Professional Documents
Culture Documents
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PENDAHULUAN
Penulis merasa heran kalau sebagian besar para ahli hukumtata negara sekarang dan para
anggota MPR yang duduk di PAH I BP MPR (yangdiberi tugas mengamandemen UUD 1945)
berpendapat bahwa di dunia ini hanya Indonesia satu-satunya negara yang konstitusinya
mempunyai Penjelasan, oleh karena ituPenjelasan UUD 1945 harus dihapus. Alasan lain perlunya
penghapusan tersebutadalah bahwa Penjelasan itu dibuat oleh Soepomo yang bukan ahli hukum
tatanegara --Soepomo adalah ahli hukum adat--, dan Penjelasan UUD 1945 lahir satutahun
kemudian setelah lahirnya UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945.
Para pakar dan anggotaMPR tersebut lupa bahwa semua sarjana hukum belajar hukum
tata negara. Sedangkanhukum tata negara sendiri menurut penulis tidak bersifat dinamis, tidak
sepertihukum ekonomi yang terus bergerak seiring dengan perkembangan ekonomi dunia.Ataupun
bidang-bidang ilmu lain misalnya ilmu kedokteran dan obat-obatan(farmasi) yang terus
berkembang dari waktu ke waktu dan dari zaman ke zamantidak statis seperti hukum tata negara
yang sejak dikenalnya bentuk organisasinegara hukum modern yang demokratis, praktis tidak
berkembang lagi.Rupa-rupanya MPR Era Reformasi sangat terpengaruh dengan pendapat para
pakarhukum tata negara, sehingga kemudian ingin menghapuskan Penjelasan UUD 1945dari dunia
perundang-undangan Indonesia, dengan alasan bahwa Penjelasan UUDtidak lazim dalam dunia
konstitusi.
Menurut penulis, kalau alasan penghapusan Penjelasan UUD1945 adalah karena dalam
Penjelasan banyak dimuat norma hukum --yang seharusnyadimuat ke dalam Batang Tubuh UUD
1945--, sesuai dengan teori dan teknikpenyusunan peraturan perundang-undangan maka penulis
setuju, di mana kemudiannorma-norma hukum yang dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 diangkat
ke dalamBatang Tubuh UUD 1945. Namun kalau alasannya “tidak lazim” karena di seluruhdunia
tidak ada satu pun konstitusi yang mempunyai penjelasan, penulis kurangsetuju. Mengapa?, karena
sebagaimana diutarakan dalam Penjelasan UUD 1945(Penjelasan Umum Angka I, alinea kedua
dan ketiga):
UUD negara manapun tidak dapat dimengerti kalau hanyadibaca teksnya saja. Untuk
mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatunegara kita harus mempelajari
juga bagaimana terjadinya teks itu, harusdiketahui keterangan-keterangannya juga
harus diketahui dalam suasana apa teksitu dibikin...”
12. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).
Salah satu contoh aturan dasar/pokok negara yang dimuatdalam UUD 1945 adalah
ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945 (asli) yang berbunyi:
Menurut Bagir Manan, karena otonomi daerah hanyadiatur dalam satu pasal yang singkat
dan Penjelasannya telah memperluas maknadan maksud aturan dasar/pokok tersebut yaitu dengan
menambahkan “pemerintahanadministratif”, maka dalam pelaksanaan politik otonomi daerah yang
dijabarkanke dalam undang-undang menjadi berbagai macam dan saling bertentangan satu
danlainnya, padahal sumbernya satu yaitu Pasal 18 UUD 1945.[11]Oleh karena Pasal 18 tersebut
sangat sumir, maka undang-undang yangmelaksanakan tergantung kepada kepentingan politik para
pembuatnya. MenurutBagir Manan Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang memuat pemerintahan
dekonsentrasidalam pemerintahan daerah adalah tidak tepat, karena dekonsentrasi adalahfungsi
pemerintahan pusat. Kita boleh saja berbeda pendapat, namun sebagaiorang yang makan asam
garam dalam birokrasi, pernah menjadi anggota DPRD, gurubesar hukum, serta Ketua Mahkamah
Agung pendapatnya tersebut dapat dijadikanpertimbangan. Bahkan rumusan Pasal 18 Perubahan
Kedua UUD 1945 adalah hasilkaryanya.
Yang paling menarik untuk dijadikan bahan kajianadalah bunyi Pasal 18 ayat (2)
Perubahan Kedua UUD 1945 yang berbunyi:
Pemerintahan daerah provinsi, darah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugaspembantuan.
Berdasarkan pengamatan penulis, rumusan akhir dari PAHI BP MPR 2000, asas
pemerintahan daerah masih tiga yaitu dekonsentrasi,desentralisasi, dan tugas pembantuan.
Ketiga asas ini juga dianut oleh UUNo. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang
sebelumnya (antaralain UU No. 5/1974), sebagai penjabaran Pasal 18 UUD 1945. Menurut Bagir
Mananasas pemerintahan daerah adalah otonomi dan tugas pembantuan .[12]
Berdasarkan pendapat Bagir Manan yang merupakanarsitek Pasal 18 (baru) UUD 1945
dapat disimpulkan bahwa UU No. 22/1999 memangharus direvisi karena banyak sekali substansi
yang diatur di dalamnya yangtidak sesuai lagi dengan aturan dasar/pokok tersebut. Di samping
ituberdasarkan TAP MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan
DalamPenyelenggaraan Otonomi Daerah, juga diperintahkan untuk mengadakan revisisecara
mendasar terhadap UU No. 22/1999.
Kelompok ketigayaitu Formell Gesetz adalah yang kita kenal sehari dengan
namaundang-undang (UU). Dalam hal ini pengertian undang-undang dalam artian
formil (wetin formele zin) dan undang-undangdalam artian materiel (wet in
materiele zin) kurang tepat diterapkan di sini karena yang dimaksuddalam Formell Gesetz di
sini hanyalah peraturan yang dibentuk oleh DPRdan Presiden yang namanya undang-undang.
Dalam kelompok inilah norma hukumnyadapat dilekati dengan norma sekunder yaitu berupa
sanksi untuk penegakan hukumnya.
1. MPR untuk UUDdan Perubahannya, serta Ketetapan MPR dengan catatan kalau Perubahan
KeempatUUD 1945 yang menetapkan MPR sebagai “forum” mungkin MPR tidak mengeluarkan
TAPlagi, kecuali untuk “impeachment” ;
Dalam Pasal 2 TAP MPR tersebut, Perpu diletakkan di bawah UU. Hal inibertentangan
dengan Pasal 22 UUD 1945 beserta Penjelasanya. Dalam Pasal 22 UUD1945 dikatakan bahwa
Perpu itu sebagai pengganti UU. Kata “pengganti”mengindikasikan bahwa Perpu itu setingkat UU.
Sedangkan dalam Penjelasannyadikatakan dengan tegas bahwa Perpu mempunyai kekuatan
(hukum) yang samadengan UU. Dalam sejarah perkembangan konstitusi di Indonesia,
PenjelasanPasal 22 UUD 1945 ini kemudian “dituangkan” dalam Pasal 139 KRIS 1949 danPasal
96 UUDS 1950 dengan nama “undang-undang darurat”, yangsetingkat dan mempunyai
kekuatan yang sama dengan UU. Dengan demikian para foundingfather/mother kita sejak rapat-
rapat BPUPKI dan PPKI, penambahan PenjelasanUUD 1945 pada tahun 1946, dan kemudian
dituangkan dalam KRIS 1949 dan UUDS1950, menempatkan Perpu atau undang-undang darurat
sejajar dengan UU danmempunyai kekuatan (hukum) yang sama dengan UU. Oleh karena itu,
apapunalasannya penempatan Perpu di bawah UU tidak dapat dibenarkan karenabertentangan
dengan UUD 1945 (Pasal 22 dan Penjelasannya).
Dalam Pasal 4 ayat (2) TAP MPR tersebut yang diawalidenga kata “keputusan” atau
“peraturan” dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (2), (3)dan (4) menimbulkan kerancuan apabila
dikaitkan dengan hak uji (materiel) yangdiberikan kepada MA (judicial review). Apabila dibaca
Pasal 4 ayat (2),maka dimungkinkan adanya “Keputusan” Mahkamah Agung dan “Peraturan
MahkamahAgung” (Perma).. Karena Perma bukan merupakan produk atau hasil dari hak
ujimateriel, maka hasil dari hak uji materiel seharusnya adalah “Keputusan MahkamahAgung”
sebagaimana dikatakan dalam Pasal 5 ayat (4) yang berbunyi:
Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujiansebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3)
bersifat mengikat.
Namundengan melihat produk Mahkamah Agung tentang hak uji materiel suatu
peraturanperundang-undangan, Mahkamah Agung tidak membuat “Keputusan”, tetapi
“Putusan”(vonis) pada tingkat kasasi. Oleh karena itu seharusnya kata “Keputusan” padaPasal 5
ayat (4) TAP MPR tersebut harus diganti dengan kata “Putusan”.
Ketentuan dalam huruf b di atas jelas bertentanganPasal 22 UUD 1945 atau paling tidak
telah memperluas ketentuan Pasal 22 UUD1945 dengan menambahkan suatu klausula yaitu
“dengan tidak mengadakanperubahan”. Di samping itu akan bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1)
PerubahanPertama UUD 1945 yang menegaskan bahwa DPR adalah pembentuk UU atau
yangmemegang kekuasaan membentuk UU, sehingga akan menjadi tidak tepat kalaupembentuk
UU (legislator utama) tidak boleh mengubah Perpu yang diajukanPresiden (legislator serta).
Masalah lain yang mungkin timbul adalah apabilaMahkamah Agung dalam waktu yang
bersamaan dengan pengajuan suatu Perpu kepadaDPR mengadakan hak uji materiel terhadap
Perpu dan kemudian menetapkan Perputersebut bertentangan dengan UU dan memerintahkan
Pemerintah untuk mencabutnya,sedangkan DPR menyetujui Perpu untuk menjadi UU. Kalau hal
ini terjadi(walaupun kecil kemungkinannya) maka dapat menimbulkan implikasi politis danyuridis
dalam bentuk conflict of interest di antara lembaga tingginegara.
Landasan formal konstitusional PP adalah Pasal 5 ayat(2) UUD 1945 yang dituangkan
dalam dasar hukum “mengingat”. Sedangkan“menimbang” suatu PP cukup satu butir saja yang
memuat rumusan pasal delegasiansuatu UU, sebagaimana ditentukan dalam butir 22 Lampiran I
Keppres No. 44/1999yang berbunyi:
Klausula “undang-undang yangmemerintahkan” juga digunakan dalam Pasal 3 ayat (5) TAP MPR
No. III/MPR/2000yang berbunyi:
Landasan formal konstitusional TAP MPR adalah Pasal 3UUD 1945 (lama). Berdasarkan
Pasal 2 dan Pasal 3 Perubahan Ketiga UUD 1945, MPRnantinya akan terdiri atas dua kamar
(bikameral) dan bukan lagi lembagatertinggi negara dan tugasnya hanya mengubah dan
menetapkan UUD dan meng-impeachtPresiden apabila terbukti melanggar UUD 1945 atau
melakukan kejahatansebagaimana disebutkan dalam UUD berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi ataspermintaan DPR. Menurut hemat penulis MPR nantinya tidak lagi mengeluarkan
TAPMPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya diatas
undang-undang. Untuk Keputusan Presiden yang bersifat pengaturan (regeling)adalah Pasal 4 ayat
(1) UUD 1945. Landasan formal konstitusional Perda adalahPasal 18 ayat (6) Perubahan Kedua
UUD 1945. Semua Pasal-pasal ini dicantumkanpada dasar hukum “mengingat” suatu peraturan
perundang-undangan, sesuai denganjenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk tersebut.
Landasanmaterial konstitusional TAP MPR adalah Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 UUD
1945(asli). Untuk UU adalah Pasal-pasal UUD 1945 yang memerintahkan diatur lebihlanjut
dengan UU atau --walaupun tidak memerintahkan secara tegas-- berdasarkanasas
konstitusionalisme dan negara hukum (rechtsstaat) perlunyapengaturan suatu substansi dengan
UU, maka pasal (-pasal) UUD 1945 yang relevandapat dijadikan landasan material konstitusional.
Dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 termuatberbagai hak dasar manusia
(HAM) yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguhdalam setiap pembuatan undang-undang.
Misalnya kita akan membuat suatu RUU (UU)yang berkaitan dengan kebebasan menyatakan
pendapat, maka dalam “menimbang”harus diuraikan secara filosofis apa itu kebebasan
menyatakan pendapat danbagaimana cara menyampaikannya, dalam suatu uraian kalimat yang
singkat, padat,dan dikaitkan dengan asas demokrasi dari sila ke-4 Pancasila. Contoh lainmisalnya
dalam UU Narkotika (UU No. 22/1997) latar belakang filosofisnyadikaitkan dengan kesejahteraan
dan kesehatan rakyat dikaitkan dengan penggunaannarkotika secara benar dan akan merusak
masyarakat, bangsa dan negara apabiladigunakan secara salah.
Merumuskan landasan filosofis dalam “menimbang”dikaitkan dengan landasan material
konstitusional tidaklah semudahmengatakannya. Dalam berbagai pengalaman pembuatan undang-
undang di DPR,patokan anggota DPR dalam merumuskan secara runtut “menimbang”
suatuundang-undang dimulai dengan Pancasila, kemudian UUD 1945, dan nilai-nilai lainyang
berlaku di masyarakat dikaitkan dengan substansi undang-undang yangdibentuk tersebut. Sebagai
contoh adalah “menimbang” UU No. 22/1999 tentangPemerintahan Daerah yang berbunyi:
PENUTUP
Dengan memahami sejarah dan isiUUD 1945 dan Perubahannya serta TAP-TAP MPR dan
berbagai UU dan peraturanperundang-undangan yang lain dan doktrin yang mengajarkan teori dan
ilmuperundang-undangan, diharapkan para Perancang dalam membuat peraturanperundang-
undangan baik di tingkat nasional maupun regional (daerah) secaraprosedural dan substansial tidak
akan bertentangan dengan Pancasila dan UUD1945.
[2]
Dalam Pasal 1 TAP MPR No. III/MPR/2000 dikatakan bahwa : (1)Sumber hukum adalah sumber
yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturanperundang-undangan. (2) Sumber hukum
terdiri atas hukum tertulis dan tidaktertulis. (3) Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yangtertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaanyang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin
olehhikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkansuatu
Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh UUD 1945.Pada masa Orde
Baru, berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 yang dicabut olehTAP MPR No.
III/MPR/2000 dikatakan bahwa “Pancasila adalah sumber dari segalasumber hukum”. Ketentuan
ini telah menimbulkan kontroversi karena dapatditapsirkan bahwa hukum agama pun bersumber
dari Pancasila. Oleh karena itudalam TAP MPR No. III/MPR/2000 ketentuan ini diubah menjadi
“Pancasila dan UUD1945 adalah sumber hukum dasar nasional”.
[5]
Misalnya, salah satu alasanpenghapusan Penjelasan UUD 1945 adalah apabila substansi atau
norma hukum yangada dalam Penjelasan diangkat ke dalam Batang Tubuh UUD 1945, maka
Penjelasantersebut dihapus. Alasan ini dikemukakan oleh beberapa Anggota MPR dalam
SidangUmum MPR, yang dimuat dalam Buku Kedua Jilid 6 tentang Risalah Rapat BadanPekerja
Panitia Ad Hoc III Sidang Umum MPR-RI Tahun 1999, yang dikeluarkanoleh Sekretariat Jenderal
MPR-RI, Jakarta, 1999, hal.4-12.
[9]
[12]
[15]
Mengenai Perma, masih adadua pendapat yaitu pertama, dia adalah jenis peraturan perundang-
undangankarena isinya walaupun ditujukan kepada lingkungan peradilan naum hukumacaranya
bersifat mengikat umum. Kedua disebut pseudowetgeving(peraturan perundang-undangan semu)
karena walaupun isinya mengikat umum tetapibukan dibentuk oleh lembaga yang mempunyai
kewenangan membentuk peraturanperundang-undangan yang sebenarnya.
14
Peraturan Bank Indonesiaadalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan
mengikat setiaporang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”,
jisPasal 2 ayat (5), Pasal 3 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), Pasal14 ayat (5), Pasal 15
ayat (2), Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 23ayat (5), Pasal 25 ayat (2), dan Pasal 30 ayat
(3), Bank Indonesia dapatmengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang merupakan bentuk/jenis
peraturanperundang-undangan karena isinya mengikat secara umum dan diundangkan diLembaran
Negara Republik Indonesia. UU No. 23/1999 ini dikeluarkan pada masa BJHabibie menjadi
Presiden.
15
[18]