You are on page 1of 12

DASAR-DASAR KONSTITUSIONAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh : Machmud Aziz, S.H., M.H.[1]

PENDAHULUAN

Dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan,landasan konstitusional


memegang peranan yang sangat penting dan strategiskarena konstitusi adalah hukum dasar bagi
suatu bangsa. Sebagai hukum dasarsuatu bangsa atau negara maka secara hierarki semua
peraturanperundang-undangan yang dibentuk oleh negara atau bangsa yang bersangkutanharuslah
dari dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.

Indonesiaadalah suatu negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) sebagaimanaditentukan


dalam Penjelasan UUD 1945 yang kemudian “diangkat” ke dalam Pasal 1ayat (3) Perubahan
Ketiga UUD 1945 (2001) dengan rumusan: Negara Indonesiaadalah negara hukum. Kemudian
dalam Ketetapan Majelis PermusyawaratanRakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan TataUrutan Perundang-undangan (selanjutnya disingkat TAP MPR
No. III/MPR/2000). menempatkan Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945
(dengansila-silanya: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaandalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosialbagi seluruh
Rakyat Indonesia), dan Batang Tubuh UUD 1945 (danPerubahannya) sebagai sumber hukum
dasar nasional. Ketentuan dalam TAPMPR No. III/MPR/2000 ini menempatkan konstitusi
(dalam hal ini UUD 1945 danPerubahannya)[4]Pendapat Sri Soemantri ini rupa-rupanya sangat
besar pengaruhnya kepada PAHII BP MPR, sehingga TAP MPR No. III/MPR/2000 telah
menetapkan bahwa sumberhukum dasar nasional adalah Pancasila dan UUD 1945 adalah
hukum dasartertulis. Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 ini dan rencana
akandihapuskannya Penjelasan UUD 1945, maka tidak dibedakan lagi antara konstitusitertulis dan
tidak tertulis, sebagaimana yang dianut dalam UUD 1945 (lama) yangtermuat dalam
Penjelasannya.

Penulis merasa heran kalau sebagian besar para ahli hukumtata negara sekarang dan para
anggota MPR yang duduk di PAH I BP MPR (yangdiberi tugas mengamandemen UUD 1945)
berpendapat bahwa di dunia ini hanya Indonesia satu-satunya negara yang konstitusinya
mempunyai Penjelasan, oleh karena ituPenjelasan UUD 1945 harus dihapus. Alasan lain perlunya
penghapusan tersebutadalah bahwa Penjelasan itu dibuat oleh Soepomo yang bukan ahli hukum
tatanegara --Soepomo adalah ahli hukum adat--, dan Penjelasan UUD 1945 lahir satutahun
kemudian setelah lahirnya UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945.

Para pakar dan anggotaMPR tersebut lupa bahwa semua sarjana hukum belajar hukum
tata negara. Sedangkanhukum tata negara sendiri menurut penulis tidak bersifat dinamis, tidak
sepertihukum ekonomi yang terus bergerak seiring dengan perkembangan ekonomi dunia.Ataupun
bidang-bidang ilmu lain misalnya ilmu kedokteran dan obat-obatan(farmasi) yang terus
berkembang dari waktu ke waktu dan dari zaman ke zamantidak statis seperti hukum tata negara
yang sejak dikenalnya bentuk organisasinegara hukum modern yang demokratis, praktis tidak
berkembang lagi.Rupa-rupanya MPR Era Reformasi sangat terpengaruh dengan pendapat para
pakarhukum tata negara, sehingga kemudian ingin menghapuskan Penjelasan UUD 1945dari dunia
perundang-undangan Indonesia, dengan alasan bahwa Penjelasan UUDtidak lazim dalam dunia
konstitusi.

Menurut penulis, kalau alasan penghapusan Penjelasan UUD1945 adalah karena dalam
Penjelasan banyak dimuat norma hukum --yang seharusnyadimuat ke dalam Batang Tubuh UUD
1945--, sesuai dengan teori dan teknikpenyusunan peraturan perundang-undangan maka penulis
setuju, di mana kemudiannorma-norma hukum yang dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 diangkat
ke dalamBatang Tubuh UUD 1945. Namun kalau alasannya “tidak lazim” karena di seluruhdunia
tidak ada satu pun konstitusi yang mempunyai penjelasan, penulis kurangsetuju. Mengapa?, karena
sebagaimana diutarakan dalam Penjelasan UUD 1945(Penjelasan Umum Angka I, alinea kedua
dan ketiga):

“...Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droitconstitutionnel) suatu negara, tidak


cukup hanya menyelidiki pasal-pasal UUD(loi constitutionelle) saja, akan tetapi harus
menyelidiki juga bagaimanaprakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya
(geistlichen Hintergrund) dariUUD tersebut.

UUD negara manapun tidak dapat dimengerti kalau hanyadibaca teksnya saja. Untuk
mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatunegara kita harus mempelajari
juga bagaimana terjadinya teks itu, harusdiketahui keterangan-keterangannya juga
harus diketahui dalam suasana apa teksitu dibikin...”

Penjelasan UUD 1945 tersebut memberikan arahan bahwa untukmengerti pasal-pasal


dalam Batang Tubuh UUD 1945 perlu dimengerti latarbelakang dan suasana kebatinan lahirnya
teks-teks pasal tersebut. Dengandemikian apabila kita ingin mengetahui alasan penghapusan
Penjelasan UUD 1945,maka untuk mengetahui alasan penghapusan tersebut perlu mengetahui
latarbelakang dan suasana kebatinan penghapusan tersebut. Hal ini hanya dapatdiketahui kalau kita
membaca risalah/notulen pembahasan perubahan tersebutdalam Sidang-sidang MPR atau
mewawancarai anggota MPR yang membahas perubahanUUD 1945 tersebut --khususnya
penghapusan Penjelasan--. Sedangkan kalauPenjelasan tersebut tidak dihapus tetapi
disempurnakan dan disesuaikan denganpasal-pasal perubahan tersebut, maka menurut penulis,
risalah Sidang-sidang MPRtersebut hanyalah sebagai pelengkap dari Penjelasan tersebut. [6]

Penjelasan UUD 1945 penulis analogikan dengan penjelasansuatu undang-undang. Apabila


pembaca atau pengguna suatu undang-undang misalnyahakim, jaksa, atau pengacara, bahkan
perancang peraturan perundang-undanganyang menyusun sejarah terbentuknya suatu undang-
undang, maka pertama-tama yangakan dibaca adalah isi batang tubuhnya. Apabila tidak atau
kurang jelas, makadibaca penjelasannya. Apabila masih kurang jelas juga dan ingin
mengetahuilatar belakang serta situasi dan kondisi teks undang-undang tersebutdilahirkan, maka
barulah dibaca kembali risalah-risalah pembahasan rancanganundang-undang tersebut di DPR,
bahkan kalau ingin lebih lengkap laginotula-notula pembahasannya di lingkungan pemerintah
ketika mempersiapkanpenyusunannya dan pembahasannya di Panitia Antar Dep. sehingga para
pembaca danpengguna undang-undang tersebut dapat dengan tepat mengetahui
keinginanpembentuk undang-undang tersebut sehingga dapat menerapkan undang-undangtersebut
dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya tanpa harus memberikaninterpretasi sendiri-sendiri
yang sering berbeda satu sama lain sesuai denganselera dan kepentingannya masing-masing.

Indonesia sebagai negara yang berasaskan konstitusionalisme, artinya semua tindakan


negaradan pemerintah (termasuk seluruh masyarakat), haruslah sesuai atau berlandaskankepada
konstitusi. Demikian pula peraturan perundang-undangan yang dibuatsebagai pelaksanaan atau
penjabaran konstitusi haruslah mencerminkan isi darikonstitusi tersebut bukan malahan
bertentangan dengan konstitusi (dalam hal iniUUD 1945 dan Perubahannya).[8]Norma dasar yang
merupakan norma tertinggi dalam sistem norma –yang ditetapkanterlebih dahulu—merupakan
gantungan bagi norma yang berada di bawahnya. Menurut Maria Farida yang mengutip pendapat
A. Hamid, SA, berdasarkan teorijenjangnya (stoefen Theory) Hans Kelsen, suatu norma hukum
ituselalu berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, ke bawah, norma hukumtersebut menjadi
sumber dan dasar bagi norma yang lebih rendah. Dalam suatu organisasi masyarakat yang
bernamanegara norma dasar ini kemudian menjadi dasar dibentuknya konstitusi atau UUD.Hans
Nawiasky --murid Hans Kelsen-- mengembangkan teori gurunya denganmengelompokkan norma
hukum ke dalam 4 kelompok yaitu:

9. Staatsfundamentalnorm (norma funfamental negara);

10. Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara);

11. Formell Gesetz (undang-undang formal);

12. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

Kelompok pertama (Staatsfundamenlalnorm) apabila dikaitkan dengan


sistem danhierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang dikatakan
“normafundamental negara” adalah Pancasila yang merupakan cita hukum (rechts
idee)dan sebagai “bintang pemandu” (leitstern) bagi UUD 1945 yang
berisi“aturan dasar/pokok negara” sebagaimana dikatakan oleh A. Hamid, SA.
[10]

Kelompok kedua (Staatsgrundgesetz)atau aturan dasar/pokok negara merupakan aturan


umum yang masih bersifat garisbesar, sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum
disertai norma sekunder(yang berisi sanksi). Aturan dasar/pokok kalau dituangkan dalam
satu dokumenresmi menurut A. Hamid, SA yang mengutip pendapat Hans Nawiasky,
dinamakan staatsverfassungdan kalau dituangkan dalam berbagai dokumen disebut
staatsgrundgesetz.

Salah satu contoh aturan dasar/pokok negara yang dimuatdalam UUD 1945 adalah
ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945 (asli) yang berbunyi:

Pembagiandaerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk


susunanpemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang
danmengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-
hakasasl-usul dalam daerah-daerah yang bersifat sementara.

Menurut Bagir Manan, karena otonomi daerah hanyadiatur dalam satu pasal yang singkat
dan Penjelasannya telah memperluas maknadan maksud aturan dasar/pokok tersebut yaitu dengan
menambahkan “pemerintahanadministratif”, maka dalam pelaksanaan politik otonomi daerah yang
dijabarkanke dalam undang-undang menjadi berbagai macam dan saling bertentangan satu
danlainnya, padahal sumbernya satu yaitu Pasal 18 UUD 1945.[11]Oleh karena Pasal 18 tersebut
sangat sumir, maka undang-undang yangmelaksanakan tergantung kepada kepentingan politik para
pembuatnya. MenurutBagir Manan Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang memuat pemerintahan
dekonsentrasidalam pemerintahan daerah adalah tidak tepat, karena dekonsentrasi adalahfungsi
pemerintahan pusat. Kita boleh saja berbeda pendapat, namun sebagaiorang yang makan asam
garam dalam birokrasi, pernah menjadi anggota DPRD, gurubesar hukum, serta Ketua Mahkamah
Agung pendapatnya tersebut dapat dijadikanpertimbangan. Bahkan rumusan Pasal 18 Perubahan
Kedua UUD 1945 adalah hasilkaryanya.

Yang paling menarik untuk dijadikan bahan kajianadalah bunyi Pasal 18 ayat (2)
Perubahan Kedua UUD 1945 yang berbunyi:

Pemerintahan daerah provinsi, darah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugaspembantuan.

Berdasarkan pengamatan penulis, rumusan akhir dari PAHI BP MPR 2000, asas
pemerintahan daerah masih tiga yaitu dekonsentrasi,desentralisasi, dan tugas pembantuan.
Ketiga asas ini juga dianut oleh UUNo. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang
sebelumnya (antaralain UU No. 5/1974), sebagai penjabaran Pasal 18 UUD 1945. Menurut Bagir
Mananasas pemerintahan daerah adalah otonomi dan tugas pembantuan .[12]

Berdasarkan pendapat Bagir Manan yang merupakanarsitek Pasal 18 (baru) UUD 1945
dapat disimpulkan bahwa UU No. 22/1999 memangharus direvisi karena banyak sekali substansi
yang diatur di dalamnya yangtidak sesuai lagi dengan aturan dasar/pokok tersebut. Di samping
ituberdasarkan TAP MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan
DalamPenyelenggaraan Otonomi Daerah, juga diperintahkan untuk mengadakan revisisecara
mendasar terhadap UU No. 22/1999.

Kelompok ketigayaitu Formell Gesetz adalah yang kita kenal sehari dengan
namaundang-undang (UU). Dalam hal ini pengertian undang-undang dalam artian
formil (wetin formele zin) dan undang-undangdalam artian materiel (wet in
materiele zin) kurang tepat diterapkan di sini karena yang dimaksuddalam Formell Gesetz di
sini hanyalah peraturan yang dibentuk oleh DPRdan Presiden yang namanya undang-undang.
Dalam kelompok inilah norma hukumnyadapat dilekati dengan norma sekunder yaitu berupa
sanksi untuk penegakan hukumnya.

Kelompokkeempat Verordnung dan Autonome Satzung (peraturanpelaksanaan dan


peraturan otonom) merupakan peraturan pelaksanaan dari UU (FormellGesetz) yang dibuat oleh
lembaga atau pejabat baik berdasarkan kewenanganatribusi (untuk peraturan otonom) maupun
kewenangan delegasi (untuk peraturanpelaksanaan).[14]

Berdasarkan Perubahan UUD 1945 tersebut ditambahlahirnya UU No. 22/1999


(pengganti UU No. 5/1974) dan TAP MPR No. III/MPR/2000,maka pembentuk peraturan
perundang-undangan tingkat pusat dan tingkat daerahsekarang adalah sebagai berikut :

1. MPR untuk UUDdan Perubahannya, serta Ketetapan MPR dengan catatan kalau Perubahan
KeempatUUD 1945 yang menetapkan MPR sebagai “forum” mungkin MPR tidak mengeluarkan
TAPlagi, kecuali untuk “impeachment” ;

2. DPRdan Presiden untuk undang-undang;

3. Presiden untuk Peraturan PemerintahPengganti Undang-undang (Perpu), Peraturan


Pemerintah (PP), dan KeputusanPresiden (regeling);
4. Mahkamah Agung, untuk Peraturan MahkamahAgung sepanjang yang berkaitan dengan
peradilan dan hukum acara (peraturanperundang-undangan semu); [18] Keputusan
Kepala LPND/Komisi/Badan yang bersifat pengaturan (regeling); Peraturan
Daerah Propinsi (termasuk Perdasus/Perdasi di Papua dan Qanundi Aceh);

Dalam Pasal 2 TAP MPR tersebut, Perpu diletakkan di bawah UU. Hal inibertentangan
dengan Pasal 22 UUD 1945 beserta Penjelasanya. Dalam Pasal 22 UUD1945 dikatakan bahwa
Perpu itu sebagai pengganti UU. Kata “pengganti”mengindikasikan bahwa Perpu itu setingkat UU.
Sedangkan dalam Penjelasannyadikatakan dengan tegas bahwa Perpu mempunyai kekuatan
(hukum) yang samadengan UU. Dalam sejarah perkembangan konstitusi di Indonesia,
PenjelasanPasal 22 UUD 1945 ini kemudian “dituangkan” dalam Pasal 139 KRIS 1949 danPasal
96 UUDS 1950 dengan nama “undang-undang darurat”, yangsetingkat dan mempunyai
kekuatan yang sama dengan UU. Dengan demikian para foundingfather/mother kita sejak rapat-
rapat BPUPKI dan PPKI, penambahan PenjelasanUUD 1945 pada tahun 1946, dan kemudian
dituangkan dalam KRIS 1949 dan UUDS1950, menempatkan Perpu atau undang-undang darurat
sejajar dengan UU danmempunyai kekuatan (hukum) yang sama dengan UU. Oleh karena itu,
apapunalasannya penempatan Perpu di bawah UU tidak dapat dibenarkan karenabertentangan
dengan UUD 1945 (Pasal 22 dan Penjelasannya).

Dalam Pasal 4 ayat (2) TAP MPR tersebut yang diawalidenga kata “keputusan” atau
“peraturan” dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (2), (3)dan (4) menimbulkan kerancuan apabila
dikaitkan dengan hak uji (materiel) yangdiberikan kepada MA (judicial review). Apabila dibaca
Pasal 4 ayat (2),maka dimungkinkan adanya “Keputusan” Mahkamah Agung dan “Peraturan
MahkamahAgung” (Perma).. Karena Perma bukan merupakan produk atau hasil dari hak
ujimateriel, maka hasil dari hak uji materiel seharusnya adalah “Keputusan MahkamahAgung”
sebagaimana dikatakan dalam Pasal 5 ayat (4) yang berbunyi:

Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujiansebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3)
bersifat mengikat.

Namundengan melihat produk Mahkamah Agung tentang hak uji materiel suatu
peraturanperundang-undangan, Mahkamah Agung tidak membuat “Keputusan”, tetapi
“Putusan”(vonis) pada tingkat kasasi. Oleh karena itu seharusnya kata “Keputusan” padaPasal 5
ayat (4) TAP MPR tersebut harus diganti dengan kata “Putusan”.

Berkaitan dengan Perpu yang diletakkan di bawah UUmaka di samping bertentangan


dengan Pasal 22 UUD 1945 (dan Penjelasannya)sehingga melanggar asas hierarki peraturan
perundang-undangan yaitu peraturanperundang-undangan yang di bawah tidak boleh bertentangan
dengan peraturanperundang-undangan di atasnya, sebagaimana juga dimuat dalam ketentuan Pasal
2,Pasal 3 ayat (7), dan Pasal 4 TAP MPR itu sendiri. Dengan demikian semakintidak konsisten dan
semakin rancu TAP MPR tersebut sehingga dapat dibatalkan (vernietigbaar)atau batal demi
hukum (van rechtswege nietig) karena bertentangandengan UUD 1945. Di samping itu pasal-
pasalnya tidak harmonis kalau tidak maudikatakan saling bertentangan (kontradiktif) satu sama
lainnya, serta adabeberapa istilah yang dipergunakan untuk maksud yang sama yang tidak
dapatdibenarkan secara teknik penyusunan peraturan perundang-undangan karena
dapatmenimbulkan berbagai interpretasi.

Khusus penempatan Perpu di bawah UU, di sampingbertentangan dengan Pasal 22 UUD


1945, Mahkamah Agung juga dapat menguji Perputerhadap UU. Padahal Perpu itu adalah suatu
“UU tertunda”. Apabila Perputersebut diuji oleh Mahkamah Agung dan diputuskan bertentangan
dengan UU makaPerpu itu harus dicabut oleh Pemerintah, padahal dalam Pasal 22 ayat (2) dan(3)
UUD 1945 ditentukan bahwa kalau DPR tidak memberikan persetujuan terhadapsuatu Perpu yang
diajukan kepadanya, maka Perpu tersebut harus dicabut. DalamPasal 22 tersebut tidak dikatakan
siapa yang harus mencabutnya namun denganpenapsiran dan logika hukum tentunya yang harus
mencabutnya adalah yangmembuatnya yaitu Pemerintah. Jadi pencabutan Perpu tersebut tidak
perlu ada hakuji materiel dari Mahkamah Agung. Namun dengan ditempatkannya Perpu di bawah
UUmaka Mahkamah Agung dapat mengadakan hak uji materiel terhadap Perpu tersebut.Di sinilah
kerancuan dari Pasal 2 TAP MPR No. III/MPR/2000.

Dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b TAP MPR No.III/MPR/2000 dikatakan:

DPR dapat menerima atau menolak Perpudengan tidak mengadakan


perubahan;

Ketentuan dalam huruf b di atas jelas bertentanganPasal 22 UUD 1945 atau paling tidak
telah memperluas ketentuan Pasal 22 UUD1945 dengan menambahkan suatu klausula yaitu
“dengan tidak mengadakanperubahan”. Di samping itu akan bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1)
PerubahanPertama UUD 1945 yang menegaskan bahwa DPR adalah pembentuk UU atau
yangmemegang kekuasaan membentuk UU, sehingga akan menjadi tidak tepat kalaupembentuk
UU (legislator utama) tidak boleh mengubah Perpu yang diajukanPresiden (legislator serta).

Masalah lain yang mungkin timbul adalah apabilaMahkamah Agung dalam waktu yang
bersamaan dengan pengajuan suatu Perpu kepadaDPR mengadakan hak uji materiel terhadap
Perpu dan kemudian menetapkan Perputersebut bertentangan dengan UU dan memerintahkan
Pemerintah untuk mencabutnya,sedangkan DPR menyetujui Perpu untuk menjadi UU. Kalau hal
ini terjadi(walaupun kecil kemungkinannya) maka dapat menimbulkan implikasi politis danyuridis
dalam bentuk conflict of interest di antara lembaga tingginegara.

Berdasarkan uraian di atas, perlu disepakati bahwajenis peraturan perundang-undangan


dan tata susunannya yang berlaku sekarangtidak hanya yang secara eksplisit dimuat dalam Pasal 2
TAP MPR No.III/MPR/2000, akan tetapi juga di luar Pasal 2 TAP MPR tersebut baik
secaratersurat maupun tersirat yang termuat dalam Pasal 3 ayat (7) dan Pasal 4 ayat(2) TAP MPR
tersebut serta yang ditentukan dalam UU No. 22/1999, serta UU lainsebagaimana diuraikan di
atas, agar tidak membingungkan para pembentukperaturan perundang-undangan baik di pusat
maupun di daerah.

LANDASANFORMAL DAN MATERIAL KONSTITUSIONAL

Sebagaimanadiuraikan di atas Indonesia sebagai negara berdasar atas hukum


(rechtsstaat)di mana semua peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang)
harusdidasarkan pada atau bersumber kepada UUD 1945. Semua peraturanperundang-undangan
harus mencerminkan atau merupakan penjabaran dari sistem danasas sosial. politik, dan hukum,
yang ada dalam UUD 1945. Berdasarkan pemahamanini maka dapat diambil kesimpulan bahwa
setiap pembentukan undang-undang harusmendapatkan legitimasi dari UUD 1945 berupa landasan
formal konstitusional danlandasan material konstitusional.

Landasanformal konstitusional dimaksudkan untuk memberikan legitimasi


proseduralterhadap pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam konteks
ini,untuk suatu undang-undang, maka kandasan formal konstitusionalnya adalahPasal-pasal dalam
UUD 1945 yang memberikan sign terhadap prosedurpembentukan suatu peraturan perundang-
undangan. Untuk UU, landasan formalkonstitusionalnya adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan
Pasal 21 UUD 1945.Landasan formal konstitusional Perpu adalah Pasal 22 UUD 1945. Untuk
Keppresadalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

Landasan formal konstitusional PP adalah Pasal 5 ayat(2) UUD 1945 yang dituangkan
dalam dasar hukum “mengingat”. Sedangkan“menimbang” suatu PP cukup satu butir saja yang
memuat rumusan pasal delegasiansuatu UU, sebagaimana ditentukan dalam butir 22 Lampiran I
Keppres No. 44/1999yang berbunyi:

Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukupmemuat satu pertimbangan


yang berisi uraian ringkas mengenai perlunyamelaksanakan ketentuan pasal atau
beberapa pasal dari undang-undang yangmemerintahkan pembuatan Peraturan
Pemerintah

Klausula “undang-undang yangmemerintahkan” juga digunakan dalam Pasal 3 ayat (5) TAP MPR
No. III/MPR/2000yang berbunyi:

Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakanperintah undang-


undang.

Dengan demikian berdasarkan ketentuan tersebuttentunya tidak benar kalau Pemerintah


mengeluarkan suatu PP yang tidak adadelegasi secara langsung (eksplisit) dari suatu UU.
Ketentuan ini sebenarnyamenyulitkan pemerintah sendiri, karena dapat saja suatu UU tidak
mendelegasikanpembuatan PP untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan dalam pasal (-pasal)
UUtersebut, namun kebutuhan akan adanya peraturan pelaksanaan UU dalam bentuk PPsangat
diperlukan. Oleh karena itu pada Era Orde Baru ada pemahaman bahwawalaupun suatu UU tidak
mendelegasikan secara tegas (eksplisit) untuk mengaturlebih lanjut dalam PP, Pemerintah
berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD1945 dapat saja mengeluarkan PP sepanjang sangat
dibutuhkan dan “dicantelkan”kepada pasal (-pasal) UU yang relevan dengan materi muatan PP
tersebut. Kalausekarang kebiasaan seperti itu ingin tetap dilaksanakan tentunya harus
dengansepengetahuan DPR yaitu dengan cara melaporkan pembuatan PP tersebut kepada
DPRsebagai legislator utama yang memegang kekuasaan membentuk UU.

Landasan formal konstitusional TAP MPR adalah Pasal 3UUD 1945 (lama). Berdasarkan
Pasal 2 dan Pasal 3 Perubahan Ketiga UUD 1945, MPRnantinya akan terdiri atas dua kamar
(bikameral) dan bukan lagi lembagatertinggi negara dan tugasnya hanya mengubah dan
menetapkan UUD dan meng-impeachtPresiden apabila terbukti melanggar UUD 1945 atau
melakukan kejahatansebagaimana disebutkan dalam UUD berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi ataspermintaan DPR. Menurut hemat penulis MPR nantinya tidak lagi mengeluarkan
TAPMPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya diatas
undang-undang. Untuk Keputusan Presiden yang bersifat pengaturan (regeling)adalah Pasal 4 ayat
(1) UUD 1945. Landasan formal konstitusional Perda adalahPasal 18 ayat (6) Perubahan Kedua
UUD 1945. Semua Pasal-pasal ini dicantumkanpada dasar hukum “mengingat” suatu peraturan
perundang-undangan, sesuai denganjenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk tersebut.

Landasanmaterial konstitusional dimaksudkan untuk memberikan sign bahwaperaturan


perundang-undangan yang dibentuk tersebut merupakan penjabaran dariPasal-pasal UUD 1945
(dan Perubahannya) yang juga dicantumkan dalam dasar hukum“mengingat” suatu peraturan
perundang-undangan yang (akan) dibentuk.Pencantuman pasal-pasal UUD 1945 tersebut
disesuaikan dengan materi muatan yangakan dijabarkan dalam batang tubuh peraturan perundang-
undangan tersebut.Sebagai contoh, misalnya akan dibentuk RUU (UU) tentang Partai
Politik.Landasan material konstitusionalnya adalah Pasal 28 UUD 1945, karena pasal inimemuat
hak-hak dasar manusia (dalam hal ini warga negara) untuk menyatakanekspresinya dalam suatu
kegiatan politik atau membentuk organisasi partaipolitik. Pencantuman Pasal 33 UUD 1945 dalam
dasar hukum “mengingat” suatu RUU(UU) memberikan indikasi bahwa landasan material
konstitusional RUU (UU) adalahyang berkaitan dengan kesejahteraan atau kegiatan di bidang
ekonomi yangdijabarkan lebih lanjut dalam batang tubuh RUU (UU) tersebut. Yang
perludiperhatikan dalam hal ini bahwa substansi suatu RUU (UU) yang dijabarkan
sejakkonsiderans “menimbang”, penjabaran dalam batang tubuh sampai dengan penjelasanRUU
(UU) tersebut tidak boleh bertentangan dengan landasan materailkonstitusional tersebut. Artinya
kalau kita mencantumkan Pasal 33 UUD 1945sebagai landasan material konstitusional suatu RUU
(UU), maka penjabarannyadalam “menimbang”, batang tubuh, sampai dengan Penjelasan RUU
(UU) tersebuttidak boleh bertentangan dengan semangat dan jiwa atau esensi dari Pasal 33
UUD1945 tersebut.

Landasanmaterial konstitusional TAP MPR adalah Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 UUD
1945(asli). Untuk UU adalah Pasal-pasal UUD 1945 yang memerintahkan diatur lebihlanjut
dengan UU atau --walaupun tidak memerintahkan secara tegas-- berdasarkanasas
konstitusionalisme dan negara hukum (rechtsstaat) perlunyapengaturan suatu substansi dengan
UU, maka pasal (-pasal) UUD 1945 yang relevandapat dijadikan landasan material konstitusional.

Dalambutir 17 huruf b Lampiran I Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999


tentangTeknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk RancanganUndang-
undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden(selanjutnya
disingkat Keppres No. 44/1999) dinyatakan bahwa :

Konsiderans (“menimbang”) memuat uraian singkatmengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi


latar belakang dan alasan pembuatanperaturan perundang-undangan. Pokok-pokok pikiran pada
konsideransundang-undang atau peraturan daerah memuat unsur-unsur filosofis, juridis,dan
sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.

Rumusan butir 17 huruf b Lampiran I Keppres No.44/1999 mengandung makna bahwa


setiap peraturan perundang-undangan (khususnyaundang-undang dan peraturan daerah) harus
mencerminkan landasan konstitusionalbaik secara formal maupun material yang kemudian
dituangkan dalam dasar hukum“mengingat”. Unsur-unsur filosofis yang harus termuat dalam latar
belakangpembuatan suatu undang-undang merupakan hakekat dari landasan formal danmaterial
konstitusional. Unsur-unsur filosofis ini terkandung dalam PembukaanUUD 1945, Batang Tubuh
UUD 1945 (dan Perubahannya).

Dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 termuatberbagai hak dasar manusia
(HAM) yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguhdalam setiap pembuatan undang-undang.
Misalnya kita akan membuat suatu RUU (UU)yang berkaitan dengan kebebasan menyatakan
pendapat, maka dalam “menimbang”harus diuraikan secara filosofis apa itu kebebasan
menyatakan pendapat danbagaimana cara menyampaikannya, dalam suatu uraian kalimat yang
singkat, padat,dan dikaitkan dengan asas demokrasi dari sila ke-4 Pancasila. Contoh lainmisalnya
dalam UU Narkotika (UU No. 22/1997) latar belakang filosofisnyadikaitkan dengan kesejahteraan
dan kesehatan rakyat dikaitkan dengan penggunaannarkotika secara benar dan akan merusak
masyarakat, bangsa dan negara apabiladigunakan secara salah.
Merumuskan landasan filosofis dalam “menimbang”dikaitkan dengan landasan material
konstitusional tidaklah semudahmengatakannya. Dalam berbagai pengalaman pembuatan undang-
undang di DPR,patokan anggota DPR dalam merumuskan secara runtut “menimbang”
suatuundang-undang dimulai dengan Pancasila, kemudian UUD 1945, dan nilai-nilai lainyang
berlaku di masyarakat dikaitkan dengan substansi undang-undang yangdibentuk tersebut. Sebagai
contoh adalah “menimbang” UU No. 22/1999 tentangPemerintahan Daerah yang berbunyi:

i. bahwa sistem pemerintahanNegara Kesatuan Republik Indonesia


menurut UUD 1945 memberikan keleluasaankepada Daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah;

j. bahwa dalam penyelenggaraanOtonomi Daerah, dipandang perlu


untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsipdemokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikanpotensi
dan keanekaragaman Daerah;

k. bahwa dalam menghadapiperkembangan keadaan, baik di dalam


maupun luar negeri, serta tantanganpersaingan global, dipandang
perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah denganmemberikan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada
daerahsecara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, danpemanfaatan sumber daya nasional, serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,sesuai dengan prinsip-
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dankeadilan,
serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan
dalamkerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

l. bahwa Undang-undang Nomor 5Tahun 1979 tentang Pemerintahan


Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56;Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3153) tidak sesuai lagi dengan
prinsippenyelenggaraan Otonomi daerah dan perkembangan keadaan,
sehingga perlu diganti.

m. bahwa Undang-undang Nomor 5Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun1974 Nomor 38;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037) yang menyeragamkan
nama,bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak
sesuai dengan jiwaUndang-Undang Dasar 1945 dan perlunya
mengakui serta menghormati hak asal-usulDaerah yang bersifat
istimewa sehingga perlu diganti;

n. bahwa berhubung dengan itu,perlu ditetapkan undang-undang


mengenai Pemerintahan Daerah untuk menggantiUndang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
danUndang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa.
Pertimbanganhuruf a dan b, merupakan konstatasi fakta filosofis yang bersangkutan
denganotonomi daerah. Pertimbangan huruf c merupakan konstatasi fakta sosiologis,sedangkan
pertimbangan huruf d dan e merupakan konstatsi fakta yuridis,sedangkan pertimbangan huruf f
merupakan muara dari konstatsi fakta yuridis.

Latarbelakang filosofis dalam “menimbang” suatu undang-undang dirumuskan


dalamkalimat (-kalimat) yang menyuratkan atau menyiratkan nilai-nilai “keadilan”,“persamaan”,
“kebenaran”, “kebaikan”, “keburukan” yang hidup dalam masyarakatatau yang berkaitan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam sila-silaPancasila dan asas-asas atau prinsip-prinsip yang
tersurat atau tersirat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.

Latar belakang sosiologis dalam “menimbang” suatu undang-undang


dirumuskandalam kalimat (-kalimat) yang isinya memberikan indikasi (konstatasi) fakta,keadaan
nyata atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

Latar belakang yuridis dalam “menimbang” suatu undang-undang dirumuskandalam


“menimbang” dalam kalimat (-kalimat) yang berkaitan dengan pelaksanaansuatu peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan substansi yang diaturdalam UU (RUU) yang
bersangkutan biasanya dirumuskan pada pertimbangan terakhirdan pertimbangan sebelum
pertimbangan terakhir.

PENUTUP

Dengan memahami sejarah dan isiUUD 1945 dan Perubahannya serta TAP-TAP MPR dan
berbagai UU dan peraturanperundang-undangan yang lain dan doktrin yang mengajarkan teori dan
ilmuperundang-undangan, diharapkan para Perancang dalam membuat peraturanperundang-
undangan baik di tingkat nasional maupun regional (daerah) secaraprosedural dan substansial tidak
akan bertentangan dengan Pancasila dan UUD1945.
[2]

Dalam Pasal 1 TAP MPR No. III/MPR/2000 dikatakan bahwa : (1)Sumber hukum adalah sumber
yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturanperundang-undangan. (2) Sumber hukum
terdiri atas hukum tertulis dan tidaktertulis. (3) Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yangtertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaanyang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin
olehhikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkansuatu
Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh UUD 1945.Pada masa Orde
Baru, berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 yang dicabut olehTAP MPR No.
III/MPR/2000 dikatakan bahwa “Pancasila adalah sumber dari segalasumber hukum”. Ketentuan
ini telah menimbulkan kontroversi karena dapatditapsirkan bahwa hukum agama pun bersumber
dari Pancasila. Oleh karena itudalam TAP MPR No. III/MPR/2000 ketentuan ini diubah menjadi
“Pancasila dan UUD1945 adalah sumber hukum dasar nasional”.

[5]

Misalnya, salah satu alasanpenghapusan Penjelasan UUD 1945 adalah apabila substansi atau
norma hukum yangada dalam Penjelasan diangkat ke dalam Batang Tubuh UUD 1945, maka
Penjelasantersebut dihapus. Alasan ini dikemukakan oleh beberapa Anggota MPR dalam
SidangUmum MPR, yang dimuat dalam Buku Kedua Jilid 6 tentang Risalah Rapat BadanPekerja
Panitia Ad Hoc III Sidang Umum MPR-RI Tahun 1999, yang dikeluarkanoleh Sekretariat Jenderal
MPR-RI, Jakarta, 1999, hal.4-12.

[9]

A.Hamid, SA, PerananKeputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan


Pemerintahan Negara,disertasi (tidak diterbitkan), Jakarta, 1990, hal. 309.

[12]

Maria Farida, op. cit. hal. 39.

[15]

Mengenai Perma, masih adadua pendapat yaitu pertama, dia adalah jenis peraturan perundang-
undangankarena isinya walaupun ditujukan kepada lingkungan peradilan naum hukumacaranya
bersifat mengikat umum. Kedua disebut pseudowetgeving(peraturan perundang-undangan semu)
karena walaupun isinya mengikat umum tetapibukan dibentuk oleh lembaga yang mempunyai
kewenangan membentuk peraturanperundang-undangan yang sebenarnya.
14

Peraturan Bank Indonesiaadalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan
mengikat setiaporang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”,
jisPasal 2 ayat (5), Pasal 3 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), Pasal14 ayat (5), Pasal 15
ayat (2), Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 23ayat (5), Pasal 25 ayat (2), dan Pasal 30 ayat
(3), Bank Indonesia dapatmengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang merupakan bentuk/jenis
peraturanperundang-undangan karena isinya mengikat secara umum dan diundangkan diLembaran
Negara Republik Indonesia. UU No. 23/1999 ini dikeluarkan pada masa BJHabibie menjadi
Presiden.

15

Pembentuk peraturanperundang-undangan tingkat Daerah pada Angka 9 s/d 13 didasarkan pada


Pasal 18ayat (1) huruf d, jis Pasal 69, 70, 71, 72, 73, 113, dan 114 UU No. 22/1999tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini dikeluarkan pada masa BJ Habibie menjadiPresiden, sebagai
pelaksanaan dari TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentangPenyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan SumberDaya Nasional yang berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerahdalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

[18]

Dasar hukum pembentukanperaturan perundang-undangan Daerah di samping TAP MPR No.


III/MPR/2000 adalahPasal 18 ayat (1) huruf d UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
(untukPerda), Pasal 72 UU No. 22/1999 untuk Keputusan Kepala Daerah yang bersifatpengaturan
(regeling), dan Pasal 104 dan Pasal 105 UU No. 22/1999 sertaPasal 3 ayat (7) huruf c untuk
Peraturan Desa (yang sejenis misalnya Nagari).Menurut penulis Peraturan Desa merupakan jenis
peraturan perundang-undangankarena dibuat oleh Badan Perwakilan Desa yang anggotanya dipilih
langsung olehrakyat desa.

You might also like