signifikan, seyogyanya pemanfaatan dana tersebut dilakukan
secara optimal dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan
pengembangan infrastruktur dasar di daerah. Namun demikian, arah
penggunaan DBH tampaknya belum jelas di daerah, bahkan terkadang terjadi
tumpang tindih program kegiatan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota,
misalnya pembangunan lapangan udara pada lokasi yang berdekatan dengan
anggaran berbeda, yaitu dari provinsi dan yang satunya dari kabupaten.

 Mekanisme penyaluran DBH: Permasalahan klasik yang terus terjadi semenjak


tahun 2001 sampai dengan sekarang adalah keterlambatan penyaluran DBH ke
daerah, khususnya untuk DBH yang berasal dari sumber daya alam. Seharusnya
penyaluran dilakukan pada setiap akhir kuartal, dimana nilai yang disalurkan
pada 3 kuartal pertama adalah nilai yang didasarkan kepada angka yang
disepakati di APBN, sedangkan nilai yang disalurkan pada kuartal terakhir
sudah memperhitungkan berbagai penyesuaian terhadap realisasi yang
terjadi.Jumlah yang bisa dibagi-hasilkan untuk realisasi minyak dan gas bumi
adalah maksimum 130% dari harga asumsi awal di APBN.Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi keterlambatan penyaluran DBH ke daerah, sehingga
alokasi DBH ini mulai lebih baik pada tahun 2008.

Kondisi yang diharapkan. Berdasarkan uraian atas berbagai kompleksitas alokasi


DBH tersebut, diharapkan di masa yang akan datang akan dapat didesain suatu
sistem bagi hasil yang lebih sederhana. Meskipun demikian, DBH harus tetap
mengemban fungsinya untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal dengan tetap
menjaga kesinambungan fiskal nasional.

Penjabaran strategi dan rencana aksi. Beberapa tindakan kebijakan sampai dengan
tahun 2015 yang dapat diimplementasikan dalam rangka penyederhanaan alokasi
DBH dapat diuraikan sebagai berikut :

26
 Melakukan penyederhanaan formula alokasi DBH dan memberikan
argumentasi yang jelas terhadap proporsi pembagian DBH antara pusat dan
daerah.

 Mengembangkan sistem penyaluran DBH yang lebih baik, agar alokasi DBH
ke daerah penghasil menjadi tepat waktu dan tepat jumlah, sehingga dana
tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan yang direncanakan.

 Mengembangkan alokasi DBH dengan penetapan suatu “earmarking”,


misalnya dengan menetapkan persentase tertentu dari dari DBH untuk dapat
dimanfaatkan bagi pengembangan pendidikan, kesehatan ataupun perbaikan
lingkungan hidup di daerah.

27
4
Tujuan 2: Pendapatan dan Pembiayaan Daerah
yang Efisien dan Efektif

Pajak sebagai sumber pendapatan adalah salah satu instrumen yang sangat penting
dalam desentralisasi fiskal, karena mencerminkan seberapa besar otoritas
pendapatan yang dimiliki suatu tingkat pemerintahan. Selain sebagai sumber
pendapatan, pajak juga merupakan instrumen untuk mengelola permintaan dan
penawaran barang publik lokal, instrumen untuk mengukur transparansi dan
akuntabilitas pemerintah daerah terhadap publik, dan instrumen untuk
mempengaruhi tingkah laku konsumen/publik setempat.

Penerimaan juga merupakan salah satu refleksi seberapa besar daerah dipercaya dan
mempunyai kemampuan mengelola sumber-sumber pendapatan sendiri untuk
membiayai pengeluarannya. Jika –untuk satu atau beberapa alasan– sumber-sumber
fiskal yang penting dikonsolidasi dan dikelola di tingkat pusat, maka peran transfer
akan menjadi dominan. Sedangkan jika beberapa sumber fiskal yang penting
dikelola oleh daerah, maka transfer seharusnya menjadi kurang dominan.

Otoritas pajak yang dimiliki oleh suatu tingkat pemerintahan mempunyai beberapa
tingkatan, dari hanya kewenangan memungut atau administrasi, kewenangan
menentukan tarif, hingga kewenangan untuk menentukan jenis dan basis pajak.
Dalam tingkatan otoritas yang paling rendah, pemerintah daerah hanya diberikan
wewenang memungut (delegasi).

Kondisi saat ini. Dalam skema desentralisasi fiskal di Indonesia, pemerintah daerah
diberikan kewenangan untuk memungut dan menentukan tarif secara terbatas (tarif
maksimum telah ditentukan oleh UU) untuk beberapa jenis pajak daerah yang
ditentukan oleh UU. Hal ini menyebabkan daerah hanya memiliki instrumen yang
sangat terbatas untuk mengelola sisi fungsi pendapatan. Walaupun dalam
kenyataannya, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut
pajak atau retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi.

Rendahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah ini ditunjukkan oleh data bahwa
kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%, seperti pada tabel berikut
ini.

28
Tabel 4 Komposisi Pendapatan dari Pemerintah Daerah 2001-2005

(Total Gabungan Propinsi dan Kabupaten/Kota)

Sumber Penerimaan (%)  2001  2002  2003  2004  2005 

PAD  6.6  7.3  6.9  8  10 

Dana Perimbangan:  87  79.1  80.5  84  86 

DAU  68  61.5  61.2  64  54 

DAK  1.5  0.8  2  2.8  2.6 

DBH Pajak  7.5  7.4  9  8  12 

DBH Non‐Pajak  10  9.4  8.3  9.2  17.4 

Sumber Lainnya  6.4  13.6  12.6  8  4 

Total Penerimaan (%)  100  100  100  100  100 

Nominal (Trilyun Rp)  80.73  101  112.54  114.41  151.85 

Sumber: Diolah dari data Depkeu (perbedaan mungkin disebabkan adanya ketidaklengkapan pelaporan APBD) 

Kondisi yang diharapkan. Salah satu masalah penting dalam pajak daerah adalah
belum diberikannya sumber pajak yang cukup signifikan untuk dijadikan andalan
pendapatan daerah dan instrumen untuk merespon permintaan barang publik lokal
dan akuntabilitas terhadap pemilih. Jika Indonesia ingin menuju desentralisasi fiskal
dengan penguatan kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu
syarat penting yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak berarti
memberikan sumber fiskal tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap daerah
dan nasional, melainkan melalui penelahaan beberapa faktor dengan mengacu pada
prinsip efisiensi dan efektivitas.

Penjabaran strategi. Secara umum, terdapat tiga strategi utama guna memperbaiki
kondisi perpajakan daerah saat ini, yaitu harmonisasi pajak pusat dan daerah,
optimalisasi perpajakan daerah, dan pengkondisian perpajakan daerah yang tidak
distortif terhadap perekonomian.

 Hal penting yang harus menjadi perhatian dalam isu perpajakan adalah
harmonisasi pajak daerah dan pusat. Karena basis pajak pada dasarnya tidak
berubah atau bertambah dengan adanya jenis pajak baru, maka harus dihindari
terjadinya pajak ganda (double-taxation) yang disebabkan pusat dan daerah sama-
sama memungut pada basis pajak yang sama. Harmonisasi juga berarti baik
pusat maupun daerah mempunyai sumber fiskal yang memadai sesuai dengan
tugas pembiayaan yang diemban masing-masing. Harmonisasi ini juga tidak
terlepas dari kerangka penerimaan total (termasuk transfer) dan pembagian
beban belanja pusat-daerah (expenditure assignment). Alokasi kewenangan pajak
ke daerah akan mempengaruhi besaran transfer dan juga pembagian beban
belanja.

29
Salah satu jenis pajak yang penting adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang
sampai saat ini secara formal dimiliki sepenuhnya oleh pusat. Tetapi beberapa
pajak daerah seperti pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, sebenarnya
adalah varian dari PPN walaupun secara formal tidak dinamakan sebagai PPN.
Dalam jangka panjang, diharapkan ada pembagian jenis PPN yang dimiliki pusat
dan yang dimiliki daerah. Pembagian wewenang ini tentunya
mempertimbangkan jenis komoditas/jasa yang dipungut PPN-nya, pada tingkat
pemerintahan mana pengelolaan PPN ini akan optimal dan bagaimana
mekanisme bagi-hasilnya jika ada.

 Satu hal yang terkait erat dengan harmonisasi pajak pusat dan daerah adalah
Local taxing power yang lebih optimal. Dengan memandang basis pajak secara
utuh, maka ada peluang untuk melakukan redefinisi istilah perpajakan yang
lebih tepat dan melakukan pengelompokan ulang basis pajak ini untuk
kemudian dipetakan pembagian pungutan pajak yang dapat dilakukan pusat,
daerah, atau berbagi antara pusat dan daerah. Salah satu contoh yang dapat
dilakukan adalah menerapkan sistem opsen untuk PPh. Sistem opsen ini selain
sebagai sumber pendapatan, juga dapat menjadi instrumen daerah untuk
berkompetisi sekaligus latihan bagi daerah untuk mengelola PPh. Pajak daerah
yang baik tidaklah harus banyak jumlahnya, namun yang lebih penting adalah
signifikan hasilnya. Kedepan, pajak di daerah tidak perlu banyak tapi yang
penting adalah menguatkan perpajakan daerah. Satu hal penting yang harus
selalu diingat dalam optimalisasi local taxing power adalah bahwa desain
desentralisasi fiskal di Indonesia menghendaki adanya pajak daerah yang
mampu memberikan hasil yang signifikan, bukan pajak daerah yang dominan.

 Hal penting lainnya adalah menjaga agar pajak daerah tidak distortif terhadap
perekonomian daerah. Redesain pajak juga sebaiknya diintegrasikan dengan
perbaikan iklim usaha, yaitu simplifikasi perizinan usaha. Saat ini banyak daerah
masih menerapkan berbagai pungutan untuk mendapatkan izin usaha.
Walaupun makin banyak daerah yang mempunyai Sistem Pelayanan Satu
Pintu/Jendela (OSS = One Stop Service), tetapi pada tataran implementasi, masih
banyak OSS yang tidak secara signifikan mengurangi ekonomi biaya tinggi.
Perizinan usaha memang dapat diurus melalui satu jendela, tetapi tetap terdapat
beberapa jenis perizinan yang diperlukan dan masing-masing membutuhkan
biaya.

Pajak Pengelolaan Usaha (business tax) dapat menjadi suatu instrumen yang
berperan ganda: sebagai sumber pendapatan daerah, dan sebagai alat untuk
menyederhanakan perizinan usaha di daerah tanpa menghilangkan unsur
pengawasan dan pelaporan. Investor tidak perlu membayar biaya-biaya
perizinan atau perpanjangannya secara terpisah-pisah, cukup melakukan
pembayaran dalam satu jenis pajak ini. Daerah juga dapat mendesain tarif pajak
ini sehingga tidak memberatkan dunia usaha sekaligus sebagai alat untuk
meningkatkan daya saing daerah.

Dengan kenyataan bahwa daerah di Indonesia sangat beragam kemampuan dan


kapasitas pemerintahan daerahnya, dalam desain pajak untuk daerah perlu
dilakukan dua hal sekaligus: pertama, adanya pre-kondisi minimum untuk
menjamin tidak adanya distorsi ekonomi akibat pemberian wewenang pajak

30
tertentu ke daerah, dan kedua, pusat membantu meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah terutama dalam pemahaman ekonomi perpajakan dan
kemampuan teknis administrasi perpajakan. Adanya pre-kondisi atau prasyarat
minimum ini memungkinkan pengalihan pajak ke daerah menjadi tidak seragam
dan serentak, tergantung kesiapan daerah masing-masing.

Rencana aksi 2015. Guna mendukung penerapan startegi tersebut di atas secara baik,
maka dalam jangka yang lebih pendek perlu segera diterapkan beberapa kebijakan
sebagai berikut:

 Menguatkan pajak pusat dan daerah secara bersamaan sehingga pengalihan


pajak ke daerah yang siap tidak akan menimbulkan ketidakstabilan pada sisi
penerimaan anggaran nasional.
 Mempercepat masa transisi pengalihan PBB dari 5 menjadi 3 tahun.
 Menerapkan sistem opsen untuk beberapa jenis pajak tertentu, semisal pajak
rokok dan PPh.
 Mengenalkan Pajak Pengelolaan Usaha sebagai pengganti semua pungutan
untuk memperoleh dan memperpanjang izin usaha.
 Daerah diberi wewenang menentukan tarif pajak secara terbatas dengan terus
dilakukan pemantauan atas kinerja perekonomian daerah. Hal ini untuk
menghindari adanya ekonomi biaya tinggi.
 Menyelaraskan penguatan pajak daerah dengan kewajiban belanja daerah dan
besaran transfer dari pusat.

31
5
Tujuan 3: Siklus Dan Proses Belanja Daerah
yang Efisien dan Efektif

Pada dasarnya belanja pemerintah yang efisien dan efektif akan menjadi kunci bagi
keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya pendapatan akan
menjadi kurang bermakna apabila dalam pola belanjanya masih terjadi pemborosan-
pemborosan dan tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat. Di samping itu,
bagi negara yang masih berkembang seperti Indonesia, belanja pemerintah
mempunyai peranan yang cukup krusial sebagai stimulus pembangunan ekonomi.
Untuk mendapatkan efek positif yang optimal bagi perekonomian, maka diperlukan
suatu sistem perencanaan belanja pemerintah yang baik dan tepat sasaran.

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, desentralisasi fiskal di Indonesia adalah


desentralisasi di sisi pengeluaran. Hal ini berarti dana besar yang telah ditransfer
akan dikelola oleh daerah dengan diskresi yang cukup luas dalam penggunaannya.
di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu, ke depan, belanja pemerintah
daerah akan lebih banyak memberikan warna dalam konsolidasi belanja pemerintah
secara nasional. Dengan demikian, keberhasilan pembangunan nasional dan
perekonomian nasional juga akan dipengaruhi oleh pola belanja daerah. Berdasarkan
hal tersebut, maka pengelolaan belanja daerah yang efisien dan efektif haruslah
menjadi fokus perhatian dalam penyusunan grand design desentralisasi fiskal di
Indonesia.

Kondisi saat ini. Proses penganggaran yang berjenjang antar tiap tingkatan
pemerintahan, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan panjangnya proses
penganggaran. Kondisi saat ini, dimana terdapat sekitar 3 bulan rentang waktu
antara penetapan APBN dan APBD berpengaruh pada lambatnya timing eksekusi
dari anggaran pemerintah daerah seperti tercantum dalam UU No. 17 Tahun 2003.
Selain itu, penerimaan pemerintah daerah yang sebagian besar disalurkan oleh
pemerintah pusat melalui dana perimbangan, juga menunjukkan bahwa smoothing
out dari alokasi dana perimbangan oleh pemerintah pusat akan sangat membantu
efektifitas pengeluaran pemerintah daerah.

Pada saat ini, anggaran belanja daerah disusun tidak berdasarkan suatu analisis
kebutuhan yang nyata yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Anggaran
belanja disusun secara ekletik, dengan anggaran tahun sebelumnya sebagai acuan
utama. Tidak jarang bahwa peningkatan anggaran pemerintah hanya dirumuskan
sebagai suatu peningkatan proporsional dari anggaran tahun berjalan, tanpa
mempertimbangkan kebutuhan yang nyata.

32
Sulitnya menyusun anggaran belanja sesuai dengan kebutuhan nyata Pemerintah
Daerah juga diakibatkan oleh tidak adanya Analisis Standar Belanja (ASB). Karena
itu tidak mengherankan bahwa banyak analisis terhadap anggaran pemerintah
sampai saat ini menunjukkan adanya biaya penyelenggaraan layanan publik yang
sangat fluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini mencerminkan jauhnya penetapan
anggaran dari analisis kebutuhan dan analisis standar belanja.

Kondisi yang diharapkan. Siklus dan proses belanja daerah dapat semakin
ditingkatkan efisiensi dan efektifitasnya, dalam hal teknis administrasi dan kualitas
penganggaran. Terkait dengan teknis administrasi, proses belanja daerah
diupayakan 1) tercapainya siklus anggaran yang tepat waktu; 2) cakupan rencana
kerja dari dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) tidak hanya menggambarkan
kebijakan umum pemerintah daerah tetapi juga sudah mencakup detail program
yang komprehensif termasuk dalam hal estimasi pembiayaannya; serta 3) penetapan
mekanisme penyaluran dan administrasi dana tersisa (SILPA) yang juga dikaitkan
dengan perubahan rencana kerja agar penyesuaian antara APBD dan realisasi budget
dapat menghilangkan pemborosan pengeluaran dan juga untuk menjaga
keberlanjutan dari suatu program pembangunan (program pemerintah).

Siklus anggaran yang berjenjang antar tingkat pemerintahan sepertinya kontradiktif


dengan hirarki kewenangan yang cenderung telah berubah sejak penerapan
kebijakan desentralisasi tahun 2001 dengan memberikan kewenangan yang relatif
besar ke tingkat pemerintahan kabupaten/kota. Dalam hal ini, simplifikasi dari
aktifitas dari proses penyusunan anggaran perlu dilakukan dengan disesuaikan
pada kewenangan dan diskresi tiap tingkatan pemerintahan. Proses review dari
anggaran pemerintah di tingkat legislative (DPRD) diperlukan untuk menguatkan
program pengeluaran yang didasarkan atas pelibatan partisipasi masyarakat
(contoh: melalui Musrenbang), dan bukan untuk melakukan perubahan drastis dari
program pengeluaran pemerintah. Proses politik dalam penetapan anggaran di
tingkat legislatif seyogyanya diarahkan pada pengujian efisiensi yang dapat
dilakukan (costs saving) dari setiap anggaran yang diajukan.

Untuk itu, pemerintah harus terus meningkatkan keterlibatan publik (public


participation) dalam menilai efektifitas dan efisiensi rencana kerja. Misalnya dengan
mempublikasikan laporan penyimpangan antara rencana kerja pemerintah dan
realisasinya. Pemerintah juga perlu membuat laporan penyimpangan antara rencana
anggaran sebelum dan sesudah dibahas di komisi-komisi terkait di DPRD. Publikasi
laporan kepada publik akan memberikan peluang pada masyarakat untuk
mengawasi alokasi anggaran. Pemerintah juga sebaiknya melakukan transparansi
standar biaya bagi penyusunan APBN/APBD dan mempublikasikannya kepada
publik sehingga masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam menilai efektifitas
standar biaya dan mencegah terjadinya penggelembungan nilai proyek.

33
Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia adalah satu langkah menuju
desentralisasi ekonomi. Dalam konstelasi desentralisasi ekonomi tersebut,
Pemerintah Daerah diarahkan untuk secara disiplin menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi mandatnya. Di antara urusan pemerintahan tersebut,
terdapat beberapa layanan dasar yang tertuang dalam Standar Pelayanan Minimum
(SPM). Pelayanan dasar adalah pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan
pemerintahan.

Penjabaran startegi. Pencapaian SPM seyogyanya menjadi kriteria utama dalam


penetapan belanja anggaran Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah harus
mengarahkan anggaran belanja daerahnya untuk menyediakan sejumlah layanan
dasar yang tercantum dalam SPM. Selanjutnya, anggaran untuk penyediaan layanan
dasar tersebut ditetapkan dengan memperhitungkan suatu standar belanja.

Karena itu, idealnya ASB dimiliki oleh setiap daerah untuk setiap jenis urusan
pemerintahan. Namun demikian, penerapan ASB ini dapat hendaknya dilaksanakan
secara bertahap, dengan memperhatikan kesiapan daerah untuk melaksanakannya.
Dalam lima tahun ke depan, prioritas penerapan ASB dapat diberikan kepada
beberapa daerah yang relatif siap. Beberapa daerah kota, terutama yang berada di
Pulau Jawa, dapat mulai dijadikan percontohan bagi penerapan ASB. Analisis
standar belanja juga seyogyanya ada untuk setiap sektor dan aktifitas pemerintahan.
Dalam periode lima tahun ke depan, ASB ini seyogyanya diidentifikasi sejalan
dengan ditetapkannya standar pelayanan minimum untuk berbagai sektor.

Satu hal penting dalam manajemen pengeluaran pemerintah ialah perlunya


dipertajam lagi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Hal ini terkait pula dengan pentingnya proses pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan anggaran. Untuk mendorong implementasi good governance dalam
anggaran (baik pusat maupun daerah), maka keberadaan sistem reward dan penalty
adalah mutlak. Sistem yang dapat memberikan reward dan penalty yang seimbang
akan memberikan motivasi bagi aparat pemerintah dalam mengelola anggaran
secara efektif dan efisien. Tentunya mekanisme penilaian harus memiliki tolak ukur
yang jelas. Pemerintah harus memformulasikan key performance indicators yang
terukur baik di level strategi maupun operasional.

Dalam hal ini, anggaran pemerintah harus dapat mengadopsi kegiatan yang sifatnya
jangka panjang, yang pembiayaannya lebih dari satu tahun. MTEF atau multi-term
expenditure frameworkditerapkan sebagai bagian dari proses budgeting selain dari
annual budgeting sebagai mekanisme anggaran yang dapat menjamin kejelasan
hubungan antara perencanaan atau prioritas pencapaian sektor dengan anggaran
atau resource constraint. Apabila annual budgeting dalam praktiknya diterapkan untuk
program pembangunan yang umum dilakukan oleh pemerintah daerah, penerapan
MTEF adalah untuk lebih menampung inovasi ataupun terobosan program baru

34
yang bersifat strategis. Proses anggaran melalui MTEF juga dapat dikaitkan sebagai
salah satu sumber penyaluran sisa lebih anggaran (SILPA) pemerintah daerah.

Secara umum, tujuan dari formulasi MTEF adalah untuk 1) menciptakan anggaran
yang terukur untuk menjaga kesinambungan program pembangunan daerah, 2)
menguatkan proses perencanaan yang terhubungkan dengan prioritas sektor dan
kaitan perencanaan daerah dan nasional, 3) menciptakan kejelasan pembiayaan
untuk kegiatan-kegiatan yang memerlukan pembiayaan lebih dari satu tahun
anggaran (long term cost burden), dan 4) menciptakan formulasi sistem penerimaan
daerah dari program pembangunan yang bersifat jangka panjang tersebut.

Pada saat ini, pelaksanaan MTEF belum terealisasi baik untuk tingkat pemerintah
pusat maupun di tingkat pemerintah daerah. Namun dilihat dari karakteristik
penetapan MTEF, pilot project dapat dilakukan untuk daerah-daerah yang telah siap.

Kesiapan suatu daerah untuk penerapan MTEF diantaranya terkait dengan 1)


konsensus antara birokrasi dan DPRD ataupun publik mengenai prioritas sektor dan
indikator pencapaian, 2) kecukupan sumberdaya untuk administrasi formulasi
MTEF terutama untuk sektor pelayanan publik dalam budgeting process, 3)
tersusunnya guideline yang mengaitkan antara annual budgeting dengan MTEF, dan
4) kebutuhan data untuk formulasi asumsi anggaran yang dikaitkan dengan sumber
penerimaan, dan 5) koordinasi perencanaan antar sektor untuk arah penerapan
keseluruhan belanja pemerintah.

Rencana aksi. Beberapa kebijakan yang dapat menjadi prioritas dalam


penyempurnaan desain desentralisasi fiskal Indonesia sampai dengan tahun 2015
adalah:

 Pemetaan untuk mengidentifikasi kesiapan daerah dan penerapan analisis


standar belanja (ASB) pada daerah yang terpilih sebagai pilot project.

Kebutuhan penerapan ASB diperlukan untuk seluruh wilayah Indonesia.


Namun, konteks pemerintah daerah di Indonesia yang sangat beragam dari
segi SDM, resources finansial, dan juga dinamika kompleksitas
perekonomian, berimplikasi pada keragaman permasalahan yang dihadapi
oleh pemerintah daerah untuk penerapan ASB. Untuk itu, pilot project dapat
bermanfaat sebagai experiment ground dari suatu kebijakan baru dan untuk
meminimalisir costs dari ketidaksiapan kapasitas pemerintah daerah.

 Pelaksanaan secara konsekuen evaluasi penyelenggaraan pemerintahan


daerah, evaluasi terhadap kinerja dan proses anggaran, dan penerapan sanksi
keterlambatan penyerahan laporan pertanggungjawaban anggaran.

Dari sisi administrasi, implementasi belanja yang terlambat meningkatkan


biaya transaksi dari penyediaan pelayanan publik, dan pada akhirnya juga

35
mempengaruhi efektifitas dari belanja pemerintah. Untuk itu, evaluasi
terhadap ketepatan siklus perencanaan dan penyusunan anggaran termasuk
salah satu pre-kondisi untuk pencapaian efisiensi dan efektifitas belanja.

 Penetapan mekanisme pengeluaran berdasarkan anggaran beberapa tahun,


MTEF (multi-term expenditure framework), khususnya bagi beberapa
pengeluaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pemerintah
pusat.

Penggunaan dana perimbangan dalam bentuk DAK utamanya adalah agar


penggunaan DAK tidak hanya untuk kegiatan operasional, seperti misalnya
untuk alokasi perawatan jalan ataupun gedung sekolah, tetapi juga
diarahkan untuk meningkatkan belanja modal. DAK sebagai bagian dari
MTEF juga merupakan transisi untuk pembiayaan kegiatan yang bersifat
investasi terutama ketika mekanisme pinjaman daerah belum dapat
difungsikan secara optimal.

36
6
Tujuan 4: Harmonisasi Belanja Pusat Dan Daerah

Harmonisasi belanja pusat dan daerah bertujuan untuk menurunkan inefisiensi dari
tumpang tindih antara pengeluaran pemerintah. Duplikasi pengeluaran pemerintah
berimplikasi pada alokasi pengeluaran yang berlebihan atau penurunan kualitas
pelayanan publik untuk sektor yang tidak mendapatkan kecukupan pembiayaan.
Dalam hal ini, tumpang tindih antara pengeluaran pemerintah dapat terjadi: 1)
antara sesama unit dalam pemerintah pusat, 2) antara sesama pemerintah daerah
pada tingkatan yang sama, dan 3) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Secara umum, tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah kemungkinan
disebabkan dari, 1) sistem anggaran yang relatif tidak transparan, 2) inkonsistensi
regulasi terkait dengan kewenangan dan pembiayaan oleh departemen teknis, dan 3)
ketidaksiapan antisipasi aplikasi perencanaan SPM terkait koordinasi antar sektor
dan implementasi perencanaan oleh daerah.

Tumpang-tindih pengeluaran antar tingkat pemerintahan juga dimungkinkan dari


diskresi perencanaan pembangunan di tingkatan pemerintah daerah yang kurang
efektif dalam pelaksanaannya. Sementara itu, dengan terlepasnya tanggung jawab
pembiayaan dari pembagian urusan pemerintahan, diskresi belanja yang besar bagi
daerah kemungkinan memperbesar risiko adanya duplikasi alokasi pengeluaran
pemerintah.

Penghilangan duplikasi antara pengeluaran pemerintah pusat dan daerah juga


bertujuan menjamin kondisi fiskal dari anggaran nasional. Ekspansi pengeluaran
yang kurang terkontrol bertentangan dari tujuan penerapan desentralisasi fiskal.
Oates (1972) menunjukkan bahwa tujuan dari desentralisasi fiskal melalui
pembagian kewenangan yang lebih besar untuk tingkat pemerintahan yang lebih
rendah adalah efisiensi alokasi pengeluaran yang sesuai dengan kebutuhan atau
preferensi penerima manfaat yaitu masyarakat lokal akibat lebih terjaminnya

37
akuntabilitas pemerintah. Efisiensi alokasi dari desentralisasi fiskal telah
mengasumsikan kejelasan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintah.5

Kondisi saat ini. Sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih belanja antar unit
maupun antar tingkatan. Masih sering terjadi belanja pemerintah pusat melalui
anggaran kementerian, baik secara langsung ke daerah maupun melalui mekanisme
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan
yang seharusnya menjadi urusan daerah yang telah didesentralisasikan. Hal ini juga
diperparah dengan rendahnya mekanisme koordinasi antara pusat dan daerah
dalam pengalokasian dana-dana tersebut, sehingga tidak hanya tidak tepat guna tapi
juga tumpang tindih. Di samping itu, sistem perencanaan nasional juga belum
sepenuhnya dapat mengkoordinasikan program-program di pusat maupun daerah.
Hal ini didorong oleh adanya ego sektoral dari masing-masing unit di semua
tingkatan. Yang masih kadang terjadi adalah ketidakjelasan siapa mengerjakan apa,
sehingga berbagai program saling berbenturan. Komitmen untuk menjaga kejelasan
pembagian urusan dari masing-masing pihak menjadi salah satu penyebab carut
marut perencanaan tersebut, di samping belum adanya SPM yang jelas untuk semua
urusan.

Tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah ditenggarai sebagai salah satu
faktor yang mendorong tingginya belanja pegawai baik di tingkat pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Tabel 6.1 menunjukkan bahwa belanja pegawai selama
tahun 2005-2008 merupakan komponen pengeluaran yang dominan relatif
dibandingkan dengan belanja modal. Perbandingan belanja personel (belanja modal)
terhadap tahun-tahun sebelum desentralisasi yaitu terhadap pengeluaran rutin
(pengeluaran pembangunan) cenderung bias karena dalam belanja pembangunan
masih juga mencakup komponen personnel selain belanja modal. Sistem anggaran
seperti ini juga merupakan salah satu penyebab kurang terkontrolnya komponen
dari pengeluaran belanja pegawai.

Untuk tingkat pemerintah pusat, penerapan standar pelayanan minimal (SPM) juga
berarti orientasi pada cakupan outcome yang mungkin akan bersinggungan atau
sama untuk tiap unit karena melibatkan koordinasi beberapa departemen teknis.
Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005, penentuan SPM yang harus berdasarkan
koordinasi dari beberapa kementrian, merupakan salah satu cara untuk pemetaan
SPM untuk tiap sektor sementara pada saat yang sama koordinasi dilakukan untuk
menghindari ketidaksesuaian antara outcome dengan sumber daya. Namun sampai

5 Kejelasan urusan kewenangan antar tingkat pemerintahan merupakan pre-kondisi dari


efektifitas kebijakan desentralisasi fiskal. Penjelasan mengenai pembagian urusan
pemerintahan (expenditure assignments) yang ideal terdapat di bagian tujuan dan strategi
mengenai penerimaan daerah. Expenditure assignments dalam konteks kebijakan penerimaan
daerah misalnya mengenai sistem dana perimbangan sesuai dengan cakupan Grand design
pada desentralisasi fiskal. Grand design ini dapat digabungkan dengan kebijakan
desentralisasi mengenai expenditure assignments yang dilakukan oleh Departemen Dalam
Negeri (DDN).

38
saat ini, dari 12 sektor pelayanan dasar, penetapan SPM baru ada untuk sektor
pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup (Departemen Keuangan, 2009).

Tabel 5 Perbandingan Belanja APBD Per Jenis Belanja

(Total Belanja APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia)

Sumber: Nota Keuangan Tahun 2009 (Departemen Keuangan 2009)

Kondisi yang diharapkan. Satu hal yang pasti diharapkan akan terjadi dalam masa
yang akan datang adalah agar sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar
tingkatan pemerintahan tidak lagi menjadi ”barang mewah” yang sulit untuk
diperoleh. Sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan, terutama
dalam program-program dan kegiatannya, haruslah diwujudkan melalui sistem
perencanaan nasional yang mendukungnya. Sistem tersebut harus mempunyai alat
atau regulasi untuk menjamin kepastian dan kejelasan pembagian urusan di antara
berbagai tingkatan, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih belanja antar unit dan
antar tingkatan.

Penjabaran strategi. Beberapa strategi yang harus disiapkan untuk mendorong


munculnya harmonisasi yang baik dalam belanja pusat dan daerah adalah sebagai
berikut:

 Meningkatkan intensitas dan kualitas perencanaan pembangunan yang


melibatkan masyarakat. Dalam era demokrasi, pelibatan masyarakat dapat
menjadi salah satu kunci keberhasilan perencanaan pembangunan, karena akan
menjamin kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu pelibatan
masyarakat juga akan menjadi salah satu strategi jitu guna menghindari
resistensi masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan. Meskipun demikian,
pelibatan masyarakat harus tetap dilakukan scera berhati-hati dan bertahap,

39
menyesuaikan dengan tingkat pemahaman dan pendidikan dari masyarakat
yang bersangkutan.

 Evaluasi secara reguler merupakan salah satu hal yang harus dilakukan untuk
menghindari tumpang tindih yang berkelanjutan. Namun demikian hasil
evaluasi hanya akan bermanfaat apabila setiap pihak terkait mempunyai
komitmen untuk secara obyektif menindaklanjuti hasil evaluasi. Guna
mendukung pelaksanaan evaluasi, setiap pemerintahan harus mengembangkan
sistem basis data perencanaan pembangunan. Dengan sistem informasi yang
baik akan sangat mempermudah pelakaksanaan evaluasi.

 Persinggungan dalam klaim terhadap pencapaian outcome antara pemerintah


pusat dan pemerintah daerah juga merupakan aspek yang perlu diantisipasi.
Pencapaian outcome adalah juga sejauh mana pemerintah daerah dari threshold
Standar Pelayanan Minimum (SPM) nasional. Dalam hal SPM tidak terpenuhi,
perlu kejelasan untuk tingkatan pemerintahan yang harus menanggung risiko
dari tidak tercapainya target SPM. Apabila pemerintah pusat yang pada akhirnya
harus bertanggung jawab terhadap keseluruhan pencapaian SPM, maka
pemerintah pusat berkoordinasi dengan unit departemen lainnya perlu
memikirkan mekanisme untuk mengaitkan antara penentapan target SPM
dengan ketersediaan sumber daya. Penetapan target pencapaian SPM yang
mengacu pada guideline dari departmen teknis, disatu sisi menunjukkan bahwa
pencapaian SPM untuk sektor-sektor tersebut (dibawah kementrian teknis)
adalah juga merupakan prioritas nasional. Untuk itu, perlu pembatasan sejauh
mana keterlibatan departemen teknis dalam penetapan SPM terkait dengan
urusan yang menjadi kewenangan daerah dan relatif bukan merupakan prioritas
nasional.

Dalam hal pembiayaan untuk pencapaian SPM yang menjadi urusan daerah,
pembiayaan belanja yang terkait dengan SPM pelayanan dasar sebaiknya secara
gradual berasal dari sumberdaya pemerintah daerah terlebih dahulu. Hal ini
merupakan upaya menciptakan akuntabilitas dari pencapaian SPM lebih
terhadap kebutuhan dan kesesuaian dengan masyarakat lokal dibandingkan
dengan semata memenuhi program pembangunan nasional.

 Penguatan implementasi sistem anggaran terpadu. Salah satu kebijakan untuk


menghindari duplikasi atau ketidakjelasan pengeluaran pemerintah terutama
yang diakibatkan dari sistem pos anggaran yang tidak transparan adalah
diterbitkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Sistem Keuangan Negara. Dalam
hal ini, UU No. 17 Tahun 2003 dan PP No. 58 Tahun 2005 telah mengatur
mengenai administrasi keuangan pemerintahan untuk menghindari duplikasi
anggaran untuk tiap-tiap instansi di tiap tingkatan pemerintahan.6

6 UU No. 17 Tahun 2003 pada dasarnya meredefinisi pos anggaran disesuaikan dengan
standar yang berlaku internasional terutama terkait re-klasifikasi pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan, menjadi berdasarkan kegiatan ekonomi yang terdiri dari jenis
belanja personil, belanja modal, dll (perubahan dari T account menjadi I account).
Sebelumnya, klasifikasi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan distortif dari segi
karakteristik belanja, mengingat dalam item pengeluaran pembangunan juga dimungkinkan
pengeluaran untuk administrasi (personil).

40
 Harmonisasi regulasi UU otonomi daerah dengan UU sektoral. Regulasi yang
ada saat ini belum menyentuh permasalahan duplikasi antara tingkatan
pemerintahan dan sesama tingkat pemerintah yang mungkin terjadi dengan
adanya implementasi dari SPM terkait dengan pembagian urusan pemerintahan.
Selain itu, dengan adanya penetapan SPM dan juga perkembangan akan
banyaknya penetapan UU sektoral yang relatif lebih baru dibandingkan dengan
UU otonomi daerah, maka terdapat legal constraint untuk tetap menjadikan UU
otonomi daerah sebagai acuan penyesuaian dari UU sektoral. Sesuai dengan UU
No. 14 Tahun 2001 mengenai tata perundangan, dalam tingkatan yang sama
regulasi yang lebih baru otomatis dapat menganulir regulasi lama. Aspek legal
merupakan latent issue dari kebijakan desentralisasi secara umum, tidak hanya
menyangkut permasalahan mengenai duplikasi belanja antar tingkat
pemerintahan. Kompleksitas dari kebijakan desentralisasi, juga
mengimplikasikan bahwa formulasi dan perbaikan regulasi selama ini tetap
merupakan proses karena tidak dimungkinkan untuk sepenuhnya complete.

 Penguatan institusi untuk koordinasi perencanaan pembangunan di tiap


tingkatan pemerintahan. Penguatan institusi untuk menghindari duplikasi
ataupun rendahnya alokasi pengeluaran untuk sektor pelayanan dasar dapat
berupa kebijakan pemerintah pusat diarahkan untuk pemberian insentif bagi
kerjasama antar daerah.

 Permasalahan duplikasi belanja pusat dan daerah, juga perlu ditangani tidak
hanya untuk kegiatan yang tercakup dalam anggaran pemerintah, tetapi juga
pembenahan koordinasi kegiatan pemerintah untuk pengeluaran yang sampai
saat ini masih bersifat off-budget. Misalnya dari kegiatan pemerintah baik itu
pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah yang dibiayai dari hibah.
Memasukkan dana-dana atau pembiayaan off-budget menjadi on-budget, harus
dilakukan secara simultan baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah.

41
7
Desentralisasi Ekonomi

Proses desentralisasi dan otonomi daerah akan dianggap gagal apabila APBD
menjadi panglima dan menomorduakan isu-isu penting lainnya seperti kemiskinan,
pengangguran, buruknya pelayanan pemerintah. Upaya penerapan good
governance di pemerintah daerah haruslah dijadikan dasar bagi pengeluaran APBD
yang lebih tepat sasaran dan mempunyai dampak signifikan bagi pertumbuhan
ekonomi daerah yang kemudian dapat menciptakan lapangan kerja dan
memperbaiki pendapatan masyarakat.

Apapun definisi desentralisasi yang dipilih, harus terjadi suatu harmonisasi yang
baik antara desentralisasi politik, administrasi, dan fiskal. Desentralisasi politik pada
intinya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan
suatu kebijakan, sedangkan desentralisasi administrasi atau desentralisasi manajerial
memberikan petunjuk bagaimana implementasi dari pengalihan kewenangan fungsi
tersebut. Desentralisasi fiskal kemudian menyediakan pembiayaan untuk
pengalihan kewenangan tersebut.

Pelaksanaan desentralisasi di berbagai negara di dunia tidak mempunyai pola yang


sama dan juga tidak ada jaminan pasti bahwa desentralisasi akan bermanfaat bagi
perekonomian suatu negara. Dengan kata lain, berhasil tidaknya desentralisasi dan
sekaligus dampaknya bagi perekonomian suatu negara akan sangat tergantung pada
bagaimana desentralisasi itu didesain dan diimplementasikan. Apabila melihat
desain dari desentralisasi, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi dapat berasal
dari inisiatif pemerintah pusat (top-down) dan bisa juga berasal dari pemerintah
daerah (bottom-up) (Bailey, 1999). Pendekatan top-down umumnya dilakukan negara-
negara yang sebelumnya menganut negara kesatuan dengan tingkat sentralisasi
yang besar dimana pemerintah pusat yang tadinya begitu kuat secara bertahap harus
menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah, dan dengan
sendirinya pemerintah daerah mempunyai posisi lebih kuat dibandingkan
sebelumnya. Negara-negara seperti Indonesia, Cina, India, dan Australia bisa
dikategorikan dalam kelompok ini. Sedangkan pendekatan bottom-up umumnya
dilakukan negara-negara yang kita kenal sebagai negara federal dimana beberapa
propinsi atau negara bagian memutuskan bergabung menjadi suatu negara federal

42
dengan tetap memperhatikan otonominya. Tidak bisa juga disimpulkan bahwa,
misalnya, negara federal akan lebih tinggi tingkat desentralisasinya dibandingkan
negara kesatuan, paling tidak dari sisi fiskal. Sebagai contoh, Malaysia yang sejak
berdiri berbentuk negara federal mempunyai persentase pengeluaran dan
penerimaan daerah (dibandingkan nasional) yang lebih rendah dibandingkan
Indonesia, bahkan pada saat dimana Indonesia belum melaksanakan desentralisasi
tahun 2001 (Sato, 2004).

Satu hal lagi yang sering menjadi perdebatan banyak pihak adalah apakah
desentralisasi memang mendatangkan manfaat bagi suatu bangsa atau lebih spesifik
lagi bagi perekonomian suatu negara. Menurut Bird dan Vaillancourt (1998), banyak
negara sedang berkembang yang mengimplementasikan berbagai bentuk
desentralisasi sebagai salah satu upaya keluar dari tidak efektif dan tidak efisiennya
fungsi pemerintahan, ketidakstabilan makroekonomi nasional, dan rendahnya
pertumbuhan ekonomi. Pandangan seperti ini jelas meletakkan desentralisasi dalam
posisi sebagai panacea atau obat bagi semua penyakit dan masalah. Dalam kenyataan,
harapan tinggi itu sering tidak tercapai oleh banyak negara yang tidak
mempersiapkan desain dan implementasi desentralisasi dengan matang. Di negara-
negara tersebut, desentralisasi malah menjadi plague atau tambahan beban yang
hanya memberatkan kondisi perekonomian negara tersebut. Secara umum, bisa
dikatakan bahwa desentralisasi adalah suatu kesempatan yang dimiliki setiap negara
di dunia untuk sekaligus melakukan koreksi politik dalam bentuk pelaksanaan
demokrasi yang lebih merata dan memperbaiki perekonomian negara yang mungkin
sedang mengalami stagnasi. Akan tetapi, pencapaian ideal dari pelaksanaan
desentralisasi baru akan terwujud apabila anggaran daerah (APBD) dapat benar-
benar merefleksikan preferensi warga lokal dan kapasitas institusi (sumber daya
manusia) lokal sudah benar-benar dapat diandalkan. Apabila persyaratan di atas
tidak terpenuhi, ada kemungkinan desentralisasi hanya akan menciptakan tambahan
biaya di tingkat lokal, berkurangnya efisiensi pelayanan masyarakat, membesarnya
kesenjangan pendapatan, atau bahkan mengganggu stabilitas makroekonomi. (Bird
and Vaillancourt, 1998).

Argumen bahwa desentralisasi dapat membantu menyelesaikan masalah


perekonomian nasional dimulai dari prinsip dasar bahwa pemerintahan daerah
(lokal) dapat menyelenggarakan layanan publik bagi masyarakatnya dengan biaya
yang lebih rendah atau lebih efisien dibandingkan pemerintahan pusat. Efisiensi itu
muncul karena pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya
sekaligus bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut dengan cara yang paling efisien.
Selain itu, pemerintah daerah juga akan bereaksi lebih cepat apabila kebutuhan
tersebut muncul dan pada akhirnya, masyarakat lokal akan merasa puas atas
pelayanan pemerintah lokalnya. Kepuasan tersebut dapat kemudian mendorong
produktivitas masyarakat setempat yang kemudian bisa memicu pertumbuhan
ekonomi lokal yang lebih tinggi. Simplifikasi seperti di atas baru dapat muncul
apabila hubungan agen dan prinsipal (pemerintah daerah dan masyarakat lokal)
berjalan dengan baik. Dalam hubungan ini, diharapkan tentunya agar pemerintah
bisa menjadi agen yang sempurna bagi masyarakat lokal dengan mengutamakan
pencapaian kesejahteraan maksimal. Hambatan utama tercapainya kondisi ideal ini
datang dari tidak adanya mekanisme yang jelas bagi masyarakat lokal untuk

43
mengawasi atau mendisiplinkan pihak agen atau pemerintah daerah. Hambatan
lainnya muncul dari konflik kepentingan antara warga masyarakat lokal sendiri
yang biasanya dipicu oleh adanya sekelompok orang yang melakukan praktek rent
seeking (Sato, 2004).

Untuk menciptakan hubungan agen dan prinsipal yang konstruktif bagi


perekonomian daerah dan nasional, ada dua mekanisme politik yang bisa digunakan
yaitu ”voting with hand” dan ”voting with feet”. ”Voting with hand” tidak lain adalah
pilihan masyarakat lokal dalam pemilihan umum daerah untuk eksekutif dan
legislatif. Secara rasional, masyarakat lokal pasti memilih pimpinan daerah yang
dapat menjadi agen terbaik bagi mereka dan mengutamakan kepentingan
masyarakat luas. Apabila pemerintah daerah yang diharapkan cedera janji dan
wanprestasi, maka dalam pemilihan berikutnya kemungkinan besar pemerintah
daerah tersebut tidak didukung lagi oleh masyarakat lokal dan harus digantikan
oleh pihak lain. ”Voting with feet” adalah cara lain masyarakat lokal menunjukkan
dukungannya kepada pemerintah setempat. Secara ringkas, setiap warganegara
akan memilih tempat tinggal yang paling menyenangkan buat dirinya. Kriteria
paling menyenangkan di sini dapat dilihat dari beban pajak yang harus dibayarkan
di tempat tersebut, kualitas layanan publiknya, kualitas administrasi
pemerintahannya, dan hal-hal lainnya. Apabila suatu daerah dirasakan kurang
menyenangkan lagi bagi warganegara yang bersangkutan, maka dia bisa
memutuskan untuk pindah menjadi warga daerah lainnya yang dianggap lebih baik.
Dengan kata lain, pendekatan ini akan mendorong kompetisi antar pemerintah
daerah untuk bisa menjadi daerah ”idaman” bagi setiap warganegara. Apabila
terjadi desentralisasi di sisi penerimaan, melalui pemberian kewenangan pajak
daerah yang lebih besar, maka kompetisi yang terjadi adalah kompetisi insentif pajak
antar daerah dimana setiap daerah akan berupaya membuat tingkat pajaknya
semenarik mungkin bagi calon investor dan warganegara potensial agar mereka mau
menetap di daerah tersebut.

Seperti sudah sedikit dijelaskan di atas, motif utama dilakukannya desentralisasi di


negara sedang berkembang adalah untuk mendukung pembangunan ekonomi.
Pemerintah daerah dianggap lebih cocok membuat perencanaan pembangunan lokal
dan melaksanakannya, dibandingkan perencanaan pembangunan yang
tersentralisasi. Masyarakat lokal akan lebih menghargai upaya mengembangkan
perekonomian lokal yang dilakukan pemerintah lokalnya, dibandingkan oleh
pemerintah pusat. Meskipun begitu, timbul kekhawatiran bahwa dengan kekuasaan
pemerintah daerah yang begitu besar, pemerintah daerah akan rentan terhadap
korupsi dan praktek rent-seeking (Sato, 2004). Selain itu perlu diwaspadai
kemungkinan akan munculnya banyak kebijakan lokal yang bersifat populis dan
lebih bersifat redistributif dibandingkan dengan tujuan utamanya sendiri untuk
pembangunan. Karenanya perlu diperhatikan dengan seksama seberapa jauh
tingkat akuntabilitas pemerintah daerah bersangkutan terhadap konstituennya serta
bagaimana penerapan demokrasi di tingkat lokal. Persaingan antar pemerintah
daerah yang proporsional juga akan membantu menciptakan sistim insentif yang
akan menuju pada fokus pembangunan ekonomi untuk kemakmuran rakyat, dan
tidak semata kebijakan populis yang berumur pendek.

44
Salah satu syarat mutlak agar pembangunan ekonomi dapat berjalan lancar adalah
stabilisasi makroekonomi. Proses desentralisasi berpotensi dapat mengganggu
stabilisasi apabila kebijakan mengeluarkan obligasi daerah tidak terkontrol dengan
baik (Tanzi, 2002). Sebagian dari obligasi daerah itu mungkin diserap oleh
perbankan nasional dan manfaatnya mungkin akan dirasakan oleh pemerintah
daerah dan perekonomian lokal. Tetapi dari sisi makroekonomi, kondisi tersebut
berpotensi menciptakan crowding out yang mengurangi upaya mendorong investasi
swasta dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Lebih jauh lagi, keadaan ini
berpotensi meningkatkan laju inflasi. Artinya, pemerintah daerah terlalu fokus pada
keadaan yang menguntungkan mereka saja dan melupakan eksternalitas negatif
pada kondisi makroekonomi nasional. Kondisi ini akan makin mudah terjadi
apabila pemerintah daerah mempunyai bank sendiri dan cenderung menggunakan
bank itu untuk mendukung semua kebijakan ekonomi lokal tanpa mengedepankan
unsur kehati-hatian.

Dengan berbagai komplikasi di atas, ditambah dengan kondisi setiap negara yang
berbeda satu dengan yang lainnya, tidaklah mengherankan apabila belum ada
kesimpulan yang solid bahwa desentralisasi berdampak positif terhadap
pembangunan ekonomi nasional. Davoodi dan Zhou (1998) melakukan penelitian
untuk melihat hubungan antara desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi antar
negara. Kesimpulan utamanya menyatakan bahwa desentralisasi berdampak negatif
secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang,
dan untuk negara maju, tidak ditemukan adanya hubungan yang jelas antara
desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi. Zhang dan Zhou (1998) lebih menegaskan
kesimpulan tersebut melalui studi yang melihat hubungan antara pengeluaran
pemerintah daerah dan pertumbuhan ekonomi antar propinsi di Cina. Semakin
besar pengeluaran propinsi, semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi propinsi
tersebut. Kesimpulan ini dapat juga dilihat dari sudut lain dimana hubungan negatif
tersebut terjadi akibat persaingan antar daerah yang sebenarnya bermanfaat secara
nasional, terutama untuk mendorong perekonomian pasar yang dapat berdampak
positif bagi perekonomian nasional. Studi-studi lain yang dilakukan dalam rangka
mencoba menjelaskan dampak desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi
belum dapat menjawab pertanyaan mendasar secara meyakinkan, dan umumnya
studi-studi tersebut, termasuk studi yang sudah dikutip di atas, mempunyai
kelemahan metodologis yang mendasar dan dapat dengan mudah disimpulkan
bahwa kesimpulan yang dihasilkan tidak dapat dijadikan acuan.

Meskipun belum ada bukti empiris yang bisa diterima semua pihak, satu hal yang
makin diyakini semua pihak adalah pentingnya memberikan kewenangan yang
lebih besar kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan bertanggung jawab
terhadap pembangunan ekonomi daerahnya sendiri. Melalui konsep Market
Preserving Federalism (Sato, 2004) yang mendorong adanya persaingan ekonomi antar
daerah, pembangunan ekonomi daerah bisa dioptimalkan. Konsep tersebut
menekankan pada efisiensi dinamis, upaya memperbaiki pembangunan, dan inovasi
kebijakan, sekaligus menciptakan keseimbangan kekuatan dimana setiap unit
pemerintahan dapat membangun dan melindungi pasarnya sendiri tetapi tidak

45
memungkinkan unit tersebut untuk mendominasi pasar nasional atau merusak
tatanan pasar yang ada. Kondisi ideal akan tercapai apabila pemerintah daerah
berkompetisi antar mereka untuk menarik investor menanamkan modalnya di
daerah mereka, dan pada saat yang sama, pemerintah pusat menjamin tidak adanya
hambatan pergerakan barang dan orang antar daerah. Dengan kondisi tersebut,
pemerintah daerah akan terpacu untuk menyediakan infrastruktur terbaik dan
menciptakan peraturan daerah yang kondusif bagi investor. Pemerintah pusat juga
akan berusaha sekuat tenaga mencegah terjadinya kemungkinan hambatan
pergerakan orang dan barang antar daerah yang sangat mungkin dibuat oleh
beberapa pemerintah daerah, sekaligus melakukan fungsi pengawasan dan supervisi
terhadap otonomi daerah itu sendiri. Perekonomian nasional jelas akan menerima
manfaat optimal dalam bentuk pertumbuhan ekonomi yang stabil, dengan
penerapan Market Preserving Federalism.

Suatu studi mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi


di Indonesia mengindikasikan bahwa desentralisasi dari sisi penerimaan
mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangkan
desentralisasi pengeluaran tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan di daerah (Fauziah, 2008). Penyebab dari desentralisasi penerimaan
memperlambat pertumbuhan diduga sebagai akibat pemerintah daerah yang
berorientasi pada peningkatan PAD bukannya PDRB, sehingga mengabaikan
perbaikan iklim investasi daerah.

Pada tahun 2004, KPPOD menganalisis 1.025 Perda dan menemukan 709 Perda
diantaranya mengandung sebanyak 1.030 jenis pelanggaran yang berkaitan dengan
menghambat perekonomian. Sejak tahun 2001 telah dikeluarkan kurang lebih
sebanyak 13.000 Perda yang sekitar 3.000 diantaranya dikategorikan bermasalah dan
direkomendasikan direvisi atau dicabut oleh Departemen Keuangan. Perda yang
bermasalah ini mengandung potensi untuk menimbulkan ekonomi biaya tinggi di
daerah yang akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi daerah.

Pada sisi desentralisasi pengeluaran, yang tidak mempunyai pengaruh signifikan


terhadap pertumbuhan ekonomi, bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
kekurangmampuan pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan daerah dan dalam mengeksekusi program.
Kedua, pada saat awal desentralisasi, mekanisme transfer masih belum lancar dan
terprogram dengan baik, sehingga daerah juga kesulitan dalam merencanakan dan
mengeksekusi program pembangunannya. Ketiga, belanja investasi biasanya
memerlukan beberapa waktu untuk mulai menampakkan hasilnya. Apalagi
mayoritas daerah di Indonesia masih kurang baik pembangunan infrastruktur dan
kapasitas SDM-nya. Salah satu bentuk kontribusi desentralisasi terhadap
pembangunan ekonomi nasional adalah dalam menghadapi disparitas
perekonomian antar daerah. Dalam banyak kasus, desentralisasi dipakai sebagai
alat untuk mengatasi atau meredam dampak negatif dari disparitas itu sendiri (Tanzi,
2002). Disparitas perekonomian antar daerah biasanya berkembang menjadi masalah
politik yang serius apabila terjadi di negara yang mempunyai perbedaan etnik,

46
bahasa, atau budaya yang kompleks. Akan menjadi lebih rumit lagi apabila
kekayaan sumber daya alam negara tersebut berlokasi hanya di beberapa daerah saja.
Untuk negara yang menganut sentralisasi, masalah terakhir ini tidak akan menjadi
hambatan serius karena pemerintah pusatlah yang kemudian bertanggung jawab
untuk mengalokasikan penerimaan yang didapat dari sumber daya alam tersebut
untuk kepentingan nasional. Untuk negara yang menjalankan desentralisasi, kondisi
tersebut harus ditangani dengan hati-hati karena berpotensi menimbulkan masalah
politik yang serius seperti konflik berkepanjangan di Nigeria. Salah satu yang bisa
dilakukan untuk meredam potensi konflik adalah upaya menerapkan standar
minimum pelayanan di semua daerah dalam satu negara. Pemerintah pusat jelas
merupakan pihak yang bertanggung jawab mengawasi dan memonitor pencapaian
standar tersebut, sekaligus memberikan alokasi dana bagi daerah yang tidak atau
kurang mampu. Dalam melakukan fungsinya melakukan redistribusi pendapatan,
pemerintah pusat akan mengalami kesulitan apabila kekayaan sumberdaya alam
terkonsentrasi hanya di satu daerah dan daerah tersebut menganggap dirinya
berbeda secara etnis maupun budaya dengan daerah lainnya. Skema yang tepat dari
hubungan keuangan pusat dan daerah dapat menjadi alat yang efektif bagi
pemerintah pusat menjalankan fungsi redistribusi pendapatannya.

Satu aspek dari pembangunan ekonomi yang tidak dapat dilewatkan, terutama
untuk negara sedang berkembang seperti Indonesia, adalah masalah kemiskinan.
Dengan adanya desentralisasi, pertanyaan besar yang muncul adalah siapa yang
kemudian bertanggung jawab mengatasi masalah kemiskinan dan mengurangi
jumlah orang miskin. Dari sisi positif, desentralisasi berpotensi mendorong
partisipasi kelompok miskin dalam proses penyusunan anggaran di daerah agar
anggaran tersebut berpihak pada kepentingan orang miskin dan ada upaya
monitoring yang serius agar anggaran itu tepat sasaran (Braun and Grote, 2002).
Selain itu desentralisasi juga akan memaksa pemerintah daerah untuk memperbaiki
kualitas layanan publik dasar kepada orang miskin dan memperbaiki efisiensi
program mereka sendiri. Untuk memastikan bahwa desentralisasi memang akan
mendorong upaya mengurangi kemiskinan, syarat utama yang harus dipenuhi
adalah adanya interaksi antara desentralisasi politik, administrasi, dan fiskal dalam
menciptakan program yang dapat mengurangi kemiskinan. Upaya yang fokus
hanya pada satu jenis desentralisasi biasanya tidak akan memberikan hasil yang
memadai (Braun and Grote, 2002). Desentralisasi politik dan administrasi secara
bersamaan menjadi prasyarat awal dalam mengatasi masalah kemiskinan dimana
partisipasi kelompok miskin dan akuntabilitas pemerintah daerah hanya dapat
terjadi apabila memang sudah ada desentralisasi politik. Desentralisasi administrasi
kemudian memperkuat kondisi tersebut melalui penentuan dan pembentukan
institusi yang bertanggung jawab menjalankan proses tersebut. Desentralisasi fiskal
menjadi bagian yang melengkapi persyaratan awal tadi agar ada kepastian bahwa
semua program dan target yang diharapkan dapat dilaksanakan.

DESENTRALISASI DAN DISPARITAS PEREKONOMIAN DAERAH

47
Ketidakseimbangan perekonomian antar daerah di Indonesia harus dianggap
sebagai masalah paling serius dalam perekonomian nasional dan dalam masalah
inilah seharusnya desentralisasi bisa memberikan kontribusi yang paling signifikan.
Seperti sudah dijelaskan di atas, desentralisasi juga berpotensi membuat disparitas
semakin parah apabila tidak ada kebijakan khusus yang memprioritaskan upaya
mengurangi kesenjangan itu sendiri. Kesenjangan perekonomian antara daerah
sendiri adalah gejala alamiah yang terjadi di hampir semua wilayah di dunia,
termasuk di negara maju. Italia, misalnya, mempunyai kesenjangan perekonomian
yang besar antara wilayah utara dan wilayah selatan. Cina yang mempunyai
pertumbuhan ekonomi spektakuler praktis bergantung pada pertumbuhan wilayah
pantai timurnya. Di Amerika Serikat, orang pasti bisa merasakan adanya
kesenjangan besar antara wilayah pantai barat dan timur, dengan wilayah selatan.
Yang lebih ekstrim lagi, perekonomian Asia Timur (termasuk Asia Tenggara) yang
dianggap sebagai wilayah dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat, ternyata
terkonsentrasi di satu wilayah metropolitan, Tokyo. Sama halnya dengan
perekonomian Thailand yang terkonsentrasi di metropolitan Bangkok.

Meskipun tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, kesenjangan antar daerah tetap harus
diupayakan untuk dikurangi. Salah satu prinsip dasar yang harus dipegang para
pengambil kebijakan adalah bahwa kesenjangan perekonomian antar daerah masih
dapat ditoleransi sejauh tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional dan
tidak menciptakan ketidakmerataan pendapatan yang luar biasa dalam masyarakat.
Dengan kata lain, upaya melakukan redistribusi pendapatan masyarakat haruslah
mendapatkan prioritas utama dibandingkan redistribusi perekonomian daerah. Satu
hal lagi yang harus dilakukan dalam upaya mengurangi kesenjangan perekonomian
antar daerah adalah mengurangi jarak antara daerah terkaya dengan daerah
termiskin, melalui upaya khusus untuk mengangkat daerah termiskin secara
signifikan.

Pemikiran ini mencoba mengemukakan kesempatan dan peluang bagi


perekonomian Indonesia dengan telah dilaksanakannya desentralisasi selama lima
tahun. Dari sisi konseptual, jelas bahwa desentralisasi adalah suatu kesempatan
emas bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan di berbagai aspek
terutama politik, administrasi, dan fiskal. Lebih jauh lagi, desentralisasi dapat
memberikan pengaruh positif terhadap upaya pemulihan ekonomi nasional yang
saat ini mungkin dirasakan lambat. Potensi ekonomi Indonesia yang begitu besar
mungkin tidak akan optimal kalau hanya diurus oleh satu pemerintah pusat yang
sentralistis dan mengganggap tidak penting peran pemerintah daerah. Pemerintah
daerah harus diberikan kesempatan memanfaatkan secara optimal keunggulan
daerahnya sekaligus berani bersaing dengan sesama daerah di Indonesia atau
bahkan dengan daerah lain di luar negeri. Persaingan yang sehat antar daerah
dengan didukung fungsi pemerintah pusat sebagai regulator yang mengawasi
persaingan tersebut niscaya akan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi
nasional yang berkesinambungan.

48
Desentralisasi sendiri tidak boleh dianggap selesai, bahkan apabila urusan
pembagian kewenangan dan keuangan antar daerah sudah dianggap beres.
Keberhasilan Desentralisasi harus diukur dari kemampuan pemerintah daerah yang
lebih mandiri dalam menyejahterakan masyarakat lokal sekaligus menjamin hak-hak
politiknya. Bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan
kemudian mentransformasikannya dalam bentuk penciptaan lapangan kerja baru
dan perbaikan pendapatan masyarakat menjadi tugas utama setiap pemerintah
daerah di Indonesia. Inisiatif lokal atau kebijakan ekonomi lokal dapat menjadi awal
penggerak pertumbuhan ekonomi tersebut dimana kebijakan tersebut sebaiknya
difokuskan pada pengendalian inflasi lokal yang secara bersama-sama akan sangat
menolong upaya pengendalian laju inflasi di tingkat nasional. Desentralisasi
ekonomi adalah langkah berikut dari tahapan desentralisasi, setelah desentralisasi
fiskal, yang harus segera dilakukan di semua daerah di Indonesia.

Desentralisasi di Indonesia juga menghadapi tantangan untuk dapat membantu


memecahkan masalah kesenjangan antardaerah yang begitu besar. Segera
dilaksanakannya standar pelayanan minimum secara nasional mungkin merupakan
langkah awal yang strategis dan fundamental. Dengan suatu jaminan bahwa setiap
warganegara dimanapun dapat menikmati paling tidak pelayanan publik yang
memenuhi standar minimum adalah resep ampuh untuk mengurangi ketidakpuasan
akibat adanya ketimpangan yang kadang-kadang dirasakan terlalu mencolok.
Standar tersebut juga dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi pelaksanaan otonomi
daerah bagi pemerintah daerah sendiri, terutama daerah hasil pemekaran.
Penerapan standar minimum secara nasional diharapkan dapat ikut memperbaiki
infrastruktur dasar di daerah yang kemudian mungkin bisa menjadi daya tarik
dilakukannya kegiatan ekonomi lebih banyak di daerah tersebut.

Referensi

Bailey, Stephen J.(1999),”Local Government Economics : Principles and Practice”,


MacMillan Press Ltd., Great Britain.

Bird, Richard and Francois Vaillancourt (1998), “Fiscal Decentralization in


Developing Countries : An Overview”, in Richard M. Bird and Francois Vaillancourt
(eds), Fiscal Decentralization in Developing Countries, Cambridge University Press,
United Kingdom.

Braun, Joachim Von and Ulrike Grote (2002),” Does Decentralization Serve the
Poor ?”, in Ethisham Ahmad and VitoTanzi (eds), Managing Fiscal Decentralization,
Routledge, London.

Brodjonegoro, Bambang (2002), “Fiscal Decentralization in Indonesia”, in Hadi


Susastro, Anthony L Smith, and Han Mui Ling (eds), Governance in Indonesia :

49
Challenges Facing the Megawati Presidency, The Institute of Southeast Asian Studies,
Singapore

Brodjonegoro,Bambang (2004),” Indonesia Decentralization After the Revised Laws :


Toward A Better Future ?”, presented at the International Symposium on Fiscal
Decentralization in Asia Revisited, Hitotsubashi University, Kunitachi, Japan.

Brodjonegoro, Bambang P.S, Telissa Falianty, and Beta Y. Gitaharie (2005),


“Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia”, Economics
and Finance in Indonesia, Vol 53, No.1, Jakarta

Davoodi, H and H.Zhou (1998),”Fiscal Decentralization and Economic Growth : A


Cross Country Study, Journal of Urban Economics 43 (198), 244 - 257

Fauziah (2008), “Fiscal Decentralization and Economic Growth: Evidence from


Indonesia”, Journal of Economics and Finance Indonesia, Jakarta.

Giugale, Marcelo M. And Steven B Webb (2000),”Acheivements and Challenges of Fiscal


Decentralization : Lessons from Mexico”, The World Bank, Washington DC.

Guevara, Miliwida (2004),” The Fiscal Decentralization Process in the Philippines :


Lessons from Experience, presented at the International Symposium on Fiscal
Decentralization in Asia Revisited, Hitotsubashi University, Kunitachi, Japan.

Sato, Motohiro (2004),”Fiscal Decentralization in Asia Revisited : A Theoretical


Foundation, presented at the International Symposium on Fiscal Decentralization in Asia
Revisited, Hitotsubashi University, Kunitachi, Japan

Tanzi,Vito (2002),”Pitfalls on the Road to Fiscal Decentralization”, in Ethisham


Ahmad and VitoTanzi (eds), Managing Fiscal Decentralization, Routledge, London.

Zhang, T. And H.Zhou (1998),”Fiscal Decentralization, Public Spending, and


Economic Growth in China”, Journal of Public Economics 67 (1998), 221 - 240

50
Appendix: Perbandingan Internasional Kebijakan
Desentralisasi Fiskal

Hambatan dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal mungkin tidak hanya kasus unik
yang terjadi di Indonesia. Negara-negara lain yang menerapkan kebijakan
desentralisasi, untuk tingkatan tertentu, juga mengalami tantangan serupa, misalnya
masalah tingginya pertumbuhan sektor publik, unintended respon dari otonomi
penerimaan yang relatif terbatas, kurangnya disiplin fiskal dan kendala soft budget
constraint dalam mekanisme sistem transfer.

Dari sistem dana perimbangan di Indonesia, kebijakan DAU terkait dengan


perbaikan formula terkait dengan azas dari alokasi berdasarkan fiscal gap dan
identifikasi atau pemilihan indikator yang lebih terukur untuk perhitungan
kapasitas fiskal. Penerapan formula fiscal gap dalam DAU yang belum sepenuhnya
murni diterapkan karena masing mengandung komponen historis alokasi minimum
yang terdiri dari komponen belanja gaji pegawai merupakan salah satu faktor yang
membatasi kemampuan dan efektifitas distribusi dari transfer DAU. Alokasi
minimum juga memberikan disinsentif bagi pemerintah daerah untuk efisiensi
belanja personil. Permasalahan formula transfer yang justru mengarah pada “big
government” juga merupakan salah satu kendala yang dihadapi negara berkembang
seperti yang terjadi di Filipina dan India. Untuk negara OECD, contoh kasus Italia
dan Spanyol yang justru mengalami peningkatan belanja personil pada saat
penerapan desentralisasi juga terkait dengan desain financing arrangements antar
tingkat pemerintahan (Joumard dan Giorno 2005).

Dalam hal pajak daerah, penetapan jenis pajak dan desain pajak daerah relatif
beragam antar negara. Beberapa negara seperti U.S dan Kanada menetapkan
otonomi yang luas untuk tingkatan propinsi, dan penetapan pajak daerah cenderung
merupakan kebijakan yang di formulasikan dan ditetapkan oleh tingkat
pemerintahan level propinsi. Oleh karena itu, otonomi penerimaan justru bertumpu
pada tingkat propinsi, dan salah satu ciri dari diskresi pengelolaan pajak tersebut
adalah tidak semua propinsi memiliki jenis dan struktur pajak yang sama. Pajak
daerah pada prinsipnya adalah pajak yang dalam penentuan tariff ataupun cakupan
basis pajak ditentukan oleh pemerintah daerah. Sementara itu, perubahan bertahap
untuk memobilisasi pendapatan dan juga sebagai stimulasi bagi pemerintah daerah
untuk meningkatkan SDM dalam administrasi pajak daerah, kewenangan untuk
penetapan tariff pajak dapat dimulai melalui percepatan pengalihan PBB (property
tax). Property tax dibanyak negara adalah pajak pemerintah daerah dan bukan
pemerintah pusat, seperti dalam kasus Indonesia. Namun demikian, aplikasi dari

51
negara-negara berkembang dalam hal administrasi property tax relatif tidak seragam.
Sebagian negara, seperti Cina dan India menetapkan pajak property sebagai bagian
dari pajak propinsi, sementara U.S dan Afrika Selatan merupakan contoh negara
yang menetapkan property tax sebagai pajak distrik ---pajak untuk tingkatan
pemerintahan kabupaten/kota.

Pinjaman daerah merupakan kebijakan yang belum dan memang dipertahankan


untuk tidak dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk saat ini. Namun demikian,
walaupun dalam praktiknya, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan untuk
penerusan pinjaman luar negeri, regulasi kebijakan mengenai batasan defisit
anggaran daerah juga telah diperbaharui dan Keputusan Menteri Keuangan
cenderung untuk meningkatkan batasan defisit atau pembiayaan melalui pinjaman.
Perubahan regulasi juga mengindikasikan bahwa sementara terdapat banyak daerah
yang tidak melakukan penyerapan anggaran secara penuh (realized surplus), dilain
pihak, juga didapati daerah-daerah yang memiliki tingkat defisit yang tinggi.
Sebagai perbandingan, India dan Argentina, mengalami defisit yang relatif tinggi,
ketika kran pinjaman daerah relatif sangat liberal dan tidak adanya constraint yang
cukup dan enforceable untuk pembatasan defisit ataupun pinjaman oleh pemerintah
daerah (Purfield 2003).

Tabel A1 Mekanisme Pembatasan untuk Pinjaman Daerah: Komparasi antar Negara

Negara Apakah Administrasi Apakah Pinjaman Batasan Jumlah Index Otonomi


Daerah Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Pinjaman
boleh Domestik dibolehkan
Meminjam

India Ya Pusat Tidak Tidak 2.5

Jerman Ya Peraturan Peraturan golden-rule 2.7 (propinsi)

Kanada Ya market based market based Tidak 3.25 (propinsi)

Argentina Ya Pusat Boleh melalui Hampir semua 4 (propinsi)


Pemerintah propinsi menetapkan
Pusat008 pembatasan deb
service/revenue

Mexico Ya Pusat Dilarang Beberapa negara 2.8 (propinsi)


bagian menetapkan
batasan obligasi
terhadap transfer

Indonesia Ya Pusat; Boleh melalui Batasan maksimum NA


pinjaman Pemerintah Pusat; obligasi terhadap
belum pinjaman belum penerimaan daerah
dibolehkan dibolehkan untuk dan debt service
untuk tahun tahun 2001-2008
2001-2008

52
China Tidak Dilarang Dilarang NA NA

Afrika Selatan Ya Ditentukan Hanya dibolehkan Tidak ada NA


oleh Pusat dalam bentuk pembatasan, tapi
domestic currency penjaminan oleh
pemerintah pusat
tidak dibolehkan

Sumber: Purfield (2003)

Dalam hal otonomi khusus, penerapan asymmetric decentralisation diterapkan lebih


pada faktor historis. Tidak ada keterkaitan antara otonomi penerimaan dengan
penerapan otonomi khusus. Dana otonomi khusus untuk Papua dan Aceh lebih
bersifat adhoc lump-sum grants dan bukan didasarkan atas diskresi pengelolaan
pajak daerah maupun kebutuhan atas pelayanan publik atau expenditure need.
Sepertinya untuk saat ini, prioritas pemerintah tidak pada penentuan besaran dana
dari otonomi khusus per se, tapi lebih pada efektifitas penggunaan dana tersebut
yang saat ini diserahkan dalam bentuk block grants. Oleh karena itu, selain dana
otonomi khusus, pemerintah juga menyalurkan dana infrastruktur secara lump-sum
di dua daerah ini sebagai salah satu sektor prioritas nasional. Sebagai perbandingan,
Spanyol dan juga Kanada termasuk dua negara yang menetapkan asymmetric
decentralization yang selain didasarkan pada kondisi historis otonomi wilayah
tersebut, dalam konteks fiskal, juga dikaitkan dengan keleluasaan pengelolaan pajak
daerah. Hal yang sama juga diterapkan pada sistem desentralisasi fiskal di Spanyol
(Box 1).

Box 1 Spain Foral System: Penerapan Asymmetric Decentralization

Spanyol mengadopsi asymmetric decentralization dari segi financing arrangements untuk


dua wilayah, yaitu Pais Vasco dan Navarra. Kedua wilayah ini yang terkaya di Spanyol
berhak untuk mendapatkan hampir seluruh penerimaan dari pajak yang berasal di jurisdiksi
kedua wilayah tersebut. Otomatis, Pais Vasco dan Navarra, tidak diwajibkan untuk
kontribusi dalam pool equalization grants.

Pembedaan financial arrangement untuk kedua wilayah ini, the foral system, didasarkan
pada pengumpulan pajak sudah selayaknya dimanfaatkan untuk wilayah dimana pajak
tersebut dipungut, sementara sistem financial arrangement untuk wilayah lainnya, the
common system, menetapkan bahwa sebagian besar pajak jatuh sebagai pajak pusat dan
daerah dapat memperoleh equalization grants yang dihitung utamanya berdasarkan
populasi. Untuk itu, the foral system mengacu pada azas manfaat (benefit) dari pengumpulan
pajak sementara the common system mengacu pada kebutuhan fiskal (need).

Dalam hal ini, pembatasan perlakuan khusus dalam bentuk penetapan pajak yang otonom
hanya untuk kedua wilayah ini adalah karena perluasan perlakuan khusus dapat
berimplikasi pada menurunnya total dana transfer yang tersedia untuk equalization grants.
Pemberlakuan asymmetric decentralization juga akan membuat daerah-daerah lainnya untuk
menuntut perlakuan yang sama. Namun, dalam kasus Spanyol, kedua wilayah yang
mendapatkan perlakuan khusus dalam financial arrangement, secara ekonomi relatif kecil
dari keseluruhan perekonomian nasional. Pais Vasco dan Navarra GDRP hanyalah sebesar
masing 6.4 percent dan 1.7 percent dari total GDP Spanyol. Oleh karena itu, pencabutan

53
perlakuan khusus untuk kedua wilayah ini juga tidak akan berpengaruh banyak terhadap
pool equalization grants.

Sumber: Joumard dan Giorno (2005), http://www.worldbank.org/mdf/mdf1/asymmet.htm

Selain itu, dari sisi pengeluaran, tantangan kebijakan desentralisasi terkait dengan
expenditure assignment, adalah kesinambungan dari devolusi pengeluaran yang
belum banyak terkait dengan upaya efisiensi pengeluaran dan peningkatan
efektifitas belanja pemerintah. Salah satu kebijakan adalah dengan penetapan SPM
terutama untuk pelayanan dasar. Isu yang terkait dengan penerapan SPM di
Indonesia adalah koordinasi dengan departemen sektoral terutama untuk penetapan
indikator (Nota Keuangan 2009), dan belum jelasnya hubungan antara sumberdaya
(resource constraint) dengan penetapan SPM (Martinez-Vazquez et al. 2004,
Brodjonegoro 2004). Dalam hal ini, menurut Martinez et al. (2004), isu serupa juga
dihadapi oleh negara berkembang lainnya seperti di Tanzania, Latvia, dan Ukraine.7

Pada saat ini, penerapan SPM yang relatif lambat untuk sektor pelayanan dasar juga
diakibatkan oleh belum terintegrasinya proses perencanaan dan penetapan anggaran.
Perencanaan relatif sangat bersifat umum, dan pada akhirnya penetapan anggaran
cenderung tidak berdasarkan rencana strategis yang dikembangkan. Terkait dengan
proses perencanaan, DPD telah mengembangkan metode untuk memfokuskan
perencanaan pada tingkat kabupaten/kota. Dalam hal ini, tahapan perencanaan
tidak perlu kembali dilakukan ditingkat propinsi dan pusat, selain untuk upaya atau
memfasilitasi regulasi yang dapat mendukung implementasi perencanaan oleh
pemerintah daerah.

Perbaikan rancangan kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menjamin


konsistensi proses kebijakan desentralisasi. Berikut tinjauan pengalaman negara-
negara lain mengenai desentralisasi fiskal, dengan fokus pada empat negara: Jepang,
Vietnam, China, dan India. Pemilihan empat negara ini, secara umum, adalah karena
negara-negara ini sudah menerapkan standar pelayanan minimum (SPM) baik untuk
tingkat nasional maupun variasi penerapan SPM di tingkat pemerintahan sub-
nasional, sementara pembiayaan pemerintah daerah di negara-negara ini masih
bergantung pada transfer antar-pemerintahan dalam bentuk block grant.

7 Pada prinsipnya, upaya mengaitkan pembiayaan dengan penetapan SPM per sektor dapat
didasarkan atas closed list dari pembagian urusan pemerintahan dengan asumsi cakupan
sektor ataupun urusan pemerintahan spesifik dan jelas sehingga dapat dikaitkan dengan
pembiayaan, seperti yang diterapkan di Tanzania. Sementara itu, urusan kewenangan daerah
untuk konteks Latvia dan Ukraine yang bersifat open list berimplikasi pada penyesuaian
SPM hanya pada sektor-sektor yang menjadi prioritas daerah dan disesuaikan dengan
sumberdaya daerah tersebut (Lihat Martinez et al. 2004).

54
Desentralisasi fiskal di Cina memberikan keunikan untuk dibandingkan dengan
kasus Indonesia mengingat kedua negara mulai dengan pendekatan perencanaan
terpusat untuk menjalankan program ekonomi pada tingkat pemerintahan yang
lebih rendah (Hofman dan Zhao 2007). Implementasi desentralisasi di Cina juga
dihadapkan pada permasalahan efektifitas pajak yang relatif kurang berkembang
terutama karena permasalahan dari extra-budgetary account, walaupun secara
umum mekanisme insentif “pajak daerah” relatif telah memacu pertumbuhan
ekonomi di Cina. Sementara India juga dapat memberikan gambaran kondisi
penerapan sistem pinjaman daerah yang relatif liberal dan kemudian melakukan
penataan kembali sistem pinjaman dan transfer antar tingkatan pemerintahan. India
adalah contoh negara demokratis yang melibatkan kebijakan sistem transfer dengan
penekanan pada tingkatan negara bagian atau propinsi. Dari empat negara tersebut,
kecuali India, semua negara adalah negara kesatuan yang mungkin merupakan
contoh transisi yang relatif mendekati karakteristik dari negara Indonesia. Kasus
desentralisasi fiskal Vietnam menampilkan transformasi dari sentralisasi
administratif ke dekosentrasi dengan tahapan yang lebih perlahan dibandingkan
dengan Indonesia dan Cina. Jepang juga menggambarkan contoh kasus dari gradual
atau incrementalist approach untuk penerapan kebijakan desentralisasi fiskal.

Jepang
Sejak satu dasawarsa terakhir terdapat kemajuan yang pesat dalam kebijakan
desentralisasi fiskal di Jepang. Pada April 2000, Decentralization Package Law yang
bertujuan meningkatkan otonomi daerah baik dari sisi belanja maupun penerimaan
daerah mulai diberlakukan.

Pembagian Kewenangan

Belanja publik termasuk belanja pendidikan dan infrastruktur sebagian besar


merupakan kewenangan pemerintah daerah, sedangkan pemerintah pusat menarik
pajak untuk mendapatkan penerimaan. Distribusi fungsi yang asimetris ini
menyebabkan terjadinya kesenjangan fiskal vertikal yang ditutup dengan transfer.
Dengan adanya bagian besar transfer yang diberikan bersama dengan diskresi dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah hanya memiliki sedikit otoritas.

Kondisi fiskal di Jepang masih ditandai dengan dominannya kebijakan yang


dirancang oleh pemerintah pusat. PDB pengeluaran (FY2001) berjumlah kurang lebih
502 triliun yen. Belanja pemerintah total menyumbang 121 triliun yen (24.2%).
Pemerintah pusat menyumbang 23 T yen (4.6%) dan pemda menyumbang 67 T yen
(13.5%). Selisihnya adalah Social Security Fund.

Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini, belanja pemda terutama pada sektor
yang berkaitan pada kehidupan sehari-hari. Tertinggi ada pada sektor kesehatan
publik dan sanitasi. Pemda juga mengawasi 70% dari total pekerjaan umum.
Sedangkan belanja nasional tertinggi adalah pada sektor pertahanan, hubungan
internasional, dan dana pensiun.

55
Gambar A1. GDP dan Keuangan Publik di Jepang

Sumber: “White Paper on Local Public Finance, 2003

Gambar A2. Porsi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah di Jepang

Sumber: “White Paper on Local Public Finance, 2003”

56
Perimbangan Keuangan

Sejak awal 70an, ketika ekonomi Jepang melambat dan memasuki periode stabil,
pemerintah pusat memberikan dana transfer yang sangat besar ke daerah miskin
dengan tujuan redistribusi pendapatan. Investasi publik meningkat pesat yang
ditujukan untuk redistribusi pendapatan dan menciptakan lapangan kerja, sehingga
akibatnya daerah miskin menjadi tergantung pada investasi pemerintah ini dan dana
transfer.

Sama seperti negara lainnya, ada dua macam dana perimbangan ke daerah yaitu
dana alokasi umum (block grant) dan dana alokasi khusus (matching grant).
Matching grant disebut “national reimbursement” yang ditentukan oleh kementerian
teknis, sedangkan block grant disebut “Local Allocation Tax” (LAT) yang dibawah
otoritas Kementrian Administrasi Umum.

LAT ditentukan dengan rasio sebagai berikut: 32% PPh individu, 35.8% PPh badan,
dan pajak minuman keras, 29.5% untuk pajak konsumsi dan 25% untuk pajak rokok.
94% LAT untuk pemerintah daerah dialokasikan berdasarkan kesenjangan fiskal
daerah tersebut, yaitu kebutuhan fiskal dikurang estimasi total penerimaan tiap
daerah. Jumlah total LAT pada tahun fiskal 2006 kurang lebih 15.9 triliun JPY (atau
USD 140 milyar).

Meskipun secara formal LAT ditentukan dengan formula, tetapi terdapat intervensi
terhadap formula ini. Dana talangan bisa dimasukkan dalam LAT, sehingga
pemerintah daerah cenderung tidak independen untuk menyelesaikan permasalahan
fiskalnya sendiri. Skema talangan dimasukkan dalam perhitungan kebutuhan fiskal
standar yang didasarkan pada formulasi yang rumit. Sebaliknya peningkatan
kapasitas fiskal daerah menyebabkan menurunnya jumlah LAT yang ditransfer ke
daerah. Hal ini menyebabkan daerah miskin mendapat insentif untuk tetap menjadi
miskin, sedangkan daerah kaya mendapat insentif untuk meningkatkan kapasitas
fiskalnya walaupun tidak menerima LAT. Akibat dari insentif yang berlawanan
antara daerah penerima LAT dan daerah bukan penerima LAT, kesenjangan
horizontal semakin melebar dan ketergantungan fiskal daerah miskin semakin tinggi.

India

India adalah negara berkembang dengan tradisi struktur federal yang dijalankan
secara demokratis. Pada kenyataannya, sistem federalisme di India adalah sangat
sentralistik dimana pemerintah pusat menguasai sumber-sumber penerimaan pajak
yang signifikan dan dijamin dengan kekuasaan untuk mencabut keputusan yang
dibuat pemerintah daerah. Dengan mempertimbangkan keragaman daerah di India
yang sangat tinggi, maka pemerintah pusat yang kuat diperlukan untuk menjaga
agar negara ini tidak pecah. Sedangkan bentuk federasi diadopsi untuk
menghormati keberagaman kepentingan nasional.

Setelah menerapkan sentralisasi selama tahun 1960an, India kemudian berpindah ke


tahapan desentralisasi fiskal. Bentuk yang diadopsi adalah meningkatkan porsi
negara bagian terhadap basis pajak yang dibagihasilkan yaitu pajak penghasilan
individu dan cukai. Selain itu pada tahun 1980an mulai dilakukan desentralisasi
kepada distrik (kabupaten). Ketika proses desentralisasi ini berlangsung, pemerintah

57
meningkatkan belanja sektor publik secara signifikan sehingga India mengalami
defisit anggaran yang tinggi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah
negara bagian. Hal ini kemudian menyebabkan ketidakstabilan makroekonomi yang
lantas menyebabkan krisis nilai tukar pada tahun 1991.

Alokasi Kewenangan

Sesuai dengan konstitusi India, pembagian kewenangan penerimaan dan belanja


didasarkan pada prinsip normatif pembagian kewenangan antar tingkat
pemerintahan. Barang publik yang bersifat nasional seperti pertahanan dan
perdagangan luar negeri merupakan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan
urusan lokal seperti pertanian dan pendidikan dasar adalah tanggung jawab
pemerintah daerah. Selain itu terdapat tugas bersama semisal pembangunan
ekonomi dan sosial.

Tabel A2. Alokasi Kewenangan di India

Tingkat
Tugas
Pemerintahan

Pertahanan, Hubungan luar negeri, perdagangan luar negeri, perbankan, asuransi, industri,
Pusat mineral, tenaga kerja, energi, transportasi kereta api dan udara, perkapalan, pengembangan
kota

Negara Bagian Pertanian, Pendidikan dasar, kesehatan dasar, jalan, koperasi, kesejahteraan sosial

Tugas Bersama Perencanaan sosial dan ekonomi, kehutanan, pendidikan tinggi

Sumber: Hitotsubashi Journal of Economics, 2000

Di sisi penerimaan, sebagian besar basis pajak yang bergerak, seperti pajak
penghasilan badan, dimiliki oleh pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah
menguasai basis pajak yang tidak berpindah. Pajak daerah meliputi pajak tanah dan
bangunan, pajak penghasilan pertanian, pajak motor, dan pajak penjualan. Ada
upaya untuk memisahkan basis pajak antara dua tingkat pemerintah tergantung dari
tingkat mobilitas basis pajak tersebut. Pemisahan ini dilakukan secara legal tetapi
tidak memenuhi kaidah ilmu ekonomi. Contohnya adalah pemerintah pusat
memungut pajak produksi, seperti cukai, sedangkan negara bagian memungut pajak
konsumsi, seperti pajak penjualan pada basis pajak yang sama.

Selain terdapat overlap pada sebagian besar basis pajak terutama untuk pajak tidak
langsung, konstitusi India juga mengizinkan negara bagian memungut beberapa
pajak yang menciptakan halangan transaksi barang dan jasa antar negara bagian.
Contohnya adalah pajak yang dikenakan pada negara bagian yang menjual, dan
negara bagian juga dapat mengenakan pajak bea masuk untuk barang konsumsi dari
negara bagian lain. Praktek ini tidak hanya akan mengganggu efisiensi alokasi
sumber daya antara negara bagian tetapi juga menciptakan konsekuensi negatif
terhadap pembangunan nasional.

58
Transfer

Karena basis pajak yang signifikan dikuasai oleh pemerintah pusat, terjadilah
kesenjangan fiskal vertikal yang perlu ditutup dengan transfer dari pemerintah
pusat. Pada tahun 1990, penerimaan dari PAD menyumbang sekitar 45% dari total
anggaran daerah, sedangkan sisanya dibiayai melalui dana perimbangan dan
pinjaman. Pemerintah pusat mengontrol secara ketat pinjaman yang dilakukan oleh
negara bagian.

Sebagai tambahan, kesenjangan fiskal horizontal yang disebabkan oleh


ketidakmerataan pembangunan antar daerah membuat pentingnya transfer untuk
mencapai tingkat pelayanan publik minimum dan pemerataan beban pajak. Transfer
dari pusat ke negara bagian dilakukan melalui tiga saluran: 1) Komisi Keuangan, 2)
Komisi Perencanaan, dan 3) Kementrian.

Tabel A3. Skema Transfer di India

Komisi
Bantuan Komisi Keuangan Kementrian
Perencanaan

Sifat Bebas/Berdasarkan formula Alokasi khusus

Porsi
38.67% 67.33%
(1990-95)

Sumber: Hitotsubashi Journal of Economics, 2000

Komisi Keuangan yang dibentuk atas rekomendasi dari Australian Grants’


Commission yang mengusulkan pembagian dari 1) Pajak penghasilan, dan 2) bea
cukai, antara pusat dan negara bagian (untuk mengurangi kesenjangan fiskal
vertikal) dan antar negara bagian (untuk mengurangi kesenjangan fiskal horizontal).
Pembagian ini didasarkan penilaian dan estimasi pengeluaran dan pendapatan
pemerintah pusat dan negara bagian. Transfer ini bersifat block grant.

Komisi Perencanaan memberikan hibah dan pinjaman pada negara bagian yang
ditujukan untuk pembiayaan pembangunan. Dukungan finansial ini perlu karena
negara bagian bertanggung jawab untuk mengembangkan ekonomi tetapi tidak
memiliki sumber penerimaan yang cukup untuk membiayai fungsi ini. Rencana
pembangunan yang secara finansial dibantu dan disetujui oleh Komisi Perencanaan
meliputi: i) irigasi, ii) pendidikan, iii) kesehatan publik dan iv) kesejahteraan sosial.
Signifikansi bantuan ini secara relatif meningkat, tetapi distribusinya masih bersifat
diskresi.

Komisi Perencanaan dan juga kementerian lain ikut mencampuri keputusan negara
bagian dalam skema pembangunan mereka dan sebagai akibatnya, kebutuhan lokal
dan kondisi lokal mungkin kurang diperhitungkan dalam perencanaan. Selain itu,
kesalahan manajemen dalam skema pembangunan yang dibiayai oleh utang telah
membuat beberapa negara bagian masuk dalam jeratan utang, dan meningkatkan
keterbatasan mencari kredit pada otonomi fiskal daerah.

59
China

Di tengah kesuksesan fenomenal China dalam membangun ekonominya, negara ini


kurang begitu sukses dalam memperluas basis pajak. Baik pemerintah pusat
maupun daerah belum mampu menjangkau basis pajak ke perusahaan-perusahaan
swasta yang tumbuh pesat sejak tahun 1980an, sehingga beban pajak lebih banyak
ditanggung oleh BUMN yang prospeknya mulai menurun. Pada tahun 1995, estimasi
menunjukkan bahwa dari tarif pajak rata-rata untuk pajak bisnis dan industri yaitu
sebesar 7,3%, tarif pajak untuk perusahaan bersama hanyalah 3,6% dan untuk
perusahaan swasta sebesar 3,3%.

Hal ini juga bisa dilihat dari kecenderungan penurunan penerimaan pajak
penghasilan perusahaan sebagai persentase dari GNP bersamaan dengan penurunan
porsi nilai BUMN dalam output industri total (Tabel 3). Sebagai akibatnya,
penerimaan pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap GDP juga berkurang.

Tabel A4. Rasio Penerimaan terhadap GDP

Rasio penerimaan dari pajak


Rasio penerimaan pusat dan Porsi nilai BUMN terhadap
Tahun penghasilan perusahaan
daerah terhadap GDP (%) output industri total (%)
terhadap GNP (%)

1985 22.4 8.23 64.9

1990 15.8 4.27 54.6

1993 12.6 2.11 47.0

1994 11.2 1.52 37.3

1995 10.7 1.53 34.0

1898 12.4 n.a. 28.5

Sumber: Hitotsubashi Journal of Economics, 2000

Selama tahun 1980an, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di China
didasarkan pada sistem kontrak fiskal. Kontrak bisa berupa macam-macam.
Umumnya, sistem kontrak fiskal ini membolehkan pemerintah provinsi mengambil
sebagian dari penerimaan pajak yang dipungut di daerahnya. Porsi yang diambil
bervariasi antar provinsi sampai dengan marjin maksimum adalah 100%. Kelebihan
sistem ini adalah terbentuknya hubungan positif yang kuat antara penerimaan lokal
dan pembangunan ekonomi lokal.

Selaras dengan prinsip “market preserving federalism”, pada gilirannya hal ini akan
memotivasi pemerintah daerah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi
regional karena mereka memiliki instrumen kebijkanan dan kemampuan untuk
memenuhi fungsi ini. Pada faktanya, kiat bisa melihat bahwa China sukses dalam
membangun ekonominya selama era 1980an. Di pertengahan 80an, pemerintah pusat
menerapkan reformasi perpajakan yang ditujukan untuk meningkatkan porsi
penerimaan pajak pemerintah pusat, tetapi usaha ini gagal karena penolakan yang
kuat dari pemerintah daerah, sehingga akhirnya sistem kontrak fiskal ini tetap
berjalan sampai tahun 1994.

60
Pada tahun 1994, dimulai reformasi perpajakan. Tujuannya ada dua, pertama
meningkatkan rasio penerimaan pemerintah terhadap GDP, dan kedua
meningkatkan rasio penerimaan pemerintah pusat. Berbeda dengan sistem kontrak
fiskal yang terdiferensiasi antar daerah, skema bagi hasil pajak ini bersifat formal.
Pembagian kewenangan perpajakan diberlakukan, dan dibentuk pula badan
pemungut pajak nasional. PPN juga dibagi hasilkan antara pusat dan daerah dengan
rasio 75:25. PPh individu dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah daerah sementara
kewenangan memungut PPh badan dialokasikan sesuai dengan kepemilikan
BUMN/D.

Tabel A5 Pembagian Kewenangan Pajak pada reformasi 1994

Pajak Perusahaan pada BUMN


Pusat
Bea cukai dll

PPh individu
Pajak Perusahaan pada BUMD, perusahaan bersama, dan swasta.
Daerah
Pajak Penghasilan Bisnis

PBB dsb

PPN
Bagi Hasil
Pajak SDA

Sumber: Hitotsubashi Journal of Economics, 2000

Reformasi 1994 ditujukan untuk membentuk sistem yang universal dan bagi hasil
dari atas ke bawah. Berlawanan dengan tujuan ini, pemerintah daerah merespon
dengan memperluas anggaran ekstra dan anggaran luar (off-budget) untuk
mencegah pemerintah pusat mengambil sumber daya fiskal dari mereka. Extra dan
off-budget adalah salah satu karakteristik khusus keuangan publik di China di mana
terdapat hubugan erat antara pemerintah dan BUMD.

Suatu estimasi menunjukkan bahwa nilai dari extra dan off-budget melebihi ratio
penerimaan pusat dan daerah (12% pada tahun 1998); secara total rasio penerimaan
aktual pemerintah bisa mencapai 25% dari GDP. Saat ini pemerintah daerah lebih
mengandalkan penerimaan-penerimaan ad-hoc dari aktivitas ekonomi, yang
dimasukkan ke off-budget. Hal ini mengorbankan efisiensi dari alokasi sumber daya
karena pungutan-pungutan ini bersifat distortif.

Desentralisasi fiskal di China setalah tahun 1970an memberikan kewenangan yang


lebih pada pemerintah daerah sehingga membantu meningkatkan perekonomian
daerah. Tetapi hal ini juga membawa konflik kepentingan mengenai penerimaan
antara pusat dan daerah. Selain itu, dalam proses pembangunan, kesenjangan antar
provinsi-provinsi di daerah pesisir dengan provinsi-provinsi di daerah barat
semakin meningkat. Pemerintah pusat sekarang menghadapi tugas memeratakan
kapasitas fiskal antar daerah yang belum dipertimbangkan oleh reformasi 1994.

61
Vietnam

Sistem desentralisasi di Vietnam dicirikan dengan dekonsentrasi dan desentralisasi


administrasi, dimana pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah pusat. Alokasi anggaran
termasuk investasi dilaksanakan dengan pendekatan pusat ke daerah, sehingga
kurang memperhatikan keunikan daerah dan tidak fleksibel. Hal ini menyebabkan
inefisiensi dalam belanja publik.

Penentuan alokasi oleh pemerintah pusat ke daerah dilakukan secara diskresi dan
tergantung dari negosiasi antar kementerian dan juga antar pusat dan daerah.
Konsekuensinya alokasi antar daerah mungkin bersifat distortif. Ada kecenderungan
daerah kaya justru akan mendapatkan alokasi belanja publik yang lebih besar,
sehingga mengakibatkan kesenjangan fiskal horizontal yang makin lebar.

Tabel A6. Besarnya Anggaran Pusat dan Daerah

1991 1995 1996 1997 1998 1999 2000


Pusat 61.2% 71.7 70.5 67.0 66.7 66.5 66.8
Daerah 38.8% 28.3 29.5 33.0 33.3 33.5 33.2
Sumber: Hitotsubashi Journal of Economics, 2000

Walaupun otonomi dalam belanja publik telah meningkat sejak tahun 1990an, pada
kenyataannya otoritas daerah untuk melakukan otonomi sangat terbatas karena
minimnya sumber daya fiskal daerah. Terdapat kesepakatan pajak antara pusat dan
daerah, yang agak mirip dengan kasus China sebelum reformasi 1994. Daerah
berhak mengambil kelebihan penerimaan pajak dari yang ditargetkan. Insentif yang
dimaksudkan adalah daerah termotivasi untuk memberdayakan sumber daya demi
pembangunan lokal. Walaupun insentif ini memberikan hasil, tetapi provinsi yang
kaya mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi lagi. Pemerintah daerah yang
miskin pada akhirnya terpaksa mengandalkan pada sumber ad-hoc untuk
membiayai belanja daerahnya.

Referensi

Hitotsubashi Journal of Economics, vol 41 (2), December 2000, Special Volume for
International Symposium on Decentralization and Economic Development in Asian
Countries.
Hofman, B., M. Zhao (2007). "Asian Development Strategies: China and Indonesia
Compared." Bulletin of Indonesian Economic Studies 43(2): 171.
Joumard, I. and C Giorno (2005). Getting the Most Out of Public Decentralisation in
Spain. OECD Economics Department Working Papers No. 436. OECD Publishing.

Martinez-Vazquez, J., J. Boex, and G. Ferrazzi. (2004). Linking Expenditure


Assignments and Intergovernmental Grants in Indonesia. ISP Working Paper 04-05,
AYSPS, Georgia State University.
Purfield, C. (2003). The Decentralization Dilemma: The Case of India. IMF
Yagi, K. (2004). “Decentralization in Japan”. Policy and Governance Working Paper
Series No. 30

62

You might also like