Professional Documents
Culture Documents
A. PENGERTIAN HARTA
Istilah HARTA, atau al-mal dalam al-Qur’an maupun Sunnah tidak dibatasi dalam
ruang lingkup makna tertentu, sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu
berkembang.
Kriteria harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : pertama,memiliki unsur nilai
ekonomis.Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari suatu barang.
Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan urf
(kebiasaan/ adat) yang berlaku di tengah masyarakat.As-Suyuti berpendapat bahwa
istilah Mal hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan,
dan dikenakan ganti rugi bagi yang merusak atau melenyapkannya.
Dengan demikian tempat bergantungna status al-mal terletak pada nilai ekonomis
(al-qimah) suatu barang berdasarkan urf. Besar kecilnya al-qimah dalam harta
tergantung pada besar ekcilnya anfaat suatu barng. Faktor manfaat menjadi patokan
dalam menetapkan nilai ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang
menjadi tujuan dari semua jenis harta.
Dalam hal konsep harta dalam pandangan syari’at harus memiliki tiga unsur;
1. Dapat dimiliki atau di kuasai. Batasan yang diberikan Islam sangat jelas
tentang kepemilikan dan penguasaan terhadap harta. Islam telah
mengajarkan agar manusia dalam berusaha dan bekerja mencari harta harus
sesuai dengan syari’at atau dengan cara yang halal, karena harta yang
diperoleh dari cara yang haram sesungguhnya harta tersebut adalah bukan
miliknya dan tidak bisa dimilikinya. Islam juga telah mengajarkan agar
manusia itu berusaha atau .
2. Dapat dimanfaatkan. Bahwa harta yang dimiliki itu dapat dimanfaatkan,
terkadang manusia cenderung membeli suatu benda yang itu sedikit pun tidak
bermanfaat dan menjadi mubadzir. Sifat mubadzir ini sangat dibenci oleh
ajaran Islam, artinya harta itu akan terdefinisi (hak kepemilikan) dalam
pandangan Islam apabila harta atau kekayaan tersebut tidak berubah fungsi
menjadi mubadzir.
3. Dalam memanfaatkannya harus sesuai dengan syari’at. Syari’at Islam tidak
saja menetapkan di saat mencari harta harus menghindarkan dari hal yang
melanggar syari’at tetapi dalam hal memanfaatkannya pun harus sesuai
dengan ketentuan syari’at. Berarti syarat harta itu menjadi milik seseorang
adalah apabila digunakan untuk hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at, dan
apabila dimanfaatkan untuk kepentingan yang bertentangan syari’at maka
harta tersebut menyebabkan siksa di akhirat.
Pemerintah mempunyai hak dan kewajiban mengatur penggunaan hak milik secara
halal demi kesejahteraan umum.
Pencurian yang bererti mengambil harta milik orang lain dengan melawan kehendak
pemiliknya. Bukanlah pencurian, kalau orang dapat mengandaikan persetujuan
pemilik, atau kalau penolakannya bertentangan dengan akal budi atau dengan
peruntukan barang-barang untuk semua orang. Jadi seorang haruslah bersikap baik
dan sopan dimana pun dia berada, karena seorang muslim harus menjadi contoh
dan suri teladan bagi semua umat.
Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah
ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk
melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya
(QS al_Hadiid: 7). Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
‘Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya
untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana
didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan’’.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut :
1. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang
amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28)
Ketiga, Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) atau mata
pencaharian (Ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267)
‘’Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain’’(HR Thabrani)
‘’jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan
sempat mencari rezki’’ (HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-
Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan
sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok
orang kaya saja (al-Hasyr: 7)
Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-
Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91),
mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-
Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan
melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
C. KEPEMILIKAN HARTA
Di atas telah disinggung bahwa Pemilik Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan
kepemilikan kepada Allah mengandung tujuan sebagai jaminan emosional agar
harta diarahkan untuk kepentingan manusia yang selaras dengan tujuan penciptaan
harta itu sendiri.
Namun demikian, Islam mengakui kepemilikan individu, dengan satu konsep khusus,
yakni konsep khilafah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi
kekuasaan dalam mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi dengan syarat
sesuai dengan segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri.
http://www.ekonomisyariah.org/
1. Harta dinilai sebagai suatu kebaikan dan kenikmatan jika berada ditangan
orang-orang shalih.
2. Harta adalah milik Allah, sedangkan manusia hanyalah dipinjami dengan
harta itu.
3. Dakwah untuk menumbuhkan etos kerja yang baik adalah merupakan ibadah
dan jihad.
4. Haramnya cara kerja yang kotor.
5. Diakuinya hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya.
6. Dilarang bagi seseorang untuk menguasai benda-benda yang sangat
diperlukan oleh masyarakat.
7. Dilarangnya pemilikan harta yang membahayakan orang lain.
8. Pengembangan harta tidak boleh membahayakan akhlaq dan mengorbankan
kepentingan umum.
9. Mewujudkan kemandirian (eksistensi) ummat.
10. 10. Adil dalam berinfaq.
11. 11. Wajibnya takaful (saling menanggung) di antara anggota masyarakat.
12. 12. Memperdekat jarak perbedaan antar strata (tingkat) sosial di tengah
masyarakat.
Kita sering lupa bahwa apa yang kita miliki hanyalah titipan dari Tuhan. Di balik itu
sebenarnya ada tanggung jawab, ada amanah, bahkan ada sebagian darinya milik
orang lain yang harus kita salurkan kembali. Oleh karenanya, ada beberapa hal
yang mesti diperhatikan dalam menyikapi harta benda. Harta adalah anugerah dari
Tuhan yang harus disyukuri. Tidak semua orang mendapatkan kepercayaan dari
Tuhan untuk memikul tanggung jawab amanah harta benda. Karenanya, ia harus
disyukuri sebab jika mampu memikulnya, pahala yang amat besar menanti. Harta
adalah amanah dari Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan.
Harta benda yang dititipkan kepada kita juga demikian. Harta adalah ujian. Yang jadi
ujian bukan hanya kemiskinan, tetapi kekayaan juga merupakan ujian. Bagi yang
berharta, ada kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan terhadap harta itu.
Keluarga, anak, dan harta benda adalah hiasan hidup. Dengannya, hidup menjadi
indah. Namun, patut disadari bahwa pesona keindahan hidup itu sering menyilaukan
hingga membutakan mata hati dan membuat manusia lupa kepada-Nya, serta lupa
kepada tujuan awal penciptaan hiasan itu. Semua itu sebenarnya merupakan titipan
dan ujian.
Konsep
Kepemilikan
Islam memiliki pandangan yang khas mengenai masalah harta dimana semua
bentuk kekayaan pada hakekatnya adalah milik Allah SWT. Demikian juga harta
atau kekayaan di alam semesta ini yang telah dianugerahkan untuk semua manusia
sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah kepada manusia untuk dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan seluruh umat manusia sesuai
dengan kehendak Allah SWT.
Pandangan ini bertolak belakang secara diametral dengan pandangan
kapitalisme maupun sosialisme yang keduanya berakar pada pandangan yang sama
yaitu materialisme. Menurut pandangan kapitalisme bahwa kekayaan yang dimiliki
seseorang adalah merupakan hak milik mutlak baginya yang kemudian melahirkan
pandangan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari pandangan hak asasi
manusia (HAM). Dimana manusia bebas menentukan cara memperoleh dan
memanfaatkannya. Dari pandangan inilah yang mendorong manusia berusaha
menciptakan suatu metode atau teknologi produksi yang modern untuk dapat
memperoleh keuntungan dan pendapatan yang sebesar-besarnya.
Pada sisi lain Islam juga tidak selaras dengan pandangan sosialisme yang tidak
menempatkan harkat dan martabat manusia pada proporsinya yang tidak mengakui
adanya hak milik individu. Semua kekayaan adalah milik negara dan negara akan
memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Individu akan diberikan sebatas yang
diperlukan dan dia akan bekerja sebatas kemampuannya. Alat-alat produksi dikuasai
negara dan elit politik menguasai fasilitas-fasilitas publik sehingga dari sini kemudian
mendorong munculnya praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang
menimbulkan kerugian bagi negara dan rakyat.
Islam memiliki suatu pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan
yang berbeda dengan pandangan kapitalisme dan sosialisme. Islam tidak mengenal
adanya kebebasan kepemilikan karena pada dasarnya setiap perilaku manusia
harus dalam kerangka syariah termasuk masalah ekonomi. Islam mengatur cara
perolehan dan pemanfaatan kepemilikan. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
ada tiga macam kepemilikan yaitu :
1. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah)
2. Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah)
3. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)
Penjelasan masing-masing jenis kepemilikan adalah sebagai berikut :
a. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah)
adalah idzin syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima
sebab kepemilikan (asbab al-tamalluk) individu yaitu 1) Bekerja (al-’amal), 2)
Warisan (al-irts), 3) Keperluan harta untuk mempertahankan hidup, 4) Pemberian
negara (i’thau al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah
pertanian, barang dan uang modal, 5) Harta yang diperoleh individu tanpa berusaha
seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifah
atau pemegang kekuasaan pemerintah. Kekayaan yang diperoleh melalui bekerja
(al-’amal) meliputi upaya menghidupkan tanah yang mati (ihya’u al-mawat), mencari
bahan tambang, berburu, pialang (makelar), kerjasama mudharabah, musyaqoh,
pegawai negeri atau swasta.
b. Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah)
adalah idzin syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan
suatu kekayaan yang berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam
kehidupa sehari-hari seperti air, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir dsb),
hasil hutan, barang tidak mungkin dimiliki individu seperti sungai, pelabuhan, danau,
lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid dsb, dan barang yang menguasai hajat
hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak dsb.
c. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)
adalah idzin syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan
khalifah sebagai kepala negara. Termasuk dalam kategori ini adalah harta ghanimah
(pampasan perang), fa’i, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz (harta temuan), ‘ushr, harta
orang murtad, harta yang tidak memiliki ahlli waris dan tanah hak milik negara.
December 11th, 2008 • Noor Amin Ahmad • Kolum, Lita'arafu • 962 views
• § 7 Comments
Saya masih ingat nasihat saya kepada rakan-rakan di kampus yang giat
menjalankan perniagaan Multi-Level-Marketing (MLM). Mereka sering menggunakan
mafhum hadis “sembilan per sepuluh rezeki itu ada dalam perniagaan”. Mereka
menguatkan lagi hujah kepentingan menjadi kaya dengan mafhum hadis “kefakiran
menghampiri kekufuran”. Jujurnya, saya tidak tahu status hadis tersebut sama ada
sahih atau sebaliknya. Nasihat saya pada mereka mudah iaitu “Saya harap jika
kalian bersandar dengan mafhum hadis berkenaan, kita juga sedar bahawa Nabi
s.a.w. tidak berpesan tentang itu sahaja”.
Saya tidak ada masalah dengan perniagaan kerana sedar bahawa Rasulullah s.a.w
dan isterinya Siti Khadijah juga berniaga. Ini termasuk para sahabat Baginda s.a.w.
yang lain terutama Abdul Rahman bin ‘Auf. Sudah tentu sebagai umat Islam kita
akan berpandukan persoalan halal dan haram serta berniaga mengikut
pertimbangan hukum. Prinsipnya, Islam tidak menolak perniagaan dan pemilikan
harta.
Saya tersentuh apabila beliau menguatkan lagi pandangan ini dengan kenyataan
“Keadilan bukanlah dengan menghalang manusia memiliki hasil, kerja dan usahanya
untuk diberikan kepada orang lain yang malas dan tidak melakukan sebarang kerja.
Sebaliknya keadilan ialah dengan memberi peluang kepada semua orang untuk
bekerja dan memiliki. Apabila seseorang itu mempunyai keistimewaan lantaran
kepintaran, kesungguhan, ketekunan dan kesabarannya, ia berhak mendapat
balasan yang setimpal dengan usahanya”.
Oleh kerana Abdul Rahman bin ‘Auf r.a. adalah sahabat paling kaya, saya fikir sikap
beliau wajar dicontohi. Beliau berhijrah ke Mekah bersama Muhajirin yang lain tanpa
harta dan kediaman dan antara perkara terawal dilakukannya ialah dengan
bertanyakan pasar kepada Sa’ad Ibnu al-Rabi’ saudaranya dari kaum Ansar yang
dipilih Rasulullah s.a.w.. Dengan modal yang diperolehi dari sedekah Sa’ad, Abdul
Rahman menjadi hartawan terkaya di kalangan umat Islam pada waktu itu.
Kekayaan Abdul Rahman bin ‘Auf r.a. dikongsi kepada fakir miskin dan mereka yang
memerlukan. Ini adalah contoh terpuji yang patut diamalkan peniaga. Dengan dasar
pemilikan harta yang tidak dihalang dengan cukai yang besar oleh pemerintahan
Baginda s.a.w., mereka berpeluang menjadi kaya dan mengambil alih
tanggungjawab membantu mereka yang memerlukan terutama dari kalangan fakir
miskin untuk meneruskan kehidupan selaras dengan perintah agama Islam.
Sebagai muslim, Dr. Yusof Qardhawi menasihatkan umat Islam berpegang kepada
dua syarat penting pemilikan individu iaitu: (1), Ia mesti diperolehi melalui jalan yang
halal dan diakui syarak, dan (2) Mestilah tidak bertentang dengan kepentingan
umum. Jika tidak ia mesti dirampas secara rela atau tanpa rela dan digantikan
dengan sesuatu yang adil.
Dalam tajuk yang lain beliau menjelaskan tentang penolakan Islam terhadap ihtikar
iaitu monopoli harta yang diperlukan oleh umum. Ini bersandar daripada hadis sahih
yang diriwayatkan Muslim dan lain-lain iaitu “Tidak ada yang berihtikar melainkan
orang yang berdosa”. Dalam erti kata yang lain kita tidak boleh membina kekayaan
sambil meruntuhkan orang lain.
Saya sering menekankan kepada sahabat-sahabat muslim yang lain bahawa prinsip
asas Libertarian adalah lebih cocok dengan Islam berbanding idea ekonomi
Sosialisme. Hanya saja dalam kupasan yang lebih dalam, kita sebagai muslim harus
jelas aspek hukum dan perkara ini sangat terbuka untuk didebatkan dalam kelompok
libertarian. Di Malaysia, merujuk kepada hujah dokongan terhadap Pasaran Bebas
oleh Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam satu ucapannya semasa dialog dengan aktivis
Muslim di Minaret Institute idea Sosialisme lebih mendapat tempat bersandarkan
rujukan sejarah bahawa ia wacana popular yang dekat dengan detik sebelum dan
selepas Kemerdekaan.
Saya suka untuk mengajak umat Islam di Malaysia meninjau jauh ke zaman
Kesultanan Melayu Melaka di mana Pasaran Bebas telah menjadikan rantau ini
tersohor dan 0
"Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun)
ada bagian dari apa yang mereka usahakan".
"Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi
perempuan ada bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapanya dan kerabatnya,
baik sedkit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan" (An Nisaa':7).
Dari dua ayat di atas dapat difahami bahwa wanita mempunyai hak pemilikan
terhadap harta, baik yang didapatkan dari hasil usahanya sendiri mahupun
diperolehnya dalam waris. Dalam perolehan waris ini tidak ada perbedaan apakah
dia masih anak-anak atau sudah dewasa. Mereka berhak mendapatkan harta
peninggalan kedua ibu-bapa serta kerabatnya. Hanya saja bagi anak-anak,
diserahkan kepada walinya (paman/saudara lainnya) untuk dikelola dan kemudian
diserahkan kepadanya ketika ia sudah dewasa. Firman Allah SWT dalam An Nisaa'
ayat 2:
"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka,
janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu adalah dosa besar".
"Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga ia dewasa…" (Al An'aam:152).
Disamping itu Islam juga mewajibkan zakat bagi lelaki dan wanita yang mempunyai
harta. Dan ini berlaku bagi seluruh jenis zakat, tidak ada pengecualian, bahkan
perhiasan wanita pun harus dikeluarkan zakatnya.
"Ambillah zakat dari sebagaian harta mereka, dengan zakat itu kamu menghasilkan
dan mensucikan mereka…" (QS. At Taubah:103).
"Seseorang wanita datang kepada Rasulullah saw bersama putrinya. Pada tangan
putrinya terdapat gelang emas yang tebal. Rasulullah saw bertanya
kepadanya:'Apakah telah engkau keluarkan zakatnya? Wanita itu menjawab:'Belum'.
Rasulullah saw bersabda:'Apakah engkau akan berbahagia bila Allah SWT kelak
pada hari kiamat memberimu dua buah gelang yang terbuat dari api neraka?
Kemudian wanita itu membuka gelangnya dan memberikannya kepada Rasulullah
saw sambil berkata:'Keduanya untuk Allah dan Rasul-Nya'(HR Abu Daud).
Ketika mendengar nasihat Rasulullah saw diatas, Zainab, istri Abdullah bin Mas'ud
berkeinginan untuk mengeluarkan zakat perhiasannya kepada suaminya karena
suaminya miskin. Kemudian Zainab menanyakan kepada Rasulullah saw apakah
sah kalau isteri mengeluarkan zakat kepada suaminya. Rasulullah saw menjawab
bahwa zakat wanita kepada suaminya sah. Bahkan wanita tersebut mendapatkan
dua pahala. Pertama pahala karena kekeluargaan, kedua pahala karena
bersedekah(diringkas dari Riwayat Bukhori Muslim).
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari ayat-ayat dan beberapa hadis diatas adalah
bahwa wanita dalam Islam diberi kebebasan mempunyai hak milik terhadap
kekayaan, baik harta itu diperoleh dari warisan kedua orang tuanya, pemberian
suaminya, hadiah dari saudara-saudaranya ataupun dari usahanya sendiri. Karena
itulah para wanita juga wajib zakat apabila harta bendanya telah sampai nishab
(ukuran) dan haulnya (masa), sebagaimana laki-laki, sekalipun kekayaan wanita
tersebut hanya perhiasan.
Hanya saja dalam Islam hak pemilikan harta ini diatur oleh syara', mana harta yang
boleh dimiliki individu dan mana yang tidak boleh, serta bagaimana cara pemilikan
harta yang dibolehkan sebagai pemilikan yang sah menjadi milik seseorang dan
mana yang tidak. Di dalam Islam, pada hakekatnya semua harta kekayaan di bumi
ini adalah milik Allah SWT. Oleh karena itu apabila seseorang ingin memiliki harta
tertentu harus mendapat izin dari Allah SWT. Karena hanya Dia-lah yang berhak
memberi wewenang pemilikan.
Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab Nizhomul Iqtishody fil Islam menjelaskan
bahwa syariat Islam telah menetapkan tiga jenis pemilikan: yaitu pemilikan individu,
umum dan daulah (negara).
Setiap individu baik pria maupun wanita boleh memiliki harta melalui sebab-
sebab pemilikan yang telah dibolehkan oleh syara'. Sebab yang sudah merupakan
fitrah manusia membutuhkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Oleh karena itu syara' membolehkan manusia untuk memiliki harta demi pemenuhan
kebutuhannya. Hanya saja syara' mengatur cara-cara pemilikan harta oleh individu,
agar setiap individu dapat memanfaatkan rizki yang telah disiapkan Allah SWT di
bumi ini secara adil, tidak menimbulkan kerusakan dan kedzoliman pada pihak-pihak
tertentu seperti orang-orang lemah. Kalau manusia dibiarkan, maka akan berlaku
hukum rimba "siapa yang kuat ia yang akan mendapatkan'.
Oleh karena itu kepemilikan individu ditetapkan oleh syara' kepada individu
untuk memiliki (mempunyai hak kuasa untuk memiliki zat, manfaat dan
mengembangkannya) harta melalui jalur tertentu yang telah ditetapkan oleh syara'.
1. Bekerja
2. Waris
3. Hak hidup (hak individu yang tidak mampu mendapatkan harta untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya)
" Masyarakat bersyarikat dalam tiga macam sumber daya alam yaitu
air,padang penggembalaan dan api (bahan bakar seperti kayu,minyak dan
lain-lain."(HR. Abu Ubaid)
Bentuk kepemilikan ini tidak terbatas pada tiga macam sumberdaya tersebut,
melainkan mencakup segala sesuatu yang diperlukan masyarakat. Juga
setiap alat yang menhasilkan ketiga macam sumberdaya tadi, misalnya
pompa air, PLTA,tiang-tiang beserta kabelnya dan lain-lain.
c. Bahan tambang yang tak terbatas baik diperut bumi atau permukaanya,
seperti emas,besi,perak,garam,platina dan lain-lain.
Tidak ada hak istimewa bagi individu atau suatu perusahaan untuk
mengekploitasi, mengolah serta memonopoli pendistribusian hasil-hasilnya.
Barang tambang ini harus tetap menjadi milikbersama kaum muslimin.
Aktivitas eksplorasi dan eksploitasi dikelola sendiri oleh negara atau
dikontrakkan kepada kontraktor. Produknya dijual atas nama kaum muslimin
dan pendapatannya disimpan di baitul mal.
Pemilikan negara adalah setiap tanah atau bangunan yang disana terdapat hak
yang menjadi milik bersama seluruh kaum muslimin akan tetapi tidak termasuk
dalam katagori pemilikan umum. Oleh karena itu pemilikan negara adalah
benda/area yang biasanya dapat dimiliki oleh individu , namun karena dalam
benda/area tersebut terdapat hak bersama seluruh kaum muslimin, maka
pengelolaan,pemeliharaan serta pengaturannya diserahkan kepada daulah atau
khalifah. Khalifahlah yang berhak mengatur dan mengelola setiap sesuatu yang
berkaitan dengan hak kaum muslimin secara keseluruhan, seperti padang
pasir,gunung,pantai,tanah mati yang belum digarap dantidak dimiliki
seseorang,departemen,kantor,sekolah dan lain-lain.
Negara berhak memberikan sebagian dari apa yang dimilikinya , yang pada
umumnya boleh dimiliki oleh individu, baik berupa tanah atau bangunan. Khalifah
boleh memberikan hak penggarapan saja tanpa hak milik atau sekaligus
memilikinya. Dalam hal ini khalifah sebagai kepala negara bebas memutuskan apa
saja yang dianggap penting untuk kaum muslimin.
Dari penjelasan diatas jelaslah nahwa islam memberikan hak kepada wanita
untuk memiliki harta . dan waris hanyalah salah satu dari sekian sebab pemilikan
harta yang bisa diakses pria maupun wanita. Oleh karena itu sekalipun ada
perbedaan pembagian waris antara wanita dan pria pada posisi tertentu, tidaklah
akan menyebabkan wanita menderita dan kekurangan harta untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sebab pemenuhan kebutuhan hidupnya selalu dijamin melalui
sumber nafkah dari suami,ayah atau saudara laki-laki dan ahli waris lainnya (baca:
kemiskinan masalah siapa). Bahkan harta wanita yang ia peroleh dari mahar, waris
atau yang lain, tetap menjadi miliknya sendiri dan ia boleh membelanjakan menurut
kehendaknya (sebatas yang dibolehkan syara'). Sebab wanita tidak wajib menafkahi
siapapun termasuk dirinya.
"Kitab (Al Qur'an) ini, tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa."
Semua ilmu yang berperan penting bagi kehidupan manusia wajib dimiliki oleh
manusia, baik laki-laki maupun wanita. Sebab wanita dan pria diciptakan untuk
terjun ke dalam kancah kehidupan ini secara bersama-sama menjalani kehidupan
berdasarkan pola hidup ideal yang telah ditetapkan Allah SWT. Tidak ada
perbedaan bagi keduanya untuk terikat dengan pola hidup ideal yang sudah
digariskan oleh Allah SWT. Oleh karena itu tidak ada pula perbedaan bagi
keduanya dalam hal pentingnya menguasai ilmu yang dibutuhkan untuk mencapai
pola hidup ideal demi meraih ridlo-Nya. Keduanya kelak akan bertanggung jawab di
hadapan Allah SWT atas apa yang dilakukannya di masa hidupnya. Firman Allah
SWT:
"…Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya".(QS. Ath Thur:21)
"…Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka
kerjakan dahulu". (QS. Al Hijr:92-93).
Karena keberadaan ilmu bagi setiap individu muslim merupakan kebutuhan pokok,
maka daulah (negara) wajib mencukupi segala sarana untuk pemenuhan kebutuhan
ini secara langsung agar seluruh rakyat mendapatkan sarana pendidikan yang
layak. Sabda Nabi saw:
"Imam itu adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang
dipimpinnya".
Tanggung jawab pemimpin termasuk mencukupi keperluan pokok rakyat. Dan juga
merupakan Ijma' Shahabat untuk upah guru dengan jumlah tertentu yang diambil
dari baitul maal, sedangkan harta yang ada di Baitul Maal adalah milik daulah. Lebih
dari itu Rasulullah saw telah menjadikan tebusan bagi tawanan perang Badar
berupa pengajaran bagi anak-anak kaum muslimin. Hal ini menunjukkan bahwa
yang bertanggung jawab menyediakan tenaga guru adalah negara.