You are on page 1of 18

MANAJEMEN CIDERA KEPALA

Epidemiologi
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cedera kepala terjadi dan
datang ke ruang gawat darurat antara jam 16 sampai dengan tengah malam.
Kemudian frekuensi paling tinggi terdapat antara hari Jumat dan Minggu.
Prevalensi kejadian pada pria adalah 2-4 kali lebih tinggi daripada wanita.
Terutama pada pria muda dan pada usia tua. Hal ini terutama dikarenakan
kekerasan dan kecelakaan lalu lintas.
Secara umum kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama
trauma kepala dengan prosentase diatas 50%.
Data dari Health Interview Survey menunjukkan bahwa sekitar
seperlima trauma kepada masuk kategori moderate sampai parah. Hanya
15% dari total trauma kepala di populasi yang dirawat di Rumah Sakit, dan
hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit mempunyai GCS antara 3-11.
Angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat berkisar antara 14-
30 per 100.000 penduduk. Angka kematian dari pasien yang masuk rumah
sakit berkisar sangat lebar antara 4 – 25%. Lebih dari 60% kematian terjadi
sebelum pasien masuk rumah sakit.

Patofisiologi
Mekanisme yang menyebabkan koma masih belum terpecahkan
dengan jelas. Pada pemeriksaan dengan menggunakan MRI akan terlihat
abnormalitas sebesar 90% sedangkan bila menggunakan CT Scan akan
terlihat sebesar 50%. Penurunan aktivitas mental pada coma direfleksisksn
melalui penurunan aliran darah otak dan metabolisme otak.
Trauma kepala berat akan tergambar sebagai trauma kepala yang
berefek kondisi koma minimum 6 jam lamanya.kemungkinan disebabkan oleh
2 mekanisme, yaitu :
a. Diffuse axon injury
b. Ischemia
Diffuse axonal injury merupakan gambaran utama kerusakan kerusakan awal.
Iskemia disebabkan oleh ekstrakranial seperti hipoksia atau penurunan
cerebral perfusion pressure (CPP). Perdarahan intraserebral menyebabkan
zona iskemia pada jaringan otak disekelilingnya; pergeseran otak dapat
menyebabkan penekanan pembuluh darah, dan akan menyebabkan infark
pada regio yang terkait. Cedera langsung pada arteri karotis interna juga
dapat menyebabkan iskemia otak.
Sejumlah pemeriksaan biokimiawi (mis. kreatin kinase) pada cairan
serebrospinal dapat menggambarkan derajat kerusakan otak dan berkorelasi
dengan outcome penderita.

Manajemen Kegawatdaruratan
Cedera kepala merupakan proses yang dinamis dam memiliki variabel-
variabel yang saling berkaitan, tergantung pada cedera awal dan kerusakan
otak sekunder. Target dari penanganan trauma kepala adalah mencegah
kerusakan sekunder karena komplikasi intrakranial dan ektrakranial; dan
menyediakan kondisi fisiologi yang optimal bagi otak untuk memaksimalkan
proses penyembuhan.
Penyebab kematian dari ekstrakranial yang paling umum adalah
hipoksia dan syok, sedangkan dari intrakranial tersering adalah salah
diagnosa atau penundaan diagnosa perdarahan intrakranial.
Manajemen emergency room diarahkan untuk memberikan oksigenasi
dan perfusi otak yang optimal dan diagnosa intrakranial yang tepat.

Manajemen Respirasi
Kebutuhan oksigen otak yang cedera lebih tinggi dari otak normal, oleh
karena itu oksigenasi otak yang adekuat harus menjadi prioritas.
BGA yang diambil saat trauma dan saat masuk rumah sakit
menunjukkan bahwa hiperkapnea berkorelasi dengan derajat keparahan
cedera kepala. GCS dibawah 9 dihubungkan dengan kadar PaCO2 diatas 50
mmHg. Intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan apabila baik patensi jalan
nafas dan ventilasi spontan yang adekuat tidak dapat dipertahankan.
Angka mortalitas meningkat dari 22-25 % pada pasien yang diintubasi
1 jam setelah trauma menjadi 34,8 % pada pasien yang intubasinya ditunda
lebih dari 1 jam. Bantuan ventilasi diindikasikan bila saturasi O2 dibawah
93%, PaO2 kurang dari 70mmHg, dan PaCO2 lebih dari 45mmHg.
Intubasi pasien cedera kepala sebaiknya dengan kontrol ventilasi,
tiopenthal dan atau lidokain, relaksan short acting intravena, dengan
penekanan krikoid. Nasal intubasi tidak dianjurkan karena resiko perdarahan
dan kemungkinan FBC. Intubasi pasien dugaan fraktur cervical harus ditraksi
dan seatraumatis mungkin; tidak dianjurkan dengan scholin
Pemasangan pipa lambung dapat merangsang reflek muntah sehingga
sebaiknya dilakukan setelah intubasi.
Respirasi dapat memburuk karena disfungsi SSP. Hipoksia sekunder
karena cedera otak biasanya merespon terhadap pemberian PEEP atau
CPAP. Bila penyebab memburuknya respirasi karena overload cairan, dapat
dikoreksi dengan loop diuretik seperti furosemide; sebaiknya tidak dengan
diuretik osmosis seperti mannitol.

Stabilisasi Cardiovaskuler
Target yang dituju adalah perfusi otak. Pada anak, perdarahan
intrakranial dapat menyebabkan hipovolemia. Pada dewasa, hipovolemia
disebabkan cedera organ lain atau kerusakan batang otak. Pasca trauma,
autoregulasi otak menjadi rusak, sehingga penting untuk mempertahankan
CPP.
Respon Cushing mempertahankan CPP dan meningkatkan MAP.
Penurunan kondisi klinis terjadi ketika CPP turun hingga dibawah 40-50
mmHg. Cedera spinal cord dapat menyebabkan syok sekunder karena
hilangnya inervasi otot polos vaskuler. Semua perdarahan eksternal,
termasuk laserasi scalp, harus dikontrol dan diinfus cepat dengan darah
ataupun kristaloid.

Penilaian Neurologis
Evaluasi awal seharusnya meliputi informasi waktu, lokasi, dan
mekanisme cedera. Penilaian meliputi tingkat kesadaran, pemeriksaan mata,
dan penilaian fungsi batang otak. Durasi dan kedalaman tingkat
ketidaksadaran berkorelasi dengan kedalaman lesi trauma otak.
Istilah ‘stupor’,’semicomatous’, memiliki arti yang berbeda bagi
pemeriksa yang berbeda, sehingga menjadi kurang tepat; oleh karenanya,
digunakan penilaian kuantitatif dengan GCS. Bagaimanapun, GCS masih
terlalu kasar untuk mengukur kesadaran dan bukan untuk penilaian
neurologis secara detil. Penilaian GCS harus hati-hati pada disfungsi otak
dengan penyebab selain trauma, seperti pengaruh alkohol dan obat-obatan
Pemeriksaan neurologi lengkap hanya bisa dilakukan pada pasien yang sadar
dan kooperatif

Studi Diagnostik
Fraktur liner tertentu, termasuk fraktur yang melewati arteri meningea
media, major venous sinuses, dan fraktur yang meluas di basis cranii,
membawa resiko yang lebih besar terjadinya hematom intrakranial dan
kebocoran cairan serebrospinalis. Tidak seperti angiografi atau ventriculografi,
CT scanning mampu membedakan antara oedema otak, kontusio dan
hematom.
Antara 30-40 % pasien dengan cedera kepala berat awalnya
gambaran CT scannya normal. Beberapa pasien yang mengalami perburukan
neurologi atau yang gagal mencapai perbaikan yang diinginkan seharusnya
dilakukan pengulangan CT scan. Semua pasien dengan GCS kurang dari 12
seharusnya diperiksa dengan CT scan, perkecualian untuk pasien yang
terlihat gejala klasik dan tanda-tanda perluasan cepat perdarahan epidural.
Pada evaluasi cedera otak, MRI tampaknya lebih akurat dalam
menggambarkan edema otak dini, kontusio fokal, dan membedakan higroma
dari hematoma subdural kronis. MRI juga menunjukan prediktor yang lebih
baik untuk delayed traumatic intracerebral hematoma (DTICH)

CEDERA PADA STRUKTUR PELINDUNG OTAK


Kontusio dan laserasi scalp biasanya tidak hanya memberikan bukti
terjadinya trauma kepala tetapi juga mengindikasikan terjadinya
kemungkinan lesi ditempat itu. Rambut dan kotoran biasanya ikut masuk
kedalam luka sehingga irigasi dan debridement jaringan diperlukan.
Homeostasis dapat dicapai sementara dengan penekanan luka dan dengan
jahitan galeal. Sebelum merawat laserasi scalp rambut sebaiknya dicukur
sedikitnya 2.5 cm pada kedua sisi luka. Avulsi scalp kecil dapat dikoreksi
dengan mudah, tetapi avulsi yang lebih besar umumnya membutuhkan flap
scalp.
Fraktur depresi tengkorak dibawah laserasi membutuhkan koreksi
bedah dini. Angka infeksi meningkat pada pasien yang dioperasi lebih dari 24
jam setelah trauma. Tujuan pembedahan untuk membersihkan jaringan yang
mati, elevasi tulang yang terdepresi dan mengevaluasi dura dan otak
dibaliknya. Harus hati-hati untuk tidak memanipulasi fragmen tulang apapun
di ruang gawat darurat, karena fragmen tersebut dapat merupakan
tamponade dari pembuluh darah atau sinus dura yang terlaserasi dan bila
diambil dapat menyebabkan perdarahan intrakranial yang tidak terkontrol.
Prinsip yang sama berlaku pada benda yang telah menembus dan
masih berada dalam kepala, benda tersebut harus dilindungi/ dicegah dari
pergerakan apapun, selama transportasi pasien dari ruang gawat darurat, ke
radiologi maupun kamar operasi. Cedera scalp tangensial kecepatan tinggi
tidak akan menembus tengkorak atau menyebabkan kelainan neurologi
awal/dini. Bagaimanapun komplikasi bedah seperti hematoma subdural,
ekstra dural ataupun kortikal. Hemotimpanum, ekkimosis pada area mastoid
(battle sign) atau ekkimosis kelopak mata tanpa perluasan ke alis mata
(Racoon Eye), sering mengindikasikan suatu fraktur basis kranii. Pada kondisi
ini, memiliki resiko tinggi seperti meningitis (25%) dan rhinorrhea cairan
serebrospinal.

Terapi
Manajemen cedera kepala akut, juga harus dilakukan pada resusitasi
pasien luka tembak. Tujuan pembedahan untuk membersihkan scalp, tulang,
dan jaringan otak yang mati disekitar jalur peluru dan untuk mengevakuasi
hematoma intra maupun extraserebral apapun. Fragmen tulang adalah
sumber utama infeksi, dan harus dipastikan untuk pengambilan seluruhnya.
Peluru dan fragmen metal jarang menyebabkan komplikasi, dan usaha untuk
mengambilnya sebaiknya hanya dilakukan bila aksesnya mudah. Palpasi
jaringan otak dengan gentle disekitar jalur peluru rutin dikerjakan untuk
mencari fragmen tulang yang tersembunyi. Setelah debridement otak selesai,
jalur peluru harus tetap terbuka. Dinding jalur yang kolaps/menutup harus
dicurigai sebagai suatu hematoma dari jaringan disekitarnya.
Angka infeksi dapat diturunkan dengan debridement dini dan
penggunaan antibiotik yang tepat. Studi bakteriologi menunjukkan bahwa
bakteri yang tersering ditemukan pada scalp dan tulang yang rusak adalah
coccus gram positif. Karenanya dianjurkan untuk menggunakan antibiotik
antistaphilococcus preoperatif dan dilanjutkan hingga 5-7 hari setelah
debridement.
Prognosa
Tingkat kesadaran setelah luka tembus adalah prediktor mortalitas
mayor. Byrness dkk, melaporkan 100% mortalitas pada 25 pasien koma
dalam dan 78% mortalitas pada pasien yang hanya bereaksi terhadap nyeri
dan reflek cahaya menurun. Faktor lain yang memiliki pengaruh buruk pada
prognosa adalah tingginya tekanan darah sistemik (sistolik > 150 mmHg) atau
hipotensi (sistolik < 90 mmHg) pada saat MRS. Lebih jauh lagi, luka peluru
yang memotong otak dari sisi ke sisi memberikan resiko mortalitas yang lebih
tinggi daripada bila cedera yang terjadi adalah fronto occipital.

HEMATOM INTRAKRANIAL TRAUMATIK

Epidural Hematom
EDH merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada trauma kepala.
Penyebab yang paling sering adalah lacerasi pembuluh darah meningial
media dan cabang-cabangnya,yang disebabkan fraktur bagian squamous
tulang temporalis, dan menghasilkan perdarahan di temporalis.
Kejadian EDH paling besar terjadi umur 15 – 60 tahun. Perdarahan
epidural oleh karena pembuluh darah vena seringkali berkembang lambat,
sebaliknya bila disebabkan oleh arteri berkembang secara cepat dan
menyebabkan penekanan batang otak dalam beberapa jam.oleh karena itu
sekali diagnosis dicurigai penanganan seharusnya tidak ditunda untuk
konfirmasi radiologis
Preoperative menggunakan diuretik dan pembatasan cairan seringkali
menyebabkan hipovolemia; walaupun, peningkatan TIK dan penekanan batak
otak dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah sistemik (Cushing
reaction). Hipertensi sistemik neurogenik mungkin menutupi hipovolemi
hipotensi dan mengakibatkan nilai tekanan darah normal. Ketika TIK
berkurang secara cepat oleh karena dekompresi bedah, faktor yang
menyebabkan hipertensi akan menghilang tiba-tiba dan hal ini bisa
menyebabkan hipovolemi hipotensi.
Jika hipotensi sistemik tidak diantisipasi dan dicegah otak akan terus
bertambah iskemi. Oleh karena itu ketika preoperativ diduga ada intrakranial
hipertensi, hipotensi sistemik intraoperativ dapat dihindari dengan monitoring
central pressure dan secara empiris mengisi volume sirkulasi dengan infus
darah atau kristaloid selama anesthesia. hasil akhir EDH berhubungan
langsung dengan luasnya intradural patologi saat preop dan penekanan
batang otak. Post op sama dengan panduan umum pasien dgn trauma kepala
tertutup

Hematom Subdural Akut


SDH adalah penumpukan darah diantara dura dan selaput arachnoid.
Penyebab tersering adalah trauma, tapi juga terjadi secara spontan,
koagulopathi, anurisma, arteriovenous malvormasi, dan neoplasma tertentu.
SDH dipertimbangkan akut ketika tanda-tanda klinis terjadi dalam 72 jam
setelah injury, sub acut manifestasi klinis dalam 3 dan 15 hari, dan kronis
ketika perdarahan lebih dari 2 minggu. Acut SDH merupakan perdarahan
yang tersering pada trauma yang membutuhkan pembedahan.
Venous ASDH akibat dari ruptur bridging vein pada sinus sagitalis saat
gerakan akselerasi-deselerasi otak setelah benturan. Penyebab ASDH
lainnya adalah, seringkali dihubungkan dengan cedera contrecoup, brain
laceration, cerebral contusion, dan perdarahan intracerebral yangmana darah
berada didalam ruang subdural Klinis ASDH primernya adalah kerusakan otak
dengan sekundernya peningkatan TIK Lucid interval yang pathognomis pada
EDH tidak jarang pada ASDH.
Waktu pembedahan merupakan faktor penting dalam menentukan
outcome, evakuasi lebih awal dalam 4-6 jam setelah cedera, dicatat hasil
outcome yang lebih baik .

Hematom Subdural Subakut dan Kronis


Subdural hematom subakut dan kronik paling sering didapati pada usia
lebih dari 50 tahun. Pada pengguna alkohol kronik, pasien epilepsi dan usia
diatas 50 tahun, sejumlah besar atrofi otak bisa meningkatkan volume ekstra
parenkim. Volume ekstra ini dapat menyebabkan hematoma yang terjadi
perlahan tanpa adanya kenaikan TIK. Ekpansi gradual ini diadaptasi oleh otak
dengan mengkompresi kanal vena dan memberikan ekstra ruang untuk
meluasnya hematoma.
Perdarahan ulang pada rongga subdural dapat sering terjadi dan
biasanya disebabkan cedera kepala minor atau mekanisme lain yang
mengarah pada elevasi sementara tekanan vena. Fungsi membran subdural
adalah untuk menyerap isinya. Perdarahan ulang sering merupakan hasil dari
cedera minor dan aktivitas fibrinolitik membran dan isinya. Selama terjadi
keseimbangan, maka besarnya hematoma akan tetap konstan dan pasiennya
asimptomatis. Bila volume keseluruhan dari perdarahan menjadi lebih besar
daripada kemampuan sistem absorsi, maka hematoma akan meluas. Bila
faktor yang memperburuk perdarahan dapat disingkirkan, maka absorbsi
dapat melebihi ekspansi perdarahan sehingga pasien dapat kembali ke
kondisi awalnya.
Riwayat cedera kepala sering tidak ada. Gambaran klinis SDH kronis
dan subakut dapat bervariasi dari tanda fokal hingga disfungsi otak hingga
penekanan derajat kesadaran menjadi sindroma mental organik. Gambaran
klinis ini menyerupai gambaran stroke ataupun tumor otak. SDH subakut
umumnya menunjukkan tanda peningkatan TIK, seperti penurunan derajat
kesadaran dan nyeri kepala, sedangkan bentuk hematoma kronik biasanya
menyerupai gambaran stroke.
Diagnosis SDH subakut atau kronis biasanya dengan CT Scan.
Densitas SDH pada kondisi akut lebih tinggi daripada jaringan otak normal, 2
minggu kemudian perlahan menjadi isodens, dan menjadi hipodens pada fase
kronik. Diagnosis dapat meleset pada fase isodens, sehingga bukti tidak
langsung seperti kompresi ventrikel unilateral atau suatu pergeseran midline
tanpa gambaran lesi intraserebral harus dicurigai sebagai suatu SDH isodens.
Pada situasi ini, kontras dosis double dapat digunakan untuk memvisualisasi
korteks atau membran subdural.
Terapi SDH kronik dahulu awalnya dengan membuang membran
disekitar hematoma, namun kini tidak lagi digunakan. Drainase adekuat dan
aspirasi secara umum memberikan hasil yang baik, dan kraniotomi dapat
dicadangkan bila SDH kembali terkumpul, bila terdapat bekuan solid, atau bila
otak gagal mengembang kembali dan pasien tetap simptomatik. Prosedur ini
umumna dikerjakan di bedside dengan anestesia lokal. Penggunaan anestetik
lokal dengan monitoring bermanfaat karena kebanyakan pasien usia tua dan
beresiko mengalami komplikasi bila dengan anestesi umum.
CT Scan post operasi menunjukkan bahwa otak baru kembali mengisi
ruang setelah 40 hari kemudian. Hal ini tidak memerlukan terapi.

Hematom intracerebral
Diagnosis intracerebral hematom menjadi lebih sering sejak adanya CT
scan, sebelumnya angiografi tidak dapat menvisualisasi hematom diarea otak
tertentu dan tidak dapat membedakan hematom dari kontusio cerebri. Dua
mekanisme paling umum pada kontusio serebri dan hematoma intraserbral
adalah cedera coup dan contrecoup.
Lesi coup ditunjukan sebagai kerusakan parenkim yang terjadi
dibawah titik benturan dari tulang kepala; cedera contrecoup adalah jauhnya
kontusio cerebri dari titik tempat benturan.
Mekanisme perkembangan hematom intracerebral masih belum jelas.
Faktor terakhir yang berkonstribusi terhadap perkembangan hematom
intracerebral adalah peningkatan aliran darah sekitar otak yang kontusio,
yang diperburuk oleh hipoxia, hipercapnia, dan peningkatan tekanan vena.
Tiga faktor ini dapat memicu atau memperluas hematom. Perkembangan
hematom intracerebral kadang-kadang dapat diditeksi melalui TIK monitoring
pada fase awal sebelum temuan neurologis didapatkan.

Manajemen Hipertensi Intrakranial


Meskipun lebih dari setengah kematian dari trauma kepala
dihubungkan dengan hipertensi intrakranial, penyebab dari peningkatan
derajat TIK masih belum jelas. hipertensi intrakranial bermakna
bagaimanapun mungkin menurunkan tekanan perfusi dibawah titik kritis 60
mmHg yang dibutuhkan untuk menjaga metabolisme otak tetap normal dan
hingga menjadi penyebab terjadinya kerusakan otak sekunder. Untuk
mencegah terjadinya kerusakan sekunder hipertensi intrakranial harus
dideteksi dan dikontrol sejak awal

Hiperventilasi
Ada dua istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan proses
yang terjadi pada cedera kepala yaitu terjadinya edema dan swelling, namun
keduanya memiliki manajemen pendekatan yang berbeda. Swelling
didefinisikan sebagai suatu peningkatan volume darah serebral, dikarenakan
vasoparalisis otak yang menyebabkan hiperemi dan dapat terjadi dari
beberapa jam hingga beberapa hari. Memanjangnya hiperemi pada otak
mengarah pada terjadinya edema vasogenik dan kemungkinan meningkatkan
TIK dengan herniasi otak. Disisi lain edema otak didefinisikan sebagai suatu
peningkatan muatan cairan pada rongga extravaskular otak. Edema otak
biasanya fokal atau unilateral, dan tidak segera terbentuk setelah trauma,
sedangkan bila hiperemia terjadi segera.
Selama ini hiperventilasi dilakukan untuk menurunkan peningkatan
TIK. Hipokapnea awalnya menurunkan TIK dengan menurunkan volume
darah otak. Selanjutnya volume cairan serebro spinal berkurang,
kemungkinan dengan normalisasi sirkulasi cairan serebro spinal ke spinal.
Segera sesudah cedera, peningkatan aliran darah otak (CBF) dan
volume darah otak dapat mengarah pada peningkatan TIK. Pada tahap
selanjutnya hipertensi intrakranial umumnya disebabkan edema otak dan
dapat memperburuk CBF. Pada kasus ekstrim bahkan menyebabkan
berhentinya aliran. Hiperventilasi diharapkan paling efektif pada fase
hiperemia. Pada pasien dengan aliran darah normal atau menurun, respon
TIK cepat beradaptasi terhadap hiperventilasi.

Pada saat dilakukan hiperventilasi TIK secara perlahan meningkat dan


menjadi stabil setelah 3 hingga 5 jam, biasanya pada derajat yang lebih
rendah daripada TIK awalnya. Respon vaskular otak terhadap hipokapnea
menurun atau hilang pada terjadinya hipoksia. Oleh sebab itu, respirasi yang
dalam dan cepat pada hiperventilasi neurogenik, yang umumnya disertai
hipoksia menyebabkan pergeseran kurva dissosiasi oksigen ke kiri, tidaklah
efektif untuk menurunkan TIK. Beberapa klinisi berhati-hati dalam melakukan
hiperventilasi berkepanjangan karena takut menimbulkan hipoksia jaringan
dengan semua efek sampingnya.
Hiperventilasi untuk menurukan PaCo2 dapat memperbaiki oksigenasi.
Ketika kita menginginkan penurunan TIK dengan cepat, hipokapnea sebesar
25 mmHg bisa efektif. Untuk terapi jangka panjang TIK, PaCo2 sekitar 30-35
mmHg bisa sama efektifnya dengan kadar di bawahnya. Sejak cedera kepala
akut sering dihubungkan dengan hiperemia otak sehingga terapi dari
peningkatan TIK dapat dikontrol dengan menurunkan PaCo2. Hiperkapnea
dapat secara cepat menunjukkan peningkatan TIK yang bermakna dan
herniasi serebral. Dalam konsisi gawat, proses ini dapat terjadi selama
intubasi sulit dengan kombinasi hipoksia dan hiperkapnea. Kejadian ini dapat
dihindari atau diminimalkan dengan ventilasi masker yang adekuat sebelum
intubasi.

Terapi Steroid
Reaksi otak terhadap cedera kepala sangat kompleks dan pada saat
yang berbeda dapat berupa variasi kombinasi swelling, edema vasogenik
dan edema sitotoksik. Swelling didefinisikan sebagai peningkatan volume
darah otak, karena baik vasoparalisis atau obstruksi aliran keluar vena dan
bisa terjadi sementara ataupun minor. Bila terjadinya masif dapat mengarah
pada edema vasogenik. Swelling pada otak yang diteliti pada cedera kepala
tidak merespon pada steroid.
Edema vasogenik dicirikan dengan peningkatan permeabilitas sel
endotel kapiler otak. Substansia alba rentan terhadap bentuk tipe edema ini.
Edema vasogenik umumnya terjadi pada tumor metastase perifer, abses dan
pada lesi kriogenik pada penelitian hewan. Hanya sedikit bukti klinis dan
eksperimen untuk mendukung keefektifan terapi steroid pada edema
vasogenik.
Edema sitotoksik dijadikan sebagai suatu penambahan elemen seluler
otak dengan penurunan rongga cairan ekstra seluler. Kondisi klinis ini
umumnya dihubungkan degan edema sitotoksik, meliputi hipoksia dan
intoksikasi cairan. Bentuk tipe edema ini tidak responsif dengan terapi steroid.
Penilaian efektivitas terapi steroid pada cedera kepala sukar dilakukan
karena bervariasinya tipe edema ini. Lebih jauh lagi, cedera yang
menyebabkan kerusakan jaringan ekstrim dan perdarahan kemungkinan tidak
akan memberikan respon terhadap terapi apapun. Bagaimanapun saat ini,
tidak ada keuntungan apapun dari dexametason dosis tinggi pada trend TIK
ataupun outcome klinis pada terapi cedera kepala berat pada berbagai
penelitian yang telah dilakukan. Faktanya pemberian steroid merangsang
respon katabolik post trauma, meningkatkan loss nitrogen urine dan
hiperglikemia.

Dehidrasi
TIK dapat diturunkan dengan berbagai larutan hipertonik dan diuretik.
Diuretik osmotik yang digunakan luas adalah manitol yang dapat menurunkan
TIK, memperbaikan compliance intrakranial, menangkap radikal bebas dan
memperbaik CBF. Karena manitol tidka dimetabolisme dan tidak merusak
sawar darah otak, maka tampaknya manitol tidak memiliki efek langsung
pada metabolisme serebral. Bagaimanapun juga efek tidak langsung manitol
yaitu : meningkatkan CBF dan menurunkan iskemia otak. Bagian otak yang
paling mudah mengkerut adalah area dengan permeabilitas endotel kapiler
yang normal. Pada terjadinya edema vasogenik, manitol mengkerutkan area
otak yang normal dan tidak mempengaruhi lokasi edema. Mekanisme ini
meningkatkan potensi resiko pergeseran midline bila manitol digunakan pada
kelainan otak unilateral.
Efek manitol sering terlihat sebelum perubahan osmolaritas serum
tercapai. Efek ini paling tampak saat CPP dibawah 70 mmHg. Fenomena ini
dapat dijelaskan melalui suatu efek vasokonstriktif langsung dari manitol yang
mengarah pada penurunan volume darah otak. CPP yang lebih tinggi
menunjukkan mekanisme autoregulasi bekerja dan konstriksi pembuluh darah
otak. CPP yang lebih rendah menunjukkan bahwa pembuluh darah otak
terdilatasi maksimal dan merespon lebih efektif terhadap efek vasokonstriktif
dari manitol. Sekali keseimbangan telah tercapai, manitol tidak lagi
menurunkan TIK sehingga pemberian berkelanjutan tidak lagi efektif.
Dengan perkecualian kegawatdaruratan klinis, manitol tidak
seharusnya digunakan tanpa monitor TIK dan osmolaritas serum. Pada
pasien dengan impending gagal jantung, manitol harus digunakan dengan
sangat hati-hati. Diuretik non osmotik, seperti furosemid adalah pilihan obat
pada kondisi ini.
Meskipun diuretik menurunkan TIK, awalnya dapat menyebabkan
hipertensi intrakranial. Suatu studi menunjukkan peningkatan TIK hingga 7
mmHg yang berlangsung selama 5 menit setelah infus cepat manitol. Namun
pada penelitian yang lain penemuannya berupa penurunan TIK secara
eksponensial tanpa peningkatan awal. Kedua penelitian ini, walaupun
hasilnya tampak saling berlawanan, menunjukkan keamanan pemberian
manitol, walaupun pada studi pertama peningkatan TIK terjadi singkat.
Komplikasi terapi diuretik adalah hiponatremia yang juga dihubungkan
dengan peningkatan TIK, perubahan status mental, dan edema paru. Monitor
ketat dan koreksi yang tepat keseimbangan elektrolit diindikasikan/diperlukan.
Koreksi hiponatremia harus lebih pelan daripada 0,55 mmol/L/jam untuk
mencegah komplikasi lebih jauh.
Beberapa studi membandingakn efek propofol dan thiopental untuk
menurunkan TIK. Meskipun keduanya menurunkan TIK, CPP lebih tereduksi
dengan propofol yang juga lebih memberi efek kardiovaskuler, sehingga
penggunaanya harus dengan hati-hati.

Kejang
Status epileptikus adalah komplikasi serius yang terjadi pada 7% kasus
posttrauma. Infus midazolam 7-12 mg/jam setelah dosis awal 10 mg
memberikan kontrol yang efektif. Keuntungan midazolam daripada
benzodiazepine yang lain: kelarutannya dalam air, waktu paruh yang lebih
pendek, dan insidens depresi kardiorespirasi yang lebih rendah.

Terapi Cairan
Hiperglikemia pada kondisi iskemia maupun hipoksia menambah
kerusakan jaringan. Efek ini kemungkinan disebabkan kegagalan
metabolisme oksidatif pada glukosa pada terjadinya iskemia maupun
hipoksia, sehingga glikolisis yang menghasilkan laktat meningkat.
Pemberian steroid, yang bukan hal yang tidak umum pada pasien
bedah saraf, dapat meningkatkan kadar gula darah. Pemberian infus cairan
dengan cepat dapat meningkatkan TIK pada pasien dengan penurunan
compliance otak. Ekskresi katekolamin setelah cedera kepala adalah
penyebab umum hipertensi yang dapat menutupi hipovolemia iatrogenik yang
mengikuti diuresis. Hipovolemia ini mungkin baru disadari selama induksi
anestesi. Infus cairan dengan cepat dapat membantu koreksi hipotensi tetap
dapat menambah kerusakan otak. Oleh karena itu, tipe cairan dan kecepatan
pemberian merupakan hal yang sangat penting pada terapi trauma kepala.
Upaya mempertahankan kadar gula atau memberikan gula untuk
mencapai tingkat dibawah 200 mg/dl direkomendasikan saat iskemia otak
mungkin dapat terjadi. Satu laporan menunjukkan bahwa pemberian
dekstrosa 5% air pada 8cc/kg/jam (sekitar dua kali normal) selama 6 jam
setelah produksi lesi dingin (cold lesion) menghasilkan mortalitas 100%,
sementara hewan yang menerima infus dekstrosa yang sama atau yang lebih
lambat dalam normal saline atau tanpa cairan, seluruhnya selamat.
Pada sisi yang lain, studi hiperglisemia pada model iskemia fokal
mengindikasikan penurunan perubahan morfologis searah. Model ini masih
ditelitii lebih lanjut. Pada model anjing dengan syok plus lesi massa
intracranial, suatu kombinasi cairan hipertonik (saline hipertonis) dan
hiperonkontik ( gula hidroksietil) menghasilkan perubhan yang lebih menetap
pada hemodinamik sistemik daripada NaCl atau salin hipertonis. NaCl
menghailkan peningkatan TIK yang cepat, sementara salin hipertonis
menghasilkan perbaikan sementara pada hemodinamik sistemik.
Tranmer dan kawan-kawan meneliti efek berbagai cairan intravena
pada TIK anjing dengan lesi serebral. Pada hewan yang menreima NaCL,
TIK meningkat 90%; pada grup dekstrose peningkatan 141%, tetapi tanpa
peningkatan saat Hetastarch 6% digunakan. Resusitasi cairan pada pasien
dengan edema serebreal mungkin lebih aman dengan koloid daripada
dengan kristaloid.
Oleh karena itu, dalam menangani pasien dengan cedera kepala,
mungkin lebih tepat apabila menghindari larutan yang berisi gula dan
mungkin seluruh kristaloid dan mempertahankan tekanan sistemik dengan
infus koloid pada tingkat yang diseuaikan dengan tekanan sentral.

MANAJEMEN ANESTESIA
Premedikasi
Sedasi preoperatif lebih baik dihindari pada pasien dengan cedera
kepala. Nyeri biasanya bukan merupakan keluhan utama pada pasien ini, dan
oleh karena itu penggunakan narkotik tidak relevan. Lebih dari pada itu,
bahkan 25 mg meperidine dapat menyebabkan peningkatan signifikan
PaCO2, yang mungkin berbahaya jika compliance intrakranial dikurangi.
Diazepam mempunya waktu paruh paling tidak 12 jam dan khususnya pada
pasien usia lanjut, dapat menyebebakan depresi CNS yang mengganggu
diagnosa neurologis.
Fenobarbital yang sering digunakan untuk kontrol kejang memiliki efek
sedatif dan durasi kerja yang panjang. Fenitoin kurang menyebabkan sedasi
dan merupakan pilihan terapi awal. Efek samping ( hipotensi, aritmia jantung,
dan depresi SSP), dapat diminimalkan dengan pemberian intravena dengan
kecepatan tidak lebih dari 50 mg per menit.
Penggunaan rutin alkaloid belladona tidak direkomendasikan karena
efek jantung dari obat ini dapat memperburuk dinamika intrakranial
Saat berhadapan dengan pasien dengan cedera vaskular, prosedur
harus dimulai dengan deiskusi dengan ahlibeda tentang kasus tersebut dan
masalahnya. Hanya dengan komunikasi yang jelas bahwa semua potensial
masalah dapat diantisipasi dan persiapan rasional telah dilakukan.

Monitoring
Monitor intraoperatif yang tepat meliputi EKG kontinyu dengan
kemampuan merekam. Kanulasi arteri sebaiknya dilakukan untuk
menyediakan jalur analisa gas darah dan serum elektrolit dan monitor
tekanan darah arterial sistemik kontinyu. Pulse oksimetri sangat penting dan
analisa gas darah infrared atau spektrometri sangan membantu.
Kehilangan darah dapat terjadi masif pada kasus cedera vaskular, dan
pemberian cepat obat diuretik menyulitkan maintenance keseimbangan
cairan. Pasien sering mengalami hipovolemia, hipokalemia dan hipkloremia.
Kondisi ini awalnya tidak menyebabkan hipotensi karena pasien umumnya
dengan kondisi vaskuler yang sehat dan dapat berkompensasi dan karena
kerusakan intrakranial sering menyebabkan hipertensi arterial.
Status hidrasi sebenarnya dapat diketahui pertama kali setelah induksi
anestesia, ketika hipotensi katastrofi dapat terjadi. Rehidrasi rasional
mencakup monitor CVP, dan terutama diindikasikan pada pasien tua dengan
penyakit jantung, dimana pemberian larutan hiperosmolar dalam jumlah
besar (misalnya manitol), dan rehidrasi dalam jumlah besar dapat
menyebabkan edema paru. Fungsi kardiorespirasi seharusnya dimonitor pada
semua pasien yang diduga akan mengalami edema paru neurogenik.
Produksi urine juga harus dimonitor dengan cermat untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya diabetes insipidus. Pengukuran
temperatur secara kontinyu direkomendasikan, karena iritasi meningeal oleh
darah dan cedera hipotalamus dapat menyebabkan hipertermia. Lamanya
waktu operasi, infus cairan dalam jumlah besar yang tidak dihangatkan, dan
kehilangan sejumlah besar urine dapat menyebabkan hipotermia, sehingga
upaya untuk mempertahankan temperatur tubuh harus dilakukan.

Posisi
Kebanyakan prosedur dilakukan dengan posisi terlentang, sehingga
rangkaian sirkuit anestesia, proteksi mata dan pipa esofageal perlu
diamankan dengan adekuat sebelum dimulainya operasi. Selain itu perlu
dipasang padding untuk mencegah terjadinya lesi tambahan yang bisa
memerlukan waktu beberapa jam untuk memperbaikinya dan untuk
mencegah kerusakan saraf perifer.

Teknik Anestesi
Intubasi sering dikerjakan saat pasien datang di ruang gawat darurat,
bila tidak, manuver ini harus dikerjakan se-atraumatis mungkin menggunakan
dosis kecil natrium thiopenthal, pelumpuh otot non depol kerja singkat, seperti
atracurium atau vecuronium, dan lidokain. Lidokain dapat diberikan secara
intravena (1 mg/kg) dan topikal (4 ml dari 4% sediaan laringotrakheal spray).
Hiperkalemia diinduksi oleh scholin pada pasien cedera kepala tertutup pada
parese dan karenanya obat ini sebaiknya dihindari.
Pada pasien dengan cedera vaskuler, peningkatan TIK biasanya bukan
merupakan suatu masalah.
Induksi anestesi dan teknik maintenancenya harus direncanakan
dengan target utama menghindari hipertensi. Faktor lain yang
dipertimbangkan pada saat maintenance adalah untuk menghindari
penurunan cardiac output oleh obat anestesi saat terjadi kehilangan darah
dalam jumlah besar. Namun terdapat beberapa kasus tertentu seperti
aneurisma palsu, dimana hipotensi terkontrol dapat bermanfaat bagi ahli
bedah dan juga mereduksi jumlah darah yang hilang.
Teknik anestesia intravena yang seimbang meliputi : pemberian atau
infus kontinyu, obat-obatan seperti barbiturat, narkotik, transquilizers dan
pelumpuh otot (dengan ataupun tanpa N2O). Waktu injeksi dan dosis dipandu
oleh kondisi klinis. Penurunan CBF dan kecepatan metabolisme karena
narkotik dan barbiturat penting untuk keamanan pasien dengan penurunan
cadangan otak. Lebih jauh lagi, pada pasien cedera otak berat, manajemen
postoperatif meliputi kontrol ventilasi untuk menghindari hipertensi
intrakranial. Oleh karena itu, penundaan efek sedatif yang dapat terjadi
mengikuti teknik multifarmasi mungkin lebih disukai. Peningkatan potensi
daripada aktivitas kejang yang terjadi setelah pemberian enfluran dosis tinggi,
terutama pada pasien hipokapnea. Baik halothan maupun enfluran
meningkatkan CBF secara signifikans. Walaupun peningkatan CBF dapat
mengarah pada peningkatan TIK efeksamping ini dapat diminimalkan atau
dicegah dengan natrium thiopental dan hiperventilasi. Konsentrasi obat
anestesi inhalasi diatas MAC biasanya meniadakan autoregulasi, walaupun
hipokapnia dan hiperkapnia dapat mempotensiasi atau mengantagonis MAC.
Teknik inhalasi lebih mudah diberikan (terutama pada anak), reversal
yang cepat dari efek anestesi diakhir operasi, dan pernurunan resiko efek
samping karena interaksi obat. Bila teknik intravena digunakan maka
kedaruratan anestesia memanjang dan hipertensi arterial intraoperatif sukar
dikontrol.
Isofluran memberikan kedalaman yang adekuat untuk prosedur
intrakranial tanpa depresi miokard tanpa peningkatan TIK. Isofluran
menyebabkan penurunan konsumsi oksigen otak, dan biasanya dicapai pada
konsentrasi klinis (2 MAC) yang tidak menyebabkan efek samping
kardiovaskular. Meskipun isofluran adalah suatu isomer dari enfluran, namun
tidak memberikan aktifitas kejang, walaupun pada kondisi hipokapnea.
Anestesi paling baik untuk pasien dengan cedera SSP kemungkinan
adalah isofluran dosis rendah dengan dosis fentanil yang tepat. N2O juga
dapat digunakan. Barbiturat tidak meningkatkan harapan hidup. Suksinilkolin
merupakan kontraindikasi
Kedaruratan Anestesia
Bila pasien sadar preoperatif sadar dan napas spontan, maka diakhir
operasi kondisi yang sama harus tercapai.
Dengan diperbaikinya lesi massa intrakranial, banyak pasien yang
langsung memperoleh kesadarannya kembali. Segera setelah pasien mampu
mengikuti perintah dan status pernafasannya stabil, ekstubasi dini dapat
menurunkan kecenderungan komplikasi pneumonia dan memperbaiki
kemampuan batuk. Untuk dicatat, bagaimanapun juga, pasien yang
diperkirakan mengalami edema otak preoperatif harus diobservasi dengan
teliti agar tidak hiperkapnea dan mengalami peningkatan TIK lebih jauh.
Apabila kondisi ini terjadi, reintubasi dan bantuan ventilasi harus segera
dikerjakan.

You might also like