You are on page 1of 13

PERJALAN FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN ISLAM

Oleh: A. Khudori Soleh**

Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam


pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong
perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun
demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman,1 adalah suatu
kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula
dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan
dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan,
atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem.2 Pertama,
bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek
semata. Mesti difahami bahwa kebudayaan Islam menembus
berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan
berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-
pemikiran baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh
kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban
India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan
peminjaman beberapa pemikiran tidak harus
mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan.3
Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran
rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum
kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai
diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-
buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama
muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada
masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-
833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M),
Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq.4 Pada masa-masa
**
Makalah ini disampaikan dalam acara Stadium General (SG) oleh Majalah Pesantren
TILAWAH, PP. Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta, 09 Februari 2002.
1
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, (Jakarta, Rajawali,
1988), 8.
2
Renan, Averroes et l’Averroeisme, (Paris, 1887), 88; Duhem, Le systeme du monde,
(Paris, 1917), 321, sebagaimana dikutip Ibrahim Madkur, Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi,
(Jakarta, Rajawali Press, 1996), 11.
3
Ibrahim Madkur, Ibid, 12.
4
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York, Martin Press, 1986), 363. Watt
mencatat bahwa sebelum Hunain ibn Ishaq, penterjemahan karya-karya Yunani ini umumnya
dilakukan dari edisi bahasa Syiria kedalam bahasa Arab, sementara Hunain ibn Ishaq langsung
menterjemahkan dari bahasa Yunani kedalam bahasa Arab sekaligus mengkajinya secara filosofis.
Lihat, MM. Watt, Islamic Philosophy and Theology, (Edinburg, Edinburg University Press, 1992),
38. Ini pula yang menjadi catatan al-Ghurabi tentang banyaknya karya filsafat Yunani yang
diterjemahkan kedalam bahasa Arab bercampur dengan pandangan Neo-Platonis Kristen Syiria.
Lihat Ali Musthafa al-Ghurabi, Târikh al-Firâq al-Islami, (Kairo, Maktabah wa Mathba`ah, tt),
128-9.
Khudori/Perjalan Filsafat 2

ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam


masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh
(yurisprudensi) dan kalâm (teologi). Dalam teologi, doktrin
Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata’ (699-748
M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi
doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang,
dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760
M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-
849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar
ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M). 5
Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam
penggalian hukum (istinbâth) dengan istilah-istilah seperti
istihsân, istishlâh, qiyâs dan lainnya telah lazim digunakan.
Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbâth
dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-
767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal
(780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya
logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis
yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-
soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari
teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan
landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat
Yunani dalam Islam.6

A. Sumber Pemikiran Rasional Islam.


Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam
itu sendiri berawal? Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang
kritis, muslim maupun non-muslim,7 pemikian rasional-filosofis
Islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka
sendiri, dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan
upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan
realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam,
ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan
dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi
lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal
itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-
persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan
5
Louis Gardet & Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dîni, II, terj. Subhi Saleh dan Farid Jabr,
(Beirut, Dar al-Ulum, 1978), 76; Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1974),
53-56; Watt, Pemikiran Teologi & Filsafat Islam, (Jakarta, P3M, 1979), 73-86.
6
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi
Filsafat Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah, (edisi 4, Februari 1992), 56.
7
Lihat antara lain, Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 8; Louis Gardet dan
Anawati, Falsafat al-Fikr al-Dini, 77; CA. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam,
(Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991), 30; al-Jabiri, Takwîn al-Aql al-Arabi, (Markaz al-Tsaqafi
al-Arabi, 1991), 57
Khudori/Perjalan Filsafat 3

perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya


adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat
berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian
resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain,
(1) penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk
mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang
dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi
pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan
mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriyah
(zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau
pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak)
dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini
justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding
yang pertama. (3) Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-
persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung
dalam teks.8 Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan
perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak
atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata
‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an juga mencakup wanita
dan budak?
Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam
juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang
tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya
mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang
utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat
kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya
dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat
atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya.
Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis
(menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan
pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan,
tidak berkaki dan seterusnya.9 Semua itu menggiring para
intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk
berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode
pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda
dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya,
8
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9. Lihat pula, Noel J. Coulson, Hukum Islam
dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta, P3M, 1987), 4-8.
9
Selain berdasarkan renungan atas teks-teks suci, menurut Gardet, persoalan teologis ini
juga didorong oleh adanya polemik antara Kriten dan Yahudi di Syiria saat itu. Masalah yang
dibahas , antara lain, adalah soal kebebasan dan keterpaksaan manusia (taqdir) dan soal al-Qur`an
sebagai firman yang tidak ciptakan. Kaum muslimin ikut terlibat dalam kajian rumit ini dan
berusaha membela dan mempertahankan doktrinya dari serangan luar, sehingga pembahasan
kalâm (teologi Islam) bersifat apologis. Sampai perkembangannya yang cukup jauh, sifat apologis
tersebut ternyata belum juga hilang. Lihat Machasin, Kelahiran dan Pertumbuhan Ilmu Teologi,
makalah pengantar pada mata kuliah studi ilmu teologi, pada semester I program pascasarjana (S-
2), IAIN Yogya, 1997, tidak diterbitkan.
Khudori/Perjalan Filsafat 4

menurut Leaman,10 hanyalah terletak pada premis-premis yang


digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan
argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas
teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis
logis, pasti dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran dan
filsafat Yunani, lewat program penterjemahan.

B. Filsafat Yunani dalam Pemikiran Islam.


Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat,
menurut catatan para sejarawan,11 telah mulai di kenal dan
dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan
Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina
(wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke IV M. Kegiatan
akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh
penaklukan tentara muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada
masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Setidaknya ini
bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi
di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang
menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht (w.
667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica
Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan
menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa
Arab.12
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang di
terjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam periode ini, yakni
masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya pada
masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama
yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan
dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk
mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model
administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang
berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia
dan antropologi.13 Hanya saja, karena pemerintahan lebih
disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha
keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan
dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan
Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan

10
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10.
11
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York, Macmillan, Martin Press, 1986), 241-2.
12
Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York, Colombia University Press,
1983), 3-4.
13
Ibid, 5.Bahkan dilaporkan bahwa putra mahkota Umayyah, Khalifah ibn Yazid (w. 704
M), menjadi salah seorang yang menekuni ilmu kimia, setelah gagal menjadi khalifah. Lihat,
Philip K. Hitti, History of The Arabs, 240; Ahmad Amin, Dhuhâ al-Islâm, I, (Kairo, Maktabah al-
Nahdlah al-Mishriyah, tt), 3.
Khudori/Perjalan Filsafat 5

buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan


al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh al-Jabiri
dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional
Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan
epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab.14
Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan
metode filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan
yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang --kurang
lebih-- hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah
lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian,
materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai
akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi
pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya
yang dikategorikan dalam istilah ‘zindiq’.15 Untuk menjawab
serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama)
merasa perlu untuk mencari sistem berfikir rasional dan
argumen-argumen yang masuk akal, karena metode
sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab
persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak
dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan
bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi
telah menjadi bagian dari agama.16
Selanjutnya, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini,
dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan
oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku ‘Filsafat
Pertama’ (al-Falsafat al-Ûla), yang dipersembahkan untuk
khalifah al-Mu`tashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek
bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada
orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani.
Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha)
ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah
diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu
14
Al-Jabiri, Takwîn, 195;. Menurut Hasymi, saat itu sampai dibentuk tim khusus yang
bertugas melawat ke negeri-negeri sekitar untuk mencari buku pengetahuan apa saja yang pantas
diterjemahkan dan dikembangkan. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang,
1975), 227.
Diantara mereka yang dikenal berjasa dalam usaha penterjemahan karya-karya Yunani
kedalam bahasa Arab ini adalah Yahya al-Balmaki (w. 857 w), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain
ibn Ishaq. Lihat, Philip K. Hitti, History of The Arabs, 363. Watt mencatat bahwa sebelum Hunain
ibn Ishaq, penterjemahan karya-karya Yunani ini umumnya dilakukan dari edisi bahasa Syiria
kedalam bahasa Arab, sementara Hunain ibn Ishaq langsung menterjemahkan dari bahasa Yunani
kedalam bahasa Arab sekaligus mengkajinya secara filosofis. Lihat, MM. Watt, Islamic
Philosophy and Theology, (Edinburg, Edinburg University Press, 1992), 38. Ini pula yang menjadi
catatan al-Ghurabi tentang banyaknya karya filsafat Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa
Arab bercampur dengan pandangan Neo-Platonis Kristen Syiria. Lihat Ali Mussthafa al-Ghurabi,
Târikh al-Firâq al-Islami, (Kairo, Maktabah wa Mathba`ah, tt), 128-9.
15
Louis Gardet dan Anawati, Falsafat al-Fikr al-Dîni, I, 75-76
16
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge University Press, 1999), 95.
Khudori/Perjalan Filsafat 6

bergema.17 Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan


persoalan baru dalam pemikiran Islam; kesejajaran antara
pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan
filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam
semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya
dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang
partikuar, apa ada hubungannya dengan astrologi dan
bagaimana terjadinya.18
Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai
salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah masa al-
Razi (865-925). Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam
teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya
mempercayai akal. Menurut al-Razi,19 semua pengetahuan --
pada prinsipnya- dapat diperoleh manusia selama ia menjadi
manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan,
dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh
pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan
buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya
omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu
Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari Khalifah
sebagaimana diatas bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam
Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan
orang-orang yang sepikiran dengannya dari kalangan ortodoks
menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-
ilmu Yunani. Menurut George N. Atiyeh,20 penentangan kalangan
ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan
dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan
menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap
Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka
yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah
orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang
Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris,
yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala
kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan.
Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari
pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun faham-faham

17
Muhsin Mahdi menyebut al-Kindi tidak begitu menguasai logika; pengetahuannya
tentang logika Aristoteles sangat minim dan parsial, sehingga ia masih dianggap sebagai
penterjemah daripada pemikir (filosof). Lihat Muhsin Mahdi, ‘Al-Farabi dan Fondasi Filsafat
Islam’ dalam jurnal al-Hikmah, (edisi 04 Febr 1992), 60; Lihat pula al-Jabiri, Takwin, 240.
18
Muhsin Mahdi, Al-Farabi, 58.
19
Ibid, 59; MM. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1996), 37-38. Lihat pula
Miska M. Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta, UI Press,
1983), 46.
20
George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, (Bandung, Pustaka, 1983), 4.
Khudori/Perjalan Filsafat 7

lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang


ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap
ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya,
tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru
meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah
satunya adalah Ibn Rawandi (lahir 825 M).21 Ia menolak adanya
kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian
bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syareat-
syareat yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai
oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang benar dan
salah, yang baik dan jahat dan seterusnya.22 Contoh lain adalah
al-Razi (865-925 M).23 Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga
alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik
dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia
telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya
sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.
(2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa
orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir
dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan
dan pendidikan yang membedakan mereka, (3) bahwa ajaran
para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara
atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.24
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibn
Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani diatas mencapai puncak dan
keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M).
Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung
kaum ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya
21
Nama lengkapnya Ahmad ibn Yahya ibn Ishaq al-Rawandi, lahir di Rawan, dekat
Isfahan, tahun 825 M, dari keturunan Yahudi. Kapan meninggalnya tidak diketahui pasti, tetapi
menurut Ibrahim Madkur, Ibn Rawandi pernah berhubungan dengan kaum Muktazilah dan
dianggap sebagai salah satu muridnya yang paling cerdas, sebelum kemudian balik menyerang
Muktazilah. Ibn Rawandi termasuk tokoh yang masih asing dalam discorsus filsafat Islam. Lihat
Ibrahim Madkur, Filsafat Islam Metode dan Penerapannya, (Jakarta, Rajawali, 1996), 104.
22
Ibid, 107. Menurut Madkur, stetemen yang diberikan al-Rawandi sebenarnya hanya
mengulang apa yang pernah disampaikan Muktazilah yang mempunyai pandangan bahwa baik dan
buruk harus didasarkan rasio. Hanya saja, Muktazilah tidak seekstrim ini dalam penggunaan rasio,
bahkan mereka berusaha memadukan rasio dengan wakyu. Ibid, 108-109.
23
Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi, lahir di Ray, Persia, tahun
865 M. dan meninggal di Baghdad tahun 925 M. Selain filosof, ia dikenal juga sebagai dokter dan
ahli kimia. Tentang riwayat hidupnya, lihat MM. Syarif, Para Filosof Muslim, 31; Natsir Arsyad,
Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah, (Jakarta, Srigunting, 1995), 88.
24
Lihat Syarif, Para Filosof Muslim, 47; Ibrahim Madkur, Filsafat Islam, 109-118; Hasyim
Hasan, Al-Asâs al-Manhajiyah Libina al-Aqidah al-Islâmiyah, (Kairo, Dar al-Fikr, tt), 71.
Disampin kedua tokoh diatas, Husaen Nashr menyebut tokoh lain sebagai ingkar kenabian, yakni
Ahmad ibn Thayib al-Syarkhasi, hidup antara tahun 833-899 M. Awalnya ia adalah murid utama
al-Kindi dan guru khalifah al-Mu`tadhid (892-902 M) kemudian berubah menjadi orang yang
durhaka kepada kenabian Muhammad saw. Lihat Husain Nahr, Tiga Pemikir Islam, terj. A.
Mujahid, (Bandung, Risalah, 1986), 7.
Khudori/Perjalan Filsafat 8

tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan


menggantikan posisi orang-orang Muktazilah khususnya dan
para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi ‘revolosi’; orang-
orang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan
salaf. Al-Kindi yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat
dari jabatannya sebagai guru istana karena tidak sefaham
dengan sang khalifah yang salaf.25
Terkena tindakan keras dan resmi pemerintah tersebut,
untuk sementara, khususnya di ibu kota Baghdad, filsafat
mengalami kemunduran, setidaknya tidak mengalami
perkembangan berarti, karena tidak bisa diajarkan secara bebas
dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi
otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian
filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof
besar, yakni al-Farabi (870-950).26 Tokoh yang dikenal sebagai
folosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani
dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat
Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap
sebagai ‘guru kedua’ (al-mu`allim al-tsâni) setelah Aristoteles
sebagai ‘guru pertama’ (al-mu`allim al-awwâl).
Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai
metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang
memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya
dibanding ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kalâm) dan
yurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan metode
burhani.27 Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan;
ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa.
Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi
dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa.
Yang termasuk ilmu-ilmu filsafat adalah metafisika, matematika,
ilmu-ilmu alam dan ilmu politik.28 Sampai disini filsafat Yunani
telah memperoleh tempat dan posisi yang cukup mapan dalam
percaturan pemikiran Arab-Islam. Dukungan dan pembelaan
yang ketat dari al-Farabi telah menyebabkan filsafat memperoleh
tempat yang demikian, bahkan melebihi posisi ilmu-ilmu yang
diklaim sebagai ilmu religius.
Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika
dalam waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani segera
menduduki posisi puncak dalam percaturan pemikiran Arab-

25
Atiyeh, Al-Kindi, 7.
26
Menurut Ali Sami, prinsip-prinsip metode burhani ini, dalam masa-masa berikutnya,
tidak hanya digunakan oleh kaum filosof murni, tetapi juga oleh para tokoh yang menolak
pemikiran filsafat, seperti al-Ghazali, dan bahkan oleh para fuqaha seperti al-Syafi`i. Lihat, Ali
Sami al-Nasyar, Manâhij al-Bahts ind Mufakkiri al-Islâm, (Bairut, Dar al-Fikr, 1967).
27
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 107.
28
Ibid, 161-171; Nurkholish, Khazanah 121-136.
Khudori/Perjalan Filsafat 9

Islam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat,
seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan
Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus,
dimana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep
pembangunan alam wujud menurut faham emanasi.29 Dalam
kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha
membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa
kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut
‘akal’, berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa
kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan
prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian
diberi gelar ‘Guru Utama’ (al-Syaikh al-Rais).30
Akan tetapi, segera setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali
mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-
Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat
tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifah yang diulangi lagi dalam al-
Munqid min al-Dlalâl,31 al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang
persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi
(870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua
tokoh ini sebenarnya tidak tepat,32 juga pada pemikiran para

29
Tentang konsep emanasi Ibn Sina, lihat Husaen Nashr, Tiga Pemikir Islam, 27-30; Abbas
Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, Solo, Pustaka Mantiq, 1988), 100-105
30
Nurkhalish, Khazanah, 33.
31
Al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, edit dan catatan kaki oleh Sulaiman Dunya, (Mesir,
Dar al-Maarif, 1966). Kitab ini diselesaikan pada 11 Muharram 488 H/ 21 Januari 1095 M. Dalam
kitab ini diuraikan 20 persoalan filsafat yang dianggap merupakan bid’ah, yang tiga diantaranya
bahkan merupakan kekufuran bagi penganutnya.
Tentang al-Munqid, lihat al-Ghazali, al-Munqid min al-Dlalâl, (Bairut, Al-Maktabah al-
Sab’iyah, tt) yang diedit dan diberi catatan kaki oleh Mustafa Abu al-Ula. Kitab ini ditulis sekitar
lima tahun sebelum kematian al-Ghazali, setelah ia mengalami krisis epistemologi --bukan krisis
keyakinan-- dan setelah kembali mengajar di perguruan tinggi Al-Maimunah al-Nidlamiyah di
Naisabur, Lihat Osman Bakar, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani L, (Bandung, Pustaka Hidayah,
1995), 51.
32
Dalam tulisannya, al-Ghazali memasukkan al-Farabi dan Ibn Sina dalam daftar orang-
orang yang terlibat dalam tiga persoalan yang dianggapnya sebagai kekufuran; tentang keqadiman
alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (jiz’iyat),
padahal kedua tokoh filosof muslim ini sebenarnya tidak menyatakan persis sebagaimana yang
didituduhkan al-Ghazali. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang dimaksud bahwa alam
qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu. Apa yang disebut sebagai ‘waktu’
atau ‘zaman’ muncul bersamaan dengan alam. Tidak ada istilah waktu atau zaman sebelum
munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau tidak didahuluinya alam oleh waktu
tertentu inilah yang dimaksud qadim oleh para filosof. Dan keqadiman alam ini tetap tidak sama
dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan qadim bi dzatihi, qadim dengan diri-Nya sendiri tanpa
berhubungan dengan ruang dan waktu atau yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya
berhubungan dengan waktu tetapi ia hadits (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Lebih jelas
tentang tiga masalah ini, juga 17 masalah lain yang dianggap bid’ah oleh al-Ghazali, lihat cacatan
kaki yang diberikan Sulaiman Dunya dalam Tahafutnya al-Ghazali diatas. Lihat pula, Abbad
Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, (Solo, Pustaka Mantiq, 1988), 100-105.
Dengan demikian, apa yang dituduhkan al-Ghazali sebenarnya kurang tepat, tapi lebih
karena adanya perbedaan pengertian atau kesalahfahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan
Khudori/Perjalan Filsafat 10

filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros


(547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang
dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang
awam,33 bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-
Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman
dan penjabaran ajaran-ajaran agama.34 Bahkan, dalam al-
Mustashfâ fi `ulûm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum,
al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani.35
Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai ‘Hujjat al-Islâm’ telah
begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga
tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka
telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat.
Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada
kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi
sejarahnya, bukan metodologi, sistematika atau substansi
pemikirannya.36
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul
lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd (1126-
1198). Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Tahâfut, Ibn Rusyd
berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan
al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena
menurut Nurcholish,37 balasan yang diberikan Ibn Rusyd lebih
bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neo-
platonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya
dengan epistemologi Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan
epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam.
Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam
filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk
kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal)
yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode
biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan
awam.38
Setelah Ibn Rusyd, filsafat yang nota bene dari Yunani itu
tidak lagi terdengar gemanya dalam pemikiran Islam, kecuali
dalam mazhab Syiah. Dikalangan elite terpelajar madzhab ini,
pemikiran filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehingga

kaum filosof. Lihat catatan kaki yang diberikan Ach. Khudori Soleh dalam Kegelisahan Al-
Ghazali Sebuah Otobiografi Intelektual, (bandungm Pustaka Hidayah, 1997), 32-c.
33
Lihat catatan kaki Khudori Soleh dalam Kegelisahan Al-Ghazali 28.
34
Al-Ghazali, al-Munqid, 49.
35
Al-Jabiri, Bunyah, 438.
36
Amin Abdullah, ‘Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi llmu dan Budaya’
dalam Mukti Ali dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, (Yogya, Tiara
Wacana, 1998), 265.
37
Nurcholish, Khazanah, 36.
38
Ibn Rusyd, Kaitan Filsafat 16, 56 dan seterusnya.
Khudori/Perjalan Filsafat 11

masih lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Sadra (1571-


1640), Mullah Hadi (1797-1873) dan lainnya.39

C. Penutup.
Dalam bagian akhir ini, ada tiga hal yang perlu
disampaikan. Pertama, bahwa perjalanan pemikiran filsafat Islam
ternyata mengalami pasang surut; pertama-tama disambut
dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan
menghadapi pemikiran-pemikiran ‘aneh’, tapi kemudian dicurigai
karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang
ajaran agama yang dianggap baku, khususnya pada masa Ibn
Hanbal. Setelah itu, filsafat dibela kembali oleh al-Farabi dan
mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi
oleh serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi
akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali
dalam mazhab Syi`ah.
Kedua, bahwa filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran
Islam tidak hanya logika Aristoteles, tetapi juga pemikian mistik
Neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya
model filsafat yang ada dalam Islam. Misalnya, al-Farabi dan Ibn
Sina yang Platonis dalam konsepnya tentang emanasi, dan Ibn
Rusyd yang Aristotelian ketika menjawab serangan al-Ghazali.
Ketiga, kecurigaan dan penentangan yang diberikan oleh
sebagian tokoh muslim terhadap logika dan pemikiran filsafat,
bukan semata-mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam
tetapi lebih didasarkan atas kenyataan bahwa –saat itu-- filsafat
mengandung dampak yang berbahaya bagi aqidah masyarakat.
Apa yang dilakukan Ibn Rawandi (lahir 825 M) dan al-Razi (865-
925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti filsafat,
juga apa yang dilakukan oknum tertentu yang
mengatasnamakan filsafat pada masa al-Ghazali adalah bukti
nyata tentang hal itu [.]

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, ‘Teologi dan Filsafat dalam Perspektif


Globalisasi”, dalam Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan
Masyarakat, Yogya, Tiara Wacana, 1998
Amien, Miska M., Epistemologi Islam, Jakarta, UI Press, 1983
Amin, Ahmad, Dhuhâ al-Islâm, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-
Mishriyah, tt
39
Tentang tokoh-tokoh pemikir Syiah lainnya, lihat Jalaludin Rahmat, ‘Hikmah
Muta`aliyah, Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd’, dalam Jurnal Al-Hikmah, edisi 10, (Bandung,
September, 1993), 76-76
Khudori/Perjalan Filsafat 12

Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, Solo, Pustaka


Mantiq, 1988
Arsyad, Natsir, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah, Jakarta,
Srigunting, 1995
Atiyeh, George N., Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Bandung,
Pustaka, 1983
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, Bandung, Mizan, 1997
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani L, Bandung, Pustaka
Hidayah, 1995
Coulson, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta,
P3M, 1987
Fakhry, Madjid, A History of Islamic Philosophy, Colombia
University Press, 1983
Gardet, Louis & Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dîni, Beirut, Dar al-
Ulum, 1978
Ghazali, al-Munqid min al-Dlalâl, Bairut, Al-Maktabah al-Sab’iyah,
tt
Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, ed. Sulaiman Dunya, Mesir, Dar al-
Maarif, 1966
Ghurabi, Ali Musthafa, Târikh al-Firâq al-Islami, Kairo, Maktabah
wa Mathba`ah, tt
Hanafi, Ahmad, Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1974
Hasan, Hasyim, Al-Asâs al-Manhajiyah, Kairo, Dar al-Fikr, tt
Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Hitti, Philip K., History of The Arabs, New York, Martin Press, 1986
Jabiri, M. Abed, Takwîn al-Aql al-Arabi, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi,
1991
Lapidus, Ira, A History of Islamic Societies, Cambridge University
Press, 1999
Leaman, Oliver Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Rajawali Pres,
1988.
Machasin, Kelahiran dan Pertumbuhan Ilmu Teologi, makalah
pada mata kuliah studi ilmu teologi, program pascasarjana
(S-2), IAIN Yogya, 1997
Madkur, Ibrahim, Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi, Jakarta,
Rajawali Press, 1996
Mahdi, Muhsin, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, Jurnal al-
Hikmah, 4, Feb 1992
Nasr, Husain, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, Bandung,
Risalah, 1986
Nasyar, Ali Sami, Manâhij al-Bahts ind Mufakkiri al-Islâm, Bairut,
Dar al-Fikr, 1967
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta,
Yayasan Obor, 1991
Khudori/Perjalan Filsafat 13

Rahmat, Jalaludin, ‘Hikmah Muta`aliyah”, Jurnal Al-Hikmah, edisi


10, September, 1993
Soleh, Ach. Khudori, Kegelisahan Al-Ghazali, Bandung, Pustaka
Hidayah, 1997
Syarif, MM., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1996
Watt, MM., Islamic Philosophy and Theology, Edinburg, Edinburg
University Press, 1992

You might also like