You are on page 1of 29

Cerita Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam

Raja Burung Parkit


Hidup bergelimang harta benda dan makanan yang enak-enak tidak selalu
menyenangkan. Demi-kianlah yang dialami Baginda Raja Burung Parkit.
Pada zaman dahulu kala, Raja Burung Parkit dan rakyatnya yang tinggal di
hutan Aceh hidup de-ngan tenteram dan damai. Setiap hari mereka bisa hinggap
berpindah dari reranting satu pohon ke po-hon lainnya. Mereka juga bisa makan
biji-bijian dan buah-buahan yang bermacam-macam di hutan.
Namun sayang, kedamaian dan ketentraman itu harus terganggu karena pada
suatu hari ada pemburu masuk ke hutan itu. Dia menaruh sangkar besar dan
sangkar itu diberi perekat, sehingga bu-rung-burung yang sudah terperangkap di
sana tak bisa terbang lagi. Hampir semua rakyat di kerajaan burung tertangkap.
Mereka terjeblos masuk ke dalam perangkap itu. Mereka sedih dan panik.
Namun, Baginda Raja Burung Parkit berusaha menenangkan rakyatnya.
"Tenanglah kalian semua. Sekarang kalian tak bisa bergerak karena ada
perekat di tubuh kalian. Jangan takut, itu memang perekat yang dipasang
pemburu.”
Baginda selanjutnya memberitahu ke semua rakyat,"Nanti sang pemburu akan
melepas perekat ditubuh kita semua. Jika ia mendapati kita sudah mati, ia akan
membuangnya. Karena itu, kalian semua wahai rakyatku, berpura-puralah mati!"
seru Baginda.
"Tunggu sampai hitungan seratus, setelah itu kita semua akan terbang
bersama-sama," lanjut sang Raja Burung.
Benarlah, tak lama kemudian Sang Pemburu datang, lalu memeriksa sangkar.
Satu-satu dibuang-nya perekat di tubuh burung-burung itu. Ia kecewa benar
karena hampir semua burung tangkapannya dalam keadaan mati. Malang, ketika
hendak membersihkan burung terakhir, yakni Sang Raja Burung, ia jatuh
terpeleset. Hal ini sangat mengagetkan burung-burung lain. Lalu, serempak
mereka semua terbang tinggi. Mereka tak menyadari bahwa raja junjungannya
masih tertinggal. Ia pun ditangkap oleh Sang Pemburu.
Sang Pemburu semula berniat ingin menyembelih burung itu, namun Sang
Raja Burung memohon belas kasihan sambil mengucapkan janji.
"Jika aku kau biarkan hidup, aku akan menghiburmu. Aku akan bernyanyi
setiap hari," ucapnya.
Sang Pemburu rupanya tertarik akan tawaran burung itu. Maka ia
mengurungkan niatnya. Seperti janjinya, tiap hari sang Raja bernyanyi. Suaranya
indah sekali. Keindahan suara sang Raja Burung terdengar sampai ke istana.
Maka, Raja Manusia memanggil si Pemburu.
"Kudengar engkau memiliki burung yang kicaunya indah sekali. Benarkah?"
tanya Raja.
"Benar, Tuanku."
Tak berapa lama, terdengarlah suara nyanyian sang Raja Burung. Semua yang
hadir terpesona. Be-gitu pula sang Raja Manusia. Atas persetujuan pemiliknya,
Raja Manusia kemudian menukar burung itu dengan emas berlian yang banyak
jumlahnya.
Selanjutnya sang Raja Manusia meletakkan burung itu di sangkar emas yang
sangat indah dan be-sar. Raja Parkit sangat disayang Raja Manusia. Ia diberi
makanan yang enak-enak. Setiap hari sang Raja Burung tetap bernyanyi untuk
sang Raja Manusia, namun hatinya pilu. Ia rindu pada hutannya yang lebat
pohonnya. Ia juga ingin kembali berkumpul bersama rakyatnya.
Suatu hari ia menggunakan siasat lamanya, yakni pura-pura mati. Sang Raja
Manusia sedih sekali ketika mendapati burung kesayangannya itu tiba-tiba mati.
Lalu ia memerintahkan untuk mengubur-kan burung itu dengan upacara
kebesaran.
Ketika sedang menyiapkan upacara itu, sang Burung Parkit diletakkan di luar
kandang karena di-kira memang sudah benar-benar mati. Tak menyia-nyiakan
kesempatan, saat itu terbanglah sang Raja Burung setinggi-tingginya. Ia lalu
menempuh perjalanan yang jauh untuk sampai ke hutan tempatnya tinggal.
Sesampai disana, ia disambut rakyatnya dengan penuh suka cita. Mereka kini
sudah berkum-pul semua dan bisa kembali menikmati kedamaian bersama.

Cerita Rakyat Sumatera Utara


Legenda Danau Toba
Ini adalah kisah tentang terjadinya Danau Toba. Orang tak akan menyangka,
ada kisah sedih dibalik danau yang elok rupawan itu.
Tersebutlah seorang pemuda yatim piatu yang miskin. Ia tinggal seorang diri
di bagian utara Pulau Sumatra yang sangat kering. Ia hidup dengan bertani dan
memancing ikan.
Suatu hari, ia memancing dan mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Ikan
itu besar dan sangat indah. Warnanya keemasan. Ia lalu melepas pancingnya dan
memegangi ikan itu. Akan tetapi, saat tersentuh tangannya, ikan itu berubah
menjadi seorang putri yang cantik! Ternyata ia adalah ikan yang sedang dikutuk
para dewa karena telah melanggar suatu larangan. Telah disuratkan, jika ia
tersentuh tangan, ia akan berubah bentuk menjadi seperti makhluk apa yang
menyentuhnya. Karena ia disentuh manusia, maka ia juga berubah menjadi
manusia.
Pemuda itu lalu meminang putri ikan itu. Putri ikan itu menganggukan
kepalanya tanda bersedia. "Namun aku punya satu permintaan, kakanda."
katanya.
"Aku bersedia menjadi istri kakanda, asalkan kakanda mau menjaga rahasiaku
bahwa aku berasal dari seekor ikan."
"Baiklah, Adinda. Aku akan menjaga rahasia itu." kata pemuda itu.
Akhirnya mereka menikah dan dikaruniai seorang bayi laki-laki yang lucu.
Namun ketika beranjak besar, anak ini selalu merasa lapar. Walapun sudah
banyak makan-makanan yang masuk ke perutnya, ia tak pernah merasa
kenyang.
Suatu hari, karena begitu laparnya, ia makan semua makanan yang ada di
meja, termasuk jatah makan kedua orang tuanya. Sepulang dari ladang,
bapaknya yang lapar mendapati meja yang kosong tak ada makanan, marahlah
hatinya. Karena lapar dan tak bisa menguasai diri, keluarlah kata-katanya yang
kasar,”Dasar anak keturunan ikan!"
Ia tak menyadari, dengan ucapannya itu, berarti ia sudah membuka rahasia
istrinya. Seketika itu juga, istri dan anaknya hilang dengan gaib. Ia jadi sedih dan
sangat menyesal atas perbuatannya. Na-mun nasi sudah menjadi bubur. Ia tak
pernah bisa bertemu kembali dengan istri dan maupun anaknya yang
disayanginya itu.
Di tanah bekas pijakan istri dan anaknya itu, tiba-tiba ada mata air
menyembur. Airnya makin lama makin besar. Lama-lama menjadi danau. Danau
inilah yang kemudian kita kenal sampai sekarang sebagai Danau Toba.
Cerita Rakyat Riau
Ikan Tongkol dan Bulu Ayam
Ada kejadian-kejadian di muka bumi ini yang sering tak bisa kita duga
sebelumnya. Misalnya saja, ada sebuah persahabatan yang bisa berubah menjadi
permusuhan. Ah, benarkah? Inilah yang dialami antara bangsa ikan tongkol dan
bangsa ayam.
Para nelayan di Kepulauan Natuna dan Anabas mempunyai kebiasaan tak
lazim dalam menangkap ikan. Kebiasaan ini tak pernah dilakukan nelayan dari
daerah lainnya. Yakni, jika mereka memancing ikan di laut, khususnya ikan
tongkol, umpan yang akan digunakan adalah berupa bulu ayam jantan. Aneh,
bukan?
Bulu itu biasanya dicabut dari bulu di bagian tengkuk seekor ayam jantan.
Mengapa ikan tongkol mau memakan bulu ayam? Inilah kisahnya.
Sejak dulu kala terjalinlah persahabatan yang erat antara ikan tongkol dan
ayam. Suatu hari, seo-rang nelayan di pantai hendak menikahkan anaknya
secara besar-besaran. Ia mengundang seluruh warga di Kepulauan itu untuk
menghadiri pesta tersebut. Rakyat ayam mendengar rencana itu lalu
memberitahukannya pada rakyat ikan tongkol di laut. Diberitahukan, akan ada
pertunjukan menarik di darat jika rakyat ikan tongkol tertarik untuk menonton.
Rakyat ikan tongkol pun menyambut kabar itu dengan suka cita. Mereka
sudah lama memang ingin menikmati suasana yang berbeda dari di laut. Namun
sebelum itu, raja ikan tongkol mengajukan suatu permintaan khusus kepada raja
ayam. Biasanya jika fajar merekah, maka air laut akan mengala-mi gelombang
surut, daratan di sekitar pantai akan menjadi kering. Oleh karena itu, rakyat ikan
tongkol harus sudah meninggalkan pantai sebelum fajar menyingsing.
"Beritahu kami jika fajar sudah akan datang, wahai ayam, sahabatku,"
pintanya.
"Tentu, ikan tongkol, sahabatku," jawabnya.
Raja ayam menyanggupi permintaan itu dengan mudah, ia tak ingin sahabat-
sahabatnya mendapat celaka. Lagipula sudah menjadi kebiasaan sehari-hari
rakyat ayam untuk berkokok jika pagi hendak menjelang. Itulah tugas yang
dilakukan Si Ayam Jantan setiap subuh, yaitu membangunkan seluruh warga
kepulauan bahwa hari sudah akan dimulai.
Saat itu bulan purnama. Bulan bersinar terang di malam hari. Air laut sedang
bergelombang pa-sang besar. Saat itulah rombongan rakyat ikan tongkol
berbondong-bondong memasuki wilayah pan-tai. Lalu, mereka mengendap-endap
ke daratan menuju tempat pesta, kemudian bersembunyi di ko-long pelantar
(balai-balai) di rumah sang nelayan. Di pesta itu ada zikir bardah (doa atau puji-
pujian berlagu) diiringi gendang rebana. Inilah jenis bunyi-bunyian merdu yang
sangat disenangi semua ikan tongkol di laut. Baru kali ini mereka bisa
mendengarnya dari jarak dekat. Makin larut malam, zikir bardah itu makin terasa
mengasyikkan. Rombongan ikan tongkol itu begitu menikmati bait-bait pantun
dalam syair yang indah itu sampai akhirnya tak sadar mereka semua terlena
jatuh tertidur.
Namun ternyata tak hanya ikan tongkol yang terlena, rakyat ayam pun juga
terlena. Baik ayam di kandang maupun ayam yang berada di tenggeran tertidur
pulas semuanya. Padahal subuh sudah menjelang.
“Oh, malapetaka, rakyat ayam jantan lupa berkokok!”
“Oh malang, air laut sudah surut!”
Rakyat ikan tongkol terperanjat saat bangun dari tidur. Pagi sudah datang dan
pantai menjadi kering. Mereka tak bisa pulang kembali ke laut. Mereka lalu
berhambur ke alur (lekuk) karang yang tak berapa jauh dari pantai. Namun
sebagian besar lainnya terjebak tak mampu ke mana-mana lagi. Sementara itu,
matahari mulai bersinar di sela-sela dinding kandang, juga menyinari ayam yang
berada di tenggeran. Raja ayam sangat terperanjat, Ia dan rakyatnya lupa untuk
berkokok, menyelamatkan ikan tongkol sahabat-sahabat mereka.
“Aduh, aduh!”
Saat itu seluruh penduduk di pantai juga terkejut melihat ada banyak sekali
ikan tongkol sedang menggelepar-gelepar kekeringan di kolong pelatar. Mereka
beramai-ramai menangkap ikan-ikan yang malang itu.
Saat itu, raja ikan tongkol menjerit dari ujung karang sambil mengacung-
acungkan kepalan tinju ke arah ayam di darat. Ia sangat sangatlah marah pada
rakyat ayam, terutama ayam jantan. Ia pun mengucapkan sumpah.
"Mulai hari ini, rakyat ikan tongkol akan memangsa semua rakyat ayam,
terutama ayam jantan. Jika tak mendapatkan tubuhnya, bahkan bulu-bulunya pun
akan kami makan!" serunya lantang.
Demikanlah sejak itu persahabatan itu berubah menjadi permusuhan. Sejak
saat itu pula, para nelayan di pantai bisa mendapatkan ikan tongkol di laut
dengan mudah jika umpannya adalah bulu ayam jantan.
Cerita Rakyat Riau
Si Lancang
Kita mengenal ada peribahasa yang berbunyi lupa kacang akan kulitnya. Harta
benda yang berlim-pah kadang bisa membuat orang lupa akan asal-muasalnya.
Tak mau mengakui kalau dirinya dulu juga miskin. Kadang juga tak mau kenal
lagi dengan teman-teman atau saudara-saudaranya yang miskin. Kisah hidup Si
Lancang berkisar soal itu.
Si Lancang ini tinggal di daerah bernama Kampar. Di sana ia hidup hanya
bersama ibunya. Mereka hidup sangat miskin. Sehari-hari Lancang dan ibunya
bekerja sebagai buruh tani. Lama kelamaan, Lancang berpikir tak bisa terus
menerus mengandalkan hidupnya sebagai buruh. Ia ingin mengadu nasib di kota,
kemudian ia pamit pada ibu dan gurunya mengaji. Mereka memberikan doa
restunya.
Ibunya berpesan, "Jika kau sukses di kota nanti, janganlah kau lupa pada
ibumu ini. Jangan sampai kau menjadi anak durhaka."
Si Lancang berjanji akan menjadi anak yang baik dan berbakti pada ibunya,
lalu ia pergi setelah menyembah lutut ibunya.
Setelah sekian lama merantau di kota, agaknya nasib baik berpihak pada Si
Lancang. Ia menjadi kaya, juga dikabarkan istrinya berjumlah tujuh orang yang
semuanya cantik-cantik, bahkan semua istrinya dari anak saudagar kaya. Harta
Si Lancang berlimpah, tapi ia tak pernah mengingat akan ibunya di kampung
halaman. Ibunya tetap miskin dan hidup menderita.
Suatu hari, Lancang ingin berlayar sampai Andalas. Ia membawa serta ketujuh
istrinya itu. Perbe-kalan yang serba hebat diangkutnya pula ke dalam kapalnya
yang besar dan mewah itu. Ada kain sutera yang indah-indah, emas, perak,
semuanya digelar di kapal agar nampaklah ke semua orang akan kekayaannya
yang berlimpah.
Pelayaran akhirnya melintasi Kampar, kampung halaman Si Lancang. Di sana,
Lancang menghen-tikan kapalnya. Alat-alat musik dibunyikan, suaranya riuh
rendah membuat seluruh penduduk Kam-par ingin menyaksikan siapa yang
datang. Mereka mengaggumi kemewahan kapal si Lancang.
Di antara penduduk yang datang, tampaklah ibu Si Lancang. Ia terpana tak
menyangka kapal mewah itu milik anaknya. Dengan mantap ia pun memasuki
kapal itu. Ia sudah lama tak bertemu dan mendengar kabar anaknya itu.
Di atas geladak, ia dicegat para kelasi kapal, tidak diizinkan masuk. Namun ibu
itu mengatakan, Lancang adalah anaknya. Para kelasi terbahak-terbahak
menertawakan ucapannya. Mereka tak ada yang percaya. Namun ibu itu tetap
bersikukuh ingin dipertemukan dengan Si Lancang. Karena ke-ributan ini,
Lancang pun datang. Di belakangnya tampak ke tujuh istrinya mengiringi.
Dilihatnya ada seorang perempuan tua yang tampak miskin dengan baju penuh
tambalan, berdiri tegak di hadapan, hendak siap memeluknya.
"Lancang, Anakku!" pekiknya.
Si Lancang merasa sangat malu mendengar pekikan itu. Maka diusirlah ibunya
itu. "Aku tak punya ibu miskin seperti dia!" teriak Si Lancang dengan congkak.
Hancurlah hati ibu Si Lancang. Ia pun pulang dengan sedih dan merana. Air
matanya terus ber-cucuran sepanjang jalan. Ia tak mampu menyem-bunyikan
kesedihannya yang sangat mendalam.
Sesampainya di gubuknya yang sederhana, ia hanya mampu berdoa
memohon ampun akan tingkah durhaka anaknya pada Sang Kuasa. Setelah itu, ia
mengeluarkan benda pusaka yang sudah lama disimpannya. Benda itu berupa
lesung (penumbuk padi) dan nyiru (anyaman bambu untuk menampi beras). Lalu
ia lanjutkan doanya lagi. Kali ini sambil memutar-mutar lesung dan mengibaskan
nyiru pusakanya itu. Dalam doanya ia berucap,”Wahai Pencipta Alam Semesta,
hukumlah anak durhaka yang ada di muka bumi ini. Hukumlah juga Si Lancang,
anak yang durhaka itu.”
Sang Kuasa mendengarkan doa ibu malang ini. Tiba-tiba badai angin topan
yang dahsyat datang. Kapal mewah itu dihempaskannya dalam sekejap. Segala
isinya terlempar jauh tak karuan. Ada yang utuh, ada yang sudah hancur
berkeping-keping.
Kain suteranya melayang-layang kemudian jatuh di suatu tempat yang kini
bernama Lipat Angin, yang terletak di daerah Kampar Kiri. Alat musik gongnya
terlempar ke daerah Kampar Kanan yang kini kita kenal sebagai Sungai Oguong.
Tembikarnya melayang ke suatu tempat yang kini dikenal dengan nama
Pasubilah, lalu tiang bendera kapal terlempar sangat jauh hingga ke danau yang
dinamai Danau Si Lancang.

Cerita Rakyat Sumatera Barat


Pak Lebai yang Malang
Ada orang yang bernasib malang namun kadang hal itu dikarenakan
perbuatannya sendiri. Itulah kisah cerita ini.
Pak Lebai adalah seorang guru agama yang tinggal di tepi sebuah sungai di
daerah Sumatra Barat. Suatu hari, ia mendapat undangan pesta dari dua orang
yang sama-sama kaya. Pak Lebai bingung, yang mana yang hendak didatanginya
karena pesta itu berlangsung di waktu yang sama, di tempat berjauhan.
Jika ia datang ke undangan yang pertama, yakni di hulu sungai, tuan rumah
akan memberinya dua ekor kepala kerbau. Namun, masakan di sana konon tidak
enak. Lagipula, ia tak terlalu kenal dengan tuan rumah tersebut. Jika ia datang ke
undangan kedua, ia akan menerima satu saja kepala kerbau. Namun
masakannya enak. Di sana ia juga akan mendapatkan tambahan kue-kue.
Lagipula, ia kenal baik dengan tuan rumah tersebut.
Pak Lebai mulai mengayuh perahunya. Namun, ia masih belum juga bisa
membuat keputusan, undangan mana yang dipilihnya. Dengan ragu ia mulai
mengayuh perahunya menuju hulu sungai. Di tengah perjalanan, ia mengubah
rencananya, lalu berbalik menuju hilir sungai. Ketika hilir sungai sudah makin
dekat, beberapa tamu terlihat sedang mengayuh perahu menuju arah yang
berlawanan. Mereka memberitahukan pada Pak Lebai.
“Kerbau yang disembelih di hilir sangat kurus, Pak Lebai!”
Pak Lebai kemudian berbalik lagi ke hulu, mengikuti orang-orang itu.
Sesampai di hulu, pesta ternyata sudah usai. Para tamu sudah tak ada. Makanan
sudah habis. Pak Lebai lalu segera mengayuh perahunya lagi menuju hilir. Di
sana pun sama, pesta juga baru saja usai. Sudah sepi, tak ada satu pun
undangan yang terlihat. Pak Lebai pun lemas, juga karena kelelahan mendayung
ke hulu dan hilir. Ia mulai merasakan lapar, lalu memutuskan untuk melakukan
dua hal, yakni memancing dan berburu.
Ia lalu kembali ke rumahnya sebab untuk berburu ia perlu mengajak
anjingnya. Ia juga membawa bekal sebungkus nasi. Mulailah ia memancing.
Setelah menunggu beberapa lama, ia merasakan kail-nya dimakan ikan. Pak
Lebai merasa lega. Namun ketika ditarik, pancing itu susah untuk diangkat ke
atas. Pak Lebai berpikir, kail itu pasti tersangkut batu atau karang di dasar
sungai.
Kemudian ia terjun ke sungai untuk mengambil ikan itu. Berhasil. Ia keluarkan
pancing dan ikannya dari lekukan batu. Namun, ups! Begitu ia selesai melakukan
hal itu, ikannya malah terlepas. Pak Lebai merasa kecewa sekali. Ia lalu naik ke
atas sungai. Sesampainya di atas air Pak Lebai merasa lapar dan ingin memakan
nasi bungkus yang dibawanya dari rumah.
Oh, ia juga mendapati nasinya sudah dimakan oleh anjingnya! Benar-benar
malang nasib Pak Lebai. Kemalangan demi kemalangan tak henti-henti
merundungnya.
Sejak saat itu, ia mendapat julukan dari orang-orang sekitarnya Pak Lebai Malang.

Cerita Rakyat Sumatera Selatan


Si Pahit Lidah
Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama
Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikabarkan
berseteru dengan iparnya yang bernama Arya Tebing. Sebab permusuhan ini
adalah rasa iri hati Serunting terhadap Arya Tebing.
Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh
pepohonan. Di ba-wah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang
menghadap ke arah ladang Arya Tebing tumbuh menjadi logam emas, sedangkan
jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak
berguna.
Perseteruan itu pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari
bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia
berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk
kakaknya (istri Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian
Serunting.
Menurut kakaknya, kesaktian Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang
bergetar meskipun tidak ditiup angin. Bermodalkan informasi itu, Arya Tebing
kembali menantang Serunting untuk berkelahi.
Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu.
Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati istrinya, ia pergi
mengembara.
Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia
dijanjikan kekuatan ga-ib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon
bambu hingga seluruh tubuhnya tertutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua
tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang
dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa
kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi
kutukan. Karena itu ia diberi julukan Si Pahit Lidah.
Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan
pulang tersebut ia meng-uji kesaktiannya. Di tepian Danau Ranau, dijumpainya
terhampar pohon-pohon tebu yang sudah me-nguning. Si Pahit Lidah pun
berkata, "Jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu.
Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai
Jambi untuk menjadi batu.
Namun, ia pun punya maksud baik. Dikabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang
gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan
pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak.
Cerita Rakyat Sumatera Barat
Malin Kundang
Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah
Sumatera. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki
yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga
memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri
seberang dengan mengarungi lautan yang luas.
Maka tinggallah Si Malin dan ibunya di gubuk mereka. Seminggu, dua minggu,
sebulan, dua bulan bahkan sudah setahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga
kembali ke kampung halamannya se-hingga ibunya harus menggantikan posisi
ayah Malin untuk mencari nafkah. Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit
nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika
Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka
terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas di lengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang
banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk
mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke
kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik
dengan ajakan seorang nahkoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang
sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju
dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, ibu Malin
Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah
mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke
dermaga dengan diantar oleh ibunya.
”Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan,
jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, Nak” ujar Ibu Malin
Kundang sambil berlinang air mata.
Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian
tangan ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak
belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah
berpengalaman. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang
diserang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di
kapal diram-pas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang
yang berada di kapal tersebut dibu-nuh oleh para bajak laut. Malin Kundang
sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika
peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang
tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung di tengah laut, hingga akhirnya kapal yang
ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin
Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di
desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah
sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin
terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya
dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia
memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100
orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang memper-sunting seorang gadis
untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai
juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat
gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari
pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung
halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran
dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya
yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat
kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang
sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu
adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup
dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin
yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang.
“Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan
kabar?” katanya sambil memeluk Malin Kundang.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan
ibunya dan mendo-rongnya hingga terjatuh.
“Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku,” kata Malin
Kundang pada ibu-nya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya karena
malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping.
"Wanita itu ibumu?" tanya istri Malin Kundang.
"Bukan, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku
agar mendapatkan har-taku," sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu
Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka.
Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya
sambil berkata,"Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi
sebuah batu."
Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat
datang menghan-curkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang
perlahan menjadi kaku dan lama-ke-lamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah
batu karang.
Cerita Rakyat Lampung
Buaya Perompak
Pada zaman dahulu, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal akan keganasan
buayanya sehingga orang yang berlayar di sana maupun para penduduk yang
tinggal di sana perlu untuk sangat berhati-hati. Menurut cerita, sudah banyak
manusia yang hilang begitu saja di sana.
Pada suatu hari, kejadian yang menyedihkan itu terulang kembali. Orang yang
hilang itu adalah seorang gadis rupawan yang bernama Aminah. Anehnya,
meskipun penduduk seluruh kampung tepi Sungai Tulang Bawang mencarinya,
tidak ada jejak yang tertinggal. Sepertinya ia sirna ditelan bumi.
Nun jauh dari kejadian itu, di dalam sebuah gua besar tergoleklah Aminah. Ia
baru saja tersadar dari pingsannya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari
bahwa gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada
permata, emas, intan, maupun pakaian yang indah-indah. Harta benda itu
mengeluarkan sinar yang berkilauan.
Belum habis rasa takjubnya, dari sudut gua terdengarlah sebuah suara yang
besar, "Janganlah takut gadis rupawan! Meskipun aku berwujud buaya,
sebenarnya aku adalah manusia sepertimu juga. Aku dikutuk menjadi buaya
karena perbuatanku dulu yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad,
perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Dulu aku selalu merampok setiap
saudagar yang berlayar di sini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini.
Kalau aku butuh makanan maka harta itu kujual sedikit di pasar desa tepi sungai.
Tidak ada seorangpun yang tahu bahwa aku telah memba-ngun terowongan di
balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut."
Tanpa disengaja, si buaya perompak tersebut sudah membuka rahasia gua
tempat kediamannya. Secara seksama Aminah menyimak dan mengingat
keterangan berharga itu. Buaya itu selalu membe-rinya hadiah perhiasan.
Harapannya adalah agar Aminah mau tetap tinggal bersamanya. Namun kei-
nginan Aminah untuk segera kembali ke kampung halamannya makin menjadi-
jadi.
Pada suatu hari, buaya perompak tersebut sedikit lengah. Ia tertidur dan
meninggalkan pintu guanya terbuka. Si Aminah pun keluar sambil berjingkat-
jingkat. Di balik gua itu ditemukannya sebu-ah terowongan yang sempit. Setelah
cukup lama menelusuri terowongan itu, tiba-tiba ia melihat sinar matahari.
Betapa gembiranya ia ketika keluar dari mulut terowongan itu. Di sana Aminah
ditolong oleh penduduk desa yang mencari rotan, lalu Aminah memberi mereka
hadiah sebagian perhiasan yang dibawanya. Aminah akhirnya bisa kembali ke
desanya dengan selamat. Ia pun selanjutnya hidup tenteram disana.

Cerita Rakyat Bengkulu


Ular N’Daung
Dahulu kala, di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu hiduplah seorang
wanita tua dengan tiga orang anaknya. Mereka sangat miskin dan hidup hanya
dari penjualan hasil kebunnya yang sangat sempit. Pada suatu hari perempuan
tua itu sakit keras.
Orang pintar di desanya itu meramalkan bahwa wanita itu akan tetap sakit
apabila tidak diberi-kan obat khusus. Obatnya adalah daun-daunan hutan yang
dimasak dengan bara gaib dari pun-cak gunung.
Alangkah sedihnya keluarga tersebut demi mengetahui kenyataan itu.
Persoalannya adalah bara dari puncak gunung itu konon dijaga oleh seekor ular
gaib. Menurut cerita penduduk desa itu, ular tersebut akan memangsa siapa saja
yang mencoba mendekati puncak gunung itu.
Diantara ketiga anak perempuan ibu tua itu, hanya si bungsu yang
menyanggupi persyaratan tersebut. Dengan perasaan takut ia mendaki gunung
kediaman si Ular n'Daung. Benar seperti cerita orang, tempat kediaman ular ini
sangatlah menyeramkan. Pohon-pohon sekitar gua itu besar dan berlumut. Daun-
daunnya menutupi sinar matahari sehingga tempat tersebut menjadi temaram.
Belum habis rasa khawatir si Bungsu, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh
dan raungan yang keras. Tanah bergetar. Inilah pertanda si Ular n'Daung
mendekati gua kediamannya. Mata ular tersebut menyorot tajam dan lidahnya
menjulur-julur. Dengan sangat ketakutan si Bungsu mendekat-inya dan
berkata,"Ular yang keramat, berilah saya sebutir bara gaib guna memasak obat
untuk ibuku yang sakit.
Tanpa diduga, ular itu menjawab dengan ramahnya,"Bara itu akan kuberikan
kalau engkau bersedia menjadi istriku!" Si Bungsu menduga bahwa perkataan
ular ini hanyalah untuk mengujinya., maka ia pun menyanggupinya.
Keesokan harinya setelah ia membawa bara api pulang, ia pun menepati
janjinya pada Ular n'Daung. Ia kembali ke gua puncak gunung untuk diperisteri si
ular. Alangkah terkejutnya si Bungsu menyaksikan kejadian ajaib, yaitu pada
malam harinya, ternyata ular itu berubah menjadi seorang ksatria tampan
bernama Pangeran Abdul Rahman Alamsjah. Pada pagi harinya ia akan kembali
menjadi ular. Hal itu disebabkan oleh karena ia disihir oleh pamannya menjadi
ular. Pamannya tersebut menghendaki kedudukannya sebagai calon raja.
Setelah kepergian si bungsu, ibunya menjadi sehat dan hidup dengan kedua
kakaknya yang sirik. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi dengan si
Bungsu. Maka mereka pun berangkat ke puncak gunung. Mereka tiba di sana
diwaktu malam hari. Alangkah kagetnya mereka ketika mereka mengintip bukan
ular yang dilihatnya, tetapi lelaki tampan. Timbul perasaan iri dalam diri mereka.
Mereka ingin memfitnah adiknya.
Mereka mengendap ke dalam gua dan mencuri kulit ular itu. Mereka
membakar kulit ular tersebut. Mereka mengira dengan demikian ksatria itu akan
marah dan mengusir adiknya itu. Akan tetapi, yang terjadi justru kebalikannya.
Dengan dibakarnya kulit ular tersebut, secara tidak sengaja mereka
membebaskan pangeran itu dari kutukan.
Ketika menemukan kulit ular itu terbakar, pangeran menjadi sangat gembira.
Ia berlari dan memeluk si Bungsu. Di ceritakannya bahwa sihir pamannya itu
akan sirna kalau ada orang yang secara suka rela membakar kulit ular itu.
Kemudian, si Ular n'Daung yang sudah selamanya menjadi Pangeran Alamsjah
memboyong si Bungsu ke istananya. Pamannya yang jahat diusir dari istana. Si
Bungsu pun kemudian mengajak keluarganya tinggal di istana. Akan tetapi, dua
kakaknya yang sirik menolak karena merasa malu akan perbuatannya.

Cerita Rakyat Jakarta


Si Pitung
Si Pitung adalah seorang pemuda yang soleh dari Rawa Belong. Ia rajin belajar
mengaji pada Haji Naipin. Selesai belajar mengaji ia pun dilatih silat. Setelah
bertahun- tahun kemampuannya menguasai ilmu agama dan bela diri makin
meningkat.
Pada waktu itu Belanda sedang menjajah Indonesia. Si Pitung merasa iba
menyaksikan penderi-taan yang dialami oleh rakyat kecil. Sementara itu,
kompeni (sebutan untuk Belanda), sekelompok tauke dan para tuan tanah hidup
bergelimang kemewahan. Rumah dan ladang mereka dijaga oleh para centeng
yang galak.
Dengan dibantu oleh teman-temannya si Rais dan Jii, Si Pitung mulai
merencanakan perampokan terhadap rumah tauke dan tuan tanah kaya. Hasil
rampokannya dibagi-bagikan pada rakyat miskin. Di depan rumah keluarga yang
kelaparan diletakkannya sepikul beras. Keluarga yang dibelit hutang rentenir
diberikannya santunan. Dan anak yatim piatu dikiriminya baju dan hadiah
lainnya.
Kesuksesan si Pitung dan kawan-kawannya dikarenakan dua hal. Pertama, ia
memiliki ilmu silat yang tinggi serta dikabarkan tubuhnya kebal akan peluru.
Kedua, orang-orang tidak mau menceri-takan dimana Si Pitung kini berada.
Namun demikian orang kaya korban perampokan Si Pitung bersama kumpeni
selalu berusaha membujuk orang-orang untuk membuka mulut.
Kompeni juga menggunakan kekerasan untuk memaksa penduduk memberi
keterangan. Pada su-atu hari, kumpeni dan tuan-tuan tanah kaya berhasil
mendapat informasi tentang keluarga si Pitung. Maka merekapun menyandera
kedua orang tuanya dan Haji Naipin. Dengan siksaan yang berat akhir-nya
mereka mendapatkan informasi tentang dimana Si Pitung berada dan rahasia
kekebalannya.
Berbekal semua informasi itu, polisi kumpeni pun menyergap Si Pitung. Tentu
saja Si Pitung dan kawan-kawannya melawan. Namun malangnya, informasi
tentang rahasia kekebalan tubuh Si Pitung sudah terbuka. Ia dilempari telur-telur
busuk dan ditembak. Ia pun tewas seketika.Meskipun demikian untuk Jakarta, Si
Pitung tetap dianggap sebagai pembela rakyat kecil.

Cerita Rakyat Jawa Barat


Talaga Warna
Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat. Negeri itu dipimpin oleh
seorang raja. Prabu, begitulah orang memanggilnya. Ia adalah raja yang baik dan
bijaksana. Tak heran, kalau negeri itu makmur dan tenteram. Tak ada penduduk
yang lapar di negeri itu.
Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki
anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu
menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak
setuju. "Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat,"
sahut mereka.
Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya. Lalu
Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana Sang Prabu terus berdoa, agar
dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun
mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri
istana dengan hadiah.
Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri. Penduduk negeri
pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak
yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.
Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa
pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau
keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata
kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.
Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri.
Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri
itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu
mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya
dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk
kepentingan rakyat.
Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli
perhiasan. "Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku," kata
Prabu. "Dengan senang hati, Yang Mulia," sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d
sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling
indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.
Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana.
Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan
hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua
orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.
Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya.
"Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian
orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka
mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi
dewasa. Pakailah kalung ini, Nak," kata Prabu.
Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. "Aku tak mau
memakainya. Kalung ini jelek!" seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu.
Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.
Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat
seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba terdengar tangisan
Ratu. Tangisannya diikuti oleh semua orang.
Tiba-tiba muncul mata air dari halaman istana. Mula-mula membentuk kolam
kecil. Lalu istana mulai banjir. Istana pun dipenuhi air bagai danau. Lalu danau itu
makin besar dan menenggelamkan istana.
Sekarang, danau itu disebut Talaga Warna. Danau itu berada di daerah
puncak. Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah
dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-
bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu
berasal dari kalung Sang Putri yang tersebar di dasar telaga.

Cerita Rakyat Jawa Tengah


Timun Mas
Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di
sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum
saja dikaruniai seorang anak pun.
Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar
segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal
mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu kemudian
memberi mereka biji mentimun.
"Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,"
kata Raksasa. "Terima kasih, Raksasa," kata suami istri itu. "Tapi ada syaratnya.
Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku," sahut Raksasa.
Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir
panjang mereka setuju.
Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari
mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin.
Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebu-ah mentimun berwarna keemasan.
Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu
masak, mereka meme-tiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu.
Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi
perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi
nama bayi itu Timun Mas.
Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik.
Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut.
Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali.
Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.
Petani itu mencoba tenang. "Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain.
Istriku akan memanggilnya," katanya. Petani itu segera menemui anaknya.
"Anakku, ambillah ini," katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. "Ini
akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,"
katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.
Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau
anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi
tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan
pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.
Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun
Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu
ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar.
Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.
Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya.
Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil
segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan
ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan.
Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.
Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka
Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji
mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa
sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu
dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.
Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama
kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari
tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan.
Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi
terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa
terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau
lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu
tenggelam.
Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang
tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat.
Mereka menyambutnya. "Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan
anakku," kata mereka gembira.
Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka
dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.

Cerita Rakyat Yogyakarta


Lara Jonggrang
Di dekat kota Yogyakarta terdapat candi Hindu yang paling indah di Indonesia.
Candi ini dibangun dalam abad kesembilan Masehi. Karena terletak di desa
Prambanan, maka candi ini disebut candi Prambanan tetapi juga terkenal sebagai
candi Lara Jonggrang, sebuah nama yang diambil dari legenda Lara Jonggrang
dan Bandung Bondowoso. Beginilah ceritanya.
Konon tersebutlah seorang raja yang bernama Prabu Baka. Beliau bertahta di
Prambanan. Raja ini seorang raksasa yang menakutkan dan besar kekuasaannya.
Meskipun demikian, kalau sudah takdir, akhirnya dia kalah juga dengan Raja
Pengging. Prabu Baka meninggal di medan perang. Kemenangan Raja Pengging
itu disebabkan karena bantuan orang kuat yang bernama Bondowoso yang juga
terkenal sebagai Bandung Bondowoso karena dia mempunyai senjata sakti yang
bernama Bandung.
Dengan persetujuan Raja Pengging, Bandung Bondowoso menempati Istana
Prambanan. Di sini dia terpesona oleh kecantikan Lara Jonggrang, putri bekas
lawannya, bahkan putri raja yang dibunuh-nya. Bagaimanapun juga, dia akan
memperistrinya.
Lara Jonggrang takut menolak pinangan itu. Namun demikian, dia tidak akan
menerimanya begitu saja. Dia mau kawin dengan Bandung Bondowoso asalkan
syarat-syaratnya dipenuhi. Syaratnya ialah supaya dia dibuatkan seribu candi dan
dua sumur yang dalam. Semuanya harus selesai dalam waktu semalam. Bandung
Bondowoso menyanggupinya, meskipun agak keberatan. Dia minta bantuan
ayah-nya sendiri, orang sakti yang mempunyai balatentara roh-roh halus.
Pada hari yang ditentukan, Bandung Bondowoso beserta pengikutnya dan roh-
roh halus mulai membangun candi yang besar jumlahnya itu. Sangatlah
mengherankan cara dan kecepatan mereka bekerja. Sesudah jam empat pagi
hanya tinggal lima buah candi yang harus disiapkan. Di samping itu sumurnya
pun sudah hampir selesai.
Seluruh penghuni Istana Prambanan menjadi kebingungan karena mereka
yakin bahwa semua syarat Lara Jonggrang akan terpenuhi. Apa yang harus
diperbuat? Segera gadis-gadis dibangunkan dan disuruh menumbuk padi di
lesung serta menaburkan bunga yang harum baunya. Mendengar bunyi lesung
dan mencium bau bunga-bungaan yang harum, roh-roh halus menghentikan
pekerjaan mereka karena mereka kira hari sudah siang. Pembuatan candi kurang
sebuah, tetapi apa hendak dikata, roh halus berhenti mengerjakan tugasnya dan
tanpa bantuan mereka tidak mungkin Bandung Bondowoso menyelesaikannya.
Keesokan harinya waktu Bandung Bondowoso mengetahui bahwa usahanya
gagal, bukan main marahnya. Dia mengutuk para gadis di sekitar Prambanan
tidak akan ada orang yang mau memperistri mereka sampai mereka menjadi
perawan tua. Sedangkan Lara Jonggrang sendiri dikutuk menjadi arca. Arca
tersebut terdapat dalam ruang candi yang besar yang sampai sekarang dinamai
candi Lara Jonggrang. Candi-candi yang ada di dekatnya disebut Candi Sewu
yang artinya seribu.

Cerita Rakyat Jawa Timur


Arya Menak
Dikisahkan pada jaman Arya Menak hidup, pulau Madura masih sangat subur.
Hutannya sangat lebat. Ladang-ladang padi menguning.
Arya Menak adalah seorang pemuda yang sangat gemar mengembara ke
tengah hutan. Pada suatu bulan purnama, ketika dia beristirahat dibawah pohon
di dekat sebuah danau, dilihatnya caha-ya sangat terang berpendar di pinggir
danau itu. Perlahan-lahan ia mendekati sumber cahaya tadi. Alangkah
terkejutnya, ketika dilihatnya tujuh orang bidadari sedang mandi dan bersenda
gurau disana.
Ia sangat terpesona oleh kecantikan mereka. Timbul keinginannya untuk
memiliki seorang dian-tara mereka. Iapun mengendap-endap, kemudian dengan
secepatnya diambil sebuah selendang dari bidadari-bidadari itu.
Tak lama kemudian, para bidadari itu selesai mandi dan bergegas mengambil
pakaiannya masing-masing. Merekapun terbang ke istananya di sorga kecuali
yang termuda. Bidadari itu tidak dapat terbang tanpa selendangnya. Iapun sedih
dan menangis.
Arya Menak kemudian mendekatinya. Ia berpura-pura tidak tahu apa yang
terjadi. Ditanyakannya apa yang terjadi pada bidadari itu. Lalu ia mengatakan,"Ini
mungkin sudah kehendak para dewa agar bidadari berdiam di bumi untuk
sementara waktu. Janganlah bersedih. Saya akan berjanji menemani dan
menghiburmu."
Bidadari itu rupanya percaya dengan omongan Arya Menak. Iapun tidak
menolak ketika Arya Menak menawarkan padanya untuk tinggal di rumah Arya
Menak. Selanjutnya Arya Menak melamarnya. Bidadari itupun menerimanya.
Dikisahkan, bahwa bidadari itu masih memiliki kekuatan gaib. Ia dapat
memasak sepanci nasi hanya dari sebutir beras. Syaratnya adalah Arya Menak
tidak boleh menyaksikannya.
Pada suatu hari, Arya Menak menjadi penasaran. Beras di lumbungnya tidak
pernah berkurang meskipun bidadari memasaknya setiap hari. Ketika isterinya
tidak ada di rumah, ia mengendap ke dapur dan membuka panci tempat istrinya
memasak nasi. Tindakan ini membuat kekuatan gaib istrinya sirna.
Bidadari sangat terkejut mengetahui apa yang terjadi. Mulai saat itu, ia
harus memasak beras dari lumbungnya Arya Menak. Lama kelamaan beras
itupun makin berkurang. Pada suatu hari, dasar lumbungnya sudah kelihatan.
Alangkah terkejutnya bidadari itu ketika dilihatnya tersembul selen-dangnya yang
hilang. Begitu melihat selendang tersebut, timbul keinginannya untuk pulang ke
surga. Pada suatu malam, ia mengenakan kembali semua pakaian surganya.
Tubuhnya menjadi ringan, ia pun dapat terbang ke istananya.
Arya Menak menjadi sangat sedih. Karena keingintahuannya, bidadari
meninggalkannya. Sejak saat itu ia dan anak keturunannya berpantang untuk
memakan nasi

Cerita Rakyat Bali


Kebo Iwa
Di Bali pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri. Mereka kaya, hanya
saja mereka belum mempunyai anak. Suatu hari mereka pergi ke pura. Mereka
memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi keturunan.
Waktu pun berlalu. Sang istri mulai mengandung. Betapa bahagianya mereka.
Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki.
Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa
makan makanan orang dewasa. Setiap hari anak itu makin banyak dan makin
banyak.
Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia
dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.
Kebo Iwa makan dan makan terus dengan rakus. Lama-lama habislah harta
orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi sanggup
memberi makan anaknya.
Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala
kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian
membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak
makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak
sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa
untuk memasak sendiri. Mereka hanya menyediakan bahan mentahnya.
Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia
dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal
menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang
mengeluarkan air.
Karena kehebatannya, Kebo Iwa dapat menahan serbuan pasukan Majapahit
yang hendak menaklukkan Bali. Maha Patih Majapahit pun mengatur siasat. Ia
mengundang Kebo Iwa ke Majapa-hit. Ia kemudian meminta Kebo Iwa
membuatkan beberapa sumur, karena kerajaan itu kekurangan air minum.
Kebo Iwa menyanggupi tanpa curiga. Setibanya di Majapahit, ia menggali
banyak sumur. Sungguh pekerjaan yang berat, karena ia harus menggali dalam
sekali. Ketika Kebo Iwa sedang bekerja di dasar sumur, Sang Patih
memerintahkan pasukannya menimbuni Kebo Iwa dengan kapur. Kebo Iwa sesak
napasnya. Kemudian ia pun meninggal di dasar sumur.
Dengan meninggalnya Kebo Iwa, Bali pun dapat ditaklukkan Majapahit.
Berakhirlah riwayat orang besar yang berjasa pada Pulau Bali.

Cerita Rakyat Papua


Caadara
Suatu saat, hiduplah seorang panglima perang bernama Wire. Ia tinggal di
Desa Kramuderu. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Caadara.
Sejak kecil Caadara dilatih ilmu perang dan bela diri oleh ayahnya. Wire
berharap, kelak anaknya bisa menggantikannya sebagai panglima perang yang
tangguh.
Tahun berganti. Caadara tumbuh menjadi pemuda yang gagah. Caadara juga
tangkas dan cakap. Wire ingin menguji kemampuan anaknya. Karena itulah ia
menyuruh pemuda itu berburu di hutan.
Caadara mengumpulkan teman-temannya. Lalu mereka berangkat berburu.
Mereka berjalan melewati jalan setapak dan semak belukar. Di hutan mereka
menemui banyak binatang. Mereka ber-hasil menombak beberapa binatang.
Dari hari pertama sampai hari keenam, tak ada rintangan yang berarti untuk
Caadara dan anak buahnya. Tapi esok harinya mereka melihat anjing pemburu.
Kedatangan anjing itu menandakan bahaya yang akan mengancam.
Caadara dan anak buahnya segera siaga. Mereka menyiapkan busur, anak
panah, kayu pemukul, dan beberapa peralatan perang. Mereka waspada.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras. Sungguh menakutkan! Anak buah Caadara
ketakutan. Tapi Caadara segera menyuruh mereka membuat benteng
pertahanan. Mereka menuju tanah lapang berumput tinggi. Tempat itu penuh
semak belukar. Di sana mereka membangun benteng untuk menangkis serangan
musuh.
Tiba-tiba muncullah 50 orang suku Kuala. Mereka berteriak dan menyerang
Caadara dan anak buahnya. Tongkat dan tombak saling beradu. Sungguh
pertempuran yang seru. Caadara tidak gentar. Ia memimpin pertempuran dengan
semangat tinggi. Padahal jumlah anak buahnya tak sebanding dengan jumlah
musuh.
Caadara berhasil merobohkan banyak musuh. Sedangkan musuh yang tersisa
melarikan diri.
Betapa kagumnya teman-teman Caadara melihat anak panglima perang Wire.
Mereka segan dan kagum padanya. Mereka pulang sambil mengelu-elukan
Caadara.
Kampung gempar dibuatnya. Wire sungguh bangga. Ia juga terharu sehingga
berlinang air mata. Tak sia-sia latihan yang diberikan pada Caadara.
Kampung gempar mendengarnya. Ayahnya terharu dan berlinang air mata.
Pesta malam hari pun diadakan. Persiapan menyerang suku Kuala pun diadakan,
karena mereka telah menyerang Caadara.
Esok harinya, Caadara diberi anugerah berupa kalung gigi binatang, bulu
kasuari yang dirangkai indah, dengan bulu cendrawasih di tengahnya.
Kemudian masyarakat desa mempelajari Caadara Ura, yaitu taktik perang
Caadara. Taktik itu berupa melempar senjata, berlari, menyerbu dengan senjata,
seni silat jarak dekat, dan cara menahan lemparan kayu. Nama Caadara
kemudian tetap harum. Ia dikenal sebagai pahlawan dari desa itu.

Cerita Rakyat Kalimantan Barat


Legenda Liang Mengurang
Orang Kalimantan menyebut lubang dengan kata “liang”. Liang yang
dimaksudkan dalam cerita ini adalah sebuah gua yang mempunyai legenda aneh
dan menyeramkan. Adapun “mengurang” dalam bahasa daerah Kalimantan Barat
berarti menjadi atau jadi-jadian sehingga liang mengurang dapat di-artikan
sebagai gua jadi-jadian.
Liang Mengurang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan
Barat. Kabupaten Kapuas Hulu terletak di tengah Pulau Kalimantan.
Liang Mengurang berbentuk datar. Liang ini dianggap angker oleh penduduk
karena sering ter-jadi kejadian-kejadian aneh di kawasan itu.
Kisah ini konon terjadi pada zaman permulaan penjajahan Belanda di daerah
ini. Pada waktu itu, harga getah jelutung (getah merah) sedang melonjak. Getah
ini merupakan salah satu hasil hutan di Kalimantan Barat. Di hutan-hutan sekitar
Liang Mengurang banyak tumbuh pohon jelutung yang menghasilkan getah
merah itu. Hingga kini pun masih banyak pohon jelutung dan banyak kelelawar di
sana.
Pada zaman dahulu, ada tiga orang laki-laki penduduk Kabupaten Kapuas
Hulu yang mencari getah merah di dalam hutan sekitar gua itu. Oleh karena
mereka ingin mendapatkan hasil yang lebih banyak, mereka bermalam di hutan
sekitar gua itu.
Seminggu sekali barulah mereka pulang ke kampung halamannya. Oleh
karena itu, mereka mem-buat gubuk sebagai tempat menginap sementara di
dalam hutan. Dalam bahasa daerah Kalimantan Barat, gubuk semacam ini
disebut ntirong.
Ntirong yang mereka dirikan itu tidak jauh letaknya dari mulut Liang
Mengurang.
Menurut penuturan para orang tua dahulu, malam yang naas itu adalah
malam ketiga setelah ke-tiga laki-laki itu bermalam. Pada malam itu, ada bulan
purnama dan langit cerah. Sebentuk awan pun tidak ada di langit. Di langit yang
biru kehitaman itu, tampak jelas bintang-bintang yang bertaburan mengelilingi
rembulan. Banyak kelelawar beterbangan rendah di atas Liang Mengurang.
Oleh karena ketiga laki-laki itu merasa kepanasan tinggal di dalam ntirong,
mereka pun duduk-duduk di depan pondok sambil berbincang-bincang tentang
rencana pekerjaan mereka untuk besok.
Tanpa mereka sadari, malam semakin larut. Untuk mengusir hawa dingin,
mereka menyalakan api unggun. Ketika mereka sedang asyik berbincang-
bincang, tiba-tiba muncullah dari mulut gua tiga orang gadis berambut panjang.
Kulit ketiganya berwarna kuning langsat dan tubuhnya semampai.
Ketiga gadis cantik itu mengenakan baju berwarna cokelat kemerah-
merahan. Gadis-gadis itu berjalan menghampiri pondok para pencari getah
merah.
Melihat datangnya gadis-gadis cantik itu, ketiga laki-laki itu sangat
terpesona. Salah seorang da-ri ketiga laki-laki pencari getah merah yang
bernama Rontak menyapa ketiga gadis itu. Rontak meng-ajak mereka masuk ke
dalam ntirong. Ajakan Rontak ternyata diterima.
Setelah duduk beberapa saat, salah seorang dari gadis-gadis itu
bertanya,”Apakah saudara-sau-dara ini sudah makan? Jika belum, kami dapat
memasak. Tidak usah malu kepada kami.”
Ketiga laki-laki itu menjawab hampir bersamaan,”Belum. Coba kalian tolong
kami untuk mema-sak karena kami sudah lelah bekerja seharian.”
“Apakah kalian tadi siang menangkap ikan di sungai?” tanya gadis-gadis itu.
“Ya, ikan itu kami letakkan di bawah ntirong,” jawab Rontak.
Gadis-gadis itu dengan senang hati membantu mereka memasak. Ikan yang
mereka tangkap di sungai dengan bubu siang tadi dibawa oleh dua gadis ke
belakang untuk dibersihkan. Gadis yang seo-rang lagi tidak ikut ke belakang. Ia
sedang bercengkerama dengan si Rontak.
Kedua teman Rontak mulai curiga. Secara diam-diam, mereka mengintai
kedua gadis yang se-sang membersihkan ikan di belakang. Mereka hati-hati
sekali, jangan sampai kedua gadis itu tahu bahwa kerja mereka sedang diamati.
Sejenak, kedua lelaki itu tercengang. Mereka melihat kedua gadis itu
membersihkan ikan tidak dengan pisau sebagaimana lazimnya. Akan tetapi,
mereka membersih-kan ikan-ikan itu dengan kuku-kuku mereka yang panjang
dan runcing. Kadang-kadang, mereka membersihkan dengan gigi mereka. Darah
ikan itu bahkan mereka hisap sampai habis.
Melihat keganjilan itu, kedua laki-laki itu saling berpandangan lalu
berbisik,”Mereka bukan ma-nusia, tetapi hantu jadi-jadian.”
Kedua laki-laki itu tidak mengatakan sesuatu. Mereka hanya bermufakat
untuk melarikan diri karena mereka berpikir bahwa mereka tidak mungkin
melawan hantu.
Mereka memanggil Rontak untuk diajak berpura-pura mengambil air di
sungai guna keperluan memasak. Dari sungai itulah, mereka akan langsung
melarikan diri. Akan tetapi, Rontak tidak meng-hiraukan panggilan mereka.
Rontak justru marah-marah dan berseru,”Urus saja diri kalian! Jangan ganggu
aku, aku sedang asyik berbincang nih!”
Oleh karena Rontak tidak menghiraukan panggilan mereka, mereka pun
tidak mengajaknya lagi. Kedua laki-laki ini pura-pura meminta izin untuk
mengambil air kepada kedua gadis yang sedang membersihkan ikan itu. Salah
seorang dari gadis itu berseru,”Kalian cepat sedikit! Jangan lama-lama pergi ke
sungai agar kita bisa segera makan bersama.”
Demikianlah, kedua laki-laki yang pergi ke sungai itu langsung melarikan diri
ke kampung mere-ka malam itu juga. Menjelang subuh, mereka tiba di kampung
dalam keadaan letih dan lesu. Pada waktu mereka tiba, mereka langsung
melaporkan kepada orang kampung tentang segala peristiwa yang telah terjadi.
Keesokan harinya, orang-orang kampung pergi ke hutan yang dekat dengan
gua itu. Ketika tiba di sana, mereka menemukan Rontak telah menjadi mayat.
Ketiga gadis itu sudah tidak tampak lagi. Bekas-bekasnya pun tidak ada. Mayat
Rontak pucat pasi karena kehabisan darah. Lidahnya terjulur keluar dan matanya
terbalik ke atas seperti orang yang sedang ketakutan. Di beberapa bagian tubuh
mayat itu, terdapat bekas gigitan, terutama di bagian lehernya.
Orang-orang kampung lalu bermusyawarah untuk mengatasi hal ini.
Kemudian, tampillah seo-rang dari penduduk kampung yang arif, bijaksana, dan
berani. Ia mengajukan usul untuk mengatasi hal itu dan penduduk kampung
setuju dengan usulannya itu.
Satu bulan kemudian, orang bijak itu mengajak dua orang temannya yang
pemberani untuk ber-malam di gubuk dekat gua itu pada saat bulan purnama.
Benar apa yang diduga oleh orang bijak itu. Tiga orang gadis cantik mendatangi
mereka seperti halnya pada kejadian yang lalu. Mereka bertiga meminta izin
untuk pergi ke sungai sementara ketiga gadis itu beristirahat di dalam ntirong.
Sebenarnya, ketiga laki-laki itu hanya berpura-pura saja pergi ke sungai.
Sekeliling sampai ke kolong gubuk mereka siram dengan minyak tanah. Ketiga
gadis yang berada di dalam gubuk beranjak keluar ketika mencium bau minyak
tanah. Akan tetapi, mereka sudah terlambat karena pada saat itu juga, minyak
tanah langsung disulut dengan api oleh ketiga laki-laki pemberani itu. Api
berkobar de-ngan cepat membakar gubuk itu. Dari dalam gubuk terdengar bunyi
gaduh dan teriakan. Tidak lama kemudian, teriakan itu berubah menjadi bunyi
mencicit yang kian lama kian melemah. Akhirnya, bu-nyi cicitan itu lenyap sama
sekali bersamaan dengan habisnya gubuk dilalap api.
Keesokan harinya, mereka menemukan bangkai kelelawar yang telah
menjadi abu. Sejak kejadi-an itu, gua itu dinamakan oleh penduduk sebagai Liang
Mengurang yang berarti gua jadi-jadian.
Hingga saat ini, gua itu masih dianggap angker oleh penduduk setempat dan
di sana banyak se-kali ditemukan kelelawar.
Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat
Batu Goloq
Pada zaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing hiduplah sebuah
keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama
Amaq Lembain.
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan ke
desa-desa menawar-kan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula.
Pada suatu hari, ia se-dang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya
diatas sebuah batu ceper di dekat tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin
lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai
memanggil ibunya,”Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya, Inaq Lembain
sedang sibuk bekerja. Dijawabnya,”Anakku tunggulah se-bentar, Ibu baru saja
menumbuk.”
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama
makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian
berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan
menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu
sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu
mencapai awan. Mere-ka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain
tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu
Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat
mengambil anaknya. Syah-dan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan
sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan
sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu
tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong oleh karena menyebabkan
tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan
Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan
potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menim-bulkan suara gemuruh.
Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi
dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya
berubah menjadi burung Kelik. Oleh ka-rena keduanya berasal dari manusia
maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.
Cerita Rakyat Sulawesi Utara
Asal-Usul Kolintang
Pada zaman dahulu, di daerah Minahasa, Sulawesi Utara, ada sebuah desa
yang indah bernama To Un Rano yang sekarang dikenal dengan nama Tondano.
Di Desa To Un Rano itu, tinggallah seorang gadis cantik jelita. Kecantikannya
tersohor ke selu-ruh pelosok desa sehingga banyak dibicarakan orang, maka tak
mengherankan banyak pemuda yang jatuh hati kepadanya. Gadis itu bernama
Lintang. Ia pandai menyanyi, suaranya nyaring dan merdu.
Seorang Putra Mahkota Raja Mongondow mendengar bahwa di Desa To Un
Rano ada gadis can-tik jelita dan pandai bernyanyi bernama Lintang. Ia pun
sangat tertarik dan berniat untuk meminang-nya. Putra mahkota itu mempunyai
sebuah seruling emas. Bentuknya sangat indah, bunyinya nyaring dan merdu.
“Aku yakin Lintang akan jatuh hati denganku berkat seruling emas ini,”
gumam putra mahkota.
Ia mempersiapkan diri dengan penuh keyakinan agar pinangannya berhasil.
Hari yang ditentukan akhirnya tiba juga. Putra Mahkota Raja Mongondow
beserta rombongan-nya berangkat menuju Desa To Un Rano. Setelah
mengadakan perjalanan sehari penuh, rombongan putra mahkota tiba di tempat
kediaman Lintang. Lintang menyambutnya dengan riang gembira.
“Aku harus segera membunyikan seruling emasku,” kata putra mahkota
dalam hati.
Bunyi seruling emas merdu dan indah membelah angkasa. Putri Lintang
terkagum-kagum.
Akan tetapi, saat itu Putri Lintang belum memutuskan untuk menerima
pinangan putra mahko-ta. Setelah ia bisa sepuas-puasnya membunyikan seruling
emas di Istana Mongondow, saat itulah Pu-tri Lintang baru memutuskan
menerima pinangan putra mahkota.
Dengan berat hati, Putri Lintang meninggalkan Desa To Un Rano. Penduduk
Desa To Un Rano merasa kehilangan Putri Lintang. Mereka tidak rela melepaskan
Putri Lintang pergi ke Istana Mo-ngondow.
Di tengah perjalanan, ada dua orang penduduk Desa To Un Rano ingin
menggagalkan pinangan putra mahkota.
“Telur busuk ini kita masukkan ke dalam seruling. Dengan begitu Putri
Lintang tidak mau mem-bunyikan seruling, lalu Putri Lintang pasti akan menolak
pinangan putra mahkota,” kata salah seo-rang penduduk Desa To Un Rano
kepada temannya.
Telur busuk diambil dan dipecahkan, lalu dimasukkan ke dalam seruling
emas itu.
Rombongan putra mahkota bersama Putri Lintang tiba di istana. Putri Lintang
terkagum-kagum melihat keindahan istana. Akan tetapi, hatinya tetap di Desa To
Un Rano yang sangat ia cintai.
Saat itu pula putra mahkota memberikan seruling emas kepada Putri Lintang
dan ia segera mem-bunyikannya. Akan tetapi, Putri Lintang sangat terkejut
karena ia mencium bau busuk dari seruling emas tersebut.
“Hi! Serulingnya bau busuk! Aku tidak mau!” teriak Putri Lintang.
Lalu Putri Lintang dengan cepat melempar seruling emas itu. Putra mahkota
langsung lunglai dan berkata pelan,”Berarti pinanganku ditolak.”
Putra mahkota gagal meminang Putri Lintang dari Desa To Un Rano. Dengan
hati lega, Putri Lintang pulang ke desanya. Penduduk Desa To Un Rano
menyambutnya dengan riang gembira.
Pada suatu hari, di Desa To Un Rano diselenggarakan pesta muda-mudi. Saat
itu seorang pemu-da gagah dan tampan memperkenalkan diri kepada Lintang.
“Makasiga namaku, aku berasal dari Desa Kelabat Atas,” kata pemuda itu
sambil menjabat ta-ngan Putri Lintang.
Memang Putri Lintang pernah mendengar nama Makasiga. Makasiga adalah
seorang pemuda ah-li ukir-ukiran dari Desa Kelabat Atas. Perkenalan mereka itu
pun berlanjut.
Makasiga ingin meminang Putri Lintang. Putri Lintang menerima pinangan
Makasiga, tetapi de-ngan satu syarat.
“Buatkan aku musik yang lebih merdu dari bunyi seruling emas,” pinta Putri
Lintang.
Makasiga menyanggupi persyaratan Putri Lintang tersebut.
Dan berkat keuletannya, dengan cepat Makasiga mendapatkan alat musik
yang lebih keras dari bunyi seruling emas, tetapi bukan itu yang dimaksud Putri
Lintang.
Akhirnya Makasiga berkelana mencari alat musik yang dimaksud Putri
Lintang.
Makasiga berkelana keluar masuk hutan, ternyata alat musik yang dimaksud
Putri Lintang be-lum didapatkan.
Untuk mengusir hawa dingin di malam hari, Makasiga membelah-belah kayu
dan menjemurnya. Setelah belahan kayu itu kering, lalu diambil satu per satu dan
dilemparkannya ke tempat lain. Se-waktu belahan kayu itu dilempar dan jatuh ke
tanah, saat itulah belahan-belahan kayu itu mengeluar-kan bunyi-bunyian yang
amat nyaring dan merdu.
“Ha, belahan-belahan kayu ini pasti dapat dibuat alat musik,” pikir Makasiga.
Berkat ketekunan dan keuletan Makasiga, akhirnya Makasiga berhasil
membuat alat bunyi-bu-nyian itu. Diletakkannya lidi berderet berjajar dua. Dari
deretan lidi disusun tali serat pangkal daun enau. Potongan-potongan kayu dibuat
berbeda panjangnya yang merupakan urutan not-not tertentu, kemudian disusun
pada tali itu. Alat bunyi-bunyian diletakkan di sebuah palung yang kakinya ada
empat setinggi paha.
“Hmm, pasti Putri Lintang puas dengan alat bunyi-bunyian ini dan
pinanganku diterima,” gu-mam Makasiga sambil membunyikan alat itu.
Dari jauh ada dua orang pemburu yang mendengarnya. Mereka ketakutan
karena dikiranya itu adalah bunyi setan penunggu hutan yang sedang bermain
musik. Akan tetapi, setelah kedua pemburu itu mendekatinya, ternyata mereka
mengenalnya. Itu adalah Makasiga dari Desa Kelabat Atas.
Kedua pemburu sangat terkejut melihat Makasiga yang telah menjadi kurus,
kering, dan lemah. Sebab, selama di hutan, Makasiga tidak pernah makan dan
minum. Yang ia cari adalah alat bunyi-bu-nyian yang dapat diterima dan
menyenangkan hati Lintang.
Saat itu, kedua pemburu membawa Makasiga dengan tandu pulang ke Desa
Kelabat Atas. Maka-siga jatuh sakit yang amat parah. Akhirnya Makasiga
meninggal dunia.
Putri Lintang yang mendengar bahwa Makasiga telah meninggal dunia
langsung jatuh sakit pa-rah dan akhirnya menyusul Makasiga ke alam baka.
Mereka telah meninggalkan jasa tiada tara, yaitu telah menemukan alat musik
yang dikenal dengan nama kolintang.

Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara


Lawongo
Ada seorang pemuda tampan dari Pulau Kabaruan, namanya Lawongo.
Lawongo seorang pem-buru yang hebat, ia tidak pernah pulang dari hutan tanpa
membawa hewan buruan. Masih ada lagi ke-mahirannya yang menakjubkan,
yaitu ahli meniup seruling yang merdu sekali. Keahliannya meniup se-ruling
sangat dikagumi oleh rakyat setempat. Tidak peduli tua maupun muda sangat
menyukainya. Para gadis remaja banyak jatuh cinta kepada dirinya.
Pemuda ini sering berkelana keliling pulau untuk menunjukkan
kemahirannya memainkan seru-ling sambil mencari-cari gadis yang
didambakannya. Pada suatu ketika di Negeri Damau, ia bertemu dengan seorang
gadis yang cantik. Diantara sekian banyak gadis cantik yang ditemuinya, baru
kali ini-lah hatinya terpikat. Ia jatuh hati dan mencintai gadis itu, maka ia
memutuskan untuk melamar si ga-dis untuk dijadikan istrinya. Tidak berapa lama
kemudian perkawinan pun diselenggarakan tanpa mengalami kesulitan dan
gangguan.
Setelah perkawinan berlangsung, Lawongo menetap di Desa Damau, tempat
istrinya. Untuk menghidupi istri dan dirinya sendiri, Lawongo terus bertani dan
berburu babi hutan. Setiap hari ia berhasil membawa hasil buruannya ke rumah.
Rakyat Desa Damau sangat menghargai pekerjaan La-wongo ini karena setelah
kedatangan Lawongo ke desa itu, masyarakat terhindar dari gangguan babi
hutan yang kerap berkeliaran di sekitar desa dan merusak kebun mereka.
Mereka menyukai dan menyayangi Lawongo, lebih-lebih pada malam harinya
mereka pun men-dapat hiburan dari suara seruling yang dimainkan oleh
Lawongo. Oleh karena itu, Lawongo dengan segera mendapat perhatian luas dari
penduduk setempat dan menjadi pujaan orang di desa, baik tua maupun muda.
Selagi manusia hidup di dunia, ia akan mengalami suka dan duka. Jika
manusia mendapat kemu-dahan dan kebahagiaan, hendaklah ia ingat bahwa
semua itu berasal dari karunia Tuhan. Dan apabila manusia mendapat kesulitan
atau derita, maka ingatlah bahwa di dunia ini kita memang tidak bisa hidup
selama-lamanya, akhirnya mati juga.
Konon, demikian banyak babi hutan yang dibunuh Lawongo, salah satu dari
babi hutan yang terbunuh adalah babi siluman. Maka pada suatu ketika, kerabat
si babi hutan yang terbunuh memba-las dendam dengan cara yang sangat aneh.
Pada suatu malam, Lawongo bermimpi berburu babi hutan. Babi yang telah
berhasil ditombak-nya mengamuk dengan ganasnya sehingga hampir
membinasakan hidupnya. Untuk menyelamatkan jiwanya, ia mencabut pisau dari
sarungnya lalu menikam babi itu. Sesudah ia bermimpi, ia tertidur kembali di
kamarnya bersama istrinya. Keesokan harinya, seperti biasa ia berangkat
berburu. Pagi-pagi ia bangun membawa tombak dan pisaunya. Ia sengaja tidak
membangunkan istrinya untuk ber-pamitan karena hari masih sangat pagi.
Ada sesuatu yang aneh dirasakan oleh Lawongo. Hari itu agak mendung dan
sepi. Burung-bu-rung tidak ada yang berkicau. Ranting pepohonan tidak
bergoyang karena tidak ada angin yang meni-upnya. Alam seolah berduka.
Seharian itu tidak ada seekor babi pun yang berkeliaran. Bahkan, tak se-ekor
binatang pun nampak pada hari itu. Ketika hari sudah semakin siang, badan
Lawongo sudah sa-ngat letih, perut lapar, dan kerongkongannya terasa haus.
Untuk menghilangkan rasa haus, ia meman-jat sebatang pohon kelapa guna
memetik beberapa butir buahnya. Ketika ia hendak mencabut pisau-nya untuk
membelah kelapa itu, pisau itu sangat erat melekat pada sarungnya. Dengan
sekuat tenaga ia berusaha mencabut pisau itu, akhirnya berhasil. Ia sangat
terperanjat setelah melihat darah membe-ku pada pisaunya itu. Darah itu
rupanya yang menyebabkan goloknya sulit dicabut. Tiba-tiba, ter-ingatlah
Lawongo atas mimpinya semalam.
“Jangan-jangan, ah, tidak!” jerit Lawongo sambil berlari pulang ke rumah.
Begitu tiba di ujung desa, ia lihat orang sudah banyak berkumpul di depan
rumahnya.
Hatinya semakin miris. Segera ia menerobos kerumunan orang untuk masuk
ke dalam rumah. Ternyata benar dugaannya mengenai mimpi semalam. Rupanya
bukan babi hutan yang ia tusuk de-ngan goloknya, namun istri yang sedang tidur
di sampingnya yang menjadi sasarannya.
Dengan menjerit keras ia memeluk istrinya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Ia benar-benar me-nyesal atas kejadian yang menimpa diri istrinya.
“Istriku, untuk apa lagi aku hidup di dunia tanpa kau di sisiku?” bisik
Lawongo seolah istrinya masih hidup.
Ia membelai-belai rambut istrinya dengan derai air mata. Beberapa lama
kemudian, ia berteriak kepada orang-orang di sekelilingnya,”Tolong buatkan dua
peti mati. Satu untuk istriku, satu lagi un-tuk diriku sendiri.”
Semua orang yang hadir terperanjat mendengar permintaan itu. Mereka
tidak setuju untuk me-ngubur Lawongo hidup-hidup bersama mayat istrinya.
Akan tetapi, Lawongo tetap bertekad mati bersama istri tercintanya.
Ia berpesan kepada sanak saudara, teman-teman, dan penduduk
setempat,”Buatlah lubang dan saluran udara pada peti mati saya. Saya akan
bermain seruling untuk menghibur kalian. Jangan kalian bersedih sebab kita
semua akan bertemu kembali di alam sana.”
Lebih lanjut Lawongo berpesan pula,”Kalau kalian masih mendengar suara
serulingku, berarti saya masih hidup. Jika bunyi seruling itu hilang, berarti saya
sudah tidak ada di kubur ini. Lalu, pergi-lah kalian segera ke tepi pantai. Kalian
akan melihat benda aneh muncul dari laut, datang dari kaki la-ngit. Janganlah
kalian tunjuk benda itu. Jangan pula kalian teriaki. Kalian diam saja menunggu
benda itu di pantai dengan tenang. Jangan kaget!”
Keesokan harinya, dikuburkanlah Lawongo hidup-hidup bersama istrinya atas
permintaannya sendiri. Pada hari pertama dan kedua, orang di desa itu masih
mendengar suara seruling Lawongo. Pa-da hari-hari berikutnya, suara seruling itu
semakin mengecil sampai akhirnya pada hari ketujuh suara itu lenyap sama
sekali.
“Berarti ia telah benar-benar pergi untuk selamanya,” kata salah seorang
penduduk.
Pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali seluruh sanak keluarga Lawongo dan
beberapa penduduk setempat berbondong-bondong menuju pantai sesuai
dengan pesan Lawongo. Mereka duduk me-nunggu benda aneh yang katanya
akan muncul dari kaki langit. Satu dua jam kemudian, benda itu be-lum juga
muncul. Beberapa orang mulai meragukan akan kebenaran pesan Lawongo.
Namun ternyata Lawongo tidak berdusta, beberapa saat kemudian tiba-tiba
muncullah dari permukaan laut di kaki langit sebuah benda raksasa seperti
gunung mencuat dari laut menuju pantai Desa Damau. Melihat benda raksasa
aneh itu, terkejutlah orang-orang yang berkumpul di pantai. Mereka berteriak
ketakut-an karena benda itu semakin lama semakin besar dan menuju ke arah
mereka.
Apa yang terjadi kemudian? Sekonyong-konyong benda raksasa itu berhenti
di tengah-tengah. Orang-orang semakin penasaran. Mereka ingin mengetahui
benda itu dari dekat. Maka, berlayarlah beberapa orang dari mereka menuju
benda itu. Setelah mereka mendekati benda itu, ternyata itu be-rupa pulau
karang. Lalu, mereka menamai pulau itu Napombalu.
Di saat pasang besar, pulau itu tenggelam dan di saat surut pulau itu muncul
kembali ke permu-kaan. Jadi, kadang-kadang tampak dan kadang-kadang tidak,
sesuai dengan namanya, napo yang arti-nya pulau karang dan nawalu yang
berarti benda aneh yang berubah menjadi sebuah pulau.
Daftar Pustaka

Ali, Rahmat. 1993. Cerita Rakyat Betawi 1. Jakarta: Grasindo.

Aman, S.D.B. 1976. Folk Tales from Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Hakim, Abdul. 1980. Selusin Cerita Rakyat. Jakarta: CV Danau


Singkarak.

Kayun, I Nengah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rosa, Dea. 2007. Seri Mengenal Indonesia: Cerita Rakyat 33 Provinsi


dari Aceh sampai Papua. Jakarta: Indonesiatera.

You might also like