You are on page 1of 9

PERAN IBU DALAM PENDIDIKAN AGAMA ANAK

Posted on 11 May 2010 by muslimah

Masalah pendidikan agama anak telah menjadi perhatian sejak masa awal Islam dan dalam
sejarah kehidupan Nabi Saw dan para Imam as merupakan teladan yang sempurna. Al Quran
dalam beberapa ayat mengisyaratkan akan hal ini, bahkan salah satu dari ayat tersebut
berbentuk kalimat perintah yang ditujukan kepada masyarakat umum: “Dan perintahkanlah
kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya”

Pendahuluan

Pujian khusus dan syukur kepada Allah Pemberi segala nikmat yang telah menciptakan manusia
sebagai makhluk terbaik. Shalawat dan salam kepada Nabi Suci Muhammad Salallahu alaihi wa
alihi dan Ahlul Bayt Nabi alaihimussalam yang melalui merekalah limpahan rahmat Ilahi sampai
ke alam semesta. Serta melalui mereka pula Allah Swt mengajarkan jalan untuk meraih
kesempurnaan bagi hamba-Nya.

Pada sistem penciptaan Ilahi, keberagaman segala sesuatu merupakan sumber kebaikan dan
berkah keberlangsungan tercurahnya nikmat Ilahi. Sebagaimana penciptaan laki-laki dan
perempuan yang disebutkan dalam Al-Quran surah Al Hujurat ayat 13 sebagai berikut: “ Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal”. Ayat ini memberi pesan bahwa seluruh makhluk memiliki kewajiban khusus, salah
satunya bentuknya adalah penentuan kewajiban dan tanggungjawab khusus bagi perempuan.

Perempuan memiliki beberapa tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan, dimana dari
semua itu tugas untuk mendidik manusia meraih kesempurnaannya merupakan tanggungjawab
yang paling penting. Berkaitan dengan hal ini, Imam Khomeini ra menyatakan sebagai berikut:
“Pangkuan ibu merupakan madrasah terbesar bagi pendidikan anak “. Selanjutnya pendidikan
agama merupakan salah satu faktor penting dalam proses pendidikan manusia untuk meniti
kesempurnaannya.

Bagian pertama akan membahas makna pendidikan agama dan ruang lingkup peran ibu dalam
pendidikan agama anak. Sedangkan pada bagian kedua pembahasan meliputi faktor yang
mempengaruhi pendidikan agama anak dan hubungannya dengan peran ibu. Bagian ketiga
mengajukan metode yang dapat digunakan dalam pendidikan agama anak tersebut. Penyusun
akan menyampaikan ulasan dan saran pada akhir tulisan.

Rumusan Masalah

Pertanyaan mendasari pembahasan adalah: “Bagaimana peran ibu dalam pendidikan agama
anak”? Selain itu, pembahasan juga akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Faktor apa yang berpengaruh dalam pendidikan agama anak?

2. Kapan pendidikan agama anak-anak dimulai ?

3. Bagaimana bentuk dan metode pendidikan agama anak?

Sejarah

Masalah pendidikan agama anak telah menjadi perhatian sejak masa awal Islam dan dalam
sejarah kehidupan Nabi Saw dan para Imam as merupakan teladan yang sempurna. Al Quran
dalam beberapa ayat mengisyaratkan akan hal ini, bahkan salah satu dari ayat tersebut
berbentuk kalimat perintah yang ditujukan kepada masyarakat umum: “Dan perintahkanlah
kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya”. [1]

Sedangkan pada perjalanan terbentuknya pengajaran dan pendidikan secara Islam sebagai
kesatuan ilmu pengetahuan dapat ditemukan pada abad ke dua dan tiga hijriah. Sejumlah hasil
karya ilmuwan Islam berkaitan dengan tema akhlak dan pendidikan Islam seperti buku Adabul
Muta’alimin yang ditulis oleh Muhammad bin Sakhnun (wafat tahun 256 H). Pada masa
selanjutnya beberapa pendapat dari ulama akhlak, filosof dan orang-orang arif seperti Farabi,
Ibnu Maskawih, Ibnu Sina dan Maulawi dapat pula dikategorikan sebagai rangkaian pemikiran
Islam dalam masalah pengajaran dan pendidikan Islam.[2]

Penelitian dan penulisan berkaitan dengan masalah tersebut di atas telah banyak dilakukan,
beberapa diantaranya adalah (ditulis dengan menggunakan bahasa Persia):

1. Tanggungjawab pendidikan, penelitian peran wanita dan ibu dalam perkembangan anak
menuju kesempurnaannya, ditulis oleh Muhammad Dasyti, terbit tahun 1364 H.S
2. Pendidikan agama di hadapan ancaman abad 21, karya Doktor Khusru Baqiry diterbitkan
dalam buku “Meninjau kembali pendidikan Islami” pada tahun 1364 H.S
3. Pengantar ruang lingkup pendidikan agama dan pendidikan akhlak, karya Hujjatul Islam DR.
Abbas Ali Syaamili, diterbitkan dalam buku “Kumpulan makalah pendidikan akhlak, prediksi dan
ancamannya”, tahun terbit 1384 H.S
4. Penelitian karakterisitik pengajaran dan pendidikan Islami, tugas akhir dari Maria Ali, alumni
Madrasah Bintul Huda, Qom ,tahun ajaran 1386-1387 H.S
5. Metode pendidikan anak usia 3 – 7 tahun menurut ajaran Islam, tugas akhir dari Fatimah
Haidari, alumni Madrasah Bintul Huda, Qom, tahun 1386 H.S

Metode

Metode yang digunakan adalah eksplorasi perpustakaan dengan mengumpulkan pendapat


tertulis dari ilmuwan Islam dan menyusunnya berdasarkan tema pendidikan agama anak dan
pengaruh ibu berkaitan dengan hal tersebut.

Bagian Pertama: Defenisi dan Ruang Lingkup

Terminologi ????? ?????? (pendidikan agama) sebagai satu lapangan kajian dalam ruang
lingkup pendidikan Islami memiliki kerancuan dimana tidak terlihat hubungan yang jelas dengan
pemahaman pendidikan Islami. Pada bagian ini akan dijelaskan pengertian dan luang lingkup
pendidikan agama serta hubungannya dengan pengertian yang paling mendekati, kemudian
disusul dengan pengertian apa dan bagaimana peran ibu dalam pendidikan agama anak.

1. Pengertian etimologi ????? ?????? (Pendidikan Agama)

????? artinya pendidikan, pengasuhan, pemeliharaan.[3] Sedangkan kata ??? dalam bahasa
Indonesia berarti agama.[4] Merujuk pada makna ??? dalam bahasa Arab bermakna taat.
Sedangkan makna dasar ????? adalah tumbuh dan berkembang. ??????? dan ????????
memiliki arti pemberian makanan, memberi makan menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan. Selain itu ??????? juga memiliki kemungkinan untuk diartikan sebagai perbaikan
kondisi yang ada.[5]

????? ?????? sebagai frase memiliki pengertian sebagai sebuah pendidikan untuk agama.
Artinya adalah sebuah pendidikan yang berkhidmat pada tujuan agama terlepas apakah isinya
diambil dari agama atau tidak.[6]

1. Pengertian terminologi ????? ?????? (Pendidikan Agama)

Defenisi yang sejalan dengan budaya Islam dan sandaran ilmuwan muslim terhadap Islam
beberapa diantaranya terdiri atas[7]:

1. Pendidikan agama meliputi pendidikan formal dan non-formal adalah aktifitas yang dilakukan
untuk pengajaran nilai-nilai agama Islam baik secara individu maupun sosial.
2. Pendidikan agama memiliki makna sebagai pendidikan yang diambil dari teks agama dimana
pelaksanaan dan prosedur kerjanya diambil dari teks agama untuk proses pembelajaran aqidah
dan ibadah Islam.
3. Pendidikan agama meliputi sistem formal dan informal merupakan serangkaian dari
pelaksanaan dan prosedur kerja yang diambil dari teks agama untuk proses pembelajaran aqidah
dan ibadah Islam.
4. Pendidikan agama adalah tindakan yang menolong individu untuk mengaktualkan semangat
penghambaan dan penerimaan konsekwensi sebuah agama –dengan seluruh aspeknya- serta
melaksanakan kewajiban agama dalam kehidupan, termasuk kewajiban perilaku terhadap
keyakinan dan nilai-nilai yang diutamakan.

Dengan kata lain, pendidikan agama secara umum bermakna sebagai menciptakan individu dan
masyarakat sosial yang rabbani. Pengkondisian rabbani berarti menghidupkan semangat
penghambaan, pengutamaan agama dan kepatuhan terhadap kewajiban agama dalam 4 pilar
hubungan yang meliputi: 1. Hubungan terhadap Tuhan, 2. Hubungan terhadap pribadi, 3.
Hubungan terhadap masyarakat dan 4. Hubungan terhadap lingkungan hidup.[8]

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, defenisi pendidikan agama yang digunakan adalah:
‘menciptakan individu dan masyarakat sosial yang rabbani’. Maka pengertian pendidikan agama
anak berarti menghidupkan semangat penghambaan dan mewujudkan kepatuhan terhadap
kewajiban agama pada anak dalam perkembangannya menuju manusia dewasa.

1. Peran ibu dalam pendidikan agama anak

Berdasar perbedaan ciptaan dan pembagian kewajiban, tanggungjawab pengasuhan anak dan
pendidikan manusia meraih kesempurnaan pada masa sensitif kehidupan diserahkan kepada
perempuan. Amanah Ilahi merupakan beban berat yang harus dipikul perempuan sekaligus juga
menjadi kebanggan besar yang diberikan Allah kepada perempuan. Allah juga memberikan
semua potensi dan kebutuhan serta sifat yang diperlukan kepada makhluk ini. Kelayakan untuk
melaksanakan kewajiban ini telah dianugerahkan kepada mereka dimana para Nabi, Imam dan
utusan Ilahi telah mengepakkan sayap menujuTuhannya. [9]

Sebelum menjelaskan peran ibu, terlebih dahulu perlu diketahui tujuan dari pendidikan agama
anak. Selanjutnya peran ibu akan dijelaskan berdasarkan hal tersebut. Kesempurnaan dan
ketinggian dalam penghambaan kepada Tuhan merupakan tujuan akhir dari pendidikan agama.
Sedangkan tujuan perantaranya adalah mendidik individu yang taat beragama. Individu yang taat
beragama memahami makna dan hakikat agama dan menjadikan pemahaman agama sebagai
petunjuk dalam kehidupannya. Tujuan pendidikan agama dalam sunnah para ma’shum
mengaktualkan potensi manusia menuju kesempurnaan mutlak yang artinya adalah manusia
menyandang sifat yang sesuai dengan Asma dan Sifat Ilahi.[10]

Dari hal tersebut di atas, sedikit banyak kewajiban ibu menjadi jelas. Ibu harus mengikuti setiap
langkah anak dan selalu berupaya dalam pendidikan agama anak. Tanggungjawab pendidikan
agama anak merupakan kewajiban di dunia yang menuntut pengawasan yang dilandasi
pengetahuan. Tanggungjawab ini juga akan berlanjut hingga ke akhirat. Imam Sajjad as dalam
doa Sahifah Sajjadiah menyatakan: “Ya Allah, bantulah hamba dalam mendidik dan mengajarkan
adab pada keturunan hamba”.

Bagian Kedua: Landasan Teori

1. Faktor yang berpengaruh dalam pendidikan agama anak


Terdapat banyak faktor yang berpengaruh dalam pendidikan dimana satu dengan lainnya tidak
berada dalam tingkatan yang sama. Beberapa dari faktor tersebut berpengaruh besar sedangkan
yang lainnya memiliki pengaruh yang tidak terlalu berarti. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh
yang lebih besar diantaranya adalah sebagai berikut[11]:

1. 1. Faktor genetik

Faktor genetik yang dimaksud adalah warisan yang dibawa dari sifat dan karakter kedua orang
tua serta leluhur yang diterima. Orang tua yang taat beragama, dermawan, dan berakhlak baik
akan mewariskan semangat keberagamaan dan sifat kedermawanan serta perilaku terpuji yang
dimiliki kepada keturunannya. Dengan demikian, syarat pertama dan mewujudkan pendidikan
agama adalah kedua orang tua memiliki kelayakan yang diperlukan serta memiliki nilai positif
secara lahiriah dan spiritual.

1. 2. Faktor lingkungan

Lingkungan bermakna seluruh aspek dan kondisi dimana seorang individu tumbuh dan
berkembang. Hal yang sangat jelas bahwa faktor lingkungan terbagi dua, yaitu: faktor insani dan
non-insani. Faktor insani yaitu anak lahir dalam keluarga yang bagaimana dan bentuk perlakuan
yang diterima anak dari mereka. Selain lingkungan rumah dan tempat tinggal, lingkungan sekolah
juga merupakan salah satu dari faktor yang harus menjadi perhatian dimana pengaruhnya tidak
kurang dari faktor genetika.

1. 3. Teman bermain

Salah satu dari kebutuhan alamiah anak-anak adalah berteman dan bermain dengan usia
sebayanya. Kedua orang tua selamanya tidak pernah bisa menggantikan peran teman bermain
bagi anak-anak. Pengaruh yang diperolah dari teman bermain bagi anak-anak tidak sebanding
dengan petunjuk dan nasehat dari kedua orang tua. Hal ini disebabkan karena anak-anak
cenderung resisten di hadapan perkataan orang dewasa, tetapi anak-anak akan secara tidak
sadar meniru perilaku teman sebayanya. Rasulullah Saww sehubungan dengan peran teman
bersabda: “?????? ??? ??? ????? ? ?????” artinya: “Setiap orang dipengaruhi oleh kepercayaan
dan agama teman dan sahabatnya”.[12]

1. 4. Orang tua

Secara fitrah anak-anak terlahir dalam keadaan mengenal Tuhan dan secara akhlak memiliki
seluruh kecenderungan kebaikan. Rasullullah Saw bersabda:
“?? ????? ??? ?????? ??? ?? ????? ??????? ?? ??????? ?? ???????”[13], artinya: “ Setiap
anak terlahir dalam keadaan fitrah, ketahuilah bahwa kedua orang tuanya yang menjadikan anak-
anak tersebut mengikuti agama yang lain, menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Berdasarkan hal ini, orang tua seharusnya berusaha untuk mengoptimalkan aktualnya potensi
fitri anak. Artinya orang tua bukan mengindoktrinasi anak-anaknya dengan ajaran agama.
Permasalahan pendidikan anak sering bermula pada hal ini, dimana orang dewasa alih-alih
mengaktualkan dan mengembangkan kecenderungan keberagamaan, mereka telah mendoktrin
anak-anaknya. Hal yang patut diyakini adalah jika kedua orang tua tidak mentransfer
kepercayaan yang tidak benar dan tidak logis, maka anak-anak akan tumbuh dan berkembang
berdasarkan penciptaan dan fitrahnya.

Dari beberapa faktor yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa faktor ibu
memiliki peran dalam semua faktor. Dalam faktor genetik dan faktor kedua orang tua dan dua
faktor lain yaitu lingkungan serta faktor teman, ibu memiliki tempat untuk melakukan kontrol dan
pengkondisian yang positif.

1. Fase pendidikan agama pada masa kanak-kanak


Terdapat perbedaan pendapat tentang fase pendidikan agama anak. Sekelompok ahli
berpendapat bahwa pendidikan agama seharusnya tidak diberikan sebelum anak mencapai usia
akil baligh, sedangkan kelompok lainnya membenarkan pendidikan agama pada anak meskipun
belum mencapai usia baligh. Tuntunan Islam dan aturan pendidikan Imam Ma’shum as
mengharuskan untuk mendengungkan azan di telinga kanan anak dan iqamah di telinga kirinya.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pendidikan agama haruslah dimulai sejak awal kehidupan
pasca kelahiran bayi.[14]

Rasulullah Saww bersabda: “Dan ajarkanlah shalat kepada anak-anak kalian ketika mereka
mencapai usia 7 tahun, sedangakan jika telah mencapai usia 10 tahun tetapi mereka tidak
melaksanakan shalat, maka berilah mereka pukulan sebagai hukuman”. [15]

Riwayat yang dinukil dari Imam Bagir as dan Imam Shadiq as sebagai berikut: “Jika seorang
anak telah mencapai usia 3 tahun ucapkanlah kepada mereka kalimah tauhid (?? ??? ??? ????)
sebanyak 7 kali, kemudian biarkan sampai mereka menginjak usia 3 tahun berikutnya”.

Pendidikan agama pada kanak-kanak sebaiknya dilakukan sedini mungkin dimana pengunaan
metodenya berdasarkan pertimbangan fase perkembangan psikologis anak itu sendiri. Seorang
ibu selayaknya memanfaatkan masa-masa sensitif pada tahap perkembangan psikologis anak
untuk mengaktualkan kecenderungan dan potensi keberagamaan anak. Sehingga dalam proses
pendidikan agama, ibu serta sang anak tidak kehilangan satu waktu dan keadaan yang kondusif
berkaitan dengan hal tersebut.

Untuk mengetahui dengan jelas peran apa yang dapat dilakukan ibu, mengenal perkembangan
kognitif agama anak menjadi hal yang penting. Berdasarkan penelitian dan eksperimen dalam hal
ini, anak-anak memiliki tiga fase perkembangan kognitif[16], yaitu: fase imajinatif fase konkrit dan
fase abstraktif. Selain memperhatikan fase perkembangan kognitif, dalam menentukan perannya
seorang ibu perlu mempertimbangkan persepsi dan penafsiran anak terhadap pemahaman
agama.

Berdasarkan pertimbangan fase perkembangan kognitif agama, proses pendidikan agama anak
secara umum dapat dibagi menjadi dua periode[17]:

1. 1. Kanak-kanak usia 0 – 9 tahun

Secara umum, pada masa ini disebut sebagai fase imajinasi dan khayalan keyakinan. Anak usia
dini memiliki pemahaman rasional yang sangat terbatas dan dalam pencarian tentang kejadian di
alam menggunakan perasaan serta khayalan. Berdasar hal ini, pendidikan agama harus
memperhatikan kondisi penting ini. Pendidikan agama dilakukan melalui cerita, gambar, lagu dan
syair, drama serta kegiatan seni lainnya yang bersandar pada sisi khayal dan afeksi. Anak-anak
dibantu melalui imajinasi dan perasaan menjadi akrab dengan pemahaman nilai-nilai agama,
bukan melalui pendekatan rasional.

Pendidikan agama anak usia dini harus selalu bersamaan dengan bermain, bercanda, suasana
santai dan pembacaan cerita (dengan tetap menjaga kesucian agama). Hal ini adalah karena
tujuan penting pendidikan agama pada masa ini adalah membuat anak tertarik kepada agama,
kemudian pada pendidikan dan pengajaran.

Ibu harus memberi perhatian terhadap segala pengalaman anak, sesederhana dan sekecil
apapun bentuknya. Ibu sebisa mungkin mengumpulkan pra kondisi pengalaman mereka dan
mengambil manfaat dari pengalaman tersebut untuk mendekatkan afeksi mereka kepada makna
yang sesungguhnya. Melalui celah tema-tema yang disukai anak, seorang ibu dapat
menghubungkan agama dengan kehidupan sehari-hari.

Anak-anak pada usia ini sering menggunakan istilah-istilah agama, akan tetapi mereka sendiri
tidak mengetahui artinya. Beberapa laporan juga menyatakan bahwa anak memiliki serangkaian
istilah agama yang tidak diketahui artinya. Karena itu, bahasa yang digunakan untuk menjelaskan
nilai-nilai agama yang mudah dimengerti. Kalimat yang dipakai untuk anak-anak usia dini
tentunya harus sejalan dengan daya tangkap mereka. Selain itu, ibu juga harus yakin bahwa
mereka juga memahami artinya.

1. 2. Anak-anak usia 9 – 13 tahun

Perlu diingat bahwa pola kognitif anak pada masa ini adalah fase konkrit dan pemahamannya
akan nilai-nilai agama terbatas pada fase alamiahnya. Karena itu, pemahaman argumentatif dan
abstraksi rasional tidak bisa diberikan pada anak-anak usia tersebut. Selanjutnya pemahaman
nilai-nilai agama harus diberikan secara sederhana dan bersandarkan pada pengalaman dan
afeksi mereka sendiri. Catatan pentingnya adalah hal ini tidak berlaku pada setiap kelompok uisa,
karena pada sebagian pola pemahaman nilai-nilai agama mengalami perkembangan pada uisa
10 atau 11 tahun. Karena itu, dengan tetap menjaga prinsip pendidikan agama pada anak-anak
pengetahuan dapat diberikan dalam tingkatan yang lebih tinggi.

Pada fase ini penggunaan cerita, syair dan lagu, drama dan kegiatan keterampilan lainnya yang
bersifa santai merupakan salah satu prinsip penting dalam pendidikan. Syarat keanekaragaman
kegiatan serta suasana yang gembiraan harus tetap terjaga, dengan perbedaan adanya
peningkatan dalam pemberian informasi terhadap anak pada fase ini dibanding anak-anak
kelompok usia sebelumnya. Selain itu, perlu disampaikan beberapa tema yang berkaitan dengan
kewajiban dengan segala kekhususannya. Hal ini tentunya disampaikan dengan metode yang
sederhana dan dalam jangkauan pemahaman anak-anak.

Komitmen ibu terhadap perilaku normatif (tentunya tidak hanya dengan perkataan tetapi dengan
perbuatan) merupakan sarana terpenting dalam transformasi nilai-nilai terhadap anak. Tidak
dipungkiri bahwa pemanfaatan rewards seperti hadiah dan piknik mengurangi resistensi
psikologis anak dalam menerima pembelajaran norma-norma perilaku sosial. Karenanya, berilah
pujian jika anak mulai melaksanakan ibadah dan memiliki perilaku yang terpuji sekecil apapun
bentuknya.

Orang tua merupakan faktor terpenting dalam berlanjutnya semangat keberagamaan anak.
Ketika anak menyaksikan di rumahnya aspek-aspek agama selalu berjalan teratur, mereka akan
memiliki masalah lebih sedikit untuk menjalankannya pada usia yang lebih dewasa. Maka adanya
keserasian dalam bentuk perilaku ibu, menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Selain itu, kedua
orangtua tidak menafikan perkataan dan perilaku satu sama lainnya di hadapan anak-anak.

Tercatat dalam Ushul Kafi bahwa Rasulullah Saww bersabda: “Semoga Allah merahmati orang
yang menolong anaknya sendiri dalam kebaikan dan melakukan perbuatan baik”. Rawi bertanya:
”Bagaimanakah?” Rasulullah Saww melanjutkan : “Yaitu dengan menerima apa yang telah
dilakukan anak sesuai dengan kemampuannya, dan jangan menjerumuskan mereka kepada
perbuatan dosa dan pembangkangan. Janganlah berdusta kepada anak-anak, serta janganlah
melakukan perbuatan yang bodoh di hadapan mereka”.

Dalam pendidikan agama dibenarkan melakukan perbuatan riya (pamer) ketika memberikan
pendidikan agama dan akhlak kepada anak-anak. Yaitu melaksanakan perbuatan yang
berhubungan dengan nilai-nilai agama di hadapan anak-anak sehingga mereka juga terdorong
berbuat hal yang sama. Misalnya shalat di sisi anak dan atau memberikan bantuan kepada yang
membutuhkan melalui sang anak.[18]

Pengamalan terhadap aturan hukum-hukum agama merupakan syarat untuk dapat


berpengaruhnya seorang ibu dalam pendidikan agama anak. Dimana sebelum menjadi orang
yang taat melaksanakan aturan agama, seorang ibu harus terlebih dahulu memiliki keyakinan
yang kuat terhadap aturan dan nilai-nilai agama itu sendiri.
Bagian Ketiga: Metode dalam pendidikan agama anak

Beberapa metode yang dapat digunakan dalam pendidikan agama anak-anak adalah sebagai
berikut:

1. Teladan dalam perbuatan

Memiliki dan menyaksikan seorang ibu yang berperan sebagai insan teladan dari sisi agama dan
akhlak merupakan kebutuhan anak-anak dalam keluarga. Ketika mereka secara praktek
berhadapan dengan perbuatan seorang ibu yang merupakan perwujudan kesempurnaan dan
keindahan, tanpa disadari anak akan terpesona dengan sang ibu. Untuk kemudian anak akan
tertarik menuju teladannya dan dalam naungan kedekatan anak akan mengalamai proses
identifikasi. Yaitu anak berusaha menjadi identik dan sama dengan teladannya.

Berkaitan dengan hal ini Imam Shadiq as


bersabda:??? ?????? ???? ????? ????????” ???????? ????? ????? ????” artinya: ”Jadilah
kalian penyeru manusia dengan perbuatan kalian, dan janganlah kalian menjadi penyeru
manusia dengan lisan kalian”.[19]

Allah Swt dalam mengantarkan manusia menuju insan sempurna telah menjadikan Rasulullah
saw sebagai teladan. Dalam surah Al Ahzab ayat 21 Allah berfirman: “??? ??? ??? ?? ???? ????
???? ????“, artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu”.

2. Memperkenalkan anak dengan rasa dan kelezatan ibadah

Setiap sesuatu memiliki rasa dan kenikmatan, kadang bersifat materi dan kadang berbentuk
maknawi. Amirul Mukminin as berkata:
“?? ??? ??? ??? ??????? ??? ???? ????? ??? ? ????”[20] artinya: “Seorang hamba tidak akan
menemukan rasanya iman sampai ia meninggalkan dusta baik dalam keadaan serius atau
bercanda”. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa hal-hal yang berhubungan dengan
maknawi juga memiliki rasa.

Sejalan dengan menuntun anak untuk menjalankan kewajiban agama, ibu juga mengupayakan
untuk mentrasnformasi daya tarik munajat dan berdoa kepada anak dengan baik. Tunduk dan
merendah dalam shalat merupakan hubungan cinta dengan Allah Swt. Tidak cukup hanya
dengan melaksankan shalat, tetapi ibu juga berusaha menyampaikan segala keindahan dan
kebahagiaan maknawi yang terkandung di dalamnya. Sehingga di bawah pancaran daya tarik
keindahannya anak-anak menyukai dan melaksanakan ibadah shalat.

3. Penguatan fondasi agama pada anak-anak

Secara umum ibu harus berusaha menguatkan fondasi agama anak secara bertahap sejak awal
usia kanak-kanak. Hal yang penting diingat bahwa dalam penjelasannya tentu harus dalam
batasan pemikiran dan akal anak tersebut. Dengan kata lain keyakinan terhadap Allah Swt,
kenabian dan hari kiamat dikuatkan dengan bahasa anak-anak. Sehingga dengan adanya
keyakinan yang kuat anak-anak melaksanakan kewajiban yang mengikatnya.

Perlu diketahui bahwa mungkin saja beberapa pemahaman nilai-nilai agama bagi anak-anak
terasa berat dan sulit dicerna. Karenanya, hal itu haruslah diperkenalkan dengan manis seperti
gula yang dilarutkan dalam air dan sirup buah. Untuk memperkenalkan anak dengan para Imam
Ma’shum dapat dimulai melalui cerita-cerita mu’jizat dan kemuliaan mereka. Anak-anak bukan
kelompok usia yang menghendaki argumen dan dalil.

Beberapa hal di bawah ini juga dapat digunakan dalam upaya transformasi pemahaman nilai-nilai
agama[21]:
a. Penggunaan buku-buku.

b. Penjelasan rahasia dan hikmah ibadah.

c. Menganggap penting usia akil baligh sebagai dimulainya taklif.

d. Menumbuhkan motivasi.

e. Keselarasan waktu dan tempat.

Penutup

Tulisan ini merupakan pengantar yang mengetengahkan bahasan teori dalam kajian pendidikan
agama untuk anak-anak. Peran ibu dalam pendidikan agama anak digagas berdasar faktor
terdekat yang berhubungan dengan pendidikan agama anak secara umum. Dalam aplikasinya,
karakter serta kondisi khusus ibu dan anak juga layak untuk menjadi rujukan, mengingat adanya
perbedaan potensi dan lingkungan yang dimiliki tiap individu. Pengenalan seorang ibu akan
keunikan dari buah hatinya menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan. Dimana
pengenalan ini selanjutnya akan mengantarkan sang anak pada pengenalan dirinya serta tujuan
kehidupan berdasar semangat keberagamaan. Sehingga pendidikan agama anak dapat
mengaktualkan potensi semangat penghambaan dalam kehidupan yang mewujudkan individu
dan masyarakat rabbani.

[1] Al-Qur’an Surah Thaha: 132

[2] Baqiri, DR. Khusru. Negaahi Dobaare be Tarbiat-e Eslam, jil.2, hal. 87-88, Cet. Awal,
Saazmaan-e Pazyuhesh va Barnaamehrizi Aamozesh Vezaarat-e Aamozesh va Pazyuhesh,
Tehran, 1386.

[3] Munawwir.Ahmad Watson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, huruf ? hal.470, Cet. Ke-14,
Penerbit Pustaka Progressif, Surabaya, 1997

[4] Idem, huruf ? hal.437

[5] Ibn Zakaria, Ahmad ibn Faaris. Tartib Maqaayisul Lughah

[6] Dawodi, DR. Muhammad. Makalah shamali dar tarbiat-e dini va nisbat-e Aan baa mafahim
nazdik (Majmu-e makalaat-e hamaayesh tarbiat-e dini, hal 30-31), Muasasah aamozesh va
pazyuhesh Imam Khomeini, Qom, 1388.

[7] Idem

[8] Shaamili, DR.Abbas Ali, Majmu-e makaalaat-e tarbiat-e akhlaqi, pisyfarzha va caalesha.
Daftar Nashr Maarif. Cet. Awal, Tehran, 1386 H.S

[9] Raqib, Maedah-e Sadat va Nahafi, DR. Muhammad, Makaalah naqsy-e husy dar tarbiat-e dini
(Majmu’e makaalaat hamaayesh tarbiat-e dini) Muasasah amozesh va pazyuhesh Imam
Khomeini, Qom, 1388 H.S

[10] Dasyti, Muhammad. Mas’uliat-e tarbiat (Barresi-e naqsy-e zanaan dar takaamul-e kudak),
Intisaaraat-e Muasasah farhanggi tahqiqaati Amirul Mukminin alaihisalam, Cet. Ke-sembilan,
Qom, 1381 H.S

[11] Ustadan tarh-e jami’-e amozesh khanevade va farzandan dar doure-e ebtida-I, Sazman-e
Markazi Anjuman-e Aulia va Murabian, Cet. Ke-22, Tehran, 1385 H.S
[12] Mu’jam Bihaarul Anwar

[13] Idem

[14] Dasyti, Muhammad. Mas’uliat-e tarbiat (Barresi naqsy-e zanan dar takamul-e kudak),
Intisyarat-e Muasasah Farhanggi Tahqiqati Amirul Mu’minin, Qom, 1381 H.S

[15] Kanzul Amal, kh. 45320.

[16] Menggunakan landasan teori Piaget.

[17] Bahonar, DR. Nasir. Makalah taalim va tarbiat va dunya-e na syenakhte-e dini kudakan
(Majmu-e makalaat-e hamayesh tarbiati dini), Muasasah-e Amozesh va pazuhesh Imam
Khomeini ra, Qom, 1381 H.S

[18] Sayyid Mirzai, Sayyid Dawud, Shaharkhi, Sayyid Ali va Qatsi Hadi. Adab va afat tarbiat
kudak van a javaanan. Intisyarat-e Ahmadiah, Cet.Ke-4, Qom, 1384 H.S

[19]Mu’jam Biharul Anwar, berdasarkan huruf ??

[20]Idem

[21]Sayyid Mirzai, Sayyid Dawud, Shaharkhi, Sayyid Ali va Qatsi Hadi. Adab va afat tarbiat kudak
van a javaanan. Intisyarat-e Ahmadiah, Cet.Ke-, Qom, 1384 H.

You might also like