You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kharisma dari seorang tokoh (ulama/ yang dianggap ulama) tak jarang membuat para
pengikutnya menempatkan tokoh tersebut dalam kedudukan yang tidak proporsional.
Bahkan cenderung terlalu menyanjung dan memujanya melebihi kedudukan yang
seharusnya. Di dalam pandangan para pengikutnya, tokoh tersebut nyaris sempurna tiada
cacat. Terlebih jika tokoh tersebut dianggap memiliki karomah atau keajaiban, maka
tertutuplah pintu kritis dan terbukalah gerbang fanatisme serta taqlid buta yang amat
memprihatinkan.
Sebut saja Syekh Abdul Qadir Jailani Al Baghdadi. Beliau adalah seorang tokoh
fenomenal di kalangan tasawuf atau tarekat Qodariyah. Dalam pandangan para
pengikutnya, Syekh Abdul Qadir adalah wali tertinggi dimana seluruh wali berada dibawah
derajat kemuliaan beliau, sehingga beliau diberi gelar "Sulthanul Aulya." Kekeramatan
Syekh Abdul Qadir demikian hebatnya di mata para pengikutnya, bahkan di berbagai buku
tarekat kekeramatan inilah yang sangat ditonjolkan meskipun amat sulit untuk diklarifikasi
kebenarannya. Memang cukup sulit untuk membedakan antara fakta sejarah dengan
legenda dalam mengkaji sosok beliau.
Keutamaan dan kekeramatan Syekh Abdul Qadir banyak ditulis oleh para
pengagungnya. Buku atau kitab yang berisi tentang keagungan karomah Syekh Abdul Qadir
itu disebut dengan manakib Abdul Qadir.
Di banyak daerah, kitab-kitab manakib ini dianggap memiliki keistimewaan. Saking
istimewanya, kitab-kitab manakib ini nyaris menggeser kharisma. Al Qur-an dan Al-Hadits.
Ketika ada pembacaan manakib, mesti ada ritual-ritual tertentu yang harus dilaksanakan
baik sebelum maupun ketika pembacaan itu berlangsung. Sungguh aneh memang,
bukankah Al Qur-an yang merupakan kitab suci umat Islam pun tidak diperlakukan
demikian ? Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Firman Allah swt ?
Mengapa kitab, manakib seakan lebih sakral daripada Al Qur-an yang jelas berasal dari
yang Maha Sakral?

B. MENGENAL SOSOK SYEKH ABDUL QADIR


Beliau dilahirkan pada tahun 470 H / 1077 M di desa Naif kota Ghilan yaitu wilayah
di 150 km timur laut Baghdad. Ayahnya bernama Abu Shalih dan ibunya bernama Fathimah
binti Abdullah Al-Shama'i Al Husayni.
Syekh Abdul Qadir Al Jailani dikenal sebagai tokoh pendiri tarekat Qadariyah.
Akhlaknya yang mulia menjadikan beliau tokoh yang kharismatik dan disegani, bahkan
dimata para pengikutnya beliau adalah Sulthanul Al Auliya.
Nasab atau silsilah keturunan beliau bersambung sampai kepada Rasulullah SAW dari
Fatimah dan Ali bin Abi Thalib ra.
Namun sebagai ulama, beliau kurang intensif membuat tulisan atau karya ilmiyah
dibidang agama. Buku-buku yang ditulis atas, nama beliau merupakan karya para
penerusnya yang menukil ceramah-ceramah atau khutbah-khutbah sang Syekh dalam
berbagai kesempatan. Diantara buku-buku yang ditulis atas nama beliau adalah :
1) Ghunyatul Thalibin, karya tulis beliau dibidang ilmu fiqih
2) Al Fath Ar Rabbani, merupakan kumpulan 62 khutbah yang ditulis oleh puteranya
3) Futuh Al Ghaib, berisi 78 kumpulan khutbah Syekh Abdul Qadir yang ditulis dan
dikumpulkan oleh Abd Al Razzaqq. Menurut C Brokelmann ternyata tulisan tersebut
diragukan keasliannya.

BAB II
WALI DAN KAROMAH

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai kitab manakib " Tinjaanu Aljawahirun
Fi Manakibi Assayyid 'Abdil Qadir", terlebih dahulu kita akan mempertegas dan
memperjelas pengertian wali dan karomah. Sebab berangkat dari wali dan karomah inilah

1
bermunculan kitabkitab manakib yang menceritakan keutamaan Para wali yang terkadang
sangat berlebih-lebihan.
Wali menurut pengertian orang awam adalah sosok suci yang sangat dekat dengan
Allah. Sebagian lagi berasumsi bahwa wali adalah orang yang bisa menjadi washilah
(perantara) Allah dengan makhluk, sehingga bertawasul kepada Para wali dianggap wajib
ketika berdo'a kepada Allah. Untuk meluruskan pemahaman yang kurang tepat tersebut
perlu kiranya kita membahas pengertian wali dan karomahnya walaupun tidak secara detail.

A. PENGERTIAN WALI
Secara bahasa wali berarti dekat. Secara istilah, ada berberapa pendapat mengenai
pengertian wali diantaranya :
1) Menurut ulama ahlussunnah wal jama'ah, wali adalah setiap orang Islam yang
beriman dan bertaqwa tetapi bukan nabi atau rasul.
2) Menurut ulama yang lain, wali adalah semua orang muslim yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT. Wali yang paling utama diantara manusia adalah Para
nabi, wali yang paling utama diantara Para nabi adalah Para rasul. Selanjutnya wali
yang paling utama diantara Para rasul adalah ulul `adzmi, dan wali yang paling utama
diantara ulul `adzmi adalah nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian maka wali memiliki tingkatan dalam hal kedekatannya dengan
Allah SWT. Tingkat kedekatan ini secara garis besar dapat digolongkan kedalam dua
golongan, yaitu:
1. Golongan Assabiqunal Awwalun, yaitu mereka yang terdepan amalannya dengan
sangat disiplin mengerjakan yang mandhub dan menjauhi hal yang dimakruhkan.

Dalam hal ini termuat dalam sebuah hadits qudsi yang artinya :
"Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan
sunnah hingga Aku mencintainya."
2. Golongan Kanan (ash habul yamin), yaitu orang yang menjaga dan memelihara,
dengan baik segala amalan wajib.

Kedua golongan ini diabadikan oleh Allah SWT didalam Al Qur-an sebagaimana
firmanNya :

"Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka
dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatam (Dan adapun jika dia
termasuk golongan kanan.”

Kemudian para. wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan Mereka kepada
dua bagian; wali Allah dan wali setan. Maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali
ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Al Quran
dan Sunnah maka dia adalah wali Allah sebaliknya bila amalannya penuh dengan
kesyirikan dan segala bentuk bid'ah maka dia adalah wali setan. Berikut kita akan rinci ciri-
ciri dari kedua jenis wali tersebut

Ciri-ciri Wali Allah


Mengenai wali Allah disebutkan dalam Al Qur-an

“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati Ingatlah, sesungguhnya wali-wali itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Ciri pertama, beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri
oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi
keimanan yang mengantarkan kepada. bertakwa. Landasan keimanan yang pertama adalah

2
Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau
melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah.
Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah, atau
menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam.
Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan
kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad SAW bukan penutup segala
rasul dan nabi.
Ciri kedua, bertaqwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi
apa yang dilarang Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu melakukan
hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah. Maka oleh
sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal
kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali setan. Atau
melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir, dll.
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa di kuburannya, justru ini
adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan
Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali disisi Allah dengan kehormatan
seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi
sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak
mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah
mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong kekuburan nabi
SAW saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan
justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khatab mengajak kaum
muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib
berdoa, karena kedekatannya dengan nabi, bukannya Umar meminta kepada. Nabi SAW.
Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam
dunia.

B. PENGERTIAN KAROMAH
Karomah adalah keutamaan atau penghormatan disisi Allah SWT yang diberikan
kepada mereka yang istiqomah menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi
segala yang dilarang.
Bentuk karomah itu sendiri hanya Allah yang tahu. Karomah tidak boleh disandarkan
kepada sesuatu yang luar biasa. Karomah terbesar yang diberikan oleh Allah kepada hamba
Nya yang bertaqwa adalah pahala dan keridhoan Allah kelak di akhirat.
Oleh sebab itu Abu 'Ali Al Jurjany berpesan: "Jadilah engkau penuntut istiqomah
bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, dan
Tuhanmu menuntut darimu istiqomah ".
Asumsi masyarakat bahwa karomah adalah suatu hal luar biasa seperti bisa terbang,
mampu berjalan diatas air, dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, dan sebagainya
merupakan kekeliruan yang menyesatkan.
Kita tidak pernah mendengar di zaman Rasulullah SAW (dimana semua sahabat
beliau adalah wali Allah) mereka memiliki hal-hal yang aneh. Rasulullah SAW dan para
sahabat justru hidup sebagaimana manusia biasa, tidak menyandarkan penyelesaian
persoalan kehidupan dengan mengandalkan pada karomah.
Karomah tidak untuk dipamerkan melainkan sebagai penguat keyakinan pada
kebesaran Allah SWT.
Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para
wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah SAW sebagai hamba yang paling
mulia disisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai unta bukan mengendarai angin,
begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu
perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan
Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah
keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut
dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah

3
lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf
bila mereka mendapat karomah justru mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena
mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di
akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu
didunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru
menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbagga diri dihadapan orang lain.

BAB III
MANAQIB TAUHID ATAU SYIRIK
TELAAH KITAB MANAQIB

Salah satu kitab manaqib yang masyhur ditengah-tengah umat khususnya di Jawa
Barat adalah "Tinjaanu AI Jawahiru fi Manaqibi Sayyid 'Abdil Qadir" yang berbahasa
sunda dan merupakan hasil saduran dari kitab 'Uqudul Al Laali fi Manaqibi Al Jaily dan
kitab Tafrihul Al Khathir fi Manaqibi As Sayyidi ' Abdil Qadir.
Kitab ini mulai dicetak pada tahun 1937 dan beredar sampai saat ini. Kitab ini pada
intinya menceritakan keutamaan dan keistimewaan yang dimiliki oleh Syekh Abdul Qadir
Jailani. Kitab ini terdiri dari 53 manqabah dan ditutup dengan bacaan tawasul kepada Syekh
Abdul Qadir.
Dalam tulisan ini saya akan mencoba menuliskan beberapa manqabah, kemudian
melakukan studi kritis dengan tolok ukur Al Qur-an dan Al Hadits serta pengajuan dalil
aqli. Namun sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak sedang mendeskriditkan Syekh
Abdul Qadir sebab saya yakin beliau adalah salah seorang ulama yang berakhlak mulia dan
berpengetahuan tinggi. Yang saya jadikan studi kritis ini adalah perlakuan umat yang
berlebih-lebihan dalam mengagungkan beliau.

STUDI KRITIS MANQABAH

Untuk menjaga objektifitas tulisan, terlebih dahulu saya cantumkan bahasa saduran
yang terdapat dalam kitab ini yaitu bahasa sunda, kemudian saya terjemahkan kedalam
bahasa Indonesia lalu diberi komentar berdasarkan naqly dan aqly.
1) Manqabah ka genep, nyarioskeun Sayyid Abdul Qadir di sarengan ku Nabi
Khidir `alaihi salam di Baghdad.

Waktos Sayyid Abdul Qadir calik di tegalan iraq, anjeuna disumpingan ku kangeng Nabi
Khidir AS sareng teras kangjeng nabi Khidir nyarengan calik di Iraq sawatara lami Saur
Nabi Khidir AS : "upami salira palay disarengan ulah nyulayaan margi ari nyulayaan eta
sok matak papisah". Saparantos kitu kanjeng Nadi Khidir AS, mulih mung jangji ka Sayyid
Abdur Qadir bade ngalongokan sataun sakali Ari. Sayyid Abdul Qadir calik di tempat
panuduhan kangjeng Nadi Khidir AS. Sataun sakali sok dilongokan kenging tilu taun.

Terjemah :
Manqabah ke enam menceritakan Sayyid Abdul Qadir ditemani oleh Nabi Khidhir
AS di Baghdad

Waktu Syekh Abdul Qadir duduk di sebuah padang di Iraq, beliau didatangi oleh Nabi
Khidhir AS. Kemudian Nabi Khidhir menemani Syekh Abdul Qadir tinggal di Iraq untuk
beberapa waktu. Nabi Khidhir AS berkata : " jika anda ingin saya temani maka janganlah
berbuat dusta, sebab kedustaan itu dapat menyebabkan perpisahan. Setelah berkata
demikian lalu Nabi Khidhir pulang, namun beliau berjanji akan mengunjungi Syekh Abdul
Qadir setiap tahun. Sedangkan Sayyid Abdul Qadir tinggal ditempat yang ditunjukkan oleh
Nabi Khidhir. Setahun sekali beliau dikunjungi oleh Nabi Khidhir selama tiga tahun.

Komentar :
Memang sungguh menjadi kemuliaan jika dikunjungi oleh seseorang yang mulia. Nabi

4
Khidhir adalah seorang nabi yang mulia mengunjungi Syekh Abdul Qadir. Tentu kunjungan
Nabi Khidhir ini akan menambah nilai plus bagi Syekh Abdul Qadir. Namun masalahnya
rentang masa antara Syekh dengan Nabi Khidhir terlampau jauh untuk dipertemukan. Nabi
Khidhir hidup pada zaman Nabi Musa AS.
Nabi musa hidup ribuan tahun sebelum Nabi Muhammad SAW, lalu ? Syekh Abdul Qadir
hidup setelah 400 tahun setelah Nabi Muhammad SAW. Bagaimanakan ke dua orang mulia
ini (Nabi Khidhir dan Syekh Abdul Qadir) dapat bertemu? Bukankah dapat dipastikan
bahwa Nabi Khidhir telah wafat ketika Syekh Abdul Qadir hidup ?
Mungkin ada yang berkata : Mereka kan kekasih Allah, yang satu seorang Nabi dan yang
satunya lagi seorang wali yang pastinya mereka memiliki kemampuan yang tidak dapat
dijangkau oleh orang awam.
Ketahuilah bahwa nabi dan wali adalah tingkat spiritual atau kebatinan, sementara itu
pertemuan fisik adalah masalah real. Maka seorang nabi sekalipun tetap membutuhkan
kehidupan jasmani untuk melakukan sebuah persinggungan fisik. Secara fisik , nabi adalah
manusia biasa yang memiliki keterbatasan karena berada dalam dimensi ruang dan waktu.
Allah SWT berfirman :

Artinya :
”Katakanlah, Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa,
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya.” (Q.S. Al-Kahfi : 110)

Ayat diatas dengan tegas menyatakan bahwa nabi dan rasul adalah manusia biasa dari segi
jasmani yang tidak bisa lepas dari hukum Islam. Mereka bisa lemah, marah, lapar, haus,
terluka,sedih dan keterbatasan-keterbatasan lain yang juga dimiliki oleh seluruh manusia.

2) Manqobah anu ka tilu belas nyarioskeun ruksakna jalma anu nyebut jenengan
Sayyid Abdul Qadir henteu gaduh wudhu.

Dicarioskeun dina kitab Kanzun Al Ma’ani dina nembean Sayyid Abdul Qadir kenging
pangkat kawalian, anjeuna kabulen ku sipat jalaliyah tegesna sipat kagagahan. Tina margi
kitu jenenganana oge kalintang ahengna sahingga upami jenenganana disebat henteu
kalawan adab nyaeta henteu gaduh wudhu maka pegat beuheungna jalma anu nyebat henteu
gaduh wudhu tea. Saparantos kitu Sayyid Abdul Qadir tepang sareng kanjeng Nabi
Muhammad SAW Dawuhan kanjeng nabi : "Hei Abdul Qadir eta pagawean maneh ulah
dipigawe, karunya kajalma-jalma di akhir jaman sabab jaga mangpirang-pirang jalma anu
nyebut jenengan Allah jeung ngaran kami oge henteu make adab. Teras eta padamelan ku
Sayyid Abdul Qadir ditilar.

Terjemah :
Mangobah yang ketiga belas menceritakan binasanya orang yang menyebut nama Sayyid
Abdul Qadir tidak berwudhu.
Diceritakan dalam kitab Kanzun Al Ma'ani ketika Sayyid Abdul Qadir baru menerima
pangkat ke-walian, beliau di karuniai sipat jalaliyah yakni sipat kegagahan. Oleh karena itu
maka nama beliaupun menjadi sangat luar biasa, sehingga jika nama beliau di sebut dengan
tanpa adab yaitu tidak berwudhu maka putuslah leher orang yang menyebutnya tersebut.
Lalu Sayyid Abdul Qadir bertemu dengan Rasulullah SAW. Rasulullah bersabda : "Hai
Abdul Qadir , pekerjaanmu itu jangan dikerjakan lagi, kasihan orang-orang diakhir jaman,
sebab nanti di akhir zaman kebanyakan manusia tidak mau manggunakan adab ketika
menyebut nama Allah dan namaku. "Kemudian pekerjaan tersebut ditinggalkan oleh Sayyid
Abdul Qadir.

Komentar :

5
Dalam manqabah ini kita bisa melihat beberapa pernyataan yang bertolak belakang dengan
dalil aqli maupun naqli, yaitu :
Sifat jalaliyah atau kegagahan disyaratkan sebagai karomah bagi seorang wali. Karomah
seringkali di identikan dengan kehebatan dan keluar-biasaan termasuk didalamnya sifat
kegagahan atau kesaktian. Padahal pengertian karomah yang sebenarnya adalah
penghormatan dari Allah SWT kepada orang mu'min yang diberikan kelak di akhirat,
sebagaimana firman Nya :
”Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena
kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di
dalamnya.” (QS. Al-Furqan: 75)

Inilah karomah sejati yang dianugerahkan kepada wali-wali Allah, sebagai hadiah dari
kesabaran. Wali adalah orang yang paling tabah menghadapi ujian, istiqomah dalam sabar
baik dalam melaksanakan perintah Allah maupun sabar dalam menjauhi hal-hal yang
dilarang oleh Allah SWT.

Kehebatan nama makhluk mengalahkan kehebatan nama Sang Pencipta.

Pernahkah kita mendengar ada orang yang putus lehernya gara-gara menyebut Nama Allah
SWT tanpa berwudhu ? Sungguh Allah Maha Gagah namun tidak pernah menzalimi
hambaNya betapapun si hamba bergelimang dosa.
Nama Allah senantiasa didengungkan oleh segenap makhluk di alam semesta melalui tasbih
dengan bahasanya masing-masing. Nama-Nya boleh disebut oleh siapa saja, baik berwudhu
ataupun tidak.
Artinya :
”Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di
bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah
mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan.” (Q.S.An Nur:4l)

Allah Maha Mengetahui siapakah diantara hambaNya yang berwudhu dengan yang tidak
ketika menyebut Nama-Nya, namun Dia tidak membuat diskriminatif dengan mencopot
kepala orang yang tidak berwudhu.

3) Manqabah ka opat welas nyarioskeun jalma anu Hadiyah ka Sayyid Abdul


Qadir dihasilkeun maksudna.

Dicarioskeun ku guru-guru anu linuhung, saha-saha jalma anu nyebut jenengan Sayyid
Abdul Qadir henteu boga wudhu maka eta jalma ku Allah di rupekkeun rejekina sareng
saha-saha jalma anu nazar hadiyah ka Sayidd Abdul Qadir eta kudu dilakonan supaya ulah
kasebut jalma bedegong matak kawalat. Sareng saha-saha jalma anu ngahadiahkeun anu
amis-amis dina malem jum'at teras maca Fatihah di hadiyahkeun ka Sayyid Abdul Qadir
teras kadaharanana dibagikeun ka fakir miskin sarta eta jalma nyuhunkeun syafaat sareng
karomahna Sayid Abdul Qadir dina maksudna tangtu eta jalma meunang pirang-pirang
pertulungan ti gusti Allah kalawan karomatna Sayyid Abdul Qadir: Sareng saha-saha anu
maca Fatihah rek dahar tuluy di hadiahkeun ka Sayyid Abdul Qadir tangtu eta jalma
dibukakeun dikaluarkeun tina kahesean dunya akherat. Jeung sahasaha jalma anu nyebut
jenengan Sayyid Abdul Qadir bari boga wudhu tur ikhlas anu sampurna ngagungkeun ka
anjeuna maka eta jalma ku gusti Allah dibungahkeun dina eta poe sarta ditebus dosana.

terjemah :
Manqabah ke empat belas manceritakan orang yang Hadiyah (tawasul) kepada Sayyid
Abdul Qadir akan dihasilkan segala tujuannya.

Telah diceritakan oleh para ularna, yang tinggi ilmunya, barang siapa yang menyebut nama

6
Sayyid Abdul Qadir tanpa berwudhu maka orang tersebut akan disempitkan rizkinya oleh
Allah. Barang siapa, yang bernazar hadiyah kepada Sayyid Abdul Qadir maka, harus
dilaksanakan agar tidak disebut sebagai orang yang sombong dan durhaka.
Dan barang siapa, yang mempersembahkan yang manis-manis pada malam Jum'at lalu
membaca. Fatihah dihadiahkan kepada Sayyid Abdul Qadir kemudian makanannya
dibagikan kepada fakir miskin serta, orang tersebut meminta, syafaat dan keramatnya
Sayyid Abdul Qadir pasti orang tersebut mendapat pertolongan dari Allah dengan sebab
karomahnya Sayyid Abdul Qadir. Barang siapa yang membaca, Fatihah ketika akan makan
lalu dihadiyahkan kepada Sayyid Abdul Qadir pasti orang tersebut dibukakan dan
dikeluarkan dari kesulitan-kesulitan dunia dan akhirat. Barang siapa, yang menyebut nama,
Sayyid Abdul Qadir dengan berwudhu dan memiliki keihlasan yang sempuma, untuk
mengagungkan beliau maka orang tersebut akan dibahagiakan pada, hari itu oleh Allah dan
diampuni dosa-dosanya.

Komentar.:
Dibeberapa daerah masih ada, masyarakat yang mengamalkan mankobah ini. Setiap,
malam Jum'at mereka membuat sesajian dari makanan yang manis-manis lalu mengundang
ustadz atau tokoh agarna, setempat untuk membacakan buku manakib dan bertaswasul
kepada, Syekh Abdul Qadir. Mereka sangat meyakini bahwa dengan melaksanakan hal
yang demikian maka segala, hajat dan cita-citanya akan terkabul berkat syafaat dan
karomah dari Sayyid Abdul Qadir. Pembacaan manaqib ini seakan telah menjadi kewajiban
yang mesti dilaksanakan baik setiap jum'at, setaip sebulan, setiap, tahun atau paling tidak
seumur hidup, sekali, karena, orang yang tidak pernah membaca manakib dan bertawasul
kepada. Syekh Abdul Qadir akan dipandang sebagaimanusia yang sombong dan durhaka.

Benarkah demikian ?
Jika dipandang dengan kaca mata aqidah ahlussunah pernyataan yang terdapat dalam
mankabah yang ke empat belas tersebut jelas sesat dan menyesatkan karena :

 Wudhu hanya disyariatkan untuk syarat syah pelaksanaan ibadah shalat. Sebagaimana
Allah SWT berfirman :
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, ...” (QS. Al-Maidah:6)

Adapun berwudhu ketika membaca Al'Qur-an, saat berdzikir, waktu i'tikaf dan sebagainya,
hal itu terkait dengan fadhailul Amal, namun dalam pelaksanaannya harus tetap mengacu
kepada, dalil-dalil yang jelas.

 Meluaskan dan menyempitkan rezeki adalah mutlak hak Allah SWT tanpa harus
menggantung sebab kepada kekeramatan seseorang. Allah SWT berfirman :

”Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya


dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”
Didalam ayat lain bahkan Allah SWT menegaskan bahwa kadar pemberian Allah SWT
sesuai dengan apa yang diusahakan manusia :
”Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.”(An- Najm : 39)

 Mempersembahkan yang manis-manis (makanan/minuman) untuk Sayyid Abdul Qadir


tiap malam Jum'at adalah penyimpangan ibadah yang sangat jauh, karena seluruh bentuk
persembahan hanya untuk Allah SWT. Hal ini termaktub dalam Al Qur-an Surat Al
Fatihah ayat 5 :
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon

7
pertolongan.” (QS,-Al-Fatihah:5)

Sesungguhnya ruh orang yang telah meninggal sudah tidak lagi membutuhkan
persembahan berupa makanan dan minuman, yang mereka butuhkan adalah do'a dari
orang-orang yang masih hidup. Mempersembahkan makanan dan minuman untuk ruh
orang yang telah meninggal, sudah dilakukan oleh para penyembah berhala jauh sebelum
Islam datang memberi pencerahan. Kaum animisme mempercayai bahwa ruh nenek
moyang yang telah meninggal memiliki kekuatan luar biasa dan dapat membantu
menyelasaikan segala persoalan yang mereka. hadapi. Menurut mereka, agar ruh nenek
moyang memberikan bantuannya maka, mereka mengadakan ritual berupa upacara,
persembahan sesajian. Terhadap hal yang demikian, Islam teramat sangat menentangnya
bahkan dalam. Al Qur-an, Allah SWT, menegaskan haramnya makanan yang telah
dipersembahkan untuk berhala, sebagaiman firman Nya :
” Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi
nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada
hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 Sesungguhnya pertolongan Allah SWT, kepada seseorang adalah atas kehendak-Nya


sendiri tanpa ada, ketergantungan terhadap karomah seorang wali atau bahkan mukjizat
seorang nabi sekalipun. Allah SWT, adalah Dzat Yang Maha Berdiri Sendiri yang
kehendak dan kekuasaan Nya tidak karena, paksaan atau rayuan dari pihak manapun.
Pertanyataan dalam manqabah ke empat belas yang berbunyi : ”serta orang tersebut
meminta syafa’at dan keramatnya Sayyid Abdul Qadir pasti orang tersebut mendapat
pertolongan dari Allah dengan sebab karomahnya Sayyid Abdul Qadir Barang siapa
yang membaca Fatihah ketika akan makan lalu dihadiyahkan kepada Sayyid Abdul
Qadir pasti orang tersebut dibukakan dan dikeluarkan dari kesulitan-kesulitan dunia dan
akhirat. Barangsiapa yang menyebut nama Sayyid Abdul Qadir dengan berwudhu dan
memiliki keikhlasan yang sempurna untuk mengagungkan beliau maka orang tersebut
akan dibahagiakan pada hari itu oleh.Allah dan diampuni dosa-dosanya.

Disindir oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala :


" Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat
zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu
kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).” (Q.S. 2:165)

4) Manqabah ka tujuh belas nyarioskeun Sayyid Abdul Qadir ngarebut nyawa


khadamna (pembantu/pelayan) ti Malakal Maut.

Dicarioskeun ku Abi ’Abbas Ahmad Rifa’i, salah sawios khadamna Sayyid Abdul Qadir
maot, teras pamajikanana ngadeuheus ka Sayyid Abdul Qadir sarta keukeuh nyuhunkeun
salakina hayang hirup deui. Ti dinya teras Sayyid Abdul Qadir muroqobah. Maka ningali
anjeuna dina alam batin malakul maut keur hanjat ka langit nyandak ruh anu dicabut dina
poe eta diwadahan dina wadah ma'nawi sarupi zanbil. Dawuhan Abdul Qadir : ”Malakul
Maut ... eureun heula, jeung kadieukeun nyawa bujang kaula si Anu ngarana!”. Saur
Malakul Maut : ”Moal tiasa masihkeun, margi kaula nyabutan ruh teh lain sakarep kaula

8
tapi kalawan parentahan Pangeran sarta kudu di setorkeun ka Anjeun Na. "
Dawuhan Sayyid Abdul Qadir : ”Enya ... kaula ge terang, tapi eta nyawa bujang kaula
kadieukeun bae.” Saur Malakul Maut : ”Moal tiasa...”
Keukeuh anu nyuhunkeun, keukeuh anu henteu maparinkeun. Tungtungna dawuhan Sayyid
Abdul Qadir : ”Kalawan ka mahabbahan kaula ka Gusti Allah kadieukeun eta ruh bujang
kaula!” Bari teras wadah ruh teh direbut ke Sayyid Abdul Qadir, teras di ucutkeun, atuh
budal sadayana ruh. Anu kenging nyabutan ti isuk teh laleupasan baralik deui kana jasadna.
Ti dinya teras Malakul Maut unjukan ka Gusti Allah Anu Maha. Suci, piunjukna :
”Gusti, Gusti langkung uninga kana kaayaan kakasih Gusti, Wali Gusti Abdul Qadir.
Dawuhan Gusti Allah : ”Enya ... Abdul Qadir teh kakasih Aing, bongan ruh bujangna ku
maneh henteu dibikeun jadi bae ruh anu sakitu lobana mawur. Ayeuna mah maneh hanjakal
henteu di bikeun.”

Terjemah :
Diceritakan oleh Abi Ahmad Rifa'i, salah seorang khadam (pembantu) Sayyid Abdul Qadir
meninggal, kemudian isteri dari pembantu tersebut menghadap kepada Sayyid Abdul Qadir
dan meminta agar suaminya dapat hidup kembali. Kemudian Sayyid Abdul Qadir
melakukan muqarrabah. Maka beliau melihat di alam batin malaikat maut sedang naik ke
langit membawa ruh yang dicabut pada hari itu ditempatkan dalam wadah ma'nawi
berbentuk Zanbil. Kata Sayyid Abdul Qadir :
”Malaikat Maut.. berhenti dulu dan kesinikan nyawa pembantuku yang bernama si Anu.”
Kata Malaikat Maut :
”Tidak bisa, sebab saya mencabut ruh bukan karena keinginan sendiri, melainkan atas
perintah Allah dan harus dilaporkan kepada Nya.”
Kata Sayyid Abdul Qadir : ”Aku juga mengerti.. tapi ruh pembantuku kembalikan saja.”
Malaikat Pencabut nyawa berkata ”Tidak bisa”
Keduanya saling bersikukuh. Akhirnya Sayyid Abdul Qadir berkata Dengan ke
mahabbahan diriku kepada Allah, kembalikan ruh pembantuku..!”Kemudian Sayyid Abdul
Qadir merebut tempat ruh dari tangan Malaikat Maut, lalu ditumpahkan. Akibatnya seluruh
ruh lepas dan kembali ke jasadnya masing-masing. Malaikat maut kemudian melapor
kehadirat Allah :
”Ya Tuhanku, Engkau lebih tahu terhadap keadaan kekasihmu, wali Abdul Qadir. Tuhan
berfirman : ”Betul, Abdul Qadir itu memang kekasih-Ku. Karena kamu tidak mau
mengembalikan nyawa pembantunya akibatnya seluruh ruh jadi kabur.

Komentar :
Jika kita mau bersikap objektif dan mengembalikan semua persoalan ghaib pada kedudukan
yang sebenarnya, maka kita akan menemukan kejanggalan yang sangat bertentangan
dengan sunatullah (Al Qur-an dan Al Hadits), diantaranya:
Terjadinya perebutan nyawa oleh Sayyid Abdul Qadir dari tangan malaikat maut (Izrail),
Kembalinya seluruh ruh kepada jasadnya setelah lepas dari tempat ruh, padahal kematian
seseorang telah ditetapkan waktu ajalnya tanpa bisa dimajukan atau dimundurkan. Allah
SWT berfirman :
”Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang
waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-
Munafiqun)
Allah SWT tidak akan pernah mengundurkan kematian seseorang yang telah tiba masanya
tanpa kecuali, karena qada dan qadar tidak bisa ditolak dengan pangkat dan derajat setinggi
apapun. Hukum Allah SWT itu permanen (absolut) tiada yang bisa merubahnya walau
seorang wali bahkan seorang rasul sekalipun.
Dalam manqabah diatas, Allah cenderung menyalahkan malaikat yang tidak mau
mengembalikan ruh pembantunya Sayyid Abdul Qadir. Disini tergambar betapa sangat
kuatnya karakter karomah Sayyid Abdul Qadir dibanding dengan malaikat pencabut nyawa.
Bahkan Allah seperti merelakan hukum-Nya dirubah sekehendak makhluk Nya.

9
5) Manqabah ka salapan belas nyarioskeun salametna hiji jalma fasiq ku
jawabanana : ”Abdul Qadir” ka Malaikat Munkar wa Nakir.

Kacarioskeun dina jaman Sayyid Abdul Qadir, aya hiji jalma fasiq tapi eta jalma kacida
mahabbahna ka Sayyid Abdul Qadir. Sanggeus eta jalma maot, di sual ku malaikat Munkar
wa Nakir. Henteu aya deui jawabna eta jalma ngan ”Abdul Qadir”. Tidinya sumping
timbalan ti Gusti Allah : ”Hei Munkar wa Nakir, eta jalma bener fasiq siksaeun, tapi
kulantaran manehna mahabbah ka kakasih Aing, ayeuna dihampura ku Aing.”

Terjemah :
Manqabah ke sembilan belas menceritakan selamatnya seorang manusia seorang manusia
yang fasiq dengan menjawab Abdul Qadir kepada malaikat Munkar dan Nakir.

Diceritakan pada jaman Sayyid Abdul Qadir, ada seorang yang fasiq namun orang tersebut
sangat mencintai Sayyid Abdul Qadir. Setelah si fasiq itu mati, dia ditanya oleh malaikat
Munkar dan Nakir di dalam kubur. Tidak ada jawaban yang lain, kecuali ”Abdul Qadir”.
Lalu datang Wahyu dari Allah :
”Wahai Munkar dan Nakir, orang itu memang orang fasik dan harus disiksa. Namun
berhubung dia sangat mencintai kekasih Ku (Abdul Qadir), maka sekarang orang itu Aku
maafkan.”

Komentar :
Kalau dibaca secara sepintas, kalimat diatas sepertinya mengandung kebenaran. Dua pihak
yang saling mencintai tentu akan saling merelakan. Allah ridho memaafkan dosa seorang
fasiq karena orang tersebut mencintai kekasih Allah. Tapi perlu diingat, bahwa cinta Allah
itu pasti bersama keadilan Nya. Artinya barang siapa yang mengerjakan kebaikan walau
seberat atom pasti akan mendapatkan pahalanya, sebaliknya bagi mereka yang mengadakan
kejahatan walau seberat atom pasti akan mendapat balasan kejahatan yang setimpal.
Apalagi ini sebuah kafasikan atau kemunafikan.

Logikanya jika orang fasiq dalam cerita diatas hanya mengatakan ”Abdul Qadir” tiada yang
lain berarti dia akan mengatakan , ”aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Abdul Qadir
dan Abdul Qqdir itu adalah utusan Allah”.
Atau ia akan menjawab dengan mengatakan ”Abdul Qadir” ketika di ajukan pertanyaan
Siapa tuhamnu. ? jawabnya Abdul Qadir
Siapa nabimu ? jawabnya Abdul Qadir
Siapa imammu ? ia juga akan menjawab Abdul Qadir.

Nah, aqidah semacam apakah ini ? sementara dalam manqabah diatas Allah memaafkan
orang fasiq tersebut yang selalu menjawab dengan menyebut nama Abdul Qadir.
Seandainya hal ini bisa terjadi tentu akan ada jutaan orang fasiq yang selamat dari azab asal
dia bisa menjawab dengan nama Abdul Qadir. Bukankah pernyataan seperti ini sangat
bertentangan dengan kalimah tauhid baik dari segi dzahir maupun maknanya?
Alangkah sangat berbahayanya jika aqidah semacam ini tertanam kuat ditengah umat.
Mereka akan hidup didalam gelapnya taqlid, menyimpang jauh dari arah yang ditunjukan
oleh Allah SWT melalui Al-Qur’an dan sunnah rasul.
Sungguh Allah SWT tidak memiliki sandingan dan tandingan dalam Dzat, Sifat, Asma, dan
Perbuatan Nya.

KEMBALI KEPADA AQIDAH YANG LURUS

Wali adalah manusia biasa, walaupun memiliki kedudukan terhormat di sisi Allah SWT
namun tidak boleh dikultuskan hingga kedudukannya seakan menyaingi keberadaan Sang
Pencipta.
Sayyid Abdul Qadir adalah sosok hamba Allah yang shaleh, zuhud, wara, serta memiliki

10
kedudukan yang tinggi dalam tingkat spiritual. Kehadiran beliau adalah inspirasi bagi
generasi berikutnya agar berbuat seperti yang dikerjakan beliau semasa hidupnya. Dengan
kata lain, kehadiran Sayyid Abdul Qadir dimuka bumi bukan untuk diangungkan dan
dikultuskan namun untuk dijadikan ”gugueun dan turuteun” sebagai teladan yang baik
dalam membina diri dan masyarakat.
Pengagungan dan pengkultusan terhadap seseorang dipastikan dapat menjebak umat ke
dalam jurang kemusyrikan. Seandainya sayyid Abdul Qadir masih hidup, beliau pasti akan
membenci perlakuan umat kepadanya. Sungguh menjadi orang yang diikuti itu sangat berat
tanggung jawabnya dihadapan Allah SWT, apalagi dikultuskan dan diagungkan.

BAB IV
KESIMPULAN

Demikianlah tulisan singkat studi kritis terhadap manaqib, walaupun tidak semua
manqabahnya dapat saya tulis karena keterbatasan waktu. Dari uraian diatas, kita dapat
mengambil beberapa kesimpulan diantaranya :
1) Manaqib “Tinjaanu Al Jawahiru fi Manaqibi Sayyid ‘Abdil Qadir’ yang masih
diritualkan oleh sebagian umat sebagian besar isinya merupakan hikayat dongeng.
2) Beramal berdasarkan dongeng adalah amalan yang sama sekali tidak berdasar
3) Syekh Abdul Qadir adalah korban pengkultusan
4) Kembali kepada kepada aqidah yang lurus harus menjadi landasan setiap niat dan
amalan.

Daftar Pustaka
Tinjaanu AI-Jawahirufi Manaqibi Sayyid ’AbdilQadir
Kumpulan Hadits Shahih, Syekh Al Bani
Fi Zhilalil Qur-an, Sayyid Qutb
Fiqh As Sunnah, Sayyid Sabiq.

11

You might also like