You are on page 1of 2

FEMINISME LIBERAL. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas.

Perempuan adalah
makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-
laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan
kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk
untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks
Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam
parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

FEMINISME RADIKAL Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi
akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena
itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk
lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political”
menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah
yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda)
banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat
inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT).

FEMINISME MARXIS Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya
sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels
dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi
(private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi
keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai
konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari
property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat
—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan
terhadap perempuan dihapus.

FEMINISME SOSIALIS Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini
mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.
Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis
kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme
merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme
radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang
saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki
dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan
peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah
menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat
problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

FEMINISME POSKOLONIAL Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. 
Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar
belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain
mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama.

Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik
fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya
Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class
menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin,
dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”

feminis radikal. Aku setuju karena memang aku berubah secara radikal—dari Nana si konvensional menjadi Nana si
feminis yang mengikuti teori posmodern banget, pengikut Jacques Derrida dengan teori dekonstruksinya, yang ingin
menjungkirbalikkan segala hal yang konon sudah established, terutama yang berkenaan dengan kehidupan
perempuan.

Menilik jenis-jenis feminisme yang kukemukakan di atas, memang aku bisa masuk ke jenis feminis radikal, yang
percaya bahwa segala penindasan yang terjadi kepada kaum perempuan dikarenakan kultur patriarki yang telah
menghegemoni sekian abad. Tubuh perempuan yang berbeda dari laki-laki—sementara cara pandang dalam segala
hal di dunia ini selalu berangkat dari kacamata laki-laki—membuat perempuan menjadi sasaran empuk untuk
penindasan. Misal: pemaksaan adanya RUU APP, bahwa perempuan harus dipenjarakan di balik rok panjangnya
karena tubuhnya yang di mata laki-laki selalu mengundang untuk menyentuh, dan seterusnya.

feminis liberal yang percaya bahwa perempuan sama baiknya, sama berkualitasnya dengan laki-laki. Sayangnya hal
ini belum banyak diterima oleh masyarakat, bahkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Sehingga, untuk memberi
kesempatan kaum perempuan berkiprah di bidang politik—yang selalu dipandang sebagai ranah maskulin—
perempuan berhak diberi affirmative action, seperti di pertengahan abad ke-20 peremintah Amerika memberi
affirmative action ini kepada kaum African American. Kalau memang cara inilah yang akan mengangkat kaum
perempuan di bidang politik

Aku juga setuju dengan feminis Marxis yang memandang relasi laki-laki perempuan seperti relasi kelas si kapitalis
dan si pekerja. Untuk menyamakan kedudukan perempuan dengan laki-laki, perempuan harus bekerja, karena si
empunya uanglah yang memiliki hak untuk menentukan sesuatu. Betapa selama ini, kebanyakan orang selalu
memandang laki-laki sebagai the decision maker dan perempuan sebagai penjalan keputusan itu; terutama dalam
institusi keluarga.

Sebagai seseorang yang hidup di sebuah negara yang pernah dijajah oleh negara yang kebanyakan penduduknya
berkulit putih, sehingga secara tidak sadar orang-orang berkulit warna menganggap orang yang berkulit putih
memiliki kuasa lebih tinggi daripada si kulit berwarna, tentu saja aku sangat setuju dengan Feminisme Poskolonial.
Bahkan setelah Indonesia merdeka selama lebih dari setengah abad, pandangan bahwa yang berkulit putih tentu
lebih menarik dibanding yang berkulit berwarna masih tetap saja ada. Hal ini dikuatkan dengan adanya iklan-iklan
di televisi maupun majalah/koran, bahwa cantik itu putih.

Kartini sadar betul bahwa seorang wanita harus memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan yang tinggi karena
wanitalah yang akan mendidik anak-anak dalam rumah tangga, seorang Ibu harus pandai supaya generasi penerus
juga pandai. Semangat juang yang tinggi disertai tekad yang besar, akhirnya Kartini berhasil mendirikan sekolah
sederhana di rumahnya dan memberikan pengetahuan kepada murid-murid perempuan diwilayahnya. Kalau kita
membaca surat-surat tersebut dan mendalami maknanya maka jelas terlihat kecerdasan seorang Kartini dan
pemikiran-pemikirannya yang kritis, bagaimana Kartini tidak mudah menerima begitu saja hal-hal yang dia anggap
tidak sesuai dengan akal pikiran tanpa harus berargumentasi dan memperoleh jawaban yang rasionil. Hal tersebut
dapat dilihat dari beberap cuplikan surat-surat beliau, dan hal ini pulalah yang oleh sebagian orang ia dianggap
tokoh Emansipasi. Kalau saya melihat Kartini layak menyandang sebutan tokoh Feminisme Indonesia dan tokoh
Kritis Indonesia. Sungguh cara berpikir yang luar biasa dari seorang wanita pada zaman dimana wanita masih
banyak yang terbelakang dalam pendidikan dan pemikiran, Sikap kritis yang tidak mau menerima begitu saja tanpa
penjelasan yang rasionil, Kartini layak diberi gelar Pahlawan perjuangan (walaupun tidak pernah mengangkat
senjata), Tokoh Feminisme ( karena beliau berusaha mendobrak tatanan yang patriarkis) dan Tokoh Kritis (karena
selalu curiga dengan segala yang dianggap wajar dan mapan pada waktu itu). Maka penulis berpendapat bahwa
R.A.Kartini adalah tokoh emansipasi, feminis, kritis dari Indonesia, yang buah pikirannya sampai sekarang masih
menjadi pembicaraan dan perdebatan dari berbagai kalangan. Terlepas dari pro-kontra yang ada, kita sebagai
rakyat Indonesia patut bangga memiliki sosok tokoh perempuan yang luar biasa. TERIMAKSIH IBU ATAS SEGALA
PERJUANGANMU.

You might also like