You are on page 1of 190

1

Untuk Mereka Yang Bertahan

Saat Menghadapi Tirani

2
DAFTAR ISI

Halaman

Kronologi Kehidupan Muhammad 4

Nama-nama dan Tempat 6

Pasal 1: Mengapa Sebuah Biografi Muhammad Relevan


Untuk Masa Kini? 9

Pasal 2: Mencari Muhammad Yang Historis 25

Pasal 3: Muhammad Menjadi Nabi 38

Pasal 4: Sumber Wahyu-Wahyu Muhammad 50

Pasal 5: Seorang Pemberi Peringatan Yang Harus Berhadapan


Dengan Hukuman Yang Mengerikan 73

Pasal 6: Muhammad Menjadi Panglima Perang 86

Pasal 7: Perang Adalah Penipuan 99

Pasal 8: Menebarkan Teror Ke Dalam Hati Mereka 119

Pasal 9: Berkemenangan Melalui Teror 139

Pasal 10: Warisan Muhammad 162

Ucapan Terimakasih 188

3
Kronologi Kehidupan Muhammad
(Semua Tanggal Mendekati)

570 Muhammad dilahirkan di Mekkah

595 Muhammad menikahi Khadija, yang kemudian menjadi Muslim yang pertama

610 Muhammad menerima apa yang kemudian diyakininya sebagai kunjungan

Malaikat Jibril yang pertama dan turunnya wahyu dari Allah

613 Muhammad mulai mengajarkan Islam di depan publik di Mekkah

615 Perselisihan dengan orang Quraysh menyebabkan beberapa Muslim mening-

galkan Arabia dan menuju Abyssinia

619 Khadija wafat

619 Insiden Ayat-ayat Setan

620 Perjalanan Malam: Muhammad melaporkan bahwa ia telah diangkat ke Firdaus dan

bertemu dengan nabi-nabi lain

622 Hijrah: Muhammad dan orang-orang Muslim melarikan diri ke Medina

622 Muhammad melaksanakan perkawinannya dengan Aisha yang berusia 9 tahun

624 Penyerangan Nakhla dan bermulanya kekerasan dalam nama Islam

624 Perang Badr: orang Muslim mengatasi rintangan besar untuk mengalahkan

orang-orang pagan Mekkah

624 Muhammad dan orang-orang Muslim mengepung suku Yahudi Qaynuqa dan

mengusir mereka dari Medina

625 Perang Uhud: kaum pagan Mekkah mengalahkan orang-orang Muslim

625 Pengepungan dan pengusiran suku Yahudi Nadir dari Medina

627 Perang Parit: suku Yahudi Qurayzah mengkhianati Muhammad

627 Muhammad memenggal para pria suku Qurayzah dan memperbudak kaum

wanita dan anak-anak suku itu

628 Muhammad mengakhiri perjanjian Hudaybiyya dengan kaum pagan Mekkah

4
628 Muhammad dan orang-orang Muslim mengepung oasis Khaybar dan mengusir

orang-orang Yahudi dari sana

628 Muhammad diracun di Khaybar

630 Muhammad dan orang-orang Muslim menaklukkan Mekkah

630 Orang-orang Muslim menang dalam perang Hunayn dan menaklukkan Ta’if;

Muhammad menjadi penguasa Arabia

630 Perang melawan orang-orang Kristen: ekspedisi ke Tabuk

631 Suku-suku Arab yang berada diluar pemerintahan Islam menerima Islam

632 Muhammad wafat di Medina pada tanggal 8 Juni

5
Nama-nama Dan Tempat

Abdullah bin Jahsh: pejuang Muslim yang memimpin penyerangan Muslim pertama (di
Nakhla) atas perintah Muhammad

Abdullah bin Salam: seorang Rabbi Yahudi yang memeluk Islam

Abdullah bin Ubayy: pemimpin “orang-orang munafik”, yaitu orang-orang Muslim yang
tidak tulus yang menentang Muhammad

Abu ‘Afak: seorang penyair yang mengejek Muhammad dalam syair-syairnya dan
dibunuh atas perintah Muhammad

Abu Bakr: salah-satu sahabat mula-mula Muhammad dan penggantinya sebagai


pemimpin orang Muslim (Khalif)

Abu Jahl: seorang pemimpin kaum pagan Quraysh yang menentang Muhammad (Sura
111:5)

Abu Sufyan: seorang pemimpin pagan Quraysh yang menentang Muhammad, namun
kemudian memeluk Islam

Aisha: istri kesayangan Muhammad; Muhammad menikahinya ketika ia masih berusia 6


tahun dan mewujudkan perkawinannya ketika ia berusia 9 tahun

Al-‘Aqaba: sebuah kota dimana orang-orang Muslim yang pertama bersumpah setia
kepada Muhammad

Al-Lat: salah-satu dewi yang disembah kaum pagan Quraysh

Al-‘Uzza: salah-satu dewi yang disembah kaum pagan Quraysh

Ali: menantu Muhammad, yang oleh kelompok Muslim Syiah dipandang sebagai yang
paling berhak menggantikan Muhammad; ia memerintah sebagai Khalif ke-4 hanya untuk
waktu yang singkat, setelah abu Bakr, Umar dan Uthman

Asma bint Marwan: seorang penyair wanita yang mengejek Muhammad dalam syair-
syairnya dan dibunuh atas perintah Muhammad

Badr: sebuah kota Arab sekitar 80 mil dari Medina dimana orang Muslim mendapatkan
kemenangan militer mereka yang terbesar untuk pertama kalinya terhadap orang Quraysh
pada 624 M

Bahira: seorang rahib Kristen Syria, yang menurut tradisi Islam, mengakui Muhammad
kecil sebagai seorang nabi

Bukhari: seorang kolektor tradisi Muhammad pada abad 9 yang secara umum diakui
keabsahannya oleh orang Muslim

6
Buraq: kuda bersayap yang berkepala manusia yang dipercayai telah membawa
Muhammad dari Mekkah ke Yerusalem dan dari sana ke Firdaus pada Perjalanan
Malamnya

Chosroes: kaisar Persia dalam masa Muhammad, yang dipanggil kepada Islam oleh
Muhammad

Gabriel: malaikat yang diyakini telah menyampaikan wahyu-wahyu Allah kepada


Muhammad

Ghafatan: suku pagan Arab, yang bersama orang Quraysh mengepung Medina dalam
Perang Parit

Hafsa: salah-satu istri Muhammad

Heraclius: kaisar Byzantium dalam masa Muhammad, yang dipanggil kepada Islam oleh
Muhammad

Hudaybiyya: sebuah kota sekitar 9 mil dari Mekkah dimana Muhammad mengalahkan
perlawanan yang berskala besar terhadapnya di Arabia

Ibn Ishaq: penulis biografi Muhammad yang pertama (704-773)

Ibn Sa’d: orang yang mula-mula mengkompilasi tradisi biografis Muhammad (845)

Yerusalem: kota yang diyakini sebagai tempat dimana Muhammad terangkat ke Firdaus
dalam perjalanan Malamnya

Ka’b bin Al-Ashraf: seorang penyair Yahudi yang mengejek Muhammad dalam syair-
syairnya dan dibunuh atas perintah Muhammad

Ka’bah: sebuah kuil dan tempat ziarah di Mekkah. Muhammad menyingkirkan semua
berhala yang ada di dalamnya dan mengubahnya menjadi sebuah tempat ziarah Islam

Khadija: istri pertama Muhammad dan orang Muslim yang pertama

Khalid bin al-Walid: seorang pejuang Muslim yang terkenal

Khaybar: sebuah oasis dekat Medina yang diserang Muhammad, dan ia mengusir orang-
orang Yahudi yang tinggal disana

Kinana ibn Rabi: seorang pemimpin Yahudi di Khaybar yang disiksa dan dibunuh atas
perintah Muhammad karena menolak mengungkapkan lokasi harta yang disembunyikan

Manat: salah-satu dewi yang disembah kaum pagan Quraysh

Maria Orang Koptik: selir Muhammad dan ibu dari putranya Muhammad yang bernama
Ibrahim, yang meninggal ketika masih bayi

Mekkah: tempat kelahiran Muhammad; sebuah kota yang penting untuk perdagangan dan
ziarah di Arabia sebelum jaman Islam

Medina: sebuah kota Arab di utara Mekkah, dimana Muhammad untuk pertama kalinya
menjadi pemimpin politik dan militer setelah kepindahannya kesana (Hijrah)

7
Muhammad: Nabi Islam (570-632)

Muhammad bin Maslama: seorang Muslim mula-mula yang melaksanakan beberapa


pembunuhan atas perintah Muhammad

Nadir: suku Yahudi di Medina; Muhammad mengepung dan mengusir mereka

Nakhla: sebuah kota Arab; disini orang-orang Muslim melakukan serangan militer mereka
yang pertama terhadap orang Quraysh

Qaynuqa: suku Yahudi di Medina; Muhammad mengepung dan mengusir mereka

Quraysh: kaum pagan Arab di Mekkah; Muhammad berasal dari suku ini, tetapi mereka
menolak berita kenabiannya

Qurayzah: suku Yahudi di Medina; Muhammad menyaksikan pembantaian mereka


setelah mereka memutuskan persekutuan dengan orang Muslim

Sa’d bin Mu’adh: pejuang Muslim yang menjatuhkan hukuman, atas ijin Muhammad,
terhadap suku Qurayzah

Safiyya bint Huyayy: istri Kinana ibn Rabi; Muhammad mengambilnya menjadi istri
setelah membunuh Kinana

Tabuk: sebuah kota di Barat Laut Arab, disini Muhammad memimpin ekspedisi terhadap
Byzantium

Ta’if: sebuah kota di Selatan Mekkah yang menolak Muhammad dan kemudian
ditaklukkan oleh orang-orang Muslim

Uhud: sebuah gunung di dekat Mekkah dimana orang Quraysh mengalahkan orang
Muslim setelah Perang Badr

Umar: salah-satu sahabat mula-mula Muhammad dan pengganti Abu Bakr sebagai
pemimpin orang Muslim (Khalif)

Waraqa: paman Khadija dan seorang imam Kristen; ia diyakini telah mengkonfirmasi
status kenabian Muhammad

Zayd bin Haritha: anak angkat Muhammad dan suami pertama Zaynab bint Jahsh

Zaynab bint Jahsh: menantu Muhammad, yang kemudian dinikahi Muhammad


berdasarkan yang dikatakan Muhammad sebagai perintah Allah

8
PASAL SATU

MENGAPA SEBUAH BIOGRAFI MUHAMMAD RELEVAN


UNTUK MASA KINI

• Bagaimana mantera “Islam adalah agama damai” masih


mengontrol kebijakan Amerika?

• Presentasi Muslim mengenai Muhammad: Apakah mereka


membicarakan orang yang sama?

• Mengapa penting untuk mengetahui seperti apakah Muhammad


itu?

• Mengapa buku ini berbahaya?

Apakah Islam adalah sebuah agama damai?

Mengapa penting membahas topik ini?

Lima tahun masuk dalam perang melawan teror, masih merupakan hal
yang lumrah mendengar pernyataan bahwa Islam adalah agama damai. Juga hal
yang lumrah saat ini mendengar bagaimana terminologi itu dipakai sebagai ejekan
atau bersifat ironis, dalam kaitan dengan terus terjadinya aksi-aksi kekerasan yang
dilakukan dalam nama Islam. Sekelompok kecil para ekstrimis dianggap telah
membajak agama ini, tetapi anehnya para jihadis Muslim telah memenangkan
pemilihan umum di Palestina maupun di tempat-tempat lainnya. konstitusi baru
Irak dan Afghanistan, yang didukung oleh Amerika, telah memberlakukan syariah
(Hukum Islam), yang memberlakukan hukuman mati kepada orang-orang yang
menjadi Kristen, sebagai hukum tertinggi di negeri itu. Dan mayoritas utama orang-
orang Muslim yang cinta damai sama sekali tidak memperlihatkan penolakan atau
kecaman terhadap jihad Islamik global yang dilakukan atas nama mereka.

Ada banyak sekali bukti bahwa kekerasan para jihadis yang sesungguhnya
sangat populer diantara para Muslim di seluruh dunia, tidak membuat para pejabat
Barat mempertimbangkan ulang pandangan mereka mengenai Islam. Pada 10
April 2006, Presiden George Bush coba menjawab pertanyaan dari para
mahasiswa tingkat sarjana di Paul H. Nitze School of Advance International
Studies di Universitas John Hopkins Washington D.C. Seorang mahasiswa
mengajukan sebuah pertanyaan dengan sejumlah penegasan mengenai
Muhammad, Sang Nabi Islam:

9
Selamat pagi Bapak Presiden. Saya punya pertanyaan yang lebih umum
mengenai usaha United States untuk mendemokratiskan seluruh dunia.
Banyak orang yang telah melihat usaha Amerika untuk mendemokratisasikan
dunia – khususnya bangsa-bangsa di Timur Tengah – sebagai sebuah hal
yang tidak patut atau dianggap sebagai sebuah invasi terhadap kedaulatan
mereka. Anggaplah hal itu benar, kenyataannya, Nabi Muhammad yang
menetapkan konstitusi pertama yang dikenal di dunia – Yang saya
maksudkan adalah konstitusi yang ia tulis untuk kota Medina (Piagam Medina)
– dan bahwa hidupnya dan prinsip-prinsip yang menggarisbawahi
konstitusinya, misalnya perjuangan bagi kesejahteraan para wanita, anak-
anak dan orang-orang miskin, hidup dalam kesetaraan di antara orang-
orangnya, menyelesaikan perselisihan di antara klan-klan yang senang
berperang seperti yang ada di Arabia, memberikan pria dan wanita hak di
parlemen untuk memilih, dan menjamin penghormatan bagi semua agama,
yang ironisnya paralel dengan Konstitusi kita yang sangat kita junjung tinggi;
Saya mempertanyakan keputusan anda baru-baru ini untuk membentuk
Kelompok Studi Irak di bawah Institusi U.S. bagi Perdamaian, mengeksplorasi
kemiripan yang sangat kuat ini untuk menempa sebuah hubungan yang baru
dengan orang-orang Irak dan melatih orang Amerika mengenai prinsip-prinsip
demokrasi yang melekat dalam Islam?

Presiden merespon dengan ramah, memanfaatkan kejujuran atas gambaran dari


Muhammad seperti itu:

Saya tidak katakan kepada negara kita bahwa anda harus kelihatan seperti
kami atau bertingkah laku seperti kami, tetapi yang saya katakan adalah, anda
tahu bahwa anda harus memberikan kesempatan kepada masyarakat anda
untuk bebas. Dan saya pikir adalah penting bagi Amerika untuk mengambil
pimpinan atas isu ini. Ya saya kira seharusnya demikian – saya pikir adalah
penting bagi masa depan kita untuk mendorong kebebasan, dan dalam kasus
ini, Timur Tengah. Dan sebagaimana yang anda katakan, tidak harus hal ini
dilaksanakan secara kontras dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad.(1)

BERDUEL DENGAN MUHAMMAD

Sangatlah aneh melihat hanya sedikit negara Muslim, yang secara umum
menghormati Muhammad, mendorong adanya kebebasan dan demokrasi dan
memberikan wanita kesetaraan yang sah. Namun gagasan mengenai Muhammad
sebagai pelopor dari nilai-nilai ini bukanlah hal yang orisinil bagi si penanya
Presiden. Seorang penulis Muslim, Farida Khanam, menggambarkannya sebagai
seorang yang lembut, lemah, dan penuh belaskasih:

“Hatinya penuh dengan kasih yang intens bagi semua umat manusia tanpa
memandang kasta, keyakinan, atau warna kulit. Pernah ia menasihatkan para
sahabatnya untuk memandang semua orang sebagai saudara dan saudari

10
mereka. Ia menambahkan: ‘kalian semua adalah keturunan Adam dan Adam
dilahirkan dari tanah liat’. Semua ini mengatakan pada kita kepekaan seperti
apa yang ingin ditanamkan Muhammad pada manusia. Misinya adalah untuk
membawa orang agar menyadari kenyataan bahwa semua manusia – tanpa
peduli apakah ia berasal dari negara yang berbeda dan terlihat berbeda satu
sama lain dalam hal warna kulit, bahasa, pakaian, dan budaya – mereka
semua terhubung satu sama lain. Oleh karena sebuah relasi yang baik hanya
dapat dibangun diantara semua manusia jika mereka saling menghormati
satu sama lain sebagai sesama saudara dan saudari. Hanya dengan
demikian maka perasaan kasih yang tepat dan juga penghormatan akan
tercipta di seluruh dunia” (2)

Para apologis Islam dan akademisi kontemporer telah menggemakan


gagasan yang sama. Muhammad “diatas segala sesuatu”, kata sarjana Islam Carl
Ernst, “adalah seorang karismatik yang dikenal dengan integritasnya”. (3)

Safi-ur-Rahman al-Mubarakpuri, yang karya biografinya mengenai Muhammad,


Ar-Raheeq Al-Makhtum (The Sealed Nectar), telah memenangkan juara pertama
dalam sebuah kompetisi internasional biografi Muhammad yang diadakan di
Mekkah pada tahun 1979, menulis bahwa “Nabi mengkombinasikan
kesempurnaan ciptaan dan kesempurnaan tingkah-laku...Nabi adalah orang yang
paling adil, sopan, benar tutur katanya, dan paling jujur dari semua orang”.(4)

Dengan nada yang sama, Ibrahim Hooper dari Council on American-Islamic


Relations, sebuah organisasi yang mengatakan ingin “mempertinggi pemahaman
mengenai Islam, mendorong dialog, menjaga kebebasan sipil, dan memperkuat
Muslim Amerika”, mendesak orang-orang Muslim pada saat terjadi keributan
sehubungan dengan kartun Muhammad yang muncul di dunia internasional pada
awal tahun 2006, untuk meniru teladan Nabi: (5)

“janganlah kamu berlaku jahat terhadap mereka yang menjahati kamu, tapi
hendaknya kamu berhadapan dengan mereka dengan pengampunan dan
kebaikan (Sahih Bukhari). Deskripsi mengenai Muhammad sang nabi Islam
itu adalah sebuah ringkasan mengenai bagaimana ia bereaksi terhadap
serangan dan pelecehan pribadi. Tradisi-tradisi Islam meliput sejumlah
contoh bagaimana Nabi sebenarnya mempunyai kesempatan untuk
membalas mereka yang telah menyerangnya, tetapi ia menahan diri untuk
tidak melakukannya... Sebagai orang Muslim, kita harus melangkah mundur
dan bertanya pada diri sendiri, “apa yang akan dilakukan oleh Nabi
Muhammad?” (6)

Tetapi kerusuhan internasional dan pembunuhan yang dilakukan oleh karena


kartun-kartun ini – secara universal dijelaskan oleh para pelakunya sebagai
sebuah balas dendam terhadap penghinaan yang ditujukan kepada Muhammad –

11
menyiratkan bahwa pandangan Hooper secara universal tidak diterima di kalangan
Muslim.

Beberapa orang Muslim bahkan menggunakan teladan Muhammad dengan


arah yang sama sekali berlawanan dengan himbauan Hooper untuk menahan diri.
Sheikh Omar Bakri Mohammed, seorang pendukung terbuka bagi Osama bin
Laden yang mengajarkan jihad di Inggris selama bertahun-tahun sebelum akhirnya
meninggalkan negara itu pada 7 Juli 2005, saat terjadi pemboman oleh jihadis di
London, mengatakan bahwa Muhammad sendiri pasti menginginkan kematian
para kartunis itu: “Penghinaan itu sekarang telah dilakukan oleh semua orang,
Muslim dan non-Muslim, dan semua orang mengutuk para kartunis dan juga
kartunnya. Namun, dalam Islam Tuhan berkata, dan utusan Mohammed berkata,
barangsiapa yang menghina seorang nabi, ia harus dihukum dan dieksekusi.
Orang ini harus diadili dan jika terbukti harus dieksekusi” (penekanan
ditambahkan).(7) Kelompok jihadis Inggris Al-Ghurabaa penerus dari organisasi
al-Muhajiroun milik Bakri, menyampaikan sebuah pernyataan yang serupa,
menghubungkan dengan insiden-insiden dalam hidup Muhammad untuk
membenarkan posisi mereka:

“Pada jaman nabi Muhammad (S.A.W)(8), ada orang-orang seperti mereka


yang tidak menghormati dan menghinanya, kepada mereka penghakiman
Islam dilaksanakan. Orang-orang seperti itu tidak akan mendapatkan
toleransi pada masa lalu, dan di sepanjang sejarah Islam mereka
diperlakukan sesuai dengan Syariah (hukum Islam). Tidak lama setelah
insiden-insiden ini orang-orang mulai menyadari bahwa menghina utusan
Allah (S.A.W) bukanlah sesuatu yang boleh dianggap remeh dan dengan
melakukannya anda akan terbunuh, ini adalah sebuah konsep yang sudah
banyak dilupakan orang pada masa kini”.(9)

Pada April 2006, Dewan Mujahiddin, yang dipimpin oleh Abu Musab al-
Zarqawi, yang kemudian menjadi pemimpin al Qaeda di Irak, mengumumkan
bahwa mereka telah membunuh seorang Kristen di Mosul karena “pengikut salib
yang najis ini menghina Nabi Muhammad kami yang mulia”.(10) Mukhlas, seorang
pelaku bom Bali tahun 2002 juga menyuarakan hal yang sama:

“Kamu yang masih mempunyai sedikit iman di hatimu, sudah lupakah kamu
bahwa membunuh orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam adalah sebuah
amal yang mendapat pahala yang paling tinggi...Tidakkah kamu sadari
bahwa teladan bagi kita semua, Nabi Muhammad dan ke-4 Khalif yang benar,
membunuh orang-orang kafir dan menjadikannya sebagai kegiatan mereka
yang utama, dan bahwa nabi mengobarkan operasi jihad 77 kali dalam 10
tahun pertama saat beliau menjadi pemimpin komunitas Muslim di
Medina?”(11)

12
Banyak sarjana Islam di barat yang akan mengatakan bahwa Mukhlas tidak
memahami agamanya dan salah menggambarkan karakter nabinya. Karen
Armstrong, dalam tulisannya Muhammad: A Biography of the Prophet, menulis
bahwa para pembajak 11 September “memikirkan Muhammad, ketika mereka
menaiki pesawat yang akan mengalami musibah itu”. ‘Bersikaplah optimistik’,
kalimat itu tertulis dalam dokumen-dokumen yang ditemukan dalam barang
bawaan mereka, ‘Nabi selalu optimis’”. Namun demikian, Armstrong melanjutkan,
“gagasan bahwa Muhammad akan bersikap optimis berkenaan dengan
pembunuhan besar-besaran yang dilakukan pada 11 September adalah hal yang
sangat biadab, karena, seperti yang coba saya tunjukkan dalam halaman-halaman
ini, Muhammad menghabiskan sebagian besar masa hidupnya berusaha
menghentikan pembantaian yang tidak pandang bulu semacam ini...Pada
akhirnya Muhammad menolak kekerasan dan mengupayakan dengan berani suatu
kebijakan anti kekerasan yang dapat disamakan dengan Gandhi”.(12)

MENGAPA MUHAMMAD PENTING

Jadi sebenarnya Muhammad itu seperti apa? Pertanyaan ini semakin hari
semakin menekan – karena jika ia memang benar-benar seorang pencinta damai,
orang dapat berharap bahwa teladannya dapat menjadi batu penjuru upaya-upaya
reformasi dalam dunia Islam yang pada akhirnya akan membalikkan pengaruh
para teroris jihad. Jika ia benar-benar mempelopori demokrasi dan kesetaraan
jender, kita dapat menerapkan teladannya di kalangan orang Muslim, yang
menghormatinya sebagai teladan yang tertinggi bagi tingkah-laku manusia, dan
mengupayakan agar idealisme ini tercapai dalam dunia Islam. Namun jika para
teroris jihad ternyata benar dalam menerapkan teladannya untuk membenarkan
perbuatan-perbuatan mereka, para pembaharu Islam harus memulai sebuah
pengkajian ulang berkenaan dengan tempat Muhamad di dalam Islam – ini adalah
sebuah pekerjaan yang sangat sulit dilakukan.

Para non-Muslim di Barat harus mengetahui jawabannya sehingga kita


dapat merencanakan sebuah kebijakan publik yang sesuai dengan itu. Perbedaan
umum yang ada antara “Islam” dan “Islamisme”, yang diterima mentah-mentah
oleh mayoritas analis kebijakan publik, pengambil keputusan, pembuat hukum,
dan diplomat, berdasar pada gagasan bahwa ada sebuah inti, atau barangkali
sebentuk Islam yang orisinil yang tidak mengajarkan peperangan terhadap non-
Muslim; “Islamisme” secara luas diartikan sebagai sikap seorang Muslim yang
meniru fasisme dan komunisme yang hampir sama sekali tidak ada hubungannya
dengan pengajaran-pengajaran Islam yang sebenarnya. Ketika 17 orang Muslim
ditangkap di Kanada pada Juni 2006 atas dugaan merencanakan serangan teror
jihad terhadap gedung-gedung parlemen Kanada dan gedung-gedung lainnya,
Ottawa Citizen bergegas mengemukakan pernyataan yang bersifat liberal:

13
“Pada 2001, mereka memerangi Barat dengan menyerang 2 kota besar di
Amerika. Berikutnya adalah Spanyol dan Inggris. Di Belanda, mereka
membantai seorang pembuat film di jalan. Orang-orang Australia mengalami
nasib yang sama di Bali. Mengejutkan sekali melihat bahwa mereka
memerlukan waktu yang lama untuk tiba di Kanada.

Hendaknya menjadi jelas bagi kita tentang siapa yang kami sebut dengan
“mereka”. Yang kami maksudkan adalah para Islamis. Bukan orang Muslim,
tetapi kaum Islamis. Seorang Muslim adalah orang yang mempraktekkan
Islam, yang adalah sebuah agama yang besar. Seorang Islamis adalah
seorang yang menganggap bahwa Islam bukanlah sekadar sebuah
agama, namun sebuah ideologi politik.

Kaum Islamis berusaha mendirikan sebuah kelompok masyarakat islami yang


diperintah berdasarkan penafsiran Islam secara keras. Islamisme memiliki
gaung apokaliptik mengenai ideologi milenial yang lain, fasisme (seperti
“Thousand Year Reich”). Islamisme adalah totalitarian, utopia, kekerasan –
dan sama seperti fasisime, ia bersifat ekspansif”. (13)

Demikian pula, setelah pemboman yang dilakukan oleh para jihadis di


London pada 2005, Perdana Menteri Inggris Toni Blair mengemukakan bahwa:
“Kita semua tahu bahwa orang-orang ini bertindak atas nama Islam, tetapi kita
juga tahu bahwa mayoritas besar orang Muslim baik di sini maupun di luar negeri
adalah orang-orang yang sopan dan tunduk pada hukum, yang menolak dengan
sangat keras aksi terorisme semacam ini sama seperti kita”.(14)

Inggris, sama seperti negara-negara di benua Eropa lainnya, telah bertaruh


sangat besar dengan asumsi semacam ini – terutama sekali sehubungan dengan
kebijakan-kebijakan imigrasinya. Tentu saja, seandainya para jihadis itu benar
mengenai Muhammad, itu tidak berarti bahwa semua, bahkan kebanyakan orang
Muslim tidak akan tunduk pada hukum dan bertentangan dengan terorisme. Dalam
Islam, sebagaimana pula dalam setiap tradisi religius, ada suatu spektrum
keyakinan, pengetahuan dan keimanan yang kuat. Kita tidak dapat yakin begitu
saja bahwa jika seseorang adalah orang Muslim maka ia mempunyai pengetahuan
yang cukup mengenai Qur’an dan hidup Muhammad. Hal ini sangatlah benar
karena Islam pada dasarnya adalah sebuah agama Arab; orang-orang Muslim
harus mempelajari doa-doa harian dan Qur’an dalam bahasa Arab, yang
merupakan bahasa Allah. Berdoa kepada-Nya dengan menggunakan bahasa lain
adalah hal yang tidak dapat diterima. Oleh karena kebanyakan orang Muslim
dewasa ini bukanlah orang-orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Arab, dan
Qur’an itu sulit, klasik, dan bahasa Arab yang digunakan berasal dari abad ke-7
(banyak juga terjemahan Inggris yang sama sulitnya seperti bahasa yang
digunakan dalam King James Version), banyak orang Muslim, walaupun mereka
sangat serius dengan iman mereka, hanya mempunyai sedikit pemahaman
mengenai apa yang sesungguhnya dikatakan oleh teks-teks dalam Qur’an.

14
Di samping kesulitan-kesulitan itu, teks-teks tersebut dapat dibaca dan
dimengerti. Dan jika orang-orang Muslim yang cinta damai dapat menunjukkan
ketidaksetujuan mereka ketika para jihadis merujuk pada teladan Muhammad yang
membenarkan kekerasan, mereka akan tetap rentan terhadap rekrutmen dari para
jihadis yang menampilkan diri sebagai eksponen kalangan “Islam yang sejati”,
yang dengan setia mengikuti teladan Muhammad.

Qur’an dan tradisi Islam menjelaskan bahwa Nabi adalah teladan utama bagi
orang Muslim untuk bertingkah-laku. Peran pentingnya bagi ratusan juta orang
Muslim di seluruh dunia berakar dalam Qur’an, Kitab Suci orang Muslim.
Singkatnya, ia adalah “teladan tingkah-laku yang sempurna” (Sura 33:21). Ia
menunjukkan “standar karakter yang sempurna” (Sura 68:4), dan tentu saja,
“orang yang menaati Utusan Allah, menaati Allah” (Sura 4:80). Qur’an seringkali
menghimbau orang Muslim untuk menaati Allah dan Muhammad: sementara Kitab
Suci orang Muslim tidak menutupi kenyataan bahwa Muhammad juga tidak
sesempurna itu (bdk.40:2, 80:1-12), Qur’an juga berulangkali menginstruksikan
orang Muslim untuk menaati Muhammad (Sura 3:32, 3:132, 4:13, 4:59, 4:69, 5;92,
8:1, 8:20, 8:46, 9:71, 24:47, 24:51, 24:52, 24:54, 24:56, 33:33, 47:33, 49:14, 58:13,
64:12).

Seorang Muslim yang taat akan menyikapi hal ini dengan serius. Muqtedar
Khan dari the Center for the Study of Islam and Democracy menjelaskan:

“Tidak ada pemimpin religius yang begitu besar pengaruhnya pada para
pengikutnya seperti Muhammad (semoga damai ada atasnya) Nabi Islam
yang terakhir... Dan Muhammad sebagai utusan Tuhan yang terakhir
menikmati penghormatan yang tinggi sehubungan dengan wahyu, yaitu
Qur’an – dan tradisi. Sebegitu hebatnya sehingga perkataan, perbuatan dan
kebungkaman Muhammad (yang dilihatnya dan tidak dilarangnya), menjadi
sumber independen bagi hukum Islam. Orang-orang Muslim, sebagai bagian
dari kewajiban keagamaannya, bukan hanya harus taat tapi juga harus meniru
dan meneladani Nabi mereka dalam setiap aspek kehidupan. Maka
Muhammad adalah pengantara dan juga sekaligus sumber hukum yang
ilahi.”(15)

Ketika orang-orang Muslim yang berpikiran reformis dan juga para jihadis
yang haus darah menerapkan teladannya untuk membenarkan tindakan-tindakan
mereka, pertanyaan tentang kelompok mana yang nampaknya akan lebih berhasil
di masa depan, dan yang akan membimbing sebuah dunia islami yang mempunyai
cengkeraman kebangkitan religius dan peningkatan permusuhan terhadap
Amerika dan dunia Barat, akan sangat ditentukan oleh Muhammad – seperti apa ia
sesungguhnya berdasarkan teks-teks islami.

Dengan meneliti teks-teks islami dan apa yang dikatakan disana tentang
pendiri agama ini, kita dapat mempelajari sesuatu mengenai Muhammad, bahkan

15
jika tidak ada “pencaharian terhadap Muhammad yang historis” secara ilmiah,
seperti halnya pencaharian terhadap Yesus yang historis. Identitas yang
sebenarnya, perkataan dan perbuatan Nabi Islam adalah topik yang hanya
dieksplorasi secara ringan oleh para sarjana, secara umum hanya mengandalkan
sumber-sumber mula-mula yang mempunyai keterbatasan, dan penolakan Islam
yang keras terhadap pertanyaan apapun terhadap keyakinan islami, bahkan
sekalipun pertanyaan itu berdasarkan pada prinsip-prinsip akademis yang non-
polemik. Sementara kalangan kritik historis Alkitab telah beroperasi dengan
leluasa dan memberikan dampak yang luar-biasa terhadap kekristenan dan paska-
kekristenan di dunia Barat. Di dunia Islam studi-studi semacam itu sama sekali
tidak ada. Beberapa sarjana yang bekerja dalam bidang ini, seperti Christoph
Luxenberg, menerima ancaman kematian dan menerbitkan tulisan-tulisannya
dengan nama samaran.

Namun pada puncaknya, pencaharian terhadap Muhammad yang historis,


yang adalah hal yang penting dan menyenangkan untuk dilakukan, tidaklah
menjadi sesuatu yang menentukan tujuan yang ingin dicapai oleh dunia Islam
pada beberapa dekade mendatang. Oleh karena penyelidikan-penyelidikan
semacam itu tidak akan mendapat perhatian yang berarti dari orang-orang dalam
dunia Islam. Namun demikian, yang sudah pasti akan mempunyai pengaruh yang
besar adalah figur Muhammad sebagaimana yang ditampilkan dalam Qur’an dan
juga sumber-sumber islami lainnya yang diterima – terutama Hadith, yaitu tradisi
Nabi yang banyak menentukan dasar praktek dan kesalehan islami.

Peperangan ini telah berkobar. Para anggota kelompok-kelompok jihad telah


mengklaim Qurán dan hadith sebagai sekutu mereka dalam usaha mereka untuk
menegakkan budaya Muslim. Orang-orang Muslim garis keras telah sangat dalam
memasuki komunitas-komunitas Muslim yang cinta damai dengan mengajarkan
kekerasan Islam sebagai “Islam yang sejati/murni” dan memanggil orang-orang
Muslim kembali kepada apa yang mereka hadirkan sebagai ketaatan yang penuh
terhadap agama mereka. Dan ketaatan yang penuh itu melibatkan peperangan
terhadap orang-orang non-Muslim untuk menegakkan hegemoni tatanan sosial
islami.(16) Perekrutan ini berpusat tidak hanya pada Qurán dan teks-teks penting
islami lainnya, tetapi juga pada figur Muhammad.

Fiksi-Fiksi Yang Sopan Sebenarnya Tidak Berguna

Banyak pembuat kebijakan dan para pakar yang tidak ingin mengadakan
penyelidikan seperti itu karena kesimpulannya akan sangat mengerikan.
Seandainya para teroris tidak “membajak” sebuah agama yang damai, seandainya
mereka tidak membengkokkan substansi Islam, lalu apa? Apakah anda ingin
menyaksikan sebuah peperangan global? Apakah anda ingin melihat Amerika
Serikat secara simultan harus menerima ke-57 pernyataan Organisasi Konperensi
Islam (Organization of the Islamic Conference)? Seorang analis politik konservatif
16
yang terkemuka bahkan mengatakan bahwa walaupun ada gagasan bahwa Islam
itu adalah agama damai “nampaknya hanya seperti sebuah fiksi yang sopan,
namun itu sangat penting.” Orang-orang Muslim yang berpengaruh sangat
mempercayai hal itu, dan adalah penting bahwa mereka untuk berhasil dalam
perjuangan Muslim berkenaan dengan definisi diri sendiri. Alih-alih menghina
mereka, kita harus melakukan apa yang dapat kita lakukan untuk mendukung
orang-orang seperti Raja Abdullah dari Yordania, yang telah meluncurkan sebuah
inisiatif anti-teror, dan Ayatollah Sistani dari Irak, yang secara konsisten mengutuk
terorisme. Sekalipun ada keramahan teologis dalam Islam, kebudayaan religius
apapun mempunyai warna yang berbeda seiring berjalannya waktu. Ada orang-
orang yang bertanya-tanya apakah kekristenan adalah sebuah agama damai 300
tahun yang lalu ketika para lawan dari bangsawan-bangsawan Kristen bergumul
dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai iman”.(17)

Perbedaannya adalah, tidak seorang Kristen pun yang dapat mengemukakan


dengan alasan yang kuat bahwa Yesus, Sang Raja Damai, mengajarkan
kekerasan atau apapun yang bertentangan dengan ajaran-ajaran-Nya yaitu
mereka yang hidup dengan pedang akan mati oleh pedang, bahwa kita harus
memberikan pipi yang satunya lagi, bahwa orang harus memberikan pada kaisar
apa yang menjadi hak Kaisar. Tetapi jika Muhammad mengajarkan kekerasan, jika
Muhammad mengajarkan sebuah doktrin yang mewajibkan adanya perang suci
terhadap orang-orang kafir, jika Muhammad menyatukan agama dan negara maka
itu tidak akan sedikitpun mengubah kaum mujahidin di seluruh dunia; mereka akan
tetap menjalankan apa yang mereka percayai sebagai pengajarannya yang otentik
untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka. Kenyataan bahwa kebenaran itu
sulit bukanlah alasan untuk memilih hal yang semu dan “fiksi yang sopan”.

Jika hidup pribadi dan pengajaran-pengajaran Muhammad adalah sumber


bagi kekerasan jihad, mengidentifikasikan kebenaran itu tidak akan mewajibkan
negara-negara Islam untuk memerangi Amerika. Tetapi hal itu akan mengijinkan
terciptanya pengambil keputusan yang berpikiran jernih sehingga memungkinkan
adanya reformasi yang jujur di dalam Islam, dan mendapatkan keuntungan karena
telah mendasarkannya pada kenyataan.

Tujuan Dari Buku Ini

Buku ini bukanlah sebuah biografi komprehensif Nabi Islam, walaupun buku ini
menyediakan sebuah garis besar umum mengenai perjalanan karirnya. Diatas
semua itu, buku ini adalah sebuah pengujian terhadap beberapa aspek dari
hidupnya yang bagi kalangan non-Muslim dianggap bermasalah, dan yang
digunakan oleh orang Muslim dewasa ini untuk membenarkan tindakan-tindakan
kekerasan atau tingkah laku mereka yang tidak sesuai dengan pandangan dunia
Barat mengenai hak azasi manusia dan harga diri seorang manusia. Para
pembaca di Barat akan belajar mengapa orang Muslim yang moderat - yang
17
kepada mereka pemerintahan Barat dan pejabat-pejabat penegak hukum berharap
banyak – nampaknya sangat lemah dan terpinggirkan dibandingkan dengan
gerakan-gerakan jihadis di dunia Islam. Dan mereka akan belajar mengapa orang
Muslim mendapati bahwa teladan Muhammad sangat memaksa mereka, dan
mengapa teladan itu dapat digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang
sangat berbeda.

Di sepanjang buku ini, saya akan menunjukkan bagaimana pandangan-


pandangan Muhammad dan Islam yang populer telah dibentuk di belahan dunia
yang berbahasa Inggris dan dunia Barat secara umum, dan menyatakan beberapa
sikap mendua/bias dari orang-orang yang membentuknya.

Mengapa Awalnya Saya Tidak Ingin Menulis Buku Ini?

Pada awal 2006, kemarahan orang Muslim meledak di seluruh dunia terhadap
kartun Denmark mengenai Nabi Muhammad. Kartun-kartun itu sendiri tidaklah
terlalu menghina dibandingkan dengan apa yang secara rutin diterbitkan di semua
suratkabar Amerika mengenai para presiden, para kandidat presiden, dan
sebagainya. Semuanya ada 12; 9 diantaranya sama sekali tidak berbahaya,
sementara 3 yang lainnya menghubungkan Islam dengan kekerasan. Walaupun
gagasan mengenai kerusuhan terhadap kartun-kartun itu nampaknya aneh bagi
banyak orang non-Muslim, “krisis” yang terjadi memunculkan tanggapan-
tanggapan diplomatis, diskusi-diskusi resmi PBB, boikot-boikot internasional dan
ancaman-ancaman yang keras terhadap para pengusaha dan pejabat-pejabat
kedutaan yang tidak bersalah. Berikut ini adalah beberapa contoh krisis yang
ditimbulkan oleh kartun tersebut:

• Gaza: Pada akhir Januari, orang-orang bersenjata menduduki kantor Uni


Eropa, menuntut permintaan maaf dari Denmark dan Norwegia (karena ada
penerbit lain yang kemudian mencetak ulang kartun-kartun itu).(18)
Keesokan harinya, para pengunjuk rasa meneriakkan “Perang terhadap
Denmark, matilah Denmark” saat mereka membakar bendera-bendera Den-
mark. Pemimpin Jihad Islam Nafez Azzam berkata: “Kami marah besar ter-
hadap serangan yang terus menerus pada Islam dan kami menuntut agar
pemerintah Denmark membuat sebuah permintaan maaf yang jelas di de-
pan umum atas kejahatan yang sangat besar ini”.(19)

• Para menteri dalam negeri Arab mengadakan pertemuan di Tunisia dan


mendeklarasikan: “Kami meminta pihak otoritas Denmark untuk mengambil
tindakan yang diperlukan untuk menghukum orang-orang yang bertang-
gung-jawab atas kejahatan ini dan mengambil langkah-langkah pencegahan
agar hal ini tidak terulang”.(20)

18
• Libya dan Arab Saudi memanggil pulang para duta besar mereka dari
Kopenhagen.

• Di Arab Saudi, sekelompok massa yang marah memukuli 2 karyawan Dan-


ish corporation Arla Foods.

• Di seluruh dunia Islam, Arla Foods menjadi sasaran boikot yang


melumpuhkan – boikot yang diberlakukan oleh para pejabat Muslim di selu-
ruh dunia.(21)

• Menteri Luar Negeri Irak, Hoshiyar Zebari mengeluh pada Duta Besar Den-
mark untuk Baghdad, ketika tentara Denmark disiagakan disana setelah se-
buah fatwa berkenaan dengan kartun-kartun tersebut dikeluarkan.

Insiden-insiden ini muncul setelah adanya protes-protes diplomatis dari Liga


Dunia Muslim, Organization of the Islamic Conference, dan organisasi-organisasi
lainnya; protes-protes di Kashmir; ancaman mati bermunculan dari Pakistan dan
masih banyak lagi. Bahkan Bill Clinton mengambil tindakan mengutuk “kartun-
kartun yang sangat tidak sopan terhadap Islam” dan membenarkan diri sendiri:
“Lalu sekarang apa yang akan kita lakukan? ...Mengganti buruk sangka anti-
Semitis dengan buruk sangka anti-Islam?”(24) Tentu saja tidak! Tetapi
pertanyaannya itu tidak sampai ke inti permasalahan. Kartun-kartun tersebut
bukanlah sebuah manifestasi buruk sangka anti-Islam: kritik terhadap Muhammad
atau bahkan Islam bukanlah dan semestinya tidak dianggap sama seperti anti-
Semitis. Islam bukanlah sebuah perlombaan; permasalahan sehubungan dengan
Islam bukanlah produk dari rasa takut dan fiksi, tetapi ideologi dan fakta – yaitu
fakta yang telah berulangkali ditekankan oleh orang Muslim di seluruh dunia,
ketika mereka melakukan kekerasan atas nama Islam dan membenarkan
kekerasan itu dengan ajaran-ajaran Muhammad. Perhatikanlah, sama seperti
kartun-kartun lainnya, ada hubungan antara pengajaran Muhammad dengan
kekerasan Islam dan itu dilakukan berulangkali oleh Osama bin Laden, Ayman al-
Zawahiri, Abu Musab al-Zarqawi, Omar Bakri, Abu Hamza, Abu Bakar Baasyir,
dan banyak jihadis lainnya. Apakah mereka semua dan banyak yang lainnya salah
memahami dan menafsirkan pengajaran Muhammad dan Islam? Pertanyaan ini,
walaupun krusial, tidak relevan dengan evaluasi etis terhadap kartun tersebut.
Kenyataannya, orang-orang ini dan para teroris jihad lainnya mengklaim teladan
dan perkataan Muhammad sebagai inspirasi mereka. Beberapa kartun tersebut
sesuai dengan kenyataan ini.

Kemudian pada puncaknya, kontroversi kartun tersebut adalah masalah


kebebasan berbicara. Sementara hal ini berkembang menjadi suatu masalah
internasional, kontroversi kartun tersebut mengindikasikan adanya jurang antara
dunia Islam dan dunia Barat paska kekristenan dalam hal kebebasan berbicara
dan berekspresi. Dan sementara dunia Barat terus memberikan penghormatan

19
kepada berhala-berhalanya yaitu toleransi, keragaman budaya, dan pluralisme,
Barat akan dengan mudah kehilangan kebebasan-kebebasannya yang
dimenangkan dengan sulit. Kebebasan berbicara berjalan seiring dengan
kebebasan untuk mengganggu, mengejek dan menghina. Jika tidak demikian,
tidak ada nilainya; perkataan yang tidak menghina tidak memerlukan perlindungan
dari sebuah amandemen konstitusi. Ketika seseorang atau sebuah ideologi
dianggap telah keluar batas pengujian kritis dan bahkan menghina, kebebasan
berbicara telah diganti dengan sebuah ideologi “jaket pengaman”. Orang-orang
Barat nampaknya menganggap enteng hal ini ketika harus berhadapan dengan
kekristenan, bahkan ketika mereka bersikap ofensif dan tajam seperti karya
Andres Serrano Piss Christ atau kotoran Chris Ofili – dan Perawan Suci Maria
yang dibungkus dengan pornografi. Namun kejelasan pemikiran yang sama
nampaknya tidak ada dalam konteks islami.

Namun ada hal yang sangat dibutuhkan. Kontroversi mengenai kartun itu
tidaklah penting bahkan aneh pada mulanya, telah bertumbuh menjadi tantangan
yang serius terhadap cara berpikir Barat mengenai kebebasan berbicara dan
pluralisme. Suratkabar yang pertama-tama mencetak kartun tersebut, yaitu
Jyllands-Posten, dan Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen secara
umum membatasi diri hingga mengatakan bahwa mereka menyesal karena pihak
Muslim merasa terhina, dan bahwa hal itu sama sekali tidak disengaja. Tetapi
himbauan dari kalangan Muslim untuk bertindak lebih jauh dan “menghukum
orang-orang yang bertanggung-jawab”, seperti yang dituntut oleh Menteri Dalam
Negeri Arab, atau memandang kartun tersebut sebagai pelanggaran atas hak
azasi manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang Imam Belgia.
Bahkan Uni Eropa mengkritik orang Denmark dengan keras karena salah
menangani kontroversi tersebut, nampaknya tidak ada kesadaran bahwa
menempatkan Muhammad dan Islam di atas kritik atau di atas kritik yang sangat
keras akan sama berbahayanya terhadap sebuah masyarakat yang bebas,
sebagaimana gagasan mengenai “Sang Pemimpin Yang Terkasih” dari Korea
Utara atau materialisme dialektikal yang dianggap berada di atas kritik. Sungguh,
ini adalah maut bagi masyarakat yang bebas.

Organisasi Konferensi Islam dalam sebuah pertemuan di Mekkah pada


Desember 2005 telah memutuskan untuk menggunakan kartun-kartun tersebut
sebagai sebuah pelajaran untuk menunjukkan betapa buruknya bahaya
sekularisme Barat. Kemarahan umat Muslim terhadap kartun itu tidaklah spontan,
namun dengan cepat menyebar ke seluruh dunia Muslim.(25) Setidaknya 139
orang dibunuh dan 823 orang dilukai dalam kerusuhan internasional mengenai
kartun tersebut, dan para kartunis tersebut sekarang hidup di bawah ancaman
mati.(26)

20
Kematian untuk “Para Penghujat”

Kemarahan terhadap kartun tersebut juga bukanlah hal yang unik. Pada
September 2004, film Submission karya seorang pembuat film asal Belanda Theo
van Gogh, ditayangkan di televisi Belanda. Ini adalah gagasan dari seorang
mantan Muslim anggota Parlemen Belanda, Ayaan Hirsi Ali. Submission
menceritakan tentang pelecehan terhadap kaum wanita Muslim – dan bahkan
menampilkan gambaran wanita yang disiksa, mengenakan pakaian yang tembus
pandang yang memperlihatkan payudaranya, dengan ayat-ayat Qur’an tertulis di
tubuh mereka. Pada 2 November 2004, van Gogh ditembak mati di jalanan kota
Amsterdam oleh Muhammad Bouyeri, seorang Muslim, yang setelah menembak
van Gogh beberapa kali, menikamnya berulangkali, menggorok lehernya dengan
pisau jagal, dan meninggalkan sebuah surat di badannya yang berisi ayat-ayat
Qur’an dan ancaman kepada figur publik Belanda lainnya yang menentang arus
kedatangan imigran Muslim ke Belanda.(27)

Pembunuhan semacam ini mempunyai preseden yang cukup dalam dunia


Islam. Pada 1947, kelompok Islam radikal membunuh seorang pengacara Iran
Ahmad Kasravi di pengadilan, ketika ia sedang membela dirinya terhadap tuduhan
bahwa ia telah menyerang Islam. Empat tahun kemudian, para anggota dari
kelompok Muslim radikal yang sama, Fadayan-e Islam, membunuh Perdana
Menteri Iran Haji-Ali Razmara setelah sekelompok ulama Muslim mengeluarkan
fatwa mati untuknya. Pada 1992, penulis Mesir Faraj Foda dibunuh oleh orang-
orang Muslim yang marah besar terhadap “kemurtadannya” dari Islam. Ini adalah
sebuah pelanggaran yang menurut hukum tradisional Islam harus dijatuhi
hukuman mati. Rekan senegara Foda, seorang novelis pemenang Nobel Naguib
Mahfouz, ditikam pada 1994 atas tuduhan penghujatan. Berdasarkan hukum
penghujatan Pakistan, banyak orang non-Muslim yang telah ditangkap, disiksa,
dan dihukum mati hanya dengan sedikit bukti. Dan tentu saja, ada pula fatwa mati
Ayatollah Khomeini yang sangat terkenal terhadap novelis Salman Rushdie.

Tidak diragukan lagi, Van Gogh bermaksud agar Submission bersifat


provokatif dan bahkan menghina. Ia adalah cicit dari saudara Vincent van Gogh,
seorang yang sangat terkenal dan sangat kontroversial. Di masa lalu, ia pernah
mengkritik orang Yahudi dan orang Kristen dengan sangat keras hingga
mendapatkan keluhan formal. Bahkan Ali Hirsi mengakui bahwa “kritik van Gogh
adalah sah. Tetapi ketika orang harus mati oleh karena cara berpikirnya,
kesalahan yang telah dilakukannya tidak lagi menjadi masalah. Itulah saat kita
harus membela hak-hak azasi kita. Jika tidak kita hanya akan semakin
menyemangati si pembunuh dan membenarkan bahwa ada alasan yang tepat
untuk membunuh orang ini”.(28)

21
Membela Kebebasan Berbicara

Dunia yang bebas harus berdiri bersama Denmark, siap untuk membela
kebebasan berekspresi. Tapi ternyata tidak. Setelah pembunuhan terhadap van
Gogh, dunia yang bebas semestinya membela kebebasan berbicara. Tapi itu tidak
terjadi. Terhadap sikap tidak bertoleransi dan kekerasan Islam, semestinya Barat
menampilkan warisan Judeo-Kristen yang dimilikinya, dengan penekanan
terhadap harga seorang manusia, yang merupakan sumber aliran kebebasan
berbicara dan hati nurani Barat. Tapi ternyata itu tidak terjadi.

Jika tidak dibela, maka kita akan kehilangan hak kita untuk bebas berbicara
dan berpikir.

Itulah sebabnya mengapa saya bertekad, setelah mengalami banyak


keraguan dan ketidakpastian, bahwa saya harus menulis buku ini. Saya sangat
sadar akan resikonya. Tetapi pertanyaan mengenai Muhammad – siapa dia, apa
yang telah dilakukannya, dan apa yang ia yakini – adalah kunci untuk memahami
konflik global yang terjadi dewasa ini dengan para jihadis, dan apa yang harus kita
lakukan terhadap hal itu.

Pembahasan ini dapat bersifat provokatif – kemungkinan juga berbahaya.


Tapi saya akan melaporkan berdasarkan sumber-sumber Muslim – yaitu sumber-
sumber yang dipercayai oleh banyak orang Muslim – yang menceritakan tentang
Muhammad. Dan saya akan mendiskusikan beberapa implikasinya. Tidaklah
perlu- dan juga bukan maksud saya untuk menghina Muhammad,
merendahkannya, mengejeknya, atau menulis apapun selain dari catatan yang
sangat akurat mengenai apa yang dilakukan dan dikatakannya tentang beberapa
hal yang penting. Tapi dalam bidang-bidang ini kemarahan akan cepat memuncak.

Namun, itulah sebabnya mengapa buku ini harus ditulis. Kebebasan untuk
mendapatkan informasi dan berbicara, pencaharian kebenaran, tidak boleh
dibungkam dengan intimidasi yang keras atau menerima separuh kebenaran dan
propaganda yang dimaksudkan untuk mengurangi musuh-musuh kebenaran.

Satu hal yang pasti: jika tidak ada orang yang mau mengambil resiko
semacam itu, kebebasan berbicara akan perlahan-lahan menjadi peninggalan
sejarah.

Catatan-Catatan Umum

Dalam menulis buku ini saya secara eksklusif hanya bersandar pada
sumber-sumber islami mengenai hidup Muhammad: bahan-bahan biografis yang
paling awal dalam tradisi Islam, yang akan saya perinci dalam bab 3, juga Qur’an
terjemahan Inggris yang dibuat oleh orang-orang Muslim, yaitu Abdullah Yusuf Ali
dan Mohammed Marmaduke Pickthall. (Penomoran ayat-ayat Qur’an tidaklah

22
standar; oleh karena itu, jika anda menggunakan terjemahan lain selain
terjemahan Ali atau Pickthall, mohon diperhatikan bahwa ayat yang saya kutip bisa
jadi ada di bagian lain dari lokasi yang saya sebutkan: beberapa ayat ke depan).
Dalam tulisan ini ada beberapa perbedaan cara transliterasi nama-nama dari
bahasa Arab, sehingga kadang-kadang nama seseorang akan diucapkan dengan
cara tertentu oleh saya dan sebuah sumber tapi dengan cara berbeda oleh sumber
yang lainnya; saya mohon maaf atas kebingungan ini, dan saya telah berusaha
memperkecil hal itu.

Demikian pula, saya menyebut nama sesembahan Islam dengan “Allah”,


sedangkan terjemahan Inggris dalam biografi Muhammad yang dimiliki Muslim
mula-mula, sesembahan yang sama disebut “God” (= Tuhan) – seperti yang akan
saya ilustrasikan dalam kutipan-kutipan saya dari biografi itu dalam buku ini.
Sudah tentu, kata “Allah” bukan hanya milik Islam secara eksklusif; kata itu sudah
ada lebih dulu dari Islam. Tentu saja, Qur’an mengklaim bahwa sesembahan
orang Yahudi dan Kristen sama dengan sesembahan orang Muslim (Sura 29:46).
Namun demikian, oleh karena Islam tradisional menolak doktrin Kristen seperti
Tritunggal, keilahian Kristus, dan yang lainnya, dan mengelompokkan Yudaisme
bersama dengan kekristenan sebagai pemberontak yang menyimpang dari Islam,
tepatlah jika saya, demikian pula banyak orang Muslim yang berbahasa Inggris,
untuk tetap menggunakan kata Arab “Allah” untuk menyebut sesembahan Islam
dalam bahasa Inggris. Saya berharap ini tidak akan menimbulkan kebingungan
lebih jauh lagi.

Catatan Kaki:
1. “President Bush Discusses Global War on Terror,” White House Press release, April
10, 2006.
2. Farida Khanam, “Muhammad’s Love and Tolerance for Mankind,”
IslamOnline,March15,2006.Http://muhammad.islamonline.net/English/His_Example/Hi
sQualities/07.shtml. The riots involved cartoons in a Danish newspaper (and repub-
lished elsewhere) that depicted the Prophet Muhammad in a comical light. Many of the
images circulated in the Islamic world were fakes distributed by Islamic agitators to in-
flame riots and protest.
3. Carl Ernst, Following Muhammad, University of North Carolina Press, 2003, 85.
4. Safi-ur-Rahman al-Mubarakpuri, Ar-Raheeq Al-Makhtum (The Sealed Nectar), Al-
Furqan, 1979, 492, 499.
5. Http://www.cair.com
6. Ibrahim Hooper, “What Would Prophet Muhammad (pbuh) Do?,” Council on American-
Islamic Relations, February4, 2006. Http:// www.islam101. com/rights/wwpMdo.htm.
7. “Cleric calls on Mohammed cartoonist to be executed,“The Telegraph, February 6,
2006.
8. Saw stands for “Salla Allahu aalayhi Wasallam,” which translates as “May the blessing
and the peace of Allah be upon him.”
9. “Kill those who insult the Prophet Muhammad (saw),” Al-Ghurabaa,

23
http://www.alghurabaa.co.uk/articles/cartoon.htm. The article is quite specific about
Muhammad’s example: “Ka’ab ibn Ashraf was assassinated by Muhammad ibn
Maslamah for harming the Messenger Muhammad (saw) by his words, Abu Raafi’ was
killed by Abu Ateeq as the Messenger ordered in the most evil of ways for swearing at
the prophet, Khalid bin Sufyaan was killed by Abdullah bin Anees who cut off his head
and brought it to the prophet for harming the Messenger Muhammad (saw) by his
insults, Al-Asmaa bintu Marwaan was killed by Umayr bin Adi’ al-Khatmi, a blind man,
for writing poetry against the prophet and insulting him in it, Al-Aswad al-Ansi was
killed by Fairuz al-Daylami and his family for insulting the Messenger Muhammad
(saw) and claiming to be a prophet himself. This is the judgement of Islam upon those
who violate, dishonor and insult the Messenger Muhammad (saw).”
10. “Iraq: Al-Zarqawi Group Boasts Killing Christian,” Adnkronos International, April 7,
2006.
11. “Murder ‘infidels’, Mukhlas urges,” The Australian, December 18, 2005.
12. Karen Amstrong, Muhammad: A Biography of the Prophet, (San Francisco: Harper
San Francisco, 1992), 5.
13. “Jihad in Canada,” Ottawa Citizen, June 5, 2006.
14. “Blair condemns bombers who ‘act in the name of Islam,’” Reuters, July 7, 2005.
15. Dr. Muqtedar Khan, “The Legacy of Prophet Muhammad and the Issues of Pedophilia
and Polygamy,” Ijtihad, June 9, 2003.
16. See, for example, “Fears as young Muslims ‘opt out,’” BBC News, March 27, 2004.
17. Richard Lowry, “The ‘To Hell with Them’ Hawks,” National Review, March 27, 2006.
18. “Gaza EU offices raided by gunmen,” BBC News, January 30, 2006.
19. “Gazans burn Danish flags, demand cartoon apology,” Reuters, January 31, 2006.
20. “EU Press Reprints Explosive Cartoons,” IslamOnline, February 1, 2006.
21. Alan Cowell, “European papers join Danish fray,” New York Times, February 8, 2006;
“Protest Over Muhammad Cartoon Grow,” Associated Press, January 30, 2006.
22. “Group stokes cartoon protest,” Reuters, February 1, 2006; “Fatwa issued against
Danish troops,” Agence France Press, February 1, 2006.
23. “Q&A: The Muhammad cartoons row,” BBC News, February 7, 2006; “Kashmir shut-
down over Quran desecration, Prophet caricature,” India-Asia News Service, Decem-
ber 8, 2005; “Cartoons of Mohammed cause death threat,” DR Nyheder, December 3,
2005; “Muslim World League calls for UN interventions against disdaining religions,”
Kuwait News Agency, January 28, 2006.
24. “Clinton warns of rising anti-Islamic feeling,” Agence France Presse, January 30, 2006.
25. Hassan M. Fattah, “At Mecca Meeting, Cartoon Outrage Crystallized,” New York
Times, February 9, 2006.
26. “Cartoon Body Count,” Http://www.cartoonbodycount.com.
27. Toby Sterling, “Dutch Filmmaker Theo Van Gogh Murdered,” Associated Press,
November 2, 2004.
28. “Everyone Is Afraid to Criticize Islam,” interview with Ayaan Hirsi Ali, Spiegel, February
6, 2006.

24
Pasal 2

MENCARI MUHAMMAD YANG HISTORIS

• Mengapa Qur’an tidak dapat dipahami secara terpisah dari Hadith


• Memisahkan fakta dari fiksi di dalam Hadith – dan mengapa ini sangat tidak
mungkin dilakukan
• Sumber-sumber terbaik yang paling mula-mula mengenai detil kehidupan
Muhammad
• Mengapa fakta historis dan kepercayaan orang Muslim mengenai
Muhammad tidak sama

APA YANG BENAR-BENAR DAPAT KITA KETAHUI


MENGENAI MUHAMMAD?

KEBANYAKAN ORANG BARAT YANG NON-MUSLIM SAMA SEKALI TIDAK


TAHU TENTANG nabi umat Islam ini. Sementara dunia Barat setelah jaman
Kristen masih sangat mengenal kisah Yesus Kristus, dan banyak orang dapat
menceritakan kisah Buddha Gautama yang mendapatkan pencerahan ketika ia
sedang duduk di bawah pohon Bodhi, figur Muhammad bagi kebanyakan orang
non-Muslim tetap asing, jauh dan sama sekali tidak dikenal.

Orang Muslim akan berkata bahwa orang non-Muslim tidak peduli soal
Muhammad karena mereka memilih untuk bersikap demikian, dan tidak ingin
mengetahuinya. Para juru bicara Islam secara umum beranggapan bahwa kita
dapat mengetahui banyak hal mengenai Muhammad. Muqtedar Khan dari Center
for Sudy of Islam and Democracy mengemukakan sebuah asumsi umum ketika ia
berkata: “Aspek yang luar biasa dari hidup Muhammad adalah bahwa ia hidup
dalam kepenuhan terang sejarah. Ada catatan-catatan yang sangat mendetil
mengenai kehidupannya yang dapat kita peroleh. Catatan-catatan mengenai
kehidupan figur-figur penting dalam agama-agama lain tidak selengkap/sebaik
catatan mengenai Muhammad”.(1) Ernest Renan, seorang sarjana Perancis,
pada tahun 1851 adalah orang pertama yang menulis bahwa Muhammad hidup
“dalam kepenuhan terang sejarah”.

QUR’AN

Qur’an memuat banyak detil mengenai insiden-insiden tertentu dalam hidup


nabi, tetapi bukanlah sebuah narasi yang berkelanjutan – dan insiden-insiden itu

25
tidak berhubungan dan seringkali diceritakan secara tidak langsung atau tidak
lengkap, seakan-akan para pendengarnya telah mengetahui garis besar kisah itu.
Allah, menurut pandangan tradisional Muslim, mendiktekan setiap kata dalam
Qur’an kepada nabi Muhammad melalui malaikat Gabriel. Menurut tradisi Islam,
Qur’an adalah salinan yang sempurna dari sebuah kitab yang abadi - yaitu umm
al-kitab, atau Ibu dari Kitab – yang telah ada selamanya bersama Allah. Qur’an
disampaikan melalui Gabriel kepada Muhammad sedikit demi sedikit selama 23
tahun karir kenabiannya.

Allah sendiri adalah satu-satunya pembicara di hampir keseluruhan Qur’an.


(Kadangkala Muhammad tampaknya sedikit keliru mengenai hal ini: sebagai
contoh Sura 48:27, yang memuat kata “jika Allah berkehendak” – sebuah
ungkapan yang janggal jika itu digunakan oleh Allah sendiri). Seringkali Ia
langsung berbicara kepada Muhammad, mengatakan padanya apa yang harus
dikatakannya mengenai berbagai hal. Allah memberi kewajiban pada semua
Muslim melalui Muhammad, memberikannya instruksi-instruksi mengenai hukum-
hukum yang harus dipenuhi: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. ‘Haid itu
adalah kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka; sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri” (Sura 2:222).

Namun seringkali masalah yang ada tidak disampaikan secara


langsung/terus-terang: membaca Qur’an acapkali hanya seperti sebuah
percakapan antara dua orang yang salah-satunya tidak terlalu dikenal. Ketika para
apologis Islam mengatakan bahwa para teroris mengutip Qur’an diluar konteks
demi mendukung jihad, mereka tidak menyebutkan bahwa Qur’an sendiri
seringkali hanya memberikan sedikit konteks. Seringkali Qur’an membuat referensi
mengenai orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang terjadi tanpa peduli untuk
menjelaskan apa yang sedang terjadi. Sebagai contoh – saya menanyakan minat
para pembaca saat kita mempelajari Qur’an dan eksegesenya, yang dapat terlihat
sedikit membingungkan – kelima ayat pertama dari Sura 66 dalam Qur’an berbunyi
demikian:

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya


bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah
pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah
ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-
istrinya (Hafsa) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsa) menceritakan peristiwa itu
(kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara
Hafsa dengan Aisyah) kepada Muhammad dan Muhammad memberitahukan
sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian
yang lain (kepada Hafsa). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan

26
pembicaraan (antara Hafsa dengan Aisyah) lalu Hafsa bertanya: ‘Siapakah yang
telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab: ‘Telah diberitahukan
padaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal’. Jika kamu
berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah
condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu
menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya, dan (begitu
pula) Jibril dan orang-orang Mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-
malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi
Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik
daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang
mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan”.

Sangatlah mustahil untuk menceritakan dari bagian ini apa yang telah
diharamkan Nabi yang telah dihalalkan Allah baginya, atau bagaimana ia berusaha
menyenangkan hati para istrinya, atau dalam keadaan bagaimana Allah
mengijinkan pembatalan sumpah, atau rahasia apa yang dikatakan para istrinya
yang kemudian Allah beritahukan kepada Muhammad, atau bahkan istri-istri mana
yang ditegur, diingatkan untuk bertobat dan tidak bersekongkol untuk melawan
Muhammad, dan yang diancam akan diceraikan. Keseluruhan bagian ini – dan
masih banyak lagi yang seperti itu dalam Qur’an –, benar-benar kabur bagi
siapapun yang tidak secara langsung mengetahui peristiwa apa yang telah terjadi
sebelumnya.

Tetapi tradisi Islam melengkapi kisah ini – dan melakukannya dalam konteks
seorang Muslim pertama, Abdullah bin ‘Abbas, yang bertanya pada Khalif Umar,
seorang sahabat Nabi dan penerusnya yang kedua sebagai seorang pemimpin
dari komunitas Muslim (Umma), mengenai ayat-ayat Qur’an ini. Dalam musim Haji
– ziarah ke Mekkah – Abdullah bertemu dengan Umar dan mengajukan
pertanyaan: “Wahai pemimpin orang beriman! Siapakah dua wanita diantara istri-
istri Nabi yang kepada mereka Allah berkata: ‘Jika kamu berdua bertobat?” (Sura
66:4).

Umar menjawab, “Saya terperanjat mendengar pertanyaanmu, wahai Ibn


Abbas. Mereka adalah Aisha dan Hafsa”. Menurut Umar, Hafsa salah-satu istri
Muhammad, marah kepada Nabi dan menegurnya dengan keras. Maka ketika
Umar mengetahui bahwa Muhammad telah menceraikan semua istrinya, ia tidak
terkejut; ia berkata: “Hafsa adalah seorang pengacau! Saya sudah menduga hal
seperti ini suatu hari akan terjadi”.

Umar pergi menemui Muhammad, yang pada mulanya menolak untuk


menerimanya, namun kemudian mengalah. “Aku memberinya salam ketika ia
masih berdiri, aku berkata: ‘Apakah engkau telah menceraikan istri-istrimu?’ Ia
menatapku dan mengatakan bahwa ia belum melakukannya”. Umar kemudian
mengeluhkan istrinya yang telah menjadi tidak taat oleh karena pengaruh

27
beberapa wanita yang baru menjadi Muslim. Kemudian Umar berkata, “Nabi
tersenyum”. Dan ia tersenyum lagi ketika Umar mengatakan bahwa ia telah
memberitahu Hafsa agar tidak memarahi Muhammad; Aisha istri Muhammad, tidak
mendapatkan masalah jika berlaku demikian pada Nabi hanya karena ia lebih
cantik dari semua istri nabi yang lain dan Muhammad sangat mencintainya.

Umar menjelaskan kepada Abdullah bahwa “Nabi tidak pergi kepada istri-
istrinya karena rahasia yang dibukakan Hafsa kepada Aisha, dan ia mengatakan
bahwa ia tidak akan mengunjungi istri-istrinya selama sebulan karena ia marah
pada mereka ketika Allah menegurnya (oleh karena ia telah bersumpah untuk
tidak lagi mendekati Maria). Ketika 29 hari telah berlalu, Nabi pertama-tama
mengunjungi Aisha.(2)

Tetapi Umar tidak mengatakan apa rahasia Hafsa. Menurut beberapa pihak
yang berwenang, Hafsa telah memergoki Muhammad di ranjang dengan selirnya,
Maria orang Koptik, pada hari yang mestinya dihabiskannya dengan Hafsa.
Muhammad berjanji untuk menjauhi Maria dan meminta Hafsa untuk
merahasiakan hal itu, namun Hafsa menceritakannya pada Aisha. Kemudian Allah
campur tangan dengan memberi wahyu ancaman perceraian yang kini kita
temukan dalam Sura 66, membebaskan Muhammad dari sumpahnya untuk
menjauhi Maria.(3) Tetapi tradisi lain menjelaskan hal ini dengan sangat berbeda.
Aisha menjelaskan:

“Nabi biasanya menghabiskan banyak waktu dengan Zainab bint Jahsh (salah-
satu istrinya) dan minum madu di rumahnya. Maka Hafsa dan saya memutuskan
bahwa jika Nabi datang kepada salah-satu dari kami, ia harus berkata pada
Nabi, ‘Saya mencium bau Maghafir (sejenis permen yang berbau busuk)
padamu. Apakah kamu baru makan Maghafir?’ Maka nabi akan mengunjungi
salah-satu dari mereka dan istrinya itu akan menanyakannya hal yang sama.
Nabi berkata: ‘Tak apalah, saya telah minum sedikit madu di rumah Zainab bint
Jahsh, tapi saya tidak akan meminumnya lagi’. Lalu turunlah wahyu: ‘Hai Nabi,
mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu...jika
kedua istrimu bertobat kepada Allah,’ (Sura 66:1-4) menunjuk kepada Aisha dan
Hafsa. ‘ketika Nabi mengemukakan hal ini pada beberapa dari istrinya,’ (66:3)
yaitu perkataannya bahwa: saya telah minum sedikit madu”.(4)

Dalam skenario ini wahyu dalam Sura 66 hanya memperhatikan


kecemburuan istri-istrinya (atau boleh jadi bau mulut Muhammad) dan sumpahnya
untuk berhenti minum madu. Dalam hal ini apa yang telah diharamkan Muhammad
bagi dirinya yang kemudian dihalalkan Allah adalah madu. Jelasnya, Muhammad
berusaha menyenangkan para istrinya dengan berjanji untuk tidak minum madu,
dan Allah mengijinkannya untuk membatalkan sumpahnya ini dan mengancam
menceraikan istri-istrinya yang bersalah.

28
Dalam Hadith yang lain, Umar menyombongkan diri karena telah turut
memberi inspirasi dalam wahyu ini: “Pernah istri-istri Nabi bersekongkol melawan
Nabi dan aku berkata kepada mereka: ‘Jika seandainya Nabi menceraikan kamu
(semua) maka Tuhannya (Allah) akan memberikan kepadanya istri-istri yang lebih
baik dari kalian”. Maka ayat ini [(Sura 66:5) sama seperti apa yang telah saya
katakan] telah diwahyukan”.(5)

Jika kita mengesampingkan pertanyaan tentang natur dari sebuah wahyu


ilahi berkenaan dengan kesehatan mulut Nabi atau kecemburuan para istrinya,
maka jelaslah bahwa penjelasan-penjelasan tradisional Islam yang samar-samar,
maupun pernyataan-pernyataan kiasan dalam Sura 66 kemungkinan besar
direkonstruksikan dari Qur’an saja.

HADITH

Dalam menyikapi kualitas potongan-potongan narasi Qur’an, orang Muslim


mula-mula menggunakan 2 sumber utama untuk menyediakan konteks bagi
Qur’an, yaitu: tafsir dan hadith, tradisi mengenai Nabi Muhammad. Dan sejumlah
besar (walaupun tidak terlalu bermakna sama sekali) dari hadith itu sendiri adalah
tafsir. Ini memberikan asbab an-nazool, atau keadaan/situasi saat pewahyuan
(seperti yang telah kita lihat dalam Sura 66:1-5), untuk berbagai ayat dalam Qur’an
– yang dapat mempunyai implikasi yang penting berkenaan dengan bagaimana
ayat tersebut diaplikasikan dalam jaman modern. Sebagai contoh, sebuah hadith
mencatat keadaan pada saat Muhammad sedang membaca sebuah ayat Qur’an
yang mengolok orang Muslim yang tidak berpartisipasi dalam jihad: “Tidaklah
sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak
mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta
mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta
dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing
mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-
orang yang berjihad atas yang duduk dengan pahala yang besar”. (Sura 4:95)

Saat Muhammad sedang membaca ayat ini, ada seorang yang buta
kemudian menanggapi: “Wahai Utusan Allah! Jika saya mampu pasti saya akan
ikut berjihad”. Maka “Allah kemudian menurunkan sebuah wahyu kepada Utusan-
Nya” yang menjadi bagian dari ayat itu, yang membebaskan sahabat Nabi yang
buta itu dari penghukuman: “selain dari mereka yang memiliki sakit (yang
melumpuhkan/membuat cacat)”.(6)

Sunnah, atau model/contoh Nabi, yang sebahagian besar terdiri dari hadith,
adalah otoritas tertinggi kedua setelah Qur’an bagi banyak orang Muslim, dan
memuat sejumlah besar informasi mengenai Muhammad. Dari Sunnah inilah lahir
banyak hukum yang membedakan masyarakat islami dari kelompok masyarakat
lainnya. Sunnah sangat penting dalam pemikiran Islam sehingga menurut sarjana

29
Islam Ahmad Von Denffer, “ada kesepakatan diantara para sarjana Muslim bahwa
isi Sunnah (sebagai tambahan untuk Qur’an) juga berasal dari Allah. Oleh karena
mereka telah menggambarkannya juga sebagai hasil dari suatu bentuk inspirasi”.
(7)

Dari sudut pandang yang menguntungkan sejak 1400 tahun yang lalu,
secara kasat mata mustahil untuk mengatakan dengan pasti apa yang otentik
dalam informasi yang banyak ini dan apa yang tidak. Orang Muslim sendiri
mengakui bahwa ada banyak ahadith (bentuk jamak dari hadith) yang palsu, yang
ditulis sebagai petunjuk Nabi terhadap pandangan atau praktek-praktek suatu
kelompok tertentu dalam komunitas Muslim mula-mula. Ini memunculkan
pertanyaan yang sulit dijawab berkenaan dengan historisitas dari apa yang
sesungguhnya dikatakan dan dilakukan Muhammad. Tetapi itu tidak berarti bahwa
Hadith tidak mempunyai relevansi dalam kehidupan orang Muslim. Dalam
menyikapi kebingungan yang disebabkan oleh perkembangan ahadith yang palsu,
kira-kira pada awal sejarah Islam beberapa orang Muslim mengumpulkan koleksi-
koleksi catatan-catatan dari perkataan dan perbuatan Nabi yang mereka anggap
sedikit banyak bersifat otentik dan penting.(7) Pada abad ke-9 beberapa sarjana
Islam menjelajahi dunia Muslim mengumpulkan tradisi-tradisi mengenai
Muhammad dan kemudian berusaha untuk memisahkan yang benar dari yang
palsu. Imam Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari (810-870), yang mengumpulkan
banyak koleksi hadith yang berotoritas dan berharga (yang dikenal sebagai Sahih
Bukhari), dikatakan telah mengumpulkan 300.000 ahadith. Kesemuanya ini
dipelajarinya dengan teliti, ia berusaha untuk menapaki ulang tiap-tiap ahadith
tersebut melalui sebuah rantai transmisi (isnad) hingga kepada Nabi Muhammad
sendiri. Pada puncaknya, ia memilih dan menerbitkan sekitar 2000 ahadith yang
dipandang otentik; pengulangan-pengulangan membawa sekitar lebih dari 7000
ahadith ke dalam koleksinya.

Sahih Bukhari sendiri mengisi 9 volume dalam sebuah edisi mewah Inggris-
Arab yang diterbitkan di Arab Saudi. Di samping menyediakan konteks bagi
sejumlah besar ayat dalam Qur’an, ia juga memberikan pada para pembaca
pemahaman mengenai kehidupan pribadi Muhammad, hikmat dan teladannya
sehubungan dengan sejumlah besar topik, termasuk soal wudhu, karakteristik doa
dan sikap dalam bersembahyang, pemakaman, kewajiban membayar pajak amal
(zakat), kewajiban menunaikan ibadah Haji ke Mekkah, berpuasa, sikap yang baik,
penjualan dan perdagangan, peminjaman, penyewaan, surat wasiat, pernikahan,
perceraian, hukum waris, jihad dan penundukkan, penghukuman atas orang-orang
yang tidak beriman, uang darah, dan masih banyak lagi – bahkan penafsiran
mimpi.

Sahih Bukhari hanyalah salah satu dari 6 koleksi, semuanya panjang, yang
oleh umat Muslim secara umum dipandang sebagai yang dapat dipercayai.
Diantara semua Sahih Sittah ini, atau koleksi-koleksi yang dapat dipercayai, ada
yang lain yang juga mendapat sebutan sahih-artinya yang dapat dipercayai, yaitu

30
Sahih Muslim, yang dikumpulkan oleh Muslim ibn al-Hajjal al-Qushayri (821-875).
Yang lainnya dipandang lebih rendah otoritasnya daripada Bukhari dan Muslim,
namun masih sangat dihormati, yaitu: Sunan Abu-Dawud oleh Abu Dawud as-
Sijistani (888); Sunan Ibn Majah oleh Muhammad ibn Majah (896), Sunan At-
Tirmidhi oleh Abi’Eesaa Muhammad at-Tirmidhi (824-893), dan Sunan an-Nasai
oleh Ahmad ibn Shu’ayb an-Nasai (915).

Yang juga sangat dihargai, walau tidak dihitung diantara Sahih Sittah, yaitu
beberapa koleksi lain, terutama yang dikenal sebagai Muwatta Imam Malik (atau
Muwatta Malik). Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir Al-Asbahi (715-801), atau
Imam Malik, hidup hampir sejaman dengan Muhammad dibandingkan dengan
semua kolektor ahadith lainnya – dan ia dilahirkan lebih dari 80 tahun setelah
kematian Nabi.

Dalam Islam, studi mengenai Hadith adalah sebuah ilmu yang kompleks
dan sangat menarik. Para sarjana menilai tiap-tiap tradisi berdasarkan kriteria
seperti “bunyi”, “baik”, “lemah”, “palsu”, dan sebagainya. Jika sebuah tradisi
muncul dalam Hadith Bukhari atau Muslim, maka para sarjana Muslim bersepakat
bahwa tradisi itu sangat dapat dipercayai, dan jika tradisi itu muncul dalam
keduanya (Bukhari dan Muslim) maka otentisitasnya jelas terjamin – setidaknya
dari perspektif Muslim tradisional. Dan ini bukan hanya merupakan pandangan
para sarjana Muslim, namun juga kaum awam: Bukhari dan Muslim dipandang
sebagai sumber-sumber yang unggul. Suatu sumber internet islami, sementara
menjamin para pembaca bahwa “tidak ada sesuatupun dalam situs ini yang
melanggar prinsip-prinsip baku hukum Islam”, mengumpulkan pendapat umum
orang Muslim secara ringkas: “Sahih Bukhari sangat terkemuka oleh karena
keunggulannya”; berkenaan dengan Sahih Muslim, situs itu menambahkan: “Dari
300.000 Hadith yang telah diuji oleh Muslim, hanya kira-kira 4000 Hadith – yang
dibagi ke dalam 42 kitab – yang dimasukkan ke dalam koleksinya berdasarkan
pada suatu kriteria penerimaan yang keras”.(9)

Bukhari dan Muslim, hingga ke tingkatan yang lebih rendah dari koleksi-
koleksi Sahih Sittah, tetap ada standar emas bagi ahadith. Penerjemah Inggris
untuk Sahih Muslim, Abdul Hamid Siddiqi, menjelaskan bahwa Hadith “yang diakui
sebagai yang sangat otentik dimasukkan ke dalam dua kompilasi yang luar-biasa
ini”, dan “bahkan dari kedua ini, Bukhari menempati posisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Muslim”.(10)

SIRA

Kemudian ada sira, atau biografi Muhammad. Bersama dengan Hadith dan
Qur’an, sira membangun Sunnah. Biografi panjang yang pertama mengenai nabi
Islam ini tidak muncul hingga 150 tahun setelah kematiannya. Penulis biografi Nabi
yang pertama adalah Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yasar, yang secara umum dikenal

31
dengan Ibn Ishaq (704-773). Sementara banyak potongan biografi tercantum
dalam sumber-sumber lain, setidaknya dalam Qur’an, Sirat Rasul Allah (Biografi
Nabi Allah) karya Ibn Ishaq adalah usaha pertama untuk menyediakan sebuah
narasi yang berkelanjutan mengenai kehidupan Muhammad.

Sayangnya, bentuk asli buku ini terhilang dalam sejarah. Buku ini hanya
eksis dalam versi yang kemudian direvisi dan dipersingkat (walaupun masih tetap
panjang) oleh Ibn Hisham, yang wafat pada 834 M, enam puluh tahun setelah Ibn
Ishaq, dan dalam fragmen-fragmen yang dikutip para penulis Muslim mula-mula,
termasuk seorang sejarawan lain, yaitu Muhammad Ibn Jarir at-Tabari (839-923).
Ibn Hisham menjelaskan bahwa dalam versinya ia menghilangkan beberapa
materi yang ada dalam biografi tulisan Ibn Ishaq, “hal-hal yang sangat memalukan
untuk didiskusikan; hal-hal yang akan mempersulit orang-orang tertentu; dan
laporan-laporan seperti yang dikatakan al-Bakka’i kepada saya, yang tidak dapat
dipercayainya”.(11) Beberapa hal yang “memalukan” ini telah mengakibatkan
Malik ibn Anas (715-801), yang adalah seorang pengumpul koleksi hadith yang
penting, Muwatta, menyebut Ibn Ishaq “Antikristus” dan mengeluhkan sang penulis
biografi “melaporkan tradisi-tradisi dengan otoritas orang Yahudi”. Malik dan Ibn
Ishaq kemudian berbaikan, dan banyak pihak berwenang Muslim mula-mula
menyaksikan keunggulan sang penulis biografi. Seorang Muslim yang
mengenalnya selama bertahun-tahun menyatakan bahwa “tidak satupun orang
Medina yang mencurigainya atau berbicara yang mencemoohkannya”; yang
lainnya menyebutnya sebagai “yang paling setia kepada tradisi”.(12)

Orang Muslim secara umum telah menerima karya Ibn Ishaq sebagai yang
dapat dipercayai berdasarkan pada fakta bahwa ketidaksukaan beberapa orang
Muslim mula-mula seperti yang dirasakan oleh Malik tidak muncul dari keyakinan
bahwa materi historisnya tidak dapat dipercayai, tapi dari tulisan-tulisannya
mengenai hukum Islam. Ia dicurigai telah mengutip tradisi-tradisi sah dengan
rantai transmisi yang tidak lengkap atau tidak tepat dan menetapkan otoritas atas
bahan-bahan itu (walaupun ia teliti sekali dalam memasukkan rantai semacam itu
bagi banyak catatan historisnya). Ia kemudian dituduh cenderung kepada Syiah
dan penyimpangan-penyimpangan lainnya dari ortodoksi. Tetapi hakim agung
Islam Ahmed ibn Hanbal (780-855) meringkaskan pandangan tersebut: “dalam
maghazi (serangan-serangan militer Muhammad) hal-hal yang dikatakan oleh Ibn
Ishaq dapat saja ditulis; tapi untuk hal-hal yang legal dibutuhkan konfirmasi lebih
lanjut”.(13) Dengan kata lain, ia adalah seorang sumber sejarah yang baik, tetapi
tidak dalam hal legislasi.

Namun demikian, tulisan mengenai kehidupan Muhammad karya Ibn Ishaq


akurasinya dapat dipertanyakan. Sang penulis biografi Nabi adalah seorang
Muslim yang beriman, bercita-cita menggambarkan Muhammad sebagai seorang
tokoh yang lebih besar dari hidup itu sendiri. Ia melaporkan suatu insiden dimana
istri seorang pria yang telah dibunuh oleh Muhammad, telah meracuni makan
malam Nabi. Menurut Ibn Ishaq, nabi telah mempunyai firasat mengenai perbuatan

32
wanita itu; ia memuntahkan daging yang beracun itu, dan berkata, “Tulang ini
berkata padaku bahwa ia telah diracuni”.(14) Pada kesempatan lain, para
pengikutnya menggali parit yang besar untuk pertempuran dan mereka
menemukan sebuah batu yang sangat besar yang tidak dapat dipindahkan oleh
siapapun. Nabi kemudian meludah ke air dan memercikkannya ke batu itu,
sehingga penghalang itu kemudian “melembut hingga menjadi seperti pasir
sehingga tidak dapat bertahan dari pukulan kapak atau cangkul”.(15)

Apapun keunggulannya sebagai seorang sejarawan, banyak gambaran Ibn


Ishaq mengenai Muhammad selama berabad-abad telah masuk ke dalam alam
sadar umat Muslim secara umum. Banyak insiden dalam kehidupan Nabi,
termasuk yang kemudian sangat mempengaruhi sejarah Islam, tidak mempunyai
sumber lain; catatan para sejarawan Muslim yang belakangan hanya bergantung
pada Ibn Ishaq. Karyanya dibaca dan dihargai oleh orang Muslim pada masa kini;
banyak toko buku Muslim yang masih menyimpan salinan biografinya diantara
catatan-catatan modern mengenai Nabi.(16) Para sejarawan Muslim modern
memuji akurasinya: Let.Jen. A.I. Akram dari Angkatan Bersenjata Pakistan, dalam
biografinya mengenai Khalid bin Waleed – salah seorang sahabat Nabi
Muhammad, yang dikenal dengan sebutan “Pedang Allah” – menjelaskan bahwa
karya Ibn Hisham:

“...Seerah Rasoolullah, oleh Muhammad bin Ishaq (yang wafat pada 150 atau
151 H)17, tidak diragukan lagi adalah otoritas utama dari Seerah (biografi Nabi)
dan literatur Maghazi (peperangan). Semua tulisan yang muncul setelah dia
bergantung pada karyanya, yang walaupun telah kehilangan keutuhannya, telah
diabadikan dalam karya Ibn Hisham yang luar biasa...karya Ibn Hisham diakui
keunggulannya, ketelitian metodologi dan gaya literaturnya memiliki standar
keindahan dan keanggunan yang tertinggi. Tidaklah mengejutkan jika kita
menyebut bahwa Ibn Ishaq adalah sarjana ternama bukan hanya dalam bahasa
Arab tetapi juga dalam ilmu mengenai hadith”.(18)

Javeed Akhter, penulis buku The Seven Phases of Prophet Muhammad’s


Life, sepakat: “Apakah Ibn Ishaq dapat dipercayai? Ia tampak seakan-akan
berhati-hati dalam tulisan-tulisannya. Sedang dalam keraguan ia seringkali
mengawali sebuah pernyataan dengan kata ‘Za’ama’ (ia menduga kuat)”.(19)
Dalam sebuah survey para sejarawan Muslim, Salah Zaimeche dari sebuah
organisasi Muslim yang dikenal dengan Foundation for Science Technology and
Civilization menulis mengenai Ibn Ishaq: “Ia mengoreksi Hadith, dan juga
menyingkirkan laporan-laporan yang bersifat legenda dan puisi yang tidak dapat
diyakini kebenarannya. Tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan Nabi
(PBUH)20 dicatat dengan sangat teliti, dan pertempuran-pertempurannya
digambarkan dalam banyak detil”.(21)

33
Dan dalam boigrafi modern mengenai Nabi (yang didistribusikan oleh Dewan
Hubungan Amerika-Islam, sebuah kelompok yang menyebut diri mereka sebagai
sebuah organisasi hak-hak sipil untuk membela orang-orang Muslim di Amerika),
apologis Islam Yahiya Emerick memuji buku Sirat Rasul Allah yang ditulis oleh Ibn
Ishaq sebagai “Salah satu usaha paling permulaan untuk mempresentasikan
sebuah biografi lengkap mengenai Muhammad, dengan menggunakan sumber-
sumber yang luas dan bervariasi.”(22)

Sarjana kontemporer Islam (seperti Abu Bakr Siraj Ad-Din, yang memeluk
Islam) Martin Lings (1909-2005), yang karya biografinya yaitu Muhammad:His Life
Based on the Earliest Sources dihargai oleh orang non-Muslim dan juga Muslim
sendiri (dan memenangkan Penghargaan Lings di Mesir dan Pakistan),
sepenuhnya bersandar pada 3 sumber, yaitu: biografi Ibn Ishaq; kumpulan kisah
peperangan Muhammad oleh Muhammad ibn Umar al-Waqidi (823); dan tradisi-
tradisi yang dikumpulkan oleh sekretaris Muhammad al-Waqidi, Muhammad Ibn
Sa’d (845), yaitu: Kitab Al-Tabaqat Al-Kabir (Buku mengenai Pertikaian-Pertikaian
Besar). Oleh karena dua yang terakhir ini lebih muda beberapa generasi dari Ibn
Ishaq, sirat Rasul Allah masih berada pada posisi puncak sebagai sumber utama
informasi mengenai Muhammad. Lings juga menggunakan “The History of the
Messengers and the Kings” (Tarikh ar-Rasul wa ‘l-Muluk) oleh Tabari,
sebagaimana juga Bukhari, Muslim, dan sumber-sumber hadith lainnya.

Oleh karena itu, saya terutama sekali bersandar pada sumber-sumber


tersebut juga – terutama Ibn Ishaq, oleh karena karyanya secara kronologis paling
tua, dan juga Ibn Sa’d, yang dipandang oleh banyak sarjana Muslim lebih dapat
dipercayai sehubungan dengan transmisi hadithnya daripada al-Waqidi.(23) Saya
juga akan menggunakan Bukhari dan Muslim secara ekstensif, demikian pula
dengan koleksi hadith lainnya yang dipandang oleh orang-orang Muslim sebagai
yang dapat dipercayai – semuanya itu untuk membangun sebuah gambaran
mengenai Muhammad dari sumber-sumber islami, gambaran akan diperoleh
seorang Muslim yang saleh jika ia ingin mempelajari lebih banyak mengenai
kehidupan dan perkataan-perkataan nabinya.

FAKTA HISTORIS DAN KEYAKINAN MUSLIM

Dengan menggunakan Qur’an, Hadith dan Sira, apa yang paling dapat kita
ketahui tentang Muhammad? Kepastian historis tentunya tidak mudah untuk
didapat melalui teks yang kurang lengkap seperti Qur’an, yang dipenuhi dengan
informasi yang salah seperti Hadith, dan selambat Sira. Bahkan Qur’an dalam
opini beberapa sejarawan modern, “seperti yang kita miliki sekarang bukanlah
sebuah karya dari Muhammad atau para redaksi Uthman... tetapi sebuah endapan
tekanan sosial dan budaya dari dua abad Islam yang pertama”.(24) Sementara
apologis Islam secara umum menyatakan dengan bangga bahwa teks Qur’an tidak
pernah diubah dan tidak ada varian-varian lainnya, ada beberapa indikasi bahkan
34
dalam beberapa tradisi Islam bahwa sesungguhnya hal ini tidaklah demikian.
Seorang Muslim mula-mula, yakni Anas ibn Malik, melaporkan bahwa setelah
sebuah peperangan yang menewaskan banyak orang Muslim, Qur’an sebenarnya
memuat sebuah pesan dari orang Muslim yang terbunuh untuk mereka yang
masih hidup: “Kemudian kami membaca sebuah ayat di dalam al-Qur’an dalam
waktu yang panjang, (ayat yang) telah disingkirkan atau dilupakan. Maka nyatalah
kepada umat kami bahwa kami telah bertemu Tuhan kami yang berkenan dengan
kami dan kami menyenangkan-Nya”.(25)

Sementara itu, beberapa sarjana Barat seperti pakar hadith Ignaz Goldziher
(1850-1921), juga John Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook, Christoph
Luxenberg, dan yang lainnya, telah membuat sebuah terobosan dalam meneliti
ahadith mana yang merefleksikan apa yang benar-benar dikatakan dan dilakukan
Muhammad, dan mana yang merupakan legenda yang saleh – riset yang sering
menyimpang secara tajam dari hikmat yang diterima oleh para sarjana Muslim
berkenaan dengan Hadith.(26)

Dari sudut pandang historis yang sangat ketat, mustahil untuk menyatakan
secara pasti bahwa ada seorang bernama Muhammad yang benar-benar pernah
hidup, atau seandainya pun ia pernah ada dalam sejarah, ia banyak melakukan
apa yang diceritakan mengenai dirinya. Seumpamanya pun ia pernah eksis –
terutama berdasarkan catatan mengenai aspek-aspek kehidupannya yang sangat
memalukan bagi orang Muslim di jaman sekarang (dan, dalam berbagai tingkatan
yang berbeda di sepanjang sejarah), hal-hal itu dikonfrontasikan dengan sulitnya
untuk disesuaikan dengan ukuran kepantasan di jaman modern ini. Sangat sulit
untuk membayangkan bagaimana Muhammad menikahi seorang anak perempuan
yang masih berusia 6 tahun, atau pernikahannya dengan mantan menantunya.
Orang Muslim bergumul selama berabad-abad untuk menjelaskan hal-hal ini dan
juga aspek-aspek kehidupan Muhammad lainnya; jika seorang editor atau
kompilator dapat dengan begitu saja membuang atau melupakan hal-hal itu,
pastilah ia akan melakukannya. Namun, beberapa sejarawan percaya bahwa
Muhammad yang muncul di hadapan kita dalam Qur’an, Hadith, dan Sira adalah
seorang figur yang campur-aduk, yang kemudian memberikan imperialisme dan
mitos Arab. Yang lainnya juga telah mempertanyakan apakah Muhammad dalam
sejarah benar-benar mempunyai hubungan dengan Mekkah dan Medina, atau jika
kisah itu mendapatkan setting demikian untuk memposisikannya di kota-kota
utama di Arab Saudi.

Spekulasi-spekulasi historis ini jelas sekali tidak berpengaruh pada doktrin


atau praktek Islam. Oleh karena itu, tidak kurang penting untuk mengetahui apa
yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan Muhammad daripada apa yang
secara umum dipercayai oleh orang-orang Muslim mengenai kehidupan
Muhammad, karena apa yang dipercayai oleh orang Muslim ini masih membentuk
dasar bagi keyakinan, praktek, dan hukum orang Muslim. Penting untuk
mengetahui Muhammad yang telah membentuk dan terus membentuk kehidupan

35
banyak orang Muslim di seluruh dunia. Gambaran yang populer mengenai
Muhammad, dan sejumlah besar legislasi Islam yang diterima oleh jutaan Muslim
pada masa kini sebagai hukum Allah yang sebenarnya, telah diperinci dari
perkataan dan perbuatannya dalam hadith yang oleh para ulama dan ahli hukum
dari aliran-aliran Islam ortodoks, dipandang otentik.

Gambaran mengenai Muhammad seperti inilah yang menginspirasi orang


Muslim di seluruh dunia, apakah itu baik atau jahat, dan itu tetaplah benar tanpa
mempedulikan akurasi historis yang sebenarnya dari materi ini. Jutaan orang
Muslim memandang Muhammad yang ada dalam Qur’an, Hadith dan Sira untuk
mendapatkan tuntunan tentang bagaimana meneladani tokoh yang dalam tradisi
Islam telah dianugerahi al-insan al-kamil, atau Manusia Sempurna. Konsep ini
telah memainkan peranan yang penting dalam mistik Islam. Sarjana Itzchak
Weismann, dalam mendiskusikan pemikiran mistik Amir ‘Abd al-Qadir al-Jaza’iri
(1808-1883), yang telah mengobarkan jihad terhadap Perancis yang kemudian
menjadi Algeria modern, menjelaskan bahwa dalam tradisi-tradisi mistik Islam,
“Manusia Sempurna adalah kemanusiaan yang ideal. Dalam suatu kriteria yang
ketat bahwa hanya Muhammad yang telah mencapai keadaan ini dengan
sempurna, oleh karena hanya dalam dia nama-nama Ilahi telah dinyatakan dalam
harmoni yang lengkap dan sempurna”.(27) Sementara beberapa orang Muslim
yang tidak terlalu mistis akan mendapati bahwa ini adalah sebuah penghormatan
yang berlebihan. Devosi populer terhadap Muhammad di kalangan orang Muslim
di seluruh dunia tidak kurang bersemangat.

Itulah sebabnya sangatlah penting di jaman sekarang ini orang-orang Barat


menjadi lebih akrab dengan satu figur yang mempesona ini.

Catatan Kaki
1. Dr. Muqtedar Khan, “The Legacy of Prophet Muhammad and the Issues of Pedophilia
and Polygamy,” Ijtihad, June 9, 2003.
2. Muhammad Ibn Ismaiel Al-Bukhari, Shih al-Bukhari: The Translation of the Meanings,
trans. Muhammad M. Khan, Darussalam, 1997, vol. 3, book 46, no. 2468.
3. Maxime Rodinson, Muhammad, translated by Anne Carter, Pantheon books, 1980,
279-283.
4. Bukhari, vol. 7, book 68, no. 5267.
5. Bukhari, vol. 1, book 8, no. 402.
6. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 2832.
7. Von Denffer, 18-19.
8. The word hadith’s Arabic plural is ahadith, and this is found in much English-language
Muslim literature. However, to avoid confusing English-speaking readers I have used
the English plural form.
9. “Hadith & Sunnah,” www.islamonline.net.

36
10. Abdul Hamid Siddiqi, Introduction to Imam Muslim, Sahih Muslim, translated by Abdul
Hamid Siddiqi, Kitab Bhavan, revised edition 200, v.
11. “Ibn Hisham’s Notes,” in Ibn Ishaq, The Life of Muhammad: A Translation of Ibn
Ishaq’s Sirat Rasul Allah, A. Guillaume, translator, (Oxford University Press, 1995),
691.
12. Ibid., xxxv
13. Ibid., xxxvii
14. Ibid., 516
15. Ibid., 451
16. My own copy bears the stamp of the Islamic bookstore in Lahore, Pakistan.
17. AH stands for anno Hegirae, year of the Hijra, or the number of years after
Muhammad fled Mecca for Medina, according to the Islamic lunar calendar.
18. A.I Akram, The Sword of Allah: Khalid bin Al-Waleed: His Life and Campaigns (Feroze
Sons Publisher, Lahore, 1969).
19. Javeed Akhter, The Seven Phases of Prophet Muhammad’s Life, International
Strategy and Policy Institute, 2001.
20. PBUH stands for “Peace Be Upon Him.”
21. Salah Zaimeche, “A Review on Early Muslim Historians,” Foundation for Science
Technology and Civilisation, 2001.
22. Yahiya Emerick, The Life and Work of Muhammad, Alpha Books, 2002, 311.
23. S. Moinul Haq and H.K. Ghazanfar, “Introduction,” in Ibn Sa’d, Kitab Al-Tabaqat Al-
Kabir, vol. I, S. Moinul Haq and HK. Ghazanfar, translator, Kitab Bhavan, n.d., xxi.
24. Ibn Al-Rawandi, “Origins of Islam: A Critical Look at the Sources,” in The Quest for the
Historical Muhammad, Ibn Warraq, editor, Prometheus Books, 2000, 111.
25. Ibn Sa’d, Kitab Al-Tabaqat Al-Kabir, vol. II, 64
26. See Ignaz Goldhizer, Muslim Studies, vol. 2, George Allen & Unwin Ltd., 1971.
27. Itzchak Weismann, “God and the Perfect Man in the Experience of ‘Abd al-Qâdir al-
Jaza’iri,” Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society, volume 30, Autumm 2001.

37
PASAL 3

MUHAMMAD MENJADI NABI

• Agama-agama dan dewa-dewa Arab sebelum Islam


• Tradisi-tradisi Muslim: Orang Yahudi dan Kristen menantikan seorang nabi.
• Penglihatan Muhammad yang pertama: malaikat– atau sesuatu yang lain?
• Ketakutan Muhammad dan keinginan untuk bunuh diri
• Bagaimana Muhammad menjadi yakin bahwa ia adalah seorang nabi

ARABIA SEBELUM MUHAMMAD

MUHAMMAD MEMPERKENALKAN ISLAM KE ARABIA YANG MEMILIKI


BANYAK BUDAYA DAN AGAMA. Suku Muhammad sendiri, kaum Quraysh,
adalah penyembah berhala. Orang Quraysh tinggal di kota Mekkah, yang
merupakan pusat perdagangan dan ziarah: para pengelana dari daerah-daerah
sekelilingnya melewati kota itu. Orang Quraysh mendapatkan banyak keuntungan
melalui perdagangan dengan para peziarah yang pergi ke kuil lokal, yaitu Ka’bah,
yang menjadi tempat kediaman banyak berhala – terutama patung dewa Hubal.
Dewa-dewa lokal dari tiap suku ada di dalam kuil itu, bersama dengan berhala-
berhala lainnya yang berupa pohon-pohon dan batu-batu dekat Ka’bah. Salah-satu
dari dewa-dewa ini, yaitu “Allah”, belum dijadikan sesembahan Islam, dan
merupakan dewa sesembahan orang Quraysh. Yang lainnya adalah tiga dewi
yang dipuja banyak suku yaitu, al-Lat, al-‘Uzza, dan Manat, yang memainkan
peranan penting dalam karir kenabian Muhammad.

Oleh karena peran sentral yang dimiliki Mekkah baik dalam bidang
perdagangan dan agama dari daerah-daerah di sekelilingnya, orang Quraysh
menggunakan pengaruh yang besar; sebagaimana yang akan kita lihat, penolakan
orang Quraysh terhadap Muhammad memprovokasi suku-suku lain untuk juga
menolak Muhammad, walaupun kemudian penerimaan kepadanya juga
menimbulkan berpalingnya suku-suku lain kepada Islam.

Arabia yang paganis adalah dataran yang keras. Pertumpahan darah sering
terjadi, dan orang bertumbuh menjadi kasar dan keras sama seperti tanah gurun
mereka. Kaum wanita diperlakukan seperti barang milik; pernikahan anak-anak
(anak-anak perempuan berusia 7 atau 8 tahun sudah dinikahkan), dan
pembunuhan terhadap kaum wanita biasa dilakukan, oleh karena wanita dianggap
dapat mendatangkan masalah keuangan. Di kemudian hari, Qur’an mengkritik
dengan keras pembunuhan terhadap wanita sebagai hal yang membawa retribusi
pada Hari Penghakiman yang mengerikan:

38
“Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan; dan
apabila gunung-gunung dihancurkan, dan apabila unta-unta yang bunting
ditinggalkan (tidak diperdulikan), dan apabila binatang-binatang liar
dikumpulkan, dan apabila lautan dipanaskan, dan apabila ruh-ruh
dipertemukan (dengan tubuh), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur
hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh, dan apabila catatan-
catatan (amal perbuatan manusia) dibuka, dan apabila langit dilenyapkan, dan
apabila neraka Jahim dinyalakan, dan apabila surga didekatkan, maka tiap-
tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya” (Sura 81:1-14).

Namun demikian, mengenai pernikahan anak-anak, Qur’an mempunyai pesan


yang sama sekali berbeda.

Orang Yahudi dan orang Kristen juga mendiami daerah itu. Orang-orang
Kristen terpusat di sekitar Najran di Selatan Arabia, dekat Yaman – disitu pernah
ada sebuah kerajaan Yahudi pada abad ke-6, di bawah pemerintahan Masruq Dhu
Nawas. Ada pula kantung-kantung Kristen di daerah-daerah lain di Arabia –
kebanyakan dari kelompok-kelompok bidat yang telah meninggalkan Kekaisaran
Byzantium untuk menghindari penganiayaan dan pelecehan. Di dalamnya
termasuk kelompok Gnostik, yang berpandangan bahwa hal-hal fisik adalah jahat
dan mempunyai spekulasi-spekulasi kosmis. Kelompok Kristen lainnya adalah
kelompok Nestorian, yang ditentang keras pada Konsili Eukumenis yang ketiga
(yang diadakan di Efesus pada tahun 431 M), karena menolak untuk mengakui
kesatuan pribadi ilahi Yesus atau Maria sebagai Bunda Tuhan. Kaum Nestorian
keluar dari kekaisaran Byzantium menuju Persia, dan mereka disambut disana dan
memulai satu seri upaya penginjilan yang serius di sekeliling daerah Efrat pada
abad ke-6, dan mendapatkan banyak petobat di Arabia.

Kemudian pada abad ke-6, Numan III, penguasa kerajaan Lakhmid di Timur
Laut Arabia, memeluk agama Kristen. Di Barat Laut Arabia, kerajaan Ghassanid
juga beragama Kristen, dengan pengaruh yang kuat dari kelompok bidat yang lain
lagi, yaitu kelompok Monofisit, yang berpandangan bahwa natur manusiawi Yesus
telah diserap ke dalam natur ilahi-Nya, dan yang adalah musuh bebuyutan
kelompok Nestorian. Orang Ghassanid dilindungi oleh Byzantium dan juga orang
Lakhmid dari Persia – dan kedua kekuatan ini menggunakan negara-negara Arab
ini untuk melindungi diri dari perampok-perampok Bedouin dari daerah Selatan
Arabia.

Bahkan ada sejumlah besar orang Yahudi di Arab. Suku-suku Yahudi yang
ternama berpusat di Yaman dan di oasis Khaybar, sekitar 100 mil di utara Medina.
Di Medina sendiri ada 3 suku Yahudi yang kuat: Bani Qaynuqa, Bani Nadir, dan
Banu Qurayzah. Ada juga 3 klan Yahudi di Mekkah. Suku-suku Yahudi ini banyak
diceritakan dalam kisah mengenai Muhammad, yang nama lengkapnya adalah
Muhammad ibn Abdallah ibn Abd al-Muttalib.

39
KEHIDUPAN AWAL MUHAMMAD

Berdasarkan tradisi, Muhammad dilahirkan di Mekkah pada 20 April 570 M


(atau 26 April, menurut kaum Syiah). ‘Menurut tradisi, ayahnya meninggal tidak
lama setelah ia dilahirkan dan ibunya meninggal ketika ia masih berusia 6 tahun.
Sebelumnya ia pernah diserahkan kepada seorang ibu asuh dan pengasuh anak;
sesuatu yang biasa dilakukan pada waktu itu. Tradisi Islam kemudian
menyebutkan sejumlah kisah suci berkenaan dengan status kenabiannya. Salah-
satu tradisi menyebutkan bahwa Aminah, ibunya, berkata: “Ketika aku
menyerahkannya, ada seberkas cahaya dari rahimku yang menyinari istana-istana
Siria”.(1)

Orang Muslim percaya bahwa seorang nabi tengah dinantikan di Arabia saat
Muhammad dilahirkan, dan bahwa kitab-kitab orang Yahudi dan orang Kristen
telah menubuatkan kedatangannya. Catatan ibn Ishaq menceritakan bahwa hal-
hal aneh terjadi pada ibu asuh Muhammad ketika ia mengembalikan Muhammad
kepada ibunya:”Sejumlah orang Kristen Abissinia melihatnya (Muhammad)
dengannya ketika ia membawanya (Muhammad) kembali setelah ia (Muhammad)
disapih. Mereka menatapnya, bertanya tentang dia, dan memperhatikannya
secara seksama, kemudian mereka berkata padanya (ibu asuh), ‘Biarlah kami
mengambil anak laki-laki ini, dan membawanya kepada raja kami dan negara
kami, karena ia akan mempunyai masa depan yang hebat. Kami tahu segalanya
tentang dia.’ Orang yang menceritakan hal ini pada saya mengatakan bahwa ia
mengalami kesulitan memisahkannya dari mereka”.(2)

Demikian pula beberapa tahun kemudian, paman Muhammad yang bernama


Abu Talib, yang pada waktu itu adalah walinya, membawanya serta dalam sebuah
perjalanan yang panjang, ke kota Busra di Siria untuk mengunjungi rahib Kristen
Bahira. Walaupun Muhammad waktu itu masih kanak-kanak, “ketika Bahira
melihatnya, ia menatapnya lekat-lekat, melihat tubuhnya dan menemukan tanda-
tanda gambaran dirinya (dalam kitab-kitab orang Kristen)”.(3)

Kisah-kisah mengenai pengharapan Kristen akan kedatangan Muhammad


sesuai dengan penjelasan Qur’an bahwa Yesus sendiri menubuatkan kedatangan
Muhammad: “...Hai Bani Israel sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,
membenarkan kitab (yang turun) sebelumku yaitu Taurat dan memberi kabar
gembira dengan datangnya (seorang) Rasul yang akan datang sesudahku, yang
namanya Ahmad (Muhammad)” (Sura 61:6). “Ahmad” adalah varian dari
Muhammad; orang Muslim kini mengidentifikasi Roh Kudus yang telah dijanjikan
Yesus (Yoh.14:16) sebagai Nabi Islam. Muhammad juga meneguhkan gagasan ini
selama karir kenabiannya, dan berkata: “Saya (sebagai tanggapan terhadap) doa
leluhur saya Ibrahim (Abraham), dan ‘Isa Ibn Maryam (Yesus anak Maria)
memberikan kabar baik mengenai saya”.(4)

Muhammad muda mendemonstrasikan ikatan spesialnya dengan Allah dalam


sebuah percakapan dengan rahib Bahira, yang memuji dewi-dewi pagan al-Lat
40
dan al-‘Uzza. Pria muda yang kemudian hari akan menjadi nabi Islam ini tidak
menyetujuinya: “Jangan berbicara padaku demi al-Lat dan al-‘Uzza, karena bagi
Allah tidak ada yang lebih kubenci daripada keduanya””. Bahira kemudian terus
bertanya padanya, dan Muhammad menjawabnya sesuai dengan apa yang
diharapkan dari seorang nabi yang yang akan datang. Bahira “melihat ke
punggungnya dan mendapati tanda kenabian diantara kedua bahunya persis di
tempat yang diceritakan dalam kitabnya.” Bahira kemudian berkata kepada Abu
Talib: “Bawalah keponakanmu kembali ke negerinya dan jagalah ia baik-baik
terhadap orang Yahudi, demi Allah! Jika mereka melihatnya dan mengetahui
tentang dia seperti yang kuketahui, mereka akan berbuat jahat kepadanya; masa
depan yang gemilang ada di hadapan keponakanmu ini, jadi bawalah ia pulang
secepatnya”.(5) Ia menambahkan: “Sesungguhnya orang Yahudi adalah musuh-
musuhnya, dan ia adalah nabi bagi orang-orang ini; ia adalah seorang Arab dan
orang-orang Yahudi iri padanya dan berharap semestinya ia adalah seorang
Israel. Jadi, jagalah anak saudaramu ini”.(6)

Ini sejalan dengan kisah Islam lainnya mengenai kelahiran Muhammad:


seorang Yahudi, ketika mendengar bahwa ia telah dilahirkan, memohon untuk
dapat melihat anak itu. Ketika ia melihatnya, menurut Ibn Sa’d, dan
“memperhatikan tanda lahir di punggungnya”- yang dianggap sebagai tanda dari
nabi yang akan datang – ia “sangat terharu”. Ketika ia datang, ia menjelaskan:
“kenabian telah hilang dari orang Israel dan kitab suci telah pergi dari tangan
mereka. Ada tertulis bahwa ia akan memerangi mereka dan membunuh para
sarjana mereka”- ini dapat dipandang sebagai sebuah pandangan Muslim yang
dini mengenai misi Muhammad.(7)

Di sini ada dua tema dalam pemikiran Islam: proposisi bahwa orang Kristen
(dan Yahudi) mengetahui bahwa Muhammad sedang datang tetapi menolaknya
oleh karena ketidaktaatan terhadap perintah Allah – dan bahwa orang Yahudi
adalah pembohong dan musuh bebuyutan orang muslim. Qur’an secara eksplisit
menolak orang Yahudi dengan mengklaim: “...Setiap mereka menyalakan api
peperangan, Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan di bumi dan
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Sura 5:64). Orang
Yahudi juga dibandingkan secara negatif dengan orang Kristen: “Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang
yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan
sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabannya dengan orang-
orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini
orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan karena diantara mereka itu (orang-
orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena
sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri” (Sura 5:82). Walaupun di
tempat-tempat lain Qur’an sangat keras terhadap orang Kristen (mereka yang
menganggap Yesus sebagai Putra Tuhan berada di bawah “kutuk Allah” dalam

41
Sura 9:30), karakter Bahira kemungkinan diciptakan berdasarkan gambaran
tentang orang Kristen yang ramah.

Harus diperhatikan, dari sisi sejarah tidak ada catatan mengenai orang
Kristen menantikan seorang nabi di Arabia 540 tahun setelah kematian Yesus;
juga tidak ada catatan mengenai kitab orang Kristen dengan tanda adanya
seorang nabi Arab (kecuali bahwa Rasul Paulus pernah pergi ke Arab setelah
pertobatannya dan kembali ke Damaskus); juga tidak ada catatan mengenai bidat
Kristen yang mempunyai keyakinan seperti itu; dan menempatkan Muhammad ke
dalam konteks sejarah Kristen selama transisi dari abad ke-6 ke abad ke-7, gereja
waktu itu dipimpin oleh Paus St. Gregorius Agung; singkatnya kekristenan telah
berdiri dengan baik dan tidak mencari nabi yang baru maupun bidat yang baru.

KHADIJA

Masa kecil Muhammad relatif tidak ditandai dengan peristiwa yang berarti,
tapi sebagai seorang pria muda, menurut beberapa tradisi Islam, ia mempunyai
keyakinan yang kuat akan takdir besar yang sedang menantinya; ia nampaknya
tidak senang karena ia harus berkebun, dan ia berkata “Saya telah dibesarkan
untuk jihad dan saya tidak dibesarkan untuk berladang”.(8) Rangkaian peristiwa
yang akan menjadikannya seorang pemimpin dan inspirasi semua jihad telah
diatur ketika ia bertemu dengan seorang sepupu jauh, Khadija bint Khuwaylid,
yang disebut Ibn Ishaq “seorang wanita pedagang yang berwibawa dan kaya
raya”.(9) Tanpa Khadija, Muhammad tidak akan pernah menjadi seorang nabi
sama sekali. Khadija yang berusia 15 tahun lebih tua dari Muhammad adalah
seorang wanita yang telah menggapai sukses ketika mereka bertemu. Khadija
mempekerjakannya sebagai pedagang keliling untuk pergi ke Syiria untuk menjual
dagangannya. Ia mengutusnya dengan seorang budak laki-laki bernama Maysara.
Dalam perjalanan pulang mereka ke Mekkah, di tengah panas terik, Maysara
melihat 2 malaikat menaungi Muhammad. Di Mekkah, Maysara menceritakan pada
Khadija apa yang telah dilihatnya. Khadija juga terkesan pada Muhammad yang
telah menggandakan hartanya pada perjalanannya itu. Khadija melamarnya,
walaupun ia telah berumur 40 tahun dan Muhammad baru berusia 25 tahun.

Jejak karir Muhammad sebagai seorang pedagang muncul dalam Qur’an,


dalam bentuk nasehat kepada orang beriman dalam bahasa yang biasa dipakai
dalam dunia perdagangan: “Dan mereka berkata: ‘Jika kami mengikuti petunjuk
bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami’. Dan apakah Kami tidak
meneguhkan keadaan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang
didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan)
untuk menjadi rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui” (Sura 28:57). Sudah tentu orang-orang beriman seperti itu “mereka
itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung
perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapatkan petunjuk” (Sura 2:16).
42
Khadija mempunyai seorang sepupu, Waraqa bin Naufal bin Asad bin
‘Abdul-‘Uzza bin Qusai, yang bertobat kepada Kristen dari Yudaisme, seorang
imam yang “telah mempelajari kitab suci yang mengatakan bahwa seorang nabi
akan muncul dari antara umatnya”.(10) Khadija menceritakan padanya mengenai
penglihatan Maysara dan Waraqa sangat tersentuh: “Jika ini benar, Khadija”, kata
Waraqa, “sesungguhnya Muhammad adalah Nabi bagi bangsa ini. Saya tahu
bahwa seorang nabi dari bangsa ini sedang dinantikan. Waktunya telah tiba”.(11)

Waraqa kemudian memainkan peranan yang penting dalam awal karir


kenabian Muhammad, namun hanya setelah 15 tahun kemudian, setelah menurut
tradisi Islam, banyak peramal pagan, rabi-rabi Yahudi, dan rahib-rahib Kristen
menerima status kenabian Muhammad. Menurut seorang Muslim mula-mula, Asim
bin Umar bin Qatada, pada tahun-tahun sebelum permulaan pelayanan
Muhammad, orang Yahudi di wilayah itu biasa berkata demikian kepada orang
Arab: “sudah tiba saatnya muncul seorang nabi yang akan diutus. Kami akan
membunuh kalian dengan pertolongannya”. Tetapi ketika Muhammad benar-benar
mulai berkhotbah, Asim melanjutkan, “Kami percaya kepadanya tetapi mereka
menyangkalnya.”(12) Qur’an meratapi kesesatan mereka: “dan setelah datang
kepada mereka Al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada
mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk
mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada
mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka
laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu” (Sura 2:89).

Akibat dari penolakan ini berdampak besar hingga masa kini.

KUNJUNGAN PERTAMA

Sebagai seorang dewasa, menurut Ali pengikutnya yang mula-mula,


Muhammad “tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek. Tingginya sedang-
sedang saja dibandingkan sahabat-sahabatnya. Rambutnya tidak keriting dan juga
tidak berombak. Kira-kira diantara keduanya...wajahnya tidak bengkak atau
tembem. Bentuknya bulat bagus. Mulutnya putih. Matanya hitam dan besar
dengan bulu mata yang panjang. Persendian (lengannya) dan bahunya besar...
Ketika berjalan, ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi seakan-akan ia berjalan di
jalan yang becek dan berlumpur.” (13) Yang lainnya berkata: “Ketika ia berjalan,
ia membungkuk seakan ia sedang mendaki.”(14) Menurut seorang Muslim mula-
mula lainnya,“ia mempunyai wajah yang lebar dan mata lebar (yang kemerah-
merahan), dan tumit yang bengkok.”(15) Yang lainnya juga melaporkan bahwa ia
mempunyai “telapak tangan dan telapak kaki yang gempal” dan “berwajah tampan.
Saya tidak pernah melihat orang setampan itu selain dia.”(16) Diantara kedua
bahunya ada tanda lahir yang sangat mengesankan Bahira sang rahib: seorang
Muslim menggambarkan ini sebagai “tanda kenabian” sebagai “tanda sebuah
kepalan...dan disekelilingnya ada beberapa tanda lahir seperti kutil.”(17) Di
43
kemudian hari, ketika rambut dan janggutnya memutih, ia mulai mengecatnya
dengan henna, dan berkata kepada para pengikutnya: “Sesungguhnya yang
terbaik yang dapat kamu lakukan ketika kamu mengubah warna rambutmu adalah
dengan menggunakan al-henna dan indigo...Warnailah ubanmu tapi jangan sama
dengan orang Yahudi dan orang Kristen”, yang menggunakan warna hitam.(18)
Dewasa ini bukan hal yang aneh bagi para Mujahiddin untuk mewarnai janggut
mereka dengan henna seperti Nabi.

Muhammad mengumumkan dirinya sendiri sebagai seorang nabi Allah –


satu-satunya Tuhan yang benar – ketika ia berusia sekitar 40 tahun. Namun
demikian, pada mulanya, ia merasa tidak terlalu jelas akan apa yang sedang
terjadi padanya.

Menurut kisah Aisha, wanita yang menjadi istri kesayangan Muhammad,


Muhammad dipilih sebagai nabi setelah mengabdikan diri untuk waktu yang lama
dalam doa. Suatu malam dalam bulan Ramadan ia sedang khusyuk berdoa ketika
ia mendapatkan sebuah penglihatan:

“Penyataan wahyu (ilahi) kepada Utusan Allah adalah dalam bentuk mimpi-
mimpi yang benar yang menjadi nyata seperti terang siang hari. (dan
kemudian kegemaran untuk mengasingkan diri/bertapa dicurahkan
kepadanya). Ia biasa menyendiri (di gua) Hira dimana ia biasa menyembah
(Allah sendiri) terus-menerus (siang dan malam)...hingga tiba-tiba Kebenaran
diturunkan padanya ketika ia berada di dalam gua Hira”.(19)

Pada awalnya Muhammad tidak dapat mengidentifikasi sumber dari mimpi-


mimpi itu atau “Kebenaran” yang diturunkan padanya. Hingga beberapa waktu
kemudian ia menjadi percaya bahwa ia telah dikunjungi oleh malaikat Gabriel,
yang diutus oleh Allah. Ibn Sa’d mencatat sebuah tradisi Muslim yang mengatakan
bahwa sesosok malaikat bernama Seraphel adalah yang mulanya mengunjungi
Muhammad, namun kemudian digantikan oleh Gabriel setelah 3 tahun. Ia juga
mencatat kenyataan bahwa “ayat-ayat dalam literatur Sirah yang telah dipelajari”
berkontradiksi dengan tradisi ini, dan tetap berpandangan bahwa hanya Gabriel
saja yang telah menampakkan diri pada Muhammad.(20) Namun demikian, sulit
untuk melihat bagaimana ada orang yang berpikiran bahwa ada malaikat lain
terlibat dengan Muhammad jika ia benar-benar yakin sejak permulaan bahwa itu
adalah Gabriel.

Bagaimanapun, malaikat itu datang pada Muhammad dan


memerintahkannya untuk membaca dan mengulangi apa yang dibacanya.
Muhammad menjawab, ‘Saya tidak dapat membaca’. Namun makhluk spiritual itu
tidak menerima penolakan. Ia menekankan kehendaknya pada Muhammad
dengan cara yang menakutkan:

44
“(Nabi menambahkan), ‘Malaikat itu menangkap aku (dengan keras) dan
menekan aku dengan kuat sehingga aku tidak tahan lagi. Kemudian ia
melepaskan aku dan menyuruh aku lagi untuk membaca, dan aku menjawab,
‘Aku tidak dapat membaca’. Maka ia menangkap aku lagi dan menekan aku
kedua kalinya sehingga aku tidak kuat lagi menahannya. Kemudian ia
melepaskan aku dan menyuruh aku lagi untuk membaca, tetapi sekali lagi aku
menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca (atau, apakah yang harus kubaca?)’.
Maka ia menangkap aku untuk ketiga kalinya dan menekan aku dan
melepaskan aku dan berkata, ‘Bacalah! Demi nama Tuhanmu, Yang telah
menciptakan (semua yang ada). Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah....Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Lih. Sura
96:5).”(21)

Ini adalah pewahyuan Qur’an yang pertama yang terkenal, dan terdapat
dalam Sura 96:1-5. Dimulai dengan apa yang dikemukakan Muhammad sebagai
satu seri pesan dari Allah; yang akan berkelanjutan, datang dan pergi selama 23
tahun berikutnya selama masa hidup Muhammad. Para pengikutnya mengingat
dan mencatat wahyu-wahyu itu pada apa saja yang ada; setelah kematiannya
wahyu-wahyu itu dikumpulkan menjadi Qur’an.

Pada mulanya Muhammad menilai perjumpaan spiritualnya sebagai sesuatu


yang sangat tidak menyenangkan. Ia “menderita banyak kesakitan dan wajahnya
berubah warna seperti warna debu”.(22) Ia bertanya-tanya apakah ia telah dirasuk
setan, bahkan memikirkan untuk bunuh diri:

“Aku akan pergi ke puncak gunung dan menjatuhkan diriku ke bawah


sehingga aku dapat membunuh diriku dan beristirahat. Maka aku pergi untuk
melakukannya dan ketika aku ada di tengah jalan menuju ke gunung, aku
mendengar sebuah suara dari surga yang berkata: ‘Wahai Muhammad!
Engkau adalah Rasul Tuhan dan aku adalah Gabriel’. Aku mengangkat
kepalaku ke langit untuk melihat (siapa yang sedang berbicara) dan lihatlah,
Gabriel dalam bentuk seorang manusia dengan kakinya di horizon, berkata,
‘Wahai Muhammad! Engkau adalah Rasul Tuhan dan aku adalah Gabriel”.23

Muhammad kembali kepada Khadija dengan sangat tertekan. Menurut Aisha:


“Kemudian Utusan Allah kembali dengan (wahyu itu), dan jantungnya berdetak
dengan sangat keras; (dan) otot diantara bahu dan lehernya bergetar sampai ia
mendapati Khadija (istrinya) dan berkata, ‘Selimuti aku!’ Mereka menyelimutinya,
hingga ketakutannya berlalu, dan setelah itu ia berkata: ‘Wahai Khadija! Apa yang
terjadi padaku? Aku takut sesuatu yang buruk akan menimpaku’. Kemudian ia
(Muhammad) menceritakan padanya semua yang telah terjadi”.(24) Dan ia
(Muhammad) menceritakan padanya apa yang ditakutkannya: “Celakalah aku,
seorang penyair atau kerasukan setan”.(25) Yang ia maksudkan dengan “penyair”

45
adalah seorang yang telah menerima penglihatan-penglihatan yang bersifat
ekstatis, dan kemungkinan besar juga demonis.

Khadija nampaknya lebih mempunyai keyakinan daripada Muhammad


sendiri.(26) Kemudian Khadija menemui Waraqa dan mengatakan padanya apa
yang telah Muhammad ceritakan padanya, yaitu tentang pangalamannya di gua
Hira. Waraqa menjawab: “Suci! Suci! Sesungguhnya oleh Dia yang di tangan-Nya
ada nyawa Waraqa, jika engkau telah mengatakan kebenaran padaku, Wahai
Khadija, telah datang kepadanya Namus (yaitu Gabriel) yang teragung yang telah
datang kepada Musa sebelumnya, dan lihatlah, dialah Nabi atas bangsa ini.
Syukurilah dia dengan hati gembira”.(27)

Khadija mengatakan pada Muhammad apa yang telah dikatakan Waraqa


untuk mengurangi kecemasan Muhammad. Menurut sebuah catatan lainnya, ia
pergi mengunjungi Waraqa bersama dengan Muhammad:

“...yang, selama Masa Jahiliyah (periode pra Islam) menjadi Kristen dan biasa
menulis surat-surat dengan menggunakan huruf Ibrani. Ia menulis dari Injil
dalam bahasa Ibrani seturut kehendak Tuhan. Ia sudah lanjut usia dan telah
kehilangan penglihatannya. Khadija berkata kepada Waraqa,”Dengarkanlah
kisah keponakanmu, wahai sepupuku!” Waraqa bertanya, “Wahai
keponakanku! Apa yang telah kau lihat?” Rasul Allah menceritakan apa yang
telah dilihatnya. Waraqa berkata, “Ini adalah orang yang sama yang menjaga
rahasia-rahasia (malaikat Gabriel) yang Allah utus kepada Musa”.(28)

Kemudian Waraqa memberikan peringatan kepada nabi yang baru ini:

“Seandainya saja aku masih muda dan dapat hidup sampai waktu ketika
umatmu mengusirmu”. Utusan Allah bertanya, “Akankah mereka
mengusirku?” Waraqa menegaskannya dan berkata, “Orang yang muncul
dengan sesuatu yang mirip dengan apa yang kau bawa telah diperlakukan
dengan kekerasan; dan jika engkau masih hidup hingga hari dimana engkau
akan diusir maka aku akan sangat mendukungmu”.(29)

Kemudian Waraqa mencium dahi nabi yang baru ini dan mengucapkan salam
perpisahan.(30)

Sebagai ujian terakhir atas kenabiannya, Khadija bertanya pada Muhammad,


“Wahai anak dari pamanku, dapatkah kau menceritakan padaku siapa yang
mengunjungimu, ketika ia datang kepadamu?” Ketika Muhammad mengatakan
pada Khadija bahwa ia dapat, Khadija merancangkan sebuah cara untuk
mengetahui apakah roh itu baik atau jahat:

“Maka ketika Gabriel datang padanya, seperti yang dikehendakinya, Rasul


berkata kepada Khadija, ‘Inilah Gabriel yang telah datang padaku’.
‘Bangunlah wahai anak dari pamanku’, katanya, ‘dan duduklah di paha kiriku’.

46
Rasul kemudian berbuat demikian, dan ia berkata, ‘Dapatkah engkau
melihatnya?’ ‘Ya’, jawabnya. Ia berkata, ‘’Maka berbaliklah dan duduklah di
paha kananku’. Ia melakukan-nya, dan Khadija berkata, ‘Dapatkah kamu
melihatnya?’Ketika ia berkata bahwa ia dapat melihatnya, Khadija
memintanya untuk pindah dan duduk di pangkuannya. Ketika ia kembali
melakukannya Khadija bertanya lagi apakah ia dapat melihatnya, dan ketika
diiyakannya, Khadija membuka pakaiannya dan menyingkirkan kerudungnya
sementara Rasul sedang duduk di pangkuannya. Kemudian Khadija berkata,
‘Dapatkah engkau melihanya?’ Dan ia menjawab, ‘Tidak’. Khadija berkata,
‘wahai anak dari pamanku, bersukacitalah dan bergembiralah, demi Tuhan ia
adalah malaikat dan bukanlah setan”.(31)

Ketika ia “menyingkapkan pakaiannya” malaikat itu pergi.

Kalangan Muslim garis keras hingga hari ini menegaskan agar wanita
berkerudung karena, diantara hal-hal lainnya, hal ini ada asumsinya, yaitu: wanita
yang terlihat tidak berkerudung sangat memusingkan, sangat berdosa, dan itu
menyebabkan malaikat pun kabur.

KEMBALINYA KEINGINAN UNTUK BUNUH DIRI

Tanpa adanya perhatian dari Khadija (yang menjadi satu-satunya istri


Muhammad hingga ia wafat) dan penegasan Waraqa, dunia mungkin tidak akan
pernah mengenal Islam. Tidak lama setelah Waraqa mengindentifikasi makhluk
yang telah menampakkan diri kepada Muhammad, orang tua itu wafat. Nabi yang
telah diurapinya sekali lagi merasa putus asa yang sangat dalam sehingga ia mulai
memikirkan untuk bunuh diri:

“Tetapi beberapa hari setelah kematian Waraqa dan turunnya wahyu ilahi juga
sejenak terhenti dan Nabi menjadi sangat sedih, dan sebagaimana yang kami
dengar ia berniat beberapa kali untuk menjatuhkan dirinya dari puncak
gunung tinggi, dan setiap kali ia pergi ke puncak gunung untuk menjatuhkan
dirinya, Gabriel (Jibril) akan muncul di hadapannya dan berkata, ‘Wahai
Muhammad! Engkau sungguh-sungguh adalah Utusan Allah dalam
kebenaran’, sehingga hatinya menjadi tenang dan ia menjadi lega dan
kembali ke rumah”.

Skenario ini nampaknya dimainkan lagi apabila Muhammad telah menunggu


kemunculan kembali Gabriel terlalu lama: “Dan ketika waktu turunnya wahyu
menjadi terlalu lama, ia akan berbuat seperti sebelumnya, tetapi ketika ia akan
mencapai puncak gunung, Gabriel akan muncul di hadapannya dan berkata
kepadanya apa yang telah dikatakannya sebelumnya”.(32)

Dalam kisah lainnya, Muhammad bereaksi terhadap turunnya wahyu


berikutnya dengan cara yang sama seperti yang pertama. Ia menjelaskan:

47
“Inspirasi ilahi tertunda untuk sejangka waktu yang singkat tetapi tiba-tiba,
ketika saya sedang berjalan, saya mendengar sebuah suara di langit, dan
ketika saya melihat ke langit, saya terkejut, saya melihat malaikat yang telah
datang pada saya di gua Hira, dan ia duduk di kursi di antara langit dan bumi.
Saya sangat ketakutan melihatnya sehingga saya jatuh ke tanah dan
menemui keluarga saya dan berkata (kepada mereka), ‘Selimuti aku! Selimuti
aku!”(33)

Utusan spiritual itu memberikannya sebuah pesan:

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah lalu berilah peringatan!


Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan
dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (Sura 74:1-7).

Muhammad tidak ragu lagi bahwa yang mengunjunginya adalah Gabriel –


namun tidak demikian dengan orang-orang lain. Salah seorang Muslim mula-mula,
Jundab bin ’Abdullah menceritakan: “Gabriel tidak datang kepada Nabi (untuk
sementara waktu) maka salah seorang wanita Quraysh berkata, ‘Setannya telah
meninggalkannya’. Lalu datanglah wahyu ilahi: “Demi waktu matahari
sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada
meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu” (Sura 93:1-3).(34)

Seperti yang akan kita lihat, Muhammad sering menjadi frustrasi oleh karena
orang-orang yang meragukan pengajarannya, ditambah dengan hasil akhir yang
sangat tidak menyenangkan.

CATATAN KAKI

1. Ibn Sa’d, Kitab A-Tabaqat Al-Kabir, Vol. I, S. Moinul Haq and H.K. Ghazanfar,
translator, Kitab Bhavan, n.d. 111.
2. Ibn Ishaq, 73.
3. Ibn Ishaq, 80.
4. Ibn Sa’d, vol. 1, 169.
5. Ibn Ishaq, 80.
6. Ibn Sa’d, vol. 1, 177.
7. Ibid., vol. 1, 186.
8. Ibid., vol. 1, 115.
9. Ibn Sa’d, 82.
10. Ibid., 69.
11. Ibid., 83.
12. Ibid., 93.
13. The Sealed Nectar, 493.
14. Ibn Sa’d, vol. 1, 491.

48
15. Muslim, book 30, no. 5776.
16. Ibn Sa’d, vol. 1, 489.
17. Ibid., vol. 1, 504.
18. Ibid., vol. 1, 520.
19. Bukhari, vol. 9, book 91, no. 6982.
20. Ibn Sa’d, vol. 1, 220.
21. Bukhari, vol. 9, book 91, no. 6982.
22. Ibn Sa’d, vol. 1, 227.
23. Ibn Ishaq, 106.
24. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4953.
25. Ibn Ishaq, 106.
26. Bukhari, vol. 9, book 91, no. 6982.
27. Ibn Ishaq, 107.
28. Bukhari, vol. 1, book 1, no. 3.
29. Ibid.
30. Ibn Ishaq, 107.
31. Ibid.
32. Bukhari, vol. 9, book 91, no. 6982.
33. Bukhari, vol. 4, book 59, no. 3238.
34. Bukhari, vol. 2, book 19, no. 1125.

49
PASAL 4

SUMBER WAHYU-WAHYU MUHAMMAD

• Islam meminjam dari Yudaisme, Kekristenan dan Zoroastrianisme

• Tanggapan Muhammad yang penuh kemarahan atas tudingan bahwa ia


meminjam materi

• Hal-hal tambahan untuk kenabian: wahyu-wahyu yang menenteramkan

• Efek negatif terhadap kaum wanita dan yang lainnya oleh karena wahyu-
wahyu yang menenteramkan

• Apologetika Islam berusaha untuk menjelaskan tulisan-tulisan yang


menggusarkan dalam tradisi Islam.

MEMINJAM DARI YUDAISME

Salah-satu tantangan yang terberat terhadap klaim Muhammad sebagai


seorang nabi, baik selama 23 tahun karirnya dan di sepanjang sejarah Islam,
adalah ketergantungannya yang sangat jelas terlihat pada Yahudi, Kristen dan
sumber-sumber lainnya.

Banyak pengamat di sepanjang sejarah telah memperhatikan banyak


kesamaan antara Islam dan Yudaisme, termasuk monoteisme “murni”, urutan
nabi-nabi, proliferasi hukum, arah kiblat ke kota suci saat bersembahyang, dan
banyak lagi. Tidak diragukan lagi Muhammad mempunyai kontak ekstensif
sebagai seorang pedagang muda, demikian pula saat ia menjadi nabi, dengan
suku-suku Yahudi yang kuat yang tinggal di dalam dan di sekitar kota Mekkah.
Muhammad menghormati mereka dan berusaha mendapat restu mereka untuk
misi profetisnya.

Pada kenyataannya, Muhammad menempatkan dirinya sendiri setara di


dalam sejarah keselamatan orang Yahudi. Dalam rekaan Qur’an, Muhammad
adalah nabi yang terakhir dan terbesar di sepanjang jajaran para nabi yang juga
terdapat dalam Alkitab dan kitab-kitab lainnya. Setelah Setan menipu Adam dan
Hawa sehingga berpaling dari kebenaran (sebuah kisah yang langsung dikutip dari
Kitab Kejadian, dengan modifikasi-modifikasi dan penambahan-penambahan
penting), Allah mengutus nabi-nabi-Nya untuk memanggil umat-Nya agar kembali
kepada penyembahan yang benar. Beberapa bagian dalam Qur’an mendaftarkan
figur para nabi, baik yang tercantum dalam kitab suci Yahudi maupun Kristen:...

50
(Sura 6:84-86). Allah menambahkan Muhammad ke dalam bilangan ini:...(Sura
4:163).

Bersama dengan para nabi Alkitab, Qur’an penuh dengan kisah-kisah dari
Alkitab. Sura ke-12 menceritakan kisah Yusuf dan saudara-saudaranya, walaupun
...signifikansi Israel sebagai sebuah bangsa. Bahtera Nuh muncul dalam Sura 10;
Yunus dan ikan pausnya dalam Sura 37. Figur Musa sangat mewarnai
keseluruhan kitab – terutama dalam satu seri kisah alegoris dalam Sura 18.

Kita dapat berharap, jika Muhammad sedang berusaha untuk


mempresentasikan dirinya sebagai salah satu nabi dalam jajaran para nabi Alkitab,
maka ia akan mengulang sedikitnya beberapa materi Alkitab. Tetapi beberapa
kisah dan detil dalam Qur’an mengenai karakter-karakter Alkitab sebenarnya
berasal dari sumber-sumber di luar Alkitab itu sendiri – terutama, Talmud.

Tulisan-tulisan Talmud, yang dikompilasi pada abad ke-2 M, beredar di


kalangan orang Yahudi di Arab pada jaman Muhammad, dan beberapa perbedaan
dan penambahannya terhadap catatan-catatan Alkitab dimuat di dalam Qur’an.
Dalam versi Qur’’an mengenai “kisah 2 anak-anak Adam” (Sura 5:27), Kain dan
Habel, Allah mengirimkan kepada Kain seekor gagak untuk menunjukkan padanya
apa yang harus dilakukannya dengan tubuh saudaranya: “Kemudian Allah
menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Kabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayit saudaranya.
Berkatalah Kabil: “Aduhai celakalah aku, mengapa aku tidak mampu berbuat
seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayit saudaraku ini?”
Karena itu jadilah ia seorang di antara orang-orang yang menyesal.” (Sura 5:31)

Gagak ini tidak ada dalam catatan kitab Kejadian mengenai Kain - Habel,
tetapi ada dalam beberapa dokumen para rabbi Yahudi, termasuk Pirqe de-Rabbi
Eliezer, penciptaan kembali sejarah Alkitab dari penciptaan hingga perjalanan
orang Israel di padang gurun. Para apologis Islam mengemukakan bahwa Pirqe
de-Rabbi Eliezer dalam bentuk yang ada sekarang berasal dari abad ke-8 atau 9
M, seperti juga beberapa tulisan lain yang mencantumkan kisah tentang gagak
tersebut – maka sangatlah mungkin bahwa para rabbi sebenarnya meminjam dari
Muhammad.

Namun demikian, ayat berikutnya dalam Qur’an – yang merupakan ayat yang
paling dihormati dan sering dikutip di seluruh kitab tersebut, setidaknya di negara-
negara Barat dewasa ini – lebih memperjelas arah peminjaman. Sura 5:32
berkata:

“Oleh karena itu Kami tetapkan satu hukum bagi bani Israel, bahwa:
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
orang lain, atau bukan karena orang itu membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa

51
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya....”

Tidak ada alasan yang pasti mengapa statement terhadap pembunuhan ini
mengikuti kisah Kain dan Habel, ketika pembunuhan yang dilakukan Kain terhadap
Habel tidak membahayakan suatu umat. Hubungan itupun tidak jelas dari
konteksnya. Namun dalam Talmud jelas bahwa:

“Kami mendapati bahwa dalam kasus Kain yang membunuh saudaranya:


“Dan Dia berfirman, “Apa yang telah engkau perbuat? Suara darah adikmu
berseru kepada-Ku dari tanah” (Kej.4:10). Tidak dikatakan di sini bahwa darah
itu dalam bentuk tunggal, tetapi dalam bentuk jamak, yaitu darahnya sendiri
dan darah keturunannya. Manusia diciptakan tunggal/sendiri untuk menunjuk-
kan bahwa barangsiapa membunuh seorang individu maka akan
diperhitungkan padanya bahwa ia telah membunuh sebuah umat, tetapi
barangsiapa yang memelihara hidup seorang individu maka ia dipandang
telah memelihara hidup suatu umat.’” (1)

Di sini hubungan antara pembunuhan Habel dan juga seluruh umat manusia
berasal dari penafsiran jamak terhadap kata “darah” (“bloods”, Inggris) dalam
Kejadian 4:10. Berkaitan dengan hubungannya dengan sebuah ayat Alkitab,
koneksi ini sebagaimana kemunculannya dalam Qur’an menyampaikan kepada
banyak pembaca selama berabad-abad bahwa penulis atau para penyusun Qur’an
bergantung kepada sumber Yahudi.

Demikian pula, di dalam Qur’an, Bapa Abraham menghancurkan beberapa


berhala yang disembah oleh bapanya dan umatnya. Dengan penuh kemarahan,
kaumnya melemparkannya ke dalam api, namun Allah mendinginkan api itu dan
menyelamatkan Abraham: “Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-
tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” (Sura 21:68-69).

Kisah mengenai Abraham yang dibuang ke dalam api muncul dalam Talmud
– Midrash Genesis Rabbah, yang dikompilasi pada abad ke-6 M.(2)

“KISAH-KISAH KUNO”

Masih ada banyak gema semacam itu di dalam Qur’an, dan berbagai versi
kisah-kisah ini tidak dikenal banyak orang. Beberapa diantaranya dicatat dalam
Qur’an: “Dan ingatlah ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika
betul Al Quran ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami
dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih” (Sura
8:31). “Sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman (dengan)

52
ini dahulu, ini tidak lain hanyalah dongengan dari orang-orang dahulu kala” (Sura
23:83).

Allah menanggapi tuduhan ini secara langsung di dalam Qur’an: “Dan orang-
orang kafir berkata, Al Quran ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-
adakah oleh Muhammad, dan dia dibantu oleh kaum yang lain; maka
sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kelaliman dan dusta yang besar. Dan
mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang dahulu, dimintanya supaya
dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.”
(Sura 25:4-6). Para pencemooh Muhammad membuat tuduhan ini dari kekerasan
hati mereka: “Dan diantara mereka ada orang yang mendengarkan bacaanmu,
padahal kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, sehingga mereka
tidak memahaminya, dan Kami letakkan sumbatan di telinganya. Dan jika pun
mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman
kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu,
orang-orang kafir itu berkata: Al Quran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-
orang dahulu.” (Sura 6:25)

Muhammad bereaksi dengan kemarahan kepada orang yang membuat


tuduhan-tuduhan ini. Dalam sebuah wahyu, Allah mengemukakan bahwa orang itu
adalah anak haram dan berjanji untuk membuat cap di hidung mereka (Sura
68:10-16).(3)

Muhammad dengan teguh menegaskan kepastian bahwa pembaca yang


berpikiran terbuka akan menemukan nubuatan-nubuatan mengenai
kedatangannya dalam Kitab Suci Para Ahli Kitab – yaitu orang-orang Yahudi dan
Kristen: “Berkatalah orang-orang kafir: “Kamu bukan seorang yang dijadikan
rasul”. Katakanlah “ Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu dan
diantara orang yang mempunyai ilmu Alkitab” (Sura 13:43). Orang Yahudi dan
Kristen yang sejati akan menjadi orang Muslim: “Orang-orang yang telah Kami
datangkan kepada mereka Alkitab sebelum Al Quran, mereka beriman pula
dengan Al Quran itu” (Sura 28:52). Mereka yang tidak bertobat kepada Islam harus
diingatkan bahwa orang Muslim, Yahudi dan Kristen menyembah Tuhan yang
sama (Sura 29:46).

Allah bahkan mengatakan kepada Muhammad agar berkonsultasi pada


orang Yahudi dan orang Kristen jika ia mempunyai keraguan terhadap kebenaran
dari apa yang telah diterimanya:”Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam
keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah
kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu....” (Sura 10:94).

Hanyalah ketegaran Para Ahli Kitablah yang membuat mereka tidak


mengakui Muhammad dan kesejatian Qur’an. Dan pada puncaknya, ketegaran
mereka itu membuat Muhammad berbalik memusuhi mereka, dan
memproklamasikan bahwa komunitasnya yang baru adalah pemimpin mereka –
dan juga pemimpin semua kaum lainnya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang
53
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari
yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik” (3:110).

Keyakinan bahwa mereka adalah “umat yang terbaik”, dan juga kecurigaan
Para Ahli Kitab sudah tidak asing lagi di kalangan orang Muslim di seluruh dunia
bahkan hingga hari ini. Ketidaksetaraan sosial dan ketidakadilan dituduhkan
kepada orang kafir; dan para jihadis di seluruh dunia mengemukakan bahwa
hanya dengan menerapkan Islam secara keras maka orang Muslim akan tetap
menjadi “umat yang terbaik”.

MEMINJAM DARI KEKRISTENAN

Dalam beberapa varian catatan Waraqa bin Naufal mengenai Muhammad


sebagai Nabi, Waraqa menulis Injil tidak dalam bahasa Ibrani, namun dalam
bahasa Arab.(4) Tujuan dari varian-varian itu boleh jadi untuk menjauhkan
Waraqa dari orang Yahudi, yang beberapa diantara mereka itu (dituduhkan)
mengajari Qur’an kepada Muhammad. Allah sendiri menjawab tuduhan ini di
dalam Qur’an: “Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata,
Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya
(Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa)
Muhammad belajar kepadanya bahasa Ajam, sedang Al Quran adalah dalam
bahasa Arab yang terang.” (Sura 16:103)

Orang asing itu boleh jadi adalah orang lain lagi; lagipula, Waraqa bukanlah
orang Yahudi terpelajar, Kristen, atau penyembah berhala yang mempunyai
hubungan dengan Muhammad. Yang lainnya adalah seorang tokoh misterius yang
penting dalam Islam mula-mula, yaitu Salman orang Persia. Kata “asing” dalam
bahasa Arab dalam Sura 16:103 diterjemahkan dengan kata: Ajami, yang berarti
orang Persia atau orang Iran. Ketegaran Qur’an yang berulangkali bahwa kata itu
adalah kata Arab malah akan memunculkan kecurigaan bahwa pengaruh asing
(atau Persia). Lalu ada figur tak bernama, yang menurut Hadith, “adalah seorang
Kristen yang memeluk Islam dan membaca Surat-al-Baqarah (Sura ke-2 dalam
Qur’an) dan Al-Imran (Sura 3), dan ia biasa menulis (wahyu-wahyu) untuk Nabi.”
Dengan perkataan lain, ia biasa menuliskan bacaan-bacaan Qur’an Muhammad.
Namun pengalaman ini kemudian membuat ia ragu bahwa wahyu-wahyu itu
diinspirasikan secara ilahi, karena “kemudian ia kembali kepada kekristenan dan ia
suka berkata: ‘Muhammad tidak tahu apa-apa selain dari apa yang saya tulis
untuknya.’” Tradisi itu menyebutkan bahwa dosa orang ini sangatlah besar
sehingga setelah ia meninggal, bumi bahkan tidak mau menerima tubuhnya, dan
setelah kaumnya membuat beberapa usaha untuk menguburkannya namun bumi
tetap menolaknya, mereka akhirnya menyerah.(5)

54
Bahwa misi profetis Muhammad dikonfirmasi oleh seorang petobat Kristen
dari Yudaisme telah menjadi hal yang memalukan orang Muslim, dan beberapa
sumber Muslim telah menyangkal bahwa Waraqa adalah seorang Kristen.
Sementara itu, beberapa sarjana modern mengemukakan bahwa Waraqa
sebenarnya menolak Muhammad, dan bahwa teks versi Ibn Hisham mengenai
Sira kemudian telah dipalsukan. Mereka mengemukakan bahwa tidak ada catatan
dalam banyak hadith mengenai pertobatan Waraqa kepada Islam atau detil-detil
kematiannya. Lagipula, pertobatan seorang imam Kristen, sepupu Muhammad dan
istrinya, pastilah suatu peristiwa yang sangat penting. Namun demikian, tidak
diragukan lagi bahwa arus utama Islam menerima bahwa Waraqa mengakui status
kenabian Muhammad, bahwa Waraqa bertobat kepada Islam, dan bahwa Alkitab –
setidaknya dalam keadaan aslinya yang belum dipalsukan – menubuatkan
kedatangan Muhammad.

Walau demikian, kecurigaan bahwa Waraqa mengajari Muhammad bagian-


bagian yang penting dari apa yang dikemukakan Muhammad sebagai wahyu ilahi
dalam Qur’an, telah menghantui Islam. Selama berabad-abad tidak ada cara untuk
memastikan hubungan apa antara Muhammad dan Waraqa, demikian pula apakah
sepupu istrinya itu adalah sumber apa-apa untuknya. Namun demikian, yang
tidak diragukan lagi dan yang menarik adalah bahwa Qur’an menggunakan
sumber-sumber Yahudi dan Kristen dan bahwa beberapa “kisah kuno” yang
mendapatkan cara untuk masuk ke dalam Qur’an bukanlah berasal dari Injil
kanonis tetapi dari sumber-sumber lain – yaitu sumber-sumber yang sangat
mungkin ditemui Muhamad di Arabia, dimana ada dominasi bidat-bidat
Kristen.

Yesus di dalam Qur’an, walau dianggap tidak ilahi, adalah seorang pembuat
mujizat yang sangat berkuasa. Ia bahkan berbicara dalam ayunan-Nya: “Dan Dia
berbicara kepada manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan Dia
termasuk di antara orang-orang yang saleh” (Sura 3:46). Mengetahui hal ini, Maria
mengarahkan mereka yang meragukan kesuciannya untuk bertanya pada Sang
Bayi saat mereka melihat-Nya: “Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka
berkata: “Bagaimana kami bisa berbicara dengan anak kecil yang masih dalam
ayunan?” Berkata Isa, “Sesungguhnya Aku ini adalah hamba Allah, Dia
memberiKu Alkitab (Injil), dan Dia menjadikan Aku seorang nabi. Dan Dia
menjadikan Aku seorang yang diberkati dimana saja Aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaKu (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama Aku
hidup. Dan berbakti kepada ibuKu, dan Dia tidak menjadikan Aku seorang yang
sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaKu, pada
hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal, dan pada hari Aku dibangkitkan
hidup kembali.” (Sura 19:29-33)

Dalam sebuah Injil Arab mengenai kanak-kanak Yesus dari abad ke-6:
“Yesus berbicara, dan sesungguhnya ketika Ia berbaring di ayunan Ia berkata
kepada Maria ibunya: ‘Akulah Yesus, Putra Tuhan, Sang Logos (= Firman), yang

55
telah engkau lahirkan, seperti yang disampaikan malaikat Gabriel kepadamu; dan
Bapa-Ku telah mengutus Aku bagi keselamatan dunia.’”(6)

Dalam Injil tersebut ada kisah berikut:

“Maka, ketika Tuhan Yesus telah berusia 7 tahun, pada suatu hari Ia sedang
bermain dengan teman-teman sebaya-Nya. Mereka bermain dengan tanah
liat, yang mereka buat patung-patung keledai, lembu, burung dan binatang-
binatang lain; dan mereka masing-masing menyombongkan kemampuannya,
memuji-muji hasil karya masing-masing. Kemudian Tuhan Yesus berkata
kepada anak-anak laki-laki itu: ‘Patung-patung yang telah Ku-buat akan Aku
perintahkan untuk berjalan. Mereka bertanya pada-Nya apakah Ia adalah
Putra Sang Pencipta; dan Tuhan Yesus menyuruh mereka untuk berjalan dan
mereka segera mulai melompat; dan kemudian ketika Ia memberikan mereka
perintah, mereka kembali mematung. Dan Ia membuat patung burung yang
dapat terbang setelah diperintahkan-Nya untuk terbang, dan kembali
mematung ketika Ia memerintahkan mereka berdiam, dan makan minum
ketika Ia memberi mereka makanan dan minuman. Setelah anak-anak laki-
laki itu pergi dan menceritakan hal ini pada orang-tua mereka, ayah-ayah
mereka berkata kepada mereka: ‘Anak-anakku, hati-hatilah agar jangan
berteman dengan-Nya lagi, karena Ia adalah seorang tukang sihir: oleh
karena itu, menjauhlah dari-Nya, dan hindarilah Dia, dan jangan bermain lagi
dengan-Nya sesudah ini.’’” (7)

Dan demikian pula dalam Qur’an, dimana hal itu menjadi suatu indikasi lain
adanya pengkhianatan orang-orang Yahudi kafir:

“Ingatlah ketika Allah mengatakan: “Hai, Isa Putra Maryam, ingatlah nikmatKu
kepadamu dan kepada ibumu ketika Aku menguatkan kamu dengan ruhul
qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia ketika kamu masih di dalam
buaian dan sesudah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajar kamu untuk
menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan ingatlah pula di waktu kamu
membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijinku,
kemudian kamu meniup padanya, dan bentuk itu menjadi burung (yang
sebenarnya) dengan ijinKu. Dan ingatlah waktu kamu menyembuhkan orang
yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak
dengan seizinku, dan ingatlah di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari
kubur (menjadi hidup) dengan seizinKu, dan ingatlah ketika Aku menghalangi
bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) dikala kamu
mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu
orang-orang kafir di antara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang
nyata” (Sura 5:110).

Pengalaman Muhammad dengan kelompok-kelompok bidat Kristen juga


dapat menjelaskan pandangannya mengenai penyaliban Kristus. Orang Muslim

56
percaya bahwa Ia diangkat ke surga hidup-hidup, dan tidak pernah mencicipi
kematian. Karena pandangan mereka, tidak mungkin bagi Allah untuk mengijinkan
salah satu nabi-Nya harus mati dengan malu dan kehinaan, maka Allah
menggantikan seorang lain yang menyerupai-Nya sebelum Ia disalibkan. Orang
Yahudi mengira bahwa mereka benar-benar menyalibkan Yesus, tetapi
sebenarnya si penirulah yang disalibkan: “dan karena ucapan mereka,
“Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa Putra Maryam, Rasul Allah,
padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang
mereka bunuh adalah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka ...” (Sura
4:157)!

Ini sangat mirip dengan pandangan beberapa kelompok bidat Kristen yang
dikenal dengan kelompok Gnostik. Kelompok Gnostik mengajarkan bahwa hal-hal
fisik adalah jahat dan oleh karena itu Yesus sebagai Juruselamat dunia, tidak
mungkin mengenakan tubuh jasmaniah, dan sebab itu tentu saja tidak mungkin
disalibkan. Tuhan hanya membuat seolah-olah Dia-lah yang tergantung di salib –
atau, menurut beberapa teks Gnostik, membuat Yudas menyerupai Yesus dan
menaruhnya di salib menggantikan tempat Tuhan.

Kenyataan bahwa Qur’an menghadirkan ayat ini sebagai sebuah


penyelesaian terhadap pertikaian (“oleh karena itu mereka yang berbeda pendapat
sebenarnya penuh keraguan, tanpa adanya pengetahuan [yang pasti], namun
hanya ikut-ikutan, karena sesungguhnya mereka tidak membunuh-Nya”)
menyarankan bahwa bisa jadi Muhammad telah bertemu dengan kelompok-
kelompok Kristen yang bertikai dan bermaksud menghadirkan wahyunya sebagai
resolusi akhir dari masalah tersebut.

Kita tidak usah berasumsi bahwa Muhammad benar-benar membaca bahan-


bahan bidat Kristen tersebut yang nampaknya telah mempengaruhi Qur’an. Lebih
besar kemungkinannya bahwa ia pernah mendengar materi tersebut dibacakan
atau diajarkan, oleh karena peminjaman yang dilakukannya itu tidak dalam bentuk
kata-per-kata. Kadangkala cara ia menyampaikan materi dari Alkitab
memperlihatkan bahwa ia hanya sedikit mengenal kisah-kisah Alkitab yang ia
ceritakan kembali; dalam catatan Qur’an mengenai kelahiran Yesus, kerabat-
kerabat Maria ibu-Nya memanggilnya sebagai “saudara perempuannya
Harun” (Sura 19:28). Nampaknya, Muhammad mengalami kebingungan antara
Miriam saudara perempuan Musa dan Harun dengan Maria ibunda Yesus. Dalam
bahasa Arab kedua nama itu identik: Maryam. Namun demikian, ketika salah
seorang pengikutnya dikonfrontasi dengan hal ini oleh orang-orang Kristen dari
Najran, dan kembali pada Muhammad untuk menanyakan hal tersebut, sang Nabi
Islam telah menyiapkan jawaban: “Umat di jaman lalu biasa memberikan nama
(pada orang-orangnya) dengan nama para Rasul dan orang-orang saleh yang
telah mendahului mereka.”(8) Jadi Maria ibu Yesus dipanggil “saudara
perempuan Harun” sebagai sebuah penghormatan, bukan sebuah kesalahan.

57
Kekacauan ini seringkali berkaitan dengan klaim yang dikemukakan
berulangkali bahwa Muhammad adalah seorang yang buta huruf. Ini adalah batu
penjuru bagi apologetika Islam, sehingga membuat Qur’an lebih lagi penuh mujizat
– karena menyebutnya sebagai “Yaitu orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi
yang umi, yang namanya mereka dapati tertulis dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka...” (Sura 7:157).

Dari perspektif orang Muslim, bukanlah hal yang penting jika beberapa
bagian Qur’an mempunyai gema/asal dari sumber-sumber terdahulu, apakah itu
kanonikal atau tidak. Lagipula, teologi Islam tradisional berpandangan bahwa
wahyu-wahyu terdahulu telah dipalsukan dan disusupi, dan dengan demikian
memerlukan koreksi yang ditawarkan oleh Qur’an – tetapi oleh karena bentuk asli
dari wahyu-wahyu terdahulu ada dalam Qur’an, maka tidaklah mengherankan
kalau beberapa kitab yang terdahulu memuat bayang-bayang Qur’an.

Jadi bagi banyak orang Muslim, eksistensi jejak-jejak wahyu Qur’an dalam
kitab-kitab terdahulu hanya mengkonfirmasi peran Qur’an sebagai yang
memperbaiki dan menggantikan semua wahyu terdahulu. Muhammad sendiri
berbicara terang-terangan mengenai Islam yang menggantikan Yudaisme dan
kekristenan, dan pada satu kesempatan menggunakan sebuah perumpamaan
untuk menjelaskan mengapa demikian. (9)

PEMINJAMAN-PEMINJAMAN LAINNYA

Qur’an memberikan deskripsi yang banyak dan terperinci mengenai firdaus.


Orang yang diberkati akan dimuliakan dengan “gelang-gelang dari emas dan
mutiara” (Sura 22:23) dan “berpakaian sutra yang halus dan banyak brokat” (Sura
44:53). Ia akan berbaring di atas “kursi-kursi hijau dan karpet-karpet yang
indah” (Sura 55:76), duduk di “tahta yang dihiasi emas dan batu-batu mulia” (Sura
56:15), dan makan dari “piring-piring dan mangkuk-mangkuk emas” – yang di
dalamnya berisi “semua yang diinginkan jiwa, semua yang menyenangkan mata
mereka,” termasuk “buah-buahan yang berlimpah” (Sura 43:71, 73) bersama
dengan “kurma dan delima” (Sura 55:68). Disana juga akan menikmati “daging
burung dari apa yang mereka inginkan”(Sura 56:21). Firdaus itu sendiri terdiri dari
“taman-taman, dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya” (Sura 3:198;
bdk.3:136; 13:35; 15:45; 22:23). Di dalamnya ada “dua mata air yang terus
memancarkan air dengan kelimpahan yang tidak berkesudahan” (Sura 55:66),
bersama dengan “sungai-sungai susu yang rasanya tidak pernah berubah; sungai-
sungai anggur, sukacita bagi mereka yang meminumnya; dan sungai-sungai dari
madu murni dan jernih” (47:15). “Tidak ada dalam khamar itu alkohol, dan mereka
tiada mabuk karenanya (Sura 37:47).

“Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak


merasakan di dalamnya (teriknya) matahari, dan tidak pula dingin yang

58
bersangatan. Dan naungan pohon-pohon surga itu dekat di atas mereka dan
buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya.” (Sura 76:13-14)

Makanan dan kesenangan tidak akan pernah habis: “Perumpamaan surga


yang dijanjikan kepada orang yang takwa ialah (seperti taman). Mengalir sungai-
sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti, sedang naungannya (demikian pula)”
(Sura 13:35).

Dan yang paling hebat tentunya adalah “Sesungguhnya orang-orang yang


bertakwa mendapat kemenangan” (Sura 78:31): “Di sisi mereka ada bidadari-
bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya” (Sura 37:48), “Dan Kami
berikan kepada mereka bidadari” (Sura 44:54), “Seakan-akan bidadari itu permata
yakut dan marjan” (Sura 55:58) yang bertelekan di atas dipan berderetan, dan
Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli.” (Sura
52:20). “Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan
pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka, (penghuni-
penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin” (Sura 55:56).
Allah “membuat mereka gadis-gadis perawan” (Sura 56:36), dan berdasarkan
tradisi Islam, mereka akan tetap menjadi perawan selamanya. “Dan berkeliling di
antara mereka anak-anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu
mutiara yang tersimpan” (Sura 52:24), “Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda
yang tetap muda” (Sura 56:17): “Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan
muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka kamu akan mengira
mereka, mutiara yang bertaburan” (Sura 76:19).

Sudah barang tentu tidak satupun dari hal-hal ini ada dalam kitab-kitab suci
orang Yahudi maupun orang Kristen, namun ada dalam tulisan-tulisan Zoroaster
dari Persia, yang keberadaannya sangat penting di daerah-daerah sekitar
kekaisaran Persia sebelum munculnya Islam. Menurut sejarawan W. St. Clair
Tisdall, yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam monografnya
“The Sources of Islam,” yang kemudian dikembangkannya menjadi sebuah buku,
dan juga dalam tulisannya yang lain, “kitab-kitab Zoroaster dan Hindu...
mempunyai kesamaan yang luar biasa dengan apa yang kita temukan dalam
Qur’an dan Hadith. Maka di Firdaus, diceritakan pada kita bahwa, ‘houris yang
mempunyai mata hitam yang indah,’ dan sekali lagi mengenai ‘houris bermata
hitam dan besar, bagaikan mutiara yang tersembunyi dalam cangkangnya’...
Sebutan houry juga berasal dari Sumber Pehlavi atau Avesta, demikian pula jinn
untuk genii, dan bihist (Firdaus), yang dalam Avestik berarti ‘tanah yang lebih baik’.
Kita juga menemui kisah-kisah serupa dalam tulisan-tulisan Hindu kuno, mengenai
pasukan surgawi yang terdiri dari anak-anak laki-laki dan perempuan yang sama
dengan para houris dan ghilman di dalam Qur’an.”(10)

59
WAHYU-WAHYU YANG MENENTERAMKAN?

Aisha pernah bertanya pada Muhammad seperti apa pengalaman menerima


wahyu itu, dan ia menjawab: “kadang-kadang wahyu itu (diturunkan) seperti dering
lonceng, inspirasi dalam bentuk ini adalah yang paling sulit dari semua dan
kemudian keadaan ini berlalu setelah saya memahami apa yang diinspirasikan.
Kadang-kadang malaikat datang dalam bentuk seorang manusia dan berbicara
padaku dan saya mengerti apapun yang ia katakan.”(11) Pada kesempatan lain
ia menjelaskan: “Wahyu turun padaku dalam dua cara – Gabriel membawanya dan
menyampaikannya padaku seperti seseorang menyampaikan pesan kepada
seorang lain dan itu membuat saya gelisah.(12) Dan wahyu itu turun padaku
seperti bunyi bel hingga masuk dalam hatiku dan ini tidak membuat saya gelisah.”
Aisha mengatakan: “Ketika wahyu turun kepada Utusan Allah (kiranya damai ada
atasnya) bahkan dalam hari-hari yang dingin, dahinya berkeringat.”(13) Juga,
ketika wahyu itu datang kepadanya “ia merasakan sebuah beban karena hal itu
dan wajahnya berubah warna,” dan “ia menundukkan kepalanya dan para
sahabatnya pun menundukkan kepala mereka, dan ketika (keadaan ini) telah
berakhir, ia mengangkat kepalanya.”(14)

Seorang Muslim pernah berkata: “Seandainya saja aku dapat melihat Rasul
Allah saat ia sedang menerima wahyu ilahi.” Lalu, seseorang bertanya kepada
Muhammad. Muhammad “menunggu sejenak, dan kemudian Wahyu Ilahi turun
kepadanya...Wajah nabi menjadi merah dan ia terus bernafas dengan berat untuk
sesaat dan kemudian ia menjadi lega.” Kemudian ia memberikan jawaban kepada
si penanya.(15)

Beberapa kesulitan lain yang ditemui orang non-Muslim dalam hal menerima
Muhammad sebagai seorang Nabi berasal dari keadaan/situasi saat ia menerima
wahyu. Seperti yang akan kita lihat, seringkali selama karir kenabiannya ia
menerima wahyu untuk menjawab kritik, atau menyelesaikan perdebatan,
atau memberikan pendapatnya mengenai satu seri kejadian.

Banyak kali keadaan di sekitar pewahyuan itu nampaknya mencerminkan


keresahan Allah untuk mengabulkan keinginan nabi-Nya – seperti dalam kisah
heboh mengenai salah satu istri Muhammad, Zaynab bint Jahsh. Zainab telah
menikah dengan anak angkat Muhammad, Zayd bin Haritha – sebuah penyatuan
yang tidak diinginkan keduanya, menurut tradisi Islam, tetapi sangat dikehendaki
oleh Muhammad: itu akan menunjukkan kesetaraan semua orang beriman, karena
Zaynab berasal dari keluarga terpandang sedangkan Zayd adalah seorang budak
yang dimerdekakan. Muhammad menerima validasi ilahi atas keinginannya: “Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan rasulnya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka (pilihan) yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan rasulNya, maka sungguhlah ia telah sesat, sesat yang
nyata” (Sura 33:36).

60
Zaynab bint Jahsh sangatlah cantik. Menurut Tafsir al-Jalalayn, sebuah
komentari Islam kuno mengenai Qur’an, setelah pernikahannya dengan Zayd,
“Muhammad memandangnya, dan cinta untuk Zaynab menggelora dalam
hatinya.”(16) Pada suatu hari, sambil mencari Zayd, Muhammad pergi ke rumah
mereka dan sempat melihatnya hanya mengenakan baju dalam. Zaynab berkata,
“Ia tidak ada disini, wahai Utusan Allah. Masuklah, wahai engkau yang terkasih
bagiku seperti bapa dan ibuku!” Tetapi sang nabi Islam bergegas pergi dengan
kemarahan, menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar dan kemudian
berteriak, “Terpujilah Tuhan Yang Maha Kuasa! Terpujilah Tuhan, yang
menyebabkan hati berpaling!”(17)

Zayd, terkungkung dalam pernikahan yang tidak diinginkannya, melihat


sebuah jalan keluar. Ia pergi menemui Muhammad dan mengulangi apa yang
dikatakan Zaynab: “Mengapa engkau tidak masuk, wahai engkau yang terkasih
bagiku seperti ayah dan ibuku?” Kemudian ia mengutarakan maksudnya: “Wahai
Utusan Tuhan, mungkin Zaynab telah menyenangkan hatimu, maka aku akan
memisahkan diriku darinya.” Muhammad berkata kepadanya: “....Tahanlah terus
isterimu dan bertakwalah kepada Allah...” (Sura 33:37). Zayd mendatanginya
berulangkali, tetapi Muhammad tetap mengulangi nasehatnya. Aisha kemudian
menceritakan, “Jika Rasul Allah harus menghapus apapun (dari Qur’an) pasti
ia akan menghapus ayat ini.”(18) Akhirnya Zayd menceraikannya, dan tidak
lama kemudian Allah sendiri campur tangan. Menurut sejarawan Muslim Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir al-Tabari (839-923), suatu hari Muhammad sedang berbicara
dengan Aisha ketika “sebuah gagasan menguasainya.” Kemudian ia tersenyum
dan berkata, “siapakah yang mau pergi kepada Zaynab untuk mengatakan
padanya kabar yang baik, yaitu bahwa Allah telah menikahkannya denganku?”

Kemudian ia mengucapkan wahyu yang baru saja diberikan Allah kepadanya,


mengoloknya karena telah mengkuatirkan apa yang akan dipikirkan orang
sehingga membuat ia menolak untuk menikahi Zaynab (Sura 33:37). Lalu
Muhammad memperistri Zaynab, dan dilindungi dari skandal oleh sebuah wahyu
yang turun langsung dari Allah. Hingga hari ini, ketika orang Muslim membaca
Qur’an mereka membaca peringatan-peringatan ini yang ditujukan kepada Nabi,
yaitu bahwa ia tidak boleh menampik pemberian-pemberian Allah, dan tidak boleh
ragu untuk menikahi mantan menantunya.

Istrinya yang baru ini, dan situasi pernikahannya dengan Muhammad,


mengkuatirkan Aisha. “Saya menjadi sangat tidak nyaman oleh karena apa yang
kami dengar tentang kecantikannya dan juga hal-hal lainnya, dan hal yang paling
menghebohkan adalah apa yang telah dilakukan Allah dengan menikahkannya.
Menurut saya, ia akan menyombongkan hal ini pada kita.”(19) Dan benarlah,
Zaynab mengatakan pada istri-istri Muhammad lainnya: “Kalian dinikahkan oleh
keluarga kalian, tapi saya dinikahkan (kepada Nabi) oleh Allah dari atas langit
ketujuh.”(20) Kemudian Aisha menjawab: “Saya adalah satu-satunya istri yang
kesuciannya dinyatakan dari surga” – dan dengan demikian muncullah kisah lain

61
yang mempertanyakan situasi-situasi di sekitar pewahyuan kepada Muhammad.
(21)

Belum lama berselang Muhammad memerintahkan agar wanita berkerudung,


maka Aisha, ketika menyertainya ke medan perang, dibawa dalam tandu yang
tertutup di atas punggung unta – ini memicu timbulnya krisis yang efeknya masih
terasa dalam dunia Islam. Aisha menceritakan kisahnya:

“(Kami berkemah) ketika kami mendekati kota Medina. Kemudian ia


mengumumkan agar berangkat pada malam hari. Saya terbangun ketika
mereka mengumumkan keberangkatan, dan saya pergi dari perkemahan
pasukan, dan setelah selesai buang hajat, saya kembali ke binatang
tunggangan saya. Saya menyentuh dada saya dan ternyata kalung saya yang
terbuat dari mote-mote Zifar (yaitu mote-mote dari Yaman, separoh berwarna
hitam, separoh berwarna putih) sudah hilang. Maka saya kembali untuk
mencari kalung saya dan pencaharian saya memisahkan saya dari
rombongan. (Sementara itu) orang-orang yang biasa memikul saya di unta
saya, datang dan mengambil Hawdaj saya dan menaruhnya di atas punggung
unta saya yang biasa saya tunggangi, karena mereka menganggap saya ada
di dalamnya. Pada jaman itu, berat badan wanita sangat ringan karena
mereka tidak memiliki lemak, dan tidak banyak daging di tubuh mereka
karena mereka terbiasa hanya makan sedikit. Jadi, orang-orang itu tidak
merasa ada perbedaan berat Hawdaj itu ketika mereka mengangkatnya, dan
mereka menaruhnya di dekat unta. Pada waktu itu saya masih seorang wanita
muda. Mereka menyuruh unta itu berdiri dan mereka semua pergi (dengan
unta itu). Saya menemukan kalung saya setelah pasukan itu pergi. ”

Oleh karena peraturan mengenai kerudung berarti bahwa tidak seorangpun


yang dapat melihatnya atau berbicara kepadanya, dan berat badannya tidak
membuat suatu perbedaan yang berarti, orang-orang yang mengangkat tandu
Aisha ke atas untanya tidak tahu kalau ia tidak ada di sana. Jadi istri favorit
Muhammad terhilang.

“Ketika saya sedang duduk di tempat peristirahanku, saya sangat mengantuk


dan jatuh tertidur. Safwan bin Al-Muattal As-Sulami Adh-Dhakwani berada di
belakang pasukan. Ketika ia tiba di tempatku pada pagi hari, ia melihat
seseorang yang sedang tertidur dan ia mengenaliku karena ia telah pernah
melihatku sebelum kerudung diwajibkan (diperintahkan). Lalu saya terbangun
ketika ia membacakan Istirja’ (Inna lillahi wa inna llaihi raji’un = Sesungguhnya
kami adalah milik Allah dan kepada Allah kami kembali) segera ketika ia
mengenali saya.(22) Saya langsung menutupi wajah saya dengan kerudung
saya, dan demi Allah, kami tidak berbincang sepatah kata pun, dan saya tidak
mendengarnya mengucapkan apapun selain dari Istirja. Ia melepaskan
kekang untanya dan membuat untanya berlutut, meletakkan kakinya di kaki
depan unta itu dan ia bangun dan menungganginya. Dan ia menggiring unta

62
yang membawa saya sampai kami bertemu dengan pasukan di siang hari
yang terik ketika mereka sedang berhenti untuk beristirahat.”

Aisha telah sendirian dengan seorang pria yang bukan suaminya. Bagi
beberapa orang, itu sudah cukup untuk menimbulkan isu yang buruk mengenai
dia: “(Oleh karena kejadian itu) beberapa orang mendatangkan kehancuran atas
diri mereka sendiri,” kata Aisha, “dan orang yang menyebarkan fitnah itu adalah
‘Abdullah bin Ubai Ibn Salul” – bersama 3 orang lainnya (termasuk seorang pria
bernama Mistah bin Uthatha dan saudari dari Zaynab bint Jahsh), juga beberapa
orang lainnya. Kabar burung beredar, bahkan Muhammad juga terpengaruh oleh
kabar burung itu dan menjauhkan diri dari Aisha. Aisha menceritakan:

“Setelah kami kembali ke Medina, saya sakit selama sebulan. Orang-orang


sibuk menyebarkan kabar buruk dan fitnah sedangkan saya sama sekali tidak
mengetahuinya, tetapi saya dapat merasakannya dalam kesakitan saya, oleh
karena saya tidak menerima kebaikan yang biasa diberikan Utusan Allah jika
saya dalam keadaan tidak sehat. (Tetapi sekarang) Utusan Allah hanya
datang, memberi salam pada saya dan bertanya, ‘Bagaimanakah
(perempuan) itu?’ Lalu ia pergi. Hal itu menimbulkan keraguan saya, tapi
saya tidak menemukan kejahatan (fitnah) hingga saya sembuh dari sakit saya
dan saya pergi keluar dengan Umm Mistah (yaitu ibu dari Mistah) ke Al-
Manasi’ dimana kami biasa membuang hajat...”

Akhirnya Umm Mistah menceritakan pada Aisha soal pergunjingan itu, yang
tentu saja membuat Aisha yang masih lemah merasa semakin terpuruk:

“Lalu penyakit saya menjadi semakin parah, dan ketika saya tiba di rumah,
Utusan Allah datang padaku, dan setelah ia memberi salam padaku, ia berkata,
‘Bagaimanakah (perempuan) itu? Saya menjawab, ‘Maukah engkau mengijinkan
saya untuk mengunjungi orang-tua saya? Karena saya ingin mendapatkan
kepastian mengenai kabar burung itu dari mereka. Utusan Allah mengijinkan
saya (dan saya pergi kepada orang-tua saya) dan bertanya pada ibu saya, ‘Oh,
Ibu! Apakah yang digunjingkan orang-orang? Ia berkata, ‘Oh anakku! Janganlah
kuatir, karena bagi wanita yang cantik dan dicintai oleh suaminya hanya akan
ditemukan sedikit kesalahan, sedangkan suaminya mempunyai banyak istri lain.’
Saya berkata, ‘’Subhan Allah (terpujilah Allah!) apakah orang-orang benar-benar
membicarakan hal ini?’ Malam itu saya terus menangis hingga subuh, saya tidak
dapat berhenti menangis dan saya juga tidak bisa tidur. Lalu di pagi hari saya
masih terus menangis.”

Dan ia mempunyai alasan yang tepat untuk menangis: Muhammad pada


akhirnya mempercayai kabar burung itu, walaupun Aisha mempunyai orang-orang
yang membelanya:

63
“(Ketika turunnya Wahyu Ilahi ditunda), Utusan Allah memanggil ‘Ali bin Abi
Talib dan Usama bin Zaid untuk bertanya dan meminta nasehat mereka soal
menceraikan saya. Usama bin Zaid mengatakan bahwa ia mengetahui
ketidakbersalahan saya, dan ia menghormati saya. Usama berkata, ‘(Wahai
utusan Allah!) Dia adalah istrimu, dan kami tidak tahu apa-apa selain hal yang
baik mengenai dia.’ ”

Dengan gaya mencemoohkan, ‘Ali, yang kemudian menjadi orang saleh dan
pahlawan yang hebat dalam kelompok Muslim Syiah, mengingatkan Muhammad
bahwa “ada banyak perempuan” tersedia untuk nabi (Aisha tidak pernah
melupakan hal ini, dan kemudian menyanggah klaim Ali bahwa Muhammad telah
mengangkatnya menjadi penerusnya: “Kapan ia mengangkat orang itu melalui
surat wasiat? Sesungguhnya ketika ia wafat ia sedang beristirahat di dadaku dan
ia meminta baskom air untuk mencuci muka dan kemudian tidak sadarkan diri,
dan saya bahkan tidak melihat kalau ia telah wafat, jadi kapan ia mengangkat
orang itu melalui wasiat?”).(23)

Cerita Aisha berlanjut:

“’Ali bin Abi Talib berkata, ‘Wahai Utusan Allah! Allah tidak menaruh engkau
dalam kesulitan ini, dan ada banyak perempuan lain selain darinya, namun,
tanyailah hamba perempuan itu (budak perempuan Aisha) yang akan
mengatakan kepadamu tentang kebenaran.’ Maka Utusan Allah memanggil
Barira (yaitu si budak perempuan) dan berkata, ‘Wahai Barira! Apakah kamu
ada melihat sesuatu yang membangkitkan kecurigaanmu?’ Barira berkata
padanya, ‘Demi Dia yang telah menurunkan padamu Kebenaran, saya tidak
pernah melihat apa-apa padanya (yaitu Aisha) yang akan saya tutup-tutupi,
kecuali bahwa ia adalah seorang perempuan muda yang tertidur dan
membiarkan adonan roti untuk keluarganya begitu saja sehingga kambing-
kambing datang dan memakannya.’”

Muhammad merasa puas dengan jawaban ini, dan kembali kepada orang-
orang yang menuduh Aisha. Aisha menceritakan:

“Maka, pada hari itu, Utusan Allah naik ke atas mimbar dan mengeluh tentang
‘Abdullah bin Ubai (bin Salul) di hadapan para Sahabatnya(24), dan berkata,
‘wahai kamu orang-orang Muslim! Siapakah yang akan melepaskan aku dari
orang yang telah menyakiti aku dengan pernyataan-pernyataannya yang jahat
mengenai keluargaku? Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa selain hal yang
baik mengenai keluargaku dan mereka telah menyalahkan seorang pria yang
padanya hanya kuketahui hal-hal yang baik dan ia tidak pernah masuk ke
dalam rumahku kecuali aku ada bersama dengannya’...Sepanjang hari itu
saya menangis dengan air mata yang tidak ada habisnya, dan saya tidak
pernah bisa tidur. Pada pagi hari saya dan orang-tua saya menangis selama
dua malam dan satu hari, dan air mata saya tidak berhenti dan juga saya tidak

64
bisa tidur hingga saya berpikir bahwa hati saya akan meledak karena saya
terus menangis. Sementara orang-tua saya duduk dengan saya dan saya
sedang menangis, seorang wanita Ansari minta ijin pada saya untuk masuk,
dan saya mengijinkannya masuk. Ia masuk, dan duduk dan mulai menangis
bersama saya. Ketika kami sedang menangis, datanglah utusan Allah,
memberi salam pada kami lalu duduk. Belum pernah ia duduk dengan saya
sejak hari munculnya fitnah itu. Sebulan telah berlalu dan tidak ada Wahyu
Ilahi yang turun padanya mengenai masalah saya. Kemudian Utusan Allah
membaca Tashahhud (yaitu, La ilaha illallah wa anna Muhammad-ur-Rasul
Allah – tidak ada yang lain yang dapat disembah selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul Allah) dan kemudian berkata, ‘Amma Ba’du’ (sekarang langsung
ke masalahnya), Wahai Aisha! Aku telah diberitahu begini begitu mengenai
engkau; jika engkau tidak bersalah, maka segera Allah akan menyatakan
ketidakbersalahanmu, dan jika engkau telah melakukan suatu dosa, maka
bertobatlah kepada Allah dan mintalah pengampunan dari-Nya, karena jika
seseorang mengaku dosa-dosanya dan meminta pengampunan dari Allah,
maka Allah menerima pertobatannya. ”

Sejak itu Aisha mulai bangkit melawan para penuduhnya, bahkan ia mengutip
Qur’an sebagai pembelaannya:

“Ketika Utusan Allah menyelesaikan perkataannya, airmataku benar-benar


berhenti dan tidak ada setetes pun yang tertinggal. Aku berkata kepada
ayahku, ‘Jawablah Utusan Allah untukku mengenai apa yang dikatakannya.’
Ayahku berkata, ‘Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan
kepada Utusan Allah’. Kemudian aku berkata kepada ibuku, ‘Jawablah Utusan
Allah untukku mengenai apa yang dikatakannya’. Ia berkata, ‘Demi Allah, aku
tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Utusan Allah.’ Tanpa
mempedulikan kenyataan bahwa aku hanyalah seorang perempuan muda
dan hanya mempunyai sedikit pengetahuan mengenai Qur’an, aku berkata
’Demi Allah, tidak diragukan lagi kalau aku mengetahui bahwa kamu telah
mendengar perkataan (yang penuh fitnah) ini sehingga sudah tetaplah dalam
pikiranmu dan kamu telah menganggapnya sebagai sebuah kebenaran.
Sekarang, jika aku mengatakan padamu bahwa aku tidak bersalah, kamu
tidak akan mempercayaiku, dan jika aku membuat pengakuan palsu bahwa
aku bersalah, dan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, tentu kamu
akan mempercayaiku’ (Sura 12:18)...Kemudian aku berpaling ke sisi lain
tempat tidurku, berharap bahwa Allah akan membuktikan ketidak-
bersalahanku.”

Dan Allah melakukannya:

“Demi Allah, Utusan Allah tidak bangkit berdiri dan tidak seorangpun
meninggalkan rumah itu sebelum Wahyu Ilahi turun kepada Utusan Allah.
Lalu, ia dikuasai keadaan yang biasa menguasainya (ketika ia menerima

65
wahyu ilahi). Keringat bercucuran dari tubuhnya seperti mutiara, walaupun
hari itu dingin (di musim dingin) dan itu disebabkan oleh beratnya pernyataan
yang sedang dinyatakan kepadanya. Setelah keadaan itu berlalu, Utusan
Allah bangkit berdiri dan tersenyum, dan kata pertama yang diucapkannya
adalah, ‘Wahai Aisha! Allah telah menyatakan ketidakbersalahanmu!’ (Sura
24:11-21).”(25)

Berikut adalah satu bagian yang panjang dalam Qur’an yang menyatakan
ketidakbersalahan Aisha, mengejek orang-orang Muslim karena telah
mempercayai tuduhan-tuduhan itu, dan menetapkan standar bagi bukti untuk
kejahatan-kejahatan dosa seksual yang tetap menjadi bagian dalam hukum Islam
hingga hari ini:

“...Mengapa mereka yang menuduh itu tidak mendatangkan empat orang


saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-
saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya
tidak ada karunia Allah dan rahmatNya kepada kamu semua, di dunia dan di
akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu
tentang berita bohong itu. Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu
dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu
ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.
Sedangkan dia pada sisi Allah adalah suatu yang besar. Dan mengapa kamu
tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah
pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini
adalah dusta yang besar... ” (Sura 24:11-20).

KONSEKUENSI-KONSEKUENSI

Tentu saja Muhammad mencintai Aisha, dan benar-benar lega ketika wahyu
mengenai ketidakbersalahannya datang dari Allah. Tapi di sini, seperti juga
dalam kasus Zaynab, nampaknya seakan-akan Allah mengkhususkan Qur’an
untuk Nabi-Nya, yang semestinya Qur’an itu adalah berita universal yang
dapat diaplikasikan oleh semua orang pada segala waktu dan tempat, dan
menjadikannya hanya terlokalisir pada bidang-bidang tertentu saja. Bahkan
Aisha sendiri terheran-heran: “Tetapi demi Allah, aku tidak mengira kalau Allah,
(akan menyatakan ketidakbersalahanku), menurunkan Wahyu Ilahi yang kemudian
dibacakan, karena aku menganggap diriku sangat tidak penting untuk dibicarakan
Allah melalui Wahyu Ilahi yang dibacakan, tapi aku berharap bahwa Utusan Allah
mendapatkan mimpi yang melaluinya Allah menyatakan ketidakbersalahanku.”(26)
Sudah tentu, banyak orang lain juga terheran-heran mengenai hal ini selama
berabad-abad.

Tentu saja dalam kasus ini, seperti juga kasus Zaynab, ada pembenaran
yang telah ditetapkan melampaui hasrat Muhammad: orang-orang Muslim

66
diperintahkan melalui kisah Zaynab bahwa seorang pria dapat menikahi janda
cerai dari anak angkatnya – tak peduli betapa janggalnya hal itu sehingga
diperlukan adanya pengesahan mengenai perkara itu kapan saja, belum lagi
sebuah insiden serius yang melibatkan sang Nabi Allah dan wahyu ilahi.
Konsekuensi dari hal ini adalah melemahnya adopsi dalam budaya Islam, karena
Zayd tidak lagi dikenal sebagai “Zayd bin Muhammad”, tapi sebagai Zayd bin
Haritha, yaitu nama dari ayah kandungnya. Qur’an berkata: “Panggillah mereka
(anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang
lebih adil pada sisi Allah...” (Sura 33:5).(27)

Tuduhan-tuduhan palsu terhadap Aisha memunculkan persyaratan bahwa 4


saksi pria Muslim harus dihadirkan untuk menentukan sebuah kejahatan
perzinahan. Dalam kasus tingkah-laku seksual yang tidak pantas, 4 saksi pria
wajib dihadirkan untuk menentukan perbuatan itu – berdasakan wahyu yang
datang kepada Muhammad untuk membebaskan dari tuduhan, istrinya yang masih
muda (Sura 24:13).(28) Dan oleh karena perkataan Aisha tidak berarti apa-apa
untuk menentukan kepalsuan tuduhan-tuduhan padanya, demikian pula hingga
hari ini hukum Islam meremehkan validasi kesaksian seorang wanita – terutama
dalam kasus-kasus yang melibatkan immoralitas seksual. Qur’an berkata: “...Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang yang lain
mengingatkannya...” (Sura 2:282). Juga para pakar teori hukum Islam telah
meremehkan kesaksian wanita bahkan lebih jauh lagi hingga membatasinya,
seperti dalam kalimat sebuah buku panduan hukum seorang Muslim, “kasus-kasus
yang melibatkan properti, atau transaksi-transaksi berkenaan dengan properti,
seperti penjualan.”(29) Selain daripada itu hanya pria yang boleh bersaksi.

Akibatnya, bahkan hingga hari ini sangat tidak mungkin untuk membuktikan
kasus pemerkosaan di negeri yang mengikuti hukum syariah. Pria mana saja
dapat melakukan pemerkosaan dan lolos dari jerat hukum: jika mereka
menyangkali tuduhan itu dan tidak ada saksi, mereka dapat melenggang bebas,
karena penuturan si korban tidak dianggap. Lebih buruk lagi, jika seorang wanita
menuduh seorang pria telah melakukan pemerkosaan, akhirnya dialah yang akan
dituduh sebagai penjahatnya. Jika tidak ada saksi pria yang dapat dihadirkan,
gugatan si korban tentang perkosaan akan berubah menjadi kasus perzinahan. Ini
menegaskan kenyataan menyedihkan yaitu sebanyak 75% wanita di penjara
Pakistan sebenarnya dipenjarakan karena telah melakukan kejahatan yaitu:
menjadi korban perkosaan.(30) Beberapa kasus besar di Nigeria baru-baru ini
juga berkisar pada tuduhan perkosaan yang diputarbalikkan oleh pihak otoritas
Islam menjadi tuduhan percabulan, yang menghasilkan hukuman mati, yang baru
kemudian dimodifikasi setelah adanya tekanan dunia internasional.(31)

67
Lebih jauh lagi, pelecehan-pelecehan semacam itu sangatlah resistan
terhadap kritik dan reformasi – masalahnya semua itu berdasarkan pada teladan
Nabi, yang adalah teladan sempurna bagi tingkah-laku manusia.

RASA MALU DI JAMAN MODERN

Namun demikian pada saat yang sama, banyak orang Muslim modern dan
jurubicara Islam yang benar-benar merasa malu dengan hal ini – atau setidaknya
mereka tidak terlalu menginginkan orang untuk banyak mengetahui tentang hal itu.
Yahiya Emerick dalam The Life and Work of Muhammad hanya menceritakan
bahwa Zaynab bint Jahsh dinikahi oleh Nabi, dan bahwa ia “belum lama berselang
telah menceraikan Zayd bin Haritha oleh karena latar-belakangnya yang
sederhana.”(32) Ia tidak menyebutkan insiden yang melibatkan kebingungan
Muhammad melihatnya tidak berpakaian, atau wahyu ilahi yang tertulis dalam
Sura 33. Ia mengisahkan Muhammad mengadopsi Zayd dan kemudian dikenal
dengan Zayd bin Muhammad, tanpa pernah menyebutkan mandat ilahi yang
diterimanya sehingga kemudian mengubahnya menjadi Zayd bin Haritha.(33)

Muhammad Husayn Haykal, dalam karyanya Life of Muhammad,


mengecam “kaum Orientalis” yang menggunakan kisah mengenai Zaynab untuk
menghina Muhammad:

“Kaum Orientalis Barat dan para misionaris berhenti sejenak untuk memberi
angin kepada penolakan dan imajinasi mereka. Dalam pasal mengenai
biografi Muhammad ini, beberapa diantara mereka bersusah payah untuk
menggambarkan potret Zaynab yang sensual. Mereka mengemukakan bahwa
ketika Muhammad melihatnya, waktu itu ia setengah telanjang, bahwa rambut
hitamnya yang indah menutupi separuh tubuhnya, dan bahwa setiap lekuk
tubuhnya penuh dengan nafsu dan hasrat. Yang lainnya mengemukakan
bahwa ketika Muhammad membuka pintu rumah Zayd, hembusan angin
menggoyangkan tirai kamar Zaynab, sehingga Muhammad dapat sedikit
melihatnya berbaring di tilam dengan mengenakan gaun malamnya. Lalu
mereka menceritakan kepada para pembacanya bahwa pemandangan ini
menggetarkan hati Muhammad yang sangat berhasrat dalam cintanya dan
kesukaannya pada wanita. Mereka mengatakan bahwa Muhammad telah
menyembunyikan hasrat rahasianya, walau sulit baginya untuk
menyembunyikannya selama itu!

Gambaran ini dan juga banyak gambaran lainnya telah dilukiskan terus-
menerus oleh para Orientalis dan misionaris dan dapat dibaca dalam tulisan-
tulisan Muir, Dermenghem, Washington Irving, Lammens, dan yang lainnya.
Tidak dapat disangkali bahwa kisah-kisah ini didasari pada biografi-biografi
Muslim dan kitab-kitab Hadith. Tetapi buku-buku ini dapat dipertanyakan. Dan
sangat disesalkan bahwa para penulis kita telah menggunakannya dengan
ceroboh. Sangatlah tidak termaafkan bahwa para sarjana ini telah
membangun ‘Istana-istana di Spanyol’ berkenaan dengan hubungan
Muhammad dengan wanita, istana-istana yang menurut mereka cukup

68
dibenarkan dengan kenyataan bahwa Muhammad mempunyai banyak istri,
kemungkinan besar sembilan, atau bahkan lebih, menurut beberapa versi.”

Haykal berespon terhadap hal ini dengan pertama-tama mengemukakan


bahwa seandainya pun kisah pernikahan Zaynab dengan Muhammad adalah
benar, itu masih tetap “tidak meninggalkan cacat dalam kenabian Muhammad,
dalam kebesarannya ataupun ajaran-ajarannya.”

Mengapa tidak? Karena “peraturan-peraturan yang merupakan hukum bagi


sejumlah besar orang tidak diterapkan pada jumlah yang lebih besar lagi. Suatu
fortiori, mereka tidak menerapkan pada para nabi, para utusan Tuhan.” Dan di
balik pandangan romantis yang mengejutkan ini, “kenyataan bahwa Muhammad
bukanlah seorang pria yang penuh dengan nafsu seperti yang digambarkan oleh
para Orientalis dan misionaris. Ia tidak menikahi istri-istrinya karena nafsu, hasrat
ataupun cinta. Jika beberapa penulis Muslim dalam periode tertentu dalam sejarah
telah mengijinkan diri mereka sendiri untuk mengenakan hal-hal seperti itu kepada
Nabi dan oleh karena itu menghadirkan dengan niat baik argumen-argumen untuk
para musuh Islam, itu karena sifat mereka yang konservatif menyebabkan mereka
mengadopsi cara pandang yang materialistis terhadap segala sesuatu. Dengan
cara yang demikian mereka menggambarkan Muhammad sebagai yang terbesar
dalam segala sesuatu termasuk nafsu dunia ini. Tetapi gambaran yang mereka
buat jelas-jelas salah. Sejarah Muhammad terang-terangan menyangkalinya, dan
logika kehidupan Muhammad sangat tidak konsisten dengan hal itu.”(34)

Sebaliknya, Karen Armstrong nampaknya lebih realistis. Ia bahkan


mencatat komentar tajam Aisha setelah Muhammad menerima olok-olok ilahinya
karena ingin menikahi Zaynab: “Sesungguhnya Tuhanmu bergegas untuk
memenuhi permintaanmu.” Tetapi kemudian ia menjelaskan bahwa “orang Muslim
di jaman ini menyangkal bahwa Muhammad menikahi Zaynab karena nafsu, dan
tentu saja, nampaknya tidak mungkin wanita yang berusia 39 tahun yang telah
hidup dalam kekurangan gizi sepanjang umurnya dan merasakan ganasnya
matahari di jazirah Arab akan menginspirasikan badai emosi yang sedemikian
terhadap payudara seseorang, sekalipun itu adalah seorang sepupu yang telah
mengenalnya sejak ia masih kanak-kanak.”(35)

Namun demikian, hal ini bertentangan dengan kisah-kisah terdahulu, dalam


mana seperti yang telah kita lihat, Muhammad benar-benar telah dikuasai oleh
badai emosi ketika melihat Zaynab hanya mengenakan bagian dalam gaunnya,
dan mengatakan kepada ayah angkatnya bahwa ia akan menceraikan istrinya jika
istrinya itu telah “menyenangkan hatinya.”

Berkenaan dengan kabar burung di sekitar Aisha, Armstrong tidak


mendiskusikan implikasi-implikasi dari kenyataan bahwa Muhammad tidak akan
mempercayai perkataannya, tetapi nampaknya membutuhkan sebuah wahyu ilahi

69
untuk membebaskannya. Ia tidak berfokus pada kejanggalan wahyu itu, dan juga
tidak menyebutkan kerugian-kerugian yang jelas terlihat yang diderita oleh kaum
wanita Muslim. Sebaliknya, ia melihat “kewibawaan Aisha dalam menghadapi
situasi tersebut”, bukti bahwa ada “keyakinan yang dapat Islam berikan kepada
seorang wanita.”

Armstrong juga tidak menyebutkan kalimat Aisha yang lainnya yaitu: “Aku
tidak pernah melihat wanita manapun yang lebih menderita daripada wanita
beriman.”(37)

Dan mereka terus menderita.

Catatan Kaki:

1. Mishnah Sanhedrin 4:5.


2. Parts of this collections were added later, after the time of Muhammad – but not the
section containing the material about Abraham. See harry freedman and Maurice
Simon, Bereshit Rabbah, Soncino, 1961. Vol. I, xxix.
3. Some may even have tried to fool Muhammad. One man who used to come talk with
Muhammad later derided him for perhaps being too credulous in accepting those “tales
of the ancients”: “Muhammad is all ears: if anyone tells him anything he believes it.”
Once again Allah answered through the Prophet of Islam: “Among them are men who
molest the Prophet and say, ‘He is (all) ear.’ Say , ‘He listens to what is the best for
you: he believes in Allah, has faith in the Believers, and is a Mercy to those of you who
believe.’ But those who molest the Messenger will have a grievous penalty” (Qur’an
9:61). The Qur’an also calls down divine woe upon “those who write the Book with their
own hands, and then say: “This is from Allah, ‘to traffic with it for miserable price! Woe
to them for what their hands do write, and for the gain they make thereby” (2:79). And
when speaking of the People of the Book, Allah tells Muhammad: “As for those who
sell the faith they owe to Allah and their own plighted word for a small price, they shall
have no portion in the Hereafter. Nor will Allah (deign to) speak to them or look at them
on the Day of Judgment, nor will He cleanse them (of sin). They shall have a grievous
penalty. There is among them a section who distort the Book with their tongues: (As
they read) you would think it is a part of the Book, but it is no part of the Book; and they
say, “That is from Allah,” but it is not from Allah: It is they who tell a lie against Allah,
and (well) they know it!... If anyone desires a religion other that Islam (submission to
Allah), never will it be accepted of him; and in the Hereafter he will be in the ranks of
those who have lost (all spiritual good). How shall Allah Guide those who reject Faith
after they accepted it and bore witness that the Messenger was true and that clear
signs had come unto them? But Allah guides not a people unjust” (Qur’an 3:77-78;
85-86). Did some of the Jews mock Muhammad’s prophetic pretension by representing
their own writings, or folkloric or apocryphal material, as divine revelation, and selling
them to him?
4. Bukhari, vol. 9, book 91, no. 6982.

70
5. Bukhari, vol. 4, book 61, no. 3617.
6. “The Arabic Gospel of the Infancy of the Savior,” 1, Wesley Center for Applied
theology, http://wesly.nnu.edu/biblical_studies/non-canon/gospels/infarab.htm.
7. “The Arabic Gospel of the Infancy of the Savior,” 36.
8. Muslim, book 25, no. 5326.
9. “The example of Muslims, Jews and Christians is like the example of a man who
employed labourers to work for him from morning till evening. They worked till mid-day
and they said, “We are not in need of your reward.’ So the man employed another
batch and said to them, ‘Complete the rest of the day and yours will be the wages I
had fixed (for the first batch).’ They worked up till the time of the ‘Asr prayer and said,
‘Whatever we have done is for you.’ He employed another batch. They worked for the
rest of the day till sunset, and they receive the wages of the two former batches.”
Bukhari, vol. 1, book 9, no. 558.
10. W. St. Clair Tisdall, “The Sources of Islam,” in The origins of the Koran: Classic essays
on Islam’s holy Book, Ibn Warraq, editor, (New York: Prometheus Books, 1998), 281.
11. Bukhari, vol. 1, book 1, no. 2.
12. Ibn Sa’d, vol. 1, 228.
13. Imam Muslim, Sahih Muslim, Abdul Hamid Siddiqi, trans., Kitab Bhavan, revised
edition 2000, book 30, no. 5764.
14. Muslim, book 30, no. 5766 and 5767.
15. Bukhari, vol. 6, book 66, no. 4985.
16. Quoted in Ali Dashti, 23 Years: A Study of the Prophetic Career of Mohammed, F.R.C.
Bagley, translator, (Costa Mesa:Mazda Publisher, 1994), 132.
17. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari, The History of al-Tabari, Volume VIII, The
Victory of Islam, Michael Fishbein, translator, (New York:State University of New York
Press, 1997), 2.
18. Bukhari, vol. 9, book 97, no. 7420. “Behold! Thou didst say to one who had received
the grace of Allah and thy favor [Zaid]: ‘Retain thou (in wedlock) thy wife, and fear
Allah.’ But thou didst hide in thy heart that which Allah was about to make manifest:
thou didst fear the people, but it is more fitting that thou shouldst fear Allah. Then when
Zaid had dissolved (his marriage) with her, with the necessary (formality), We joined
her in marriage to thee.” Why? ”In order that (in future) there may be no difficulty to the
Believers in (the matter of) marriage with the wives of their adopted sons, when the
latter have dissolved with the necessary (formality) (their marriage) with them. And
Allah’s command must be fulfilled.”
19. Tabari, vol. 8, 3.
20. Bukhari, vol. 9, book 97, no. 7420.
21. Ibn Kathir, Tafsir Ibn Kathir (Abridged), volume 7, Darussalam, 2000, 698.
22. This is a prayer said at a time of distress.
23. Bukhari, vol. 4, book 55, no. 2741.
24. The followers of Muhammad during his lifetime are known as his Companions. The
Companions fall into two group: al-Muhajiroun, or the emigrants from Mecca, and al-
Ansar (helpers), the inhabitants of Medina who took in those emigrants after the
Muslim’s flight (hijra) from Mecca to Medina. The Aws and Khazraj were two Ansari
tribes.
25. Bukhari, book 5, vol. 64, no. 4141.
26. Bukhari, vol. 9, book 97, no. 7500.

71
27. Zihar was a pre-Islamic method of divorce, whereby a man would declare that his wife
was to him like the back of his mother.
28. See also Bukhari, vol. 3, book 52, no. 2661.
29. Ahmed Ibn Naqib al-misri, Reliance of the Traveller [‘Umdat al-Salik]: A Classic
Manual of Islamic Sacred Law, translated by Nuh Ha Mim Keller. Amana Publications,
1999, o24.8.
30. See Sisters in Islam, “Rape, Zina, and Incest,” April 6, 2000,
http://www.muslimtent.com/sisterinislam/resources/sdefini.htm.
31. See Stephen Faris, “In Nigeria, A Mother faces Execution,”
www.africana.com, January 7, 2002.
32. Emerick, 213.
33. Emerick, 52.
34. Muhammad Husayn Haykal, The Life of Muhammad, Isma’il Razi A. al-Faruqi,
translator, 1968. Http://www.witness-pioneer.org/vil/Books/MH_LM/default.htm.
35. Karen Amstrong, Muhammad: A Biography of the Prophet, (San Francisco: Harper
San Francisco, 1992), 197.
36. Ibid., 202
37. Bukhari, vol. 7, book 77, no. 5825.

72
PASAL 5

“SEORANG PEMBERI PERINGATAN YANG HARUS


BERHADAPAN DENGAN HUKUMAN YANG
MENGERIKAN”

• Oposisi mula-mula terhadap Muhammad dari sukunya sendiri.


• Evolusi pengajaran Qur’an mengenai peperangan terhadap orang-orang
yang tidak beriman
• Ayat-ayat setan: usaha Muhammad untuk menang atas lawan-lawannya.
• Bagaimana para apologis Islam berusaha untuk menjelaskan insiden ayat-
ayat setan.
• Perjalanan malam Muhammad ke Yerusalem.

Masalah-Masalah Dengan Orang Quraysh

Setelah Muhammad yakin, dan dengan bantuan Khadija dan Waraqah bahwa
ia adalah seorang nabi, ia mulai berbicara secara sembunyi-sembunyi pada orang-
orang tentang sebuah agama yang baru. Pada awalnya, substansi pengajarannya
hanyalah monotheisme sederhana: “Ini adalah agama Allah yang telah dipilih-Nya
untuk diri-Nya sendiri dan Ia telah mengirimkan rasul-Nya. Aku memanggil kamu
kepada Allah, Dia yang tidak dipersekutukan, untuk menyembah-Nya dan
meninggalkan al-Lat dan al-‘Uzza”.(1) Istrinya Khadija menjadi orang Muslim yang
pertama, diikuti oleh Ali bin Abu Talib, lalu seorang anak laki-laki berusia 10 tahun,
yang di kemudian hari menjadi tokoh yang ternama dalam perpecahan antara
kelompok Sunni dan Syiah, dan beberapa orang lainnya. Tiga tahun setelah
kunjungan mula-mula dari dia yang kemudian dipercayai sebagai Jibril, yaitu yang
terjadi pada sekitar tahun 610 M, Allah memerintahkannya untuk “memproklamasi-
kan apa yang telah diperintahkan kepadamu dan berpaling dari politeisme.”(2)

Muhammad mengumpulkan kaum kerabatnya, orang-orang Quraysh,


mendaki sebuah gunung dan menyerukan nama-nama berbagai klan Quraysh. Ia
bertanya pada mereka, “Jika aku mengatakan padamu bahwa ada pasukan
(musuh) di lembah yang berniat untuk menyerang kalian, apakah kalian akan
percaya padaku?”

Mereka menjawab, “Ya, karena kami tidak ada mendapati kamu berbicara hal
yang lain selain dari kebenaran.”

73
Tanggapan Muhammad terhadap hal ini adalah: “Aku adalah seorang yang
memberi peringatan kepada kamu di hadapan penghukuman yang mengerikan.”
Dengan kata lain, penghukuman yang mengerikan dari Allah akan lebih dahsyat
daripada pasukan musuh.

Peringatan ini mengusik paman Muhammad, Abu Lahab, yang tidak percaya
pada klaim kenabian keponakannya itu. Ia menegur Muhammad, “Kiranya
tanganmu menghancurkan semua hari ini. Untuk tujuan inikah kau mengumpulkan
kami?”(3) Sambil berpaling kepada kumpulan orang Quraysh, Abu Lahab
berkata: “Tuan rumahmu telah menyihir kamu.” (4)

Allah sendiri memberikan kepada Muhammad tanggapan-Nya tentang Abu


Lahab dalam sebuah wahyu yang baru: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya Dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya
dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali
sabut” (Sura 111:1-5). Sebuah Hadith menginformasikan pada kita bahwa Abu
Lahab “benar-benar celaka”.(5) Hadith itu tidak mencatat cara kematiannya, tapi
ada satu kemungkinan yaitu: pada titik ini orang-orang Muslim tidak bermaksud
menyerang musuh-musuhnya dengan serangan yang kejam.

Yahiya Emerick memberikan kisah ini sudut pandang yang baru dalam
biografi apologetikanya mengenai Muhammad. Setelah Muhammad menyampai-
kan pesannya, ia berkata: “Abu Lahab, yang berdiri di dekatnya, mengutuki
Muhammad dengan amarah dan mengatakan padanya bahwa ia harus mati.
Muhammad menahan lidahnya (untuk berbicara), karena aturan adat/kuno untuk
menghormati orang yang lebih tua terpatri dalam dirinya. Tak lama kemudian,
beberapa ayat diwahyukan kepadanya, dan ayat-ayat itu mengatakan bahwa Abu
Lahab-lah yang akan binasa”.(6)

Muhammad terus berdakwah namun tidak banyak mendatangkan pengaruh.


Orang-orang yang meremehkannya bertanya padanya mengapa ia tidak
mengadakan mujizat, memintanya untuk mengubah gunung-gunung di sekitar
Mekkah menjadi emas untuk mereka, atau memulangkan mereka semua sekaligus
sehingga pertanian mereka tidak terbengkalai. Allah menjawab kepada
Muhammad: “Jika kamu menginginkannya, Aku akan bersabar dan memberi
mereka lebih banyak waktu, atau jika kamu menghendakinya, Aku akan
melakukan apa yang mereka minta, tetapi jika kemudian mereka tidak percaya,
mereka akan dihancurkan sama seperti bangsa-bangsa sebelum mereka.”(7)
Muhammad meminta agar mereka diberi waktu lebih banyak, dan memberi
jawaban kepada musuh-musuhnya bahwa mujizatnya adalah Qur’an.

Pada suatu kesempatan seseorang dari kaum Quraysh memintanya untuk


mengutus Gabriel atau malaikat-malaikat lainnya untuk mengatakan pada mereka
agar percaya padanya: “Wahai Muhammad, sekiranya seorang malaikat diutus
bersamamu untuk berbicara kepada orang-orang mengenai-mu dan supaya
74
terlihat bersamamu.”(8) Tetapi Allah menjawab dalam sebuah wahyu bahwa untuk
mengutus seorang malaikat, Ia harus membuatnya nampak sebagai manusia, dan
itu akan membuat orang Quraysh kembali ke tempat dari mana mereka memulai
(Sura 6:9). Ia menghibur Muhammad, mengatakan padanya bahwa hal itu sudah
biasa dialami oleh para nabi sebelum dia: “Dan sungguh telah diperolok-olokkan
beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang
mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokan mereka” (Sura 6:10).
Walaupun pada saat itu orang-orang Muslim hanyalah sekelompok kecil orang,
kekerasan yang berkaitan dengan agama yang baru ini telah dimulai. Ibn Ishaq
menceritakan:

“Ketika para sahabat Rasul bersembahyang, mereka pergi ke lembah-lembah


yang dalam dan sempit sehingga bangsa mereka tidak dapat melihat mereka
bersembahyang. Dan ketika Sa’d bin Abu Waqqas termasuk ke dalam
bilangan sahabat-sahabat Nabi, di salah-satu lembah di Mekkah, sekelompok
orang politeis mendatangi mereka saat mereka sedang sembahyang dan
dengan kasar menginterupsi mereka. Mereka menyalahkan orang-orang itu
atas apa yang orang-orang itu lakukan sampai mereka menjadi marah, dan
saat itulah Sa’d memukul seorang politeis dengan tulang rahang seekor unta
dan melukainya. Ini adalah pertumpahan darah yang pertama di dalam
Islam.”(9)

Dengan berjalannya waktu, ada lebih banyak lagi pertumpahan darah. Tetapi
Muhammad tidak memulai karir kenabiannya sebagai seorang pejuang, walaupun
ia telah berpartisipasi dalam 2 perang lokal antara orang Quraysh yang adalah
sukunya dengan klan tetangga.(10) Aktifitas utamanya adalah berdakwah
walaupun isi khotbahnya itu mengancam para penyembah berhala di Mekkah
dengan pemusnahan.

“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang lalim yang telah Kami
binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai
penggantinya).

Maka tatkala mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri
dari negerinya.

Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yang


telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik),
supaya kamu ditanya.

Mereka berkata: “Aduhai celaka kami, sesungguhnya kami adalah orang-


orang yang lalim. Maka tetaplah demikian keluhan mereka, sehingga Kami
jadikan mereka sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup
lagi.” (Sura 21:11-15)

75
Orang-orang Quraysh sangat dikejutkan oleh pembunuhan yang dilakukan
Sa’d bin Abu Waraqqas, dan ketika Muhammad mulai menyerang mereka dan
berhala-berhala mereka dengan kebencian yang makin memuncak, mereka mulai
melihat Islam dan nabinya sebagai sebuah ancaman. Dengan berjalannya waktu,
mereka mulai balik menyerang. Menurut Ibn Ishaq, “mereka menghadapkannya
dengan orang-orang bebal yang menyebutnya seorang pembohong,
menghinanya, dan menuduhnya sebagai seorang penyair, seorang penyihir,
seorang cenayang, dan kerasukan. Namun demikian, Rasul terus
memproklamasikan bahwa Tuhan telah memerintahkannya untuk memproklamasi-
kan, tidak menutupi apa-apa, dan meladeni ketidaksukaan mereka dengan
menghina agama mereka dan berhala-berhala mereka, dan membuat mereka
tetap dalam ketidak-percayaan mereka.”(11)

Hubungan orang Muslim dengan orang Quraysh menjadi semakin buruk


sehingga ia berkata kepada sekelompok kecil pengikutnya: “Jika kamu harus pergi
ke Abissinia (itu akan lebih baik bagimu), karena Raja tidak akan mentolerir
ketidakadilan dan itu adalah sebuah negara yang ramah, hingga tiba waktunya
Allah akan melepaskan kamu dari kesulitan kamu.”(12) Sejumlah orang Muslim
melakukan apa yang disarankannya, tapi Muhammad sendiri tinggal di Mekkah
dan terus berusaha membawa orang Quraysh kepada Islam.

Evolusi Dari Perintah Untuk Mengobarkan Perang

Pada suatu kesempatan, kemarahan dan frustrasi Muhammad atas


kegagalannya untuk mentobatkan orang Quraysh kepada Islam telah memuncak.
Ia mendekati sekelompok orang Quraysh di Ka’bah, mencium batu hitam, dan
berjalan mengitarinya 3 kali. Pada putaran ketiga ia berhenti dan berkata: “Maukah
kamu mendengarkan aku, wahai orang Quraysh? Demi Dia yang memegang
hidupku dalam tangan-Nya, aku membawa pembantaian kepada kamu.”(13) Ini
adalah sebuah nubuatan Muhammad yang di kemudian hari terbukti benar.

Karakter pesan Muhammad mulai berubah. Di awal karirnya ada 12 orang


yang berpaling kepada Islam dari suku Kharaj di kota Medina berkumpul dengan
Muhammad di kota Al-‘Aqaba, membuat apa yang kemudian dikenal dengan
perjanjian ‘Aqaba yang pertama: sebuah sumpah kesetiaan kepada sang Nabi
Islam. Salah-seorang diantara mereka menjelaskan: “Kami telah bersumpah
kepada Rasul bahwa kami tidak akan mempersekutukan apapun dengan Allah,
tidak mencuri, tidak berzinah, tidak membunuh keturunan kami, tidak menghina
tetangga kami, menaatinya dalam apa yang benar; jika kami melakukannya maka
surga akan menjadi milik kami; dan jika kami melakukan salah-satu dari dosa-dosa
ini, kami akan dihukum di dunia ini dan ini akan menjadi penebusan kami; jika
dosa itu ditutupi hingga Hari Kebangkitan, maka terserah kepada Tuhan untuk
memutuskan apakah akan menghukum atau mengampuni.”(14)

76
Dalam sumpah ini tidak ada unsur mengobarkan peperangan oleh Islam.
Tetapi setahun kemudian, sekitar tahun 622 M, hal itu berubah. Pada mulanya, Ibn
Ishaq menjelaskan: “Rasul tidak diijinkan untuk berperang atau menumpahkan
darah...Ia hanya diperintahkan untuk menghimbau orang kepada Allah dan untuk
menanggung penghinaan dan mengampuni orang-orang bebal. Orang Quraysh
telah menganiaya para pengikutnya, menggoda mereka dengan agama mereka,
dan membuang yang lainnya dari negeri mereka. Mereka harus memilih antara
meninggalkan agama mereka, diperlakukan dengan tidak baik di rumah mereka
sendiri, atau meninggalkan negerinya, ada yang ke Abissinia, yang lainnya ke
Medina.”

Namun kini waktu untuk mengampuni sudah habis:

“Ketika orang-orang Quraysh semakin kasar terhadap Allah dan menolak


tujuan-Nya yang penuh kemurahan, menuduh nabi-Nya telah berdusta, dan
berlaku buruk dan membuang mereka yang melayani-Nya dan yang
memproklamasikan keesaan-Nya, yang percaya kepada nabi-Nya, dan taat
kepada agama-Nya, maka Ia mengijinkan Rasul-Nya untuk berperang dan
melindungi diri terhadap mereka yang bersalah kepada mereka dan memper-
lakukan mereka dengan buruk.”(15)

Kemudian Ibn Ishaq menjelaskan perkembangan pewahyuan Qur’an tentang


peperangan. Pertama-tama ia menjelaskan bahwa Allah mengijinkan orang
Muslim untuk mengobarkan peperangan yang sifatnya mempertahankan diri:

“Tentunya Allah akan menolong mereka yang membela-Nya. Allah itu Maha
Kuasa. Mereka yang kita jadikan kuat di negeri akan mendirikan sembahyang,
membayar pajak orang miskin, melakukan kebaikan dan melarang kejahatan.
Tuhanlah yang memiliki akhir segala sesuatu.(16) Ini berarti: ‘Aku telah
mengijinkan mereka untuk berperang hanya karena mereka telah
diperlakukan dengan tidak benar sementara satu-satunya penghinaan mereka
terhadap orang-orang hanyalah karena mereka menyembah Allah. Jika
mereka ditinggikan, mereka akan mendirikan doa, membayar pajak orang
miskin, melakukan kebaikan dan melarang kejahatan, yaitu Nabi dan semua
sahabat-sahabatnya.”(17)

“Ketika mereka ditinggikan”, dengan kata lain, mereka akan mendirikan


sebuah negara islami, yang didalamnya orang Muslim akan bersembahyang
dengan teratur, membayar zakat, dan memberlakukan hukum-hukum Islam
(“melarang kejahatan”). Tapi itu bukanlah perkataan Allah yang terakhir berkenaan
dengan situasi-situasi yang mengharuskan Muhammad untuk berperang:

Kemudian Allah berfirman kepadanya: “Perangilah mereka sehingga tidak


ada lagi godaan”, yaitu hingga tidak ada lagi orang beriman yang digoda untuk

77
meninggalkan agamanya. “dan agama itu milik Allah”, yaitu, hingga hanya Allah
saja yang disembah.(18)

Ayat Qur’an yang dikutip Ibn Ishaq disini (Sura 2:193) memerintahkan lebih
daripada perang defensif: orang Muslim harus berperang hingga “agama menjadi
milik Tuhan” – yaitu, hingga Allah saja yang disembah. Hukum Islam di kemudian
hari, berdasar pada pernyataan Muhammad, yang memberikan 3 pilihan kepada
orang non-Muslim: bertobat kepada Islam, tunduk di bawah hukum Islam, atau
perang.

Ayat-Ayat Setan

Tetapi usaha-usaha Muhammad untuk membawa sukunya kepada


agamanya yang baru terus mendapatkan perlawanan – dan hal ini mengakibatkan
terjadinya insiden yang terkenal yaitu Ayat-ayat Setan, diabadikan dalam novel
karya Salman Rushdie yang juga menggemparkan. Pada 1989, Ayatollah
Khomeini dari Iran mengeluarkan sebuah fatwa yang memerintahkan orang
Muslim untuk membunuh Rushdie – sebuah hukuman mati yang kemudian
ditegaskan lagi oleh para pemimpin Iran, walaupun belum ada seorang pembunuh
pun yang telah melaksanakannya.

Berdasarkan tradisi Islam, Satan, bukan Allah, pada suatu kali pernah benar-
benar berbicara melalui mulut Muhammad. Ayat-ayat yang diberikan Iblis kepada
sang Nabi Islam kemudian dikenal sebagai “ayat-ayat setan”.

Muhammad menjadi frustrasi dengan ketidakmampuannya untuk mentobat-


kan sukunya sendiri, yaitu orang Quraysh, kepada Islam. Menurut Ibn Ishaq,
dalam sebuah bagian dalam Sira yang dijaga oleh Tabari, “Rasul kuatir akan
kesejahteraan umatnya, ia berniat menarik perhatian mereka semampunya.” Pada
kenyataannya, “ia merindukan sebuah cara untuk menarik perhatian mereka.”
Namun demikian, pada akhirnya para pemimpin Quraysh-lah yang datang
kepadanya dengan sebuah penawaran. Mereka akan memberikannya istri-istri dan
uang, dan bahkan menjadikannya raja mereka – jika ia mau menerima syarat-
syarat yang mereka ajukan. “Inilah yang akan kami berikan padamu, Muhammad,
jadi berhentilah menghina dewa-dewa kami dan janganlah berbicara yang jahat
mengenai mereka. Jika engkau tidak melakukannya, kami memberikanmu satu
persyaratan yang akan menguntungkan kamu dan juga kami.”

“Apa itu?” tanya sang Nabi Islam.

“Kamu akan menyembah dewa-dewa kami, al-Lat dan al-‘Uzza, selama


setahun, dan kami akan menyembah Tuhanmu selama setahun.”

Muhammad menjawab:”Biarlah aku melihat wahyu apa yang datang


kepadaku dari Tuhanku”(19) Dan kemudian jawaban yang diterima sang Nabi

78
Islam sangatlah negatif: Allah memerintahkannya untuk mengatakan pada orang-
orang yang tidak beriman bahwa orang-orang Muslim tidak akan menyembah apa
yang mereka sembah. (Sura 109:1-6)

Tetapi orang Quraysh bersikeras: “Muhammad, marilah kita menyembah apa


yang kau sembah dan apa yang kami sembah, dan kami akan menjadikanmu
rekan dalam semua yang kami kerjakan”. Tetapi Allah tetap memerintahkan
Muhammad untuk tetap berdiri teguh (Sura 39:64-66).

Tetapi di balik posturnya yang tegak, Muhammad menginginkan sebuah


solusi yang berimbang: “Ketika Rasul melihat kaumnya berpaling darinya dan ia
merasakan kepedihan oleh karena mereka jauh dari apa yang dibawanya untuk
mereka dari Allah, ia menginginkan sebuah wahyu dari Allah kepadanya yang
dapat merekonsiliasi dia dengan kaumnya.”(20)

Ia berkata: “Aku berharap Allah tidak mewahyukan padaku apapun yang tidak
disukai mereka.”(21) Dan akhirnya ia mendapatkan sebuah solusi. Ia menerima
wahyu yang mengatakan bahwa adalah sah bagi seorang Muslim untuk
bersembahyang kepada al-Lat, al-‘Uzza, dan Manat, ketiga dewi yang dipuja para
pagan Quraysh, sebagai para pendoa syafaat di hadapan Allah.(22) Tetapi
kepedihan dan frustrasinya karena ditolak oleh kaumnya sendiri telah
menguasainya: wahyu yang baru ini secara langsung berkontradiksi dengan
substansi pengajarannya. Ia telah menghina al-Lat, al-‘Uzza dan Manat sebagai
dewa-dewa palsu sejak permulaan proklamasi kenabiannya, atau bahkan sebelum
itu jika catatan masa mudanya ketika ia berjumpa dengan rahib Bahira dari Syria
adalah sesuatu yang dapat dipercayai. Haruskah monoteisme yang tidak kenal
kompromi ini sekarang harus dikhianati demi adanya rekonsiliasi dengan
kaumnya?

Rekonsiliasi nampaknya sudah dekat. Orang Quraysh bersukacita dan


membungkukkan diri bersama Muhammad dan orang-orang Muslim setelah
Muhammad selesai menyampaikan wahyu yang baru. Ibn Ishaq melaporkan:
“Kemudian orang-orang itu berpisah dan orang Quraysh pun pergi, bersukacita
akan apa yang telah dikatakan mengenai dewa-dewa mereka, dan berkata:
‘Muhammad telah menyanjung dewa-dewa kita. Ia menyampaikan apa yang telah
ia baca bahwa mereka adalah Gharaniq yang dimuliakan yang syafaatnya telah
diterima.’”(23)

Berita itu tersebar dengan cepat di kalangan orang Muslim: “Orang Quraysh
telah memeluk Islam.”(24) Oleh karena perdamaian nampaknya sudah dekat,
beberapa orang Muslim yang telah terlebih dahulu pindah ke Abissinia demi
keamanan mereka kemudian kembali pulang. Namun seorang pemain penting
dalam drama ini tidak sepenuhnya senang, yaitu: malaikat Jibril, dialah yang
penampakkan dirinya kepada Muhammad telah melahirkan Islam. Ia datang
kepada Muhammad dan berkata: “Apa yang telah kau lakukan, Muhammad?
Engkau telah membacakan sesuatu kepada orang-orang ini yang tidak kubawa
79
padamu dari Tuhan dan kamu telah mengatakan apa yang tidak dikatakan-Nya
kepadamu.”

Muhammad mulai menyadari betapa ia telah melakukan sebuah kompromi


yang parah. “Aku telah mereka-reka hal-hal melawan Allah dan telah memberi-Nya
perkataan yang tidak dikatakan-Nya.”(25) Ia “sangat berduka dan sangat takut”
terhadap Allah karena telah mengijinkan pesannya diselewengkan oleh Setan.
Dan Allah memberikan Muhammad sebuah peringatan keras (Sura 17:73-75),
namun sangat bermurah hati kepada Rasul-Nya:

“Maka Allah menurunkan (sebuah wahyu), karena Ia bermurah hati padanya,


menghiburnya dan memberi terang atas urusan itu dan memberitahukan dia
bahwa setiap nabi dan rasul sebelumnya menginginkan apa yang ia inginkan,
dan mengharapkan apa yang ia harapkan, dan Setan menyuntikkan sesuatu
ke dalam hasratnya itu seolah-olah itu berasal dari lidahnya. Jadi Tuhan
membatalkan apa yang telah disampaikan oleh Setan dan Tuhan menetapkan
ayat-ayatNya, seperti, engkau sama seperti para nabi dan para rasul.” (26)

Penghiburan ini diteguhkan di dalam Qur’an: ”Dan Kami tidak mengutus


sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila
ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan
terhadap keinginan itu, dan Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan
itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (Sura 22:52). Sudah tentu, semua itu adalah ujian dari orang-orang
tidak beriman: “agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai
cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar
hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu, benar-benar dalam
permusuhan yang sangat”. (Sura 22:53)

Oleh karena itu, menurut Ibn Ishaq, Allah “menyingkirkan duka nabi-Nya, dan
membuatnya aman dari rasa takutnya.” Ia juga menurunkan sebuah wahyu yang
baru untuk menggantikan perkataan Setan mengenai al-Lat, al-‘Uzza, dan Manat:

“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata


dan Al Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak
perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah
(anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak
adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu
mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk
(menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan,
dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah
datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka”. (Sura 53:19-23).

80
Dengan perkataan lain, apakah Allah hanya mempunyai anak-anak
perempuan sementara orang-orang tidak beriman mempunyai anak-anak laki-laki
(“bagimulah anak-anak laki-laki dan bagi-Nyalah anak-anak perempuan”)? Bagi
dunia Arab pada abad ke-7, itu sangat tidak masuk akal. Terlebih lagi, al-Lat,
al-’Uzza dan Manat hanyalah imajinasi kaum pagan, “nama-nama yang telah kamu
berikan, kamu dan bapa-bapamu, yang telah dinyatakan Allah sebagai sesuatu
yang tidak benar.”

Muhammad kembali pada monoteismenya yang semula yang tidak kenal


kompromi. Tidaklah mengejutkan ia kemudian menghadapi ketegangan yang lebih
besar lagi dengan orang Quraysh. Ibn Ishaq melaporkan bahwa kaum politeis
mulai menggunakan episode ini untuk melawannya:

“Ketika datang penghapusan kata-kata setan di mulut Nabi dari Tuhan, orang
Quraysh berkata: ‘Muhammad telah berpaling dari apa yang ia katakan
mengenai posisi dewa-dewa kamu dengan Allah, menggantikannya dan
membawa sesuatu yang lain. Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharm ke Al Masjidilaksa yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat”. (Sura 17:1). Tidak ada identifikasi Qur’an
mengenai “Mesjid yang terjauh” dengan mesjid apapun di Yerusalem, tetapi
Hadith memberikan kejelasan terperinci mengenai lokasinya dengan
Yerusalem.

Penglihatan ini sama dramatisnya dengan perjumpaannya yang mula-mula


dengan Jibril. Muhammad menceritakan penglihatan itu kepada seorang Muslim
demikian “Ketika aku sedang berbaring di Al-Hatima atau Al-Hijr,” yaitu sebuah
wilayah di Mekkah berseberangan dengan Ka’bah, yang menurut tradisi Islam
merupakan tempat Hagar dan Ismail dikuburkan, ketika “Jibril datang dan
membangunkan aku dengan kakinya. Aku duduk dan tidak melihat apa-apa dan
berbaring kembali. Ia datang padaku kedua kalinya dan membangunkan aku
dengan kakinya. Aku duduk dan tidak melihat apa-apa dan aku berbaring kembali.
Ia datang kepadaku ketiga kalinya dan membangunkan aku dengan kakinya.” Dan
“tiba-tiba seseorang datang padaku dan membelah tubuhku dari sini ke sini” – dan
ia menggerakkan tangannya dari leher ke bawah perut. Dia yang telah datang
kepadanya, Muhammad melanjutkan, “kemudian mengeluarkan jantungku. Lalu
sebuah nampan emas penuh dengan iman dibawa padaku dan jantungku dicuci
dan dipenuhi (dengan iman) dan kemudian dikembalikan ke tempatnya semula.
Kemudian seekor binatang putih yang lebih kecil dari bagal dan lebih besar dari
keledai dibawa padaku.” Ini adalah Buraq, yang kemudian dijelaskan Muhammad
sebagai “seekor binatang yang putih dan panjang, lebih besar dari keledai tapi
lebih kecil dari seekor bagal, yang menempatkan kakinya sejauh mata

81
memandang.” Binatang itu, katanya “setengah bagal, setengah keledai, dengan
sayap di kedua sisinya yang mempercepat laju kakinya.”

“Ketika aku naik untuk mengendarainya,” lapor Muhammad, “ia tersipu.


Gabriel menaruh tangannya di surainya dan berkata, ‘Tidakkah engkau malu,
wahai Buraq, apabila bersikap demikian? Demi Tuhan, tidak ada yang lebih mulia
di hadapan Tuhan daripada Muhammad diantara yang telah mengendaraimu
sebelumnya.’ Binatang itu sangat malu sehingga ia berkeringat dan berdiri dengan
diam sehingga aku dapat menaikinya.”

Mereka pergi ke Temple Mount, dan dari sana menuju ke surga: “Aku
dibawanya, dan Gabriel beserta dengan saya hingga kami mencapai surga yang
terdekat. Ketika ia meminta agar gerbangnya dibuka, ia ditanyai, ‘Siapakah itu?
Gabriel menjawab, ‘Gabriel’. Lalu ditanyai lagi, Siapakah yang menyertaimu?’
Gabriel menjawab, ’Muhammad’. Ia ditanyai lagi, ‘Sudahkah Muhammad
dipanggil?’ Gabriel menjawab mengiyakan. Kemudian suara itu berkata, ‘Ia
diterima. Betapa indahnya kunjungannya ini!’”

Muhammad memasuki surga pertama, dimana ia bertemu dengan Adam.


Jibril berkata kepada Muhammad: “Inilah bapamu, Adam; berilah salam
kepadanya.” Nabi memberi salam kepada manusia yang pertama itu, dan ia
menjawab, “Engkau disambut, wahai putra yang saleh dan Nabi yang saleh.”
Kemudian Gabriel membawa Muhammad ke surga yang kedua, dan disana
peristiwa di gerbang diulangi lagi, dan setelah sampai di dalam, Yohanes
Pembaptis dan Yesus memberinya salam: “Engkau disambut, wahai putra yang
saleh dan Nabi yang saleh.” Di surga yang ketiga, Yusuf memberinya salam
dengan kalimat yang sama, kemudian Muhammad dan Jibril melanjutkan
perjalanan mereka, dan diberi salam oleh nabi-nabi lainnya di tingkap-tingkap
surga berikutnya.

Musa ada di surga ke-6, yaitu untuk menghina orang Yahudi. “Ketika aku
meninggalkannya”, Muhammad berkata, “ia menangis”. Seseorang bertanya
padanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Musa berkata, “Aku
menangis karena sesudah aku telah diutus (Muhammad sebagai seorang Nabi)
seorang muda, yang para pengikutnya akan masuk ke Firdaus dalam jumlah yang
lebih besar daripada para pengikutku.”

Di surga yang ke-7, Muhammad bertemu dengan Abraham, mendapatkan


penglihatan-penglihatan lagi, dan mendapatkan perintah agar orang Muslim
berdoa 50 kali dalam sehari. Ketika Muhammad memulai perjalanannya untuk
kembali, ia melewati Musa, yang bertanya padanya, “Apakah yang telah
diperintahkan kepadamu?”

Muhammad menjawab, “Aku diperintahkan agar menaikkan doa 50 kali


sehari”. Musa memberinya sedikit nasehat: “Para pengikutmu tidak sanggup
berdoa 50 kali sehari, dan demi Allah, aku telah menguji umat sebelum engkau,

82
dan aku telah berupaya sekuat tenagaku dengan bani Israel (dan sia-sia saja).
Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah pengurangan untuk meringankan
beban para pengikutmu.” Maka Muhammad kembali pada Allah dan jumlah doa
dalam sehari dikurangi menjadi 40, tetapi Musa beranggapan bahwa itu masih
terlalu banyak. Nabi Islam terus bolak-balik dari Allah kepada Musa hingga jumlah
doa orang Muslim dalam sehari menjadi hanya 5 kali. Pada titik ini Musa masih
ragu kalau para pengikut Muhammad dapat memenuhi tantangan ini, dan ia
berkata lagi: “Para pengikutmu tidak sanggup berdoa 5 kali sehari, dan tidak
diragukan lagi, aku telah mempunyai pengalaman soal itu dengan umat sebelum
kamu, dan aku telah mengupayakan yang terbaik dariku untuk bani Israel, jadi
kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah pengurangan untuk meringankan
beban para pengikutmu.”

Tetapi kali ini Muhammad tidak mau kembali. “Aku telah banyak meminta dari
Tuhanku sehingga aku merasa malu, tapi aku sudah puas sekarang dan berserah
kepada Perintah Allah.” Dan saat ia berangkat pergi, ia berkata, “Aku mendengar
sebuah suara berkata, ‘Aku telah menurunkan Perintah-Ku dan telah meringankan
beban Para Penyembah-Ku.”(38)

Sang Nabi Islam juga menceritakan tentang nabi-nabi lain kepada para
pengikutnya: “Pada malam Al-Isra (perjalanan malam) (ke surga), aku melihat
(nabi) Musa, dia seorang yang kurus dengan rambut yang panjang dan sedikit
berminyak, kelihatannya mirip dengan salah-seorang dari suku Shanu’a; dan aku
melihat Isa (Yesus) yang tingginya rata-rata dengan wajah merah seakan-akan ia
baru saja keluar dari kamar mandi. Dan aku lebih mirip dengan Nabi Ibrahim
(Abraham) lebih dari semua keturunannya yang lain. Kemudian aku diberi 2
cangkir, satu berisi susu dan satunya berisi anggur. Jibril berkata, ‘Minumlah apa
yang kau sukai.’ Aku mengambil susu dan meminumnya. Jibril berkata, ‘Engkau
telah menerima apa yang alamiah,” (agama yang Benar, yaitu Islam) dan
seandainya engkau mengambil anggur, para pengikutmu akan tersesat.’”(39)

Ketika mereka mendengar kisah mengenai Perjalanan Malamnya, orang


Quraysh kembali menghina Nabi Islam: “Demi Tuhan, ini benar-benar tidak masuk
akal! Sebuah karavan memerlukan waktu sebulan untuk pergi ke Syria dan
kembali dan dapatkah Muhammad melakukan perjalanan pergi pulang dalam
semalam?” Karena ditantang oleh orang-orang yang pernah pergi ke Yerusalem,
Muhammad mengklaim sebuah mujizat lagi sehubungan dengan Perjalanan
Malam: “Ketika orang Quraysh tidak percaya padaku, aku berdiri di Al-Hijr dan
Allah menunjukkan Yerusalem di hadapanku, dan aku mulai menggambarkannya
pada mereka sementara aku sedang memandanginya”.(40) Saat ditanyakan
berapa banyak pintu yang ada di “Mesjid yang terjauh”, Muhammad kemudian
menjawab: “Aku tidak sempat menghitungnya satu per satu dan memberikan
mereka informasi mengenai hal itu. Aku juga memberikan informasi mengenai
karavan mereka, yang mana yang sedang dalam perjalanan dan tanda-tandanya.
Mereka menemukannya seperti yang saya ceritakan.”(41)

83
Namun demikian, ternyata deskripsinya mengenai Yerusalem tidak serta
merta meyakinkan orang: bahkan beberapa orang Muslim meninggalkan iman
mereka dan menantang pengikut Muhammad yang paling setia, Abu Bakr, untuk
melakukan hal yang sama. Abu Bakr sama sekali tidak setuju dengan hal itu: “Jika
ia berkata demikian, maka itu adalah benar. Dan apa yang mengherankan soal
itu? Ia mengatakan padaku bahwa komunikasi dari Tuhan dari surga ke bumi
datang padanya dalam satu jam dalam sehari atau semalam dan saya percaya
padanya, dan itu lebih dahsyat dari apa yang kalian pikirkan!”(42)

Allah menghibur Muhammad: “Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan


kepadamu: ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia’. Dan Kami
tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan
sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al
Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah
menambah besar kedurhakaan mereka”. (Sura 17:60). Kemudian Muhammad
nampaknya sudah tidak terlalu mengklaim bahwa ini adalah sebuah perjalanan
fisik. Aisha menjelaskan: “Tubuh Rasul tetap tinggal di tempatnya tetapi Tuhan
memindahkan rohnya pada waktu malam.”(43)

Perjalanan malam telah melekat erat dalam alam pikiran Muslim, hingga
pada hari ini, yang mana itu menjadi dasar bagi klaim Islam terhadap Yerusalem
sebagai salah satu kota suci Islam. Tetapi pada waktu pertama kalinya
Muhammad berbicara mengenai hal itu, itu kemudian hanya semakin
memperburuk hubungannya yang sudah tidak baik lagi dengan orang Quraysh.

Catatan Kaki:

1. Ibn Ishaq, 115.


2. Ibid., 117.
3. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4770.
4. Ibn Ishaq, 118.
5. Muslim, vol. 1, no. 406.
6. Emerick, 69.
7. Tafsir Ibn Kathir (Abridged), Darussalam, 2000. Vol. 6, 39-40.
8. Ibn Ishaq, 181.
9. Ibn Ishaq, 118; later in his biography Ibn Ishaq relates another tradition that places the
killing by Sa’d bin Abu waqqas shortly after the Hijra.
10. Ibn Sa’d, vol. 1, 143.
11. Ibn Ishaq, 130.
12. Ibid., 146.
13. Ibid., 131.
14. Ibid., 199.
15. Ibid., 212-213.

84
16. Qur’an 22:39-40.
17. Ibn Ishaq, 212-213.
18. Qur’an 2:193, Ibn Ishaq, 212-213.
19. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al –Tabari, The history of al-Tabari, Volume VI,
Muhammad at Mecca, W. Montgomery Watt and M.V. McDonald, translators, (New
York: State University of New York Press, 1988), 107.
20. Ibn Ishaq, 165.
21. Ibn Sa’d, vol. I, 237.
22. Ibn Ishaq, 165-166.
23. Ibn Ishaq, 166. The Gharaniq, according to Islamic scholar Alfred Guillaume, were
“’Numidian cranes’ which fly at a great height.” Muhammad meant that they were near
Allah’s throne, and that it was legitimate for Muslims to pray to al-Lat, al-‘Uzza, and
manat, the three goddesses favored by the pagan Quraysh, as intercessors before
Allah.
24. Tabari, vol. vi, 109.
25. Ibid., vol. vi, 111.
26. Ibn Ishaq, 166.
27. Ibid., 166-167.
28. Haykal, “The Story of the goddesses,” in The life of Muhammad.
29. Emerick, 80.
30. Amstrong, 111.
31. Tabari, vol. vi, 107, 108.
32. Ibn Sa’d, vol. I, 236-239.
33. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4863.
34. Ibn Ishaq, 182.
35. Bukhari, vol. 5, book 63, no. 3887.
36. Muslim, book 1, no. 309.
37. Ibn Ishaq, 182.
38. Bukhari, vol. 5, book 63, no. 3887.
39. Bukhari, vol. 4, book 60, no. 3394.
40. Bukhari, vol. 5, book 63, no. 3886.
41. Ibn Sa’d, vol. I, 248.
42. Ibn Ishaq, 183.
43. Ibid.

85
Pasal 6

MUHAMMAD MENJADI PANGLIMA PERANG

• Permulaan Islam yang sesungguhnya: ketika Muhammad menjadi seorang


pemimpin militer

• Perjanjian antara orang Muslim dan Yahudi, dan bagaimana hubungan


mereka menjadi rusak

• Penyerangan Nakhla dan permulaan kekerasan Islam

• Putusnya hubungan dengan orang Yahudi

• Muhammad memerintahkan agar perzinahan dihukum dengan dilempari


batu

Hijrah

Pada tahun 622 M, bertahun-tahun setelah meningkatnya ketegangan


dengan kaum Quraysh, Muhammad dan para pengikutnya akhirnya meninggalkan
Mekkah menuju kota terdekat, yaitu Yathrib (sekarang dikenal sebagai Medina,
yang merupakan kependekan dari Medina al-Nabi, atau Kota Nabi), atas
undangan beberapa petobat Muslim di kota itu. Ini terjadi 13 tahun setelah
dimulainya karir kenabiannya.(1) Perpindahan (Hijrah, atau seringkali dalam
bahasa Inggris juga disebut Hegira) Muhammad dan orang-orang Muslim dari
Mekkah ke Medina adalah sebuah titik balik yang besar bagi komunitas itu.
Mereka tidak lagi menjadi sekelompok kecil orang yang teraniaya. Muhammad kini
menjadi lebih dari sekedar pengkhotbah apokaliptis: ia adalah seorang pemimpin
politik dan militer. Penting diperhatikan bahwa pada tahun terjadinya Hijrah inilah,
dan bukannya tahun kelahiran Muhammad atau saat ia menerima wahyu untuk
pertama kalinya - ..., yang menjadi tahun pertama dalam kalender Muslim. Awal
mulanya Islam menjadi entitas sosial dan politik adalah permulaan kalender – bagi
orang Muslim ini adalah sebuah peristiwa yang hampir sama pentingnya dengan
keluarnya orang Israel dari tanah Mesir.

Setelah berdiam di Medina, karakter wahyu-wahyu Muhammad mulai


berubah. Puisi-puisi apokaliptik yang singkat dan menawan yang mewarnai sura-
sura awal Mekkah dalam Qur’an (yang kini banyak ditemukan di bagian belakan
kitab tersebut, oleh karena Qur’an tidak disusun secara kronologis) mulai menjadi
bahan-bahan yang bersifat prosaik yang panjang dan tidak saling berhubungan,
yang umumnya merupakan hukum-hukum bagi komunitas yang baru ini.

86
Kebanyakan dari hukum-hukum ini diformulasikan dalam dialog dan debat
dengan orang Yahudi di Medina. Kedatangan Muhammad di kota itu membawanya
berhubungan erat dengan 3 suku Yahudi disana, yaitu Banu Qaynuqa, Banu
Nadir, dan banu Qurayzah. Sejak awal mula karir kenabiannya, Muhammad
sangat kuat dipengaruhi oleh Yudaisme, dimana ia menempatkan dirinya sendiri di
antara jajaran nabi-nabi Yahudi, melarang para pengikutnya makan babi, dan
menerapkan praktek bersembahyang beberapa kali sehari dan beberapa aspek
ritual Yahudi lainnya pada orang Muslim. Kini ia mulai mencoba agar mereka
menerima statusnya sebagai seorang nabi. Dalam satu setengah tahun setelah
kedatangan orang Muslim di Medina, ia bahkan memerintahkan mereka untuk
menghadap Yerusalem sebagai kiblat saat bersembahyang.(2)

Perjanjian antara orang Muslim dan orang Yahudi

Selama periode itu Muhammad membuat sebuah perjanjian dengan suku-


suku Yahudi di Medina – “konstitusi dunia yang pertama” menurut orang Muslim.
Ibn Ishaq menggambarkannya sebagai sebuah “kesepakatan yang bersahabat”
antara orang Yahudi dan orang Muslim. Perjanjian itu juga memuat instruksi bagi
kedua kelompok Muslim, para imigran (muhajiroun), orang-orang Muslim yang
datang dari Mekkah, dan para penolong (ansari) yaitu orang Muslim yang bertobat
di Medina. Dokumen ini menegaskan perbedaan yang tajam antara orang beriman
dan orang tidak beriman yang akan menjadi penanda resmi dalam sejarah Islam,
juga memberikan berbagai hak kepada orang Yahudi yang merupakan bayangan
dari perlakuan orang Muslim di masa depan terhadap kaum dhimmi – yaitu para
Ahli Kitab di tanah Islam. (Beberapa fitur kesepakatan ini digantikan oleh wahyu –
wahyu yang diterima Muhammad dalam karirnya di kemudian hari, yang makin
mempersulit orang non-Muslim, yang dampaknya masih dapat dirasakan).

Dokumen itu dimulai dengan mengumumkan bahwa semua orang Muslim,


apakah mereka orang Mekkah atau Medina, adalah satu komunitas tunggal –
suatu prinsip yang diyakini orang Muslim di sepanjang sejarah, walau tidak selalu
dijunjung dengan kesehatian saat orang-orang non-Arab mulai bergabung dalam
umma. Disini kesatuan semua orang beriman, dan perbedaan tajam antara orang
beriman dan orang kafir digarisbawahi dengan jelas:

“Seorang beriman tidak boleh bersekutu dengan orang merdeka dari seorang
Muslim lain yang melawannya. Orang-orang beriman yang takut kepada Allah
harus memusuhi para pemberontak atau orang yang berusaha menyebarkan
ketidakadilan, atau dosa atau permusuhan, atau korupsi diantara orang-orang
beriman; tangan setiap orang harus memusuhinya bahkan seandainya ia
adalah anak laki-laki dari salah-satu dari mereka. Seorang beriman tidak
boleh membunuh sesamanya orang beriman demi seorang kafir, ia juga tidak
boleh menolong seorang kafir melawan seorang beriman. Perlindungan
Tuhan adalah satu. Sedikit dari mereka yang dapat memberi perlindungan

87
kepada seorang asing dengan kekuatan mereka sendiri. Orang-orang
beriman bersahabat satu sama lain dan tidak termasuk orang
luar...Kedamaian orang beriman tidak dapat dibagi-bagi. Tidak ada damai
boleh diadakan ketika orang beriman sedang berjuang di jalan Allah.
Persyaratan-persyaratan harus adil dan setara bagi semua. Dalam setiap
perampokan seorang penunggang kuda harus diikuti seorang penunggang
lain di belakangnya. Orang beriman harus membalaskan darah sesamanya
yang tertumpah di jalan Allah. Orang-orang beriman yang takut kepada Allah
menikmati tuntunan yang terbaik dan benar. Tidak ada seorang politeis pun
yang boleh mengambil properti atau orang Quraysh ke dalam
perlindungannya dan juga tidak boleh campur-tangan terhadap seorang
beriman. Barangsiapa yang dituduh membunuh seorang beriman tanpa
alasan yang jelas ia akan menjadi sasaran balas dendam kecuali kerabat
terdekat dipuaskan (dengan uang darah), dan orang-orang beriman akan
berhadapan dengannya sebagai seorang laki-laki, dan mereka harus
mengambil sikap terhadapnya”.

Dokumen tersebut juga menjelaskan hak dan kewajiban orang luar,


menguraikan persyaratan-persyaratan yang relatif murah hati berkenaan dengan
hak-hak Banu Auf (suku Auf) dan suku-suku Yahudi lainnya, memandatkan
pertahanan bersama dan mengumumkan kerjasama tidak terbatas dengan orang
Quraysh:

“Bagi orang Yahudi yang mengikuti kita ada pertolongan dan kesetaraan. Ia
tidak akan dijahati dan musuh-musuhnya pun tidak akan dibantu...Orang
Yahudi harus menyumbangkan biaya perang selama mereka berjuang
bersama dengan orang-orang beriman. Orang Yahudi dari Bani Auf adalah
satu komunitas dengan orang-orang beriman (orang Yahudi memelihara
agama mereka dan orang Muslim memelihara agamanya sendiri), orang-
orang merdeka mereka dan kaum mereka kecuali orang-orang yang bersikap
tidak adil dan berdosa, karena mereka menyakiti diri mereka sendiri dan
keluarga mereka. Hal yang sama berlaku untuk orang Yahudi dari Banu al-
Najjar, Banu al-Harith, Banu Sa’ida, Banu Jusham, Banu Aus, Banu Tha’laba
dan Banu Jafna, klan dari Tha’laba dan Banu al-Shutayba”.

“Orang Yahudi dari Banu Auf adalah satu komunitas dengan orang-orang
beriman” adalah pernyataan yang luarbiasa, dan yang tidak bosan-bosannya
dikutip oleh para apologis Islam pada masa kini. Namun demikian, segera itu
digantikan dengan pernyataan-pernyataan yang sanagt berbeda pada masa hidup
Muhammad. Lebih jauh lagi, ketetapan pertahanan bersama mempunyai sebuah
pengecualian. Orang Yahudi sepakat untuk berperang bersama orang Muslim
“kecuali dalam perang suci”.(3)

88
Pertobatan Abdullah dan ketegangan-ketegangan dengan para rabi

Dibalik kedamaian yang ditawarkan oleh kesepakatan ini (jika hal itu memang
benar ada – baik Muhammad maupun para pemimpin Yahudi tidak
menyebutkannya dalam interaksi mereka berikutnya), hubungan Muhammad
dengan para pemimpin Yahudi di Medina semakin memburuk. Mereka tidak dapat
menerima gagasan bahwa ada seorang nabi dalam garis Abraham dan Musa yang
berasal dari non-Yahudi, dan mulai “mengusik sang rasul dengan pertanyaan-
pertanyaan”, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Ishaq.(4)

Tetapi salah satu dari rabi-rabi Yahudi, al-Husayn, yang juga dikenal sebagai
Abdullah bin Salam (ada yang mengatakan Muhammad menamainya Abdullah
setelah ia memeluk Islam), tidak memusuhi orang Muslim. Dengan mengulangi
kisah-kisah mengenai Bahira sang rahib dan orang-orang lainnya yang mengakui
Muhammad dengan deskripsi yang diperkirakan ada dalam kitab-kitab suci Yahudi
dan Kristen, Abdullah sangatlah terkesan: “Ketika aku mendengar mengenai rasul
aku tahu melalui deskripsinya, nama dan waktu kemunculannya bahwa dialah
yang sedang kita nantikan, dan aku sangatlah bersukacita karenanya, walau aku
tetap bungkam soal itu hingga rasul datang ke Medina”.

Ketika Abdullah mendengar bahwa Muhammad sedang pindah ke Medina, ia


berteriak, “Allahu akbar” – Allah terlebih besar – dan bergegas untuk menemuinya.
(5) Di hadapan Muhammad, ia bertanya padanya “mengenai tiga hal yang tidak
diketahui siapapun kecuali ia adalah seorang nabi. Apakah tanda isyarat dari
Waktu? Apakah makanan pertama orang-orang di Firdaus? Dan apakah yang
membuat seorang bayi mirip dengan ayah dan ibunya?”

Nabi dengan tenang berkata kepadanya, “Baru saja Jibril (Gabriel)


memberitahukanku tentang hal itu”.

Abdullah terperanjat. “Jibril?”

“Ya”, kata Muhammad.

“Dia, diantara para malaikat adalah musuh orang Yahudi,” kata Abdullah, saat
Muhammad membaca sebuah ayat dari Qur’an: “Katakanlah: ‘Barangsiapa yang
menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur’an) ke dalam
hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (Sura
2:97).

Kemudian ia meneruskan menjawab 3 pertanyaan Abdullah:

“Sebagai tanda pertama Waktu itu, akan ada api yang akan mengumpulkan
orang dari Timur ke Barat. Dan yang menjadi makanan pertama bagi orang di
Firdaus adalah tambahan cuping hati ikan. Dan jika seorang pria lebih dulu
dipuaskan daripada wanita, maka anaknya akan mirip dengan ayahnya, dan

89
jika wanita lebih dahulu dipuaskan daripada pria maka anaknya akan mirip
ibunya”.

Mendengar jawaban ini, Abdullah langsung memeluk Islam dan mencela


kaumnya sendiri, ia berkata, “Aku bersaksi bahwa La ilaha illallah (tiada yang lain
yang patut disembah selain Allah) dan bahwa engkau adalah Utusan Allah, wahai
utusan Allah; orang-orang Yahudi adalah pembohong, dan jika mereka
mengetahui bahwa aku telah memeluk Islam, mereka akan menuduhku sebagai
seorang pembohong.(6)

Abdullah mengemukakan bahwa ia “menjadi seorang Muslim, dan ketika aku


kembali ke rumahku aku memerintahkan keluargaku untuk melakukan hal yang
sama”.(7) Ia meminta pertolongan Muhammad untuk membuat jebakan terhadap
orang Yahudi: “Orang Yahudi adalah bangsa pembohong dan aku ingin agar
engkau membawaku ke salah-satu rumahmu dan menyembunyikan aku dari
mereka, dan tanyailah mereka tentang aku supaya mereka mengatakan padamu
posisiku diantara mereka sebelum mereka mengetahui bahwa aku telah menjadi
seorang Muslim. Sebab jika mereka tahu sebelumnya mereka akan mengatakan
kebohongan besar mengenai aku”. Muhammad setuju, ia memanggil para
pemimpin Yahudi dan menyembunyikan Abdullah, dan bertanya kepada mereka
apa yang mereka pikirkan mengenai Abdullah. Mereka menjawab, “Dia adalah
pemimpin kami, dan putra dari pemimpin kami; rabbi kami, dan tokoh kami yang
terpelajar”.

Muhammad bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian pikirkan jika


‘Abdullah bin Salam memeluk Islam?”

Para pemimpin Yahudi berkata, “Kiranya Allah melindunginya dari hal ini!”

Jebakan itu mengena. Abdullah keluar dan berteriak: “Aku bersaksi bahwa
La ilaha illallah (tiada yang lain yang patut disembah selain Allah) dan bahwa
Muhammad adalah Utusan Allah.(8) Wahai orang Yahudi takutlah akan Allah dan
terimalah apa yang telah diutus-Nya bagimu. Karena demi Allah kamu tahu bahwa
dia adalah Rasul Allah. Kamu akan menemukannya diceritakan di dalam Tauratmu
dan bahkan namanya disebutkan. Aku bersaksi bahwa ia adalah Rasul Allah, aku
percaya padanya, aku yakin dia benar, dan aku mengakuinya”.(9)

Tapi kini orang Yahudi berkata: “Abdullah adalah yang terburuk dari antara
kami, dan putra dari orang yang terburuk dari antara kami”.

Abdullah berseru, “Wahai Utusan Allah! Inilah yang kutakutkan!”(10)


Kemudian ia berkata, “Aku telah mengingatkan Rasul bahwa aku telah
mengatakan kalau mereka akan melakukan hal ini, karena mereka adalah umat
yang jahat, pembohong dan pengkhianat”.(11)

90
Kisah-kisah seperti ini meyakinkan orang Muslim di sepanjang sejarah bahwa
kitab suci Yahudi (dan juga Kristen) benar-benar bersaksi tentang Muhammad
dengan jelas. Sebuah tradisi Muslim lainnya mengatakan bahwa Muhammad pergi
ke sebuah seminari Yahudi, dimana ia menantang para rabbi: “Bawalah orang
yang paling terpelajar diantara kamu ke hadapanku”. Ketika orang itu maju, dia
dan Muhammad berbicara secara pribadi. Akhirnya Muhammad bertanya
padanya, “Tahukah kamu bahwa aku adalah Rasul Allah?”

Rabbi itu menjawab,”Demi Allah! Ya, dan orang-orang tahu apa yang
kuketahui. Sesungguhnya gelar-gelar dan kualitas-kualitasmu dengan jelas
disebutkan di dalam Taurat, tapi mereka iri padamu”.(12) Kebebalan penuh dosa
orang Yahudi dan orang Kristenlah yang menghalangi mereka untuk mengakui hal
ini - sesungguhnya, dosa itu sangatlah besar hingga akhirnya itu mengakibatkan
mereka mengubah kitab-kitab suci mereka untuk menghilangkan semua referensi
mengenai Muhammad. Gagasan bahwa orang Yahudi dan orang Kristen adalah
para pengkhianat yang penuh dosa terhadap kebenaran Islam kemudian menjadi
batu penjuru dalam pemikiran Islam berkenaan orang-orang non-Muslim.

Muhammad menyusun sebuah doa singkat bagi orang Muslim, yang disebut
dengan Fatiha (Pembukaan), yang menjadi baju penjuru doa Muslim (Fatiha
diucapkan 17 kali dalam sehari oleh orang Muslim yang melaksanakan
sembahyang 5 waktu) dan sura pertama dalam Qur’an:

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang menguasai hari
pembalasan.

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah


pertolongan.

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka yang dimurkai

dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (Sura 1:1-7).

Walaupun (doa) ini telah mempunyai status diantara analog Muslim terhadap
doa Bapa Kami yang dimiliki orang Kristen, tetap masih mempunyai sisi polemis.
Secara tradisional orang Muslim mengindentifikasi mereka yang ditimpa murka
Allah dengan orang-orang Yahudi yang telah tersesat bersama orang Kristen.
Komentator Qur’an Ibn Kathir (Isma’il bin ‘Amr bin Kathiral Dimashqi) (1301-1372)
mewakili arus utama yang luas dalam tradisi Islam. Pakar Muslim Ahmad von
Denffer menyebut komentari Qur’annya (tafsir) sebagai salah-satu dari “yang
dikenal dengan baik” dan “kitab-kitab tafsir yang lebih berharga”, dan mengatakan
bahwa tafsirnya merupakan “yang paling penting bagi orang Muslim”.(13) Di
dalamnya, Ibn Kathir menjelaskan bahwa “kedua jalan ini adalah jalan orang

91
Kristen dan orang Yahudi, sebuah kenyataan yang harus disadari orang beriman
sehingga dapat dihindarinya. Jalan orang beriman adalah pengetahuan akan
kebenaran dan berdiam didalamnya. Sebagai perbandingan, orang Yahudi
meninggalkan praktek keagamaan, sementara orang Kristen kehilangan
pengetahuan yang sejati. Inilah sebabnya ‘murka’ diturunkan atas orang Yahudi,
sedangkan ‘tersesat’ lebih tepat dikenakan pada orang Kristen”.(14)

Orang-orang Munafik

Pada titik ini, menurut Ibn Ishaq, beberapa orang munafik (munafiqin) di Medina
mulai membuat kesepakatan dengan orang Yahudi yang menentang Muhammad.
Orang-orang munafik adalah para anggota suku-suku di Medina yang telah
menjadi Muslim; mereka memeluk Islam karena takut dan kenyamanan, dan
menurut sumber-sumber Muslim mula-mula, mereka mulai bersikap sebagai
kelompok kelima dalam komunitas Muslim. Qur’an penuh dengan makian yang
penuh kemarahan terhadap mereka dan rancangan-rancangan mereka terhadap
Muhammad. Muhammad juga menerima wahyu-wahyu yang menyerang orang-
orang munafik karena ketidakjujuran mereka, mengingatkan mereka akan
penghukuman yang mengerikan yang menanti mereka, dan berbau frustrasi dan
kemarahan terhadap sikap mereka yang bermuka dua (Sura 2:8-15).

Ada sebuah sura di dalam Qur’an yang dikhususkan untuk menceritakan


ketidaktulusan dan penipuan orang-orang munafik, dimana Allah bersumpah
bahwa Ia tidak akan mengampuni mereka:

“...Yang demikian itu karena mereka telah berkafir (lagi) lalu hati mereka
dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti. Dan apabila kamu
melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum dan jika
mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah
seakan-akan kayu yang tersandar.. “(Sura 63:1-8).

Di satu sisi Muhammad melihat sekelompok orang munafik itu bercakap-


cakap di dalam mesjid dan memerintahkan mereka agar diusir keluar. Ini
dilakukan, kata Ibn Ishaq, “dengan sedikit kekerasan”.

“’Umara b. Hazm menemui Zayd b. ‘Amr yang berjenggot panjang dan


memegang jenggotnya dan menyeretnya dengan kasar keluar dari mesjid.
Kemudian dengan tangannya yang terkepal ia meninju dadanya dan
merubuhkannya, sementara Zayd berteriak, ‘Kamu telah menguliti aku!’
‘Tuhan menyingkirkan kamu, kamu orang munafik’, ia menjawab. ‘Tuhan
mempunyai penghukuman yang lebih buruk yang disimpan-Nya untukmu, jadi
jangan mendekati mesjid rasul lagi!’”(15)

92
Penyerangan Nakhla

Dengan adanya basis dukungan yang baru dan lebih kuat di Medina, Muhammad
merasa lebih yakin untuk mengkonfrontasi orang Quraysh. Orang- orang Muslim
mulai menyerang karavan-karavan Quraysh, dengan Muhammad sendiri yang
memimpin banyak penyerangan ini. Penyerangan pertama yang dilakukan
Muhammad adalah di sebuah tempat yang dikenal dengan Al-Abwa atau Waddan,
dimana sang nabi Islam berharap untuk bertemu dan menguasai sebuah karavan
Quraysh. Mereka tidak menemukan orang Quraysh disana, tapi selama ekspedisi
itu Muhammad mengeluarkan sebuah keputusan ketika seorang Muslim bertanya
kepadanya:

“Nabi melewati aku di sebuah tempat yang disebut Al-Abwa’ atau Waddan,
dan ditanyai apakah boleh menyerang pejuang-pejuang Al-Mushrikun (orang
yang tidak beriman) pada malam hari dengan kemungkinan besar
membahayakan kaum wanita dan anak-anak mereka. Nabi menjawab,
‘Mereka (wanita dan anak-anak) berasal dari mereka (yaitu Al-Mushrikun)”.
(16)

Sejak saat itu, non-Muslim yang tidak bersalah, wanita dan anak-anak secara
sah juga menderita takdir para pria yang tidak beriman.

Penyerangan-penyerangan ini tidak semata-mata dirancang untuk membalas


dendam terhadap orang-orang yang telah menolak nabi, yaitu orang-orang yang
telah muncul dari antara mereka. Penyerangan-penyerangan ini mempunyai tujuan
ekonomis, yaitu untuk membiayai pergerakan Muslim. Penyerangan-penyerangan
ini juga menjadi suatu kesempatan formasi beberapa elemen kunci dari teologi
Islam – seperti pada suatu insiden yang terkenal ketika sekelompok Muslim
menyerang sebuah karavan Quraysh di Nakhla, sebuah perkampungan tidak jauh
dari Mekkah. Muhammad mengutus salah-seorang letnannya yang paling
dipercayainya, Abdullah bin Jahsh, bersama dengan 8 orang imigran - orang
Muslim yang telah meninggalkan Mekkah untuk pindah ke Medina bersama
Muhammad – dalam sebuah perjalanan. Ia memberi Abdullah sebuah surat
dengan perintah agar ia tidak membukanya hingga ia telah melakukan perjalanan
selama 2 hari.

Abdullah menurutinya. Ia membaca surat itu setelah dua hari perjalanan.


“Jika engkau telah membaca suratku teruslah maju hingga engkau tiba di Nakhla
di antara Mekkah dan Al-Ta’if. Tunggulah orang Quraysh disana dan cari tahu
untuk kami apa yang mereka lakukan”. Abdullah curiga kalau misi ini berbahaya; ia
berkata kepada yang lainnya: “Rasul telah memerintahkan aku untuk pergi ke
Nakhla untuk menunggu orang-orang Quraysh disana supaya dapat membawa
berita mengenai mereka untuk kita. Ia telah melarang aku untuk menekan
siapapun diantara kamu, maka jika ada yang ingin menjadi martir baiklah ia terus

93
maju, jika tidak, biarlah ia kembali; sedangkan aku akan terus maju seperti yang
diperintahkan nabi”. Mereka semua pergi dengannya. Abdullah menggunakan kata
“martir” (jihad) seperti yang digunakan para teroris zaman modern: berkaitan
dengan orang yang (menurut wahyu yang datang kepada Muhammad di kemudian
hari) “dibantai” bagi Allah (Sura 9:111), bukan seperti yang dipahami orang Kristen
yaitu menderita hingga mati di tangan orang-orang yang tidak benar demi iman
mereka.(17)

Abdullah dan komplotannya mencegat sebuah karavan Quraysh yang


membawa kulit dan kismis. Mereka menganggap hal itu: “Jika kamu membiarkan
mereka malam ini mereka akan tiba di wilayah suci dan akan aman dari kalian;
dan jika kamu membunuh mereka, kamu akan membunuh mereka di bulan suci” –
karena saat itu adalah hari terakhir di bulan suci Rajab, dimana perang tidak boleh
dilakukan. Mereka memutuskan, menurut Ibn Ishaq, untuk “membunuh sebanyak
mungkin diantara mereka dan merampas apa yang dipunyai mereka”. Dalam
perjalanan pulang ke Medina, Abdullah menyisihkan seperlima dari rampasan itu
untuk Muhammad. Ketika mereka kembali ke perkemahan Muslim, Muhammad
menolak menerima bagian dari rampasan itu maupun berurusan dengan barang-
barang itu. Ia hanya berkata,”Aku tidak memerintahkan kamu untuk berperang di
bulan suci”. Ia juga berada dalam sebuah posisi politis yang tidak menyenangkan,
karena orang Quraysh mulai berkata: “Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah
mencemarkan bulan suci dengan menumpahkan darah, mengambil rampasan
perang, dan mengambil tawanan”.(17)

Tapi kemudian sebuah wahyu yang menolongnya turun dari Allah,


menjelaskan bahwa perlawanan orang Quraysh terhadap Muhammad di mata
Allah lebih keras daripada pelanggaran yang dilakukan orang Muslim di bulan suci;
oleh karena itu penyerangan itu kemudian dibenarkan. “Mereka bertanya
kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:’Berperang dalam
bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir
kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya
dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar
(dosanya) daripada membunuh” (Sura 2:217). Dosa apapun yang telah dilakukan
oleh para perampok di Nakhla di bulan suci bukan apa-apa dibandingkan dosa-
dosa orang Quraysh. Ibn Ishaq menjelaskan ayat ini: “Mereka telah menghalangi
orang dari jalan Tuhan dengan ketidakpercayaan mereka pada-Nya, dan dari
Masjidilharam, dan telah mengusir kamu darinya ketika kamu berada diantara
kaumnya. Bagi Tuhan ini adalah perkara yang serius daripada membunuh orang-
orang yang telah kamu bantai”.(18) Setelah menerima wahyu ini, Muhammad
mengambil rampasan perang dan tawanan Abdullah. Abdullah menjadi lega, dan
bertanya: “Bolehkah kita menganggap rampasan penyerangan itu sebagai upah
bagi para pejuang?” Sekali lagi Allah menjawab dengan sebuah wahyu:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, mereka

94
itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (Sura 2:218). Penebusan Abdullah dan komplotannya sudah genap.

Ini adalah sebuah insiden yang penting, karena akan menetapkan sebuah
pola: kebaikan diidentifikasikan dengan segala sesuatu yang mendatangkan
keuntungan bagi orang Muslim, dan kejahatan diidentifikasikan dengan segala
sesuatu yang menyakiti mereka, tanpa mengacu pada standard moral yang lebih
besar. Ketetapan-ketetapan moral disingkirkan demi memuaskan azas manfaat.

Perpecahan dengan orang Yahudi dan perubahan kiblat

Muhammad terus membujuk orang Yahudi untuk menerima status


kenabiannya. Ia menulis sebuah surat kepada orang Yahudi di Khaybar, sebuah
oasis sekitar 100 mil di utara Medina, menjelaskan siapa dirinya dan mengapa
mereka harus menerima klaim-klaimnya. Surat itu dimulai dengan mengutip Qur’an
dan mengemukakan bahwa orang Yahudi akan menemukan tulisan yang sama
dalam Kitab Suci mereka. (Sura 48:29) lalu Muhammad menantang mereka
secara langsung untuk mencari dalam kitab-kitab mereka tanda-tanda
kedatangannya:

“Aku mendesakmu demi Tuhan, dan demi apa yang telah diturunkan-Nya
padamu, demi manna dan burung puyuh yang telah diberi-Nya sebagai
makanan kepada suku-suku kalian sebelumnya, dan demi perbuatan-Nya
mengeringkan air laut bagi leluhurmu ketika Ia melepaskanmu dari Firaun dan
pekerjaan-pekerjaan-Nya, agar kamu mengatakan padaku: ‘Apakah kamu
menemukan dalam apa yang telah diturunkan-Nya padamu bahwa kamu
harus percaya kepada Muhammad?”(19)

Disini Muhammad mengutip sebagian dari apa yang kini dikenal sebagai ayat
yang paling terkenal dalam keseluruhan Qur’an, Sura 2:256, yang juga memuat
pepatah, “Tidak ada pemaksaan dalam agama”. Namun demikian, kebaikan orang
Yahudi di Arabia mengindikasikan bahwa ayat ini tidak dianggap bahkan dalam
masa Muhammad sebagai sebuah undangan terbuka terhadap pluralisme
keagamaan dan sebuah himbauan kepada orang Muslim untuk hidup
berdampingan secara damai dalam kesetaraan dengan non-Muslim.

Beberapa tanda mengenai hal ini segera terlihat melalui akibat dari suratnya
itu kepada orang Yahudi di Khaybar. Beberapa orang Yahudi menjawab tantangan
Muhammad semampu mereka. Seseorang menjelaskan bahwa Muhammad “tidak
membawa pada kita apapun yang kita kenal dan dia bukanlah orang yang kami
bicarakan padamu” – yaitu, ia bukanlah Mesias yang dibicarakan orang Yahudi
pada orang Arab sebelum Muhammad memulai karir kenabiannya. Sebagai
responnya Muhammad menerima sebuah wahyu: “Dan setelah datang kepada

95
mereka Al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka,
padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa
yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah
atas orang-orang yang ingkar itu” (Sura 2:89). Seorang pemimpin Yahudi lainnya
mengatakan bahwa “Tidak ada ikatan perjanjian yang dibuat dengan kami
mengenai Muhammad”. Allah kemudian menjawab melalui nabi-Nya: “Patutkah
(mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji,
segolongan mereka melemparkannya? Bahkan sebahagian besar dari mereka
tidak beriman” (Sura 2:100).

Di sekitar waktu penyerangan Nakhla, Muhammad mulai menyerah/tidak


yakin kalau orang Yahudi akan mau menerimanya sebagai seorang nabi.
Sebelumnya, pada waktu Perjalanan Malam, ia telah secara tidak langsung
membuat sebuah klaim bahwa ia mempunyai hubungan yang lebih kuat dengan
Abraham daripada mereka: “Aku lebih mirip nabi Ibrahim (Abraham) daripada
semua keturunannya yang lain”.(20)

Pada titik ini ia menerima sebuah wahyu dari Allah yang memerintahkan
orang Muslim untuk menghadap Mekkah dan bukannya Yerusalem ketika
bersembahyang dan mengumumkan bahwa sembahyang dengan kiblat
Yerusalem hanyalah sebuah ujian bagi orang beriman.

Kemudian Allah memberikan kiblat yang baru, mengatakan pada Muhammad


bahwa itu akan memberinya sukacita: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan dimana saja
kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (Sura 2:144). Wahyu itu bahkan
mengemukakan bahwa orang Yahudi dan orang Kristen (“para ahli kitab”)
mengetahui bahwa kiblat orang Muslim yang baru adalah kiblat yang tepat: “Dan
sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan
Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (Sura
2:144). Orang-orang yang ingkar diperingatkan: “Dan dari mana saja kamu keluar,
maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam...” (Sura 2:150).

Berita tersebar dengan cepat diantara orang Muslim. “Sementara beberapa


orang berada di Quba (persembahan) doa pagi, seorang pria mendatangi mereka
dan berkata, ‘Semalam ayat-ayat Qur’an telah diwahyukan yaitu bahwa nabi telah
diperintahkan untuk menghadap Ka’bah (di Mekkah), jadi kamu juga harus
menghadap kesana’. Lalu mereka, tetap dalam sikap tubuh mereka, berpaling ke
arah Ka’bah. Sebelumnya orang menghadap Sham (Yerusalem)”.(21)

Beberapa tradisi melaporkan bahwa beberapa rabbi menemui Muhammad


pada saat itu dan mengatakan padanya bahwa mereka akan mengumumkan dia
sebagai nabi dan menerima Islam jika ia mengembalikan kiblat umatnya kembali
96
menghadap Yerusalem.(22) Sang nabi Islam menolak, dan menerima wahyu
lainnya: “Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan
berkata:’Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya
(Baitulmakdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’ katakanlah:
‘Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus” (Sura 2:142).

Setelah berhenti dari kecenderungannya mula-mula untuk membujuk orang


Yahudi sebagai pihak otoritas berkenaan dengan apa yang telah diwahyukan
Allah, Muhammad mulai mengkritik mereka karena menutupi sebagian wahyu.
Pada satu kesempatan, nabi Islam menantang mereka sehubungan dengan
hukuman yang tepat untuk satu pasangan yang telah dituduh melakukan
perzinahan: “Apakah yang kamu dapati di dalam Taurat”, Muhammad bertanya
pada mereka, “mengenai hukum rajam (lempar batu)?”

Orang Yahudi menjawab, “Kami mengumumkan kejahatan mereka dan


mencambuk mereka”.

Namun demikian, pada titik ini Abdullah bin Salam yang tadinya adalah rabi
Yahudi dan kemudian memeluk Islam bergegas menolong Muhammad. “Kamu
berdusta”, kata Abdullah. “Taurat memuat hukum rajam”. Kemudian salah seorang
Yahudi membaca dari Taurat, tetapi melompati ayat yang memerintahkan
melempari batu pada seorang pezinah, menutupinya dengan tangannya.(23)
“Angkat tanganmu!” teriak Abdullah, dan ayat itu kemudian dibaca apa adanya.
Muhammad berteriak, “Celakalah kamu orang Yahudi! Apa yang telah membuat
kamu mengabaikan penghakiman Tuhan yang kamu pegang di tanganmu?” Dan ia
menambahkan: “Akulah yang pertama yang akan menghidupkan perintah Tuhan
dan Kitab-Nya dan mempraktekkannya”.(24)

Muhammad memerintahkan pasangan itu dilempari batu sampai mati;


seorang Muslim ingat, “Aku melihat pria itu berbaring di atas wanita itu untuk
melindunginya dari batu-batu”.(25)

Episode ini tidak hanya mengungkapkan pemisahan yang tajam mengenai


belas kasihan antara Yahudi dan Islam, tetapi kontras antara pengajaran
Muhammad dengan pengajaran Yesus (“barangsiapa yang tidak berdosa boleh
melemparkan batu yang pertama”) dapat sangat jelas terlihat – dan perbedaan
yang telah membentuk sejarah, budaya, dan ide-ide mengenai kemurahan dan
keadilan antara Muslim dan Kristen.

97
Catatan Kaki

1. Ibn Sa’d, vol. I, 261. This is the conventional dating; however, Ibn Sa’d also records
other traditions that differ widely over the length of Muhammad’s stay in Mecca.
2. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4492.
3. Ibn Ishaq, 231-233.
4. Ibid., 239.
5. Ibid., 240-241.
6. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4480.
7. Ibn Ishaq, 240-241.
8. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4480.
9. Ibn Ishaq, 240-241.
10. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4480.
11. Ibn Ishaq, 240-241.
12. Ibn Sa’d, vol. I, 188.
13. Ahmad Von Denffer, ‘Ulum al-Qur’an: An Introduction to the Sciences of the Qur’an,
The Islamic Foundation, 1994, 136.
14. Tafsir Ibn Kathir, vol. 1, 87.
15. Ibn Ishaq, 247.
16. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 3012. Other traditions (nos. 3014 and 3015) have Muham-
mad forbidding the killing of women and children.
17. Ibn Ishaq, 287-288.
18. Ibid., 288.
19. Ibid., 256.
20. Bukhari, vol. 4, book 60, no. 3394.
21. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4493.
22. Ibn Ishaq, 259.
23. Bukhari, vol. 4, book 61, no. 3635.
24. Ibn Ishaq, 267.
25. Bukhari, vol. 4, book 61, no. 3635.

98
PASAL 7

PERANG ADALAH PENIPUAN

• Perang Badr: kemenangan terbesar jihad Islam yang pertama

• Penjelasan teologis mengenai perang Badr

• Kontroversi di seputar rampasan perang

• Peperangan Muhammad melawan suku-suku Yahudi

• Muhammad memerintahkan pambantaian atas musuh-musuhnya

• Orang Quraysh menyerang balik: Perang Uhud

Perang Badr

Dengan semakin memburuknya hubungan Muslim dengan orang Yahudi,


mereka kemudian mencapai titik akhir perpisahan mereka dengan orang Quraysh.
Penyerangan-penyerangan yang dilakukan orang Muslim terhadap karavan-
karavan Quraysh menimbulkan perang besar Muslim yang pertama. Muhammad
mendengar bahwa sejumlah besar karavan Quraysh yang memuat uang dan
barang sedang dalam perjalanan dari Syria. “Ini adalah karavan orang Quraysh
yang membawa harta”, katanya pada para pengikutnya. “Nampaknya Allah akan
memberikannya padamu sebagai jarahan”.(1) Ibn Ishaq melaporkan bahwa
“orang-orang itu menanggapi perintahnya, ada yang penuh semangat, sedang
yang lainnya agak enggan karena mereka tidak berpikir bahwa rasul akan pergi
berperang”. Muhammad menerima sebuah wahyu dari Allah yang mencaci-maki
orang Muslim yang tidak mau berperang bagi sang nabi Islam: “Dan orang-orang
yang beriman berkata: ‘Mengapa tiada diturunkan suatu surat? Maka apabila
diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya
(perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya
memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati,
dan kecelakaanlah bagi mereka” (Sura 47:20).

Allah memerintahkan para pengikut Muhammad untuk berperang dengan


kejam dan memenggal kepala musuh-musuh mereka: “Apabila kamu bertemu
dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher
mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah
mereka; sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan
sampai perang berhenti” (Sura 47:4a). Ia mengingatkan mereka bahwa ini adalah
kehendak-Nya, dan sebuah ujian yang diberikan-Nya kepada mereka:

99
“Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan
mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang
lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-
nyiakan amal mereka” (Sura 47:4b).

Muhammad bersiap pergi ke Mekkah untuk memimpin penyerangan. Ia tahu


bahwa orang Quraysh akan mempertahankan karavan mereka dengan pasukan
tentara kali ini, tapi ia yakin: “Majulah dengan berani”, katanya pada pasukannya,
“karena Tuhan telah menjanjikan padaku salah-satu dari keduanya” – yaitu entah
karavan atau tentaranya. “Dan demi Tuhan, sekarangpun aku sudah dapat
melihat musuh (kita) bersujud”.(2) Ketika ia melihat orang Quraysh maju
mendekati orang Muslim, ia berdoa: “Oh Tuhan, sudah datang orang Quraysh itu
dengan kesombongan dan kehampaan mereka, melawan Engkau dan memanggil
rasul-Mu seorang pembohong. Oh Tuhan, berikanlah pertolongan yang telah
Engkau janjikan padaku. Hancurkanlah mereka pagi ini!”(3) Seorang pemimpin
Quraysh, Abu Jahl (yang berarti “Bapa kebebalan”, nama yang diberikan padanya
oleh sejarawan Muslim; nama aslinya adalah ‘Amr ibn Hisham), juga merasa
bahwa sebuah peristiwa yang penting akan terjadi. Sambil meminyaki jubah
sebelum berperang, ia berkata: “Tidak, demi Tuhan, kita tidak akan mundur hingga
Tuhan memutuskan antara kita dengan Muhammad”.(4)

Dan kali ini orang Quraysh sudah lebih siap untuk menghadapi orang Muslim
ketimbang waktu mereka berperang di Nakhla. Mereka menemui 300 pengikut
Muhammad dengan kekuatan hampir 1000 orang.(5) Muhammad nampaknya
tidak menduga jumlah itu dan berteriak kepada Allah dalam kecemasan: “Oh
Tuhan, jika gerombolan ini binasa hari ini, Engkau akan lebih lagi disembah”. Tapi
setelah beristirahat sebentar Muhammad merasa lebih baik, dan berkata kepada
pengikut utamanya Abu Bakr, yang akan menggantikannya sebagai pemimpin
orang Muslim: “Kuatkanlah hatimu, Abu Bakr. Pertolongan Tuhan telah datang
padamu. Lihatlah Jibril memegang tali kekang kuda dan memimpinnya. Debu ada
di gigi depannya”.(6)

Muhammad berkuda diantara pasukannya dan memberikan sebuah janji


yang penting – janji yang telah memberanikan hati para pejuang Muslim di
sepanjang abad: “Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad, tidak
seorangpun yang akan dibunuh pada hari ini saat memerangi mereka dengan
keberanian penuh dan tidak mundur karena Tuhan akan membuatnya masuk ke
Firdaus”. Salah seorang dari pejuang Muslim, ‘Umar bin al-Humam, berkata:
“Baiklah, baiklah! Tidak adakah sesuatu hal diantara aku dan jalanku menuju ke
Firdaus yang harus dibunuh oleh orang-orang ini?” Ia melemparkan beberapa
kurma yang telah dimakannya, bergegas ke medan perang yang dahsyat, dan
bertempur sampai ia terbunuh. Juga seorang pejuang Muslim, ‘Auf bin Harith,
bertanya pada Muhammad, “Wahai rasul Allah, apakah yang membuat Allah
tertawa dengan sukacita pada hamba-Nya?” Muhammad menjawab, “Ketika ia
terjun ke tengah-tengah musuh tanpa perlindungan”. ‘Auf menanggalkan jubahnya

100
dan terjun ke tengah pertempuran, bertempur dengan sekuat tenaga hingga ia
terbunuh.(7)

Sang nabi Islam mengambil beberapa kerikil dan melemparkannya ke arah


orang Quraysh, dan berkata: “Busuklah wajah-wajah itu!” Kemudian ia
memerintahkan orang-orang Muslim untuk menyerang.(8) Walaupun jumlah
mereka lebih banyak, orang Quraysh mengalami kekalahan. Beberapa tradisi
Muslim mengatakan bahwa Muhammad sendiri turut serta dalam peperangan;
yang lainnya menceritakan bahwa ia hanya memberi semangat pada para
pengikutnya dari pinggir medan perang. Dalam peristiwa apapun, itu adalah
kesempatan baginya untuk membalas dendamnya karena selama bertahun-tahun
dijalaninya dengan frustrasi, penolakan, dan kebencian kepada kaumnya yang
telah menolaknya. Salah seorang pengikutnya kemudian teringat akan sebuah
kutuk yang diucapkan Muhammad terhadap para pemimpin Quraysh: “Nabi
berkata, ‘O Allah! Hancurkanlah para pemimpin Quraysh, O Allah! Hancurkanlah
Abu Jahl bin Hisham, ‘Utba bin Rabi’a, Shaiba bin Rabi’a, ‘Uqba bin Abi Mu’ait,
‘Umaiya bin Khalaf (atau Ubai bin Khalaf)’”.(9)

Semua orang ini ditangkap atau dibunuh dalam perang Badr. Seorang
pemimpin Quraysh yang namanya disebut dalam kutuk itu, ‘Uqba, mohon belas
kasihan atas hidupnya: “Siapakah yang akan mengurus anak-anakku, wahai
Muhammad?”

Dalam konfrontasi itu, ‘Uqba telah melemparkan kotoran unta, darah dan isi
perut kepada nabi Islam, demi kesenangan pemimpin Quraysh, ketika Muhammad
sedang sujud bersembahyang.(10) Muhammad telah mengucapkan kutuk atas
mereka, dan kini kutuk itu sedang digenapi. Siapa yang akan memperhatikan
anak-anak ‘Uqba? “Neraka”, kata Muhammad, lalu ia memerintahkan agar ‘Uqba
dibunuh.(11)

Abu Jahl dari kaum Quraysh dipenggal. Orang Muslim yang memenggal
kepalanya dengan bangga membawanya sebagai trofi kepada Muhammad: “Aku
telah memenggal kepalanya dan membawanya kepada rasul dan berkata, ‘Inilah
kepala dari musuh Tuhan, Abu Jahl’”.

Muhammad sangat senang. “Demi Tuhan dan bukankah tiada yang lain
selain Dia?” katanya, dan bersyukur kepada Allah atas kematian musuhnya.(12)

Menurut catatan lainnya, dua orang muda Muslim membunuh Abu Jahl ketika
ia sedang “berjalan diantara kaumnya”. Salah seorang pembunuh menjelaskan
mengapa: “Aku telah diberitahu bahwa ia melecehkan Utusan Allah. Demi Dia
yang memegang jiwaku, jika aku bertemu dengannya, maka tubuhku tidak akan
meninggalkan tubuhnya hingga salah-satu diantara kami bertemu dengan takdir”.
Setelah mereka melakukan perbuatan itu, mereka menemui nabi Islam yang
bertanya, “Siapakah diantara kalian yang telah membunuhnya?”

101
Kedua orang muda itu menjawab, “Aku telah membunuhnya”.

Muhammad memikirkan cara untuk memecahkan masalah ini, dan bertanya


pada mereka: “Apakah kalian telah membersihkan pedang kalian?” Mereka
mengatakan bahwa mereka belum melakukannya, lalu Muhammad memeriksa
senjata mereka dan berkata: “Tidak diragukan lagi, kalian berdua telah
membunuhnya dan barang-barang milik orang mati ini akan diberikan kepada
Mu’adh bin ‘Amr bin Al-Jamuh’”, yang adalah salah satu dari para pembunuh itu.
(13)

Jasad dari semua orang yang namanya disebutkan dalam kutuk itu dibuang
ke sebuah jurang. Seorang saksi mata menceritakan: “Kemudian aku melihat
mereka semua dibunuh dalam perang Badr dan jasad mereka dibuang ke dalam
sebuah sumur kecuali jasad Umaiya atau Ubai, karena ia adalah seorang yang
gemuk, dan ketika ia ditarik, bagian-bagian tubuhnya terpisah sebelum ia
dilemparkan ke dalam sumur”.(14) Kemudian Muhammad mengejek mereka
sebagai “orang-orang dalam jurang” dan memberikan sebuah pertanyaan teologis:
“Sudahkah kamu mendapati bahwa janji Tuhan itu benar? Aku telah mendapati
bahwa apa yang dijanjikan Tuhanku adalah benar”. Ketika ditanyai mengapa ia
bertanya pada jenazah, ia menjawab: “Kamu tidak dapat mendengar apa yang
kukatakan lebih baik daripada mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawab aku”.
(15)

Allah berperang bagi orang Muslim

Kemenangan di Badr merupakan titik balik bagi orang Muslim. Peristiwa itu
menjadi sebuah legenda, sebuah batu penjuru dari agama yang baru ini.
Muhammad bahkan menerima sebuah wahyu yang mengatakan bahwa pasukan
malaikat bergabung dengan orang-orang Muslim untuk memenggal orang Quraysh
– dan bahwa di masa depan pertolongan yang sama akan datang untuk orang-
orang Muslim yang setia kepada Allah: “Sungguh Allah telah menolong kamu
dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang
lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.
(Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin: ‘Apakah tidak cukup
bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari
langit)?’ Ya (cukup), jika kamu sabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang
kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu
Malaikat yang memakai tanda” (Sura 3:123-125). Allah mengatakan kepada
Muhammad: “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu,
lalu diperkenankan-Nya bagimu:’Sesungguhnya aku akan mendatangkan bala
bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut’. (Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku
bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman.
Kelak akan aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka
102
penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (ketentuan)
yang demikian adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-
Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya
Allah amat keras siksaan-Nya’” (Sura 8:9, 12-13). Ayat yang terakhir ini, yang
mengatakan bahwa para malaikat mendukung pemenggalan musuh-musuh Allah
dan Muhammad, menjadi salah satu pembenaran utama bagi praktek Islam – kini
dan nanti – untuk memenggal sandera dan tawanan perang.

Ibn Ishaq mengatakan bahwa Muhammad menerima wahyu lainnya yaitu


mengirimkan beberapa mantan Muslim yang telah berperang bersama dengan
orang Quraysh ke neraka: “Sesungguhnya orang-orang yang telah diwafatkan
malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat
bertanya: ‘dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami
orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)’. Para malaikat berkata: ‘Bukankah
bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ orang-orang itu
tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali”
(Sura 4:97).

Namun wahyu lainnya dari Allah menekankan bahwa kesalehan dan


bukanlah kekuatan militer, yang membawa kemenangan di Badr: “Sesungguhnya
telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur).
Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan
mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka.
Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati” (Sura 3:13). Allah mengingatkan orang Quraysh agar tidak
berusaha menyerang lagi, mengatakan pada mereka bahwa mereka akan
dikalahkan tak peduli berapa banyak jumlah mereka daripada orang Muslim (8:19).

Di bagian lain dalam Qur’an dikatakan bahwa orang Muslim di Badr hanyalah
alat yang pasif. Bahkan kerikil yang dilemparkan Muhammad ke arah orang
Quraysh, dilempar oleh Allah, bukan Muhammad: “Maka (yang sebenarnya) bukan
kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka,
dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk
memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang
baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Sura 8:17).
Dan Allah akan memberikan kemenangan-kemenangan semacam itu kepada
orang-orang Muslim yang saleh walaupun mereka menghadapi tantangan yang
lebih besar daripada apa yang telah mereka kalahkan di Badr: “Hai nabi,
kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua
ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka
dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang
kafir itu kaum yang tidak mengerti” (Sura 8:65).

103
Ini menjadi tema yang berulang dalam literatur jihad sepanjang abad, hingga
hari ini: kesalehan akan membawa kemenangan militer, Allah akan mengirim para
malaikat untuk berperang bersama orang Muslim yang beriman, dan mereka akan
menaklukkan bahkan mengalahkan semua tantangan. Kemenangan di Badr terus
bergema di sepanjang sejarah. Dalam kasus pemenggalan kepala sandera
Amerika Nicholas Berg pada Mei 2004, sebagai contoh, pemimpin jihad Irak Abu
Musab al-Zarqawi mengobarkan perang besar: “Bukankah sudah waktunya bagi
kamu (orang Muslim) untuk mengambil jalan jihad dan mengangkat pedang nabi
segala nabi?...Nabi, yang maha pemurah, memerintahkan (tentaranya) untuk
menebas leher beberapa tawanan di (perang Badr) dan membunuh mereka...dan
ia telah memberikan teladan yang baik bagi kita”.(16)

PERMASALAHAN MENGENAI RAMPASAN PERANG

Allah memberi upah kepada orang-orang yang telah diberi-Nya kemenangan. Ada
rampasan perang yang sangat banyak bagi para pemenang – begitu banyaknya,
kenyataannya, itu menjadi sumber pertikaian. Masalah ini begitu memecah-belah
sehingga menjadi sebuah ancaman hingga Allah sendiri berbicara mengenai hal
itu dalam sebuah bab dalam Qur’an yang keseluruhannya dikhususkan untuk
merefleksikan perang Badr: bab atau Sura ke-8, yang berjudul Al-Anfal,
“Rampasan Perang” atau “Jarahan”. Allah mengingatkan orang Muslim untuk tidak
menganggap rampasan perang yang dimenangkan di Badr boleh dimiliki orang
lain kecuali Muhammad: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian)
harta rampasan perang. Katakanlah: ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah
dan Rasul,sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan
diantara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah
orang-orang yang beriman’” (Sura 8:1). Akhirnya, Muhammad membagikan
rampasan perang diantara orang Muslim dengan sama rata, dan mengambil
seperlima bagian untuk dirinya (8:41). Ini sesuai dengan hak istimewa yang
diberikan Allah kepada Muhammad. Muhammad menjelaskan: “Aku telah
diberikan lima (hal) yang tidak diberikan kepada nabi siapapun sebelum aku. Ini
termasuk kenyataan bahwa “Allah membuat aku menang dengan menakjubkan
(dengan cara ia menakut-nakuti musuh-musuhku)” dan “rampasan perang yang
telah dihalalkan untukku (dan tidak demikian untuk siapapun juga)”.(17)

Muhammad mewujudkan hak istimewa ini di Badr ketika dua dari sahabat
pentingnya, Abu Bakr dan Umar, tidak bersepakat mengenai apa yang harus
mereka lakukan pada para tawanan:

“Orang-orang Muslim pada hari itu (yaitu pada hari peperangan di Badr)
membunuh 70 orang dan menangkap 70. Utusan Allah (kiranya damai ada
atasnya) berkata kepada Abu Bakr dan ‘Umar (kiranya Allah berkenan pada
mereka): ‘Apakah pendapatmu mengenai para tawanan ini?’ Abu Bakr
berkata: ’Mereka adalah sanak keluarga kita. Menurutku engkau harus

104
melepaskan mereka setelah menerima tebusan untuk mereka. Ini akan
menjadi sumber kekuatan kita melawan orang kafir. Sangatlah mungkin Allah
akan menuntun mereka kepada Islam”.

Sudah tentu tebusan itu akan menambah rampasan perang bagi orang
Muslim. Tetapi Umar tidak setuju:

“Kemudian Utusan Allah (kiranya damai ada atasnya) berkata: ‘Apakah


pendapatmu, Ibn Khattab [yaitu Umar]?’ Ia berkata: ‘Utusan Allah, aku tidak
sependapat dengan Abu Bakr. Menurutku engkau harus menyerahkan
mereka kepada kami sehingga kami dapat memenggal kepala mereka.
Serahkanlah ‘Aqil kepada ‘Ali supaya ia dapat memenggal kepalanya, dan
serahkanlah kerabat siapapun kepadaku supaya aku dapat memenggal
kepalanya. Mereka adalah para pemimpin orang yang tidak beriman dan
veteran diantara mereka”.

Muhammad berpihak kepada Abu Bakr, tetapi keesokan harinya Umar dipanggil
menghadap Muhammad dan Abu Bakr meratap. “Utusan Allah”, katanya,
“mengapa engkau dan sahabatmu menangis?”

Muhammad menjawab, “Aku menangis karena apa yang telah terjadi pada
sahabat-sahabatmu karena mengambil tebusan (dari para tawanan). Aku telah
diperlihatkan siksaan yang mereka alami. Itu ditunjukkan padaku sedekat pohon
ini”. Dan ia menunjuk pohon yang terdekat. Sang nabi Islam sedang menceritakan
tentang siksaan dalam neraka, karena Allah berpihak kepada Umar, dan
menyatakan kepada Muhammad bahwa “tidak seorang nabi pun boleh mempunyai
tawanan hingga ia telah membantai orang di negeri”. Ia mengejek Muhammad
karena lebih menginginkan rampasan perang daripada melakukan keinginan Allah
yaitu melakukan pembantaian: “Kamu menginginkan godaan dunia ini dan Allah
menginginkan (bagi kamu) Akhirat, dan Allah itu Perkasa, Bijaksana”. Namun
demikian, para sahabat tidak akan mengalami siksaan yang telah menanti mereka
karena sebelumnya Allah telah mengijinkan Muhammad untuk mengambil
rampasan perang: “Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari
Allah, niscaya kamu akan ditimpa sisaan yang besar karena tebusan yang kamu
ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu,
sebagai makan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Sura 8:68-69).(18)

Sejak itu, tidak terhitung orang Muslim yang mengamini konsep bahwa membunuh
musuh-musuh Allah akan menolong untuk, menurut Ibn Ishaq, “mewujudnyatakan
agama yang ingin Ia nyatakan”.(19)

Orang Muslim telah bertumbuh, dari sekelompok kecil komunitas yang dihina,
menjadi sebuah kekuatan yang tidak boleh dianggap sepele oleh kaum pagan
Arab. Mereka mulai menebar teror dalam hati musuh-musuh mereka: “Dan

105
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)
kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka
yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang
kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu
dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” (Sura 8:60).

Perang Badr adalah contoh praktis pertama akan apa yang kemudian dikenal
sebagai doktrin Jihad Islam.

Kaum Yahudi Qaynuqa

Tenggelam dalam kemenangan, Muhammad melanjutkan operasi


perampokannya. Dalam sebuah penyerangan terhadap suku pagan Ghatafan, ia
dikejutkan oleh seorang pejuang musuh ketika ia sedang beristirahat. Pejuang itu
bertanya padanya: “Siapakah yang akan membelamu dari aku pada hari ini?”

Nabi Islam menjawab dengan tenang, “Allah” – lalu pejuang itu melepaskan
pedangnya. Muhammad segera mengambilnya dan bertanya, “Siapa yang akan
membelamu dari aku?”

“Tidak ada”, kata pejuang itu, dan ia mengucapkan kalimat syahadat, yaitu
pengakuan iman Islam (“Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasul-Nya”), dan menjadi seorang Muslim.(20)

Di sekitar waktu itu sikap Muhammad semakin keras terhadap suku-suku


Yahudi di wilayah itu. Panggilan kenabiannya kepada mereka mulai menekankan
pada siksaan duniawi daripada penghukuman di akhirat – yaitu siksaan duniawi di
tangan orang Muslim. Allah memberikan sebuah wahyu padanya yang
mengijinkan untuk memutuskan perjanjian yang telah dibuatnya dengan kelompok-
kelompok yang ia takutkan akan mengkhianatinya: “Dan jika kamu khawatir akan
(terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu
kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berkhianat” (Sura 8:58). Setelah ia menerima wahyu ini,
Muhammad berkata: “Aku takut akan Bani Qaynuqa” – yaitu suku Yahudi yang
mempunyai kesepakatan dengannya. Ia memutuskan untuk memerangi mereka.

Sambil berjalan di pusat perdagangan Qaynuqa, sang nabi Islam memberi


pengumuman kepada orang banyak: “Wahai orang Yahudi, hati-hatilah Tuhan
akan memberikan padamu pembalasan yang telah diberikan-Nya kepada orang
Quraysh dan jadilah Muslim. Kamu tahu bahwa aku adalah seorang nabi yang
telah diutus – kamu dapat membacanya dalam kitab-kitab sucimu dan perjanjian
Tuhan dengan kamu”. Ia menguatkan ancamannya dengan sebuah wahyu dari
Allah: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: ‘Kamu pasti akan dikalahkan (di
dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang

106
seburuk-buruknya. Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan
yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan
(segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan)
orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-
Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati” (Sura 3:12-13). Sudah
tentu kedua pasukan yang bertemu adalah orang Muslim dan orang Quraysh di
Badr.

Orang Yahudi Qaynuqa menjawab dengan mencemooh, membuat nabi Islam


menjadi semakin marah karena merendahkan pengharapannya bahwa orang
Yahudi akan menerimanya sebagai seorang nabi: “Wahai Muhammad, nampaknya
kau mengira kami adalah kaummu. Janganlah menipu dirimu sendiri karena
engkau berhadapan dengan kaum yang tidak mempunyai pengetahuan tentang
perang dan berhasil mengalahkan mereka; karena demi Tuhan jika kami
memerangimu, engkau akan melihat bahwa kami adalah laki-laki sejati!”(22)

Pasukan Muhammad mengepung Qaynuqa hingga mereka menawarkan


padanya penyerahan tanpa syarat. Tetapi orang Qaynuqa telah membuat
kesepakatan dengan beberapa Muslim, dan sekarang mereka mengajukan
masalah mereka pada nabi Islam. Muhammad ingin agar semua pria suku itu
dibunuh.(23) Namun demikian, seorang Muslim – salah seorang dari para
Munafik – yang bernama Abdullah bin Ubayy berkata kepada Muhammad: “Wahai
Muhammad, bersikaplah baik kepada para klien saya”. Muhammad
mengabaikannya, maka Abdullah mengulangi permohonannya, sehingga nabi
Islam memalingkan wajahnya dari Abdullah. Abdullah bin Ubayy kemudian dengan
segera mencengkeram leher jubah Muhammad, yang menurut Ibn Ishaq,
“membuat rasul menjadi sangat marah sehingga wajahnya hampir menjadi hitam”.
Muhammad berkata kepada Abdullah, “Jahanam kau, lepaskan aku”.

Tetapi Abdullah menjawab, “Tidak, demi Tuhan, aku tidak akan


melepaskanmu sampai engkau bersikap baik kepada para klienku. Empat ratus
pria dan tiga ratus lagi melindungi aku dari musuh-musuhku; apakah engkau akan
memenggal mereka semua dalam sehari? Demi Tuhan, aku adalah orang yang
takut kalau situasi dapat berubah”. Muhammad kemudian meluluskan
permintaanya, setuju untuk membiarkan orang Qaynuqa tetap hidup asalkan
mereka menyerahkan harta kepunyaan mereka sebagai rampasan perang kepada
orang Muslim dan meninggalkan Medina, yang kemudian mereka lakukan dengan
segera.

Namun, Muhammad masih tidak senang dengan kesepakatan yang dibuat


Abdullah dengan suku Yahudi itu. Pada titik inilah ia menerima sebuah wahyu
penting mengenai hubungan yang seharusnya terjadi antara orang Muslim dan
non-Muslim: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-
orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka

107
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain...Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (Sura 5:51). Dan Allah menghina dengan
kalimat-kalimat yang keras mereka yang, seperti Abdullah bin Ubayy, takut
kehilangan prospek bisnis karena kemalangan orang Qaynuqa (5:52).(24)

Kemarahan terhadap orang Yahudi dan orang Kristen

Jelaslah permohonan Abdullah bin Ubayy agar orang-orang Yahudi


dibiarkan hidup tidak bersesuaian dengan Muhammad, dan ia menjadi lebih marah
lagi pada orang Yahudi. Sebuah wahyu menempatkan mereka di bawah kutuk
Allah karena mengganti isi dari wahyu-wahyu terdahulu, dan mengemukakan
bahwa banyak diantara mereka yang tidak dapat dipercayai: “(Tetapi) karena
mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka
keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya,
dan mereka sengaja melupakan (sebagian) dari apa yang mereka telah
diperingatkan dengannya dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat
kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat)..”
Namun Allah masih memberikan kemurahan: “...maka maafkanlah mereka dan
biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”
(Sura 5:13). Maafkanlah mereka, tapi tidak usah berharap lagi mereka akan
memeluk Islam: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya
kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka
mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”
(Sura 2:75).

Seorang utusan orang Kristen dari Najran datang untuk mendiskusikan soal
teologi dengan Muhammad, dan nabi Islam tidak sabar terhadap mereka. Ia
sangat terusik dengan pengakuan mereka bahwa Yesus adalah Putra Tuhan,
karena – seperti yang seirng dikatakannya – “Tidak layak bagi Allah mempunyai
anak, Maha Suci Dia” (Sura 19:35). Nabi Islam bersungguh-sungguh mengoreksi
kesalahan-kesalahan teologi Kristen: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang
yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih Putra Maryam’. Katakanlah:
‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika
Dia hendak membinasakan Al Masih Putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh
orang-orang yang berada di bumi semuanya?’ Kepunyaan Allah-lah kerajaan
langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Sura 5:17). Yesus
tidak ilahi dan tidak disalibkan – dan nabi Islam menghardik orang Yahudi karena
menyombongkan diri bahwa mereka telah menyalibkan-Nya: “Dan karena ucapan
mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh Al masih, Isa Putra Maryam, Rasul
Allah’, padahal mereka tidak membunuh-Nya, dan tidak (pula) menyalib-Nya,
tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi
mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang

108
(pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu.
Mereka tidak punya keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu
adalah Isa” (Sura 4:157).

Dengan menunjukkan hanya sedikit pemahaman akan doktrin Kristen


mengenai Trinitas, Muhammad mengumumkan dalam sebuah wahyu lainnya
bahwa Yesus sendiri akan menyangkali doktrin ini ketika ditanyai oleh Allah: “Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai, ‘Isa Putra Maryam, adakah Kamu
mengatakan kepada manusia: Jadikanlah Aku dan ibuku dua orang tuhan selain
Allah? Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa
yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka
tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada
diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib’” (Sura 5:116).

Lalu bagaimana orang-orang Kristen mendapatkan gagasan ini? Karena


mereka telah jauh dari apa yang sebenarnya diajarkan Yesus: “Dan diantara
orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang
Nasrani’, ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja)
melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya;
maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari
kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu
mereka kerjakan” (Sura 5:14).

Muhammad menghimbau baik orang Yahudi maupun orang Kristen untuk


memeluk Islam, menghadirkan Islam sebagai sebuah koreksi terhadap Yudaisme
dan Kekristenan pada jamannya, dan pemulihan pengajaran-pengajaran asli dari
Musa dan Yesus: “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul
Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan,
dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu
cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan” (Sura 5:15-16).

Pembunuhan dan penipuan

Setelah perang Badr dan penyerangan terhadap orang Yahudi Qaynuqa, Nabi
Islam mengarahkan kemarahannya kepada penyair Yahudi Ka’b bin Al-Ashraf,
yang menurut Ibn Ishaq, “menyusun ayat-ayat picisan yang bersifat penghinaan
terhadap wanita Muslim”.(25) Dengan amarah Muhammad bertanya kepada para
pengikutnya: “Siapakah yang mau membunuh Ka’b bin Al-Ashraf yang telah
menyakiti Allah dan Rasul-Nya?”(26)

109
Ia mendapatkan seorang pemuda Muslim yang mau menjadi sukarelawan,
yang bernama Muhammad bin Maslama: “Utusan Allah, apakah engkau
menginginkan agar aku membunuhnya?”

Nabi Islam menjawab dengan ketegasan, dan Muhammad bin Maslama


membuat sebuah permohonan: “Maka ijinkanlah aku untuk mengatakan suatu hal
(yang tidak benar) (yaitu untuk menipu Ka’b)”.

Nabi Islam kemudian memilih jalan yang menguntungkan ketimbang norma


normal: “Engkau boleh mengatakannya”.

Kemudian Muhammad bin Maslama pergi menemui Ka’b dan mulai mengeluh
mengenai tuannya. “Orang itu [yaitu Muhammad] menuntut Sadaqa [zakat,
sedekah] dari kami, dan ia telah menyusahkan kami, dan aku datang untuk
meminjam sesuatu darimu”.

Ka’b tidak terkejut, dan berkata: “Demi Allah, kamu akan jadi muak
padanya!”(27)

Muhammad bin Maslama memainkan sandiwaranya dengan sungguh-


sungguh. “Kedatangan orang itu [nabi] adalah sebuah kesusahan besar bagi kami.
Kedatangannya memprovokasi kekerasan orang Arab, dan mereka semua bersatu
melawan kami. Jalanan tidak dapat lagi dilalui sehingga keluarga-keluarga kami
menjadi sangat miskin, dan kami dan keluarga-keluarga kami berada dalam
kesusahan besar”.(28) Kemudian Muhammad bin Maslama menawarkan Ka’b
sebuah kesepakatan, berusaha untuk mendaftarkan bantuan si penyair untuk
menolongnya memisahkan diri dari Islam dan nabinya: “Kini karena kami telah
mengikutinya, kami tidak ingin meninggalkannya kecuali hingga kami melihat
bagaimana akhir hidupnya. Kini kami ingin engkau meminjamkan kami unta yang
memuat makanan”. Ini bukanlah terakhir kalinya dalam sejarah ada seorang
Muslim yang mengaku tidak senang dengan Muhammad dan agamanya, dan
berminat untuk mengadakan perjanjian dengan seorang non-Muslim. Dan ini juga
bukanlah kali yang pertama orang non-Muslim tertipu, bahkan hingga harus
membayar harga dengan nyawanya.

Ka’b setuju dengan rencana Muhammad bin Maslama, tapi dengan satu
keberatan: “Ya (aku akan meminjamkanmu), tapi engkau harus menggadaikan
sesuatu padaku...Gadaikanlah perempuanmu padaku”.

Muhammad bin Maslama menjadi ragu: “Bagaimana kami dapat


menggadaikan perempuan kami padamu sedang kau adalah yang paling tampan
dari semua orang Arab?” Akhirnya mereka membuat perjanjian dengan
persyaratan yang lain, dan Muhammad bin Maslama berjanji untuk kembali malam
itu. Ia kembali, bersama dengan saudara angkatnya Abu Na’ila dan beberapa
orang lainnya. Setelah mendapatkan kepercayaan Ka’b, Muhammad bin Maslama
dan orang-orang yang bersamanya menemui Ka’b. Agar ia berada sangat dekat

110
Ka’b untuk dapat membunuhnya, Muhammad bin Maslama mengaku bahwa ia
mengagumi parfum Ka’b: “Belum pernah kucium wangi yang lebih baik daripada
ini...Bolehkah aku mencium kepalamu?” Ka’b mengijinkannya; teman-teman
Muhammad bin Maslama menciumnya juga. Kemudian Muhammad bin Maslama
mencengkeram Ka’b dengan sangat kuat, dan memerintahkan para sahabatnya:
“Bunuh dia!” Mereka membunuh Ka’b, dan kemudian bergegas memberitahu nabi,
sambil membawa kepala Ka’b.(29) Ketika Muhammad mendengar berita itu, ia
berteriak, “Allahu akbar!” dan memuji Allah atas kematian musuhnya.(30)

Orang-orang Yahudi yang marah berkata kepada Muhammad: “Pemimpin


kami telah dibunuh dengan licik”. Muhammad, menurut Ibn Sa’d, mengingatkan
mereka akan kesalahan-kesalahannya dan bagaimana ia telah menghasut mereka
dan membuat mereka senang untuk berperang dengan orang Muslim dan
bagaimana ia telah menyakiti mereka”.(31) Pembunuhan itu, dengan kata lain,
terjadi setelah provokasi yang intens – sebuah pembelaan diri yang digunakan
para jihadis hingga hari ini untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka.

Setelah pembunuhan Ka’b, Muhammad mengeluarkan sebuah perintah:


“Bunuh semua Yahudi yang jatuh ke dalam kekuasaanmu”.(32) Ini bukanlah
sebuah perintah militer: korban pertama adalah seorang pedagang Yahudi, Ibn
Sunayna, yang mempunyai “relasi sosial dan bisnis” dengan orang Muslim. Si
pembunuh, Muhayissa, ditegur keras atas perbuatannya itu oleh saudaranya
Huwayissa, yang bukan seorang Muslim. Muhayissa tidak bertobat. Ia mengatakan
kepada saudaranya: “Jika orang yang memerintahkan aku untuk membunuhnya
juga memerintahkan aku untuk membunuhmu maka aku akan memenggal
kepalamu”.

Huwayissa terkesan: “Demi Tuhan, agama yang telah membuatmu seperti ini
pastilah sangat hebat!” Ia kemudian menjadi Muslim.(33) Hingga hari ini dunia
masih melihat kehebatan seperti itu: Mohammed Robert Heft, seorang Kanada
yang berpaling kepada Islam, secara pribadi berkenalan dengan beberapa orang
dari 17 perencana teror jihad yang ditangkap pada Juni 2006, menjelaskan bahwa
secara pribadi ia telah mengikuti para ekstrimis, dan selama itu ia akan membunuh
orang-tuanya jika mereka merecoki komitmennya kepada Islam.(34) Muhayissa
dan Huwayissa pasti mengerti.

Pada kesempatan lain Muhammad mengijinkan salah satu pengikutnya untuk


kembali menggunakan tipuan supaya bisa membunuh musuhnya yang lain, yaitu
Sufyan ibn Khalid al-Hudhali, yang oleh nabi Islam diumpamakan seperti Iblis itu
sendiri: “Jika kamu melihatnya”, katanya kepada si pembunuh, “kamu akan
menjadi takut dan tersesat dan kamu akan teringat kepada Satan”. Ketika tugas itu
telah terlaksana dan Sufyan wafat, Muhammad memuji si pembunuh dan
memberinya sebuah tongkat, dan berkata, “Berjalanlah dengan itu ke Firdaus”.(35)

111
Orang Quraysh balik menyerang

Setelah mengalami penghinaan di Badr, orang Quraysh berkeras untuk membalas


dendam. Mereka mengumpulkan 3000 tentara melawan 1000 Muslim di sebuah
gunung di dekat Mekkah yang disebut Uhud. Muhammad mengenakan 2 lapis
jubah dan pedang, memimpin orang Muslim ke medan perang. Muhammad
merasa yakin: ketika seorang Muslim bertanya padanya, “Wahai Rasul, bukankah
mestinya kita meminta bantuan dari para sekutu kita, orang-orang Yahudi?” Nabi
Islam menjawab: “Kita tidak memerlukan mereka”.(36) Atau boleh jadi ia sedang
memikirkan betapa hubungannya dengan orang Yahudi telah menjadi pahit.

Saat ini, orang Quraysh sudah menjadi lebih nekad, dan orang Muslim telah
dikepung. Muhammad sendiri berperang bersama pasukannya, melukai seorang
pejuang Quraysh bernama Ubayy bin Khalaf di tengkuknya. Beberapa tahun silam,
Ubayy pernah menghina nabi baru ini di Mekkah: “Muhammad, aku mempunyai
seekor kuda bernama ‘Aud yang kuberi makan jagung yang banyak setiap hari.
Aku akan membunuhmu sambil menungganginya”.

Muhammad menjawab, “Tidak, akulah yang akan membunuhmu jika Allah


menghendaki”. Ubayy mengingatnya ketika ia kembali ke perkemahan Quraysh, ia
terluka ringan di lehernya dan berkata, “Demi Tuhan! Muhammad telah
membunuhku”. Ketika orang Quraysh menjawab, “Demi Tuhan! Engkau telah
berkecil hati. Engkau tidak terluka”, Ubayy berkeras: “Ia mengatakan padaku di
Mekkah bahwa ia akan membunuhku, dan demi Tuhan, jika ia bertengkar
denganku maka ia akan membunuhku”. Ia meninggal dalam perjalanan kembali ke
Mekkah, dibunuh oleh sang nabi perang, seperti yang telah diramalkannya.(37)

Aisha kemudian menceritakan bahwa orang-orang Muslim awalnya menang


di Uhud, tapi kemudian pertahanan mereka jadi berantakan oleh karena adanya
intervensi supranatural: “Setan, kiranya kutuk Allah ada padanya, berteriak dengan
keras, ‘Wahai para penyembah Allah, hati-hatilah dengan apa yang ada di
belakang!’ Mendengar itu barisan depan tentara (Muslim) berpaling dan mulai
berperang dengan barisan belakang”.(38)

Dalam kebingungan, nabi Islam sendiri terluka wajahnya dan satu giginya
tanggal; bahkan ada kabar burung yang tersebar di medan perang yang
mengatakan bahwa ia terbunuh. Muhammad mencuci darah dari wajahnya dan
bersumpah untuk membalas dendam: “Murka Tuhan sangatlah besar terhadap
orang yang telah melukai wajah nabi-Nya”.(39) Kemudian ia meratapi lagi
penolakan orang Quraysh terhadap orang yang telah dipilih Allah dari antara
mereka untuk menjadi seorang nabi: “Bagaimanakah sebuah bangsa yang telah
melukai wajah nabinya akan berhasil?”(40) Namun dalam hal ini Allah
menasehatinya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu
atau Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena
sesungguhnya mereka itu orang-orang yang lalim” (Sura 3:128). Ketika Abu
Sufyan, pemimpin orang Quraysh, menghina orang Muslim, Muhammad
112
menegaskan kembali bahwa orang Quraysh semuanya memang benar-benar
pelaku kejahatan. Ia mengatakan kepada Umar, letnannya, untuk menjawab
demikian: “Tuhan itu Maha Tinggi dan Maha Mulia. Kita tidak setara. Orang-orang
kami yang mati ada di surga; sedangkan orang-orang kalian ada di neraka”.(41)

Muhammad kembali bersumpah untuk membalas dendam ketika ia


menemukan jenazah Hamza, pamannya. Hamza dibunuh di Uhud dan tubuhnya
dimutilasi dengan sangat mengerikan oleh seorang wanita bernama Hind bint
‘Utba, yang memotong hidung dan telinga Hamza dan memakan sebagian hatinya.
Ia melakukan ini sebagai pembalasan dendamnya kepada orang Muslim yang
telah membunuh ayahnya, saudaranya, pamannya, dan putra pertamanya di Badr.
Muhammad tidak ragu untuk memperlebar lingkaran dendamnya: “Jika Tuhan
memberikanku kemenangan atas orang Quraysh di masa depan”, ia berseru, “aku
akan memutilasi 30 pria mereka”. Karena tersentuh oleh duka dan kemarahannya,
para pengikutnya membuat sumpah yang sama: “ Demi Tuhan, jika Tuhan
memberikan kita kemenangan atas mereka di masa depan kita akan memutilasi
mereka seperti yang belum pernah dilakukan orang Arab terhadap siapapun
sebelumnya”.(42)

Insiden-insiden serupa masih mengisi surat-kabar pada masa kini. Setelah


para jihadis melakukan serangan di Irak atau Israel, para pejuang jihad
memperlakukan counter-measures oleh orang-orang Amerika atau pasukan Israel
sebagai serangan-serangan tanpa alasan, yang pantas menerima pembalasan
yang keji dan segera. Sejak itu, orang Muslim mulai berperang dengan mengikuti
teladan nabi perang mereka, dan ini telah menjadi standar mereka dalam
bertingkah-laku. Bukan “memberikan pipi yang satunya lagi”, namun memberi
sikap permusuhan terhadap musuh-musuh mereka.

Orang yang membunuh Hamza, yaitu Wahshi, mengetahui bahwa


Muhammad tidak akan membalas dendamnya dan membunuhnya jika ia menjadi
Muslim. Wahshi segera mengucapkan kalimat syahadat dan menemui nabi Islam.
Muhammad memintanya untuk menceritakan bagaimana ia membunuh
pamannya, dan kemudian berkata, “Celakalah engkau, sembunyikanlah wajahmu
dariku dan jangan sampai aku melihatmu lagi”.(43) Wahshi melakukan apa yang
diperintahkan padanya, dan hidup lebih lama dari sang nabi. Ini juga merupakan
apa yang membedakan orang beriman dengan orang yang tidak beriman, oleh
karena itu orang Muslim tidak akan membunuh sesamanya orang Muslim (kecuali
orang-orang yang mereka anggap sebagai bidat atau murtad), namun
menganggap murah hidup orang non-Muslim.

Mengurangi keraguan setelah peristiwa Uhud

Orang dapat saja berharap bahwa kekalahan di Uhud akan menggoyahkan


iman orang Muslim, oleh karena setelah Badr Muhammad seringkali menegaskan

113
bahwa Allah sendiri berperang bagi orang Muslim. Tetapi Muhammad sudah siap
dengan wahyu-wahyu yang lebih banyak lagi. Kali ini temanya adalah orang
Muslim mengalami kekalahan karena mereka tidak menaati Allah dan lebih fokus
pada rampasan perang daripada kemenangan. (Sura 3:152). Wahyu lainnya
mendorong orang Muslim untuk berperang dengan gagah berani, meyakinkan
mereka bahwa hidup mereka tidak berada dalam bahaya hingga hari dimana Allah
memutuskan bahwa mereka harus mati: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati
melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.
Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
dunia, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat kami berikan (pula)
kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang
yang bersyukur” (Sura 3:145).

Allah mengingatkan orang Muslim akan pertolongan-Nya pada mereka di


masa lalu, dan membuat pertolongan-Nya di masa depan bergantung pada
ketaatan mereka: “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar,
padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang lemah. Karena itu bertakwalah
kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan
kepada orang mukmin: ‘Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu
dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?’ Ya (cukup), jika kamu
sabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu
juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai
tanda” (Sura 3:123-125).

Sekali lagi sebuah pola telah ditetapkan: jika orang Muslim mengalami hal
yang buruk, para pemimpin Muslim akan menegaskan bahwa hal itu disebabkan
karena mereka (umat) kurang beragama/tidak cukup islami. Pada 1948, Sayyid
Qutb, seorang pemikir besar dari Persaudaraan Muslim, kelompok teroris Islam
modern yang pertama, mengumumkan kepada dunia Islam bahwa “kita hanya
perlu melihat dengan teliti sehingga dapat menyadari bahwa situasi sosial yang
kita alami sudah sedemikian buruknya”. Namun “kita senantiasa menyingkirkan
semua warisan spiritual kita, semua kemampuan intelektual kita, dan semua solusi
yang kemungkinan besar dapat memberi pencerahan terhadap semua ini; kita
mengesampingkan prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin fundamental kita sendiri, dan
kita menerima demokrasi, atau sosialisme, atau komunisme.”(44) Dengan
perkataan lain, satu-satunya jalan menuju sukses adalah Islam, dan semua
kegagalan bersumber dari meninggalkan Islam. Setelah Uhud, Allah berjanji pada
orang Muslim bahwa kemenangan tidak lama lagi akan kembali menjadi milik
mereka, jika mereka hanya bergantung pada-Nya dan menolak semua
kesepakatan dengan non-Muslim (Sura 3:149-151).

Hubungan teologis yang tajam antara kemenangan dan ketaatan di satu sisi
dan kekalahan dan ketidaktaatan di sisi yang lain ditekankan kembali setelah
kemenangan Muslim pada perang berikutnya, yaitu Perang Parit pada 627.
Muhammad sekali lagi menerima sebuah wahyu yang menghubungkan

114
kemenangan dengan intervensi supernatural Allah: “Hai orang-orang beriman,
ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang
kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan
tentara yang kamu tidak dapat melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan
apa yang kamu kerjakan” (Sura 33:9).

Deportasi Bani Nadir

Tidak lama setelah perang Uhud, beberapa anggota suku Yahudi, yaitu Bani
Nadir, berkonspirasi untuk membunuh Muhammad dengan menjatuhkan sebuah
batu yang besar ke atas kepalanya saat ia melewati salah satu rumah mereka.
Beberapa orang Muslim mengetahui rencana itu dan mengingatkan Muhammad.
Bukannya membujuk para pemimpin Nadir untuk menyerahkan orang-orang yang
bersalah itu, Muhammad malah mengirim pesan kepada Nadir: “Tinggalkan
negeriku dan jangan tinggal denganku. Kamu telah berencana untuk berkhianat”.
Orang yang membawa pesannya adalah Muhammad bin Maslama (pembunuh
Ka’b bin Ashraf), seorang anggota suku Aw di Medina yang pernah membuat
perjanjian dengan Bani Nadir. Tetapi ketika orang-orang Nadir memprotes dan
mengingatkan akan perjanjian itu, Muhammad bin Maslama menjawab: “Hati telah
berubah, dan Islam telah menghapus semua perjanjian yang terdahulu.”(45)

Abdullah bin Ubayy dan beberapa orang Munafik lainnya memaksa Bani
Nadir agar tidak pergi, dan berjanji untuk datang menolong mereka jika mereka
diserang. Oleh karena itu, Bani Nadir berkata kepada Muhammad: “Kami tidak
akan meninggalkan kediaman kami; maka lakukanlah yang kau anggap pantas
kau lakukan.” Dengan menempatkan tanggung-jawab kepada musuh yang
kemudian menjadi karakteristik para pejuang jihad sepanjang abad, Muhammad
berkata kepada orang-orang Muslim, “Orang Yahudi telah mengumumkan
perang.”(46) Allah memberikannya sebuah wahyu, meyakinkannya bahwa orang-
orang Munafik akan kelihatan sama curangnya seperti orang Yahudi terhadap
Muhammad. Ia menjanjikan kemenangan atas Bani Nadir kepada nabi Islam.
Bukankah Ia telah memberikan kemenangan kepada mereka yang “telah
mendahului mereka”, orang-orang Yahudi Qaynuqa? Allah akan memberikan
“teror” ke dalam hati orang Yahudi: “Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa
sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya.
Demikianlah balasan orang-orang yang lalim” (Sura 59:11-17).

Nabi Islam memerintahkan orang-orang Muslim bergerak maju memerangi


suku itu dan mengepung mereka. Selama pengepungan itu, ia memerintahkan
agar pohon-pohon kurma milik Bani Nadir dibakar.(47) Dengan terkejut Bani
Nadir bertanya padanya: “Muhammad, engkau telah melarang pengrusakan tanpa
alasan dan menyalahkan mereka yang melakukannya. Mengapa sekarang engkau
menebang dan membakar pohon-pohon palem kami?”(48) Allah membenarkan
tindakan Muhammad melalui sebuah wahyu yang baru: “Apa saja yang kamu
115
tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan
(tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan
karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik” (Sura 59:5).
Para apologis Islam seringkali mengutip larangan Muhammad terhadap
pengrusakan tanpa alasan – tetapi tidak menyebutkan pelanggaran yang
dilakukan Muhammad sendiri atas peraturan itu, dan peneguhan Allah terhadap
kejahatan itu.

Pengepungan terhadap Bani Nadir berlangsung selama 2 minggu, sebelum


akhirnya mereka sepakat untuk menjalani pembuangan. Muhammad mengijinkan
orang-orang Yahudi untuk membawa apa yang dapat mereka bawa dengan unta
mereka, tetapi menuntut agar mereka menyerahkan semua senjata mereka.(50)
Beberapa orang Nadir menghancurkan rumah mereka. Apa yang tidak dapat
dibawa orang-orang Yahudi itu menjadi milik pribadi Muhammad, yang ia bagikan
sebagai rampasan perang diantara para muhajiroun, yaitu orang-orang Muslim
yang telah berimigrasi dengannya dari Mekkah ke Medina.(51) Ia juga menyimpan
beberapa barang untuk dirinya sendiri dan sebagai persiapan untuk perang-perang
jihad berikutnya, seperti yang diceritakan Umar: “Harta benda yang ditinggalkan
Bani Nadir adalah pemberian Allah kepada Rasul-Nya...Harta milik itu terutama
dikhususkan untuk nabi Suci (kiranya damai ada atasnya). Ia akan memenuhi
kebutuhan tahunan keluarganya dari pendapatan itu, dan akan menggunakan
sisanya untuk membeli kuda-kuda dan senjata-senjata sebagai persiapan untuk
jihad.”(52) Muhammad sangat dikenal sebagai orang yang mempunyai selera
yang sederhana: ia tidak menyenangkan dirinya dengan kemewahan, tinggal di
rumah yang megah, atau meninggikan dirinya dengan kemegahan. Ia
menghabiskan apa yang ia miliki untuk jihad.

Dalam sebuah wahyu, Allah mengatakan kepada Muhammad bahwa teror


ilahi-lah yang mengalahkan Bani Nadir, dan bahwa mereka semua sudah
ditakdirkan untuk masuk neraka: “Dan jika tidaklah karena Allah telah menetapkan
pengusiran terhadap mereka benar-benar Allah mengazab mereka di dunia ini.
Dan bagi mereka di akhirat azab neraka” (Sura 59:2-3). Sisa orang Yahudi yang
masih tinggal di Medina adalah sasaran murka Muhammad yang berikutnya.

Catatan Kaki

1. Ibn Sa’d, vol. II, 9.


2. Ibn Ishaq, 294.
3. Ibid., 297.
4. Ibid., 298.
5. For various estimates on the number of Muslim warriors, see Ibn Sa’d, vol. II, 20-21.
6. Ibn Ishaq, 300.

116
7. Ibid., 300.
8. Ibid., 301.
9. Bukhari, vol. 4, book 58, no. 3185.
10. Bukhari, vol. 1, book 8, no. 520.
11. Ibn Ishaq, 308.
12. Ibid., 304.
13. Bukhari, vol. 4, book 57, no. 3141.
14. Bukhari, vol. 4, book 58, no. 3185.
15. Ibn Ishaq, 306.
16. Steven Stalinsky, “Dealing in Death,” National Review Online, May 24, 2004.
17. Bukhari, vol. 1, book 8, no. 438.
18. Ibn Ishaq, 308.
19. Ibn Ishaq, 326-327.
20. Ibn Sa’d, vol. II, 40.
21. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari, The History of al-Tabari, Volume VII, The
Foundation of the Community, M.V. McDonald, translator, State University of New
York Press, 1987, 86.
22. Ibn Ishaq, 363.
23. Tabari, vol. VII, 86.
24. Ibn Ishaq, 363.
25. Ibid., 367.
26. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4037.
27. Ibid.
28. Ibn Ishaq, 367.
29. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4037; Ibn Sa’d, vol. II, 37.
30. Ibn Sa’d, vol. II, 37.
31. Ibn Sa’d, vol. II, 39.
32. Ibn Ishaq, 369; Ibn Sa’d, vol. II, 36.
33. Ibn Ishaq, 369.
34. “Man who knew some plot suspects says Islamic ‘anger’ prevalent,” CBC News, June
16, 2006.
35. Ibn Sa’d, vol. II, 60-61.
36. Ibn Ishaq, 372.
37. Ibid., 381-382.
38. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4065.
39. Ibn Ishaq, 382.
40. Bukhari, vol. 5, book 64, chapter 22.
41. Ibn ishaq, 386.
42. Ibid., 387. Muhammad was immediately convinced to forbit mutilation, however, Islam-
ic exegetes have justified it today (notably after the Fallujah incident in Iraq in 2004) by
appealing to Qur’an 16:126: “If ye punish, then punish with the like of that wherewith ye
were afflicted.”
43. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4072: Ibn Ishaq, 376.
44. Sayyid Qutb, Social Justice in Islam, translated by John B. Hardie and Hamid Algar,
revised edition, Islamic Publications International, 2000, 19.
45. Tabari, vol. VII, 158.
46. Ibid., 159.
47. Muslim, book 19, no. 4326.

117
48. Ibn Ishaq, 437.
49. Ibid., 437.
50. Ibn Sa’d, vol. II, 70.
51. Ibn Ishaq, 438.
52. Muslim, book 19, no. 4347.

118
PASAL 8

MENEBARKAN TEROR KE DALAM HATI MEREKA

• Perang Parit dan ambisi imperialisme Muhammad

• Muhammad dan pembantaian terhadap suku Yahudi Qurayzah

• Pelecehan terhadap kaum wanita suku Mustaliq

• Perjanjian Hudaybiyya: sebuah rancangan kenyamanan

• Pengepungan Khaybar dan diracunnya Muhammad

Perang Parit

Setelah pengusiran terhadap Bani Qaynuqa dan Nadir dari Medina, beberapa
orang Yahudi yang masih tinggal mendekati orang Quraysh, menawarkan sebuah
kesepakatan untuk melawan Muhammad dan orang-orang Muslim. Orang Quraysh
langsung menerimanya dan bertanya pada mereka: “Kalian, orang Yahudi, adalah
para ahli kitab yang pertama dan mengetahui natur pertikaian kami dengan
Muhammad. Manakah yang lebih hebat, agama kami atau agamanya?”(1) Orang-
orang Yahudi menjawab, seperti yang diharapkan dalam keadaan itu, bahwa tentu
saja agama pagan orang Qurayshlah yang lebih baik. Ketika Muhammad
mendengar hal ini, Allah memberinya sebuah wahyu: “Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka percaya
kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik
Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.
Mereka itulah orang yang dikutuki Allah” (Sura 4:51-52).

Muhammad, yang diingatkan akan kesepakatan yang baru itu,


memerintahkan agar sebuah parit digali mengelilingi Medina. Usaha yang besar ini
memerlukan banyak tenaga manusia: banyak orang Muslim diwajibkan untuk
melakukan pelayanan ini, namun demikian banyak juga yang enggan. Hanya
sedikit orang yang meminta ijin Muhammad untuk tidak ikut dalam proyek ini, dan
beberapa diantara mereka memberikan alasan yang tidak-tidak. Oleh karena itu
Muhammad kemudian menerima sebuah wahyu lainnya, yang mengingatkan
mereka bahwa orang Muslim sejati tidak menganggap enteng perintah-perintah
nabi Islam:

“..maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan


ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (Sura 24:62-63).

119
Insiden-insiden seperti ini menegaskan perintah-perintah ilahi dan meninggikan
status Muhammad di antara orang Muslim. Ketika kerusuhan mengenai kartun-
kartun Muhammad yang dibuat oleh orang Denmark mengguncang dunia pada
akhir tahun 2005 dan awal 2006, banyak orang non-Muslim tidak memahami
reaksi kemarahan orang Muslim. Setidaknya kemarahan itu berhubungan dengan
fakta bahwa di dalam Qur’an berulangkali Allah sangat menghargai nabi-Nya dan
siap untuk memerintahkan apa yang akan menyenangkannya. Bagi orang yang
menerima Qur’an sebagai sebuah wahyu yang otentik, ini terutama sekali
menempatkan Muhammad pada posisi yang penting.

Selama penggalian parit, Muhammad mendapatkan penglihatan-penglihatan


bahwa ia akan menaklukkan wilayah-wilayah perbatasan Arabia. Kisah ini menjadi
sebuah legenda, namun apakah itu berasal dari Muhammad atau dengan
komunitas Muslim, itu mengindikasikan rancangan-rancangan imperialistis yang
dimiliki oleh orang Muslim mula-mula terhadap daerah-daerah di sekeliling Arabia.
Seorang Muslim mula-mula, Salman orang Persia, sedang menggali parit ketika ia
mulai mengalami kesulitan dengan sebuah batu yang besar. “Rasul”, Salman
menjelaskan, “yang berada tidak jauh, melihat aku menggali dan melihat betapa
sulitnya tempat itu. Ia masuk ke dalam parit itu dan mengambil cangkul dari
tanganku dan memukul dengan keras sehingga ada sinar terlihat di bawah cangkul
itu.”(2) Kilatan cahaya “memancar, menerangi semua yang ada diantara dua batu
hitam – yaitu, dua batu hitam Medina – seperti lampu di dalam kamar yang gelap.”
Muhammad meneriakkan jeritan kemenangan Islam, “Allahu akbar”, dan semua
Muslim meresponi dengan teriakan yang sama.(3) Ini terjadi lagi hingga ketiga
kalinya, dengan cara yang persis sama. Akhirnya Salman bertanya kepada
Muhammad, “Wahai engkau, yang lebih terkasih daripada ayah atau ibu, apakah
arti sinar di bawah cangkulmu saat engkau memukulkannya?”

Nabi Islam menjawab: “Apakah engkau benar-benar melihatnya, Salman?


Yang pertama berarti bahwa Tuhan telah membuka jalan untukku ke Yaman; yang
kedua Syria dan Barat; dan ketiga adalah Timur”.(4) Atau, menurut versi yang lain
dari kisah yang sama, Muhammad mengatakan: “Kali pertama aku memukul, dan
kilatan yang kau lihat, maka istana-istana al-Hirah [yang pada masa kini adalah
wilayah Selatan Irak] dan al-Madai’in di Kisra [kota musim dingin kekaisaran
Sassanid] memandang padaku seakan-akan mereka adalah gigi anjing, dan Jibril
memberitahukanku bahwa bangsaku akan menang atas mereka.” Pukulan yang
kedua menerangi dengan cara yang sama “istana-istana orang-orang bermuka
pucat di negeri Byzantium”, dan yang ketiga “istana-istana San’a” – yaitu, Yaman.
(5) Jibril menjanjikan Muhammad kemenangan atas semua itu, mengulangi
sebanyak tiga kali: “Bersukacitalah, kemenangan akan datang pada mereka!”
Untuk ini Muhammad menjawab, “Terpujilah Tuhan! Janji dari Dia yang benar dan
setia! Ia telah menjanjikan kita kemenangan setelah kesengsaraan”.

Beberapa dekade kemudian, ketika negara-negara yang disebutkan dalam


legenda ini benar-benar ditaklukkan oleh para pejuang jihad, seorang Muslim tua

120
selalu berkata: “Taklukkanlah dimana saja yang kau kehendaki, demi Tuhan, kamu
belum menaklukkan dan hingga hari kebangkitan kamu tidak akan menaklukkan
sebuah kota yang kuncinya tidak diberikan Allah sebelumnya kepada
Muhammad.”(6) Tapi semua penaklukkan itu masih jauh di masa depan. Pada
waktu itu baru pengepungan terhadap Medina.

Ketika orang Quraysh, bersama dengan suku lain, suku Ghafatan (yang
dikenal secara kolektif dalam tradisi Islam sebagai “kaum konfederasi”)
mengepung Medina, parit itu mencegah para penerobos untuk masuk ke kota itu,
tetapi orang Muslim tidak dapat memaksa mereka untuk mengakhiri pengepungan
itu. Kemudian, untuk membuatnya semakin buruk, satu suku Yahudi di Medina,
yaitu Bani Qurayzah, memutuskan perjanjian mereka dengan nabi Islam (boleh
jadi setelah merenungkan takdir Bani Qaynuqa dan Nadir) dan mulai bekerjasama
dengan orang Quraysh.(7)

Muhammad mengirimkan mata-mata ke tengah-tengah orang Qurayzah


untuk mencari tahu apakah yang didengarnya itu benar, dan apakah mereka
benar-benar telah memutuskan perjanjian mereka dengannya. Berita terburuk itu
kemudian terkonfirmasi, ia berdiri tegak di tengah ketakutan umatnya, dan hanya
berkata: “Tuhan Maha Besar! Bersukacitalah, orang-orang Muslim!”(8)

Saat pengepungan itu berjalan selama 3 minggu, situasi orang-orang Muslim


menjadi semakin gawat. Keadaan menjadi sangat buruk hingga seorang Muslim
mengkritik dengan pahit ambisi teritorial Muhammad dan rancangan-
rancangannya terhadap dua kekuatan besar yang ada di perbatasan Arabia, yaitu
kekaisaran Chosroes Persia dan kekaisaran Roma di Timur (Byzantium):
“Muhammad biasa berjanji pada kita bahwa kita akan menikmati kekayaan
Chosroes dan Kaisar Roma dan hari ini tidak seorangpun dari kita dapat merasa
aman pergi ke kakus!”(9) Orang-orang Munafik menghubungkan ironi penglihatan-
penglihatan Muhammad dengan posisi sulit yang dialami orang Muslim saat itu.
Sebagai jawabannya Muhammad memberikan wahyu ini dari Allah: “Dan ingatlah
ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya
berkata: ‘Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu
daya’” (Sura 33:12).

Muhammad menuduh orang-orang Munafik telah mematahkan semangat


orang Muslim dan dengan licik bersepakat dengan musuh-musuh Islam, dan
menerima sebuah wahyu yang mendukungnya (Sura 33:13-14). Allah juga
mengatakan pada Muhammad untuk menyampaikan pada umat bahwa desersi
sama sekali tidak berguna: “Katakanlah lari itu sekali-kali tidak berguna bagimu,
jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar
dari kematian), kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar
saja” (Sura 33:16).

Sementara itu, Muhammad mengirimkan para penyelidik untuk melakukan


negosiasi-negosiasi damai, menawarkan pada orang Quraish sepertiga dari panen
121
kurma di Medina jika mereka memutuskan untuk mundur, tapi kemudian ada
seorang Muslim, Sa’d ibn Mu’adh, mengingatkannya akan status orang Muslim
yang diagungkan, dan mengatakan bahwa sangatlah memalukan jika
menempatkan orang-orang Muslim Medina pada posisi yang lebih buruk di
hadapan para penyembah berhala Quraysh ketimbang pada waktu mereka sendiri
dulunya juga adalah penyembah berhala: “Kini setelah Tuhan mengaruniakan
Islam pada kita, menuntun kita kepada Islam, dan menguatkan kita dengan
kehadiranmu, haruskah kita memberikan kekayaan kita pada mereka? Kita tidak
memerlukan hal ini! Demi Tuhan, kita hanya akan memberikan pedang pada
mereka, hingga Tuhan menghakimi kita dan mereka.”

Muhammad menjawab, “Jadilah kehendakmu”, dan tidak lagi melanjutkan ide


untuk memberikan upeti.(10)

Sementara pengepungan itu berlanjut, seorang pejuang Quraysh yang


bernama Amr, menantang orang-orang Muslim untuk perang tanding satu lawan
satu dan menghina mereka soal janji Muhammad tentang Firdaus: “Dimanakah
Taman kalian yang katanya akan kalian masuki jika kalian mati di medan perang?
Tidak dapatkah kalian mengutus seseorang untuk berduel denganku?” Seperti
yang sudah diduga, oleh karena Muhammad sendiri berasal dari Mekkah,
kampung halaman orang Quraysh, Amr mempunyai kerabat-kerabat diantara
(yang adalah) orang Muslim. Keponakannya adalah Ali, yang adalah sepupu dan
menantu Muhammad dan yang kemudian menjadi tokoh yang sangat dihormati
oleh kelompok Islam Syiah. Kepada pamannya Ali berkata: “Aku mengundangmu
kepada Tuhan dan Rasul-Nya dan kepada Islam”.

Amr menampik tawaran itu dan menolak turun dari kudanya. Tetapi ia
menambahkan, “Wahai anak dari saudaraku, aku tidak ingin membunuhmu”.

Ali sama sekali tidak sentimentil. Ia menjawab pamannya: “Tetapi aku ingin
membunuhmu”, dan ia melakukannya.(11) Loyalitas kepada Islam lebih pekat
daripada ikatan darah.

Orang Qurayzah sepakat untuk menyerang orang Muslim di satu sisi


sementara orang Quraysh mengepung mereka dari sisi lainnya. Tetapi kemudian
situasi berbalik untuk orang Muslim. Seorang yang baru memeluk Islam, Nu’aym
bin Mas’ud, menemui nabi dengan sebuah usul: oleh karena kaumnya sendiri,
yaitu suku Ghafatan, tidak tahu kalau ia telah menjadi Muslim, Muhammad
mungkin dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan atas musuh-
musuhnya. Muhammad segera menyadari potensi situasi ini dan berkata: “Engkau
bukan hanya seseorang diantara kami, maka pergilah dan timbulkanlah
ketidakpercayaan diantara musuh untuk menyingkirkan mereka dari kita
semampumu, karena perang adalah penipuan”.(12) Nu’aym pergi menemui
orang-orang Yahudi Qurayzah dan mengingatkan mereka bahwa mereka lebih
terancam daripada orang Quraysh dan Ghafatan; lagipula, semua istri dan properti
mereka berada tidak jauh, sementara para istri dan properti orang Quraysh ada di
122
Mekkah. Orang Qurayzah harus menuntut beberapa jaminan bahwa orang
Quraysh akan benar-benar berperang untuk membela mereka: mereka harus
meminta sandera dari antara para pemimpin Quraysh, yang akan dilepaskan jika
Muhammad dan orang-orang Muslim dikalahkan. Orang Qurayzah menerima
saran ini, sehingga Nu’aym kemudian bergegas menemui para pemimpin Quraysh
dan Ghafatan dan mengatakan pada mereka bahwa orang-orang Yahudi
mempunyai pendapat lain soal persekutuan mereka, dan ingin berdamai dengan
Muhammad. Mereka telah menemui nabi Islam, kata Nu’aym, menawarkannya
kepala beberapa orang Quraysh dan Ghafatan, dan Muhammad menerima
tawaran itu. “Jadi”, Nu’aym menyimpulkan, “jika orang-orang Yahudi datang
padamu untuk menuntut sandera, jangan berikan seorangpun pada mereka”.(13)

Tak lama kemudian, Abu Sufyan seorang pemimpin Quraysh mengirim pesan
kepada orang Qurayzah bahwa serangan itu harus segera dimulai. Tetapi orang
Qurayzah memprotes dengan mengatakan bahwa hari itu hari Sabat dan juga,
“kami tidak mau memerangi Muhammad bersama dengan kalian hingga kalian
memberikan pada kami sandera-sandera yang dapat kami tahan sebagai jaminan
keamanan hingga kami dapat selesai dengan Muhammad; karena kami takut jika
perang ini berlanjut terhadap kamu dan kamu sangat menderita. Kamu akan
segera undur ke negerimu dan meninggalkan kami sementara orang itu ada di
negeri kami, dan kami tidak dapat menghadapinya seorang diri”. Sudah tentu,
jawaban ini hanya menjadi sebuah konfirmasi bagi orang Quraysh kecurigaan
yang telah ditimbulkan Nu’aym, dan mereka dengan tegas menolak untuk
mengirimkan sandera. Saat itu juga ada angin yang sangat kencang sehingga sulit
bagi orang Quraysh untuk menjaga agar tenda-tenda mereka tetap berdiri atau api
mereka tetap menyala.

Abu Sufyan merasa semua itu sudah cukup. Ia berkata kepada orang-
orangnya: “Wahai orang Quraysh, kita tidak berada dalam tenda-tenda permanen;
kuda-kuda dan unta-unta sekarat; Bani Qurayzah telah mengingkari janji mereka
pada kita dan kita telah mendengar laporan-laporan yang tidak menyenangkan
mengenai mereka. Kalian dapat melihat kencangnya angin sehingga kita tidak
mempunyai tungku yang menyala maupun perapian, juga tidak ada tenda yang
dapat dihitung. Bubarlah, karena aku akan pergi!”(14) Orang Quraysh mulai
meninggalkan posisi mereka di sekeliling Medina, dan tidak lama kemudian diikuti
oleh orang Ghafatan. Tipu daya Nu’aym telah membubarkan pengepungan dan
menyelamatkan Islam.

Urusan dengan Bani Qurayzah

Setelah berhasilnya resolusi pada Perang Parit, malaikat Jibril meyakinkan bahwa
Muhammad telah menyelesaikan urusan dengan orang Yahudi Qurayzah. Menurut
Aisha, “Ketika Utusan Allah kembali pada hari (perang) Al-Khandaq (Parit), ia
meletakkan senjatanya dan mandi. Kemudian Jibril yang kepalanya tertutup debu,
123
datang padanya dan berkata,’Engkau telah meletakkan senjatamu! Demi Allah,
aku belum meletakkan senjataku’. Utusan Allah berkata, ‘(Sekarang) pergi
kemana?’ Jibril berkata,’Lewat sini’, sambil menunjuk ke arah Bani Qurayzah. Lalu
Utusan Allah pergi kepada mereka”.(15)

Ketika pasukannya mendekati benteng Qurayzah, Muhammad menyapa


mereka dengan perkataan yang biasa digunakan para jihadis Islam ketika mereka
berbicara mengenai orang Yahudi pada masa kini – perkataan yang juga ada di
dalam Qur’an: “Wahai saudara-saudara monyet, apakah Tuhan telah
mempermalukan kamu dan membawa pembalasan-Nya ke atasmu?” Qur’an di
tiga tempat (Sura 2:62-65, 5:59-60, dan 7:166) mengatakan bahwa Allah
mengubah orang-orang Yahudi yang melecehkan Sabat menjadi babi dan monyet.

Orang Yahudi Qurayzah mencoba menenangkan murkanya dengan berkata:


“Wahai Abu’l-Qasim [Muhammad], engkau bukanlah seorang yang biadab”. Tetapi
nabi Islam sedang tidak berminat untuk dihibur. Ia berkata kepada orang-orang
Muslim yang ada bersamanya bahwa seorang pejuang yang lewat dengan
mengendarai lembu putih sebenarnya adalah Jibril, “yang telah diutus kepada Bani
Qurayzah untuk mengguncangkan istana-istana mereka dan menebar teror ke
dalam hati mereka”. Orang-orang Muslim mengepung pertahanan orang Qurayzah
selama 25 hari, hingga, menurut Ibn Ishaq, “mereka merasa sangat tertekan” dan
seperti yang dikatakan Muhammad, “Tuhan memberi teror ke dalam hati mereka”.
(16)

Juga menebar teror ke dalam hati mereka telah menjadi pilihan yang
diberikan pada mereka oleh pemimpin mereka sendiri Ka’b bin Asad, yang telah
membuat dan memutuskan perjanjian dengan Muhammad. Pertama adalah untuk
menerima Muhammad dan Islam, “Karena demi Tuhan sudah jelas bagimu bahwa
ia adalah seorang nabi yang telah diutus dan bahwa dialah yang kamu temukan
disebutkan dalam kitab-kitab sucimu; dan kemudian hidupmu, harta milikmu, kaum
wanita dan anak-anakmu akan diselamatkan”.(17) Pilihan kedua adalah
membunuh para istri dan anak-anak mereka, “tidak meninggalkan beban di
belakang kita”, dan pergi memerangi Muhammad. Pilihan ketiga adalah menjebak
nabi pada hari Sabat. Orang Qurayzah menolak semua pilihan itu, dan memilih
untuk menyerah kepada orang-orang Muslim.

Setelah beberapa pertimbangan Muhammad memutuskan untuk meletakkan


nasib suku itu ke tangan pejuang Muslim yang bernama Sa’d bin Mu’adh. Sa’d
adalah seorang anggota suku Aw yang sebelumnya telah membuat kesepakatan
dengan orang-orang Yahudi Medina, jadi barangkali Muhammad berpikir bahwa
orang Qurayzah akan menerima penilaiannya sebagai yang bersifat imparsial,
atau setidaknya terlihat demikian oleh para pengikut nabi Islam yang dapat saja
mempertanyakan kepemimpinannya karena adanya hubungan yang erat antara
orang-orang Muslim dengan orang-orang Yahudi Medina. Ketika Sa’d

124
mengendarai keledainya, Muhammad mengatakan padanya, “Orang-orang ini
sudah siap menerima keputusanmu”.

Sa’d menjawab, “Aku memutuskan para pejuang mereka harus dibunuh dan
anak-anak dan kaum wanita mereka dijadikan tawanan”.

Nabi Islam merasa puas. “Wahai Sa’d! Engkau telah mengambil keputusan
diantara mereka (sama dengan) penghakiman Raja (Allah)”.(18) Ia
mengkonfirmasi keputusan Sa’d sebagai keputusan Allah sendiri: “Engkau telah
membuat keputusan sejalan dengan keputusan Allah di atas langit ketujuh”.(19)
(Kemudian, ketika Sa’d wafat, Ibn Ishaq mencatat beberapa tradisi Muslim mula-
mula menyebutkan bahwa tahta Allah berguncang).(20)

Perintah Sa’d dilaksanakan dengan bulat, dan Muhammad sendiri


berpartisipasi dengan aktif. Menurut Ibn Ishaq, “Rasul pergi ke pasar Medina (yang
masih menjadi pasar hingga saat ini) dan menggali parit-parit disana. Kemudian ia
memanggil [orang-orang Qurayzah] dan memenggal kepala mereka di parit-parit
itu hingga menjadi tumpukan”. Salah seorang Qurayzah yang adalah musuh
bebuyutan Muhammad yang bernama Huyayy mengatakan: “Perintah Tuhan
adalah benar. Sebuah kitab dan sebuah keputusan, dan pembantaian telah
dituliskan terhadap anak-anak Israel”. Kemudian Muhammad memenggal
kepalanya.

Berkenaan dengan keputusan Sa’d untuk membunuh para pria dan menawan
para wanita dan anak-anak, salah-seorang tawanan, Attiyah al-Qurazy,
menjelaskan bagaimana Muhammad menentukan siapa yang termasuk pria dan
siapa yang tidak: “Aku berada di antara para tawanan Bani Qurayzah. Mereka
(para sahabat) memeriksa kami, dan orang-orang yang telah tumbuh rambut
kemaluannya dibunuh, dan yang belum tidak dibunuh. Aku berada di antara orang-
orang yang belum tumbuh rambut kemaluannya”.(21)

Ibn Ishaq memperkirakan jumlah orang yang dibantai sekitar “600 atau 700
orang semuanya, walau ada yang memperkirakan hingga 800 sampai 900”.(22)
Ibn Sa’d mengatakan, “Jumlah mereka antara 600-700”.(23) Ketika orang
Qurayzah digiring kepada Muhammad dalam kelompok-kelompok, seseorang
bertanya pada Ka’b bin Asad apa yang sedang terjadi. “Tidakkah kamu mengerti?”
jawab pemimpin Qurayzah yang sedang cemas itu. “Tidakkah kau lihat bahwa
orang-orang yang memanggil kita tidak pernah berhenti dan orang-orang yang
dibawa pergi tidak pernah kembali? Demi Allah itu adalah kematian!”(24)

Pembantaian massal ini diceritakan dalam berbagai ahadith. Salah-satunya


meringkaskan perbuatan Muhammad terhadap tiga suku Yahudi Medina: “Bani
Nadir dan Bani Quraiza berperang (terhadap nabi yang melanggar perjanjian
damai mereka), maka nabi membuang Bani An-Nadir dan mengijinkan Bani
Quraiza untuk tinggal di tempat mereka (di Medina), tidak mengambil apa-apa dari
mereka hingga mereka berperang lagi melawan nabi Islam. Kemudian ia

125
membunuh pria-pria mereka dan membagi-bagikan para wanita mereka, anak-
anak dan properti mereka diantara orang-orang Muslim, tetapi beberapa diantara
mereka menemui nabi dan ia memberikan mereka keamanan, dan mereka
memeluk Islam. Ia mengusir semua Yahudi dari Medina. Mereka adalah orang
Yahudi Bani Qainuqa, suku dari ‘Abdullah bin Salam dan orang Yahudi Bani
Haritha dan semua orang Yahudi Medina lainnya.”(25)

Allah juga memberikan sebuah wahyu sehubungan dengan pembantaian itu:


“...dan Dia memasukkan rasa takut dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu
bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan” (Sura 33:26). Dan Muhammad
sekali lagi memberikan wahyu yang menghubungkan kemenangan itu dengan
Allah sendiri (Sura 33:9-11).

Sementara itu ketenangan Muhammad dan keyakinannya kepada Allah


ketika segala sesuatunya suram bagi orang Muslim membuatnya berdiri kokoh.
Allah memberikannya sebuah wahyu, mengatakan kepada orang Muslim untuk
meneladaninya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu...” (Sura 33:21). Dengan memanfaatkan statusnya, Muhammad
juga mendapatkan sebuah wahyu yang berisi nasehat Allah kepada orang Muslim
agar tidak terlalu akrab dengan nabi mereka dan istri-istrinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah


nabi kecuali bila kamu diijinkan...apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)
kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir... ” (Sura
33:53).

Mencari-cari alasan untuk melakukan pembantaian

Pembantaian bani Qurayzah telah dipahami sebagai sesuatu yang sangat


memalukan orang Islam. Berbagai apologis Muslim telah berusaha untuk
menyangkali insiden itu dan sekaligus memperkecil jumlah korbannya. Seorang
sarjana Islam, W. N. Arafat, menerbitkan sebuah artikel yang panjang pada tahun
1976 yang mengatakan bahwa pembantaian itu tidak pernah terjadi, terutama
karena alasan anakronistik bahwa hal itu merupakan sebuah pelanggaran
terhadap hukum Islam.(26) Ini lebih merupakan sebuah argumen yang janggal
mengingat kenyataan bahwa Muhammad telah menyingkirkan prinsip-prinsipnya
pada berbagai kesempatan lain, seperti dalam insiden ketika para perampoknya
membunuh orang Quraysh dalam bulan suci, dan ketika berupaya menarik hati
Zaynab bint Jahsh. Hal lainnya berkaitan dengan pengkhianatan bani Qurayzah
yang membenarkan perkataan Sa’d dan persetujuan Muhammad terhadap hal itu.
Yahiya Emerick, dalam biografinya tentang Muhammad mengatakan bahwa dalam
hal keputusan Sa’d “Muhammad tidak campur-tangan karena ia telah
menyerahkan haknya untuk memberikan keputusan.” Ia tidak mengulangi

126
perkataan Muhammad yang menyetujui keputusan Sa’d sebagai keputusan Allah
juga.(27)

Karen Armstrong berargumen bahwa “tidaklah tepat untuk menilai insiden itu
dengan menggunakan standar yang berlaku pada abad 20” dan bahwa “pada awal
abad ke-7, seorang pemimpin Arab tidak dapat diharapkan untuk menunjukkan
kemurahan apapun kepada para pengkhianat seperti Qurayzah.”(28) Itu memang
benar, tetapi Armstrong mengabaikan masalah yang lebih besar; seperti dalam
semua insiden dalam hidup Muhammad, ia masih dijunjung oleh orang Muslim di
seluruh dunia sebagai “teladan tingkah-laku yang sempurna” (Sura 33:21). Pada
bulan Juli 2006, pasukan tentara Israel bersiap untuk bergerak ke Gaza oleh
karena adanya penculikan seorang tentara Israel oleh Hamas, seorang penulis di
forum British Muslim Internet mengatakan: “Saya sangat muak dengan anjing-
anjing Israel yang kotor dan menjijikkan ini. Kiranya Allah mengutuk mereka dan
menghancurkan mereka semua, dan kiranya mereka mengalami nasib yang sama
dengan nasib Bani Qurayzah!”(29) Tidak seorangpun yang menuduhnya telah
mempraktekkan teladan abad ke-7 pada masa kini.

Para wanita Bani Mustaliq

Kini Muhammad telah menjadi seorang penguasa besar di Medina, dan nabi Islam
menikmati keuntungan ekonomi yang mendadak. Sebuah hadith mencatat bahwa
“orang-orang biasa memberikan sebagian dari kurma mereka kepada nabi
(sebagai hadiah), hingga ia menaklukkan Bani Quraiza dan bani Nadir, dan ia
mulai mendapatkan kekaguman mereka.”(30) Tetapi para penantang konsolidasi
kekuatannya atas seluruh Arab masih ada. Ia mendapat berita bahwa Bani al-
Mustaliq, satu suku Arab yang dekat dengan orang Quraysh, sedang berkumpul
untuk memerangi orang Muslim, maka ia memimpin orang-orang Muslim untuk
pergi menyerang mereka. Dan Allah, menurut Ibn Ishaq, “mencerai-beraikan Bani
al-Mustaliq dan membunuh beberapa orang diantara mereka dan memberikan
pada rasul istri-istri mereka, anak-anak dan harta milik mereka sebagai rampasan
perang.”(31)

Menurut seorang pejuang Muslim, Abu Sa’id al-Khadri, “ada beberapa wanita
Arab yang sangat cantik” diantara para tawanan Bani Mustaliq. “Kami
menginginkan mereka, karena kami menderita oleh karena istri-istri kami tidak
ada, (tapi pada waktu yang sama) kami juga menginginkan tebusan untuk
mereka.” Qur’an mengijinkan mereka untuk berhubungan seksual dengan budak-
budak perempuan yang ditangkap dalam peperangan – “dan (diharamkan juga
kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu...” (Sura
4:24) – tetapi jika mereka berniat untuk menahan wanita-wanita itu sebagai budak,
mereka tidak dapat memperoleh uang tebusan untuk wanita-wanita itu. “Jadi”, Abu
Sa’-id menjelaskan, “kami memutuskan untuk berhubungan seksual dengan
127
mereka tetapi dengan melakukan ‘azl – yaitu coitus interruptus.” Namun demikian,
Muhammad mengatakan pada mereka bahwa hal itu tidak perlu: “Bukanlah soal
jika kamu tidak melakukannya, karena setiap jiwa yang harus dilahirkan hingga
Hari Kebangkitan akan dilahirkan.”(32) Pembuahan dan kelahiran tergantung
pada Allah saja.

Dari perspektif abad 21 ini adalah aspek yang paling problematis dari status
Muhammad sebagai “teladan tingkah-laku yang sempurna”: memperlakukan
wanita sebagai hadiah perang, dengan mengabaikan kehendak mereka. Bahkan
sebuah panduan kontemporer hukum Islam mengatakan bahwa ketika seorang
wanita ditawan, “pernikahannya yang sebelumnya dibatalkan”.(33) Jika seorang
pejuang jihad menahannya, ia tidak dapat mengatakan apa-apa mengenai hal itu.
Jumlah wanita yang ditindas dengan hal ini selama pemerintahan Islam berabad-
abad tidak dapat dihitung; dan bahkan hari ini, wanita sering diperlakukan sebagai
komoditas di seluruh dunia Islam. Sudah tentu, fenomena ini telah termanifestasi
dalam berbagai tingkatan dalam semua budaya dan kelompok masyarakat, tetapi
dalam dunia Islam sangatlah sulit dihapuskan karena sanksi profetis yang
diterimanya.

Muhammad berpartisipasi dalam penangkapan para tawanan wanita. Dan ia


mendapatkan seorang istri dari antara Bani Mustaliq, namun dengan cara yang
menyiratkan bahwa setidaknya kadang-kadang, pada suatu keadaan khusus,
wanita itu seakan menyadari bahwa itu sudah takdirnya. Diantara para tawanan
Bani Mustaliq ada seorang wanita yang sangat cantik bernama Juwayriya, yang
oleh nabi Islam diberikan kepada salah seorang sepupunya, Thabit bin Qays bin
al-Shammas. Juwayriya memandang hal ini sebagai sebuah penghinaan karena ia
adalah putri dari pemimpin Mustaliq. Maka ia menemui Muhammad untuk
memohon: “Engkau dapat melihat derajatku saat aku ditangkap. Aku telah diundi
dan jatuh kepada Thabit atau sepupunya dan telah memberinya sejumlah uang
tebusan dan aku datang padamu untuk meminta pertolongan atas masalah ini.”

Muhammad menjawab, “Apakah engkau menginginkan sesuatu yang lebih


baik daripada hal itu? Aku akan membebaskan hutangmu dan menikahimu.”
Pernikahannya dengan Juwayriya menjadikan Bani Mustaliq sebagai kerabat
Muhammad; oleh karena itu pada hari ia menikahi wanita itu ratusan keluarga
yang diperbudak orang-orang Muslim dibebaskan dari perbudakan.(34)
Muhammad mengganti nama wanita itu; sebenarnya ia bernama Barra, yang
berarti “saleh”. Nabi Islam berkata, “Aku tidak suka kalau disebutkan bahwa: Ia
telah keluar dari Barra (Saleh).”(35)

Abdullah bin Ubayy dan soal mendoakan musuh

Tidak lama setelah perang ini, Abdullah bin Ubayy, orang Munafik yang telah
mengusik nabi Islam dengan rencananya dan permohonannya untuk orang-orang

128
Yahudi Bani Qaynuqa dan Nadir, mulai menantang Muhammad dengan lebih
terbuka. Ia menghimbau orang Medina untuk bangkit melawan orang Muslim yang
telah datang dari Mekkah dan mengusir mereka keluar dari kota mereka. “Tidak
ada yang lebih pantas bagi kita dan orang-orang Quraysh yang mengembara,”
katanya, “seperti kata pepatah kuno, ‘Jika engkau memberi makan pada anjing, ia
akan memangsamu’. Demi Allah ketika kita kembali ke Medina orang-orang yang
lebih kuat akan mengusir orang-orang yang lebih lemah.”(36) Tetapi ketika
beberapa orang Muslim melaporkan hal ini kepada Muhammad, Abdullah bin
Ubayy menyangkal bahwa ia pernah berkata seperti itu, dan nabi Islam
mempercayainya. Namun demikian, Umar meragukan Abdullah bin Ubayy, dan
menemui Muhammad dengan sebuah penawaran:“Ijinkanlah aku menggorok
leher orang munafik ini.”

Muhammad menolak: “Tinggalkanlah dia, supaya jangan orang berkata


bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.”(37) Kemudian putra
Abdullah menemui Muhammad dan menawarkan diri untuk membunuh ayahnya
bagi Muhammad. Dengan itu orang muda ini berharap ia dapat menyelamatkan
dirinya sendiri dari dilema membalas pembunuh ayahnya dengan membunuh
orang yang disuruh Muhammad untuk mengakhiri hidup ayahnya:

“Aku telah mendengar bahwa engkau ingin membunuh Abdullah bin Ubayy
oleh karena apa yang telah engkau dengar berkenaan dengannya. Jika
engkau harus melakukannya, maka perintahkanlah aku untuk melakukannya
dan aku akan membawakan kepalanya kepadamu, karena al-Khazraj
mengetahui bahwa mereka tidak mempunyai siapapun yang sedemikian
berbakti kepada ayahnya selain daripada aku, dan aku takut jika engkau
memerintahkan orang lain untuk membunuhnya maka jiwaku tidak akan
mengijinkan aku melihat pembunuhnya itu berkeliaran diantara orang-orang
dan aku akan membunuhnya. Itu seperti membunuh seorang beriman demi
seorang yang tidak beriman, sehingga kemudian aku akan masuk
neraka.”(38)

Sekali lagi, kesetiaan kepada Islam lebih kental daripada ikatan darah. Tetapi
Muhammad menolak, dan berkata, “Tidak, namun marilah kita berurusan baik-baik
dengannya dan memanfaatkan persahabatannya sementara ia bersama kita.”(39)

Kebaikan Muhammad tidak menggerakkan Abdullah bin Ubayy, yang terus


mencari gara-gara dengan nabi Islam hingga ia wafat. Namun demikian
Muhammad tidak pernah kapok dengannya, dan bahkan mendoakannya di
kuburnya ketika ia meninggal. Umar, yang ada bersamanya, merasa sangat
terusik: “Utusan Allah, apakah engkau akan berdoa untuk orang ini, sedangkan
Allah telah melarang engkau mendoakannya?”

Muhammad menjawab dengan menafsirkan sebuah ayat dari Qur’an: “Kamu


memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka

129
(adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka
tujuhpuluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada
mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-
Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (Sura 9:80). Ia
mengatakan pada Umar bahwa Allah telah memberinya sebuah pilihan dengan
mengatakan: “Apabila engkau meminta pengampunan bagi mereka, atau tidak...”
sedangkan ia mengetahui bahwa 70 doa tidak akan menghasilkan apapun, ia telah
berdoa (untuk mereka) melampaui 70.

Tetapi Allah mengakhiri kemurahan ini dengan sebuah wahyu yang baru:
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati
diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya.
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati
dalam keadaan fasik” (Sura 9:84).(40)

Setelah itu Muhammad berhenti berdoa di kubur orang-orang yang


menentangnya.(41) Perlu diingat bahwa ketika Yahiya Emerick menceritakan
tentang persoalan Muhammad dengan Abdullah bin Ubayy, ia menyimpulkan:
“Tidak lama kemudian ia jatuh sakit, dan saat ia terbaring menjelang ajal,
Muhammad mengunjunginya dan meminta Tuhan mengampuninya, dan
mengatakan kepada sahabatnya itu bahwa ia berharap agar Tuhan mau
melakukannya.”(42) Emerick tidak mengatakan apapun mengenai teguran ilahi
yang diterima Muhammad oleh karena menunjukkan kemurahan setelah berdoa di
kubur Abdullah.

Perjanjian Hudaybiyya

Namun sebuah prinsip penting lainnya dalam Islam dibentuk melalui Perjanjian
Hudaybiyya dan peristiwa-peristiwa di seputar itu. Pada 628 M, Muhammad
mendapatkan sebuah penglihatan dimana ia melakukan sebuah perjalanan ziarah
ke Mekkah – yaitu sebuah kebiasaan pagan yang sangat diinginkannya untuk
menjadi bagian dalam Islam, tetapi telah dicegah oleh kontrol orang Quraysh di
Mekkah. Tetapi di saat ini ia mengarahkan orang Muslim untuk bersiap melakukan
ziarah ke Mekkah, dan bergerak maju menuju ke kota itu dengan 1500 orang.
Orang Quraysh menemuinya di luar kota, dan kedua belah pihak bersepakat untuk
mengadakan gencatan senjata (hudna) selama 10 tahun, yaitu perjanjian
Hudaybiyya.

Beberapa pemimpin Muslim tidak suka dengan prospek perjanjian sebuah


gencatan senjata, Lagipula, mereka telah berhasil mengalahkan kepungan orang
Quraysh di Medina dan sekarang mereka lebih kuat dari sebelumnya. Apakah
mereka akan menegosiasikan kekuatan militer mereka hanya agar dapat
melakukan ziarah? Umar yang penuh kemarahan menemui Abu Bakr dan berkata,
“Bukankah ia Rasul Tuhan, dan bukankah kita adalah orang Muslim, dan

130
bukankah mereka adalah penyembah berhala? Lalu mengapa kita harus
menyetujui apa yang merendahkan agama kita?” Keduanya pergi menemui
Muhammad, yang berusaha meyakinkan mereka: “Aku adalah hamba Tuhan dan
rasul-Nya. Aku tidak akan melanggar perintah-Nya dan Ia tidak akan membuat aku
menjadi pihak yang kalah.”(43)

Tetapi tentu saja perjanjian itu kelihatannya bukanlah dibuat demi


keuntungan orang Muslim. Ketika tiba waktunya perjanjian itu ditulis, Muhammad
memanggil Ali dan mengatakan padanya untuk menulis: “Demi nama Allah, Maha
Pengasih dan Penyayang.” Tetapi juru runding Quraysh, Suhayl bin ‘Amr
menghentikannya: “Aku tidak mengaku ini; tetapi tulislah ‘Demi nama-Mu, ya
Allah.’” Muhammad mengatakan kepada Ali untuk menuliskan apa yang dikatakan
Suhayl.

Tetapi Suhayl belumlah selesai. Ketika Muhammad memerintahkan Ali untuk


melanjutkan menulis, “Inilah yang telah disepakati oleh Muhammad, Rasul Allah
dengan Suhayl bin ‘Amr”, ia kembali memprotes. “Jika aku bersaksi bahwa engkau
adalah Rasul Tuhan”, kata Suhayl kepada Muhammad, “aku tidak akan pernah
memerangimu. Tulislah namamu sendiri dan nama ayahmu.” Sekali lagi sang nabi
Islam, dengan dibarengi meningkatnya kemarahan para pengikutnya, menyuruh
Ali menulis dokumen itu sesuai keinginan Suhayl.

Perjanjian itu akhirnya disepakati dan berbunyi demikian:

“Inilah yang telah disepakati Muhammad bin abdullah dengan Suhayl bin
‘Amr: mereka telah bersepakat untuk tidak berperang selama 10 tahun agar
orang-orang dapat merasa aman dan jauh dari kondisi kekerasan sehingga
jika ada orang yang datang kepada Muhammad tanpa seijin walinya maka ia
akan mengembalikannya kepada mereka; dan jika orang-orang Muhammad
datang kepada orang Quraysh mereka tidak akan mengembalikannya
kepadanya. Kami tidak akan menunjukkan permusuhan terhadap satu sama
lain dan tidak akan ada maksud rahasia atau keraguan. Barangsiapa ingin
masuk ke dalam sebuah ikatan dan perjanjian dengan Muhammad boleh
melakukannya dan barangsiapa ingin masuk ke dalam ikatan dan perjanjian
dengan orang Quraysh boleh melakukannya.”

Orang Quraysh menambahkan: “Kalian harus menyingkir dari kami pada tahun ini
dan tidak memasuki Mekkah tanpa persetujuan kami, dan tahun depan kami akan
mempersilahkan engkau dan sahabat-sahabatmu dapat memasukinya, dan tinggal
disana selama 3 malam. Kamu boleh membawa senjata-senjata penunggang
kuda, pedang di sarungnya. Kamu tidak boleh membawa lebih dari itu.”(44)

Muhammad telah mengejutkan para pengikutnya dengan menyetujui usulan


yang nampaknya sangat merugikan orang Muslim: orang-orang yang
meninggalkan Quraysh dan mencari perlindungan pada orang Muslim akan

131
dikembalikan kepada orang Quraysh, sedangkan orang-orang yang meninggalkan
Muslim dan mencari perlindungan pada orang Quraysh tidak dikembalikan kepada
orang Muslim.

Perjanjian itu kemudian ditutup, Muhammad menegaskan bahwa orang-


orang Muslim telah berkemenangan walaupun semuanya terlihat tidak demikian. Ia
memberikan sebuah wahyu yang baru dari Allah: “Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu kemenangan yang nyata” (Sura 48:1). Muhammad juga
menyatakan bahwa “Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak
yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan
Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)-mu (agar kamu
mensyukurinya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar
Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus” (Sura 48:20).

Jika ada pengikutnya yang masih bersikap skeptis, ketakutan mereka akan
segera disingkirkan. Seorang wanita Quraysh, Umm Khultum, bergabung dengan
orang-orang Muslim di Medina; kedua saudaranya menemui Muhammad, meminta
agar mereka dikembalikan “sesuai dengan perjanjian antara dia dengan orang
Quraysh di Hudaybiyya.”(45) Tetapi Muhammad menolak: Allah melarangnya. Ia
memberikan wahyu yang baru kepada Muhammad: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-
suami mereka) orang kafir” (Sura 60:10).

Dengan menolak mengembalikan Umm Khulthum kepada orang Quraysh,


Muhammad memutuskan perjanjian itu. Walaupun para apologis Muslim telah
mengklaim sepanjang sejarah bahwa orang Quraysh-lah yang pertama-tama
memutuskan perjanjian itu, insiden ini mengatakan kepada semua orang Quraysh
bahwa orang-orang Muslim adalah orang yang suka melanggar perjanjian.
Emerick mengatakan bahwa Muhammad mendasarkan kasusnya pada alasan
yang licik dan halus: perjanjian itu mengatakan bahwa orang-orang Muslim akan
mengembalikan pada orang Quraysh pria yang datang kepada mereka, bukan
wanita.(46) Bahkan seandainya pun ini benar, tidak lama kemudian, Muhammad –
seperti yang diakui Emerick – juga mulai menerima pria-pria dari Quraysh, maka ia
benar-benar memutuskan perjanjian.(47) Cara memutuskan perjanjian seperti ini
kemudian melahirkan prinsip bahwa tidak ada sesuatupun yang baik kecuali apa
yang menguntungkan Islam. Jika sebuah perjanjian telah diingkari secara formal,
para pemimpin Islam membuat sebuah aturan/prinsip bahwa secara umum
gencatan-gencatan senjata hanya dapat berlaku untuk sementara waktu hingga 10
tahun, dan hanya dapat dilakukan untuk mengijinkan pasukan-pasukan Muslim
yang telah menjadi lemah dengan tujuan agar dapat mengumpulkan kembali
kekuatannya untuk kembali berperang dengan lebih efektif.

132
Peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian akan menggambarkan implikasi-
implikasi gelap dari episode ini.

Penyerangan di Khaybar

Allah telah menjanjikan orang-orang Muslim diuntungkan oleh Perjanjian


Hudaybiyya dengan “banyak rampasan perang” (Sura 48:19). Boleh jadi untuk
menggenapi janji ini, Muhammad memimpin mereka untuk menyerang oasis
Khaybar, yang didiami oleh orang Yahudi – banyak diantara mereka adalah orang-
orang yang dibuang dari Medina. Seorang Muslim kemudian mengingat: “Ketika
Rasul hendak menyerang sekelompok orang ia akan menunggu hingga pagi tiba.
Jika ia mendengar suara azan, ia menahan diri; jika ia tidak mendengar suara
azan maka ia menyerang. Kami tiba di Khaybar pada malam hari, dan Rasul
menghabiskan malam disana; dan ketika pagi tiba ia tidak mendengar suara azan,
maka ia berkuda dan kami berkuda bersamanya...Kami berjumpa dengan para
pekerja dari Khaybar yang menyongsong pagi dengan budak-budak hitam dan
keranjang-keranjang mereka. Ketika mereka melihat Rasul dan tentaranya,
mereka berteriak,”’Muhammad dan pasukannya,’ dan lari tunggang-langgang.
Rasul berkata, ‘Allahu Akbar! Khaybar telah dihancurkan. Ketika kami tiba di
tengah-tengah mereka itu adalah pagi yang buruk bagi orang-orang yang telah
mendapat peringatan.’”(48)

Orang Muslim bergerak maju dengan tidak tertahankan lagi. “Rasul”, menurut
Ibn Ishaq, “menyita properti yang ada satu demi satu dan menaklukkan benteng-
benteng satu demi satu ketika ia mendatangi semua itu.”(49) Ibn Ishaq
melaporkan bahwa pertempuran itu sangat hebat: “para penyembah berhala
itu ...membunuh sejumlah besar para sahabat (Muhammad) dan ia juga
membunuh sejumlah besar diantara mereka...Ia membunuh 93 orang
Yahudi ...”(50) Muhammad dan orang-orangnya menaikkan sembahyang subuh
(fajr) sebelum hari menjadi terang dan kemudian memasuki Khaybar. Orang-orang
Muslim segera mencari harta benda para penduduk disana. Kinana bin al-Rabi,
seorang pemimpin Yahudi suku Khaybar yang dipercayai untuk memegang harta
Bani Nadir dibawa ke hadapan Muhammad. Kinana menyangkal bahwa ia
mengetahui dimana harta itu berada, tetapi Muhammad menekannya: “Tahukah
kamu bahwa kalau kami menemukan kamu menyimpannya maka aku akan
membunuhmu?” Kinana mengiyakan.

Sebagian harta itu ditemukan. Untuk mendapatkan sisanya, Muhammad


memberikan perintah berkenaan dengan Kinana: “Siksa dia hingga kamu
mendapatkan apa yang dimilikinya.” Seorang Muslim menyalakan api di dada
Kinana, tapi Kinana tidak membuka rahasianya. Ketika ia hampir mati, Muhammad
bin Maslama pembunuh Ka’b bin Al-Ashraf si penyair, memenggal kepalanya.(51)

133
Muhammad setuju membiarkan orang Khaybar dibuang, mengijinkan
mereka, seperti yang dilakukannya pada Bani Nadir, untuk membawa harta
mereka sebanyak yang dapat mereka bawa.(52) Namun demikian, ia
memerintahkan mereka untuk meninggalkan semua emas dan perak mereka.(53)
Ia berniat untuk membuang mereka semua, namun beberapa orang yang adalah
para petani, memohon kepadanya untuk mengijinkan mereka tetap tinggal jika
mereka memberikan separuh hasil ladang mereka padanya setiap tahun.(54)
Muhammad setuju: “aku akan mengijinkan kamu tetap tinggal disini menurut
kehendak kami.”(55) Ia mengingatkan mereka: “Jika kami ingin membuang kalian,
maka kami akan membuang kalian.”(56) Mereka tidak lagi mempunyai hak
apapun diluar kebaikan dan kemurahan Muhammad dan orang-orang Muslim. Dan
tentu saja, ketika orang-orang Muslim menemukan sejumlah harta yang telah
disembunyikan oleh orang-orang Yahudi Khaybar, ia memerintahkan agar para
wanita suku itu diperbudak dan menyita tanah orang-orang yang berbuat amoral.
(57) Sebuah hadith mencatat bahwa “Nabi membunuh para pejuang mereka,
keturunan dan para wanita mereka dijadikan tawanan.”(58)

Kemudian, selama pemerintahan Khalifah Umar (634-644), orang-orang


Yahudi yang tetap tinggal di Khaybar dibuang ke Syria, dan sisa tanah mereka
disita.(59)

Muhammad diracun

Seorang wanita Yahudi suku Khaybar, Zainab bint al-Harith, dibawa masuk untuk
menyiapkan makan malam bagi Muhammad. Ia mmenyiapkan domba panggang –
dan membubuhkan racun. Muhammad menggigit sepotong dan memuntahkannya,
lalu berteriak, “Tulang ini mengatakan padaku bahwa ia telah diracun.” Orang yang
menemaninya makan, Bishr bin al-Bara, telah memakannya dan tak lama
kemudian ia meninggal. Zaynab bint al-Harith segera mengaku, menjelaskan
kepada Muhammad: “Engkau tahu apa yang telah kau lakukan kepada kaumku.
Aku berkata pada diriku sendiri, jika dia adalah raja aku akan merasa tenang
karenanya dan jika ia adalah seorang nabi ia akan diberitahu (tentang apa yang
telah kulakukan)”. Karena ia dengan tegas mengakui kenabian Muhammad, maka
Muhammad membiarkan ia hidup.(60) Namun demikian, menurut sebuah tradisi
lainnya, Muhammad membunuhnya.(61)

Racun itu mempengaruhinya; setelah itu seorang Muslim mengatakan, “Aku


terus melihat dampak racun itu pada rongga atas bagian dalam mulut Utusan
Allah”.(62) Di tempat tidurnya saat ia menjelang ajal, tiga tahun setelah ia diracun,
Muhammad berkata pada saudara perempuan Bishr, “Inilah saatnya aku
merasakan sakit yang mematikan oleh karena makanan yang kumakan dengan
abangmu di Khaybar”.(63) Dan ia juga berteriak pada Aisha: “Wahai Aisha! Aku
masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan di Khaybar, dan saat ini,
aku merasa urat nadiku dipotong oleh racun itu”.(64)
134
Tradisi lainnya mengemukakan bahwa upaya peracunan itu bukanlah
pekerjaan satu orang wanita, tetapi persekongkolan orang-orang Yahudi, yang
sekali lagi digambarkan sebagai pembohong dan penipu. Berdasarkan versi ini,
setelah penaklukkan Khaybar, orang-orang Yahudi memberikan hadiah kepada
Muhammad berupa domba panggang yang telah diracun. Muhammad, yang
mendapat firasat akan rencana ini, memerintahkan: “Biarlah semua orang Yahudi
yang sudah ada disini berkumpul di hadapanku”. Ketika ini telah dilakukan,
Muhammad berkata: “Aku ingin memberi sebuah pertanyaan kepada kalian.
Apakah kalian akan mengatakan yang sebenarnya?” Setelah mereka mengiyakan,
ia bertanya pada mereka: “Siapakah bapamu?” Mendengar jawaban mereka (yang
tidak dicatat dalam tradisi), nabi Islam mengatakan, “Kalian sudah berbohong”,
dan memberikan pada mereka jawaban yang benar.

Orang-orang Yahudi itu mengakui bahwa Muhammad benar. Kemudian ia


bertanya pada mereka: “Sekarang apakah kalian akan mengatakan yang
sebenarnya jika aku menanyakan sesuatu?” Sekali lagi setelah mereka
mengiyakan, Muhammad bertanya, “Siapakah yang akan masuk ke dalam
neraka?”

Menurut hadith mereka menjawab: “Kami akan tinggal di dalam api (neraka)
untuk sejangka waktu yang pendek, dan setelah itu engkau akan menggantikan
kami”.

Muhammad tidak terima dengan jawaban itu: “Kalian akan dikutuk dan dihina
di dalamnya! Demi Allah, kami tidak akan menggantikan kalian di dalamnya”. Dan
lagi: “Akankah kalian mengatakan kebenaran jika aku menanyakan sesuatu?”
Setelah menerima jaminan bahwa mereka akan berkata jujur, Muhammad
bertanya: “Apakah kalian telah meracuni domba ini?”

Mereka mengakui bahwa benar mereka telah membubuhi racun. Ketika


ditanya mengapa, mereka menjawab seperti jawaban Zainab bint al-Harith: “kami
ingin mengetahui apakah engkau adalah seorang pembohong yang tidak dapat
kami singkirkan, dan jika engkau adalah seorang nabi maka racun itu tidak akan
membahayakanmu”.(65)

Rampasan perang Khaybar

Dengan ditaklukkannya Khaybar, tiba saatnya untuk membagi rampasan perang.


Aisha mengingat saat orang-orang Muslim memasuki oasis Khaybar, mereka
berseru, “sekarang kita akan pesta kurma!”(66)

Seorang pejuang Muslim, Dihya bin Khalifa, menemui Muhammad dan


berkata,”Wahai nabi Allah! Berikanlah aku seorang budak wanita dari antara para
tawanan”. Nabi Islam setuju, dan berkata pada Dihya: “Pergilah dan ambillah
budak perempuan yang mana saja”. Dihya memilih seorang wanita bernama

135
Safiyya bint Huyay.(67) Safiyya adalah putri dari Huyayy bin Akhtab, yang telah
menyebabkan Bani Qurayzah memutuskan kesepakatan mereka dengan
Muhammad. Muhammad telah membunuh Huyayy dan juga orang-orang
Qurayzah. Suami Safiyya adalah Kinana ibn Rabi, yang baru saja disiksa dan
dibunuh oleh para pejuang jihad. Setelah ia ditangkap, ia mempesona para
pejuang Islam, yang mengatakan pada nabi mereka: “Belum pernah kami melihat
wanita seperti dia diantara para tawanan perang”.(68) Seseorang menambahkan:
“Wahai Utusan Allah! Engkau memberikan Safiyya bint Huyayy kepada Dihya
sedangkan ia adalah putri dari semua putri suku Qurayza dan An-Nadir, ia tidak
cocok dengan siapapun selain denganmu”.(69)

Oleh karena itu Muhammad memanggil Dihya dan Safiyya. Ketika nabi Islam
melihat Safiyya, ia berkata kepada Dihya: “Ambillah budak perempuan mana saja
dari antara para tawanan kecuali dia”. Kemudian Muhammad segera
membebaskannya dan menikahinya – oleh karena ia setuju untuk memeluk Islam,
posisinya menjadi lebih tinggi daripada budak. Malam itu Safiyya mengenakan
baju pengantin dan pesta pernikahan segera digelar. Ketika meninggalkan
Khaybar malam itu, Muhammad menghentikan karavannya segera setelah mereka
berada di luar oasis, mendirikan tenda, dan menikmati malam pengantin.(70)
Perasaan dan pergumulan Safiyya dari yang awalnya adalah istri seorang
pemimpin Yahudi, menjadi janda, ditawan, lalu menjadi istri dari nabi Islam hanya
dalam waktu sehari tentu saja tidak dicatat.

Khaybar telah menjadi peringatan untuk para jihadis di jaman modern ini.
Teriakan yang populer diantara orang-orang Palestina dan sekutu-sekutunya
adalah: “Khaybar, Khaybar, wahai Yahudi, pasukan Muhammad akan kembali”.
(71) Itu berarti penghancuran negara Israel, sama seperti benteng pertahanan
Yahudi di Khaybar dihancurkan.

Catatan Kaki

1. Ibn Ishaq, 450.


2. Ibid., 452.
3. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari, The History of al-Tabari, Volume VIII, The
Victory of Islam, Michael Fishbein, translator, (New York: State University of New York
Press, 19970, 11.
4. Ibn Ishaq, 452.
5. Tabari, vol. VIII, 12.
6. Ibn Ishaq, 452.
7. Tabari, vol. VIII, 15.
8. Ibid., 16.
9. Ibn Ishaq, 454.
10. Tabari, vol. VIII, 17-18.

136
11. Ibn Ishaq, 455.
12. Ibn Ishaq, 458; cf. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 3030; Muslim, book 32, no. 6303.
13. Ibn Ishaq, 459.
14. Ibid., 460.
15. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 2813.
16. Ibn Ishaq, 461.
17. Ibid., 462.
18. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 3043.
19. Ibn Sa’d, vol II, 93; cf. Ibn Ishaq, 464.
20. Ibn Ishaq, 468-469.
21. Abu-Dawud Sulaiman bin Al-Aash’ath Al-Azdi as-Sijistani, Sunan abu-Dawud, Ahmad
Hasan, translator, Kitab Bhavan, 1990. Book 38, no. 4390.
22. Ibn Ishaq, 464.
23. Ibn Sa’d, vol. II, 93.
24. Ibn Ishaq, 464.
25. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4028.
26. W.N. Arafat, “New Light on the Story of Banu Qurayza and the Jews of Medina, “Jour-
nal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, 1976, 100-107.
27. Emerick, 226.
28. Armstrong, 207-208.
29. Yaakov Lappin, “UK Islamist: Make Jihad on Israel,” YNet News, July 2, 2006.
30. Bukhari, vol. 4, book 57, no. 3128.
31. Ibn Ishaq, 490.
32. Bukhari, vol. 9, book 97, no. 7409.
33. Ahmed ibn naqib al-Misri, Reliance of the Traveller [‘Umdat al-Salik]: A Classic Manual
of Islamic Sacred Law, translated by Nuh Ha Mim Keller. Amana Publication, 1999,
o9.13.
34. Ibn Ishaq, 491.
35. Muslim, book 25, no. 5334. Other ahadith say that another of Muhammad’s wives, za-
ynab, was the one who was originally named Barra.
36. Ibn Ishaq, 491.
37. Muslim, book 32, no. 6255.
38. Ibn Ishaq, 492.
39. Ibn Ishaq, 492.
40. Muslim, book 38, no. 6680.
41. Muslim, book 38, no. 6681.
42. Emerick, 233.
43. Ibn Ishaq, 504.
44. Ibid., 504.
45. Ibid.
46. Ibn ishaq, 509.
47. Emerick, 239.
48. Ibn Ishaq, 511.
49. Ibid.
50. Ibn Sa’d, vol. II, 132-133.
51. Ibn Ishaq, 515.
52. Ibn Sa’d, vol. II, 136.
53. Ibn sa’d, vol. II, 137.

137
54. Bukhari, vol. 4, book 57, no. 3152.
55. Muslim, book 10, no. 3761.
56. Ibn Ishaq, 515.
57. Ibn Sa’d, vol. II, 137.
58. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4200.
59. Ibn Sa’d, vol. II, 142.
60. Ibn Ishaq, 516.
61. Ibn Sa’d, vol. II, 249.
62. Bukhari, vol. 3, book 51, no. 2617.
63. Ibn Ishaq, 516.
64. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4428.
65. Bukhari, vol. 4, book 58, no. 3169; cf. Ibn Sa’d, vol. II, 144.
66. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4242.
67. Bukhari, vol. 1, book 8, no. 371.
68. Muslim, book 8, no. 3329.
69. Bukhari, vol. 1, book 8, no. 371.
70. Ibid.
71. Muhammd Al-Munajjid, “The true nature of the enmity between the Muslims and the
Jews,” Al-Minbar.com,
http://www.alminbar.com/khutbaheng/9022.htm; Steven Emerson, “Prepared
Statement of Steven Emerson Before The Senate Judiciary Committee
Subcommittee on Terrorism, Technology and Government Information,” February
24, 1998.
Http://www.geocities.com/CollegePark/6453/emerson.html.

138
BAB 9

BERKEMENANGAN MELALUI TEROR

• Muhammad menjadi penguasa Mekkah

• Muhammad memerintahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang


meninggalkan Islam

• Muhammad menjadi penguasa Arabia

• Muhammad menghimbau para pemimpin negara tetangga untuk memeluk


Islam

• Ekspedisi Tabuk dan peperangan melawan orang Kristen dan Yahudi

• Pentingnya mengumpulkan pajak bagi non-Muslim

• Sakit dan kematian Muhammad

• Setelah Muhammad: perpecahan Islam

Penaklukkan Mekkah

Tahapannya sekarang telah disiapkan yaitu untuk menaklukkan Mekkah dan


kemenangan Muhammad kembali ke kampung halamannya, dimana untuk
pertama kalinya ia mulai menyampaikan pesan Allah. Ia memerintahkan orang-
orangnya untuk bersiap menjarah Mekkah, dan berdoa: “O Tuhan, ambillah mata
dan telinga dari orang Quraysh sehingga kami dapat mengejutkan mereka di
negeri mereka”.(1) Kejutan itu hampir saja batal karena seorang Muslim yang
mengirim surat kepada orang Quraysh yang mengingatkan mereka akan rencana-
rencana Muhammad; namun, orang-orang Muslim mencegat surat itu. Si
pengkhianat, Hatib bin Abu Balta’a, menjelaskan bahwa ia adalah seorang Muslim
yang beriman tapi ia mempunyai kerabat-kerabat diantara orang Quraysh,
termasuk seorang putra. Muhammad mengampuninya karena Hatib adalah
seorang veteran Perang Badr. Kemudian ia menerima wahyu lainnya dari Allah,
yang mengatakan pada Hatib bahwa sebagai seorang Muslim, perasaan kasih
persaudaraannya kepada orang Quraysh adalah salah:

“Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada bermanfaat bagimu pada


hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan. Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu
pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dia; ketika mereka berkata
kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari

139
apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah
nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-
lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’”. (Sura 60:1-4).

Muhammad kemudian bergerak maju menuju Mekkah dengan pasukan yang,


menurut beberapa laporan, terdiri dari 10.000 orang Muslim.(2) Ketika orang-
orang Mekkah melihat jumlah kekuatan mereka, yang diperintahkan Muhammad
untuk membuat banyak api unggun tambahan di malam hari ketika orang-
orangnya berkumpul di luar kota itu, orang-orang Mekkah tahu bahwa mereka
sudah kalah. Banyak dari para pejuang Quraysh yang hebat kemudian memeluk
Islam, dan bergabung dengan pasukan Muhammad. Ketika mereka maju, mereka
bertemu dengan Abu Sufyan sendiri, yang telah menentang Muhammad ketika ia
menjadi seorang pemimpin Quraysh; tapi kini Abu Sufyan ingin menjadi seorang
Muslim. Setelah diijinkan menghadap Muhammad, Abu Sufyan membacakan
sebuah puisi yang beberapa barisnya berbunyi demikian:

“Aku seperti seorang yang tersesat di kegelapan malam,


Tapi kini aku dipimpin di jalan yang benar.
Aku tidak dapat menuntun diriku sendiri, dan dia yang bersama Tuhan
mendatangiku
Apakah dia yang telah kusingkirkan dengan segenap kekuatanku”.

Menurut Ibn Ishaq, ketika ia tiba pada kalimat “dia yang bersama Tuhan
mendatangiku, apakah dia yang telah kusingkirkan dengan segenap kekuatanku”,
Muhammad “meninju dadanya dan menjelaskan, ‘Memang kau melakukannya!’(3)
Tetapi ketika Muhammad berkata, “Celakalah engkau Abu Sufyan, bukankah
sudah waktunya engkau mengakui bahwa aku adalah rasul Tuhan?” Abu Sufyan
menjawab, “Mengenai hal itu aku masih ragu”.(4) Mendengar itu, seorang letnan
Muhammad, Abbas, meresponi Abu Sufyan: “Tunduk dan bersaksilah bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah sebelum engkau kehilangan
kepalamu”. Abu Sufyan akhirnya menurut.(5)

Orang-orang murtad harus dibunuh

Ketika Muhammad “memaksa masuk” ke Mekkah, menurut Ibn Sa’d, “orang-orang


memeluk Islam dengan rela hati dan juga dengan terpaksa”.(6) Nabi Islam
memerintahkan orang Muslim untuk hanya memerangi orang-orang atau
kelompok-kelompok yang menahan mereka masuk ke dalam kota – kecuali
sejumlah orang yang harus dibunuh, walaupun mereka telah mencari perlindungan
di Ka’bah. Seorang diantaranya adalah Abdullah bin Sa’d, seorang mantan
Muslim, yang pada suatu waktu dipekerjakan oleh Muhammad untuk menuliskan
wahyu-wahyu Qur’an; tetapi kemudian ia murtad dan kembali kepada orang

140
Quraysh. Ia ditemukan dan dibawa kepada Muhammad bersama saudaranya, dan
memohon kepada nabi Islam untuk diberikan pengampunan: “Terimalah kesetiaan
Abdullah, wahai rasul Allah!” Abdullah mengulanginya dua kali, tapi Muhammad
tidak bergeming. Setelah Abdullah mengulanginya untuk ketiga kalinya,
Muhammad menerimanya.

Tak lama setelah Abdullah pergi, Muhammad berpaling kepada orang-orang


Muslim yang ada di ruangan itu dan bertanya: “Tidak adakah orang yang bijak
diantara kamu yang akan menghadapinya ketika ia melihat bahwa aku telah
menahan tanganku untuk menerima kesetiaannya dan membunuhnya?”

Para sahabatnya terperanjat dan menjawab: “Kami tidak tahu apa yang ada
dalam hatimu, Rasul Allah! Mengapa engkau tidak memberi tanda pada kami
dengan mata mu?”

“Tidaklah patut”, kata nabi Islam, “untuk seorang nabi menipu dengan
matanya”. (7)

Bagi Muhammad, meninggalkan Islam senantiasa merupakan kejahatan


yang tertinggi. Ketika ia adalah penguasa Medina, beberapa penjaga ternak
datang ke kota itu dan memeluk Islam. Tetapi mereka tidak menyukai iklim
Medina, maka Muhammad memberikan mereka beberapa unta dan seorang
gembala; ketika mereka telah meninggalkan Medina, mereka membunuh gembala
itu, melepaskan unta-unta dan menyangkali Islam. Muhammad mengejar mereka.
Ketika mereka tertangkap, ia memerintahkan agar kaki dan tangan mereka di
potong (sesuai dengan Sura 5:33, yang memerintahkan agar orang-orang yang
menyebabkan “kerusakan di negeri” dihukum dengan mengamputasi tangan dan
kaki bersilang sisi/kanan-kiri) dan mata mereka disetrika dengan besi yang
dipanaskan, dan mereka ditinggal mati di padang gurun. Ia memerintahkan untuk
tidak mengabulkan permohonan mereka agar diberi air minum.(8)

Tradisi mengatakan dengan jelas bahwa salah-satu alasan utama mengapa


penghukuman itu dilakukan dengan sangat kejam adalah karena orang-orang itu
pernah menjadi Muslim tetapi telah “menjadi pemberontak”. Muhammad
memerintahkan komunitasnya untuk tidak menghukum mati seorang Muslim
kecuali pembunuh, pelaku hubungan seksual yang haram, dan murtad.(9) Dengan
keras ia mengatakan: “Barangsiapa mengganti agamanya (Islam), maka bunuhlah
dia”.(10)

Ini membuat noda yang sangat jelas (dalam Islam) sehingga para apologis di
Barat dengan keras menyatakan bahwa, seperti dalam kalimat Ibrahim B. Syed,
Presiden dari Islamic Research Foundation International di Louisville Kentucky,
“Tidak ada catatan sejarah yang mengindikasikan bahwa Muhammad atau
satupun sahabatnya pernah memerintahkan agar menghukum mati orang yang
murtad”.(11) Pernyataan seperti ini mungkin dapat menentramkan orang non-
Muslim yang lebih suka percaya bahwa tuntutan besar yang dikeluarkan pada

141
tahun 2006 terhadap seorang Afghanistan yang bertobat dari Islam kepada
kekristenan, yakni Abdul Rahman, adalah semacam penyimpangan. Sayangnya,
klaim ini sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan hidup Muhammad. Bahwa
pernyataan-pernyataan semacam ini lolos dengan mudahnya hanya menegaskan
adanya kebutuhan orang-orang Barat untuk lebih mengetahui perkataan-perkataan
dan perbuatan-perbuatan Muhammad yang sesungguhnya – yang membuat
tindakan-tindakan negara-negara Islam lebih jelas terlihat daripada perkataan para
apologis Islam di Barat.

Ada banyak lagi di Mekkah yang ada dalam daftar orang-orang yang harus
segera dibunuh: Abdullah bin Khatal, seorang yang berpaling dari Islam; al-
Huwayrith bin Nuqaydh, yang telah menghina Muhammad, dan beberapa orang
lainnya.

Muhammad di Ka’bah

Ketika seluruh kota itu telah dilumpuhkan, nabi Islam menunggangi seekor unta
menuju Ka’bah. Ia mendapati Ka’bah dipenuhi dengan berhala – semuanya
berjumlah 360 – dan ditulis dalam Qur’an: “...Yang benar telah datang dan yang
batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap”
(Sura 17:81). Ia memerintahkan agar semua berhala dibakar kecuali patung Yesus
dan Maria.(13) Kemudian ia berdiri di pintu kuil itu dan mengumumkan:

“Setiap klaim hak istimewa atau darah atau harta milik kularang kecuali
pemeliharaan kuil dan memberi minum para peziarah. ....Oh orang Quraysh,
Tuhan telah mengambil dari kamu kesombongan paganisme dan
penghormatan kepada leluhur. Manusia berasal dari Adam dan Adam berasal
dari debu.”

Para pemimpin Quraysh berkumpul dan mendengarkan dengan seksama,


menunggu nabi Islam untuk mengatakan pada mereka nasib mereka. Akhirnya ia
berpaling kepada mereka dan bertanya, “Wahai Quraysh, menurutmu apa yang
akan kulakukan padamu?”

Mereka menjawab mereka yakin bahwa ia akan berlaku baik pada mereka:
“Engkau adalah seorang saudara yang mulia, putra dari seorang saudara yang
mulia”.

Maka demikianlah adanya. “Pergilah”, kata nabi Islam, “karena kalian adalah
orang-orang yang telah dibebaskan”. Ia membiarkan mereka hidup walupun,
menurut tradisi Islam mula-mula, “Tuhan telah memberikannya kuasa atas hidup
mereka dan mereka adalah tawanan perangnya”.(14)

142
Orang-orang Mekkah kini berkumpul untuk membayar upeti kepada
Muhammad. Ini adalah saat yang terbesar dalam karir kenabiannya; delapan
tahun sebelum ia dibuang dari kampung halamannya, dan kini mereka tersungkur
di kakinya. Salah satu sahabat terdekatnya, Umar, membuat semua pria berjanji
untuk menaati Allah dan Muhammad, saat nabi memperhatikan. Ketika mereka
telah selesai, para wanita mulai mendekat – termasuk Hind bint ‘Utba, wanita yang
telah memutilasi tubuh paman Muhammad, Hamza, dalam Perang Uhud. Hind,
yang takut jika Muhammad akan menghukumnya, datang ke hadapannya dengan
menyamar dan berkerudung. Muhammad memberikannya satu seri pengajaran
moral Islam: jangan mempersekutukan Allah dengan yang lainnya, jangan
mencuri, jangan berzinah, dan masih banyak lagi. Melalui jawaban-jawabannya,
Muhammad mengetahui kalau wanita itu adalah Hind yang meminta
pengampunannya. Ketika Muhammad berkata kepadanya, “dan kamu tidak boleh
membunuh anak-anakmu”, Hind berkata kepada Muhammad: “Aku membesarkan
mereka sejak mereka masih kecil dan engkau membunuh mereka pada hari
(perang) Badr ketika mereka telah dewasa, maka engkau adalah orang yang harus
tahu tentang mereka!” Ini membuat Umar tertawa terbahak-bahak.

Penghormatan wanita itu diterima, Ali memberikan pada Muhammad kunci


Ka’bah, tetapi Muhammad mengembalikannya kepada juru kunci kuil itu sedang
kuil itu adalah pusat ziarah pagan, dan ia berkata: “Inilah kuncimu, hari ini adalah
hari niat baik”.(15)

Sehari setelah penaklukkan Mekkah, seorang Muslim membunuh seorang


pagan, sehingga Muhammad kemudian menyampaikan pernyataan ini, yang
menekankan kesucian Mekkah, melarang pembunuhan di sekitar daerah itu:

“Tuhan menjadikan Mekkah suci pada hari Ia menciptakan langit dan bumi,
dan inilah tempat yang paling suci hingga hari kebangkitan. Oleh karena itu
barangsipa yang percaya kepada Tuhan dan hari terakhir dilarang untuk
menumpahkan darah, atau menebang pohon disini,...Jika ada berkata, ‘Rasul
membunuh orang di Mekkah, katakanlah Tuhan mengijinkan rasul-Nya untuk
berbuat demikian tetapi Ia tidak mengijinkan kamu...Jika seseorang dibunuh
setelah persinggahanku disini umatnya mempunyai pilihan: mereka dapat
mengambil nyawa si pembunuh atau uang darah”.(16)

Perang Hunayn dan penguasaan atas Arabia

Muhammad adalah penguasa Mekkah, tetapi ada satu halangan besar sebagai
tambahan antara dia dengan penguasa seluruh jazirah Arab. Malik ibn ‘Awf,
seorang anggota suku Thaqif di kota Ta’if, di selatan Mekkah, mulai
mengumpulkan kekuatan untuk memerangi orang-orang Muslim. Orang-orang Ta’if
telah menolak Muhammad dan memperlakukannya dengan buruk ketika ia
mengutarakan klaim kenabiannya kepada mereka 10 tahun silam. Mereka adalah
saingan lama orang Quraysh, dan menganggap berpalingnya orang Quraysh
143
kepada Islam sebagai sebuah kehinaan. Malik mengumpulkan pasukan dan
bergerak maju menghadapi orang Muslim; Muhammad menemuinya dengan
kekuatan pasukan sebanyak 12.000 orang, dan berkata: “Kita tidak akan
dikalahkan hari ini karena kekurangan orang”.(17)

Kedua pasukan itu bertemu di sebuah wadi – sebuah palung sungai kering –
yang disebut Hunayn, dekat Mekkah. Malik dan orang-orangnya tiba lebih dulu dan
mengambil posisi yang memberi mereka keuntungan taktis yang sangat besar.
Orang-orang Muslim terkepung, walau jumlah mereka lebih banyak. Ketika mereka
berhamburan dan lari tunggang-langgang, Muhammad berteriak: “Kemana kalian
pergi? Datanglah padaku. Akulah rasul Tuhan. Akulah Muhmmad putra ‘Abdullah”.
(18) Beberapa orang Muslim kembali dikuatkan, dan perlahan-lahan keadaan
mulai berimbang – walau dengan banyaknya korban jiwa di kedua belah pihak.

Akhirnya orang-orang Muslim mulai berjaya, menghalau pasukan besar


terakhir yang berdiri antara Nabi islam dengan penguasa Arabia. Setelah
peperangan itu, Muhammad menerima wahyu lain yang menjelaskan bahwa
orang-orang Muslim mendapatkan kemenangan oleh karena adanya pertolongan
supranatural: “Kemudian Allah mengirimkan ketenangan kepada rasul-Nya dan
kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu
tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang
kafir...” (Sura 9:26).

Dengan kalahnya Malik, orang-orang Muslim kemudian menaklukkan Ta’if


dengan sedikit perlawanan. Saat ia memasuki kota itu, Muhammad berhenti di
bawah sebuah pohon, dan mencari properti yang disukainya, dan mengirim pesan
kepada pemiliknya: “Kalian keluar atau kami akan menghancurkan dindingmu”.
(19) Namun si pemilik menolak untuk menghadap Muhammad, maka orang-orang
Muslim benar-benar menghancurkan propertinya.(20) Namun demikian, walau
berusaha keras untuk memenangkan pemimpin-pemimpin suku Ta’if kepada
Islam, Muhammad bersikap lunak terhadap mereka. Dalam mendistribusikan
rampasan perang, ia juga memberikannya kepada beberapa orang Quraysh yang
baru saja memeluk Islam, berharap untuk memperkuat persekutuan mereka
dengan Islam. Namun demikian, sikapnya yang pilih kasih itu membuat orang
bersungut-sungut. Seorang Muslim mendekatinya dengan berani, “Muhammad,
aku telah melihat apa yang kau lakukan hari ini...Menurutku engkau tidak berlaku
adil”.

Nabi Islam meragukan hal itu. “Jika keadilan tidak ditemukan padaku maka
dimana lagi kau dapat menemukannya?”(21)

Tentu saja, orang-orang Muslim senantiasa mendapatkan keadilan pada


Muhammad, dan hanya padanya. Perkataan dan perbuatannya menjadi teladan
tertinggi mereka dalam bertingkah-laku, membentuk satu-satunya standar absolut
dalam Islam: apapun yang diteladankan oleh nabi, kecuali insiden-insiden seperti
ayat-ayat setan yang kemudian dibatalkannya, adalah baik.
144
Undangan kepada Islam

Nabi Islam kini hanya menghadapi sedikit perlawanan, dan menjadi penguasa
seluruh jazirah Arab. Ia mulai mengincar wilayah-wilayah yang lebih besar lagi,
melirik perbatasan Byzantium dan wilayah-wilayah Persia. Sebelumnya ia telah
menulis satu seri surat kepada para penguasa negara-negara besar di sekeliling
Arabia, memanggil mereka untuk memeluk agamanya yang baru. Kepada
Heraclius, Kaisar Romawi Timur di Konstantinopel, ia menulis:

“Maka kini, aku mengundangmu kepada Islam (yaitu tunduk kepada Allah),
peluklah Islam maka kamu akan selamat; peluklah Islam dan Allah akan
mengaruniakan pahala ganda. Tetapi jika engkau menolak undangan dari
Islam ini, engkau akan bertanggung-jawab karena telah menyesatkan para
petani (yaitu bangsamu)”.(22)

Kemudian surat itu mengutip Qur’an: “Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan
Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang
lain sebagai tuhan selain Allah...’” (Sura 3:64).

Heraclius menolak Islam, dan segera orang-orang Byzantium mengetahui


bahwa para pejuang jihad benar-benar tidak memberikan keamanan kepada
orang-orang yang mengambil keputusan seperti itu. Boleh jadi Heraclius
mempunyai firasat akan hal ini; menurut sebuah hadith, setelah surat itu dibacakan
ia berpaling kepada penerjemah dan berkata: “Jika apa yang kau katakan itu
benar, maka ia (nabi) akan mengambil alih tempat yang ada di antara kedua
kakiku”.(23) Menurut beberapa tradisi yang diedarkan oleh Ibn Sa’d dan yang
lainnya Heraclius tidak mau menerima Islam, tetapi melihat itu para bangsawannya
lari tunggang-langgang seperti keledai-keledai liar, mendengus dan mengangkat
salib mereka”. Untuk tetap berdamai dengan mereka, Heraclius meninggalkan
gagasan itu.(24)

Muhammad tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan juga dari


Chosroes, penguasa Persia. Setelah membaca surat nabi Islam, Chosroes dengan
penuh penghinaan merobek-robek surat itu. Ketika hal ini terdengar oleh
Muhammad, ia memohon agar Allah menghancurkan Kaisar Persia dan para
pengikutnya tanpa sisa.(25) “Ketika Khosrau [Chosroes] binasa, tidak akan ada
(lagi) Khosrau setelah dia, dan ketika Kaisar binasa, tidak akan ada lagi Kaisar
setelah dia. Demi Dia yang mengenggam hidup Muhammad, kamu akan
menghabiskan harta benda mereka berdua di jalan Allah”.(26)

Nabi Islam mengeluarkan perintah ekspansi ini sebagai salah satu kewajiban
bagi komunitasnya yang baru. Ia menerima sebuah wahyu dari Allah yang
memerintahkan orang Muslim untuk memerangi orang Yahudi dan orang Kristen

145
hingga mereka menerima hegemoni Islam, yang dilambangkan dengan
pembayaran pajak (jizya), dan tunduk kepada peraturan-peraturan yang
diskriminatif yang menjamin bahwa mereka akan terus diingatkan akan posisi
mereka yang rendah (Sura 9:29). Ia mengatakan kepada para pengikutnya untuk
menawarkan orang-orang yang tidak beriman ini agar memeluk Islam, sama
seperti ia juga telah menawarkannya kepada para penguasa, dan jika mereka
menolak maka himbaulah mereka untuk membayar upeti kepada pemimpin negara
Islam, namun jika inipun masih ditolak, maka mereka harus diperangi.(27)

Orang Yahudi dan orang Kristen yang setuju untuk membayar jizya disebut
sebagai “kaum dhimmi”, yang berarti orang-orang yang “dilindungi” atau “bersalah”
– kata itu dalam bahasa Arab mengandung kedua pengertian itu. Mereka
“dilindungi” karena, sebagai Para Ahli Kitab, mereka telah menerima wahyu sejati
(“Kitab”) dari Allah sehingga status mereka berbeda dari kaum pagan dan para
penyembah berhala seperti orang Hindu dan Budha. (Berdasarkan sejarah, Hindu
dan Budha diperlakukan lebih buruk lagi oleh para pejuang Islam, walaupun pada
prakteknya para penguasa Muslim mereka memberikan mereka status sebagai
dhimmi). Mereka “bersalah” karena mereka bukan hanya menolak Muhammad
sebagai nabi, namun mencemarkan wahyu sah yang mereka terima dari Allah.

Oleh karena kesalahan itu, hukum Islam mengatakan bahwa orang Yahudi
dan orang Kristen dapat tinggal di negara Islam, tapi tidak setara dengan orang-
orang Muslim. Seorang ahli hukum Muslim menjelaskan bahwa Khalif harus
“berjihad terhadap mereka yang melawan Islam setelah dihimbau untuk memeluk
Islam hingga mereka tunduk atau mau hidup sebagai komunitas dhimmi yang
dilindungi – sehingga hak-hak Allah, kiranya Dia ditinggikan, dapat ‘dijunjung lebih
tinggi dari semua agama (lainnya)’ (Sura 9:33)”.(28) Sementara orang Yahudi,
Kristen dan non-Muslim lainnya diijinkan untuk menjalankan agama mereka,
mereka harus melakukannya di bawah kondisi-kondisi yang sangat ketat untuk
mengingatkan mereka setiap saat akan status mereka sebagai warga negara
kelas dua.

Muhammad juga memperpanjang “dhimma” hingga kepada Zoroaster, yaitu


sebuah sekte religius Persia. Ketika seorang pemimpin suku yang baru memeluk
Islam menulis kepada nabi Islam dan menanyakan padanya apa yang harus
dilakukannya terhadap para penganut Zoroaster dan orang Yahudi yang ada di
wilayahnya, Muhammad menjawab: “Orang yang tetap menjadi seorang Magian
atau seorang Yahudi, harus membayar jizyah”. Dan ia menulis kepada para
penganut Zoraster yang isinya kemudian membantu meletakkan gagasan pada
orang Muslim bahwa orang non-Muslim adalah najis: di samping menghimbau
agar mereka membayar jizya, ia mengatakan pada mereka bahwa orang Muslim
tidak akan makan daging hingga mereka dibantai.(29)

146
Penyerangan Tabuk

Setelah memerintahkan para pengikutnya untuk memerangi orang Kristen,


Muhammad berniat untuk memberi teladan kepada para pengikutnya. Pada 630
M, ia memerintahkan orang-orang Muslim untuk mulai mempersiapkan
penyerangan di Tabuk, kemudian sebagian dari kekaisaran Byzantium. Tetapi
banyak orang Muslim menolak. Seseorang datang menemui Muhammad dan
meminta agar ia diperbolehkan tidak ikut: “Maukah engkau mengijinkan aku untuk
tinggal di belakang dan tidak mencobai aku, karena semua orang tahu bahwa aku
sangat kecanduan wanita dan aku takut jika aku melihat para wanita Byzantium
aku tidak dapat mengendalikan diriku sendiri”.(30)

Muhammad mengijinkannya, tapi kemudian menerima sebuah wahyu dari


Allah, menghitung orang-orang yang membuat permintaan semacam itu diantara
orang-orang Munafik: “...Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam
fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang
kafir” (Sura 9:49). Yang lainnya memohon untuk tidak ikut karena udara panas
yang menyengat pada waktu itu di Arabia, sehingga kemudian turunlah sebuah
wahyu lagi: “...dan mereka berkata:’Janganlah kamu berangkat (pergi
berperang)dalam panas terik ini.’ Katakanlah: ‘Api neraka Jahanam itu lebih
sangat panas(nya)’. Jika mereka mengetahui” (Sura 9:81).

Perjalanan itu memang benar-benar sulit, dan ketika Muhammad dan


pasukan Muslimnya yang besar tiba di benteng pertahanan Byzantium di utara
Arabia, mereka menemukan bahwa pasukan Byzantium telah mengundurkan diri
dan memilih untuk tidak menghadapi mereka. Tetapi perjalanan itu tidaklah sia-sia:
Muhammad menerima pernyataan tunduk dari beberapa pemimpin wilayah, yang
setuju untuk membayar jizya dan tunduk kepada “perlindungan orang-orang
Muslim”. Satu diantara mereka, Ukaydir bin ‘Abdu’l-Malik, adalah seorang
pemimpin Kristen dari Duma. Para pejuang jihad yang dipimpin oleh Khalid bin al-
Walid yang kejam menangkapnya ketika ia sedang berburu ternak; saudara
Ukaydir dibunuh dalam perkelahian.

Orang-orang Muslim menyita jubah brokat emas yang dikenakan Ukaydir dan
mempersembahkannya kepada Muhammad yang hanya menyengir: “Demi Dia
yang menggenggam hidupku, sapu tangan Sa’d b. Mu’adh” – pejuang Muslim
yang telah memerintahkan pembantaian massal orang Yahudi Qurayzah – lebih
baik daripada ini”.(31) Ukaydir setuju untuk membayar jizya, dan Muhammad
memilih untuk tidak memberinya hukuman mati. Tidak lama kemudian nabi Islam
kembali ke Medina, yang dijadikannya sebagai markas besarnya bahkan setelah
penaklukkan Mekkah.

Wahyu-wahyu yang diterima Muhammad sehubungan dengan penyerangan


tabuk adalah yang paling keras terhadap orang Yahudi dan Kristen dibandingkan
dengan wahyu-wahyu yang telah diterimanya sebelumnya. Wahyu-wahyu itu
mengatakan bahwa orang Yahudi menyebut Ezra sebagai putra Tuhan, sama
147
seperti orang Kristen menyebut Kristus sebagai Putra Tuhan, dan mengumumkan
bahwa kedua kelompok ini telah mendatangkan murka Tuhan (Sura 9:30). Allah
mengkhususkan diri untuk mengkritik orang-orang Kristen:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai


tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra
Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah TuhanYang Maha
Esa...sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang
batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-
orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam
neraka Jahanam, lalu dibakar dengan dahi mereka, lambung dan punggung
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu” (Sura 9:31-35).

Murka Muhammad juga tertuju kepada orang-orang Muslim yang mengabaikan


utusan Allah. Dalam perjalanan kembali dari Tabuk, ia mendapat kabar tentang
sebuah mesjid yang telah dibangun sebuah kelompok Muslim untuk menentang
otoritasnya. Allah memberikannya sebuah wahyu yang memperjelas niat jahat
para pendiri mesjid itu: “...Mereka sesungguhnya bersumpah: ‘Kami tidak
menghendaki selain kebaikan’. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya
mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)” (Sura 9:107). Muhammad
memerintahkan para pengikutnya untuk membakar habis mesjid itu hingga rata
dengan tanah.(32)

Nabi Islam menerima lebih banyak lagi wahyu yang menghina orang-orang
yang telah menolak untuk ikut serta dalam ekspedisi Tabuk. Allah mengingatkan
orang-orang Muslim bahwa kewajiban mereka yang pertama adalah kepada-nya
dan nabi-Nya, dan bahwa orang-orang yang menolak untuk berjihad akan
menghadapi penghukuman yang berat:

“...apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di


akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk
berperang niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan
digantinya (kamu) dengan kaum yang lain...” (Sura 9:38-39).

Bukannya Muhammad memerlukan bantuan mereka:

“...sesungguhnya Allah telah menolongnya (Muhammad) ketika orang-orang


kafir (musyirikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah
seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia
berkata kepada temannya: ‘Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah

148
beserta kita’. Maka Allah menurunkan ketengan-Nya kepada (Muhammad)
dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah
menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah” (Sura 9:40).

Walaupun Muhammad mungkin tidak memerlukan bantuan, jihad demi Allah (jihad
fi sabil Allah, yang merupakan teologi bersenjata Islam untuk mendirikan hegemoni
tatanan sosial Islam) adalah amal terbaik yang dapat dilakukan seorang Muslim.
(Sura 9:41). Nabi Islam menekankan hal ini dalam banyak kesempatan. Pernah
seseorang memohon padanya, “Tuntunlah aku kepada perbuatan yang setara
dengan Jihad (pahalanya)”.

Muhammad menjawab: “Aku tidak menemukan ada perbuatan yang seperti


itu”.(33)

Bagi orang-orang Muslim yang tidak mendampinginya ke Tabuk, Muhammad


mempunyai perkataan yang lebih keras lagi dari Allah. Ia menurunkan wahyu yang
menuduh mereka lebih memilih hidup yang mudah daripada perjalanan jihad yang
sukar:

“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah
diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka
mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka.
Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: ‘Jika kami sanggup tentulah
kami berangkat bersama-samamu’. Mereka membinasakan diri mereka
sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar
orang-orang yang berdusta” (Sura 9:42).

Allah bahkan menegur nabi-Nya karena telah membiarkan orang-orang Muslim


tidak ikut dalam ekspedisi Tabuk. (Sura 9:43). Ia mengatakan pada Muhammad
bahwa orang Muslim yang sejati tidak ragu untuk berjihad, bahkan hingga
merelakan harta milik mereka dan hidup mereka sendiri. Mereka yang menolak
melakukan hal ini bukanlah orang-orang yang beriman (Sura 9:44-45).

Yang terutama dikritik adalah orang Arab Badui: “Orang-orang Arab Badui
itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui
hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Sura 9:97). Allah menuduh beberapa orang
Badui bersekongkol melawan Muhammad, dan memperingatkan bahwa rencana
jahat mereka itu akan mendatangkan marabahaya bagi mereka (Sura 9:98).

Muhammad membacakan sebuah wahyu yang mengatakan padanya untuk


tetap tegas terhadap orang-orang munafik seperti itu – dan terhadap semua orang
Munafik, walaupun rencana mereka untuk melawannya telah gagal: “Hai Nabi,
berjihadlah (melawan)orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap

149
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah
tempat kembali yang seburuk-buruknya. Mereka (orang-orang munafik itu)
bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang
menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran,
dan telah menjadi kafir sesudah Islam,...” (Sura 9:73-74).

Kata “berjihadlah”, dalam konteks keadaan di seputar Muhammad, tidak


diragukan lagi adalah sebuah perintah militer – terutama berdasarkan kenyataan
bahwa Allah menjaminkan Firdaus kepada mereka yang akan “berjuang di jalan
Allah dan akan membunuh dan dibunuh” (Sura 9:111). Pada kesempatan lain,
Muhammad berkata: “Aku telah diperintahkan untuk memerangi orang-orang,
hingga mereka menyaksikan kenyataan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan
percaya padaku (bahwa) aku adalah utusan (dari Tuhan) dan dalam semua yang
telah kubawa. Dan apabila mereka melakukannya, darah dan kekayaan mereka
terjamin perlindungannya demi aku kecuali jika itu dibenarkan oleh hukum, dan
urusan-urusan mereka adalah dengan Allah”.(34) Kebalikannya juga benar: jika
mereka tidak menjadi orang Muslim, darah dan kekayaan mereka tidak mendapat
jaminan perlindungan dari orang Muslim.

Mengumpulkan Jizya

Kini tidak diragukan lagi kalau Muhammad adalah penguasa Arabia. Para
pemimpin Arab dan suku-suku yang belum tunduk kepada otoritasnya kini mulai
melakukan perjalanan ke Medina untuk memeluk agamanya dan memberikannya
upeti. Kepada negara-negara yang tidak datang, Muhammad mengirimkan para
pejuang jihad. Ia mengirimkan pejuang yang sangat ditakuti, yaitu Khalid bin al-
Walid kepada suku al-Harith, memerintahkannya untuk menghimbau mereka agar
memeluk Islam tiga hari sebelum ia menyerang mereka, dan ia juga diperintahkan
untuk membatalkan perang jika mereka mau memeluk Islam. Khalid berkata
kepada para pemimpin suku: “Jika kalian menerima Islam kalian akan selamat” –
dan kemudian suku itu melakukannya. Khalid menyampaikan hal ini kepada nabi
Islam dan mengirimkan seorang utusan dari suku itu ke Medina untuk menemui
Muhammad, yang mengatakan kepada mereka: “Jika Khalid tidak menulis
kepadaku bahwa kamu telah menerima Islam dan tidak berperang, aku akan
melemparkan kepalamu ke bawah kakimu”.(35)

Dari Himyar di Arab selatan datang sepucuk surat yang memberitahu


Muhammad bahwa raja-raja di wilayah itu telah memeluk Islam dan mengobarkan
perang dalam nama Allah terhadap wilayah-wilayah yang tetap menyembah
berhala. Muhammad merasa senang, dan memberitahu mereka bahwa “Utusan
kalian telah menjumpaiku ketika aku kembali dari negeri Byzantium dan ia telah
menemui kami di Medina dan menyampaikan pesanmu dan beritamu dan
memberitahu kami tentang (agama) Islam kalian dan bagaimana kalian membunuh
para politeis. Tuhan telah menuntunmu dengan bimbingan-Nya”.
150
Ia memperinci kewajiban-kewajiban mereka sebagai orang Muslim dan
memerintahkan agar orang Yahudi dan Kristen yang ada di wilayah mereka harus
diundang untuk memeluk Islam, tapi jika mereka menolak, mereka “tidak usah
dipalingkan” dari agama mereka. Namun, orang Yahudi dan orang Kristen di
negeri Muslim yang baru ini “harus membayar pajak – bagi setiap orang dewasa,
pria atau wanita, orang merdeka atau budak, satu dinar penuh” – dan ia
memberikan perintah bagaimana jumlah itu harus dihitung – “atau ekuivalennya
dengan pakaian”. Ia mengingatkan para raja bahwa hidup orang Yahudi dan orang
Kristen bergantung pada pembayaran pajak ini: “Orang yang membayarkannya
kepada rasul Tuhan mendapat jaminan dari Tuhan dan rasul-Nya, dan orang yang
menahannya adalah musuh Tuhan dan rasul-Nya”.(36)

Pada puncaknya Nabi Islam memutuskan bahwa orang Yahudi dan orang
Kristen tidak lagi diijinkan berada di Arabia sama sekali. “Aku akan mengusir
orang Yahudi dan orang Kristen dari jazirah Arab”, katanya kepada para
sahabatnya, “dan tidak akan menyisakan satupun kecuali orang Muslim”.(37) Ia
memberikan perintah semacam itu saat ia terbaring di tempat tidurnya menjelang
ajal. Pada masa kini Kerajaan Arab Saudi berusaha dengan keras agar keinginan
nabi menjelang ajalnya dilakukan dengan seksama.

Pajak jizya sangat penting karena, di samping perampokan, yang


mendatangkan hasil yang tidak konsisten, pajak ini merupakan sumber
pendapatan utama orang Muslim. Ini jelas dalam sebuah surat yang dikirim
Muhammad kepada sebuah suku Yahudi, yaitu Bani Janbah. Pertama ia
meyakinkan mereka bahwa “di bawah jaminan Allah dan jaminan rasul-Nya tidak
akan ada kejahatan ataupun penindasan terhadap kamu. Sesungguhnya rasul
Allah akan membelamu”. Namun: “Sesungguhnya diwajibkan bagimu untuk
membayar seperempat dari hasil panen pohon kurma, dan seperempat dari yang
kamu dapatkan dari sungai-sungai, dan seperempat dari apa yang ditenun para
wanitamu”.(38) Demikian pula, kepada seorang pemimpin Kristen Muhammad
menulis:

“Aku tidak akan memerangi kamu kecuali aku menulis kepadamu


sebelumnya. Maka, bergabunglah dengan Islam atau membayar jizyah.
Taatilah Allah dan rasul-Nya dan para utusan rasul-Nya, hormatilah mereka
dan pakaikanlah mereka pakaian-pakaian yang bagus...Berikanlah Zayd
pakaian yang bagus. Jika para utusanku senang dengan kamu, aku juga akan
senang padamu...Bayarlah tiga wasaq gandum kepada Harmalah...”(39)

Pajak berat yang membebani orang Yahudi dan orang Kristen di wilayah-wilayah
Muslim mendatangkan hak untuk diijinkan hidup dalam kedalamaian yang relatif,
dan ini kemudian menjadi sumber pemasukan utama bagi kekaisaran-kekaisaran
Islam yang besar untuk membawa jihad masuk ke Afrika, Eropa dan Asia.(40)

151
Ziarah terakhir: hak-hak wanita dan pengusiran kaum pagan

Setelah kembali dari Tabuk, Muhammad mengadakan satu ziarah terakhir ke


Mekkah, dimana ia memberi instruksi kepada orang-orang Muslim tentang
bagaimana mereka harus melaksanakan ibadah haji, yaitu ziarah besar yang
harus dilakukan semua Muslim ke Mekkah setidaknya sekali seumur hidup. Ia
berkata kepada para peziarah, membuat berbagai ketentuan, termasuk deklarasi
bahwa “Tuhan telah menetapkan bahwa tidak boleh ada riba”. Dengan
pengecualian terhadap orang-orang yang tidak beriman, orang-orang Muslim
setidaknya dengan seksama telah mengikuti larangan ini sepanjang sejarah; pada
jaman sekarang hal ini telah membawa kepada ditetapkannya pinjaman-pinjaman
bebas bunga dan berbagai pengaturan lain untuk mengakomodasi orang Muslim di
Barat.

Muhammad juga menetapkan penanggalan Islam yang terdiri dari 12 bulan,


tanpa tambahan bulan untuk membedakan antara penanggalan bulan dan
penanggalan matahari; maka bulan-bulan pada kalender Islam tidak mempunyai
waktu yang tetap, tapi bergerak sepanjang tahun. Kemudian ia kembali kepada
hubungan antara suami dan istri:

“Kamu berhak atas istri-istrimu dan mereka berhak atas kamu. Kamu
mempunyai wewenang untuk melarang mereka mencemarkan tempat tidurmu
dan mereka tidak boleh bertingkah-laku yang tidak layak secara terbuka. Jika
mereka melakukannya, Tuhan mengijinkanmu untuk pisah ranjang dan
memukuli mereka namun tidak dengan keras. Jika mereka bertobat dari
melakukan hal-hal itu mereka berhak untuk makan dan berpakaian dengan
pantas. Berikan perintah kepada kaum wanita dengan lembut, karena mereka
adalah tawanan dan kamu tidak mengontrol kepribadian mereka. Kamu hanya
mengambil mereka sebagai amanah dari Tuhan, dan kamu dapat menikmati
mereka melalui perkataan Tuhan...”(41)

Ini sesuai dengan wahyu yang diterima Muhammad dari Allah mengenai wanita,
termasuk memukuli istri-istri yang tidak taat:

“...Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (Sura 4:34).

Muhammad juga memberikan waktu 4 bulan bagi orang-orang yang tidak


beriman untuk meninggalkan Arabia, menyampaikan sebuah wahyu dari Allah dan
menghimbau mereka sekali lagi untuk memeluk Islam (Sura 9:1-3).

152
Orang-orang yang tidak beriman ini adalah orang-orang Arab yang
menyembah berhala, bukan orang Yahudi dan orang Kristen – oleh karena disini
tidak disebutkan mengenai pemungutan jizya kepada mereka seperti yang ia
lakukan kepada orang Yahudi dan Kristen. Bagi orang Yahudi dan kristen
pilihannya adalah memeluk Islam, tunduk, atau perang; bagi para penyembah
berhala pilihannya hanyalah memeluk Islam atau perang. Ia menekankan bahwa
orang-orang tidak beriman yang memeluk Islam yang dapat tetap memelihara
persekutuan yang telah mereka buat dengan orang-orang Muslim. Orang-orang
Muslim harus membunuh yang lainnya (tidak memeluk Islam) setelah jaminan
keamanan selama 4 bulan itu berakhir:

“...Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka
berilah kebebasan bagi mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang...” (Sura 9:4-6).

Untuk “Bertobat” dan mendirikan salat serta menunaikan zakat” berarti memeluk
Islam: kata bahasa Arab yang digunakan disini adalah salat untuk sembahyang
dan zakat untuk amal/sedekah: ini adalah dua hal yang dikenal sebagai Rukun
Islam. Hanya dengan memeluk Islam maka nyawa orang yang tidak beriman akan
diselamatkan, dan hanya pengharapan bahwa mereka akan menerima Islam yang
akan membuat mereka menerima kemurahan dari orang-orang Muslim, karena
dosa-dosa orang yang tidak beriman itu sudah melampaui batas (Sura 9:6-11).

Maka ketika pasukan jihad Islam menyerang orang-orang Hindu di India,


mereka bersikap lebih brutal daripada ketika mereka menyerang Eropa – karena
orang Kristen mempunyai pilihan untuk hidup sebagai kaum dhimmi, sedangkan
para pagan India tidak (walaupun untuk alasan-alasan praktis mereka kemudian
diberikan status sebagai dhimmi). Sejarawan Sita Ram Goel mengemukakan
bahwa orang-orang Muslim yang menginvasi India tidak menghormati aturan-
aturan perang yang telah berlaku selama berabad-abad:

“Imperialisme Islam datang dengan aturan baru – Sunnah [tradisi] nabi.


Sunnah mewajibkan mereka untuk menghabisi populasi/warga sipil yang tidak
berdaya setelah peperangan itu dimenangkan. Sunnah mewajibkan mereka
untuk membumi-hanguskan desa-desa dan kota-kota setelah para
penjaganya mati dalam peperangan atau telah melarikan diri. Sapi-sapi, kaum
Brahmin, dan para Biksu mendapat perhatian khusus dari mereka dalam
pembantian massal orang-orang yang tidak terlibat dalam perang. Kuil-kuil
dan biara-biara menjadi target spesial mereka untuk pesta gila-gilaan,
penjarahan dan pembakaran. Orang-orang yang tidak mereka bunuh, ditawan
dan dijual sebagai budak. Rampasan perang yang banyak dibagi-bagikan,
bahkan dijarah dari mayat-mayat, dan merupakan ukuran keberhasilan dari
misi militer. Mereka melakukan semua ini sebagai para mujahid (para pejuang
suci) dan ghazi (para pembunuh orang kafir) sebagai pelayanan kepada Allah
dan nabi-Nya yang terakhir.(42)

153
Pembunuhan para pujangga

Pada titik ini Muhammad berketetapan untuk menghapuskan semua penentang


pemerintahannya yang masih tersisa. Kini ia mengincar dua orang penyair, yaitu
Abu ‘Afak dan ‘Asma bint Marwan, yang telah menghina cita-citanya untuk menjadi
nabi dalam syair-syair mereka.

Abu ‘Afak diperkirakan telah berusia lebih dari 100 tahun, dan telah dengan
berani mengkritik Muhammad melalui syairnya berkenaan dengan pembunuhan
yang dilakukan Muhammad terhadap lawan-lawannya yang lain. Muhammad
bertanya kepada orang-orangnya, “Siapa yang akan membereskan penjahat ini
untukku?” Ia mendapatkan seorang sukarelawan muda yang bernama Salim bin
‘Umayr, yang menghabisi penyair tua itu ketika ia sedang tidur.(43)

‘Asma bint Marwan, seorang penyair wanita, menjadi sangat marah


mendengar kabar mengenai pembunuhan Abu ‘Afak. Ia menulis syair yang
menjelek-jelekkan orang-orang Medina karena telah menaati “seorang asing yang
tidak berasal dari kalanganmu” dan bertanya, “Tidak adakah orang yang terhormat
yang dapat menyerangnya tiba-tiba dan menghabisi pengharapan mereka yang
menantikan penghargaan darinya?”(44)

Ketika Muhammad mendengar mengenai hal ini, ia mencari seorang


sukarelawan untuk membunuh wanita itu: “siapakah yang akan menyingkirkan
anak perempuan Marwan untukku?” seorang Muslim bernama ‘Umayr bin ‘Adiy al-
Khatmi mengambil tugas itu, dan membunuhnya juga bayi yang sedang
dikandungnya malam itu juga. Tetapi setelah ia melakukan perbuatan itu, ‘Umayr
mulai kuatir jangan-jangan ia telah melakukan dosa besar. Muhammad
meyakinkannya: “Engkau telah menolong Tuhan dan rasul-Nya, wahai ‘Umayr!”
Tapi akankah Ia mendatangkan penghukuman?

“Dua kambing”, jawab nabi Islam, “tidak akan saling membenturkan kepala
mereka untuk wanita itu”.

Para pria dari suku ‘Asma bint Marwan, yaitu Bani Khatma, “melihat kekuatan
Islam” dalam peristiwa pembunuhan wanita itu – demikian diceritakan oleh Ibn
Ishaq. Mereka kemudian mengakui Muhammad sebagai Nabi Allah.(45)

Sakit yang diderita Muhammad di akhir hidupnya

Muhammad sedang mengkonsolidasi kekuatannya dan berencana untuk


melakukan ekspansi lanjutan dari kekaisarannya yang sedang berkembang – ia
telah memerintahkan para pejuang jihad untuk menyerang benteng-benteng
pertahanan Byzantium di Syria dan Palestina – ketika ia jatuh sakit. Berdasarkan
tradisi Islam, ia telah menubuatkan kedatangan akhir hidupnya. Beberapa bulan
sebelum sakitnya dimulai, ia menerima satu wahyu Qur’an singkat yang terakhir,

154
dan ia percaya bahwa wahyu itu mengatakan padanya untuk meminta kemurahan
Allah dalam ia mempersiapkan kematiannya sendiri: “Apabila telah datang
pertolongan dari Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama
Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dan memuji Tuhanmu dan
mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Tobat”
(Sura 110:1-3).(46) Aisha kemudian menceritakan bahwa Muhammad berkata
padanya: “Jibril biasa membacakan Qur’an kepadaku sekali setahun dan tahun ini
dua kali, jadi aku merasa ajalku telah dekat”.(47)

Sakit terakhir yang diderita nabi Islam bermula pada suatu hari ketika Aisha
mengeluh ia sakit kepala. Muhammad berkata bahwa ia berharap bahwa umurnya
akan lebih panjang daripada Aisha, tapi ia tahu itu tidak akan terjadi. Mengenai
sakit kepala Aisha, ia berkata: “ Aku berharap itu telah terjadi ketika aku masih
hidup, karena aku akan meminta pengampunan Allah bagimu dan memanggil
Allah bagimu”.

Aisha menjawabnya dengan sinis: “Demi Allah, menurutku kau ingin agar aku
mati; dan jika hal ini terjadi, kau akan menghabiskan sisa hari ini dengan tidur
dengan salah-satu istri-istrimu!”

Tetapi Muhammad tidak sedang ingin bercanda. Ia mengatakan pada Aisha


bahwa dialah yang sedang menderita sakit kepala yang hebat, dan menekankan
bahwa sakitnya itu akan berakhir dengan kematian.(48) Ketika sakitnya semakin
parah, ia kuatir kalau ia harus pindah, menghabiskan tiap malam dengan istri yang
berbeda, seperti yang selalu dilakukannya sejak ia mulai mempraktekkan poligami.
Ia mulai suka berteriak dengan kekuatiran, “Besok aku akan ada dimana? Besok
aku akan ada dimana?” Akhirnya istri-istrinya yang lain mengijinkannya untuk
tinggal di rumah istri kesayangannya, Aisha.(49)

Seperti yang telah kita lihat, ia mengalami sakit yang mengingatkannya akan
peristiwa ia diracun di Khaybar beberapa tahun silam: “Oh Aisha! Aku masih
merasakan sakit karena makanan yang kumakan di Khaybar, dan saat ini, aku
merasa seakan-akan urat nadiku dipotong dari racun itu”.(50)

Saat ia terbaring sakit, berulangkali ia mengucapkan dua Sura dari Qur’an


yang kini ditempatkan di akhir kitab itu, yang dikenal dengan Al-Mu’awwidhatan
(dua Sura mengenai berlindung pada Allah dari yang jahat):

“Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,


dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah
gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang
menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki
apabila ia dengki’” (Sura 113:1-5).

Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan


menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari

155
kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari golongan jin dan manusia’”
(Sura 114:1-6). (51)

Ia meminta kepada orang-orang beriman yang telah berkumpul di sekitar tempat


tidurnya untuk memberinya sesuatu untuk ditulisi, “supaya aku dapat menuliskan
padamu sesuatu sehingga kamu tidak akan tersesat”. Tetapi orang-orang Muslim
itu malah sibuk memperdebatkan betapa parah sakitnya itu, hingga akhirnya ia
memerintahkan mereka untuk keluar dari kamar itu. Tapi sebelum mereka pergi, ia
memberikan dua perintah kepada mereka: “Usirlah Al-Mushrikun [orang politeis,
pagan, penyembah berhala, dan orang-orang yang tidak percaya kepada Keesaan
Allah dan pada Muhammad utusan-Nya] dari jazirah Arab; hormatilah dan berilah
pemberian kepada utusan-utusan asing sebagaimana kamu lihat aku bersikap
pada mereka”.(52) (keterangan yang ada dalam kurung diatas ditambahkan oleh
penerjemah Saudi terhadap hadith Bukhari; kata “Al-Mushrikun” secara umum
diterjemahkan dengan “orang-orang yang tidak beriman”).

Orang-orang yang tidak beriman memenuhi pikirannya bahkan ketika ia


sedang terbaring sakit. Beberapa tradisi Islam bahkan mengklaim bahwa orang-
orang Yahudi telah “menyantet” Muhammad.(53) Ketika beberapa istrinya mulai
mendiskusikan keindahan sebuah gereja yang mereka lihat di Abyssinia yang
dihiasi dengan patung dan gambar yang indah, Muhammad bangkit dan berkata:
“itulah orang-orang yang, apabila ada orang yang saleh diantara mereka
meninggal, mereka membangun tempat ibadah di kuburnya dan kemudian mereka
menaruh gambar-gambar itu di dalamnya. Mereka adalah makhluk yang paling
buruk di mata Allah”.(54) Ia menambahkan, “Allah mengutuk orang Yahudi dan
orang Kristen karena mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat
ibadah”.(55) Aisha berpendapat bahwa jika Muhammad tidak mengatakan hal ini
maka “kuburnya akan kelihatan menyolok”.(56)

Kemudian orang-orang yang berkumpul di sekitar tempat tidurnya


memasukkan obat ke dalam mulutnya, dan mengabaikan gerakan tangannya yang
menolak perbuatan mereka. Ketika ia merasa lebih baik, ia bertanya kepada
mereka, “Bukankah aku telah melarang kamu untuk memasukkan obat ke dalam
mulutku?” mereka menjawab bahwa mereka mengira dia berlaku sama seperti
orang sakit pada umumnya yang tidak suka minum obat, tetapi Muhammad tidak
senang sama sekali. Sebagai hukumannya ia memerintahkan agar semua orang
yang ada dalam ruangan itu ketika ia diberi obat juga harus meminum obat itu.(57)

Jika melihat kilas balik karir kenabiannya, Muhammad mengenang: “Aku


telah diutus dengan berita yang singkat namun mengandung makna yang luas,
dan aku telah dijadikan berkemenangan melalui teror (yang ditebarkan ke dalam
hati musuh), dan ketika aku sedang tertidur, kunci segala harta di dunia dibawa
kepadaku dan ditaruh di tanganku”.(58) Ini adalah satu dari pernyataannya yang
156
paling menarik. Memang benar Qur’an itu cukup singkat, terutama jika
dibandingkan dengan Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru; entah isinya
benar-benar memuat “makna yang luas” atau tidak, namun demikian Qur’an
merupakan materi perdebatan para teolog. Bahwa ia dijadikan “berkemenangan
melalui teror” adalah hal yang tidak dapat disangkali lagi, mengingat kehebohan
karir kenabiannya yang diwarnai dengan perampokan, peperangan dan
pembantaian.

Sudah tentu Muhammad tidak sedang berbicara mengenai teror yang


dimengerti dunia modern sebagai terorisme, tetapi teror yang ditaruh Allah ke
dalam hati orang-orang yang tidak beriman (bdk. Sura 3:151, 7:4-5, 8:12, 8:60, dll)
– sesuatu yang dekat dengan apa yang dipahami oleh orang Yahudi dan orang
Kristen sebagai “takut akan Tuhan”. Tetapi baginya, teror itu tidak dapat
dipisahkan dari teror yang ditebar oleh para pejuangnya ke dalam hati para lawan
mereka, karena baginya, mereka adalah alat-alat murka Allah. Dan tentu saja para
pejuang itu, juga teologi yang menjanjikan mereka rampasan perang dalam dunia
ini dan kesenangan fisik yang tidak berkesudahan di kehidupan berikutnya jika
mereka berperang bagi Islam, akan menaruh ke dalam tangan Muhammad “kunci
segala harta di dunia”. Semua harta itu akan menjadi milik orang Muslim – melalui
teror, yaitu teror Allah.

Akhirnya kesudahan itu datang. Aisha berkata: “Itulah satu berkat yang Allah
karuniakan kepadaku yaitu bahwa Utusan Allah wafat di rumahku pada hari
giliranku saat ia sedang berbaring di dadaku, dan Allah membuat air liurku
bercampur dengan air liurnya saat kematiannya”.(59) Ia mengatakan bahwa,
“Utusan Allah meninggal dunia ketika ia berusia 63 tahun”.(60) Ketika itu tanggal 8
Juni 632 M.

Muhammad, sang penguasa Arabia, pendiri dan nabi Islam, hanya


meninggalkan sedikit harta benda. Ia telah banyak menghabiskan hartanya untuk
berjihad. Satu hal yang pasti diwariskannya untuk dunia adalah agama Islam. Dan
selama berabad-abad, orang-orang Muslim yang menghormatinya sebagai teladan
tingkah-laku yang paling sempurna akan sangat serius melakukan perintahnya
untuk mengobarkan perang demi Islam.

Setelah Muhammad

Nabi Islam tidak dengan jelas menunjuk penggantinya; nampaknya sakitnya yang
parah itu menyerangnya dengan tiba-tiba. Ia mempunyai beberapa putri, namun ia
tidak mempunyai putra: satu-satunya anak laki-lakinya, yaitu Ibrahim, yang ibunya
adalah selir Muhammad yakni Maria orang Koptik, meninggal ketika baru berusia
16 bulan. (“Jika Ibrahim hidup”, kata Muhammad, “aku tidak akan memungut pajak
– yaitu jizya – dari setiap orang Koptik”).(61)

157
Menurut beberapa tradisi, Muhammad mengangkat Abu Bakr sebagai
penggantinya: Aisha menyebutnya sebagai orang yang akan dipilih Muhammad
jika ia harus memilih orang untuk menggantikannya. Nampaknya, selama ia sakit
Muhammad memerintahkan agar Abu Bakr menggantikannya untuk memimpin
orang Muslim bersembahyang (sebagai imam).(62) Dan tentu saja, setelah
kematian Muhammad, Abu Bakr menjadi Khalif yang pertama.

Tetapi sekelompok orang Muslim tetap beranggapan bahwa sebenarnya


Muhammad telah mengangkat Ali sebagai penggantinya. Sebuah tradisi
mengatakan bahwa Muhammad bertanya kepada Ali, “Tidakkah engkau puas
hanya mengabdi padaku seperti Harun mengabdi kepada Musa?”(64) Ini
menyiratkan sebuah serah terima, karena di dalam Qur’an Musa berkata kepada
Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku” (Sura 7:142). Namun
demikian, Aisha menghina gagasan bahwa Muhammad telah memilih Ali untuk
menggantikannya (mungkin ia masih teringat betapa sombongnya Ali yang telah
mengingatkan Muhammad bahwa masih ada banyak wanita lain ketika ia dituduh
telah berselingkuh). Ada yang mengatakan bahwa Muhammad telah mewasiatkan
Ali sebagai penggantinya, Aisha menjawab, “Kapan ia mengangkat Ali melalui
wasiat? Sesungguhnya, ketika ia wafat ia sedang beristirahat di dadaku (atau di
pangkuanku) dan ia meminta sebuah baskom dan kemudian tidak sadarkan diri
dalam posisi seperti itu, dan aku bahkan tidak tahu kalau ia telah meninggal, jadi
kapan ia mengangkatnya melalui wasiat?”(65)

Kontroversi itu memanas pada tahun-tahun pertama Islam, karena Abu Bakr
diganti oleh Umar dan kemudian Uthman. Masing-masing mereka ditentang oleh
sekelompok Muslim yang berkeras bahwa pengganti Muhammad haruslah orang
yang berasal dari lingkungan keluarga Muhammad sendiri (Ali adalah sepupu dan
menantu Muhammad, suami dari putrinya Fatima). Akhirnya ia dipilih sebagai
Khalif yang ke-empat pada 656 M, tetapi dibunuh pada tahun 661.

Shi’at Ali, atau Kelompok Ali, yang lebih dikenal dengan kelompok Syiah,
tidak menyerah. Mereka memisahkan diri dari kelompok orang Muslim yang lebih
besar dan menjadi lebih sengit berdebat, dan itu berlangsung sampai hari ini.
Selama berabad-abad kelompok Syiah mengekspresikan kesalehan Islam dengan
cara yang berbeda dari norma-norma yang dianut umat Muslim yang lebih besar
yaitu kelompok Sunni (disebut demikian karena mereka menyebut diri mereka
sebagai yang menaati Sunnah, atau tradisi, dari Muhammad).

Muslim Syiah hanya berjumlah sekitar 15% dari komunitas Muslim di seluruh
dunia, tetapi mayoritas terbesarnya terdapat di Iran, juga mayoritas di Irak, dan
segelintir kelompok minoritas di negara-negara Muslim lainnya. Mereka tetap
merupakan sebuah kekuatan yang harus diperhitungkan oleh kelompok Sunni.
Pertikaian antara Sunni-Syiah di dalam Islam telah menimbulkan kekerasan yang
tidak main-main selama berabad-abad, dan dalam abad 21 mengancam untuk
meledak lagi menjadi perang terbuka di Irak, Pakistan, dan negara-negara lainnya.

158
Ini adalah sebuah warisan yang sepenuhnya bersumber dari sikap dan
tingkah-laku nabi Islam.

Catatan Kaki

1. Ibn Ishaq, 544.

2. Ibid., 545.

3. Ibid., 546.

4. Ibid., 547.

5. Ibid.

6. Ibn Sa’d, vol. II, 168.

7. Sunan Abu-Dawud, book 38, no. 4346.

8. Bukhari, vol. 7, book 76, no. 5727; cf. online, vol. 8, book 82, nos
794-797.http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/hadith-sunnah/bukhari/
082.sbt.html.

9. Bukhari, vol. 9, book 87, no. 6878.

10. Bukhari, vol. 9, book 88, no. 6922; cf. vol. 4, book 56, no. 3017.

11. Dr. Ibrahim B. Syed, “Is Killing An Apostate in the Islamic Law?” The American Muslim,
April 2005.

http://theamericanmuslim.org/tam.php/features/articles/shariah_is_killing_an_apostat
e_in_the_islamic_law/.”Pbuh” stands for “peace be upon him,” and is commonly
added by pious Muslims after they mention the name of a prophet.

12. Ibn Ishaq, 550-551.

13. Ibid., 552

14. Ibid., 552-553.

15. Ibid., 554.

16. Ibn Ishaq, 555. It is interesting to note that Emerick renders “The apostle killed men in
Mecca” as “the Prophet of God fought in Mecca.” See Emerick, 254.

17. Ibn Ishaq, 567.

18. Ibid., 569.

19. Guillaume explains: “ha’it means wall and also the garden which it surrounds.”

159
20. Ibn Ishaq, 589.

21. Ibn Ishaq, 595-596.

22. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 2941.

23. Bukhari, vol. 9, book 93, no. 7196.

24. Ibn Sa’d, vol. I, 306.

25. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4424.

26. Bukhari, vol. 4, book 61, no. 3618.

27. “Fight in the name of Allah and in the way of Allah. Fight against those who disbelieve
in Allah. Make a holy war, do not embezzle the spoils; do not break your pledge; and
do not mutilate (the dead) bodies; do not kill the children. When you meet your ene-
mies who are polytheists, invite them to three courses of action. If the respond to any
one of these, you also accept it and withhold yourself from doing them any harm. Invite
them to (accept) Islam; if they respond to you, accept it from them and desist from
fighting against them…. If they refuse to accept Islam, demand from them the Jizya. If
they agree to pay, accept it from them and hold off your hands. If they refuse to pay
the tax, seek Allah’s help and fight them.” Muslim, book 19, no. 4294.

28. Abu’l hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sultaniyyah (The Laws of Islamic Governance),
Ta-Ha Publishers, 1996, 28.

29. Ibn Sa’d, vol. I, 310-311.

30. Ibn Ishaq, 602.

31. Ibid., 608.

32. Ibid., 609.

33. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 2785.

34. Muslim, book 10, no. 31; cf. Bukhari, vol. 1, book 2, no. 25.

35. Ibn Ishaq, 645-646.

36. Ibid., 643.

37. Muslim, book 19, no. 4366.

38. Ibn Sa’d, vol. I, 328.

39. Ibn Sa’d. vol I, 328-329.

40. Bukhari, vol. 4, book 58, no. 3162.

41. Ibn Ishaq, 651.

160
42. Sita Ram Goel, The Story of Islamic Imperialism in India, Voice of India, revised edi-
tion, 1994, 44.

43. Ibn Ishaq, 675.

44. Ibid., 676.

45. Ibid.

46. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4430.

47. Muslim, book 31, no. 6005.

48. Bukhari, vol. 7, book 75, no. 5666.

49. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4450.

50. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4428.

51. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4439.

52. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4431.

53. Ibn Sa’d, vol. II, 244-245; Bukhari, vol. 7, book 76, no. 5765.

54. Bukhari, vol. 2, book 23, no. 1341.

55. Bukhari, vol. 5, book 64, nos. 4441; vol. 2, book 23, no. 1330.

56. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4441.

57. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4458.

58. Bukhari, vol. 4, book 56, no. 2977.

59. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4449.

60. Bukhari, vol. 5, book 64, no. 4466.

61. Ibn Sa’d, vol. I, 164.

62. Muslim, book 31, no. 5877.

63. Mukhari, vol. 1, book 10, no. 678.

64. Muslim, book 31, no. 5916.

65. Bukhari, vol. 4, book 55, no. 2741.

161
PASAL 10

WARISAN MUHAMMAD

• Apakah Muhammad seorang pedofil?

• Apakah Muhammad seorang pembenci wanita?

• Teladan perang Muhammad

• Penghukuman-penghukuman kejam Islam

• Benarkah Islam toleran terhadap agama-agama lain?

• Sisi lembut Muhammad

• Bagaimana para jihadis di jaman ini meniru Muhammad

• Apa yang harus dilakukan

Perang terhadap teror

Dengan adanya serangan teror jihad pada 11 September 2001, Muhammad


menjadi lebih kontroversial dari sebelumnya di dunia Barat. Banyak analis dan
komentator yang membuat pernyataan mengenai dia dan agama yang
didirikannya tanpa terlebih dahulu menyelidiki catatan yang aktual. Ini terjadi
karena pengetahuan tentang Muhammad di dunia Barat selama ini tidak jelas, jadi
mereka dapat dimaklumi; namun demikian, muncul banyak pertanyaan dan diskusi
mengenai teladannya yang masih relevan dengan Perang terhadap Terorisme dan
hubungan antara dunia Muslim dan non-Muslim.

Oleh karena itu ketidakpedulian kini menjadi seperti kemewahan yang tidak
dapat lagi dibeli oleh dunia Barat. Mengingat para jihadis (demikian pula kaum
awam Muslim) di seluruh dunia mengagungkan Muhammad sebagai teladan dan
bimbingan mereka, sangatlah penting untuk mengetahui apa yang sesungguhnya
dikatakan Muhammad dan bagaimana ia hidup.

Seorang nabi pedofil?

Pada tahun 2002, Jerry Vines, mantan presiden Southern Baptist Convention
berkata: “Kekristenan didirikan oleh Yesus Kristus yang dilahirkan oleh seorang
perawan. Islam didirikan oleh Muhammad, seorang pedofil yang dirasuk setan,
yang mempunyai 12 istri, dan istrinya yang terakhir adalah seorang anak

162
perempuan berumur 9 tahun”.(1) Perkataan Vines menimbulkan kontroversi yang
hebat, yang umumnya menuduhnya sebagai seorang yang “menderita
Islamofobia” (fobia terhadap Islam), tanpa adanya pengujian terhadap dasar-dasar
faktual perkataannya itu. Council on American-Islamic Relations menghimbau
Presiden Bush dan para pemimpin agama untuk mengutuk pernyataan-pernyataan
Vines yang dipandang “sembrono dan bernada Islamofobia”.(2)

Namun fakta-fakta yang terdapat dalam perkataan Vines tersebut tidak dapat
disangkali. Menurut sebuah ahadith yang dilaporkan oleh Bukhari, Nabi Islam
“menikahi Aisha ketika ia masih seorang anak perempuan yang berusia 6 tahun,
dan ia menjalani kehidupan rumah-tangganya dengan Aisha ketika anak itu
berusia 9 tahun”.(3) Pada waktu itu Muhammad berada di awal usia 50-an.
Banyak apologis Islam mengklaim – bertentangan dengan bukti yang ada – bahwa
Aisha sebenarnya berusia lebih tua dari yang disebutkan. Karen Armstrong
mengemukakan bahwa “Tabari mengatakan bahwa Aisha masih sangat muda
sehingga ia tinggal di rumah orang-tuanya dan pernikahan itu benar-benar
diwujudkan (dengan hubungan suami-istri-Red) disana kemudian setelah Aisha
menginjak masa remaja”.(4) Sayangnya, para pembacanya nampaknya tidak
mempunyai tulisan-tulisan Tabari untuk memeriksa pernyataan Aisha;
bertentangan dengan laporan Armstrong, sejarawan Muslim mengutip perkataan
Aisha sebagai berikut: “Utusan Tuhan menikahi aku ketika aku berusia 7 tahun;
pernikahanku terlaksana ketika aku berusia 9 tahun”.(5)

Namun demikian, juru bicara Muslim lainnya mengakui apa yang dikatakan
oleh laporan-laporan itu. Sarjana Islam Muhammad Ali Al-Hanooti berkata bahwa
pernikahan Muhammad dengan Aisha adalah kehendak Allah, dan “Allah biasanya
bukanlah pihak yang boleh kita debat pengaturan atau perintah-Nya. Qur’an
berkata, “Ia tidak dipertanyakan perbuatan-Nya, tetapi mereka (orang-orang)
dipertanyakan perbuatannya”. Aisha dinikahkan ketika ia berusia 9 tahun, ketika
nabi (SAAWS) meninggal, ia berusia 19 tahun...apanya yang salah jika ia menikah
saat berusia 6 atau 9 tahun, atau berapapun usianya?”(6)

Pernikahan kanak-kanak sudah biasa dilakukan di Arabia pada abad ke-7.


Penting untuk diperhatikan bahwa tidak ada catatan di dalam Qur’an atau Hadith
yang mengatakan bahwa Muhammad harus membela pernikahannya dengan
Aisha – kontras bertentangan dengan pembelaannya mati-matian terhadap
pernikahannya dengan mantan menantunya, yaitu Zaynab bint Jahsh. Tambahan
lagi, Qur’an menggambarkan sebuah budaya menyepelekan pernikahan kanak-
kanak. Dalam peraturan-peraturannya mengenai masa penantian yang diwajibkan
untuk menentukan apakah si istri sedang hamil sebelum menceraikannya, Qur’an
berkata: “Jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid” (Sura
65:4, penekanan ditambahkan). Dalam wahyu ini Allah memperlihatkan sebuah
skenario dimana seorang perempuan yang belum memasuki masa puber bukan
hanya dinikahi, tapi juga diceraikan oleh suaminya.

163
Jadi apakah Muhammad seorang pedofil? Konsep pedofilia sebagai sebuah
penyimpangan seksualitas tidak eksis pada abad ke-7. Dalam menikahi Aisha,
Muhammad berlaku tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang telah dilakukan oleh
banyak pria pada masa itu, dan tidak seorangpun berpikir dua kali mengenai hal
itu hingga bertahun-tahun berlalu. Dari perspektif ini, tuduhan Vines terdengar
sedikit anakronistis. Namun demikian, berkaitan dengan status Muhammad di
hadapan orang Muslim sebagai teladan sempurna tingkah-laku manusia,
pernikahannya dengan Aisha menjadi lebih penting. Permasalahan bermunculan
ketika perbuatan seperti ini dipisahkan dengan paksa dari konteks historisnya dan
diajukan sebagai sebuah paradigma bagi umat manusia sepanjang masa dan di
berbagai tempat. Namun inilah yang persis terjadi di dalam umma. Dengan
meneladani Nabi islam, banyak orang Muslim bahkan di jaman modern ini yang
menikahi perempuan yang masih kanak-kanak. Di beberapa tempat hal ini bahkan
telah mendapat pengesahan hukum: Artikel 1041 dari Hukum Sipil di Republik
Islam Iran menyatakan bahwa anak-anak perempuan dapat ditunangkan sebelum
berusia 9 tahun, dan menikah pada usia 9 tahun: “Pernikahan sebelum pubertas
(sembilan tahun [Islam] penuh bagi anak-anak gadis) dilarang. Pernikahan
disepakati (ditandatangai) sebelum mencapai pubertas dengan seijin wali adalah
sah dan kepentingan pihak yang berada di bawah perwalian harus sangat
diperhatikan”.(7)

Ayatollah Khomeini sendiri menikahi seorang anak perempuan berusia 10


tahun ketika ia berusia 28 tahun.(8) Khomeini menyebut pernikahannya dengan
anak yang belum puber itu “sebuah berkat ilahi”, dan menyarankan orang-orang
beriman: “Usahakan dengan sangat agar anak-anak perempuan kalian tidak
melihat darah (haid) pertama mereka di rumahmu”.(9)

Majalah Time pada tahun 2001 melaporkan:

“Di Iran usia sah untuk menikah adalah 9 tahun untuk anak-anak perempuan,
14 tahun untuk anak-anak laki-laki. Hukum ternyata telah dieksploitasi oleh
para pedofil, yang menikahi gadis-gadis miskin dari desa-desa, memakai dan
kemudian meninggalkan mereka begitu saja. Pada tahun 2000 Parlemen Iran
memutuskan untuk menaikkan usia minimum untuk para gadis menjadi 14
tahun, tapi tahun ini, suatu badan legislatif yang didominasi oleh para ulama
tradisional memveto gerakan itu. Sebuah usaha oleh kaum konservatif untuk
menghapuskan usia minimum yang sah yaitu 15 tahun untuk anak perempuan
telah gagal, tetapi para pakar lokal mengatakan bahwa hal itu hampir-hampir
tidak pernah diperjuangkan. (Permulaan pubertas dianggap sebagai waktu
yang tepat untuk pelaksanaan pernikahan)”.(10)

UNICEF melaporkan bahwa lebih dari separuh anak perempuan di


Afghanistan dan Banglades telah menikah sebelum mereka menginjak usia 18
tahun.(11) Pada awal tahun 2002, para peneliti di kamp-kamp pengungsi di

164
Afghanistan dan Pakistan menemukan bahwa separuh dari gadis-gadis disana
telah menikah pada usia 13 tahun. Dalam sebuah kamp pengungsi Afghanistan,
dua dari tiga orang anak perempuan kelas dua SD sudah menikah atau
ditunangkan, dan nampaknya semua gadis yang diatas kelas 2 telah menikah.
Seorang anak perempuan yang berusia 10 tahun telah bertunangan dengan
seorang pria berusia 60 tahun.(12)

Inilah harga yang harus dibayar kaum wanita di sepanjang sejarah Islam, dan
masih harus terus membayarnya, oleh karena status Muhammad sebagai “teladan
tingkah-laku yang sempurna” (Sura 33:21).

Seorang pembenci wanita?

Muhammad mempunyai banyak istri, daftarnya beragam namun mencakup 11-13


wanita. Tradisi Islam menobatkannya sebagai orang yang mempunyai kehebatan
seorang manusia super: “Jibril membawa sebuah ceret yang dari dalamnya aku

makan”, katanya, “dan aku diberikan kekuatan untuk melakukan hubungan seksual
yang setara dengan 40 laki-laki”.(13) Sebaliknya, para apologis Islam
kontemporer mengemukakan bahwa pernikahannya yang banyak itu bukanlah
masalah nafsu tetapi untuk membangun dan memperkuat ikatan-ikatan politik.
Seorang Muslim yang menulis biografi nabi Islam menyelidiki situasi-situasi dari
setiap pernikahannya dan menyimpulkan: “Jadi kita melihat bahwa tiap pernikahan
ini mempunyai beberapa alasan yang kuat dibelakangnya; hasrat dan nafsu tidak
menjadi alasannya”.(14) Sementara adalah mustahil untuk menentukan hal
seperti itu, tidak diragukan lagi bahwa hukum yang ditetapkan Muhammad bagi
wanita telah memberikan pada mereka banyak kerugian dalam masyarakat Islam
hingga hari ini.

Qur’an mengumpamakan wanita sebagai sebuah ladang, untuk digunakan


oleh pria sesukanya: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja
kamu kehendaki” (Sura 2:223). Qur’an mengatakan bahwa kesaksian seorang
wanita nilainya hanya separuh dari kesaksian seorang pria: “Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-
saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya” (Sura 2:282). Qur’an mengijinkan pria untuk mempunyai istri
bahkan sampai 4 orang, dan berhubungan seks dengan budak-budak perempuan
(“tawanan yang kamu miliki di tangan kananmu”) juga: “Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka

165
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Sura 4:3).

Qur’an juga memerintahkan agar hak waris seorang anak laki-laki harus dua
kali lipat besarnya dari anak perempuan: “Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bahagian dua orang anak perempuan” (Sura 4:11). Yang paling
buruk adalah, Qur’an memerintahkan para suami untuk memukuli istri-istri yang
tidak taat: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nuzyusnya, maka nasihatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka”
(Sura 4:34).

Muhammad juga mengatakan bahwa neraka akan dipenuhi oleh lebih banyak
wanita daripada pria: “Hai wanita! Berilah sedekah, karena aku telah melihat
bahwa kebanyakan penghuni Api Neraka adalah kamu (wanita)...Kamu sering
mengutuk dan tidak berterima-kasih kepada suami kalian. Belum pernah kulihat
seorang pun yang kurang kecerdasannya dan agamanya daripada kamu. Seorang
pria yang waras dapat disesatkan oleh beberapa diantara kamu”.(15)

Dengan pernyataan-pernyataan seperti ini dari Qur’an dan Muhammad,


tidaklah mengherankan apabila kaum wanita di dunia Islam menderita
ketidaksetaraan.

Penghukuman-penghukuman yang kejam?

Ada dua hukuman yang berat – pezinah dihukum dengan dilempari batu dan
pencuri dihukum dengan amputasi – menjelaskan hukum syariah Islam kepada
banyak orang Barat, dan sesungguhnya, kedua jenis penghukuman itu
melambangkan kerasnya hidup sebelum abad pertengahan dan
ketidaksesuaiannya dengan dunia kontemporer. Namun demikian, mendobrak
kedua hukuman itu yang merupakan elemen-elemen inti dari hukum syariah
adalah sesuatu yang sulit dilakukan.

Banyak orang tahu jika Muhammad telah menantang orang-orang Yahudi


karena telah menutup-nutupi hukuman rajam batu terhadap pezinah di dalam
Taurat. Para apologis Islam di Barat suka menunjukkan bahwa Qur’an tidak
memuat perintah ini. Qur’an hanya memerintahkan hukum cambuk untuk para
pezinah: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada

166
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman” (Sura 24:2). Allah juga
memerintahkan agar wanita pezinah dikurung di rumah mereka sampai mati: “Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka
telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang
lain kepadanya” (Sura 4:15).

Hukuman-hukuman ini sangat keras, tapi setidaknya hukuman-hukuman itu


kelihatannya memberikan sedikit harapan bahwa hukuman lempar batu bagi
pezinah menurut Islam tradisional yang masih dilaksanakan di negara-negara
yang benar-benar menerapkan seluruh hukum syariah, dapat dikurangi. Namun
demikian, pengharapan semacam itu hanyalah sebuah ilusi. Hadith mengatakan
bahwa masalah itu tidak berhenti sampai di situ saja. Menurut Umar, Qur’an pada
mulanya memuat ayat yang berbicara mengenai hukuman rajam batu untuk para
pezinah, tetapi kemudian dengan ceroboh telah dibatalkan:

“Allah mengutus Muhammad dengan Kebenaran dan mewahyukan Kitab


(Qur’an) kepadanya, dan diantara apa yang telah diwahyukan Allah, adalah
Ayat mengenai Rajm (melempar batu pada orang yang sudah menikah-pria
dan wanita) yang melakukan hubungan seksual yang tidak sah, dan kami
telah membacakan Ayat ini dan memahami dan menghafalnya. Utusan Allah
telah melaksanakan hukuman rajam batu ini dan demikian pula kami yang
setelah dia.

Aku kuatir jika waktu telah lama berlalu, seseorang akan berkata, “Demi Allah,
kami tidak menemukan Ayat mengenai Rajm dalam Kitab Allah”, sehingga
mereka akan tersesat dengan meninggalkan kewajiban yang telah
diwahyukan Allah. Dan penghukuman Rajm dikenakan pada orang yang telah
menikah (pria dan wanita) yang melakukan hubungan seksual yang tidak sah
jika bukti yang diperlukan telah tersedia atau ada kehamilan atau pengakuan”.
(16)

Sangatlah sulit, jika kita tidak ingin mengatakan mustahil, bagi para pembaharu
Islam untuk bergerak maju menentang hal ini ketika Umar secara khusus
memperingatkan mereka.

Hukuman amputasi bagi pencuri bahkan lebih keras lagi disuarakan oleh
sebuah ayat yang tetap ada di dalam Qur’an: “Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Sura 5:38). Perkataan-perkataan Allah yang
mengikat ini berlaku pada masa lalu, kini dan selamanya.

167
Nabi Perang?

Ibn Ishaq melaporkan bahwa Muhammad turut serta dalam 27 perang (kutipan
yang berada dalam kurung yang dimulai dengan “T” di bawah ini mengacu pada
versi Tabari mengenai laporan yang sama):

“Rasul secara pribadi turut mengambil bagian dalam dua puluh tujuh (T. Enam)
penyerangan:

Waddan yang adalah penyerangan al-Abwa’.

Buwat yang menuju Radwa.

‘Ushayra di lembah Yanbu’.

Perang pertama di Badr untuk mengejar Kurz b. Jabir. Perang besar Badr
dimana Tuhan membantai pemimpin-pemimpin Quraysh (T. Dan para
bangsawan mereka dan menawan banyak orang).

Bani Sulaym hingga ia mencapai al-Kudr. Al-Sawiq saat mengejar Abu Sufyan
b. Harb (T. Hingga ia tiba di Qarqara al-Kudr).

Ghatafan (T. Menuju Najd), yang adalah penyerangan Dhu Amarr.

Bahran, sebuah tambang di Hijaz (T. Diatas al-Furu’).

Uhud.

Hamra’ u’l-Asad.

Bani Nadir.

Dhatu’l-Riqa dari Nakhl.

Perang Badr yang terakhir.

Dumatu’l-Jandal.

Al-Khandaq. Bani Qurayza.

Bani Lihyan dari Hudhayl. Dhu Qarad. Banu’l-Mustaliq dari Khuza’a.

Al-Hudaybiya tidak termasuk untuk berperang di jalan masuknya yang


ditentang kaum politeis.

Khaybar.

Kemudian ia terus menyelesaikan perjalanan ziarah. Pendudukan atas:

Mekkah.

Hunayn.

Al-Ta’if.

Tabuk.

168
Muhammad sendiri turut ambil bagian dalam 9 peperangan: Badr; Uhud; al-
Khandaq; Qurayza; al-Mustaliq; Khaybar; pendudukan; Hunayn; and al-Ta’if.
(17)

Sekali lagi disini teladan Muhammad bersifat normatif. Kita telah melihat
bagaimana para jihadis di jaman ini mengenangkan Badr dan Khaybar untuk
menyemangati orang-orang Muslim untuk berperang mengikuti teladan nabi.
Sangatlah sulit, jika tidak ingin dikatakan mustahil, untuk tetap menganggap Islam
sebagai agama yang damai jika perang dan rampasan perang termasuk ke dalam
salah-satu tujuan dari nabi Islam. Kaum reformis Islam yang tulus harus
berhadapan dengan kenyataan-kenyataan ini, dan bukannya mengabaikannya
atau memperhalusnya, dan berusaha untuk mencari-cari cara agar orang-orang
Muslim dapat berpaling dari proposisi bahwa teladan Muhammad bersifat normatif
dalam segala hal. Jika mereka tidak bersikap demikian, satu hasil akhir yang pasti
akan muncul, yaitu: pertumpahan darah terjadi dalam nama Islam dan meneladani
nabinya akan terus berlanjut.

Toleransi Islam?

Qur’an berkata: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-


orang Nasrani dan orang-orang Sabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,
dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Sura 2:62; bdk.5:69 dan 22:17). Jurubicara
Muslim di Barat suka mengutip ayat-ayat seperti itu dan menekankan kesamaan
antara Islam dan kekristenan – bahkan kadang-kadang juga antara Islam dan
Yudaisme. Mereka telah membuat sebuah gambaran yang damai mengenai
penghargaan Islam terhadap saudaranya sesama “agama-agama Abraham” – dan
dengan demikian meyakinkan banyak orang Yahudi dan Kristen bahwa negara-
negara Barat dapat menerima imigran-imigran Muslim dalam jumlah yang besar
tanpa adanya gangguan yang berarti terhadap kehidupan masyarakat yang
pluralistik.

Kesaksian berlebihan yang ditinggalkan Nabi Islam di dalam Qur’an dan


Hadith tidak mendukung adanya toleransi dan harmoni antara orang Muslim dan
non-Muslim, namun malah sebaliknya. Sebuah komponen fundamental dalam
pandangan Qur’an mengenai non-Muslim yang seringkali diulangi dan sangat
keras meyakini kebenaran absolut diri sendiri, tidak mau disaingi: “Agama di
hadapan Allah adalah Islam” (Sura 3:19), atau seperti yang ditulis dalam
terjemahan lain, “Satu-satunya iman yang benar di mata Tuhan adalah Islam”.
Kebanyakan orang Yahudi dan orang Kristen (“para Ahli Kitab”) adalah orang
berdosa: “Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka;

169
diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik” (Sura 3:110).

Seperti yang telah kita lihat, Qur’an mengemukakan bahwa orang Yahudi dan
orang Kristen setelah jaman Muhammad adalah pemberontak yang telah menolak
kenabiannya dengan sikap yang jelek dan jahat. Muhammad melayangkan
tuduhannya terhadap orang Yahudi dan juga orang Kristen sekaligus dengan
menghukum orang Kristen karena mempercayai bahwa Yesus telah disalibkan,
dan menghukum orang Yahudi karena percaya bahwa mereka telah menyalibkan-
Nya: “dan karena ucapan mereka:’Sesungguhnya kami telah membunuh Al masih,
Isa putra Maryam, Rasul Allah’,padahal mereka tidak membunuh-Nya dan tidak
(pula) menyalib-Nya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan
dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham
tentang (pembunuhan Isa), benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang
dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu,
kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang
mereka bunuh itu adalah Isa” (Sura 4:157).

Gagasan bahwa orang Yahudi dan orang Kristen mendapat kutukan muncul
beberapa kali dalam Qur’an. Keduanya telah menolak Allah dan Muhammad
utusan-Nya:

“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) bani Israel...


(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya Kami kutuk mereka dan Kami
jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah)
dari tempat-tempatnya dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa
yang mereka telah diperingatkan dengannya, ...dan diantara orang-orang
yang mengatakan:’Sesungguhnya kami ini orang Nasrani’, ada yang telah
kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebahagian
dari apa yang telah mereka diberi peringatan dengannya; maka Kami
timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari
kiamat” (Sura 5:12-16).

Sedemikian jauhnya Qur’an dari gagasan modern mengenai toleransi dan hidup
berdampingan dengan damai sampai-sampai Qur’an mengingatkan Muhammad
agar tidak bersahabat dengan orang Yahudi dan orang Kristen – nampaknya juga
termasuk orang-orang yang “merasa dirinya ditundukkan” dan membayar jizya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu yang mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
lalim” (Sura 5:51).

170
Ini sangat ironis bila mengingat Qur’an juga mengkritik orang Yahudi dan
orang Kristen sebagai orang-orang yang tidak bertoleransi. Allah mengingatkan
Muhammad bahwa orang Yahudi dan orang Kristen “tidak akan senang dengan
kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah
tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Sura 2:120, bdk.2:135).

Sebuah Hadith menjelaskan semua ini:

“Pada Hari Kebangkitan, ada yang akan mengumumkan, ‘Biarlah semua


bangsa mengikuti apa yang biasa mereka sembah’. Maka tak seorangpun dari
mereka yang biasa menyembah sesuatu selain Allah seperti berhala-berhala
atau ilah-ilah lain tetapi akan jatuh ke dalam (api) neraka, disana akan tinggal
tak seorangpun kecuali orang-orang yang biasa menyembah Allah, baik
mereka yang taat dan mereka yang tidak taat (yaitu jahat) dan sebagian Ahli
Kitab yang masih tersisa. Kemudian orang-orang Yahudi akan dipanggil dan
akan dikatakan kepada mereka, ‘Siapakah yang biasa kamu sembah?’
mereka akan berkata, ‘Kami biasa menyembah Ezra, putra Allah’. Akan
dikatakan pada mereka, ‘Kamu adalah pembohong, karena Allah tidak pernah
mengambil siapapun menjadi istri atau putra. Apa yang kamu inginkan
sekarang?’ Mereka akan berkata, ‘Oh Tuhan kami! Kami haus, maka
berikanlah kami sesuatu untuk diminum’. Maka mereka akan diarahkan,
‘Maukah kamu minum’, saat mereka akan dikumpulkan ke dalam (api) neraka
yang akan terlihat seperti bayangan yang sisi-sisinya yang berbeda akan
saling menghancurkan. Kemudian mereka akan jatuh ke dalam Api. Setelah
itu orang-orang Kristen akan dipanggil dan akan dikatakan kepada mereka,
‘Siapakah yang biasa kamu sembah?’ Mereka akan berkata, “Kami biasa
menyembah Yesus, Putra Allah’. Akan dikatakan kepada mereka, ‘Kamu
adalah pembohong, karena allah tidak pernah mengambil siapapun menjadi
istri atau putra’. Kemudian akan dikatakan kepada mereka, ‘Apa yang kamu
inginkan?’ Mereka akan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh orang-
orang yang terdahulu. Kemudian, ketika disana tinggal (dalam perkumpulan
itu) tak seorangpun kecuali orang-orang yang biasa (Allah saja, Tuhan yang
Benar atas dunia ini) apakah mereka taat atau tidak taat”.(18)

Yesus akan membereskan segala sesuatu di akhir dunia ini. Menurut eskatologi
Islam, Ia akan kembali untuk mengakhiri status dhimmi dari orang-orang non-
Muslim di negara-negara Islam-bukan dengan memulai sebuah era yang baru
yang diwarnai dengan kesetaraan dan harmoni, tetapi dengan menghapuskan
kekristenan dan memberlakukan Islam terhadap semua orang. Sebagaimana yang
dijelaskan Muhammad:

“Demi Dia yang menggenggam jiwaku, sesungguhnya (Yesus) Putra Maria


segera akan turun diantara kamu dan akan menghakimi umat manusia
dengan adil (sebagai seorang Penguasa yang Adil); Ia akan mematahkan

171
Salib dan membunuh babi-babi dan tidak ada lagi jizya (yaitu pajak yang
ditarik dari non-Muslim)”.(19)

Tradisi lainnya menjelaskan hal ini sebagai berikut: “Ia akan mematahkan salib,
membunuh babi-babi, dan menghapuskan jizya. Allah akan membinasakan semua
agama kecuali Islam”. Dan hadith lainnya memuat perkataan Muhammad: “Akan
bagaimanakah kamu ketika Putra Maria (yaitu Yesus) turun diantara kamu dan Ia
akan menghakimi orang-orang dengan Hukum Qur’an dan bukan dengan Hukum
Injil”.(20)

Sementara itu keadaan orang-orang Yahudi di akhir jaman akan sedikit lebih
baik. Muhammad berkata: “Jam terakhir tidak akan datang kecuali orang-orang
Muslim berjuang terhadap orang Yahudi dan orang-orang Muslim akan membunuh
mereka hingga orang Yahudi menyembunyikan diri mereka di balik sebuah batu
atau sebatang pohon ,dan batu atau pohon itu akan berkata: ‘Muslim, atau hamba
Allah, ada seorang Yahudi di belakangku; datang dan bunuhlah dia”. (21)

Jika kita menyatukan semua legitimasi untuk mengenyahkan Yudaisme dan


Kekristenan dengan himbauan Muhammad untuk memerangi Yahudi dan Kristen,
maka tidaklah mengherankan jika kita melihat bahwa dunia Islam senantiasa
bermasalah dengan Yahudi dan Kristen selama berabad-abad. Mazhab-mazhab
yurisprudensi Islam berkembang, dan dibangun diatas hadith-hadith ini dan
bagian-bagian dalam Qur’an sehingga menghasilkan sebuah struktur mengenai
perlakuan terhadap non-Muslim. Perwujudan dari hal ini tetap konsisten selama
berabad-abad, dan di kalangan semua mazhab legal. Ingatlah seorang Sheikh
Saudi kontemporer yaitu sheikh Marzouq Salem Al-Ghamdi, yang beberapa tahun
lalu menjelaskan dalam sebuah ceramah bahwa sebuah kelompok masyarakat
Islam harus bertoleransi terhadap kehadiran orang-orang non-Muslim ditengah-
tengah mereka:

“Jika orang-orang kafir hidup diantara orang Muslim, sesuai dengan


persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan oleh Nabi – tidak ada sesuatu
yang salah dengan hal itu selama mereka membayar jizya kepada
perbendaharaan Islam. Persyaratan-persyaratan lainnya adalah...mereka
tidak merenovasi sebuah gereja atau biara, tidak membangun kembali yang
telah dihancurkan, dan selama tiga hari mereka memberi makan orang
Muslim yang melewati rumah mereka...mereka bangkit berdiri jika seorang
Muslim ingin duduk, mereka tidak meniru pakaian dan cara bicara orang
Muslim, tidak menunggangi kuda, dan juga tidak memiliki pedang, juga tidak
mempersenjatai diri mereka dengan senjata apapun; mereka tidak menjual
anggur, tidak menunjukkan salib, tidak membunyikan lonceng gereja, tidak
bersuara saat berdoa, mencukur rambut di bagian depan wajahnya sehingga
mereka mudah dikenali, tidak menghasut siapapun melawan orang Muslim,
dan tidak menyerang orang Muslim...Jika mereka melanggar persyaratan-
persyaratan ini, mereka tidak akan mendapatkan perlindungan”.(22)

172
Dalam hal ini sheikh tersebut hanyalah mengulangi persyaratan klasik
yurisprudensi Islam mengenai perlakuan terhadap non-Muslim di tengah
masyarakat Islam – dan ia secara eksplisit menghubungkan persyaratan-
persyaratan ini dengan teladan Muhammad. Kita telah melihat betapa Muhammad
sangat berkeras mengumpulkan jizya. Sementara itu, status warga negara kelas
dua untuk orang Kristen dan orang Yahudi, yang dimandatkan oleh Sura 9:29
membuat mereka “merasa dirinya ditundukkan” pertama-tama dilontarkan oleh
Umar yang adalah letnannya Muhammad dalam masa kekhalifahannya (634-644),
yang sangat mirip dengan yang digunakan oleh Sheikh Marzouq. Orang-orang
Kristen yang membuat perjanjian ini dengan Umar kemudian memohon:

“Kami mensyaratkan diri kami sendiri bahwa kami tidak akan membangun di
wilayah kami gereja, biara, atau tempat suci untuk biarawan, dan juga tidak
akan memperbaiki tempat ibadah manapun yang membutuhkan perbaikan
dan juga tidak akan menggunakannya sebagai tempat untuk menimbulkan
permusuhan dengan orang-orang Muslim...kami tidak akan...mencegah
sesama kami untuk memeluk Islam, jika memilih untuk melakukannya. Kami
akan menghormati orang-orang Muslim, pindah dari tempat duduk kami jika
mereka ingin duduk disitu. Kami tidak akan meniru pakaian mereka, topi,
turban, sandal, gaya rambut, cara berbicara, julukan dan nama gelar, atau
menunggangi (kuda,unta) dengan pelana, memikul pedang di pundak,
mengumpulkan berbagai jenis senjata atau membawa senjata-senjata
itu...Kami tidak akan menulisi cap kami dalam bahasa Arab atau menjual
minuman keras. Kami akan memangkas rambut di bagian depan wajah kami,
berpakaian sederhana dimanapun kami berada, memakai ikat pinggang, tidak
mendirikan salib di luar gereja dan menunjukkannya dan tidak menjual buku-
buku kami di depan umum di pasar-pasar atau tempat-tempat perdagangan
Muslim. Kami tidak akan membunyikan lonceng gereja, kecuali dengan diam-
diam, atau memperdengarkan suara kami ketika membaca kitab suci kami di
dalam gereja maupun apabila ada orang Muslim hadir di tengah kami...”

Setelah persyaratan-persyaratan ini dan juga peraturan-peraturan lainnya


disampaikan, kesepakatan itu diakhiri demikian:

“Inilah persyaratan yang kami tetapkan pada diri kami sendiri dan para pengikut
agama kami untuk mendapatkan keamanan dan perlindungan. Jika kami
melanggar satupun dari janji-janji ini yang kami tetapkan demi keuntunganmu
terhadap kami maka Dhimmah (janji perlindungan) kami dibatalkan dan kalian
diijinkan untuk melakukan pada kami apa yang boleh kalian lakukan terhadap
pengkhianatan dan pemberontakan”.(23)

Bahkan di masa kini, walau hukum-hukum ini tidak diterapkan dengan


sepenuhnya di banyak negara Islam, orang-orang Kristen dan non-Muslim lainnya
masih menghadapi diskriminasi dan pelecehan yang besar. Robert Hussein
Qambar Ali adalah seorang Kuwait yang bertobat dari Islam kepada kekristenan

173
pada tahun 1990-an. Ia ditangkap dan diadili karena murtad, walaupun konstitusi
Kuwait menjamin kebebasan beragama dan tidak berkata apa-apa mengenai
larangan Islam tradisional mengenai beralih ke agama lain, yang seperti telah kita
lihat, berakar dalam perkataan dan perbuatan Muhammad. Salah seorang
penuntut Hussein menyatakan: “Dengan sedih saya harus mengatakan bahwa
hukum kriminal kita tidak mencakup hukuman untuk murtad. Kenyataannya adalah
otoritas legislatif kita, menurut pendapat kami, tidak dapat menjatuhkan hukuman
terhadap orang yang murtad, lebih dari yang telah ditetapkan oleh Allah dan
utusan-Nya. Pihak yang dapat membuat keputusan mengenai kemurtadannya
adalah: Kitab Suci kita, Sunnah, kesepakatan para nabi dan peraturan yang
diberikan Allah”.(24)

Tidaklah mengejutkan jika mitos mengenai toleransi Islam dijunjung tinggi di


hadapan penghinaan dan kebencian Muhammad terhadap orang Yahudi dan
orang Kristen, sedangkan hasutan-hasutan kekerasan terhadap mereka
menghimbau mereka untuk memeluk Islam atau ditundukkan. Sementara natur
manusia dimanapun sama saja, dan orang Muslim sudah tentu dapat bersikap
toleran seperti orang lainnya, teladan Muhammad yang merupakan model tertinggi
tingkah-laku manusia secara konstan menarik mereka ke arah yang berbeda.
Kenyataan bahwa para analis Barat terus mengabaikan semua ini menunjukkan
ketentraman yang ingin dipercayai orang, tanpa mempedulikan bukti-bukti nyata
yang bertentangan dengan keinginan itu.

Muhammad yang lebih baik dan lebih lembut

Siapakah kita yang dapat menggambarkan Muhammad yang telah kita lihat pada
permulaan buku ini – orang yang “hatinya dipenuhi dengan kasih yang intens
untuk semua umat manusia tanpa memandang kasta, keyakinan, atau warna
kulit?”(25) Orang yang mempunyai “kesempatan untuk membalas orang-orang
yang menyerangnya, namun tidak melakukannya?”(26) Dr. Mohammad
Ahmadullah Siddiqi, seorang profesor jurnalisme dan Relasi Publik di Western
Illinois University, adalah pendiri student Islamic Movement of India (SIMI), yang
terlibat dalam pemboman Mumbai pada bulan Juli 2006. Kini ia tidak mengakui
kekerasan kelompok itu, dan mengatakan bahwa ia mengingatkan mereka akan
“satu dari hal-hal mulia mengenai nabi Muhammad seperti yang digambarkan
Qur’an yaitu bahwa ia berbicara mengenai kemurahan bagi umat manusia.
Bagaimana mungkin para pengikut agama itu mengepalkan tinju dan memikirkan
tentang kekerasan dan hal-hal semacam itu?”(27)

Muhammad yang digambarkan seperti ini tidak sepenuhnya fiktif. Salah


seorang sahabatnya menggambarkannya sebagai orang yang “tidak keras dan
juga tidak kasar. Ia tidak berisik di pasar dan juga tidak membalas kejahatan
dengan kejahatan, tetapi ia memaafkan”.(28) Yang lainnya mengatakan bahwa
Muhammad, walau nampaknya mustahil, “lebih pemalu daripada seorang perawan
174
yang sedang dipingit”.(29) Ia “bukanlah seorang yang suka memaki atau
mengutuki dan juga tidak cabul”.(30) Salah seorang pelayan Muhammad
mengingat bahwa tuannya tidak pernah menghina atau memarahinya: “Lalu aku
melayani Nabi di rumah dan di perjalanan-perjalanan; demi Allah, ia tidak pernah
mengomeli pekerjaanku: Mengapa kau membuatnya dengan cara seperti ini?
Atau, apa yang tidak kulakukan: Mengapa kamu tidak melakukannya seperti
ini?”(31)

Elemen-elemen kepribadian Muhammad ini tidak dapat disangkali. Lagipula,


pasti ia mempunyai daya tarik pribadi yang besar, juga daya pikat, sehingga dapat
memerintahkan kesetiaan yang mendalam pada para pengikutnya (walau
kemudian, seperti juga sekarang, tidak dapat disangkali bahwa hukuman mati
karena meninggalkan kelompok merupakan kekuatan yang mengikat orang untuk
tetap berada dalam kelompok itu). Pesona ini secara umum hanya ditunjukkan
pada orang-orang beriman; terutama dalam periode Medina, ketika sikapnya
semakin keras terhadap orang Yahudi dan orang Kristen, Muhammad secara
umum memberlakukan pemisahan tajam antara orang beriman dengan orang tidak
beriman seperti yang ditekankan oleh Qur’annya: “Muhammad itu adalah utusan
Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (Sura 48:29).

Para apologis seringkali mengemukakan sebuah tradisi yang menceritakan


Muhammad menunjukkan sikap hormat ketika berpapasan dengan seorang
Yahudi. Ketika prosesi duka sedang melintas, Nabi Islam berdiri. Ketika para
pengikutnya mengatakan bahwa yang mati itu adalah seorang Yahudi, Muhammad
menjawab: “Bukankah ia seorang manusia, atau tidakkah ia mempunyai jiwa?”(32)
Sebuah pernyataan yang indah, namun tidak mendapat dukungan dari tradisi
Islam. Tidak dicatat kapan dan dimana itu terjadi, tapi nampaknya berasal dari
periode awal karir kenabian Muhammad, ketika ia masih berusaha untuk
meyakinkan orang Yahudi untuk menerima klaim kenabiannya. Sebuah hadith
serupa menekankan keyakinan Muhammad bahwa mereka yang menolaknya
akan dibakar di neraka. Seorang Muslim mengemukakan bahwa “usungan Yahudi
lewat di hadapan utusan Allah (kiranya damai ada atasnya) dan (anggota-anggota
keluarganya) meratapinya. Mengenai hal ini ia berkata: kamu meratap dan ia
sedang dihukum”.(33)

Para apologis Islam yang mengutip contoh-contoh mengenai kebaikan dan


kelembutan Nabi Islam secara umum sama sekali tidak menyebutkan
himbauannya untuk memerangi orang-orang yang tidak beriman hingga mereka
memeluk Islam atau ditundukkan. Mereka tidak menyebutkan penyerangannya,
perang-perangnya, sukacitanya atas pembantaian para musuhnya – yaitu
pembantaian-pembantaian yang diperintahkan olehnya sendiri. Muhammad yang
muncul dari tradisi Islam adalah, seperti semua manusia lainnya, berwajah ganda.
Ia adalah banyak hal terhadap banyak orang di banyak kesempatan yang berbeda.
Namun demikian, mengabaikan elemen-elemen yang tidak menyenangkan dari

175
tindakan dan pengajarannya tidak serta-merta menghilangkannya; para jihadis di
seluruh dunia masih akan tetap melakukan kekerasan karena meniru Nabi
mereka.

Pemujaan terhadap Muhammad

Banyak himbauan di dalam Qur’an kepada orang-orang Muslim yang beriman


untuk menaati dan meneladani Muhammad menjadi pondasi pemujaan yang
intens kepada Nabi di sepanjang sejarah Islam. Devosi ini terutama diterapkan di
kalangan mistik. Tokoh Mistik Sufi Persia, Mansur Al-Hallaj (858-922), berdasarkan
studi yang dilakukannya terhadap Qur’an, boleh jadi mengatakan bahwa Allah
“tidak menciptakan apapun yang lebih disayangi-Nya lebih daripada Muhammad
dan keluarganya”.(34) Filsuf Sufi yang terkenal, yaitu Abu Hamid Muhammad al-
Ghazali (1058-1111) mengemukakan bahwa “kunci kebahagiaan adalah dengan
mengikuti sunnah dan meneladani utusan Tuhan dalam seluruh keluar-masuknya,
saat ia bergerak maupun beristirahat, cara dia makan, tingkah-lakunya, tidurnya
dan caranya berbicara”.(35)

Kadangkala devosi ini menjadi berlebihan. Penyair Persia, Rumi (Jalal al-Din
Muhammad Rumi, 1207-1273) mengatakan bahwa wangi bunga mawar berasal
dari keringat Nabi Islam:

“Akar dan ranting mawar adalah

Keringat indah Mustafa (yaitu Muhammad),

Dan dengan kuasanya kuncup mawar

Kini berkembang dengan sepenuhnya”(36)

Demikian pula seorang penulis Arab modern berpendapat bahwa Allah


“menciptakan tubuh Muhammad dengan keindahan yang tidak terkatakan, yang
tidak pernah terlihat pada manusia sebelum dan juga sesudahnya. Jika
keseluruhan keindahan Nabi disingkapkan di depan mata kita, maka mata kita
tidak akan dapat bertahan melihat keindahannya”.(37)

Sudah tentu hal semacam ini sangat berlebihan, tetapi itu menegaskan
sentralitas Muhammad dalam kesalehan Islam. Seorang sarjana kontemporer dan
mistik Frithjof Schuon (1907-1998) menggambarkan sentralitas ini. Berbicara
mengenai kebajikan-kebajikan dalam Islam, ia menyatakan: “Tidak diragukan lagi
bahwa kebajikan-kebajikan ini telah dipraktekkan selama berabad-abad hingga ke
jaman kita jika sang pendiri Islam tidak mempersonifikasikannya dalam tingkatan
yang lebih tinggi...Bagi orang Muslim, nilai moral dan spiritual Nabi bukanlah
sebuah abstraksi atau pengandaian, namun sebuah realita yang dihidupi”.(38)

176
Meneladani Muhammad di masa kini

Sudah pasti para mujahiddin di seluruh dunia memandang Muhammad sebagai


personifikasi dari semua kualitas yang ingin mereka wujud-nyatakan. Teladannya
tidak dapat dibatasi sampai kepada kebaikannya terhadap para sahabatnya dan
kelembutannya kepada para pelayannya. Ketika orang Muslim berusaha
meneladaninya, mereka melihat kepada sumber-sumber yang sama yang telah
saya gunakan dalam buku ini: Qur’an, Hadith, dan Sirat Nabi. Kesemuanya itu
telah memberikan bukti yang melimpah mengenai hal ini dalam tahun-tahun
belakangan ini:

• Pada 28 Maret 2003, Sheikh Palestina Muhammad Abu Al-Hunud dalam


sebuah ceramah yang disiarkan melalui Televisi Otoritas Palestina
memperingatkan orang-orang yang berusaha untuk “mengacak-acak Kitab
Allah, yang hendak meng-Amerika-kan wilayah itu, meng-Amerika-kan
agama, meng-Amerika-kan Qur’an, meng-Amerika-kan pesan
Muhammad...” Tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksudkannya adalah
Qur’an dan pesan-pesan Muhammad akan ditelanjangi dari komponen-
komponen kekerasannya; ia menyebutkan hal ini ketika ia berdoa untuk
orang-orang Amerika yang ada di Irak: “Allah, hapuskanlah mereka dan
senjata-senjata mereka, Allah, buatlah anak-anak mereka yatim piatu dan
istri-istri mereka menjadi janda...”(39)

• Pada 5 September 2003, Sheikh Ibrahim Mudeiris mengingatkan akan


peperangan-peperangan Muhammad ketika berbicara mengenai perang
Irak dalam sebuah ceramah yang disiarkan oleh Otoritas Palestina,
walaupun ingatannya mengenai Perang Tabuk sedikit tidak tepat: “Jika kita
kembali ke lorong waktu 1400 tahun, kita akan menemukan bahwa sejarah
mengulang dirinya sendiri...Byzantium adalah representasi Amerika di
Barat...Amerika akan tumbang, seperti Byzantium tumbang di Barat...Nabi
(Muhammad) dapat menaklukkan Byzantium, kekuatan terbesar seperti
Amerika pada masa kini – dan tanpa pengorbankan seorang martirpun dari
kalangan orang Muslim...Nabi dapat, dengan bersatunya Muslim dan
kebangkitannya, mengalahkan Amerika saat itu...Amerika adalah musuh
kita nomor satu, dan kita melihatnya sebagai musuh kita nomor satu selama
kita belajar dari Perang Tabuk [yang terjadi pada Oktober 630 M]: ‘Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat’ [Sura 8:60]. Kami telah siap,
tetapi kemenangan datang dari Allah...”(40)

• Pada 21 November 2003, orang-orang Muslim keluar dari Mesjid Raya


Maiduguri Road setelah sembahyang Jumat di Kota Kaduna Nigeria,

177
menuntut implementasi hukum syariah dan membagikan selebaran yang
menyatakan: “Satu-satunya solusi hanyalah jihad, yaitu jihad yang
dilakukan nabi Muhammad dan diteladankan oleh Shehu Usman Dan Fodio
dan almarhum Ayatollah Khomeini dari Iran. Kita, orang-orang Muslim harus
bersatu dan memeluk konsep jihad ini yang tidak diragukan lagi akan
menguatkan kita untuk menghancurkan penindasan dan orang-orang yang
menindas, dan menegakkan Islam di dalamnya”.(41)

• Pada akhir November 2003, website dari Islamic Affairs Department (IAD)
dari Kedutaan Arab Saudi di Washington D.C., memuat himbauan kepada
orang Muslim untuk mengobarkan jihad kekerasan untuk menyamai
Muhammad: “Orang-orang Muslim diwajibkan untuk mengangkat panji-panji
jihad untuk membuat Perkataan Allah berkuasa di dunia ini, untuk
menyingkirkan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan, dan untuk
membela orang-orang Muslim. Jika orang Muslim tidak mengangkat
pedang, tiran jahat dunia ini akan dapat meneruskan penindasan terhadap
orang lemah dan (yang) tidak berdaya...” Pernyataan ini mengutip
Muhammad yang menyampaikan perkataan Allah: “Barangsiapa dari antara
para hamba-Ku yang berperang di jalan-Ku mencari kesenangan-Ku, Aku
menjamin bahwa penderitaannya akan digantikan dengan pahala dan
rampasan perang (dalam masa hidupnya) dan jika ia mati, Aku akan
mengampuninya, bermurah hati padanya dan membiarkannya memasuki
Firdaus”.(42)

• Pada Desember 2003, seorang pejuang jihad Irak menjelaskan mengapa ia


memerangi pasukan Amerika disana: “Prinsip agama mengatakan bahwa
kita tidak boleh hidup (berdampingan) dengan orang-orang kafir. Nabi
Muhammad, damai atasnya, berkata: ‘Bunuhlah orang kafir dimanapun
kamu menemukan mereka”. Sudah tentu, orang itu bukan mengutip
perkataan Muhammad, namun Sura 9:5, yaitu “Ayat Pedang” – tetapi
sangat mudah melihat mengapa ia mengacak keduanya.(43)

• Fawwaz bin Muhammad Al-Nashami, komandan kelompok jihad yang


membunuh 22 orang dalam sebuah serangan jihad di Khobar, Arab Saudi,
pada 29 Mei 2004, mengatakan bahwa ia tindakannya itu sesuai dengan
keinginan Muhammad untuk Arabia: “Kami adalah para Mujahiddin, dan
kami mengincar orang-orang Amerika. Kami tidak datang untuk
mengarahkan senjata pada orang-orang Muslim, tetapi untuk
membersihkan jazirah Arab, sesuai dengan keinginan Nabi kami
Muhammad, dari orang-orang kafir dan kaum politeis yang membunuh

178
saudara-saudara kami di Afghanistan dan Irak... Kami mulai menyisir
tempat itu untuk mencari orang-orang kafir. Kami menemukan orang-orang
Kristen Filipina. Kami menggorok leher mereka dan mempersembahkannya
untuk saudara-saudara kamu kaum Mujahiddin di Filipina. [demikian pula],
kami menemukan insinyur-insinyur Hindu dan kami menggorok leher
mereka juga, terpujilah Allah. Pada hari yang sama, kami membersihkan
negeri Muhammad dari banyak orang Kristen dan kaum politeis”. (44)

• Dalam pemilihan presiden Amerika pada tahun 2004, seorang penceramah


Muslim mengingatkan bagaimana Muhammad menolak demokrasi: “Nabi
kita tidak memerintah melalui pemilihan umum...Ia tidak memenangkan
debat politik apapun. [namun] ia memenangkan perang terhadap orang-
orang kafir”. (45)

• Seorang jihadis menjelaskan bahwa permasalahan Israel-Palestina adalah


lebih dari konflik antar bangsa mengenai tanah. Ia mengatakan: “Tetapi
semua orang ini tidak menyadari bahwa pertikaian kami dengan orang
Yahudi telah berakar sejak dahulu, sejak ketika negara Islam pertama kali
didirikan di Medina dengan Muhammad (SAW) Utusan bagi semua umat
manusia, sebagai pemimpinnya. Allah telah mengatakan kepada kami
dalam Qur’an mengenai realita kebusukan orang Yahudi dan kebencian
mereka terhadap ummah Islam dan Tauhid, ketika Ia berkata:
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang
Yahudi dan orang-orang musrik (politeis)...” (Sura 5:82).(46)

• Pada Oktober 2004, Sheikh Ameer Bin Abdallah Al-Aamer menuliskan ini
dalam jurnal online Al-Qaeda Sawt al-jihad: “Laksanakan jihad terhadap
musuh-musuhmu dengan kedua (tanganmu sendiri), korbankanlah hartamu
dan harta milikmu dalam memerangi musuhmu, untuk meneladani
(tindakan) Nabimu (Muhammad) di bulan Ramadan (dan untuk) membuat
musuh-musuhmu menjadi marah”. (47)

• Seorang Amerika yang telah memeluk Islam, yaitu Hamza Yusuf, pada
November 2004 mengingatkan akan perjanjian Hudaybiyya saat
menghimbau orang Muslim untuk bergerak maju dengan menggunakan
strategi untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. “Ada waktunya kamu harus
hidup seperti domba”, ia menjelaskan, “untuk hidup di masa depan seperti
seekor singa”. (48)

179
• Dalam sebuah artikel Januari 2005 dalam Arab News, kolumnis Adil Salahi
mengingatkan para pembacanya bahwa Muhammad tidak pernah
memerangi orang tanpa terlebih dahulu menghimbau mereka untuk
memeluk Islam: “Semasa hidup Nabi (damai atasnya) komunitas Muslim
harus melakukan banyak peperangan, karena ada banyak sumber bahaya
dan banyak musuh yang ingin meredam bangkitnya suara pesan Islam.
Nabi meyakinkan bahwa dalam semua perang ini tidak akan sekalipun
orang-orang Muslim akan melampaui batas-batas yang dihalalkan dalam
Islam...(Ia) tidak akan meluncurkan sebuah serangan tanpa memberi
peringatan kepada musuh dan memanggil mereka untuk menerima Islam
dan hidup damai dengan negara Islam”. (Pada Mei 2006, Presiden Iran
Mahmoud Ahmadinejad mengirim sebuah surat kepada Presiden Amerika
George W. Bush, sebuah surat yang kemudian dijelaskannya sebagai
sebuah panggilan kepada Islam: “Surat itu merupakan sebuah undangan
kepada monoteisme dan keadilan, yang biasa dilakukan oleh nabi-nabi ilahi.
Jika panggilan itu ditanggapi dengan positif, maka tidak akan ada lagi
masalah yang harus diselesaikan”).(50)

• Pemimpin Muslim London Hani Al-Sibaai pada Februari 2005


membenarkan pembantaian yang dilakukan oleh para mujahiddin Al-
Zarqawi di Iraq: “Apakah orang-orang ini mendasarkan diri mereka atas
hukum Islam atau tidak? Mereka mengklaimnya demikian, dan untuk
mendukungnya, mereka mengatakan bahwa pembantaian muncul dalam
sebuah hadith oleh Nabi, yang diumumkan sebagai otentik oleh Sheikh
Ahmad Shaker. Nabi berkata kepada suku Quraysh: ‘Aku telah membawa
pembantaian kepadamu’, sambil membuat gerakan ini. Tetapi ini adalah
isu-isu religius yang dapat diperdebatkan...[Nabi] menancapkan kukunya
dan mengeluarkan mata orang-orang suku ‘Urayna. Mereka hanyalah
sekelompok pencuri yang mencuri para gembala domba, dan Nabi
menancapkan kukunya pada mereka dan melemparkan mereka ke daerah
Al-Hrara, dan meninggalkan mereka disana untuk mati. Ia membutakan
mereka dan memotong kaki dan tangan mereka bersilang sisi. Inilah yang
dilakukan Nabi terhadap perkara yang sepele – tidak hanya dalam
peperangan.(51)

• Seperti yang telah kita lihat dalam Bab 8, pada Juli 2006 seorang penulis di
forum Internet Muslim Inggris menyatakan: “Saya sudah muak dengan
anjing-anjing Israel yang kotor dan najis ini. Kiranya Allah mengutuk mereka
dan menghancurkan mereka semua, dan kiranya mereka menghadapi
nasib yang sama dengan Bani Qurayzah!”(52)
180
Pada umumnya pemerintah Barat dan para pejabat penegak hukum akan
mengabaikan semua ini dan juga contoh-contoh serupa sebagai manifestasi dari
pembelokan atau pembajakan Islam. Tetapi kita telah melihat bahwa semua
perkataan dan perbuatan Muhammad yang menjadi acuan para jihadis ditegaskan
dalam tradisi Islam mula-mula. Juga tidak ada kekayaan dalam materi tradisi itu
yang memberikan sebuah pandangan Muhammad yang berbeda secara radikal.

Sudah tentu ini menjelaskan mengapa para pejabat Barat dengan yakinnya
mengacu pada arus utama Muslim yang membenci terorisme dan menerima
pluralisme Barat, namun mengalami banyak kesulitan untuk menemukan juru
bicara yang dapat diandalkan untuk menghadapi kelompok mayoritas ini. Pejabat-
pejabat seperti itu sering menempatkan diri mereka sendiri pada posisi meyakini
bahwa orang-orang Muslim pendukung teror hanyalah sebuah minoritas kecil, tapi
pada saat yang sama mengakui bahwa kelompok minoritas kecil ini mengontrol
kepemimpinan sekelompok Muslim yang besar – dan ternyata mayoritas yang
menolak kekerasan jihad tidak dapat melakukan apa-apa untuk menyingkirkan
mereka dari posisi berkuasa ini.

Realita yang menakutkan

Sudah tentu banyak orang non-Muslim tidak dapat menerima realita dari
perbuatan dan pengajaran Muhammad karena implikasinya sangat menakutkan.
Banyak yang berasumsi bahwa mengindentifikasi elemen-elemen Islam yang pada
masa kini menjadi bahan bakar kekerasan jihad dan subversi, upaya-upaya tanpa
kekerasan untuk menyebarkan syariah di Barat akan berakhir dengan terciptanya
“pertikaian peradaban” dan membuat jurang yang semakin dalam antara Barat
dengan dunia Islam. Banyak analis yang percaya bahwa jika pemerintah Barat dan
media mengabaikan atau meremehkan fakta-fakta ini mengenai Islam, mereka
akan menghadapi sebuah konflik global dan memperkuat para pembaharu di
dalam dunia Islam.

Dari contoh-contoh diatas harus menjadi jelas bahwa para jihadis Islam telah
benar-benar menyadari elemen-elemen hidup Muhammad yang dapat mereka
gunakan untuk mendukung tindakan-tindakan mereka. Mereka membangkitkan
Muhammad kembali di seluruh dunia dengan cara demikian. Tidak masuk akal jika
berpikir bahwa apabila para pejabat Barat dan media menolak untuk mengakui
bahwa hal ini sedang dilakukan, maka itu akan menghentikannya. Satu-satunya
cara yang dapat dilakukan oleh para pembaharu Muslim yang tulus (yang
ditentang oleh banyak pihak yang berlagak mengutuk “terorisme”, tanpa sedikitpun
mengidentifikasi siapa yang menjadi teroris itu) adalah dengan tidak menyangkali
bahwa aspek-aspek Islam ini eksis – para jihadis mengetahui hal ini dengan lebih
baik. Namun demikian, satu-satunya harapan mereka untuk berhasil, walaupun
tipis, adalah mengakui dan mengkonfrontasi perkataan dan perbuatan Muhammad
dan doktrin Islam yang mengajarkan kekerasan jihad dan supremasi syariah, dan
181
menolak literalisme Qur’an dan sungguh-sungguh membuang pengajaran-
pengajaran ini. Tapi sudah tentu hal ini akan membuat mereka rentan terhadap
tuduhan para jihadis bahwa mereka tidak setia kepada Muhammad dan Islam, dan
hal ini pun akan menghalangi mereka untuk memperoleh posisi yang penting
dalam dunia Islam.

Apa yang harus dilakukan

Lalu, apa yang dapat dilakukan pemerintah non-Muslim? Banyak hal, termasuk:

• Berhenti mengatakan bahwa Islam adalah agama damai. Ini salah dan
kesalahan tidak pernah menghasilkan sesuatu. Kenyataannya, Presiden
Amerika Serikat atau Perdana Menteri Inggris atau pemimpin Barat
siapapun sama sekali tidak perlu berkomentar atau membuat sebuah
pernyataan mengenai natur Islam. Lebih bijak jika mereka membatasi diri
mereka dengan mengumumkan bahwa musuh-musuh mereka ingin
menerapkan peraturan syariah Islam di negara mereka, dan bahwa mereka
akan melawan hal itu.

• Mulailah sebuah Proyek Manhattan dengan sepenuhnya untuk


mendapatkan sumber-sumber energi baru. Selama Perang Dunia II,
Amerika Serikat menginvestasi jutaan dollar dan menempatkan para pakar
sains dunia pada proyek bom atom. Pada masa kini usaha yang sama
harus dibuat untuk mengakhiri ketergantungan Barat pada minyak dari
dunia Islam – ini sebuah ketergantungan merusak kebijakan luar negeri
negara-negara Barat, mencegah mereka dari mengambil semua langkah
yang harus mereka ambil untuk melindungi diri dari jihad yang diajarkan
Muhammad.

• Buatlah bantuan Barat bergantung pada penolakan terhadap ideologi jihad.


Jika negara-negara Barat mengakui eksistensi dari sebuah pemerintahan
imperialisme Islam global, mereka dapat memberikan bantuan untuk
negara-negara seperti Mesir dan Pakistan - yang pemerintahan sekulernya
secara umum bertoleransi pada perkembangan pengajaran jihad di mesjid-
mesjid dan sekolah-sekolah Islam/pesantren – bergantung pada penolakan
aktif terhadap pengajaran-pengajaran itu dan langkah-langkah positif yang
diambil pemerintah masing-masing negara itu. Negara-negara ini dan juga
yang lainnya menyatakan penolakan terhadap jihad kontemporer Osama
bin Laden dan para mujahiddin yang berpikiran sama; jika memang tulus,
hendaknya mereka benar-benar menyatakan penolakannya, dengan
mengembangkan program-program bagi sekolah-sekolah Islam yang

182
menjelaskan mengapa himbauan Muhammad untuk berperang dan
supremasisme tidak lagi pantas untuk dunia masa kini dan yang akan
datang.

• Himbaulah kelompok-kelompok advokasi Muslim Amerika untuk melawan


ideologi jihad. Alih-alih diberlakukannya Konstitusi Amerika Serikat dan
nilai-nilai Amerika, institusi-institusi Islam di Amerika dipenuhi dengan
propaganda para jihadis terhadap orang Yahudi dan orang Amerika.
Sebuah laporan di tahun 2005 oleh Freedom House Center for Religious
Freedom menemukan materi-materi di mesjid-mesjid Amerika yang
mengajarkan kebencian terhadap orang-orang non-Muslim dan menyatakan
bahwa orang-orang yang murtad dari Islam harus dibunuh, sesuai dengan
perintah Muhammad. Disini sekali lagi organisasi-organisasi Muslim
Amerika menyatakan menolak jihad Osama bin Laden, namun lamban
dalam mendukung apa yang mereka ucapkan dengan perbuatan-perbuatan
mereka. Lima tahun setelah tragedi 11 September masih belum ada
program-program yang teroganisir dan komprehensif di mesjid-mesjid
Amerika dan sekolah-sekolah yang menentang ideologi jihad atau
mengkonfrontasi elemen-elemen hidup Muhammad yang mengompori
kekerasan para jihadis dan subversi. Ini tidaklah mengejutkan mengingat
asal-usul kelompok-kelompok seperti itu (sebagai contoh Council on
American-Islamic Relations, lahir dari Islamic Association of Palestine, yaitu
sebuah front Hamas) dan sentralitas jihad dalam teologi Islam, tetapi para
pejabat pemerintahan dan arus utama media juga secara umum
memperlakukan kelompok-kelompok ini sebagai kelompok-kelompok yang
moderat.(54)

Para politisi dan pejabat yang berani, seandainyapun mereka eksis hari ini,
harus menantang kelompok-kelompok ini untuk tutup mulut – guna
menghasilkan pemrakarsa yang benar-benar reformis dan moderat yang
mengajarkan oposisi terhadap teladan perang Muhammad, atau berhenti
berlagak seperti kelompok-kelompok moderat. Juga pemerintah dan pejabat
penegak hukum harus berhenti menganggap kelompok-kelompok ini
sebagai kelompok-kelompok yang dapat dipercayai, kaum moderat loyal
yang begitu saja mau menerima pluralisme Barat.

• Meninjau kembali kebijakan-kebijakan terhadap ideologi jihad. Bangsa-


bangsa Barat harus mengembangkan aplikasi imigrasi yang memberikan
pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai pandangan si pemohon (imigran)
mengenai masyarakat pluralistik, kebebasan beragama, hak-hak wanita,
dan fitur-fitur masyarakat Barat lainnya yang ditentang oleh elemen-elemen
pengajaran Muhammad dan hukum Islam. Sudah tentu pejabat-pejabat
183
intelijen yang cerdas tidak dapat berharap akan menerima jawaban-
jawaban yang jujur untuk semua pertanyaan itu, namun kehadiran
pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan memperjelas bahwa orang-orang
yang berharap untuk pada akhirnya mengubah republik-republik Barat
menjadi otokrasi syariah tidak diterima di republik-republik itu, dan orang-
orang yang terlibat dalam upaya-upaya seperti itu akan diadili dan dihukum.
Perlunya kebijakan imigrasi dengan fokus seperti itu telah dikaburkan
dengan ketakutan terhadap “rasisme”, tapi ini bukanlah isu atau masalah
rasial. Pengajaran Muhammad mencapai semua ras dan orang dari segala
ras menganut pengajaran-pengajarannya.

Jika tidak ditemukan politisi Barat yang cukup berani melakukan hal ini, pada
akhirnya negara-negara Barat akan membayar harga yang mahal, ketika para
jihadis berhasil melaksanakan serangan-serangan jihad, atau menginspirasi
penduduk asli yang menjadi Muslim untuk melakukan hal itu – atau ketika mereka
mengembangkan aturan-aturan syariah dengan cara-cara yang damai, seperti
yang terjadi di PBB dan beberapa negara Eropa yang mendapatkan hukum
penghujatan Islam oleh karena masalah kartun Muhammad.(55)

Perkataan dan perbuatan Muhammad telah menggerakkan orang-orang


Muslim untuk melakukan kekerasan selama 1400 tahun. Mereka tidak akan hilang
dalam masa hidup kita; mereka juga tidak dapat dinegosiasikan. Hal yang terbaik
yang dapat dilakukan oleh pemerintah Barat adalah memahami karakter mereka
dan bergerak untuk membatasi pengaruh mereka di dalam negara-negara mereka
dan di seluruh dunia, menghimbau orang-orang Muslim yang menyebut diri
mereka moderat untuk sungguh-sungguh menolak elemen-elemen Islam ini, dan
memformulasikan kebijakan-kebijakan mereka dengan mengingat bahwa banyak
orang Muslim akan terus memandang Muhammad sebagai “teladan yang
sempurna dalam bertingkah-laku”.

Semakin cepat ini dilakukan, maka semua akan semakin aman. Tapi selama
problem yang berlapis-lapis ini terus diabaikan, Muhammad akan terus
menginspirasi para pengikutnya untuk mengangkat pedang dalam namanya.

Catatan Kaki

1. “Vines calls founder of Islam a ‘demon-possessed pedophile,’” Biblical Recorder, June


14, 2002.

2. “U.S. Baptist Minister Derogatory Remarks Sparks Anger,” IslamOnline, June 15,
2002.

3. Bukhari, vol. 5, book 63, no. 3896; cf. Bukhari, vol. 7, book 67, no. 5158.

184
4. Armstrong, 157.

5. Tabari, vol. VII, 7.

6. “U.S. Baptist Minister Derogatory Remarks Sparks Anger,” IslamOnline, June 15,
2002.

7. Sarvnaz Chitsaz and Soona Samsami, “Iranian Women and Girls: Victims of Exploita-
tion and Violence,” in Making the Harm Visible: Global Sexual Exploitation of Women
and Girls, Donna M. Hughes and Claire M. Roche, editors, The coalition Against Traf-
ficking in Women, 1999.

http://www.uri.edu/artsci/wms/hughes/mhviran.htm.

8. Amir Taheri, The Spirit of Allah: Khomeini and the Islamic Revolution, Adler and Adler,
1986, 90-91.

9. Taheri, 35.

10. Lisa Beyer, “The Women of islam,” Time, November 25, 2001. Reprinted at
http://www.time.com/time/world/article/0,8599,185647,00.html.

11. “Child marriage ‘violates rights,’” BBC News, March 7, 2001.

12. Andrew Bushell, “Child Marriage in Afghanistan and Pakistan,” America, March 11,
2002, p.12.

13. Ibn Sa’d, vol. I, 439.

14. Syed Saeed Akhtar Rizvi, The Life of Muhammad the Prophet, Darul Tabligh North
America, 1971. http://www.al-islam.org/lifeprophet/.

15. Bukhari, vol. 1, book 6, no. 304.

16. Bukhari, vol. 8, book 86, no. 6830.

17. Ibn Ishaq, 659-660.

18. Bukhari, vol. 6, book 65, no. 4581.

19. Bukhari, vol. 4, book 60, no. 3448.

20. Sunan Abu Dawud, book 37, no. 4310. Bukhari, vol. 4, book 60, no. 3449.

21. Muslim, book 41, no. 6985.

22. Middle East Media Research Institute (MEMRI), “Friday Sermons in Saudi Mosques:
Review and Analysis,” MEMRI Special Report No. 10, September 26, 2002.
www.memri.org. this undated sermon appeared on the Saudi website www.almim-
bar.net shortly before the MEMRI translated was made.

23. Ibn Kathir, vol. 4, 407.

24. Robert Hussein, Apostate Son, Najiba Publishing Company, 1998, 161.

185
25. Farida Khanam, “Muhammad’s Love and Tolerance for Mankind,” IslamOnline, March
15, 2006.

http://muhammad.islamonline.net/English/His_Example/HisQualities/07.shtml.

26. Ibrahim Hooper, “What Would Prophet Muhammad (pbuh) Do?,” Council on American
Islamic Relations, February 4, 2006.

http://www.islam101.com/rights/wwpMdo.htm.

27. “The SIMI I founded was completely different,” Interview with Dr. Muhammad Ah-
madullah Siddiqi, Rediff.com, September 2, 2003.

http://www.rediff.com/news/2003/sep/02inter.htm.

28. Ibn Sa’d, vol. I, 422.

29. Ibid., 432.

30. Ibid., 433.

31. Bukhari, vol. 9, book 87, no. 6911.

32. Muslim, book 4, no. 2098.

33. Muslim, book 4, no. 2026.

34. Annemarie Schimmel, And Muhammad Is His Messenger: The Veneration of the
Prophet in Islamic Piety, (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1985), 21.

35. Schimmel, 31.

36. Ibid., 35.

37. Ibid.

38. Frithjof Schuon, Islam and the Perennial Philosophy, J. Peter Hobson, translator,
World of Islam Festival Publishing Company, 1976, 29. Quoted in Schimmel, 29.

39. Steven Stalinsky, “Palestinian Authority Sermons 2000-2003,” Middle East Research
Institute, Special Report No. 24, December 26, 2003.

40. Ibid.

41. Adeyeye Joseph and Agaju Madugba, “Bomb Scare in Lagos,” This Day, November
22, 2003.

42. Steven Stalinsky, “The ‘Islamic Affairs Department’ of Saudi Embassy in Washington,
D.C.,” Middle East Media Research Institute (MEMRI) Special Dispatch No. 23,
November 26, 2003.

43. Ian Fisher, “A Tale of War: Iraqi Describes Battling G.I.’s,” New York Times, December
5, 2003.

186
44. “Commander of the Khobar Terrorist Squad Tells the Story of the Operation,” Middle
East Media Research Institute Special Dispatch Series No. 731, June 15, 2004.

45. Amir Taheri, “Kerry Wins The Arab Vote,” New York Post, August 18, 2004.

46. “Our Struggle with the Jews is a Struggle for Existence, Not a Struggle for Land,” Al-
Asaalah Magazine, Issues 30.

http://www.allaahuakbar.net/jew/our_struggle_with_the_jews_is_a_struggle_for_exis
tence.htm.

47. “Al-Qa’ida Internet Magazine Sawt Al-Jihad Calls to Intensify Fighting During Ramadan
– ‘the Month of Jihad,’” Middle East Media Research Institute, Special Dispatch No.
804, October 22, 2004.

48. Zaigham Ali Mirza, “Muslim society ‘has lost ability to strategie,’” Khaleej Times,
November 3, 2004.

49. Adil Salahi, “No Figthing Before Explaining Islam,” Arab News, January 31, 2005.

50. “President says his letter to President Bush was invitation to Islam,” Islamic Republic
News Agency, May 11, 2006.

51. “London Islamist Dr. Hani Al-Sibaai Justifies Slaughters in Iraq: The Prophet Muham-
mad Used to Slaughter As Well,” Middle East Media Research Institute (MEMRI) Clip
No. 576, February 22, 2005.

52. Yaakov Lappin, “UK Islamist: Make Jihad on Israel,” YNet News, July 2, 2006.

53. “New Report On Saudi Government Publications,” Center for Religious freedom, Jan-
uary 28, 2005.

54. Debbie Schussel, “Bush’s scary CAIR friend,” WorldNetDaily, October 16, 2001.

55. See, for example, Farahat Al-Abbar, “Norwegian Magazine Apologizes for Cartoons,”
IslamOnline, February 15, 2006.

187
Ucapan Terima-kasih

Saya berhutang terima-kasih kepada orang-orang, yang masih hidup maupun


yang telah meninggal, yang bekerja secara terbuka maupun tersembunyi. Untuk
berbagai alasan, saya tidak dapat menyebut nama mereka disini, dan saya hanya
dapat mengatakan “terima-kasih kepada...anda tahu siapa anda”. Kepada semua
orang yang membela peradaban dari serangan kebiadaban, bagaimanapun dan
dimanapun anda berada, dan dengan cara bagaimana anda turut memikirkan
masalah ini, saya bersyukur dan berterima-kasih.

188
189
190

You might also like