You are on page 1of 8

Pengertian, Fungsi, dan

Peran Serta Perkembangan


Pers
di Indonesia

Oleh:

1. Aji Fajar P. 05
2. Arif Gani A. 11
3. Cahyo Ramadhani 17
4. Elvian Listiyanto 27
5. Hamzah Sinosi 32
6. Hudam Satria N. 36

Kelompok 1
Kelas 3 TKJ 1
A. Pengertian Pers

• Kamus Umum Bahasa Indonesia


Kata “pers” berarti: a) alat cetak untuk mencetak buku atau surat
kabar; b) alat untuk menjepit, memadatkan; c) surat kabar dan
majalah yang berisi berita; d) orang yang bekerja di bidang
persuratkabaran.

• Ensiklopedi Indonesia
Istilah “pers” merupakan nama seluruh penerbitan berkala: koran,
majalah, dan kantor berita.

• Ensiklopedi Pers Indonesia


Istilah “pers” merupakan sebutan bagi
penerbit/perusahaan/kalangan yang berkaitan dengan media
massa atau wartawan. Sebutan ini bermula dari cara bekerjanya
media cetak yang awalnya menekankan huruf-huruf di atas kertas
yang akan dicetak. Dengan demikian, segala barang yang
dikerjakan dengan mesin cetak disebut pers.

• UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers


Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis salurannya yang tersedia.

• Profesor Oemar Seno Adji


Pers dalam arti sempit berarti penyiaran-penyiaran pikiran,
gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis. Sebaliknya, pers
dalam arti luas memasukkan di dalamnya semua media
komunikasi massa yang memancarkan pikiran dan perasaan
seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa pers dalam arti sempit
merupakan manifestasi dari “freedom of the press”, sedangkan
pers dalam arti luas merupakan manifestasi dari “freedom of
speech”, dan keduanya tercakup oleh pengertian “freedom of
expression”.

• L. Taufik
Dalam bukunya “Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia”
menyatakan bahwa pengertian pers terbagi atas dua, yaitu pers
dalam arti sempit dan pers dalam arti luas.
• Pers dalam arti sempit diartikan sebagai surat kabar, koran,
majalah, tabloid, dan buletin-buletin kantor berita. Jadi, pers
terbatas pada media cetak.
• Pers dalam arti luas mencakup semua media massa, termasuk
radio, televisi, film, dan internet.

• Leksikon Komunikasi
Pers berarti: a) usaha percetakan dan penerbitan, b) usaha
pengumpulan dan penyiaran berita, c) penyiaran berita melalui
surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Sedangkan istilah “press”
berasal dari bahasa Inggris “to press” yang artinya menekan,
selanjutnya press atau pers diartikan sebagai surat kabar dan
majalah (dalam arti sempit) dan pres dalam arti luas yang
menyangkut media massa (surat kabar, radio, televisi, dan film).

B. Fungsi Pers

Dalam tulisan Kusman Hidayat yang berjudul “Dasar-Dasar


Jurnalistik/Pers” dinyatakan bahwa Pers mempunyai 4 fungsi:

1. Fungsi pendidik, yaitu karya-karya cetak dengan segala isi, baik


langsung ataupun tidak langsung dengan sifat keterbukaannya,
membantu masyarakat meningkatkan budayanya. Segala peristiwa
yang dimuat pers menolong masyarakat untuk menilai ihwal yang
dijadika teladan bagi kehidupannya. Rubrik-rubrik khusus, seperti
ruang kebudayaan atau ruang ilmu pengetahuan dapat menambah
pengetahuan masyarakat.

2. Fungsi penghubung, dengan ciri universalitasnya, pers


merupakan sarana lalu-lintas hubungan antarmanusia. Melalui pers,
lembaga-lembaga kemasyarakatan berusaha untuk menumbuhkan
kontak antarmanusia sehingga tercipta saling pengertian dan saling
tukar pandangan bagi perkembangan dan kemajuan hidup
manusia.

3. Fungsi pembentuk pendapat umum, rubrik-rubrik dan kolom-


kolom tertentu seperti tajuk rencana, pikiran pembaca, pojok, dan
lain-lain merupakan ruang untuk memberikan pandangan atau
pikiran kepada khalayak pembaca.

4. Fungsi kontrol, dengan fungsi ini pers berusaha melakukan


bimbingan dan pengawasan terhadap masyarakat tentang tingkah
laku yang benar atau tingkah laku yang tidak dikehendaki oleh
khalayak.

Menurut Mochtar Lubis, di negara-negara berkembang, pers


mempunyai 5 fungsi:

1. Fungsi pemersatu, yaitu memperlemah tendensi perpecahan,


baik perpecahan sosial maupun kultur.
2. Fungsi pendidik, artinya memberikan informasi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping menunjukkan betapa
kemajuan IPTEK itu dapat dimanfaatkan untuk mencapai
kesejahteraan material dan spiritual.

3. Fungsi penjaga kepentingan umum, artinya pers harus melawan


setiap penyalahgunaan kekuasaan, menentang setiap kebijakan
yang bertentangan dengan kepentingan rakyat, serta menyuarakan
kepentingan kelompok kecil rakyat yang tidak dapat menyuarakan
kehendaknya.

4. Fungsi menghapuskan mitos dan mistik dari kehidupan politik


negara-negara berkembang.

5. Fungsi sebagai forum untuk membicarakan masalah-masalah


politik yang dihadapi negara-negara berkembang dan
menumbuhkan dialog agar tumbul pemecahan masalah yang
dihadapi bersama.

C. Perkembangan Pers di Indonesia

1. Pers zaman penjajahan Belanda dan Jepang


Sejak pemerintah penjajahan Belanda menguasai Indonesia,
mereka telah menyadari pengaruh surat kabar terhadap
masyarakat Indonesia. Karena itu, mereka membuat UU khusus
untuk membendung pengaruh pers Indonesia.
Pemerintah Hindia-Belanda tidak cukup mengancam dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, namun ditambahkan pula artikel-
artikel seperti 153 bis dan ter, 161 bis dan ter, dan artikel 154
KUHP.
Namun, tambahan-tambahan itu dianggap belum cukup, maka
diadakan Persbreidel Ordonantie yang memberikan hak pemerintah
penjajah Belanda untuk menghentikan penerbitan surat
kabar/majalah yang dianggap berbahaya.
Selain itu, ada pula Haatzai Artikelen, yaitu pasal-pasal yang
mengancam hukuman terhadap siapapu yang menyebarluaskan
perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap
pemerintah Nederland dan Hindia-Belanda (pasal 154 dan 155) dan
terhadap suatu atau sejumlah kelompok penduduk Hindia-Belanda
(156-157). Akibat ini, banyak korban berjatuhan, antara lain SK.
Trimurti yang sampai melahirkan di penjara, bahkan ada yang
sampai dibuang ke Boven Digoel, Papua.
Semasa pendudukan Jepang, orang-orang pers juga berada
dibawah tekanan. Banyak diantara mereka tidak berani menulis di
media cetak. Sebagai gantinya, pemberitaan pers ditempuh melalui
jalan lain seperti organisasi keagamaan, politik, pendidikan, dll.
2. Pers di masa pergerakan
Pasa masa pergerakan, peran pers tidak lepas dari kebangkitan
nasional bangsa Indonesia melawan penjajahan.
Setelah muncul Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat kabar
terbitan orang Indonesia lebih berfungsi sebagai alat perjuangan.
Saat itu, pers merupakan “terompet” dari organisasi pergerakan
orang Indonesia. Pers menyuarakan kepedihan, penderitaan, dan
merupakan isi hati bangsa terjajah. Pers menjadi pendorong dalam
perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.
Contoh surat kabar yang terbit pada masa pergerakan antara lain:
a. Sedio Tomo, sebagai kelanjutan harian Budi Utomo yang
terbit di Yogyakarta Juni 1920.
b. Darmo Kondo, terbit di Solo dipimpin oleh Sudarya
Cokrosisworo.
c. Utusan Hindia, terbit di Surabaya yang dipimpin oleh HOS.
Cokroaminoto.
d. Fadjar Asia, terbit di Asia dipimpin oleh Haji Agus Salim.
e. Pikiran Rakyat, terbit di Bandung, dipimpin oleh Ir.
Soekarno.
f. Daulah Rakyat, dipimpin oleh Muh. Hatta dan Sutan Syahrir.
Pers masa pergerakan sarat antipenjajahan, karena itu pemerintah
Hindia-Belanda berusaha menekan pers saat itu. Pemerintah Hindia-
Belanda memberi hak pemerintah untuk memberantas dan
menutup usaha penerbitan pers pergerakan. Pada masa pergerakan
berdiri Kantor Berita Nasional Antara.

3. Pers di masa penjajahan Jepang


Pers di masa Jepang merupakan alat pemerintah Jepang dan pro-
Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, beberapa harian yang
muncul antara lain:
• Asia Raya di Jakarta
• Sinar Baru di Semarang
• Suara Asia di Surabaya
• Tjahaya di Bandung

Pers di masa ini mengalami penderitaan dan pengekangan


kebebasan lebih daripada zaman Belanda. Namun, terdapat
keuntungan yang didapat oleh wartawan yang bekerja pada
penerbitan Jepang, antara lain:
• Fasilitas dan alat-alat pers yang digunakan lebih banyak
daripada saat zaman penjajahan Belanda.
• Penggunaan bahasa Indonesia dalam penerbitan makin
luas digunakan.
• Adanya pengajaran untuk rakyat agar berpikir kritis
terhadap berita yang disajikan oleh sumber-sumber resmi
Jepang.

4. Pers di masa revolusi fisik


Pada periode revolusi fisik (1945-1949), pers di Indonesia terbagi
menjadi 2 golongan:
• Pers NICA (Belanda), yaitu pers yang diterbitkan dan
diusahakan Sekutu dan Belanda. Pers ini berusaha
mempengaruhi rakyat agar menerima kembali Belanda untuk
berkuasa kembali di Indonesia. Koran-koran pers ini antara
lain:
o Warta Indonesia di Jakarta
o Persatuan di Bandung
o Seluruh Rakyat di Semarang
o Pelita Rakyat di Surabaya
o Mustika di Medan
• Pers Sekutu, yaitu pers yang diterbitkan dan diusahakan
oleh orang Indonesia. Pers ini berisi suara untuk
mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha
pendudukan kembali oleh Sekutu. Koran-koran pers ini antara
lain:
o Merdeka
o Sumber
o Pemandangan
o Kedaulatan Rakyat
o Nasional
o Pedoman
Pada masa ini, lahir Persatuan Wartawan Indonesia dan Serikat
Pengusaha Surat Kabar.
Awalnya, pemerintah RI berusaha membantu pers dengan
mengimpor dan mensubsidi kertas koran serta memberi pinjaman
uang. Namun, saat pers mulai menyerang pemerintah termasuk
presiden, pemerintah menjadi geram dan jengkel. Karena itu,
pemerintah RI untuk pertama kali mengeluarkan peraturan yang
membatasi kebebasan pers. Sejak itu, pers dipaksa tunduk di bawah
kekuasaan pemerintah.
Untuk menangani masalah-masalah pers, pemerintah membentuk
Dewan Pers pada 17 Maret 1950. Dewan pers terdiri dari orang-
orang persuratkabaran, cendekiawan, dan pejabat-pejabat
pemerintah dengan tugas:
• Penggantian UU pers kolonial
• Pemberian dasar sosial-ekonomis yang lebih kuat kepada pers
Indonesia (artinya fasilitas-fasilitas kredit dan mungkin juga
bantuan pemerintah)
• Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia
• Pengaturan yang memadai tentang kedudukan sosial dan
hukum bagi wartawan Indonesia (artinya, tingkat hidup dan
tingkat gaji, perlindungan hukum, etika jurnalistik, dll.)

5. Pers di era demokrasi liberal (1949-1959)


Di era ini, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi RIS 1949
dan UUDS 1950. Isi Konstitusi RIS sendiri banyak yang diambil dari
Piagam Pernyataan HAM sedunia. Pada pasal 19, “Setiap orang
berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.”
Isi pasal ini kemudian dicantumkan kembali dalam UUDS 1950.
Pembatasan pers di masa ini disebabkan pemerintah tidak ingin
ideologi asing mengganggu UUD. Sehingga, banyak pers yang
dibredel, tidak hanya pers asing saja.
Untuk menindaklanjuti, pemerintah mengasahkan UU yang
mengharuskan pers Belanda membayar tiga kali lipat untuk kertas
koran ketimbang pers Indonesia.

6. Pers di zaman Orde Lama atau Pers Terpimpin (1956-1966)


Setelah berlakunya kembali UUD’45, tidakan tekanan terhadap
pers terus berlangung. Pembredelan kantor berita PIA dan Surat
Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan
oleh penguasa perang Jakarta.
Pada awal 1960, penakanan pada kebebasan pers diawali dengan
peringatan Mentri Muda Penerangan, Maladi bahwa “langkah-
langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-
majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan
yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional.”
Tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh
pemerintah Orde Lama bertambah bersamaan dengan
meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan
penekanan menurun ketika ketegangan dalam pemerintah
menurun. Terutama setelah pers diambil alih pemerintah dan
wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik pemerintah,
sehingga sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan
terhadap pers.

7. Pers di era demokrasi Pancasila atau Orde Baru


Pada masa ini pemerintah berjanji akan membuang jauh-jauh
praktik demokrasi terpimpin, sebagai gantinya dengan demokrasi
Pancasila, sehingga lahirlah pers Pancasila. Pemerintah Orde Baru
menekankan pemahaman tentang Pers Pancasila. Menurut rumusan
Sindang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), “Pers Pancasila
adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan
tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Hakikat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang
bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya
sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur
aspirasi rakyat, dan kontrol soaial yang konstruktif.”
Pemerintah akhirnya mengeluarkan UU Pokok Pers nomor 11
tahun 1966 yang menjamin tidak ada sensor dan pembredelan serta
penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk
menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat
izin terbit.
Namun, kekebasan pers hanya berlangsung 8 tahun hingga
terjadinya Peristiwa Malari 1974. Peristiwa ini menyebabkan
beberapa surat kabat dilarang terbit. Pemerintah lebih menggiatkan
larangan-larangan melalui telepon supaya tidak menyiarkan suatu
berita atau wartawan diperingatkan untuk lebih menaati kode etik
jurnalistik.
Pasca peristiwa Malari, pers cenderung menyuarakan kepentingan
pemerintah. Pers menjadi tidak melakukan kontrol sosial secara
kritis, tegas, dan berani.

8. Kebebasan pers di Era Reformasi


Sejak reformasi, pers nasional kembali bebas. Pemerintah
mempermudah izin penerbitan pers, sehingga di awal masa
reformasi banyak bermunculan penerbitan pers baru.
Pemerintah pun mengeluarkan UU No 39 Tahun 1999 tentang
HAM dan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur
kebebasan mengemukakan pendapat dan kemerdekaan pers. Itu
sebabnya tidak disinggung perlunya surat izin terbit. Pers nasional
tidak lagi dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan
penyiaran.
Selain itu, wartawan memiliki hak tolak, yaitu hak melindungi
sumber informasi dengan menolak menyebutkan identitas sumber
informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai
keterangan oleh pejabat penyidik dan atau dimintai menjadi saksi di
pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan
keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh
pengadilan.
Sesuai UU No 40 tahun 1999, peranan pers nasional adalah
sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan
mendapatkan informasi.
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum dan HAM, serta menghormati
kebhinnekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi
yang tepat, akurat, dan benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

You might also like