You are on page 1of 3

PERGESERAN PARADIGMA DALAM PENAFSIRAN KONSTITUSI:

MENATA KEMBALI BENTUK PENALARAN HUKUM DAN KONSTITUSI

Bryan Horrigan

Pendahuluan

Dunia penalaran konstitusi di Australia saat ini tengah berdiri di


persimpangan jalan. Di akhir abad ke-19, di wilayah Anglo-Australia,
berkembang perdebatan tentang supremasi parlemen dan teori deklaratif
undang-undang (declaratory theory of law). Teori deklaratif undang-
undang itu sendiri lahir pada awal abad ke-20 yang ditandai dengan
adanya tren positif menuju pada formalism. Sebaliknya, di akhir abad ke-
20 mulai terjadi penyesuaian dan tren yang lebih modern menuju pada
anti-formalisme. Gagasan anti-formalisme ini semakin matang di tengah-
tengah ketidakmatangan berbagai mitos, yang antara lain mengatakan:
“hakim tidak boleh menciptakan hukum”, “hukum itu merupakan suatu
sistem aturan yang tertutup yang selalu dapat memberikan jawaban”,
“penafsiran konstitusi merupakan kegiatan yang bebas nilai”, “legalisme
kaku (strict legalism) merupakan sebuah konsep satu dimensi”, dan
“Konstitusi Australia memiliki satu arti yang telah terbukti kebenarannya”.
Dengan adanya penyesuaian dan tren ke arah anti-formalisme
sebagaimana tersebut di atas, maka prinsip-prinsip pemandu bagi
penalaran konstitusi pun harus mengalami perubahan atau pergeseran.

Telah dipahami bahwa terdapat banyak aliran penalaran hukum yang


saling bertarung di arena hukum konstitusi. Oleh karenanya, dalam tulisan
ini, pendekatan kontemporer dalam penafsiran konstitusi akan
ditempatkan dalam lingkup perdebatan yang lebih luas, yaitu perdebatan
mengenai penalaran hukum. Hal ini disebabkan karena diyakini bahwa
beberapa aspek dari penafsiran konstitusi itu memang tidak dapat
dipecahkan tanpa melalui analisis yang mendalam.

Pokok bahasan mendasar dari Bab ini adalah tentang hubungan antara
penafsiran konstitusi dan penalaran hukum. Fokus bahasan tersebut
memiliki beberapa implikasi. Pertama, masalah penafsiran konstitusi
ditempatkan dalam konteks perdebatan yang lebih luas, yaitu dalam
konteks kemampuan hukum untuk bersikap objektif serta arti penting
konteks dan penafsiran dalam penalaran hukum. Kedua, penafsiran
konstitusi ditempatkan dalam konteks perdebatan tentang sifat konsklusif
dan rasional yang dimiliki oleh seluruh dokumen hukum. Mereka yang ikut
serta dalam perdebatan ini dihadapkan pada pertanyaan: apakah satu
pandangan tunggal tentang konstitusi, satu pendekatan tunggal dalam
penafsiran konstitusi dan satu jawaban tunggal untuk seluruh
permasalahan konstitusional memiliki kebenaran yang mutlak dikaitkan
dengan rasaionalitas hukum. Ketiga, penafsiran konstitusi ditempatkan
dalam konteks perdebatan yang lebih luas, yaitu tentang formalisme dan
anti-formalisme dalam hukum, yang kemudian menentukan faktor-faktor
yang mempengaruhi putusan hakim, argumentasi-argumentasi hukum
yang tersedia bagi hakim dan proses-proses penalaran hukum yang
terkait di dalamnya. Terakhir, penafsiran konstitusi ditempatkan dalam
konteks perdebatan kontemporer tentang masalah-masalah
ketatanegaraan (misalnya, tentang demokrasi perwakilan) dan
perlindungan HAM (misalnya, hak-hak yang dijamin oleh konstitusi).

Keempat implikasi tersebut di atas saling bersentuhan antara satu dengan


lainnya. Penafsiran konstitusi dikatakan bukan merupakan produk dari
penalaran hukum yang bersifat silogistik semata-mata jika hal-hal berikut
terpenuhi: pertama, ada kepedulian terhadap obyektivitas hukum dan
komponen-komponen kelembagaannya; pilihan-pilihan keputusan bagi
hakim

You might also like