Professional Documents
Culture Documents
Prinsip Hidup
Gerakan shalat yang senantiasa berubah, mulai berdiri,
rukuk, iktidal, sujud dan seterusnya, mengajarkan bagaimana
kita harus memahami dan menjalani kehidupan. Posisi qiyam
(berdiri), rukuk, iktidal, sujud, duduk dan seterusnya
mengajarkan kepada kita bahwa hidup tidak pernah langgeng
tetapi selalu mengalami perubahan dan pergantian. Yang
awalnya qiyam, muda dan jaya, tidak akan terus selalu demikian;
suatu ketika akan ada masanya tua dan mundur, masa rukuk.
Lebih dari itu, bahkan akan ada waktunya sujud, masa pensiun,
masa kehinaan dan masa dilupakan.
Karena itu, ketika qiyam (muda dan jaya) seseorang
hendaknya tidak terus menuruti lamunan otaknya tetapi harus
khusyuk kepada Allah. Tetap ingat bahwa ia dan segala gerak-
geriknya selalu diawasi dan akan dimintai pertanggung jawaban
oleh Tuhan, sehingga tidak berbuat sewenang-wenang menuruti
nafsu rendahnya. Apalagi pada masa-masa sujud yang
merupakan masa terdekat dengan kematian. Jika sejak qiyam
seseorang hanya mengikuti lamunannya, bahkan sampai --
menjelang-- salam tidak segera kembali kepada Tuhan, tidak
kembali kepada ajaran agama dan kebenaran, maka shalatnya
akan sia-sia, hanya merupakan bayang-bayang belaka. Hidupnya
tidak punya makna, tidak membawa pengaruh yang berarti
sehingga akan segera dilupakan.
Di sisi lain, shalat merupakan rangkaian dari gerakan-
gerakan yang beragam dan berbeda, rukuk, sujud, iktidal, duduk
dan lainnya. Hanya shalat mayat yang dilakukan secara berdiri.
Ini menunjukkan bahwa umat Islam tidak boleh diam atau statis.
Sebaliknya, masyarakat Islam harus selalu melakukan gerakan,
perubahan dan pembaharuan. Sikap statis berarti hanya
kematian. Tidak adanya kemauan bergerak, berubah dan
membaharui diri berarti menghadapkan diri kepada kematian,
kehancuran dan keterbelakangan.
Namun demikian, kedinamisan dan perubahan tersebut
tidak cukup hanya dari segi lahir, formal atau kuantitas tetapi
harus juga dibarengi dengan perubahan dan peningkatan
kualitas dan ketaqwaan. Sebab, shalat tidak hanya gerakan-
gerakan lahir tetapi juga gerakan batin. Kedua aspek ini harus
berjalan seiring dan seimbang. Saat ini, kita patut bangga dsan
bersyukur bahwa secara formal dan kuantitas, masyarakat Islam
menunjukkan kearah perubahan yang positif. Kegairahan untuk
kembali kepada ajaran agama semakin meningkat. Pengajian-
pengajian keagamaan mulai dari tingkat RT sampai pejabat tinggi
semakin marak dan digalakan. Begitu juga tentang pelaksanaan
haji. Hampir sulit ditemui seorang pejabat muslim yang belum
melakukan haji. Para artispun bahkan ramai-ramai menunaikan
haji.
Akan tetapi, perubahan-perubahan lahir seperti itu tidak
cukup. Gerakan dan pembaruan yang hanya bersifat formal-
kuantitas tanpa perbaikan kualitas dan ketaqwaan sama artinya
dengan mengerjakan shalat tanpa kekhusyukan hati. Begitu pula
sebaliknya. Melulu mengejar ibadah dan keimanan tanpa
kepedulian sosial sama artinya melakukan shalat hanya dengan
hati tanpa rukuk dan sujud. Karena itu, menghadapi masalah-
masalah yang muncul saat ini, umat Islam tidak cukup hanya
melakukan istighazah, tahlil, wirid atau kegiatan-kegiatan ritual.
Sebaliknya, juga tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan akal
dan organisasi, tanpa dukungan batin. Keduanya mesti saling
mengisi dan menunjang.
Selain itu, adanya keberagaman gerakan dalam shalat juga
menunjukkan bahwa untuk mencapai hasil akhir, kejayaan dan
ridla Tuhan, mesti ada kesepahaman dan saling keterikatan dari
berbagai masyarakat Islam yang beragam. Tidak harus ada
dalam satu ikatan atau organisasi yang sama, karena hal itu
tidak mungkin. Sebaliknya, perbedaan budaya, suku, bahasa
atau yang lain, perbedaan organisasi dan pandangan adalah
suatu niscaya. Yang penting ada saling pengertian dan ikatan
diantara mereka.
Pengertian shalat dengan keterpaduan gerakan lahir dan
batin seperti ini harus dihayati dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari muslim. Tidak hanya ketika mengerjakan shalat
secara formal, ketika melakukan ibadah yang diawali takbir dan
diakhiri salam. Karena itulah, dalam perintah shalat Allah tidak
menyatakan dengan lafat if`al al-shalat (kerjakan shalat), tetapi
aqim al-shalat (tegakkan shalat). Lafat if`al cenderung hanya
penegakan perintah pada kondisi tertentu dan formal sedang
aqim mengandung tuntutan untuk dihayati dan diterapkan dalam
seluruh tata kehidupan. Maksudnya, diluar pelaksanaan shalat
yang formal, batin seseorang mesti juga tetap dalam kondisi
shalat, merasa berhadapan dan diperhatikan Tuhan, sehingga
tidak mungkin baginya untuk melakukan kejahatan, korupsi,
kolosi, penipuan atau yang lain. Inilah makna firman Tuhan
bahwa shalat akan mencegah manusia dari perbuatan jahat dan
keji.
Memilih Pemimpin.
Pelaksanaan shalat secara berjamaah juga mengajarkan
bagaimana seseorang harus hidup bermasyarakat, terutama
dalam hal kepemimpinan. Ada beberapa hal yang bisa kita ambil
pelajaran.
Pertama, dalam jamaah, seorang imam harus diambilkan
dari mereka yang paling alim, paling senior dalam keimuan. Ini
menunjukkan bahwa dalam bermasyarakat, seorang pemimpin
hendaknya diambil dan dipilih dari mereka yang paling alim,
wibawa dan dianggap paling mampu. Titik tekannya adalah
senioritas dalam hal pengetahuan, kemampuan dan
kepemimpinan, bukan yang lain. Ini sangat berbeda dengan
pengangkatan pemimpin modern yang lebih didasarkan pada
suara mayoritas dan popularitas. Model pengangkatan pemimpin
seperti ini memungkinkan orang yang sebenarnya tidak punya
kemampuan dan bahkan mungkin tidak mempunyai track record
moral yang baik, pernah dijatuhi hukuman pidana karena korupsi,
misalnya, dapat terpilih sebagai pemimpin atau presiden karena
lebih dikenal dan populer di masyarakat.
Kedua, seorang imam adalah tetap manusia biasa yang
bisa berbuat salah dan keliru. Karena itu, bila imam keliru, ia
harus mau menyadari dan segera kembali pada yang benar
ketika diingatkan. Ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin
tidak selalu benar. Ia dapat terjerumus dalam tindakan yang
salah dan keliru. Karena itu, seorang pemimpin harus mau
menerima kritik dan menyadari kesalahannya. Pemimpin yang
sewenang-wenang dan tidak mau menerima kritik berarti telah
melupakan dan tidak memahami akan hakekat kemanusiannya.
Secara tidak langsung, ia bahkan telah mengangkat dirinya
sebagai ‘tuhan’ yang punya kuasa dan tidak pernah salah.
Ketiga, imam adalah bagian dari makmum dan harus orang
yang dicintai mereka, minimal dapat diterima mereka. Adalah
makruh hukumnya menurut Imam Syafii --bahkan bisa batal
jamaahnya— jika imamnya adalah orang yang tidak disukai oleh
makmumnya. Ini mengajarkan bahwa antara pemimpin dan
rakyat harus ada ikatan batin yang kuat, karena keduanya adalah
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tidak dikatakan pemimpin
jika tidak punya rakyat, juga tidak akan dinamai masyarakat --
atau organisasi-- bila tidak punya pemimpin. Karena itu,
pemimpin harus berakar dan diakui oleh rakyat. Pemimpin yang
tidak berasal dan tidak diakui rakyatnya berarti batal
kepemimpinanya. Ia tidak akan digubris dan tidak akan mampu
membawa masyarakatnya kepada cita-cita yang diinginkan.
Keempat, jika imam batal, ia harus segera mundur untuk
digantikan orang lain walau pelaksanaan shalat belum selesai. Ini
mengajarkan bahwa jika seorang pemimpin uzur dan tidak bisa
menjalankan tugasnya secara baik, ia harus mengundurkan diri
walau masa jabatannya belum habis. Tidak bisa dipaksakan,
sebab hal itu justru hanya akan menyebabkan kekacauan dan
gejolak.
Walhasil, shalat sangat erat hubungannya dengan tata
kehidupan kita. Shalat mengajarkan hidup dinamis dan
demokratis. Dalam kaitannya dengan proses pemilihan wali kota
saat ini, shalat mengajarkan bagaimana kita menjadi seorang
pemimpin dan bagaimana kita harus memilih pemimpin yang
baik. Wallahu a’lam.
http://khudorisoleh.blogspot.com
----------