Professional Documents
Culture Documents
Sebagian besar PTN di Indonesia masih berstatus UPT dari Pemerintah dalam
hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Pengertian UPT menurut
organisasi yang yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional
operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang dari organisasi induknya yang pada
prinsipnya tidak bersifat pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusan
Dari ketentuan Kepmenpan tersebut jelas PTN sebagai UPT dari Pemerintah
tunduk pada semua kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi induknya, dalam hal ini
Ditjen Dikti. Menurut Pasal 1 angka 9 PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan
pimpinan lembaga Pemerintah lain bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
33
Pemerintah. Bahkan pada Pasal 39 PP 60 Tahun 1999 tersebut diatur bahwa Rektor
oleh Presiden atas usul Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain
Kedudukan PTN yang murni sebagai UPT dari Ditjen Dikti sangat jauh dari
semangat otonomi yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas. Sulit bagi PTN yang
berstatus UPT dari Ditjen Dikti untuk berkembang menjadi world class university
yang dapat masuk dalam jajaran universitas terkemuka dunia. Karena untuk dapat
mencapai hal itu diperlukan kemandirian, otonomi dan dana yang besar. Jika PTN
dalam melakukan apa saja harus atas ’ijin’ dari organisasi induknya dalam hal ini
Ditjen Dikti, tentu sulit bagi PTN untuk mengembangkan diri untuk mewujudkan
tujuan tersebut. Sebagai UPT dari Ditjen Dikti, PTN terkungkung dengan model kerja
birokrasi, di mana dalam memenuhi kebutuhannya mulai dari yang paling sederhana
seperti kertas yang menentukan harus Bappenas, sehingga kalau mendadak kebutuhan
ketat ditentukan oleh pemerintah, demikian juga segala penerimaan PTN adalah
termasuk ke dalam PNBP. Dirjen Dikti, Fasli Jalal mempertegas bahwa aturan uang
pendaftaran untuk seleksi masuk calon mahasiswa PTN (kecuali yang berstatus
65
Amri Rasyidin, Aspek Pengelolaan Keuangan Pada Perguruan Tinggi Negeri yang
berstatus Badan hukum Pendidikan (BHP), Blog, 13 April 2009, 09:01, hal. 1.
BHMN) wajib masuk ke kas negara, karena bagian dari PNBP. Untuk
Demikian halnya dengan dosen yang ada di PTN adalah PNS dan mendapat
gaji sebagaimana halnya dengan PNS lainnya di Indonesia, yang sudah menjadi hal
umum diketahui, jauh dari memadai. Karena itu banyak dijumpai dosen yang
mengajar di berbagai tempat, jadi konsultan di berbagai lembaga, dan kegiatan ekstra
lainnya untuk menambah penghasilan. Keadaan ini juga menjadi salah satu kendala
bagi tujuan mewujudkan world class university. Padahal di era globalisasi di mana
persaingan semakin tajam perlu meningkatkan daya saing nasional, dan untuk itu
Saat ini sebagian besar PTN yang ada di Indonesia masih berstatus UPT
pemerintah. Dengan lahirnya UU BHP, PTN yang berstatus UPT diberi waktu paling
Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum menjadi tonggak baru dalam sejarah otonomi
kampus. Sebagai langkah awal, pada tahun 2000 pemerintah menetapkan status
BHMN pada 4 PTN yang dipandang siap, yaitu Universitas Indonesia dengan PP
66
jangan-rugikan-calon-mahasiswa, http://www.blogger.com./feeds/, diakses tanggal 20
Agustus 2009, hal. 1.
Nomor 152 Tahun 2000, Universitas Gajah Mada dengan PP Nomor 153 Tahun
2000, Institut Pertanian Bogor dengan PP Nomor 154 Tahun 2000, Institut Teknologi
Bandung dengan PP Nomor 155 Tahun 2000. Beberapa tahun kemudian menyusul
2004 berubah statusnya menjadi BHMN dan terakhir dengan PP Nomor 30 Tahun
tersebut ditunjukkan melalui evaluasi diri yang menyeluruh baik dalam aspek
keuangan. Namun, pemberian otonomi tidak berarti pemerintah melepaskan diri dari
secara selektif kepada PTN yang dinilai sudah memiliki kemampuan pengelolaan
yang mencukupi untuk dapat memiliki kemandirian, otonomi dan tanggung jawab
yang lebih besar untuk diubah status hukumnya menjadi BHMN yang dapat berperan
sebagai kekuatan moral dalam proses pembangunan masyarakat madani yang lebih
demokratis dan mampu bersaing secara global. PTN berstatus BHMN tetap menjadi
aset negara yang berharga untuk memperbaiki citra bangsa. Melalui model BHMN,
pimpinan PTN BHMN menyadari bahwa perubahan dari pola manajemen sentralistis
menjadi universitas BHMN bisa menimbulkan persoalan besar terutama dalam hal
keterbatasan sumber dana, sumber daya manusia potensial yang belum ditangani
keuangan PTN. Sudah merupakan hal yang umum diketahui bahwa selama ini PTN
jumlahnya yang selalu dikeluhkan oleh para rektor sebagai ’jauh dari memadai’,
maupun dari sudut sumber dan pengelolaan keuangannya. PP Nomor 61 Tahun 1999
ini dianggap oleh beberapa PTN dapat menjadi ’secercah harapan’ di tengah
PTN dalam perjalanannya menjadi BHMN terutama dari pihak yang tidak
setuju atas perubahan status PTN menjadi BHMN. BHMN dianggap sebagian besar
menyiasati otonominya dengan membuka jalur khusus bagi mahasiswa yang secara
67
BHMN-merupakan-model-manajemen-PTN, http://www.kompas.org, diakses tanggal 30
Agustus 2009.
finansial mampu sehingga hal ini dianggap diskriminatif serta mengurangi jatah
fenomena perguruan tinggi, yang merupakan fenomena layanan publik yang bersifat
tidak mencari keuntungan atau nirlaba. Menurut beliau, privatisasi dalam literatur
kepada swasta yang dilakukan dengan berbagai cara, antara lain penjualan seluruh
swasta. Padahal dalam perubahan PTN menjadi BHMN tidak ada transfer
kepemilikan. Semua lembaga negara yang berstatus BHMN adalah tetap milik negara
dan menerima alokasi anggaran dari APBN. Jadi kepemilikan BHMN tidak berubah.
Seluruh harta kekayaan pemerintah yang ada di PTN, baik tanah, gedung, peralatan,
Lebih lanjut Sofian Effendi mengatakan bahwa PTN menjadi BHMN tidak
sama sekali mengubah pengelola pendidikan tinggi milik negara tersebut menjadi
68
paradigma-salah-bhmn.pdf/http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel, diakses tanggal 2 september
2009, hal. 4.
economic entity seperti dugaan orang banyak. Juga tidak ada perubahan kepemilikan.
Jadi konsep privatisasi sangat tidak tepat untuk menggambarkan perubahan bentuk
perubahan organisasi. 69
Ada hal yang perlu dikritisi dari pendapat Sofian Effendi di atas, yaitu bahwa
kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara (kecuali tanah) yang
dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, BUMD atau badan hukum lainnya
yang dimiliki negara atau daerah di mana penyertaan modal negara adalah sebagai
negara yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk
diperhitungkan sebagai saham negara pada BUMN, BUMD atau badan hukum
PTN berstatus BHMN saat ini dalam suasana dilematis, di mana kebijakan
memadai. Dasar penetapan PTN menjadi BHMN adalah Peraturan Pemerintah yang
Masalah yang paling krusial dan senantiasa menjadi perdebatan sengit antara pihak
Menkeu Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat di DPR Senin (26/3/06)
menyebutkan sejumlah PTN yang mengelola PNBP dinilai melanggar tiga undang-
69
Ibid.
undang karena tidak menyetorkan dana PNBP ke kas negara, yaitu bertentangan
Sumber Daya lTB, Carmadi Mahbub71 mengatakan, pada dasarnya PTN bukan
dengan sengaja melakukan tindakan yang melanggar UU. Namun, PP yang mengatur
pembentukan PTN menjadi BHMN-lah yang tidak sesuai UU. Yang terjadi saat ini
PP yang mengubah status PTN meniadi BHMN bertentangan dengan UU. Sehingga
pendapatan dari masyarakat yang diperoleh PTN yang telah berubah status menjadi
BHMN, tak termasuk PNBP. Karena itu, BHMN tidak berkewajiban menyetorkan
pimpinan PTN BHMN jelas dasarnya, yakni PP yang menetapkan PTN sebagai
BHMN. Untuk menyelesaikan masalah ini menurutnya hanya satu, yakni pemerintah
70
Langgar 3 UU, BHMN Membingungkan, http://www.suarapembaruan/news/2007/03/29.
71
Ibid., hal 5.
72
Ibid.
Terkait dengan hal tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada saat itu,
Rektor Universitas Indonesia (UI) pada saat itu, Usman Chatib Warsa
pencairan PNBP ke Kas Negara dinilai banyak PTN sangat lamban. Sedangkan
menanggapi pendapat agar PTN jadi BLU beliau berpendapat bahwa jika PTN
berstatus BLU maka badannya akan tetap di bawah Depdiknas. Padahal, yang
diinginkan adalah kemandirian dengan otonomi perguruan tinggi. Jadi menurut beliau
badannya yang yang tepat BHP, karena dalam RUU BHP lebih jelas konsep BHMN
73
Kelola- uang- di- universitas- idealnya -blu /http://www.anggaran.depkeu.go.id/2009a/web-
konten-list.asp?id=110.
di mana perguruan tinggi mandiri dan memiliki otonomi secara akuntabel dan
datang dari Prof. Arifin P. Soeria Atmadja. Beliau berpendapat bahwa penetapan
yuridis formal. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata yang
menentukan Badan Hukum dapat didirikan atau diakui oleh Pemerintah. Tidak ada
suatu ketentuan hukum positip yang mengharuskan pendirian suatu badan hukum
penetapan status PTN sebagai BHMN dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu:
74
http://www.suarapembaruan/news/2007/03/29, loc.cit.
75
Arifin P. Soeria Atmaja, op.cit., hal. 131.
b. Meskipun tidak ada suatu ketentuan yang pasti bahwa setiap pemisahan
kekayaan negara harus dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, namun
Peraturan Pemerintah mengenai penetapan PTN sebagai BHMN merupakan
landasan hukum bagi pemisahan kekayaan negara dan penempatannya
sebagai kekayaan awal PTN-BHMN tersebut sekaligus guna memenuhi
syarat yuridis formal Pasal 1653 KUH Perdata.
c. Kekayaan awal PTN-BHMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan,
di mana sebagian kekayaan negara yang merupakan harta kekayaan tidak
bergerak berupa tanah, tidak dapat dipindahtangankan oleh PTN-BHMN
kepada pihak ketiga, hubungan kepemilikan awal tetap berada pada negara.
d. Oleh karena penetapan PTN-BHMN dilakukan dengan suatu ketentuan
publik yakni Peraturan Pemerintah, maka eksistensi PTN-BHMN tidak
terbantahkan. 76
Asshiddiqie, pimpinan PTN dan pakar hukum Prof. Arifin P. Soeria Atmadja)
1. Bahwa para pimpinan PTN BHMN yang tidak menyetorkan PNBP ke kas
Negara, UU PNBP, karena dasar hukum bagi PTN BHMN tidak menyetorkan
PNBP ke kas negara, tidaklah dapat dijadikan alasan untuk tidak menyetorkan
solusi jalan tengah agar persoalan PNBP ini tidak menjadi penghalang bagi
76
Ibid, hal. 132.
kelancaran pelaksanaan visi dan misi PTN. Sedangkan BLU yang bukan
PK-BLU. Ini berarti PK-BLU hanya dapat diterapkan pada PTN BHMN
(UPT) Pemerintah.
hukum positip di Indonesia, namun lebih tepat jika penetapan PTN menjadi
legislatif.
praktis baru tujuh PTN saja yang berstatus BHMN padahal ada hampir seratus PTN
di Indonesia. 77 Ini menunjukkan masih banyak terdapat kendala dan hambatan bagi
PTN yang ada untuk mempersiapkan diri menjadi BHMN. Selain dasar hukumnya
yang dinilai kurang memadai, karena ’hanya’ sebuah Peraturan Pemerintah, juga
kesiapan dari PTN itu sendiri yang masih belum memenuhi persyaratan untuk
menjadi BHMN sebagimana yang disyaratkan dalam Pasal 4 ayat (3) PP Nomor 61
yang efisien dan berkualitas, memenuhi standar minimum kelayakan finansial, dan
tentunya cukup berat bagi beberapa PTN yang sudah terbiasa dengan program kerja
yang sudah ditentukan dari Depdiknas. Demikian juga mengenai alokasi dan
pengelolaan keuangan PTN yang selama ini sangat tergantung kepada Depdiknas
Bagi 7 PTN yang sudah berstatus BHMN saja kebanyakan ’jalan di tempat’
dan masih terdapat banyak keluhan. Bahkan menurut Rektor IPB Prof Ahmad Ansori
Mattjik, 78 status BHMN bagi PTN bagai sebuah layang-layang yang dilepas ke udara
namun masih dikontrol tali. Tali inipun masih bisa ditarik turun jika terbang terlalu
77
Jumlah-pts-ptn-di-indonesia- 2800- paling - banyak-di-dunia- &- catid- :396 :23 agustus-
2009,http://www.analisadaily.com/index.php?option.com-content&view=article&id.
78
Unibraw-UM Pilih BHMN, UIN BLU, http://www1.surya.co.id/V2/?p=3258.
belum ada pemisahan aset yang jelas antara milik negara dengan milik perguruan
tinggi. Hal ini bisa terlihat dari anggaran sisa yang dikelola oleh PTN harus
Salah satu agenda reformasi keuangan negara adalah adanya pergeseran dari
kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah tidak lagi berorientasi pada input, tetapi
pada output. Penganggaran yang berorientasi pada output merupakan praktik yang
penganggaran yang demikian sangat diperlukan bagi satuan kerja instansi pemerintah
yang memberikan pelayanan kepada publik. Salah satu alternatif untuk mendorong
bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
keuntungan, akan tetapi letak enterprising-nya dapat dilihat pada Pasal 69 ayat (6)
bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU
yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah,
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, pada tanggal 13 Juni 2005
Layanan Umum. Peraturan tersebut mengatur lebih rinci mengenai tujuan, asas,
keuangan, dan tata kelola BLU. Status BLU dapat diberikan kepada semua instansi
terjangkau masyarakat dengan kualitas layanan yang baik, cepat, efisien dan efektif
digunakan langsung, sesuai Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA)-nya tanpa terlebih
dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKAKL) dan RBA
definitif BLU merupakan lampiran DIPA BLU. Dengan demikian penggunaan PNBP
harus sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan dalam DIPA dan RBA BLU.
pengesahan.
Hasil temuan BPK pada tahun 2007 masih mengindikasikan banyak PTN
dana-dana PNBP itu digunakan terlebih dahulu selagi menunggu cairnya anggaran
APBN dalam suatu kegiatan. Tapi menurut BPK secara hukum hal itu salah. PNBP
79
Seputar BLU, http://sieyankesarkom.wordpress.com/2009/05/20/hello-world.
negara.
2006 menyatakan:
mengatakan81:
“Semuanya adalah aturan manusia yang masih bisa diubah. Daripada membuat para
rektor itu terus berbohong, lebih baik dicarikan cara agar mereka dapat
menggunakan dana PNBP tanpa harus terhambat oleh apa pun. Sebuah Departemen,
Lembaga,dan Universitas memiliki Badan Usaha. Lebih bagus lagi bila memiliki
BLU yang telah memiliki payung hukum yang jelas.
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta Prof. Dr. M. Amin
80
BLU- Akankah – Menjadi - Solusi, http://Heru-stan.blogspot.com/search/label/stan.
81
Ibid.
82
Sistem Keuangan BLU Direspon Positip Oleh PTN di Jatim,
htpp://www.bpkp.go.id/index.php.
Abdullah, Departemen Keuangan, Dirjen Dikti dan Perwakilan BPKP Provinsi Jawa
Timur.82
Menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah83, selama menjadi BLU UIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta tidak lagi menemui kesulitan seperti waktu yang terjadi saat
rezim PNBP. Sebelumnya, para rektor PTN mengeluh seputar penerimaan dan
pencairan anggaran untuk kebutuhan kampus. Selama ini mereka harus menyetorkan
dahulu ke negara seluruh dana yang diterima karena penerimaan itu termasuk PNBP.
Setelah proses setor ke kas negara, dana tersebut dikembalikan ke kampus lewat
Selain dianggap berbelit, proses itu tidak efektif dan efisien terutama apabila
kampus bersangkutan mendapatkan sumbangan atau hibah atas nama pribadi. Tentu
kalau harus setor dahulu ke kas negara akan sangat menyulitkan kampus, seperti yang
dialami UIN Malang yang mendapatkan sumbangan besar dari warga Timur Tengah.
Apabila menggunakan sistem yang selama ini berlaku di PTN, kampus diwajibkan
setor dahulu ke kas negara. Padahal, yang memberi sumbangan itu tidak menuntut
Hal itu berbeda kalau PTN telah menerapkan sistem BLU , kampus dapat
langsung menggunakan lima macam pendapatan, yaitu dana hibah, dana operasional,
kerja sama operasi, APBN, dan pendapatan lain-lain yang sah. Dengan BLU lima
pendapatan itu masuk ke kampus dan langsung dapat digunakan untuk kegiatan
82
Ibid.
operasional kampus, namun PTN harus tetap membuat laporan keuangan dengan jelas
dan pada akhirnya akan diperiksa oleh BPK, BPKP dan Depkeu. Sistem BLU
menuntut detail rincian per tarif setiap kegiatan kampus. Selain itu, kampus harus
keuangan BLU merupakan paradigma baru yang diharapkan dapat memberikan arah
yang tepat bagi pengelola keuangan sektor publik menuju enterprising the
Untuk lebih memahami dan mengenal BLU ini, perlu diuraikan Karakteristik,
jenis dan lingkup keuangan BLU. BLU mempunyai karakteristik yang berbeda
korporasi;
84
Seputar BLU, http://sieyankesarkom.wordpress.com/2009/05/20/hello-world.
6. laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta laporan keuangan dan laporan
langsung;
8. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain;
9. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri
sipil;
10. BLU bukan subyek pajak (UU Nomor 36 tahun 2008 Tentang Pajak
1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit,
85
Dari Jogja Untuk Indonesia, http://www.hukum.jogja.go.id/?pilih=lihat&id=91.
dengan cara yang profesional, efektif dan efisien oleh pengelola unit tersebut dengan
yang mandiri, namun berada pada dua posisi. BLU mendapat dana dari pemerintah
(APBN atau APBD), sekaligus juga bisa mencari pendapatan sendiri melalui
penting belakangan ini ini karena BLU bisa terbentuk di semua lembaga dan instansi
PTN BLU.
berstatus BHMN dengan kekayaan negara yang belum dipisahkan dapat menerapkan
yang harus dipenuhi oleh suatu satuan kerja instansi pemerintah agar dapat diizinkan
86
Kesalahan Persepsi Tentang Pengelolaan Keuangan BLU,
http:/www.perbendaharaan.go.id.
c. Pengelolaan Utang.
d. Pengadaan barang/jasa.
Saat ini ada sekitar 28 PTN dan Sekolah Tinggi yang telah berstatus BLU. 87
mahasiswa di sejumlah kota, DPR mengesahkan RUU BHP UU. Sebanyak 10 fraksi
Sudibyo. Pemerintah diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi
Mattalatta. Banyak reaksi pro-kontra dalam proses sidang pengesahan RUU BHP
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Prof Anwar Arifin
tindakan hukum dan tidak akan melahirkan kapitalisme dunia pendidikan. UU BHP
nantinya juga akan mengatur soal manajemen dan pengelolaan lembaga pendidikan
agar bisa lebih profesional dalam pelaksanaan program pendidikan dan pengelolaan
keuangan. 88
87
Satker Yang telah Ditetapkan Untuk Menerapkan PK-BLU per 5 Oktober 2009,
http://www.perbendaharaan.go.id.
88
Pandangan Komisi X Terhadap RUU BHP, http://www.lpm.undip.ac.id/index.php?.
PTN
topik yang hangat di bahas di beberapa kampus. Pembahasan yang sudah berlangsung
selama tidak kurang dari 5 tahun itu akhirnya sampai pada satu titik yang
menentukan, di mana pada tanggal 17 Desember 2008 DPR mengesahkan RUU BHP
kontroversi.
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Isu ini semakin kuat jika
korporasi yang sudah terjadi pada sektor-sektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi
lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama
dengan BHP Indonesia yang telah ada. Pasal ini memiliki sisi positif untuk
tinggi asing, tetapi juga dapat memiliki dampak negatif berupa liberalisasi pendidikan
tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan penguasaan pendidikan oleh lembaga
pendidikan tinggi asing. Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh
DPR.
Menurut Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno89, UU BHP sama sekali tidak
Memang, sebagai badan hukum, perguruan tinggi punya hak menetapkan SPP yang
harus dibayar oleh mahasiswa peserta didik. Tapi, besaran pungutan dibatasi paling
semakin mahal dengan terbentuknya BHP. Kekhawatiran ini berasal dari praktik PTN
BHMN yang dianggap sebagai spesies BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi
Dalam praktik PT BHMN selama ini terlihat bahwa pembiayaannya masih berpijak
pada biaya operasional pendidikan (BOP) yang dipungut dari peserta didik. Hal ini
terjadi karena berbagai persoalan, seperti aset PT BHMN yang masih dimiliki oleh
kiranya perlu disampaikan argumen dan pandangan dari berbagai pihak, baik fraksi-
fraksi DPR di komisi X yang membidangi Pendidikan, pakar hukum, pimpinan PTN
89
Komersialisasi Pendidikan di Indonesia;Analisis Yuridis RUU BHP,http://www.fpks-
dpr.or.id.
90
Ibid
Pada Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU BHP oleh Komisi X DPR RI tanggal
16 Januari 2008, yang dipimpin oleh Heri Akhmadi, Wakil Ketua Komisi X DPR RI
membahas tentang hasil uji publik RUU BHP di 10 propinsi di Indonesia dan
membahas draft usulan terakhir dari Pemerintah tentang RUU BHP. Pihak
Pemerintah diwakili Dirjen Dikti, Fasli Jalal, dan Dirjen Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah, Prof. Suyanto. Dalam rapat ini berkembang beberapa isu yang
(1) Usulan untuk memecah RUU BHP antara BHP Pendidikan Tinggi dan BHP
Sementara perguruan tinggi sangat siap untuk itu, karena mereka memiliki budaya
akademis dan ilmiah. Usulan PPP ini didukung oleh beberapa Fraksi, seperti
PAN, PKB dan PDS. Fraksi yang mendukung pemisahan ini memandang bahwa
RUU BHP Pendidikan Tinggi yang mendesak untuk disahkan menjadi UU.
91
Pemisahan BHP, http://www. dikti. go. id / index. php? option.
dibuat UU BHP. Pasal ini tidak ada membedakan antara pendidikan tinggi dan
pendidikan dasar dan menengah. Menurut Fasli Jalal, perbedaan pendapat pada
satu atau dua Pasal saja hendaknya jangan dijadikan alasan untuk membuat
pemisahan UU BHP, karena akan melelahkan. Padahal RUU BHP ini telah
penyesuaiannya.
(2) Usul pencantuman kata ‘dapat’ dalam Pasal 5 ayat 2 RUU BHP.
ayat 2 yang semula berbunyi, untuk satuan pendidikan dasar dan pendidikan
dasar dan pendidikan menengah yang didirikan oleh pemerintah atau pemerintah
atau satuan pendidian dasar dan menengah tidak diharuskan menjadi BHP, bila
tidak BHP, maka perlu difikirkan bentuk badan hukum apa yang digunakan.
Sementara itu, menurut Fraksi Demokrat dan PKS draf terakhir dari panja
pemerintah ini, pada Pasal 5 masih ada ketidakadilan, seharusnya pada ayat 4
dasar dan pendidikan menengah yang didirikan oleh masyarakat dapat berbentuk
BHP.
(3) Memikirkan ulang pencantuman klausul numeric (angka), seperti 2/3 (pada Pasal
34 ayat 3 pada RUU BHP versi 5 Desember 2007) dan 20 persen (Pasal 38 ayat 1
RUU BHP versi 5 Desember 2007 dan Pasal 36 ayat 1 versi Panja Pemerintah
Umumnya fraksi meminta agar Pasal yang ayat-ayatnya ada klausul numeric
(angka) difikirkan lagi, karena anggaran pendidikan dua puluh persen yang
tercantum dalam UUD 1945 saja belum terpenuhi. Misalnya pada Pasal 36 ayat 1
tentang alokasi beasiswa paling sedikit 20 % bagi warga Indonesia yang kurang
mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik
Sementara itu Pasal 34 ayat 2 dan 3 RUU BHP 5 Desember 2007 klausul 2/3
biaya pendidikan yang terdapat dalam draf usulan terakhir Panja Pemerintah, 24
yaitu92:
1. Pengaturan Badan
perkumpulan dan badan hukum lain yang didirikan oleh masyarakat, yang diakui
92
Pandangan Komisi X Terhadap RUU BHP, http://www.lpm.undip.ac.id/index.php?..
2. Pendanaan
partisipasi masyarakat. Namun dengan adanya RUU BHP terkesan negara lepas
pendidikan, sebab jika mencari keuntungan sama halnya dengan suatu lembaga
partisipasi masyarakat.
3. Struktur Kelembagaan
pendidikan, (3) lembaga audit, dan (4) lembaga para pendidik. Pengaturan organ
b. Prinsip yang diatur dengan jelas adalah tentang otonomi pada satuan pendidikan
kepentingan pendidikan.
4. Aset/Harta Kekayaan
pribadi pendiri.
b. BHP harus tetap dapat mendorong masyarakat atau individu yang mempunyai
ibadah yang sangat mulia diantaranya adalah mencerdaskan para peserta didik.
pemerintah dan kaitannya dengan APBN dan pengawasan keuangan negara harus
b. BHP harus diklasifikasikan sebagai non subjek pajak yang dapat menerima
insentif pajak dan bantuan keuangan dari Pemerintah untuk mencapai tujuan
Keuangan dan Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen Pajak untuk merumuskan
6. Kegiatan BHP
BHP boleh mempunyai kegiatan usaha yang terkait dengan kegiatan pendidikan.
b. Sifat nirlaba dari badan hukum pendidikan perlu dijabarkan dengan tegas dalam
Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR pada tanggal 10 Februari 2008,
Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat RUU BHP disahkan menjadi UU BHP.
Akademik Institut Teknologi Bandung (ITB), Adang Surachman dan Kepala Bidang
Humas dan Keprotokolan UGM, Suryo Baskoro serta Prof Dadang Achmad
alasannya calon mahasiswa yang masuk PTN tidak perlu lagi membayar uang masuk,
uang pangkal, ataupun uang bangku kuliah, sepanjang pemerintah konsekuen dengan
dasarnya adalah ingin memandirikan lembaga pendidikan ’negeri’ yang selama ini
merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk UPT dan untuk
menciptakan badan hukum baru melengkapi sejumlah badan hukum yang ada yang
selama ini dikenal, yaitu Perseroan Terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan
umum (perum), BLU, perhimpunan, dan BHMN. Berbagai jenis badan hukum,
organ yang yang dikenal pada lembaga pendidikan. Namun kiranya kurang tepat jika
suatu RUU mengatur badan hukum yang secara eksklusif mengatur pendidikan
karena dari sejumlah jenis badan hukum yang dikenal, tidak ada satupun yang secara
pendidikan mengingat Badan Pelaksana Minyak dan Gas didirikan dalam bentuk
93
RUU BHP: Uang MasukPTN Bakal Dihapus, http://www.alumnifatek,
forumotion.com/postforum?mode=reply&t=558.
94
Apa - Tujuan - RUU - BHP?, http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0611/20/humanioral/3105718.htm.
BHMN, demikian juga dengan PT dan yayasan yang tidak ditujukan untuk satu
gelombang protes terhadap UU ini seolah tak kunjung henti, mengepung dari
berbagai penjuru. Mahasiswa dan guru turun ke jalan, pengamat dan pemilik yayasan
melontarkan kecaman pedas. Yang satu bilang, pendidikan makin komersial, yang
lain berkata eksistensi mereka terancam. Johannes Gunawan95 sebagai ketua perumus
RUU BHP mengaku gerah melihat reaksi kebanyakan orang. Menurutnya, jika saja
BHP memaksa pemerintah lebih peduli kepada mahasiswa dan masyarakat. Artinya,
biaya lebih besar harus di gelontorkan pemerintah demi pendidikan yang makin
UU BHP telah digodok sejak 2004 dan ditargetkan selesai dalam setahun
namun mundur hingga empat tahun. Pengajuan judicial review (uji materi) oleh
Pusat pada 2006 atas Pasal 53 UU Sisdiknas, turut memperlambat proses pengesahan.
Memenangi sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), komisi bekerja lagi. Lalu 2007
RUU disampaikan kepada Presiden untuk selanjutnya digodok dalam panitia kerja
95
http://www.pikiran-rakyat.com.
(panja) di Komisi X DPR RI. Selama kurun pembahasan tersebut, paling tidak terjadi
Pemerintah (BHPP) untuk eks PTN dan BHMN, BHP Penyelenggara untuk eks PTS,
BHP Pemerintah Daerah (BHPPD) untuk eks satuan pendidikan dasar hingga tinggi
negeri, serta BHP Masyarakat (BHPM) untuk eks satuan pendidikan swasta. Waktu
peralihan bagi BHMN 3 tahun, PTN 4 tahun, dan PTS 6 tahun. Sesudah itu, UU BHP
berlaku efektif.
otonomisasi perguruan tinggi, agar PTN, sebagai pusat keilmuan, tidak mudah tunduk
pada pemerintah, dan PTS pada kemauan yayasan. UU BHP dibuat untuk
memisahkan itu. Ada ketakutan, otonomi kampus identik dengan makin mahalnya
biaya pendidikan karena pemerintah seolah lepas tangan, tidak ada lagi subsidi,
kampus berlomba mencari uang seperti yang banyak dikeluhkan pada PTN BHMN.
Ini yang ingin direvisi dengan kehadiran UU BHP. Tidak benar pemerintah dibuat
lepas tangan. Pemerintah justru diberi lebih banyak tanggung jawab dan tuntutan.
BHP, bukannya para mahasiswa karena tanggung-jawab pemerintah untuk eks PTN
dan BHMN, saat UU BHP berlaku efektif adalah menanggung 100 persen investasi
persen, tentu bisa saja menjadi 100 persen ditanggung pemerintah jika keuangan
bagi 20 persen WNI yang tidak mampu tapi memiliki potensi akademik yang tinggi
dan wajib menjaring 20 persen mahasiswa baru yang kurang mampu tapi memiliki
potensi akademik tinggi. Bisa dikatakan, bagi eks PTN dan BHMN UU BHP
menjadi nol atau bebas biaya. Dua arah berlawanan ini dibuat untuk memicu lahirnya
pendidikan murah.
adalah ketakutan yang tidak berdasar. Tidak ada satu Pasal pun yang memungkinkan
masuknya investasi asing. Prinsip BHP sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat 1
adalah nirlaba.
Pendidikan
Aspek pertama dilihat dari sisi pendanaan pada perguruan tinggi. Pada Pasal
menanggung paling sedikit seperdua (1/2) biaya operasional, pada BHPP yang
proporsi kontribusi pendanaan antara pemerintah dan BHPP. Artinya, bisa saja
96
Positioning paperKM ITB, http://km.itb.ac.id/web/diskusi/wp/content.
dana yang diberikan pemerintah lebih sedikit daripada yang dibebankan kepada
yang ditanggung seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi paling
tersebut. Jika seperdua (1/2) biaya operasional ditanggung oleh Pemerintah dan
BHPP dengan sepertiganya (1/3) ditanggung oleh peserta didik, maka siapa yang
menanggung seperenam (1/6) sisanya tidak dijelaskan dalam RUU BHP ini.
Aspek kedua adalah dari sisi otonomisasi kurikulum. Pada Pasal 4 ayat 2
disebutkan bahwa salah satu prinsip pengelolaan pendidikan formal oleh BHP
dalam bidang akademik maupun non-akademik. Tidak ada penjelasan apa yang
ayat 2 tentang tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan tinggi salah
organ representasi pendidik. Pada penjelasan RUU BHP disebutkan bahwa yang
kurikulum dan pembelajaran. Terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi dari hal
kebutuhan dan keinginan organ tersebut, ataukan ada koridor-koridor dasar yang
kemajuan Bangsa.
Aspek ketiga dipandang dari sisi peran dari organ representasi pemangku
kepentingan. Pada BAB IV RUU BHP mengenai Tata Kelola, Pasal 15 ayat 2
mengatakan bahwa Organ BHP yang menjalankan fungsi BHP terdiri atas 4
sedikit terdiri atas pendiri atau wakil pendiri; wakil organ representasi pendidik;
unsur masyarakat.
duapertiga (2/3) anggota dari organ ini berarti berasal dari Pemerintah dan wakil
unsur masyarakat. Jumlah anggota yang berasal dari pendiri dan wakil pendiri
(Pemerintah atau pemerintah daerah) dapat lebih dari 1 orang. Artinya satu orang
pun tidak masalah. Hal ini berbahaya mengingat organ represetasi pemangku
Jika sebagian besar anggota organ ini adalah wakil unsur masyarakat, tidak
pernah didefinisikan dengan jelas siapa saja yang dimaksudkan wakil unsur
pendidikan Indonesia. Kontrol Pemerintah pun bersifat amat minimalis dalam hal
ini.
bukan porsi akademisi yang diperbanyak? Bukankah itu justru mengebiri potensi
diatur dalam RUU BHP ini. Kejanggalan terakhir adalah adanya dewan audit di
independen dan dari pihak eksternal? Terlebih lagi, dalam UU BHP ini belum
Aspek keempat adalah dari sisi pembubaran BHP. Bentuk Badan Hukum
pembubaran yang disebabkan salah satunya karena pailit. Hal tersebut terdapat
dalam Pasal 57. Sangat jelas terlihat, bahwa BHP menjadikan institusi pendidikan
tersebut dapat dinyatakan pailit dan bubar. Mengingat pendidikan merupakan hal
pokok yang menentukan kualitas SDM bangsa dan dengan sendirinya juga
(kepailitan) adalah hal yang tidak boleh terjadi pada suatu institusi pendidikan di
objek dari BHP ini. Hal ini dapat dilihat dari belum dilakukannya evalusasi
ini bukan berarti tanpa masalah sama sekali. Mengingat keempat aspek tersebut
adalah hal patut dipertanyakan dari sisi kebenaran logika dan keterkaitannya
Menurut Pasal 65 ayat 2 UU BHP seluruh PTN harus mengubah bentuk dan
menyesuaikan tata kelolanya sebagai BHPP dalam waktu paling lambat 4 tahun sejak
berlakunya UU BHP. Mekanisme perubahan PTN dan PTN BHMN menjadi PTN
BHPP di atur dalam Peraturan Mendiknas Nomor 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme
BHPP,
(3) perubahan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh departemen lain atau
6, yaitu:
Ad. (2) Mekanisme perubahan perguruan tinggi BHMN menjadi BHPP diatur
(1) Mekanisme perubahan perguruan tinggi BHMN menjadi BHPP sebagai berikut:
a. pemimpin perguruan tinggi BHMN dengan pertimbangan senat akademik
menyusun rencana peralihan (transition plan) perubahan perguruan tinggi
BHMN tersebut menjadi BHPP dan rancangan Peraturan Pemerintah yang
berisi anggaran dasar BHPP;
b. rencana peralihan dan rancangan Peraturan Pemerintah yang telah
memperoleh pertimbangan senat akademik diusulkan oleh pemimpin
perguruan tinggi BHMN kepada Majelis Wali Amanat untuk memperoleh
persetujuan;
c. rencana peralihan yang telah disetujui oleh Majelis Wali Amanat disampaikan
oleh pemimpin perguruan tinggi BHMN kepada Menteri untuk memperoleh
persetujuan;
d. Menteri bersama Menteri Keuangan, Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Badan Pertanahan
Nasional dan Badan Kepegawaian Negara melakukan koordinasi mengenai:
1. pemisahan dan pengalihan kekayaan negara sebagai kekayaan awal
BHPP;
2. penyesuaian pola pendanaan;
3. penyesuaian kelembagaan;
4. penyesuaian status kepegawaian;
e. rancangan Peraturan Pemerintah yang telah disetujui oleh Majelis Wali
Amanat disampaikan oleh pemimpin perguruan tinggi BHMN kepada Menteri
untuk memperoleh persetujuan, dan selanjutnya disampaikan kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dilakukan harmonisasi;
f. rancangan Peraturan Pemerintah yang telah diharmonisasikan disampaikan
kepada Sekretariat Negara untuk ditetapkan Presiden;
g. setelah rancangan Peraturan Pemerintah ditetapkan, BHPP menyelenggarakan
kegiatan pendidikan.
perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Departemen lain atau LPND diatur
Rencana peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 7
ayat (1) huruf a, dan Pasal 8 ayat (1) huruf a serta rencana perubahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a paling sedikit berisi:
a. tujuan dan sasaran perubahan;
b. penahapan, langkah dalam setiap tahap, beserta penjadwalan;
c. kebijakan dasar:
1. pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;
2. sistem penjaminan mutu yang paling sedikit meliputi kerangka:
3. kebijakan sistem penjaminan mutu;
4. manual sistem penjaminan mutu;
yaitu :