You are on page 1of 4

Nilai Indosat bagi Bangsa dan Negara Indonesia

SP:07-01-03
Oleh H. Priyatna Abdurrasyid
emahami nilai Indosat bagi kepentingan, kemajuan, kesatuan dan masa depan bangsa-negara Indonesia
(nasional-internasional) perlu didalami latar belakang dan riwayat terbentuknya kemampuan nasional
Indonesia di bidang persatelitan yang mengalir ke bidang telekomunikasi, siaran langsung (DBS, tv,
radio, dll), penginderaan jauh (remote sensing), komputer (internet, e-commerce, dll).
Pertama, pemahaman dari segi geografis (lingkup geografis). Negara Indonesia diklasifikasikan oleh
masyarakat ruang angkasa internasional sebagai suatu Space Power State (seperti USA, Rusia, Cina,
Jepang, Prancis, Jerman, India dan Inggris). Bahkan dapat dikatakan berada dalam urutan ketiga
setelah USA dan Rusia.
Penilaian ini dikarenakan Indonesia masuk dalam kelompok negara yang memenuhi persyaratan
bentuk dan luas wilayah (sama dengan se-Eropa, Rusia dan USA) suatu negara Nusantara
(Archipelagic State), memiliki kekayaan bumi dan alam yang melimpah, keadaan cuaca positif
sepanjang masa, kecerdasan dan jumlah penduduk (200 juta lebih dan merupakan pasar yang
berpotensi bagi produk-produk dunia), berpotensi untuk pasaran telekomunikasi, memiliki laut
pedalaman (negara Indonesia terdiri 2/3 dari laut) yang luas dengan hasil laut yang tidak terbatas,
memiliki ahli-ahli hukum ruang angkasa peringkat internasional dan mampu berperan di forum Hukum
Ruang Angkasa Internasional.
Berikutnya, negara Indonesia dipotong garis khatulistiwa sehingga berada di bawah lingkar orbit
geostasioner (geo stationary orbit - GSO), yang dinyatakan oleh Hukum Internasional - Hukum Ruang
Angkasa (Space Law) sebagai milik bersama kemanusiaan (Common Heritage of Mankind), karena
letaknya di luar wilayah kedaulatan negara di ruang udara - seperti laut bebas). GSO sebagai sumber
alam terbatas merupakan suatu orbit di atas khatulistiwa, terletak pada jarak ketinggian kurang lebih
360.000 km dari permukaan bumi dan merupakan tempat (slot) yang efisien, stationer dan ekonomis
untuk meletakkan satelit telekomunikasi (GSO lebih fleksibel dari kabel fiber optic laut; dan mampu
mencakup wilayah luas; sedang sistem telkom melalui terrestrial-permukaan bumi rawan pengaruh
lingkungan bumi, gempa bumi, badai listrik, tanah longsor, letusan gunung berapi, ombak laut, banjir,
sabotase, dan lain-lain). Sedangkan GSO bebas dari pengaruh-pengaruh negatif tersebut.
Pengatur Navigasi
Di samping itu merupakan tempat yang tepat menempatkan satelit pengatur navigasi penerbangan dan
pelayaran komersial dan dapat diarahkan mengganti Flight Information Region (FIR) yang sampai hari
ini masih dalam ketergantungan mutlak Indonesia dari Singapura (dan merupakan duri bagi sistem
navigasi penerbangan komersial - militer Indonesia).
Selanjutnya tempat yang efisien untuk operasi satelit relay, pangkalan militer, tenaga matahari, satelit
mata-mata, cermin-cermin raksasa pemantul tenaga matahari dan pada suatu saat di kemudian hari
sebagai tempat untuk space heavy platform di mana dapat ditempatkan switchboard telekomunikasi.
Perlu pula dicatat bahwa INTELSAT (suatu organisasi telkom komersial internasional/dunia cukup
menempatkan hanya 3 satelit saja di GSO lingkar bumi dan menghasilkan telekomunikasi internasional
yang meliput seluruh dunia).
Jadi bagaimana pentingnya slot sebagai titik pangkal frekuensi di mana satelit Indosat mempunyai
kedudukan di GSO di atas Indonesia dan mempunyai nilai segi ekonomi, budaya, strategi, keamanan,
pertahanan, pendidikan dan masa depan pembangunan bangsa negara Indonesia. Frekuensi memiliki
ciri-ciri sebagai sumber alam terbatas, tidak dapat diproduksi oleh manusia, tidak dapat
dipakai/dimanfaatkan tanpa koordinasi dengan masyarakat internasional yang masing-masing tentunya
memiliki kepentingan sendiri, tidak aus/habis dipakai oleh pemiliknya, tidak mengenal batas
perambatan (misalnya di Indonesia masih ada kurang lebih 64.000 desa yang sulit dihubungi kecuali
melalui frekuensi satelit/radio seperti oleh Indosat milik Indonesia).
Kedua, dari segi temporal (sejarah). Seorang putra Indonesia pada tahun 1973 melihat bahwa GSO ini
memiliki potensi bagi kepentingan nasional Indonesia dan masyarakat internasional. Pada tahun 1974,
untuk pertama kalinya dalam sejarah hubungan internasional, masalah GSO ini diusulkannya agar
dicantumkan sebagai salah satu agenda Kongres Internasional IAF (International Astronautical
Federation), IAA (International Academy of Astronautics) dan IISL (International Institute of Space
Law) di Amsterdam - Belanda.
Usulan tersebut ternyata mendapat tantangan keras dari hampir 99% pakar yang hadir dari berbagai
penjuru dunia. Tantangan mereka merupakan usaha proteksi kepentingan negara-negara teknologi
maju karena pada kenyataannya selama ini GSO hanya mampu dimanfaatkan oleh negara-negara
teknologi maju karena pada kenyataannya selama ini GSO hanya mampu dimanfaatkan oleh negara-
negara teknologi maju, seperti USA, Jepang, Prancis, Inggris dan lain-lain melalui prinsip first come,
first served, yakni yang dapat, mampu dan paling dulu.
Prinsip ini mereka (negara teknologi maju) kembangkan berlandaskan Pasal 33 ITU Convention 1973
yang berkata antara lain "... the geostationary satellite orbit are limited natural resources ... efficiently
and economically ... equitable access ... according to their need and the technical facilities at their
disposal." Pasal 33 inilah yang selalu dijadikan justifikasi negara-negara teknologi maju untuk
mendalihkan bahwa kalau tidak mampu dan tidak punya fasilitas jangan coba-coba menyentuh GSO.
Sedangkan Indonesia sebagai negara equatorial jelas dipotong oleh garis orbit GSO yang terpanjang di
dunia, yakni 12,8% dari lingkar orbit (dengan panjang kurang lebih 33.000 km).
Misalnya beberapa satelit Indonesia telah berhasil memperoleh frekuensi 6/4 GHz (rendah) sampai 8/7
GHz (sedang). Frekuensi sulit adalah 80/70 GHz (tinggi) dan sampai hari ini tidak satu negara pun
mampu memanfaatkannya.
Patut diketahui, bahwa secara teknis, GSO hanya mampu ditempati secara efisien/ekonomis oleh 180
buah satelit saja dengan jarak masing-masing 2 derajat. Sejak 1974 Indonesia aktif di berbagai forum
telekomunikasi internasional (walaupun harus menelan cemoohan dan kritik internasional, bahkan di
forum nasional sendiri), dan berusaha menghimpun serta meyakinkan negara-negara berkembang
lainnya tentang arti/manfaat GSO bagi kepentingan dan pembangunan bangsa masing-masing.
Manfaat
Perjuangan Indonesia lakukan bukan saja secara langsung menghubungi dan menyadarkan negara-
negara (terutama berkembang) tentang arti/manfaat GSO - frequency, tetapi juga agar isu tersebut
dapat dimasukkan di dalam agenda pertemuan internasional, seperti di PBB (United Nations
Committee on the Peaceful Uses of Outer-Space - UNCOPUOS), ITU (International
Telecommunication Union); IAF; IAA, IISL, dan lembaga-lembaga Internasional lainnya. Juga
melalui "Organization of Equatorial Countries" yang bermarkas di Bogota, Colombia.
Banyak negara yang didatangi dan kemudian turut aktif berdialog melalui WARC (World
Administrative Radio Conference) di Venetia, Paris, Geneva, Vienna, Terra-molinos, Nairobi,
Annheim, Washington DC, Bengalore, Beijing, Tokyo, Quito, Bogota, Rio de Janeiro dan lain-lain.
Akhirnya, Pasal 33 Konvensi ITU di pertemuan UNISPACE II 1982 Vienna, dan di pertemuan ITU
Nairobi dicabut dan diubah menjadi antara lain " ... as well as the special geographical situation of
particular countries" (di mana Indonesia merupakan salah satu dari 8 negara-negara khatulistiwa yang
tercakup oleh batasan special geographical situation of particular countries).
Kemudian pada sidang-sidang berikutnya di PBB dan ITU diperoleh kesepakatan internasional, bahwa
mampu tidak mampu, perlu tidak perlu, setiap negara dijatahkan hak 1 slot (dengan frekuensi tertentu).
Ternyata frekuensi yang mudah, efisien (6/4 GHz dan 8/7 GHz) telah habis terbagi (Indonesia masih
beruntung, misalnya satelit PALAPA A, B, C, sejak tahun 1975 telah terlebih dulu memperolehnya).
Yang dijatahkan secara rata ternyata hanya frekuensi 80/70 GHz ke atas, yang merupakan frekuensi
sulit dan penuh komplikasi serta menghendaki teknologi tinggi yang mungkin baru dapat dikuasai 50
tahun yang akan datang. Dapat dibayangkan bagaimana panjangnya waktu perjuangan internasional
Indonesia (lebih dari 20 tahun) dan sulitnya bagi Indonesia untuk memperoleh kesempatan
mengoperasikan Indosat kemudian.
Sampai hari ini perjuangan Indonesia di forum internasional masih belum selesai, yakni mengusahakan
antara lain agar GSO ditetapkan oleh Hukum Internasional/Hukum Ruang Angkasa (Space Law)
sebagai sui generis regime artinya diatur secara khusus (seperti halnya ZEE di laut) dan
mengembangkan suatu bentuk preservation right bagi negara yang dipotong oleh GSO. Beberapa
negara Asia (seperti Cina, Singapura, Malaysia, Filipina baru jauh kemudian turut mempersoalkannya
setelah perjuangan Indonesia berhasil meniadakan prinsip-prinsip first comes, first served tadi). Jelas di
sini bahwa masalah penyelesaian GSO/frekuensi menyangkut kelangsungan hak hidup dan
keselamatan bangsa dan negara karena isu pokok adalah menyelesaikan pertentangan antara negara
maju-berkembang dalam usaha mengatur hak dan akses terhadap ruang udara (nasional) dan
eksploitasi dan eksploitasi ruang angkasa (yang menurut hukum merupakan ruang bebas).
Maksimal
Kemampuan di bidang ilmu-teknologi-hukum di ruang angkasa ternyata kini telah tampak dan
dimanfaatkan secara maksimal dan monopolistis oleh negara-negara teknologi-ekonomi maju (ingat:
Perang Teluk dan kini dominasi USA terhadap dunia melalui kesenjangan ruang angkasa). Dan bagi
Indonesia manfaat yang diberikan oleh Indosat sungguh tidak ternilai.
Ketiga, dari segi personal (manusia). Akses mutlak nasional kepada suatu sistem satelit seperti Indosat
akan mampu meningkatkan SDM melalui pendidikan pembangunan bangsa karena kebutuhan akan
tenaga ahli dan terlatih tentunya lebih baik diisi oleh putra-putri Indonesia sendiri. Sebagai contoh,
telah diutarakan dari data Bappenas bahwa sampai hari ini masih ada kurang lebih 64.000 desa di
Indonesia, tersebar di berbagai pulau terpencil, yang tidak memiliki komunikasi langsung, kecuali
melalui satelit (suatu ironi bahwa ada satu wilayah di Pulau Jawa yang masih menggunakan
penerangan lilin dan ada penduduknya yang tidak mengenal televisi). Alangkah lama dan mahalnya
membangun hubungan melalui darat-laut; hanya satelitlah (seperti Indosat) yang mampu melalui
telekomunikasi, tv, siaran langsung (DBS), dan lain-lain. Belum lagi kegunaan satelit bagi observasi
hutan, banjir, gangguan hama pertanian, keamanan di laut-darat, pencurian ikan di laut, dan lain-lain.
Perlu dicatat pula, ternyata secara teknis dan efisien satelit yang memiliki kualifikasi teknologi
mutakhir adalah buatan USA yang melalui undang-undang nasionalnya dinyatakan sebagai classified-
strategic-restricted-product yang tidak begitu saja dapat diekspor ke luar USA kecuali dengan seizin
Congress USA. Dalam situasi sekarang, apakah USA (andaikata kita mampu membeli pun) akan
mengizinkan dibeli oleh Indonesia. Lalu bagaimana dengan frekuensi yang sudah terbagi habis? Kita
sudah kehilangan begitu banyak akses kepada slot-slot (ingat kasus Tonga lawan Indonesia), karena di
atas Indonesia di GSO telah bertengger kurang lebih 30 satelit berbagai negara, sehingga saturisasi
akan tidak terelakkan kalau jumlah satelit yang dioperasikan tidak diatur frekuensinya secara efisien
dan hukum. Bagaimana mengatur bisnis masa datang seperti e-commerce, internet, web site/cyber?
Belum lagi usaha Indonesia puluhan tahun memperjuangkan kepemilikan mutlak terhadap
slot/frekuensi di GSO dengan hasil yang diakui dunia. Bagaimana pentingnya suatu sistem
telekomunikasi bagi suatu negara dapat diambil contoh sebagai berikut: sewaktu Perang Dunia II pada
tahun 1944 pasukan Sekutu secara gencar memperjuangkan mengakhiri peperangan. Untuk itu pihak
Sekutu mempersiapkan pendaratan besar-besaran di pantai barat utara Prancis. Sebagai salah satu
tindakan persiapan operasional, pihak Sekutu berusaha meniadakan/menghancurkan hubungan
komando antara Panglima tentara Jerman von Rundstedt dengan Panglima pertahanan pantai barat
Prancis Rommel. Untuk itu pihak Sekutu menerjunkan pasukan sabotase dengan dibantu oleh
kelompok partisan Prancis ke pusat telekomunikasi Jerman di Sainte-Cecile-Prancis. Operasi tersebut
ternyata gagal total dan memakan korban pasukan yang besar di pihak pasukan sabotase Sekutu.
Terjadilah apa yang disebut the battle of the Bulge. Selanjutnya penulis teringat akan dalil seorang ahli
strategi militer dan seorang ahli strategi ruang angkasa.
McKinder:
Who rules East Europe, Commands the Heartland Who Rules the Heartland, Commands the World-
Islands Who Rules the World-Islands, Commands the World.
Gorove:
"Who controls the Cosmic Space rules not only the earth, but the whole Universe."
Dalam hal ini penulis dapat juga mengetengahkan:
Who controls Indosat, controls not only Indonesia but the whole South East Asia.
Penulis adalah Honorary Director, International Institute of Space Law; Member, International
Academy of Astronautics; Member, International Astronautical Federation, Paris.

http://els.bappenas.go.id/upload/other/Nilai%20Indosat%20bagi%20Bangsa%20dan
%20Negara%20Indonesia.htm

You might also like