Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Otitis media adalah masalah kesehatan utama pada anak-anak di dunia.
Disamping menjadi beban tersendiri bagi pasien dan keluarga, otitis media juga
menjadi beban ekonomi pada masyarakat, sehubungan dengan biaya yang harus
dikeluarkan untuk kunjungan ke dokter, pengobatan, tindakan bedah, juga sebagai
alasan untuk absent dari kantor, sekolah, atau tempat-tempat pelayanan lain. Otitis
media akut adalah alasan tersering penggunaan terapi antibiotic pada anak di Amerika
Serikat dan kebanyakan negara berkembang lainnya. Berdasarkan studi terakhir, kasus
Otitis Media Akut (OMA) terhitung sebanyak 33% dari seluruh jumlah kunjungan ke
dokter dan sekitar 40% dari seluruh penggunaan antibiotic pada balita adalah pasien
OMA. Insiden puncak OMA yang terjadi pada anak adalah pada umur 6 sampai 24
bulan. Pada usia 2 tahun, 70% anak-anak minimal pernah mengalami satu kali episode
OMA, dan sekitar20% anak pernah menderita empat atau lebih kejadian OMA.
Otitis Media Akut (OMA) termasuk dalam penyakit karena infeksi bakteri
dengan terapi antibiotic. Namun begitu, bakteri pathogen tidak dapat diisolasi dari
middle-ear fluid (MEF) atau cairan telinga tengahpada sekitar 30% kasus OMA.
STUDI EPIDEMIOLOGI
Hubungan antara Virus Saluran Pernafasan dengan OMA
Berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, telah jelas adanya indikasi bahwa
OMA berhubungan dekat dengan kejadian infeksi saluran pernafasan atas. Sebuah
studi pada 363 anak yang baru saja didiagnosis OMA, gejala-gejala infeksi saluran
pernafasan atas terdapat pada 94% pasien dalam satu waktu diagnosis.
1
Studi klinis lanjutan telah berhasil membuktikan hubungan yang erat antara
OMA dan data laboratorium infeksi saluran pernafasan akibat virus. Dalam follow up
studi selama 14 tahun pada anak di tempat penitipan anak, infeksi virus yang
disebabkan oleh respiratory synctitial virus (RSV), influenza virus, dan adenovirus,
cenderung mempunyai resiko terhadap OMA lebih tinggi daripada infeksi di
nasofaring yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus
influenzae .
Beberapa faktor seperti usia muda, tempat penitipan anak, jenis kelamin laki-
laki, jumlah saudara, perokok pasif, dan masa menyusui yang singkat telah
diidentifikasi sebagai faktor resiko penting terhadap kejadian OMA. Faktor resiko di
atas telah dibuktikan dari beberapa studi dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
infeksi saluran pernafasan atas, yang merupakan faktor resiko OMA.
Tingkat perkembangan Otitis Media Akut (OMA) selama infeksi saluran
pernafasan sangat tergantung dari umur anak dan tipe virus yang potensial
menyebabkan infeksi. Frekuensi OMA pada anak dengan infeksi saluran pernafasan
pada umumnya berkisar antara 10 sampai 50%, dengan kasus tertinggi adalah kasus
yang berkaitan dengan infeksi Respiratory Synctitial Virus (RSV). Perkiraan kasar
berkaitan dengan berbagai kejadian infeksi virus, OMA diperkirakan terjadi pada 20%
anak dengan infeksi saluran pernafasan.
2
sampai 50%. Virus saluran pernafasan yang sering ditemukan selama ini antara lain
RSV; virus influensa A dan B; virus parainfluensa tipe 1,2, dan 3; dan adenovirus.
Namun dengan penggunaan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction) saat ini,
dapat dideteksi virus yang dianggap lemah namun berperan sangat penting dalam
kejadian kasus OMA, yaitu rhinovirus. Studi lain membuktikan adanya presentasi
virus dengan menggunakan deteksi antigen untuk mendeteksi virus RSV; virus
influensa A dan B; virus parainfluensa tipe 1, 2, dan 3; dan adenovirus serta
rhinovirus, enterovirus, dan cornavirus dengan menggunakan PCR. Hasilnya, infeksi
virus pada spesimen nasofaring dapat didokumentsikan sebesar 90% dari seluruh anak
penderita OMA.
3
binatang yang diinokulasi dengan pneumococci saja; tetapi otitis media didapatkan
pada 67% chinchillas yang diinokulasi dengan virus influensa dan S. Pneumoniae.
Studi pada manusia. Sekitar 90% abnormalitas timpanometrik diobservasi
selama minggu pertama penyakit. Studi follow-up timpanometri pada anak selama
musim dingin, tekanan negatif tinggi selama infeksi saluran pernafasan atas dapat
menimbulkan efusi telinga tengah.
Mekanisme dari infeksi virus mana yang menyebabkan disfungsi tuba eustachii
masih belum dipahami dengan jelas. Namun sejumlah studi baik in vivo ataupun in
vitro telah menggambarkan bahwa virus saluran pernafasan telah terbukti mampu
mendorong terbentuknya beberapa mediator inflamasi di nasofaring. Peningkatan
mediator-mediator kimia seperti kinin, histamin, leukotrien, interleukin (IL-1, IL-6,
IL-8), tumor nekrosis faktor, dan RANTES telah ditemukan dalam sekresi nasal dari
pasien dengan infeksi saluran pernafasan, dan konsentrasi dalam sekresi nasal dari
berbagai mediator ini berhubungan dengan tingkat keparahan gejala. Pada
experimental studi dengan relawan orang dewasa, pada akhirnya telah mendapatkan
data bahwa setelah paparan intranasal, beberapa mediator tadi mendorong terjadinya
disfungsi tuba eustachii. Namun mekanisme inflamasi yang diakibatkan dari infeksi
virus tadi sangatlah kompleks dan saling berhubungan satu sama lain bergantung pada
interval waktu tertentu.
4
seluruh kasus yang ada. Persentase tersebut lebih tinggi daripada data lain yang
menyebutkan sebanyak 52% dideteksi adanya virus parainfluensa dan 42% dideteksi
adanya virus influensa pada anak dengan OMA.
Sekitar duapertiga kasus dimana virus telah terdeteksi dari cairan telinga
tengah dengan cara kultur atau deteksi antigen, ternyata dideteksi juga adanya bakteri.
Hal ini berarti terdapat adanya indikasi infeksi campuran antara bakteri dan virus.
Secara keseluruhan, kombinasi infeksi bakteri-virus telah diperhitungkan sekitar 15%
dari seluruh kasus OMA. Data tersebut kurang proporsional atau kurang dapat
mewakili dari angka kejadian infeksi campuran yang sebenarnya, karena terlihat
bahwa masih adanya virus yang tidak terdeteksi dari proporsi data tersebut.
Walaupun hubungan yang jelas antara virus tertentu dan bakteri telah
dijelaskan dalam hubungannya dengan kejadian OMA, data kasar telah tersedia dalam
menggambarkan adanya potensi hubungan antara tpe virus dan bakteri yang terdapat
dalam cairan telinga tengah. Sebuah studi pada anak penderita OMA telah
menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara virus influensa dan S. pneumoniae.
Dalam spesimen cairan telinga tengah yang berisi bakteri dan virus, S. Pneumoniae
dapat dikultur lebih baik pada cairan telinga tengah yang mengandung virus influensa
daripada pada ciran telinga tengah yang mengandung RSV atau virus parainfluensa.
5
Berdasarkan penemuan terbaru tentang beragamnya aktivitas virus yang
berbeda-beda dalan menginfeksi ruang telinga tengah, dapat di hipotesis kan bahwa
akibat dari jenis-jenis virus yang berbeda dalam perjalanan klinis OMA juga
bervariasi. Apakah hipotesis ini benar atau tidak memang belum diketahui, namun
sebuah studi telah menyatakan bahwa rhinovirus umumnya lebih dapat dihubungkan
dengan kegagalan bakteriologis di dalam telinga tengah daripada virus saluran
pernafasan lain.
6
antibiotik yang berhasil masuk ke cairan telinga tengah. Pada binatang experimen,
penurunan penetrasi antibiotik ke dalam telinga tengah telah dibuktikan pada binatang
yang terinfeksi hanya oleh virus dan pada binatang yang terinfeksi baik virus maupun
bakteri, dibandingkan dengan binatang yang hanya terinfeksi oleh bakteri. Pada
manusia, farmakokinetik amoxicillin telah dipelajari dengan menggunakan 30 anak
penderita OMA. Konsentrasi rata-rata amoxicillin yang tertinggi adalah pada anak
dengan infeksi bakteri, lebih rendah pada anak dengan infeksi bakteri dan virus, dan
paling rendah pada anak yang dengan infeksi virus saja. Namun, karena kecilnya
sampel dalam studi ini kurang dapat menggambarkan kesimpulan pasti dari studi ini,
sehingga penelitian lebih lanjut sangat diperlukan.
PENCEGAHAN OMA
1. Vaksin (Viral Vaccine)
Barangkali bukti terpercaya dari peran virus saluran pernafasan dalam kasus
OMA telah didapatkan dari intervensi langsung dan penelitian investigasi terhadap
efektifitas vaksin virus terhadap pencegahan OMA. Penelitian mengenai efektifitas
vaksin virus influensa intranasal yang baru dikembangkan, telah dicobakan pada 1.062
anak berusia sekitar 15-71 bulan. Efektifitas vaksin terhadap influensa adalah sebesar
93% dan insidensi demam karena OMA menurun sebanyak 30% pada anak yang
memperoleh vaksin.
Namun sayangnya, selama ini vaksin influensa adalah vaksin yang baru
tersedia untuk mengontrol infeksi virus saluran pernafasan. Hal tersebut menandakan
bahwa vaksin lain yang juga melawan infeksi virus pernafasan lain, seperti RSV, dapat
digunakan untuk pencegahan inveksi virus, dan mencegah terjadinya komplisasi
berupa OMA. Beberapa tipe vaksin melawan RSV dan virus parainfluensa akhir-akhir
ini telah dikembangkan dan beberapa darinya sudah berada di klinik.
2. Viral Immune Globuline
Studi epidemiologis telah menerangkan bahwa penggunaan tranplacentally
acquired neutralizing antibodies melindungi janin dari infeksi RSV, dan penggunaan
antibiotik secara pasif telah dianjurkan sebagai salah satu pencegahan OMA.
Plivizumab, adalah monoklonan antibodi rekombinan manusia yang langsung
melawan glikoprotein F dari RSV, telah menunjukkan dapat digunakan untuk
menurunkan tingkat kebutuhan opname pada bayi prematur. Namun begitu,
7
palivizumab tidak mencegah infeksi RSV dan tidak dapat menunjukkan hasil untuk
menurunkan insiden OMA.
3. Agen Antiviral
Pada prinsipnya, agen antiviral dapat digunakan baik untuk pencegahan dan
terapi infeksi virus. Pencegahan yang sesuai terhadap penyakit karena virus dengan
mnggunakan obat anti virus dapat diharapkan untuk menurunkan respon inflamasi,
yang pada akhirnya dapat menurunkan kejadian komplikasi infeksi virus, termasuk
OMA. Saat ini, terapi sfesifik antivirus untuk virus saluran pernafasan yang tersedia
adalah hanya terapi untuk virus influensa. Sebuah studi telah mengevaluasi efektifitas
dari oseltamivir, suatu Influensa neuraminidase inhibitor, dalam pencegahan OMA
pada anak. Namun begitu, dengan tersedianya antivirus yang efektif melawan semua
virus utama, masih terdapat dua permasalahan dalam prakteknya. Pertama, manifestasi
klinis dari infeksi virus yang berbeda satu dengan yang lain biasanya susah dibedakan,
khususnya pada anak, dan penggunaan secara optimal agen antivirus membutuhkan
adanya identifikasi positif dari virus penyebab infeksi. Kedua, inisiasi terapi antiviral
seharusnya terjadi segera setelah onset gejala infeksi saluran pernafasan dan paling
lambat setelah 48 jam.
KESIMPULAN
Terdapat perkembangan bukti-bukti bahwa etiopatogenesis OMAadalah lebih
kompleks dari yang selama ini dipahami, termasuk adanya hubungan-hubungan sebab-
akibat yang saling terkait. Dimungkinkan juga bahwa banyak faktor-faktor esensial
terlibat dalam proses penyalit yang masih perlu diteliti.
Pada akhirnya, studi lebih lanjut mengenai respon dari host inflamasi dan
mekanisme interaksi virus dan bakteri diperlukan untuk menerangkan mekanisme
yang dapat digunakan sebagai target intervensi untuk meningkatkan terapi OMA atau
untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut.
8
9