Professional Documents
Culture Documents
10
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10.
11
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York, Macmillan, Martin Press, 1986), 241-2.
12
Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York, Colombia University Press,
1983), 3-4.
13
Ibid, 5.Bahkan dilaporkan bahwa putra mahkota Umayyah, Khalifah ibn Yazid (w. 704
M), menjadi salah seorang yang menekuni ilmu kimia, setelah gagal menjadi khalifah. Lihat,
Philip K. Hitti, History of The Arabs, 240; Ahmad Amin, Dhuhâ al-Islâm, I, (Kairo, Maktabah al-
Nahdlah al-Mishriyah, tt), 3.
Khudori/Perjalan Filsafat 5
17
Muhsin Mahdi menyebut al-Kindi tidak begitu menguasai logika; pengetahuannya
tentang logika Aristoteles sangat minim dan parsial, sehingga ia masih dianggap sebagai
penterjemah daripada pemikir (filosof). Lihat Muhsin Mahdi, ‘Al-Farabi dan Fondasi Filsafat
Islam’ dalam jurnal al-Hikmah, (edisi 04 Febr 1992), 60; Lihat pula al-Jabiri, Takwin, 240.
18
Muhsin Mahdi, Al-Farabi, 58.
19
Ibid, 59; MM. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1996), 37-38. Lihat pula
Miska M. Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta, UI Press,
1983), 46.
20
George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, (Bandung, Pustaka, 1983), 4.
Khudori/Perjalan Filsafat 7
25
Atiyeh, Al-Kindi, 7.
26
Menurut Ali Sami, prinsip-prinsip metode burhani ini, dalam masa-masa berikutnya,
tidak hanya digunakan oleh kaum filosof murni, tetapi juga oleh para tokoh yang menolak
pemikiran filsafat, seperti al-Ghazali, dan bahkan oleh para fuqaha seperti al-Syafi`i. Lihat, Ali
Sami al-Nasyar, Manâhij al-Bahts ind Mufakkiri al-Islâm, (Bairut, Dar al-Fikr, 1967).
27
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 107.
28
Ibid, 161-171; Nurkholish, Khazanah 121-136.
Khudori/Perjalan Filsafat 9
Islam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat,
seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan
Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus,
dimana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep
pembangunan alam wujud menurut faham emanasi.29 Dalam
kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha
membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa
kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut
‘akal’, berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa
kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan
prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian
diberi gelar ‘Guru Utama’ (al-Syaikh al-Rais).30
Akan tetapi, segera setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali
mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-
Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat
tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifah yang diulangi lagi dalam al-
Munqid min al-Dlalâl,31 al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang
persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi
(870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua
tokoh ini sebenarnya tidak tepat,32 juga pada pemikiran para
29
Tentang konsep emanasi Ibn Sina, lihat Husaen Nashr, Tiga Pemikir Islam, 27-30; Abbas
Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, Solo, Pustaka Mantiq, 1988), 100-105
30
Nurkhalish, Khazanah, 33.
31
Al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, edit dan catatan kaki oleh Sulaiman Dunya, (Mesir,
Dar al-Maarif, 1966). Kitab ini diselesaikan pada 11 Muharram 488 H/ 21 Januari 1095 M. Dalam
kitab ini diuraikan 20 persoalan filsafat yang dianggap merupakan bid’ah, yang tiga diantaranya
bahkan merupakan kekufuran bagi penganutnya.
Tentang al-Munqid, lihat al-Ghazali, al-Munqid min al-Dlalâl, (Bairut, Al-Maktabah al-
Sab’iyah, tt) yang diedit dan diberi catatan kaki oleh Mustafa Abu al-Ula. Kitab ini ditulis sekitar
lima tahun sebelum kematian al-Ghazali, setelah ia mengalami krisis epistemologi --bukan krisis
keyakinan-- dan setelah kembali mengajar di perguruan tinggi Al-Maimunah al-Nidlamiyah di
Naisabur, Lihat Osman Bakar, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani L, (Bandung, Pustaka Hidayah,
1995), 51.
32
Dalam tulisannya, al-Ghazali memasukkan al-Farabi dan Ibn Sina dalam daftar orang-
orang yang terlibat dalam tiga persoalan yang dianggapnya sebagai kekufuran; tentang keqadiman
alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (jiz’iyat),
padahal kedua tokoh filosof muslim ini sebenarnya tidak menyatakan persis sebagaimana yang
didituduhkan al-Ghazali. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang dimaksud bahwa alam
qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu. Apa yang disebut sebagai ‘waktu’
atau ‘zaman’ muncul bersamaan dengan alam. Tidak ada istilah waktu atau zaman sebelum
munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau tidak didahuluinya alam oleh waktu
tertentu inilah yang dimaksud qadim oleh para filosof. Dan keqadiman alam ini tetap tidak sama
dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan qadim bi dzatihi, qadim dengan diri-Nya sendiri tanpa
berhubungan dengan ruang dan waktu atau yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya
berhubungan dengan waktu tetapi ia hadits (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Lebih jelas
tentang tiga masalah ini, juga 17 masalah lain yang dianggap bid’ah oleh al-Ghazali, lihat cacatan
kaki yang diberikan Sulaiman Dunya dalam Tahafutnya al-Ghazali diatas. Lihat pula, Abbad
Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, (Solo, Pustaka Mantiq, 1988), 100-105.
Dengan demikian, apa yang dituduhkan al-Ghazali sebenarnya kurang tepat, tapi lebih
karena adanya perbedaan pengertian atau kesalahfahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan
Khudori/Perjalan Filsafat 10
kaum filosof. Lihat catatan kaki yang diberikan Ach. Khudori Soleh dalam Kegelisahan Al-
Ghazali Sebuah Otobiografi Intelektual, (bandungm Pustaka Hidayah, 1997), 32-c.
33
Lihat catatan kaki Khudori Soleh dalam Kegelisahan Al-Ghazali 28.
34
Al-Ghazali, al-Munqid, 49.
35
Al-Jabiri, Bunyah, 438.
36
Amin Abdullah, ‘Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi llmu dan Budaya’
dalam Mukti Ali dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, (Yogya, Tiara
Wacana, 1998), 265.
37
Nurcholish, Khazanah, 36.
38
Ibn Rusyd, Kaitan Filsafat 16, 56 dan seterusnya.
Khudori/Perjalan Filsafat 11
C. Penutup.
Dalam bagian akhir ini, ada tiga hal yang perlu
disampaikan. Pertama, bahwa perjalanan pemikiran filsafat Islam
ternyata mengalami pasang surut; pertama-tama disambut
dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan
menghadapi pemikiran-pemikiran ‘aneh’, tapi kemudian dicurigai
karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang
ajaran agama yang dianggap baku, khususnya pada masa Ibn
Hanbal. Setelah itu, filsafat dibela kembali oleh al-Farabi dan
mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi
oleh serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi
akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali
dalam mazhab Syi`ah.
Kedua, bahwa filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran
Islam tidak hanya logika Aristoteles, tetapi juga pemikian mistik
Neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya
model filsafat yang ada dalam Islam. Misalnya, al-Farabi dan Ibn
Sina yang Platonis dalam konsepnya tentang emanasi, dan Ibn
Rusyd yang Aristotelian ketika menjawab serangan al-Ghazali.
Ketiga, kecurigaan dan penentangan yang diberikan oleh
sebagian tokoh muslim terhadap logika dan pemikiran filsafat,
bukan semata-mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam
tetapi lebih didasarkan atas kenyataan bahwa –saat itu-- filsafat
mengandung dampak yang berbahaya bagi aqidah masyarakat.
Apa yang dilakukan Ibn Rawandi (lahir 825 M) dan al-Razi (865-
925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti filsafat,
juga apa yang dilakukan oknum tertentu yang
mengatasnamakan filsafat pada masa al-Ghazali adalah bukti
nyata tentang hal itu [.]
DAFTAR PUSTAKA