You are on page 1of 4

Nama : Muly Utami

Kelas : Reguler

Kata Orang Aku Mirip Nabi Ibrahim

Beberapa Bulan Yang Lalu

Dek! ujarku dihadapan istriku. “idul adha tahun ini Abang ingin berkurban 1 ekor
kambing kalau kambing kita jadi melahirkan besok.”

“Terserah abang aja,” ujar istriku sambil menghidangkan kopi dihadapanku.

Itulah pembicaraanku dengan istriku tercinta malam hari sebelum kambingku


melahirkan. Dengan lahirnya kambingku, nazarku untuk berkurban idul adha ini
harus kupenuhi.

Sebulan Menjelang idul adha


Sekuat apapun manusia, sekaya apapun pengusaha, tak akan mampu
menghalangi datangnya musibah. Musibah terkadang adalah awal dari
kenikmatan bila kita sabar dalam menghadapinya. Tetapi, manusia sering tidak
mampu untuk bersabar dalam menghadapi segala musibah. Sehari setelah
kematian dua kambingku, anak kambing yang baru dilahirkan dan induk
perempuan dari kambing tersebut karena keracunan, istriku menyusul
menghadap keharibaan Allah SWT. Istriku meninggal akibat penyakit tipus yang
dideritanya. Peristiwa ini membuat kesendirian dalam diriku ditemani oleh
kambing jantanku.

“tok tok tok!” suara ketukan pintu rumahku.


Kubuka pintu dan seorang lelaki setengah baya berdiri dihadapanku.
Diucapkannya salam dan aku membalasnya seraya mempersilahkannya untuk
masuk. Akan tetapi ia menolak dengan alasan masih banyak rumah yang harus
disinggahinya. Lelaki itu memperkenalkan dirinya. Namanya Yanto, salah
seorang panitia penyelenggara kurban pada hari raya idul adha. Kedatangannya
itu mengingatkanku pada nazar yang telah kuniatkan beberapa bulan yang lalu.

“Bagaimanakah hidupku bila kambing satu-satunya yang kumiliki kukurbankan?


Apakah harta yang menopang kehidupanku? Hartaku satu-satunya hanyalah
kambing itu, dan aku telah menazarkannya beberapa bulan yang lalu. Bolehkah
aku membatalkan nazarku dengan alasan tidak adanya hartaku selain
kambingku itu?” pertanyaan demi pertanyaan itu berkelabat hebat dalam
pikiranku.

Ditengah kesendirianku itu, aku akhirnya membulatkan tekad untuk tetap


mengorbankan kambingku satu-satunya itu. Aku yakin Allah akan menggantinya
dengan ganti yang lebih besar dan lebih mulia. Bukankah Allah telah
menjanjikan bahwa barang siapa yang mengorbankan harta dijalan-Nya akan
mendapatkan ganti yang lebih banyak dan lebih mulia dari apa yang
diberikannya? Bukankah barang siapa yang “menolong” Allah akan ditolong oleh
Allah? Itulah yang menjadi tekadku dalam hati.
Akhirnya, aku membawa kambingku menuju Mesjid Raya, sekretariat panitia
kurban wilayahku. Dijalan, aku bertemu dengan Pak Bram, salah satu tetangga
yang kurang berkecukupan, sama seperti diriku.

“Assalamu’alaikum, Pak Ibrahim!” sapanya.

“Wa’alaikum Salam” sapaku seraya bersalaman dengannya.

“Mau kemana ni, Pak!” ujarnya lanjut, “Singgah dulu”

Akupun singgah sebentar. Kuceritakan padanya niatku tentang pengorbanan


kambingku. Kurasa ia kurang setuju. Ia berdalih bahwa berkorban itu hanya bagi
orang yang mampu. Orang-orang seperti kami berhak untuk menerima hewan
kurban bukan mengkurbankan hewan.

“Allah pasti tau mana yang miskin dan mana yang kaya. Walaupun Pak Ibrahim
itu telah bernazar untuk mengorbankan kambing, Allah pasti tau toh, bahwa Pak
Ibrahim masih membutuhkan kambing itu. Karena memang kambing itulah
kambing satu-satunya yang merupakan harta pak Ibrahim. Bagaimana pak
Ibrahim akan hidup kalau kambing satu-satunya dikorbankan. Pakai doa dan
tawakkal? Tidak mungkin pak! Lebih baik dipikirkan lagi tentang rencana itu.
Aku hanya menjawab dengan senyuman. Orang seperti Pak Bram kalau dilawan
akan bertambah semangat menantang. Maklum, orang miskin biasanya emosian
kalau diajak berbicara. Akupun pamit setelah beberapa menit berbincang
dengannnya.

Beberapa meter sebelum sampai ke Mesjid, kulihat Pak Rudi baru keluar dari
pagar mesjid. Kusapa dia dan berbincang sebentar dengannya. Ia mengetahui
niatku tetapi, sama seperti Pak Bram, sepertinya Pak Rudi kasihan terhadap
nasibku.

“Lho bukankah pak Ibrahim masih membutuhkan kambingnya dengan apa pak
Ibrahim hidup tanpa kambing apa tidak ditunda dulu hingga tahun depan”

“Ya saya percaya saja pada Allah, Pak! Saya hanya ingin menunaikan nazar
saya.” Begitu jawabku.

“atau saya beli. 700 ribu. Bapakkan bisa membeli kambing yang berharga 500
ribu dan 200 ribunya bisa bapak jadikan modal?” Pak Rudi menawarkan solusi

Hatiku sempat goyah. 200 ribu bagiku adalah modal yang cukup besar dan
berharga. Bila aku membelikan kambing yang berharga 500 ribu, bukankah aku
telah menunaikan nazarku? Walaupun tidak dengan kambingku.

Tapi untunglah pikiran seperti itu hanya tersimpan dalam relung hatiku tanpa
sempat terucap. Sekali lagi aku hanya berterima kasih kepada Pak Rudi dan aku
tetapi bertekad untuk mengkurbankan kambingku tanpa menjualnya terlebih
dahulu.

“mau dibantu ko’ nolak?!” begitu ujar pak Rudi berbisik sebelum
meninggalkanku.
idul adha
“Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar” sayup-sayup takbir bergemuruh
dimenara-menara mesjid disekitar wilayahku. Idul Adha telah tiba. Aku
melaksanakan shalat idul adha di mesjid raya sekalian menyaksikan
pengorbanan kambingku.

¤kata orang aku mirip nabi ibrahim¤


Darah bersih keluar dari leher kambingku diiringi takbirku yang keluar dari kedua
bibir. Mataku berkaca pertanda kebahagiaan Allah masih memberi kesempatan
untuk berkurban kepadaku.

“Pak Ibrahim. Assalamu’alaikum…”

Suara itu milik Ustadz Imron, salah seorang pimpinan Pondok Pesantren yang
ada diwilayahku. Beliau mengajakku berbincang-bincang. Rupanya beliau punya
rencana untuk membuat peternakan kambing diwilayahku dan belum
mendapatkan penggembalanya. Ia menawarkan pekerjaan ini kepadaku.

“Gimana Pak Ibrahim?”

Mataku berkaca. Aku teringat tatkala Nabi Ibrahim mendapatkan anaknya


kembali setelah “menyembelihnya”. Kusujudkan tubuhku. Ustadz Imron
tersenyum.

Analisis Cerpen:

1. Kekurangan pada cerpen diatas adalah tidak menggunakanya tanda petik


pada kalimat Dek! ujarku dihadapan istriku. “Idul Adha tahun ini Abang
ingin berkurban 1 ekor kambing kalau kambing kita jadi melahirkan
besok.”

Karena fungsi tanda petik adalah mengapit petikan langsung yang


berasal dari pembicaraan dan naskah atau bahan tertulis lainnya.

Misalnya:

“Saya belum siap,” kata Mira, “tunggu sebentar!


2. Kekurangan pada cerpen diatas adalah tidak menggunakanya Huruf
Kapital pada kata “idul adha

Seharusnya kata idul adha menjadi Idul Adha karena melanggar tata cara
penulisan huruf kapital

3. Kekurangan pada cerpen diatas adalah tidak menggunakanya tanda baca


Tanda Elipsis (...) pada kata “tok tok tok!” dan pada kata “Allahu Akbar
Allahu Akbar Allahu Akbar” pada cerpen diatas karena fungsi tanda elips
adalah Tanda elipsis dipakai dalam kalimat atau dialog yang terputus-
putus seharusnya kata “tok tok tok!” itu harusnya “tok… tok… tok…!”
dan pada kata
“Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar” seharusnya “Allahu Akbar…
Allahu Akbar … Allahu Akbar”…!
4. Kekurangan pada cerpen diatas adalah tidak menggunakanya Tanda
Tanya pada kalimat
“Lho bukankah pak Ibrahim masih membutuhkan kambingnya dengan apa
pak Ibrahim hidup tanpa kambing apa tidak ditunda dulu hingga tahun
depan”
seharusnya kalimat yang benar “Lho? Bukankah pak Ibrahim masih
membutuhkan kambingnya? Dengan apa pak Ibrahim hidup tanpa
kambing? Apa tidak ditunda dulu hingga tahun depan?”

You might also like