You are on page 1of 19

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

Oleh :
Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air
E-mail : edieffendi@yahoo.com atau kehutanan@bappenas.go.id

ABSTRAK

Kajian ini bermaksud menganalisis sistem pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
dengan menggunakan pendekatan yang menyeluruh dengan memperhatikan seluruh pihak dan
sektor yang ada di dalam DAS. Ada tiga sektor utama yang dianalisis peranannya yaitu sektor
kehutanan, sektor sumber daya air, dan sektor pertanian. Metodologi yang dipakai adalah
analisa ekonometrik untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembangunan dari ketiga sektor
yang ada terhadap kinerja DAS. Studi ini juga memasukkan variabel-variabel tambahan seperti
permukiman untuk mewakili sektor-sektor lain yang ada di dalam DAS.
Terdapat tiga sistem DAS yaitu, DAS Ciliwung di Jawa Barat, DAS Jratunseluna di
Jawa Tengah, dan DAS Batanghari di Jambi. Ketiga sistem DAS tersebut mewakili 3 kondisi
pengelolaan. Walaupun ketiga DAS ini mempunyai karakteristik yang berbeda, tetapi kinerja
mereka hamper sama. Mereka mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia yang
menunjukkan degradasi pengelolaan hutan dan lingkungan hidup.
Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan bahwa kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi
oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis
memberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana
pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh
yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Di
sisi lain, investasi di sektor pertanian cenderung memperburuk kondisi DAS. Sebab, kegiatan-
kegiatan pertanian menambah pembukaan lahan. Berdasarkan hasil-hasil analisis tersebut,
kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan
satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DAS
seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, maka
kinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor-
sektor tergantung pada kinerja DAS.

1. PENDAHULUAN

Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada
lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain
seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah
Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan
tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan
DAS.
Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen
terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan
terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS,
mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat.
Awalnya perencanaan pengelolaan DAS lebih banyak dengan pendekatan pada faktor
fisik dan bersifat sektoral. Namun sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan
pendekatan holistik, yaitu dengan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, antara lain dimulai di
--1--
12 DAS prioritas (Brantas, Solo, Jratunseluna, Serayu, Citanduy, Cimanuk, Citarum,
Ciliwung, Asahan, Batanghari, Billa Walanae, dan Sadang). Namun urutan prioritas tersebut
dikaji ulang, dengan pertimbangan seperti : (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan
pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang berkembang pada saat
ini; (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi
terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS; dan (3) perubahan
arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi
logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang
tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk
seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS
secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.
Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya
dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.

2. TUJUAN

Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan alternatif model kebijakan pengelolaan
DAS terpadu dalam bentuk kerangka kerja yang dapat diimplementasikan dalam jangka waktu
tertentu, baik yang bersifat umum untuk seluruh DAS maupun yang bersifat khusus atas dasar
kelompok kriteria kekritisannya.
Adapun sasaran kajian ini adalah untuk: (1) menganalisa DAS yang dalam kondisi kritis
agar dapat dijadikan model pengelolaannya secara terpadu; (2) melakukan kaji ulang terhadap
kebijakan pengelolaan DAS antara lain dalam pengendalian bencana banjir dan kekeringan;
dan (3) menyusun kerangka kerja (frame work) untuk perumusan model kebijakan.

3. METODOLOGI
Kajian ini dilakukan melalui pengumpulan, pengolahan dan analisis data secara primer
dan sekunder, kaji literatur pada universitas, lembaga penelitian, lembaga pemerintah/non
pemerintah yang terkait, untuk mendapatkan referensi dan data maupun survei. Pada kajian ini,
data dan informasi bersumber dari data dan kajian primer dan sekunder yang selanjutnya
dianalisa dengan menggunakan pendekatan konsep pengelolaan DAS terpadu berdasarkan
sumber daya pada masing-masing wilayah yang dilalui oleh DAS bersangkutan.

3.1 Kerangka Teoritis

3.1.1 Definisi DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan
wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima,
mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak
sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS
sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of
connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a
single outlet”. Sementara itu IFPRI (2002) menyebutkan bahwa “A watershed is a geographic
--2--
area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to
conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop
production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and
farmers whose actions may affect each other’s interests”.
Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana
unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di
dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu
pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara
umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum
dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar
distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.
Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat diperlukan
terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui
beberapa cara seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Konsep daur hidrologi DAS menjelaskan
bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air
larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran.

Gambar 1. Daur Hidrologi DAS

Sumber: Hidrologi dan Pengelolaan DAS (Chay Asdak, 2002).

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah
dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan
daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan
fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak
di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material
terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu
mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari
segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus
perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik
melalui daur hidrologi.

--3--
3.1.2 Definisi DAS Berdasarkan Fungsi
Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan
DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama
DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi
lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan
vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS
bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat
memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan
dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta
terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.Ketiga DAS bagian
hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat
bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air,
kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air
bersih, serta pengelolaan air limbah.
Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga
keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat
mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan
maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang
panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan
DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah
secara baik.

3.2 Kerangka Analisis


3.2.1 Konsepsi Pengelolaan DAS Terpadu

Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang
menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang
akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang
saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak
merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.
Seperti sudah dibahas dalam bab-bab terdahulu, suatu DAS dapat dimanfaatkan bagi
berbagai kepentingan pembangunan misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan,
permukiman, pembangunan PLTA, pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua
kegiatan tersebut akhirnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnya
peningkatan kesejahteraan. Namun demikian hal yang harus diperhatikan adalah berbagai
kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang jika tidak ditangani dengan
baik akan menyebabkan penurunan tingkat produksi, baik produksi pada masing-masing sektor
maupun pada tingkat DAS. Karena itu upaya untuk mengelola DAS secara baik dengan
mensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan
bukan hanya untuk kepentingan menjaga kemapuan produksi atau ekonomi semata, tetapi juga
untuk menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir, longsor,
kekeringan dan lain-lain.
Mengingat akan hal-hal tersebut di atas, dalam menganalisa kinerja suatu DAS, kita
tidak hanya melihat kinerja masing-masing komponen/aktifitas pembangunan yang ada di
dalam DAS, misalnya mengukur produksi/produktifitas sektor pertanian saja atau produksi
hasil hutan kayu saja. Kita harus melihat keseluruhan komponen yang ada, baik output yang
bersifat positif (produksi) maupun dampak negatif. Karena itu dalam kajian pengelolaan DAS
Terpadu ini selain dilakukan analisis yang bersifat kuantitatif, juga dilakukan analisis yang

--4--
bersifat kualitatif. Analisis-analisis tersebut pada dasarnya didasarkan kepada adanya
keterkaitan antara suatu sektor/kegiatan pembangunan dengan kegiatan pembangunan lain,
sehingga apa yang dilakukan pada satu sektor/komponen akan mempengaruhi kinerja sektor
lain.
Untuk menggambarkan hubungan keterkaitan antara berbagai aktifitas/komponen
pembangunan yang ada di dalam DAS digunakan model seperti dalam gambar 2. Dalam
diagram tersebut digambarkan keterkaitan antara berbagai komponen yang dalam analisis
kuantitatif akan digunakan sebagai variabel untuk mengukur kinerja DAS secara keseluruhan.

Gambar 2 : Model Keterkaitan Berbagai Aktifitas dalam DAS

Dana APBN Dana Pengelolaan APBN


Reboisasi Kehutanan Sumber Daya Air Sumber Daya Pertanian
Air

Reboisasi Konservasi
Sarana
Pengairan/
Irigasi
Kondisi Hutan (TN, Hutan Alam, Sarana Pengelolaan Produksi
Penebangan
HTI, Lahan Kritis, Konservasi Sumber Daya Pertanian Pertanian
Hutan • Banjir
Sumber Daya Air) Air
• Kekeringan

Peningkatan
Industri Pendapatan
Perkayuan/ Tata Ruang Tingkat Fluktuasi
Produksi Kayu
M asyarakat Permukiman Air Permukaan

3.2.2 Analisa Kuantitatif

3.2.2.1 Pemilihan Metode Regresi


Analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis regresi. Analisis regresi
membedakan dua jenis varibel yaitu variabel bebas atau variabel prediktor dan variabel tak
bebas atau variabel respon. Variabel yang keberadaannya tidak tergantung kepada variabel-
variabel lain di dalam sistem yang dinilai sering dapat digolongkan ke dalam variabel bebas,
sedangkan variabel yang terjadi karena variabel bebas merupakan variabel tak bebas. Variabel
bebas dinyatakan dengan X1, X2, X3, …, Xk (k >= 1) dan varibel tak bebas dinyatakan dengan
Y. Melalui regresi akan ditentukan hubungan fungsional yang diharapkan berlaku untuk
populasi berdasarkan data sampel yang diambil dari populasi yang bersangkutan, yang
selanjutnya hubungan tersebut dinyatakan dalam persamaan regresi. Selanjutnya digunakan
analisis regresi dengan variabel bebas bersifat multivariabel, sehingga digunakan analisis
regresi ganda dengan metode kuadrat terkecil. Metode ini berpangkal pada kenyataan bahwa
jumlah pangkat dua (kuadrat) daripada jarak antara titik-titik dengan garis regresi yang sedang
dicari harus sekecil mungkin.

3.2.2.2 Pemilihan Populasi Data


Mengingat terbatasnya data yang ada untuk digunakan dalam analisis ini, maka data
time series yang digunakan hanya terbatas 10 tahun yaitu 1989-1998. Lingkup wilayah data
yang digunakan dalam analisis adalah wilayah propinsi di mana wilayah kajian berada. Adapun

--5--
wilayah kajian terpilih adalah Jawa Barat, mengingat data yang tersedia dalam kurun waktu
tersebut hanya Jawa Barat.
Data yang tersedia dan dipilih sebagai variabel tak bebas dalam analisis adalah data
nisbah. Nilai nisbah menggambarkan kondisi sungai sekaligus mengisyaratkan kemampuan
lahan untuk menyimpan air. Semakin tinggi nilai nisbah, kondisi sungai semakin buruk. Nilai
nisbah yang tinggi menunjukkan bahwa nilai debit maksimum besar dan debit minimum kecil.
Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada
musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan ini sangat bergantung pada
kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dan lain-lain. Kondisi DAS dikatakan
baik jika memenuhi beberapa kriteria :
a. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun
b. Kualitas air baik dari tahun ke tahun
c. Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil. Hal ini digambarkan dengan
nisbah.
d. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun
Nilai nisbah yang digunakan adalah nilai nisbah Sungai Ciliwung berdasarkan debit
bulanan terukur setiap tahunnya di Bendung Katulampa.
Sebagai variabel bebas dipilih data APBN. Pemilihan data APBN dilakukan untuk
menilai sejauh apa pengaruh kebijakan alokasi APBN sektor terkait yang bersifat makro dapat
mempengaruhi nilai nisbah Sungai Ciliwung yang sifatnya mikro atau spesifik.
Berdasarkan pengertian mengenai DAS, dimana DAS dapat dibagi menjadi sub-DAS
Hulu, sub-DAS Tengah dan sub-DAS Hilir. Sektor kehutanan dipilih mewakili sub-DAS Hulu.
Alokasi APBN pada sektor ini berkaitan dengan seluruh alokasi dana sektor/program/proyek
yang ada pada Departemen Kehutanan. Selanjutnya dana reboisasi (DR) sebagai variable
tambahan karena dana DR merupakan sumber pembiayaan pembangunan kehutanan yang
jumlahnya cukup dominan. Dana DR ini berasal dari setoran perusahaan HPH untuk reboisasi.
Variabel ini diharapkan mampu mendukung variabel dana APBN pada sektor kehutanan.
Mewakili sub-DAS Tengah dan sub-DAS Hilir adalah sektor pertanian dan sumberdaya
Air. APBN sektor pertanian mencakup sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura, litbang
pertanian, diklat pertanian dan bimas, dimana alokasi APBN untuk sub-sektor ini diarahkan
untuk peningkatan produksi tanaman pangan. Sedangkan APBN di bidang sumberdaya Air
meliputi sektor/program/proyek berkaitan dengan pengairan dan irigasi, dan penyelamatan
hutan, tanah dan air. Variabel bebas lainnya adalah produksi kayu dan jumlah penduduk.
Produksi kayu dipakai sebagai proxy dari kondisi tutupan lahan.

3.2.2.3 Hipotesa
Berdasarkan pemilihan variabel tak bebas (nisbah) dengan variabel bebas (APBN
Kehutanan, DR, APBN Pertanian, APBN Sumberdaya Air, Produksi Kayu dan Jumlah
Penduduk), dilakukan hipotesa awal terhadap hubungan variabel bebas dan variabel tak bebas.
Berdasarkan metode regresi yang dipilih, maka hubungan fungsional variabel tak bebas
terhadap variabel bebas dirumuskan sebagai berikut :

Nisbah = A1.Hutan(-1) + A2.DR(-1) + A3.SP(-1) + A4.SDAIR(-1) + A5.Prodkayu


+ A6.Pnddk + C

dimana,
Hutan (-1) = APBN di bidang kehutanan (juta rupiah) dengan A1 sebagai koefisien

--6--
DR (-1) = Dana Reboisasi (juta rupiah) dengan A2 sebagai koefisien
SP (-1) = APBN di bidang pertanian (juta rupiah) dengan A3 sebagai koefisien
SDAIR (-1) = APBN di bidang sumber daya air (juta rupiah) dengan A4 sebagai
koefisien
Prodkayu = Produksi kayu tebangan (m3) dengan A5 sebagai koefisien
Pnddk = Jumlah penduduk (jiwa) dengan A6 sebagai koefisien
C = Konstan
(-1) = Lag time
Alokasi APBN di bidang kehutanan diharapkan dapat menurunkan nilai nisbah, dengan
asumsi bahwa jika investasi di bidang ini dialokasikan secara tepat, kondisi tutupan hutan akan
menjadi lebih baik. Jika hutan dalam kondisi yang baik, kemampuannya untuk menyerap air
hujan akan besar. Hutan memberikan kemungkinan terbaik bagi pemulihan dan perbaikan sifat
lahan. Hutan tropis mempunyai koefisien limpasan 0.03, artinya air hujan yang mampu diserap
oleh hutan adalah sebesar 97%. Penyerapan air hujan akan mengurangi limpasan langsung di
permukaan yang akhirnya mengurangi nilai nisbah.
Adanya dana reboisasi (DR) diharapkan dapat menjadi tambahan sumber pembiayaan
pembangunan di bidang kehutanan, khususnya untuk program reboisasi karena nilainya yang
dominan. Program reboisasi diharapkan dapat memperbaiki kondisi tutupan hutan yang telah
gundul sebagai akibat penebangan yang dilakukan oleh perusahaan HPH. Pemanfaatan dana
DR untuk reboisasi diharapkan berkorelasi negatif terhadap nisbah mengingat reboisasi akan
memperbaiki kondisi tutupan lahan.
Alokasi APBN di bidang pertanian berkaitan dengan peningkatan produksi tanaman
pangan, diperkirakan berkorelasi positif terhadap nisbah. Upaya peningkatan produksi
pertanian akan meningkatkan aktifitas pertanian baik dalam bentuk perluasan lahan pertanian,
maupun intensitas pengelolaan lahan yang akan mempengaruhi kebutuhan akan debit air irigasi
pada satu sisi, pada sisi lain pemilihan tipe irigasi, pola tanam dan jenis tanaman juga
mempengaruhi nisbah karena berkaitan dengan tutupan lahan.
Alokasi APBN di bidang sumberdaya Air sektor pengairan dan irigasi melalui sub
sektor/program/proyek berkaitan pengairan dan irigasi, penyelamatan hutan, tanah dan air
diharapkan dapat memperbaiki kondisi sungai yang ada, sehingga kondisi aliran baik pada
debit maksimum maupun minimum dapat terkendali. Pada kondisi debit maksimum diharapkan
tidak menimbulkan bencana banjir maupun longsor melalui pembangunan waduk, normalisasi
sungai, perencanaan sistim irigasi dan drainasi yang baik. Pada kondisi debit minimum
diharapkan tidak terjadi bencana kekeringan karena adanya cadangan air melalui pembangunan
waduk, bendung maupun bendungan beserta struktur pendukungnya.
Jumlah produksi kayu diperkirakan berkorelasi positif terhadap peningkatan nilai nisbah
karena terjadi pengurangan tutupan hutan. Jika luasan hutan berkurang karena penebangan
maka limpasan langsung air hujan di permukaan akan menjadi lebih besar dibanding air hujan
yang terinfiltrasi ke dalam tanah. Jumlah limpasan langsung akan meningkatkan nilai nisbah
karena meningkatnya nilai debit maksimum. Demikian pula dengan jumlah penduduk.
Peningkatan jumlah penduduk meningkatkan nilai nisbah, hal ini berkaitan dengan berbagai
aktifitas kependudukan seperti permukiman, pembuangan sampah, industri, budidaya pertanian
dan penanaman tanaman bukan tegakan.

--7--
4. HASIL KAJIAN
4.1 Hasil Studi Literatur Model Pengelolaan DAS

Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari
sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan
berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan DAS dipahami sebagai
suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi
sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan
jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang dalam hal ini
termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara
daerah hulu dan hilir suatu DAS (Chay Asdak, 2002), seperti yang tertera pada Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir

Sumber: Hidrologi dan Pengelolaan DAS (Chay Asdak, 2002).

Dalam menjabarkan model pengelolaan DAS maka setiap unit DAS, secara substansi
dan strateginya, serta bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu
dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari
proses alamiah yang ada. Implikasi dari hal tersebut adalah memperlihatkan bahwa pengelolaan
DAS merupakan suatu sistem hidrologi dan sistem produksi, dan hal ini membuka terjadinya
konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem DAS.
DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air
untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS seringkali mengalami
konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata,
pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan
kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya.
Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-
aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan
ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur
hidrologi.

--8--
Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen-
komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga
tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan
sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan,
serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah
adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati
beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah-
daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi
tanggung jawab bersama.
Menurut Asdak (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu
adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut :
(1) Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan
biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas
pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan
biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya
desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu
kesatuan perencanaan dan pengelolaan.
(2) Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau kebijakan
yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak
tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan
bahwa negative externalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan
DAS bagi : (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat
yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal
externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi
kegiatan (sectoral externalities).
(3) Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumberdaya alam dapat
dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya
kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor
(organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan
kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkan
keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.
Pada penanganan DAS bagian hulu diarahkan pada kawasan budidaya (pertanian)
karena secara potensial proses degradasi lebih banyak terjadi pada kawasan ini. Untuk itu agar
proses terpeliharanya sumberdaya tanah (lahan) akan terjamin, maka setiap kawasan pertanian
atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya
kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya
dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari.
Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang
dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk
ekologis maupun adminstratif, yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan
mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta
penyediaan pendanaan, yang dapat dijabarkan oleh Gambar 4 berikut.

--9--
Gambar 4. Model Pengelolaan DAS

Pengelolaan
Ekosistem DAS

Hulu – Hilir Ekonomi, Sosial, Batas Ekologi/


DAS Budaya Administrasi

Lahan/Air

Kelembagaan Teknologi Pendanaan

Selama ini metodologi perencanaan DAS secara terpadu kurang memperhatikan aspek-
aspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan, misalnya antara
kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri, kepentingan daya dukung
lingkungan (ecological demands). Perkembangan pembangunan di bidang permukiman,
pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi SDA berupa penambangan, dan eksploitasi hutan
menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu DAS yang menyebabkan kemampuan DAS
untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas
air pada musim kemarau. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung
mengalir menjadi aliran permukaan yang seringkali menyebabkan banjir dan sebaliknya pada
musim kemarau aliran air menjadi sangat kecil bahkan pada beberapa kasus sungai tidak
terdapat aliran air.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan konsekuensi
logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang
tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan lahan
menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya
proses degradasi tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai
menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi
berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya
percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas
air.
Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu
merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan
sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini oleh karenanya
merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang didasarkan pada data akademis
maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan
ekonomi dan sosial sebagai sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Dengan
beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus
diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa
perlindungan dan penggunaan DAS secara berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka
kerja (framework).

- - 10 - -
4.2 Gambaran Umum DAS di Indonesia

Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 33
Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Dalam peraturan pemerintah ini DAS dibatasi
sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga
merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut
dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya,
penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam
sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut.
Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri,
eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan
penurunan kondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai (DAS). Gejala penurunan fungsi
hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau
Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun
1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi
sebagai penyimpan air pada musim kemarau dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai
“base flow” pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim
penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang
menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran “base flow” sangat kecil
bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan
tidak mendapat suplai air tawar.
Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran kondisi suatu
daerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan perundang-
undangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis, parameter iklim, dan
parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih merupakan salah satu input yang paling
relevan dalam model DAS untuk mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut, khususnya apabila
dikaitkan dengan fungsi hidrologis DAS. Berdasarkan pertimbangan hal tersebut maka
pembahasan kondisi DAS dalam makalah ini memakai hidrograf aliran dan angkutan sedimen
sebagai ukuran tingkat kinerja DAS.
Peran strategis DAS sebagai unit perencanaan dan pengelolaan sumberdaya semakin
nyata pada saat DAS tidak dapat berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan
penjamin kualitas air yang dicerminkan dengan terjadinya banjir, kekeringan dan sedimentasi
yang tinggi. Dalam prosesnya, maka kejadian-kejadian tersebut merupakan fenomena yang
timbul sebagai akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologi
yang melibatkan kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan
yang menyebabkan terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Dari
hasil inventarisasi lahan kritis menunjukkan bahwa terdapat + 14,4 juta hektar di luar kawasan
hutan dan + 8,3 juta hektar di dalam kawasan hutan (Pasaribu, 1999).
Selain itu bencana banjir, tanah longsor, dan berbagai kejadian alam yang melanda
Indonesia tidak terlepas dari kerusakan ekologi. Bentuk kerusakan ekologi ini didominasi oleh
kerusakan hutan. Berbagai bencana akibat kerusakan ekologi yang melanda Indonesia di tahun
2002 diawali oleh banjir besar yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta pada
awal Februari 2002. Dalam peristiwa tersebut, yang diindikasikan karena rusaknya kawasan
hutan di daerah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur), tidak hanya mengakibatkan kerugian
harta dan benda, melainkan juga nyawa.

- - 11 - -
4.3 Hasil Analisis Regresi Linier
Berdasarkan hasil regresi linier ganda multivariabel, diperoleh hubungan fungsional
antara variabel takbebas dan variabel bebas terpilih sebagai berikut :

Nisbah = 0.007802 Hutan(-1) -0.003075 DR(-1) + 0.001013 SP(-1) -5.5x10-5 SDAIR(-1)


+ 2.33x10-5 Prodkayu + 2.2x10-5 Pnddk – 104.2966

a. Uji regresi linier ganda


Hasil uji koefisien determinasi ganda (R-squared) menghasilkan nilai sebesar 0.991342
yang berarti ada korelasi langsung antara variabel bebas terhadap variabel takbebas. Nilai F-
statistik sebesar 38.1666 > 4.76 (berdasarkan daftar distribusi F dengan α = 0.1) menunjukkan
bahwa regresi linier variabel nisbah terhadap variabel APBN Kehutanan, DR, APBN Pertanian
(produksi tanaman pangan), APBN Sumberdaya Air, produksi kayu dan jumlah penduduk
bersifat nyata. Persamaan regresi dapat diterima.

b. Uji koefisien
Dari persamaan tersebut di atas diperoleh koefisien untuk A1,A2,A3,A4,A5,A6 masing-
masing adalah 0.007802; -0.003075; 0.001013; -5.5x10-5; 2.33x10-5; 2.2x10-5. Uji koefisien
dengan tingkat α = 0,1 menunjukkan bahwa koefisien A1,A2,A3,A4 signifikan terhadap
variabel tak bebas. Koefiesien A5 dan A6 tidak signifikan meskipun menunjukkan korelasi
positif sesuai dengan hipotesa awal.

Berdasarkan hubungan fungsional regresi linier di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
a. Setiap investasi APBN di bidang kehutanan sebesar 1 unit (juta rupiah) meningkatkan nilai
nisbah sebesar 0.007802. Beberapa faktor penyebab korelasi positif ini diantaranya adalah
belum tepatnya alokasi APBN di bidang kehutanan, belum tepatnya perencanaan
program/proyek sehingga alokasi dana yang ada belum tepat sasaran dalam pembangunan
kehutanan. Analisa trend menunjukkan bahwa pada kurun waktu 5 tahun terakhir (1994-
1998) alokasi APBN menurun jika dibandingkan dengan alokasi pada kurun waktu 5 tahun
sebelumnya (1989-1993). Hingga saat ini investasi di bidang kehutanan khususnya untuk
rehabilitasi hutan dipandang sebagai investasi yang beresiko dan hasilnya tidak diperoleh
dalam jangka pendek sebagaimana bidang lainnya. Paradigma lama pembangunan yang
mengedepankan indikator ekonomi menempatkan hutan sebagai tempat eksploitasi kayu
dalam rangka mengejar target produksi yang menjadi tuntutan industri kayu dalam negeri
dan luar negeri. Pada sisi lain kegiatan konversi lahan bervegetasi hutan juga meningkat
yang akan mengurangi kemampuannya dalam menyerap air hujan. Padahal hutan
memberikan kemungkinan terbaik bagi pemulihan dan perbaikan sifat lahan.
b. Kenaikan Dana Reboisasi Propinsi Jawa Barat sebesar 1 unit (juta rupiah) akan
menurunkan nisbah sebesar 0.003075. Sesuai dengan hipotesa awal, keberadaan dana DR
diharapkan dapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan kehutanan khususnya untuk
kegiatan reboisasi hutan. Kegiatan reboisasi diharapkan dapat memperbaiki kondisi tutupan
hutan yang telah gundul atau dalam keadaan kritis sebagai akibat penebangan kayu hutan.
Perbaikan terhadap kondisi tutupan hutan akan mengurangi limpasan langsung
dipermukaan yang akhirnya akan mengurangi nilai nisbah.
c. Kenaikan alokasi APBN sektor pertanian Propinsi Jawa Barat setiap 1 unit (juta rupiah)
akan menaikkan nilai nisbah sebesar 0.001013. Hal ini dapat dipahami karena investasi

- - 12 - -
untuk kegiatan peningkatan produksi tanaman pangan akan meningkatkan kebutuhan akan
debit air irigasi sebagai pendukung. Analisa trend menunjukkan alokasi APBN untuk sektor
pertanian untuk peningkatan produksi mengalami kenaikan terus-menerus dari tahun 1989
hingga 1998, meskipun alokasi dana sektor kehutanan juga mengalami kenaikan, namun
nilainya masih dibawah alokasi dana sektor pertanian dan sumber daya air. Padahal hutan
mempunyai peranan yang penting sebagai penyangga sistim DAS karena keberadaannya
sebagai pengatur tata guna air, sementara sektor sumberdaya air berperan dalam
pendistribusian air melalui pembuatan sistim irigasi. Kegiatan investasi di sektor pertanian
berkaitan dengan peningkatan produksi tanaman pangan seharusnya diiringi dengan
pemilihan tipe irigasi dan drainase yang tepat, hal ini akan mempengaruhi karakteristik
aliran langsung di permukaan. Irigasi yang baik akan memungkinkan air terdistribusi
dengan baik dan memperbesar kapasitas infiltrasi. Drainase yang baik akan menghambat
terbawanya partikel-partikel tanah ke dalam sungai yang akan menyebabkan pendangkalan
sungai. Pemilihan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman akan mempengaruhi keadaan
tutupan lahan yang selanjutnya berpengaruh pada aliran langsung di permukaan. Budidaya
di lahan pertanian secara intensif harus memberikan ruang untuk konservasi air. Selain
daripada itu diperlukan pula perubahan pola pikir dan persepsi tentang perlunya reorientasi
sistem produksi pertanian nasional dari paddy field oriented menjadi upland agriculture
development oriented melalui penggunaan lahan kering. Lahan kering sangat menjanjikan
dalam menopang produksi pertanian nasional. Selain karena hemat air, produksi pangan
lahan kering juga dapat mendekati lahan sawah apabila irigasi suplementer dapat
dikembangkan.
d. Kenaikan alokasi APBN bidang sumberdaya air sektor pengairan dan irigasi, penyelamatan
hutan, tanah dan air setiap 1 unit (juta rupiah) akan menurunkan nilai nisbah sebesar -
5.5x10-5. Hasil uji koefisien dengan tingkat α = 0,1 menunjukkan bahwa alokasi APBN
pada bidang sumberdaya air sesuai sektor tersebut di atas mempunyai nilai yang signifikan
terhadap penurunan nisbah. Ketepatan pengalokasian dana, perencanaan program/proyek
secara tepat merupakan faktor yang akan berpengaruh pada nilai korelasi ini.
e. Setiap tebangan kayu di Jawa Barat sebesar 1 m3 akan meningkatkan nilai nisbah di Sungai
Ciliwung sebesar 2.33x10-5, namun kenaikan ini tidak signifikan. Sedangkan kenaikan
setiap 1000 jiwa penduduk di Jawa Barat akan menaikkan nisbah Sungai Ciliwung sebesar
2.2x10-2, kenaikan ini juga tidak signifikan. Koefisien A5 berkorelasi positif, hal ini
menujukkan bahwa kegiatan penebangan hutan dapat menyebabkan menurunnya luasan
tutupan hutan yang berakibat pada meningkatnya nisbah. Demikian pula dengan berbagai
aktifitas yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk seperti kegiatan permukiman,
penanaman tanaman bukan tegakan, industri, perkantoran, pembuangan sampah, aktifitas di
bantaran sungai dan pembangunan sarana dan prasarana fisik dapat menyebabkan
peningkatan nilai nisbah.
Persamaan regresi diatas menunjukkan bahwa alokasi APBN setiap 1 unit (juta rupiah)
untuk masing-masing sektor di atas masih memungkinkan kenaikan nilai nisbah sebesar 0.005.
Analisa trend juga menunjukkan bahwa nilai nisbah mempunyai kecenderungan meningkat.
Berdasarkan analisa di atas dapat pula disimpulkan bahwa perencanaan DAS tidak
dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral saja, keterkaitan antar sektor yang mewakili
masing-masing sub-DAS, dari sub-DAS hulu hingga ke hilir perlu menjadi fokus perhatian
dengan berpegang pada prinsip ‘one river one management’. Keterkaitan antar sektor meliputi
perencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada tingkat koordinasi semua
instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS

- - 13 - -
merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing resources), dimana pemanfaatan di daerah hulu
akan mengurangi manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan
diterima di hilirnya. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam
pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang
ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.
Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input-proses-
output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut menjadi output.
Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui proses yang ada
menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadi input bagi sub-DAS hilir.
Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada masa ke
depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi
sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan
penerapan ‘user pays principle’ maupun ‘polluter pays principle’.

4.4 Hasil Analisis Trend


Analisa trend alokasi dana Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa alokasi dana untuk
sektor kehutanan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor pertanian dan sumberdaya
Air dengan rata-rata per tahunnya 8.726 juta rupiah, dimana dana ini terdiri dari dana APBN
dan Dana Reboisasi (DR). Hasil analisa trend alokasi dana Propinsi Jawa Tengah dan Jambi
juga menunjukkan hal serupa sebagaimana di Propinsi Jawa Barat. Di Propinsi Jawa Tengah
alokasi dana APBN untuk sektor sumberdaya Air meningkat tajam dari tahun ke tahun seiring
meningkatnya alokasi dana di sektor pertanian dalam rangka peningkatan produksi tanaman
pangan. Demikian pula di Propinsi Jambi. Namun trend hasil produksi tanaman pangan (padi)
baik di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Propinsi Jambi mengalami fluktuasi setiap
tahunnya, hal ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan produksi tanaman pangan (padi)
belum berhasil sepenuhnya, sementara jumlah penduduk terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sedangkan untuk sektor kehutanan meskipun alokasi dana setiap tahunnya mengalami kenaikan
namun nilainya masih jauh dibawah sektor pertanian dan sumberdaya Air, meskipun telah
mendapat kontribusi dari dana reboisasi. Secara lebih lengkap hasil analisa trend tersebut
disajikan pada tabel berikut ini :

Tabel 4.1 : Alokasi Dana Sektor Kehutanan, Pertanian dan Sumberdaya Air, 1989-1998 (Rp.
Juta)

Propinsi Jawa Barat Propinsi Jawa Tengah Propinsi Jambi


Nilai Sumber Sumber Sumbe
Kehutanan Pertanian Kehutanan Pertanian Kehutanan Pertanian
Daya Air Daya Air Daya Air
Rata2 8.726 14.450 70.342 3.309 10.221 90.632 2.966 6.598 10.639
Maks 13.865 25.007 145.400 6.816 19.487 121.429 5.955 9.980 21.500
Min 2.356 3.051 17.113 870 2.750 16.363 85 1.011 1.001
Catatan : Dana sektor kehutanan terdiri dari APBN dan Dana Reboisasi (DR)

- - 14 - -
Grafik 4.1 Alokasi Dana Jawa Barat Grafik 4.2 Alokasi Dana Jawa Tengah Grafik 4.3 Alokasi Dana Jambi
160000 130000 25000
Kehutanan
Kehutanan
120000
140000 Pertanian Kehutanan
Pertanian 110000
Kimpraswil 20000 Pertanian

Alokasi D ana (Juta Rupiah)


Alokasi Dana (Juta Rupiah)
100000
Alokasi Dana (Juta Rupiah)

120000 Kimprasw il
90000 Kimpraswil
100000 80000 15000
70000
80000
60000
50000 10000
60000
40000
40000
30000
5000
20000
20000
10000
0 0 0
1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
Tahun
Tahun Tahun

Grafik 4.4 Produksi Padi Jawa Barat Grafik 4.5 Produksi Padi Jawa Tengah Grafik 4.6 Produksi Padi Jambi
11000000 8800000 700000
10800000 8600000
600000
10600000 8400000
500000
10400000 8200000
Pro d u ksi (T o n )

Pro d u ksi (T o n )
Pro d u ksi (T o n )

10200000 8000000 400000

10000000 7800000 300000


9800000 7600000
200000
9600000 7400000
100000
9400000 7200000
9200000 7000000 0
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998

1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998

1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
Tahun Tahun Tahun

Hal ini menunjukkan bahwa sektor permukiman dan prasarana wilayah masih menjadi
prioritas dalam pembangunan dibandingkan dengan sektor kehutanan. Indikator pembangunan
barangkali lebih mudah dilihat dengan berhasil dibangunnya berbagai sarana fisik, sementara
pembangunan di bidang kehutanan masih dipandang sebagai investasi yang beresiko dan
hasilnya diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Pada satu sisi sarana irigasi dibangun
sebagai penunjang upaya peningkatan produksi tanaman pangan di sektor pertanian, namun
pada sisi lain kemampuan hutan sebagai penyangga sistem DAS semakin menurun dengan
meningkatnya nilai nisbah sungai. Penebangan hutan terus berlanjut sebagai upaya memenuhi
produksi kayu hutan. Akibatnya pada musim hujan air berlimpah sehingga menjadi bencana
banjir, dan pada musim kemarau air surut sehingga timbul bencana kekeringan. Pada musim
kering banyak sarana irigasi yang kering sehingga produksi tanaman pangan terganggu. Trend
produksi padi di ketiga propinsi menunjukkan bahwa produksi padi berfluktuasi dari tahun ke
tahun, artinya upaya peningkatan produksi belum berhasil. Sementara itu pendekatan yang
dipakai dalam penyelesaiaan masalah bencana banjir dan kekeringan selama ini tampaknya
lebih banyak berorientasi pada penyelesaian yang bersifat “fisik” yaitu dengan membangun
prasarana pengendali banjir yang sekaligus dapat berfungsi sebagai penampung air bagi
penyediaan air irigasi di musim kemarau. Padahal hal ini seringkali bersifat symtomatik hanya
sekedar menangani gejala yang timbul tetapi kurang memperhatikan akar permasalahannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, tampaknya alokasi dana APBN yang ada untuk sektor
kehutanan ditambah dengan dana reboisasi (DR) belum mampu memperbaiki kondisi hutan.
Hutan terus terdegradasi sehingga kemampuannya sebagai penyangga sistem DAS terus
menurun, dan dampaknya dirasakan oleh seluruh sub-sistem DAS dari hulu hingga ke hilir

- - 15 - -
khususnya sektor permukiman wilayah dan sektor pertanian dalam bentuk bencana banjir dan
kekeringan.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu bentuk pengembangan wilayah
yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan, dengan daerah bagian hulu dan
hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan
penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk
fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di
dalamnya. Dengan demikian pengelolaan DAS merupakan aktifitas yang berdimensi
biofisik (seperti, pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis,
dan pengelolaan pertanian konservatif); berdimensi kelembagaan (seperti, insentif dan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi); dan berdimensi sosial yang
lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya setempat, sehingga dalam perencanaan model
pengembangan DAS terpadu harus mempertimbangkan aktifitas/teknologi pengelolaan
DAS sebagai satuan unit perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.
2. Operasionalisasi konsep DAS terpadu sebagai satuan unit perencanaan dalam
pembangunan selama ini masih terbatas pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan
air, sedangkan organisasi masih bersifat ad.hoc, dan kelembagaan yang utuh tentang
pengelolaan DAS belum terpola. Agar pengelolaan DAS dapat dilakukan secara optimal,
maka perlu dilibatkan seluruh pemangku kepentingan dan direncanakan secara terpadu,
menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan DAS sebagai suatu unit
pengelolaan.
3. Berdasarkan hasil analisa data diatas, perencanaan DAS tidak dapat dilakukan melalui
pendekatan sektoral saja, melainkan perlu adanya keterkaitan antar sektor yang mewakili
masing-masing sub DAS, dari sub-DAS hulu hingga ke hilir yang menjadi fokus
perhatian dengan berpegang pada prinsip ‘one river one management’. Keterkaitan antar
sektor meliputi perencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada
tingkat koordinasi semua instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Sungai
sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing
resources), dimana pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya.
Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya. Berdasarkan
hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS dengan
melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam lingkup
wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.
4. Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input-
proses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut
menjadi output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan
melalui proses yang ada menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadi
input bagi sub-DAS hilir. Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output
terakhir dari DAS. Pada masa ke depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output
dari sub-DAS hilir menjadi input bagi sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud
melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan penerapan ‘user pays principle’ maupun
‘polluter pays principle’.

- - 16 - -
Dalam rangka memulihkan dan mendayagunakan sungai dan pemeliharaan kelestarian
DAS, maka rekomendasi ke depan perlu disusun kebijakan (peraturan) pemerintah yang
mengatur tentang pengelolaan DAS terpadu, yang antara lain dapat memuat :
1. Pengelolaan DAS terpadu yang meliputi :
a. Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam
penyusunan dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai.
b. Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan
program-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu
pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya.
c. Keterpaduan program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan
dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.
d. Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses
evaluasi dan monitoring.
e. Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan.
2. Hak dan kewajiban dalam pengelolaan DAS yang meliputi hak setiap orang untuk
mengelola sumber daya air dengan memperhatikan kewajiban melindungi, menjaga dan
memelihara kelestarian daerah aliran sungai.
3. Pembagian kewenangan yang jelas antara daerah kabupaten/kota, daerah propinsi dengan
pemerintah pusat dalam mengelola DAS secara terpadu.
4. Badan pengelola daerah aliran sungai (aspek kelembagaan) dapat berupa badan usaha atau
badan/instansi pemerintah. Badan-badan tersebut ditetapkan oleh pemerintah baik pusat
maupun daerah sesuai dengan kewenangan yang berlaku.
5. Kebijakan pemerintah ini selain mengatur tentang peran serta masyarakat dalam
pengelolaan DAS terpadu, juga mengatur sanksi (hukuman) bagi masyarakat yang tidak
mengindahkan peraturan pemerintah dalam pengelolaan DAS terpadu baik pada DAS
lokal, regional maupun nasional.

- - 17 - -
DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1999. “DAS sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air sebagai Indikator Sentral”,
Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21
Desember 1999. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia 2002. Jakarta.
Bappeda Kabupaten Batanghari dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari. 2003. Batanghari dalam
Angka 2002. Batanghari.
Bappeda Kabupaten Batanghari dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari. 2003. Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Batanghari menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2002. Batanghari.
Bappeda Kabupaten Bogor dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2001. Kabupaten Bogor dalam
Angka 2000. Bogor.
Bappeda Kabupaten Bogor dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2003. Kabupaten Bogor dalam
Angka 2002. Bogor.
Bappeda Kota Bogor dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2001. Kota Bogor dalam Angka 2000. Bogor.
Bappeda Kota Bogor dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2002. Kota Bogor dalam Angka 2002. Bogor.
Bappeda Kota Depok dan Badan Pusat Kota Depok 2000. Depok dalam Angka 1999. Jakarta.
Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2000. Jakarta dalam Angka
1999. Jakarta.
Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2003. Jakarta dalam Angka
2002. Jakarta.
Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2002. Jakarta dalam
Angka2001. Jakarta.
Bappeda Provinsi Jambi dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 1999. Jambi dalam Angka 1998. Jambi.
Bappeda Provinsi Jambi dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2001. Jambi dalam Angka 2001. Jambi.
Bappeda Provinsi Jambi dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2000. Jambi dalam Angka 1999. Jambi.
Bappeda Provinsi Jambi. 2004. Data Pokok Provinsi Jambi Tahun 2003. Jambi.
Bappeda Provinsi Jawa Tengah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2003. Jawa Tengah dalam
Angka 2002. Semarang.
BP-DAS Batanghari. 2002. Data Base dan Informasi Kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial di
Wilayah Balai Pengelolaan DAS Batanghari. Jambi.
BP-DAS Pemali Jratun. 2002. Data Inalkatif Lahan Kritis Kabupaten/Kota dalam DAS se-Wilayah Balai
Pengelolaan DAS Batanghari. Jambi.
Departemen Kehutanan. 1985. Prosiding Lokakarya Pengelaolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Jakarta
Departemen Kehutanan. 1993. Rencana Pengelolaan DAS Terpadu Batanghari. Jakarta.
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2000. Studi Pendahuluan Penanganan Konservasi dan
Pengembangan Sumberdaya Air di Wilayah Sungai Ciliwung –Cisadane. Jakarta.
Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Tengah. 2000. Laporan Akhir Rencana Pengembangan
Sumber Daya Air Wilayah Sungai Jratunseluna. Semarang.
Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Tengah. 2001. Pengembangan dan Pengelolaan Sumber
Daya Air di Provinsi Jawa Tengah. Semarang.
Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah. 2003. Potensi Ketersediaan Air dalam Rangka
Mendukung Antisipasi Kekeringan Provinsi Jawa Tengah. Semarang.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah, Departemen Kimpraswil. 2002. Basin
Water Resources Management Unit Component of Java Irigation Improvement and Water Resources
Management Project, Basin Water Resources Management- Final Report (Central Java and DIY). Jakarta.
Haridjaja, O. 1990. Pengembangan Pola Usaha Tani Campuran pada Lahan Kering yang Berwawasan
Lingkungan di Kabupaten Sukabumi. Bogor: Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, IPB.
- - 18 - -
IPB Press. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor.
Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu. et.all. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan
Konservasi Tanah. Bogor: K3SB.
Kodoatie, R.J. et.all. 2001. Pengelolan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah. Yogyakarta: Andi.
Linsley, Ray K. et.all. 1980. Applied Hydrology. New Delhi: Tata McGraw Hill Publication. Co.
Notohadiprawiro. 1989. “Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, Kendala dan
Pengembangannya”, Makalah Lokakarya Evaluasi Pengembangan Palawija SFCDP-USAID, Bogor 19
Desember 1999.
Pasaribu, H.S. 1999. “DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Kaitannya dengan Pengembangan
Wilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air,” Seminar Sehari PERSAKI
DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21 Desember 1999. Jakarta.
Perusahaan Umum Jasa Tirta I. 2002. Review Studi Kelayakan Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) di
Wilayah Sungai (SW) Jratunseluna. Malang.
Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai. 2002. Informasi Data Pengembangan Sumber Daya
Air Provinsi Jambi. Jambi.
Sarjadi, Soegeng. 2001. Otonomi-Potensi Masa Depan Republik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Society of American Forester. 1958. Forest Terminology, a Glossary of Terms used on Forestry.
Washington DC.
Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Ciliwung-Ciujung. 1986. Rencana Teknik
Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Ciliwung Hulu. Pemda TK. II. Bogor, Bogor.
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Wischmeier, W.H. and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. US Dept.
Agriculture Handbook. No. 537.

- - 19 - -

You might also like