You are on page 1of 47

BAB II

STATUS PTN DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA UU BHP

A. Berbagai Status PTN di Indonesia Sebelum Berlakunya UU BHP

1. PTN Bersatus Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) dari Ditjen Dikti

Sebagian besar PTN di Indonesia masih berstatus UPT dari Pemerintah dalam

hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Pengertian UPT menurut

Keputusan Menteri Pendayaan Aparatur Negara Nomor 62/KEP/M.PAN/7/2003

tentang Pedoman Organisasi UPT di Lingkungan Departemen dan Lembaga

Pemerintah Non Departemen (selanjutnya disebut Kepmenpan) adalah satuan

organisasi yang yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional

dan/atau tugas teknis penunjang dari organisasi induknya.

Menurut Kepmenpan ini, UPT mempunyi tugas melaksanakan kegiatan teknis

operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang dari organisasi induknya yang pada

prinsipnya tidak bersifat pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusan

dan penetapan kebijakan publik.

Dari ketentuan Kepmenpan tersebut jelas PTN sebagai UPT dari Pemerintah

tunduk pada semua kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi induknya, dalam hal ini

Ditjen Dikti. Menurut Pasal 1 angka 9 PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan

Tinggi, penyelenggara perguruan tinggi adalah departemen, departemen lain, atau

pimpinan lembaga Pemerintah lain bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh

33

Universitas Sumatera Utara


34

Pemerintah. Bahkan pada Pasal 39 PP 60 Tahun 1999 tersebut diatur bahwa Rektor

universitas/institut yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan

oleh Presiden atas usul Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain

setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut yang bersangkutan.

Kedudukan PTN yang murni sebagai UPT dari Ditjen Dikti sangat jauh dari

semangat otonomi yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas. Sulit bagi PTN yang

berstatus UPT dari Ditjen Dikti untuk berkembang menjadi world class university

yang dapat masuk dalam jajaran universitas terkemuka dunia. Karena untuk dapat

mencapai hal itu diperlukan kemandirian, otonomi dan dana yang besar. Jika PTN

dalam melakukan apa saja harus atas ’ijin’ dari organisasi induknya dalam hal ini

Ditjen Dikti, tentu sulit bagi PTN untuk mengembangkan diri untuk mewujudkan

tujuan tersebut. Sebagai UPT dari Ditjen Dikti, PTN terkungkung dengan model kerja

birokrasi, di mana dalam memenuhi kebutuhannya mulai dari yang paling sederhana

seperti kertas yang menentukan harus Bappenas, sehingga kalau mendadak kebutuhan

berubah karena dinamika PTN, revisinya berlarut-larut sampai ke pusat65

Sebagaimana seluruh kebutuhan PTN dibiayai dan penggunaannya secara

ketat ditentukan oleh pemerintah, demikian juga segala penerimaan PTN adalah

termasuk ke dalam PNBP. Dirjen Dikti, Fasli Jalal mempertegas bahwa aturan uang

pendaftaran untuk seleksi masuk calon mahasiswa PTN (kecuali yang berstatus

65
Amri Rasyidin, Aspek Pengelolaan Keuangan Pada Perguruan Tinggi Negeri yang
berstatus Badan hukum Pendidikan (BHP), Blog, 13 April 2009, 09:01, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara


35

BHMN) wajib masuk ke kas negara, karena bagian dari PNBP. Untuk

menggunakannya, perlu meminta ke kas negara, melalui dokumen DIPA. 66

Demikian halnya dengan dosen yang ada di PTN adalah PNS dan mendapat

gaji sebagaimana halnya dengan PNS lainnya di Indonesia, yang sudah menjadi hal

umum diketahui, jauh dari memadai. Karena itu banyak dijumpai dosen yang

mengajar di berbagai tempat, jadi konsultan di berbagai lembaga, dan kegiatan ekstra

lainnya untuk menambah penghasilan. Keadaan ini juga menjadi salah satu kendala

bagi tujuan mewujudkan world class university. Padahal di era globalisasi di mana

persaingan semakin tajam perlu meningkatkan daya saing nasional, dan untuk itu

dibutuhkan PTN sebagai kekuatan moral dalam proses pembangunan masyarakat

madani yang lebih demokratis, dan mampu bersaing secara global.

Saat ini sebagian besar PTN yang ada di Indonesia masih berstatus UPT

pemerintah. Dengan lahirnya UU BHP, PTN yang berstatus UPT diberi waktu paling

lambat 4 (empat) tahun harus sudah berbentuk BHPP.

2. PTN Berstatus BHMN

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan

Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum menjadi tonggak baru dalam sejarah otonomi

kampus. Sebagai langkah awal, pada tahun 2000 pemerintah menetapkan status

BHMN pada 4 PTN yang dipandang siap, yaitu Universitas Indonesia dengan PP

66
jangan-rugikan-calon-mahasiswa, http://www.blogger.com./feeds/, diakses tanggal 20
Agustus 2009, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara


36

Nomor 152 Tahun 2000, Universitas Gajah Mada dengan PP Nomor 153 Tahun

2000, Institut Pertanian Bogor dengan PP Nomor 154 Tahun 2000, Institut Teknologi

Bandung dengan PP Nomor 155 Tahun 2000. Beberapa tahun kemudian menyusul

Universitas Sumatera Utara berubah statusnya menjadi BHMN dengan PP Nomor 56

Tahun 2003, lalu Universitas Pembangunan Indonesia dengan PP Nomor 6 Tahun

2004 berubah statusnya menjadi BHMN dan terakhir dengan PP Nomor 30 Tahun

2006 Universitas Airlangga menjadi BHMN.

Kesiapan untuk melaksanakan pengelolaan perguruan tinggi secara otonom

tersebut ditunjukkan melalui evaluasi diri yang menyeluruh baik dalam aspek

program akademik, sumberdaya manusia (SDM), sarana-prasarana, maupun

keuangan. Namun, pemberian otonomi tidak berarti pemerintah melepaskan diri dari

tanggung jawab di bidang pendidikan.

Melalui PP Nomor 61 tahun 1999 ini pemerintah membuka kemungkinan

secara selektif kepada PTN yang dinilai sudah memiliki kemampuan pengelolaan

yang mencukupi untuk dapat memiliki kemandirian, otonomi dan tanggung jawab

yang lebih besar untuk diubah status hukumnya menjadi BHMN yang dapat berperan

sebagai kekuatan moral dalam proses pembangunan masyarakat madani yang lebih

demokratis dan mampu bersaing secara global. PTN berstatus BHMN tetap menjadi

aset negara yang berharga untuk memperbaiki citra bangsa. Melalui model BHMN,

direncanakan bisa menjadi langkah reformasi pendidikan tinggi yang sistematik,

Universitas Sumatera Utara


37

bertahap dan dilakukan dengan penuh bijaksana.67 Sejak awal pembentukannya,

pimpinan PTN BHMN menyadari bahwa perubahan dari pola manajemen sentralistis

menjadi universitas BHMN bisa menimbulkan persoalan besar terutama dalam hal

keterbatasan sumber dana, sumber daya manusia potensial yang belum ditangani

dengan baik, dan soal legalitas keberadaan status BHMN sendiri.

Berbicara tentang kemandirian tentulah tidak bisa lepas dari masalah

keuangan PTN. Sudah merupakan hal yang umum diketahui bahwa selama ini PTN

di Indonesia selalu diperhadapkan dengan masalah keuangan, baik dari sudut

jumlahnya yang selalu dikeluhkan oleh para rektor sebagai ’jauh dari memadai’,

maupun dari sudut sumber dan pengelolaan keuangannya. PP Nomor 61 Tahun 1999

ini dianggap oleh beberapa PTN dapat menjadi ’secercah harapan’ di tengah

berbagai persoalan birokrasi keuangan yang dianggap bertele-tele dan memakan

waktu yang lama dalam setiap proses pencairannya, sehingga banyak

kebutuhan PTN yang mendesak tidak dapat segera ditanggulangi.

Dalam pelaksanaannya ternyata banyak sekali kendala yang dihadapi oleh

PTN dalam perjalanannya menjadi BHMN terutama dari pihak yang tidak

setuju atas perubahan status PTN menjadi BHMN. BHMN dianggap sebagian besar

masyarakat sebagai langkah komersialisasi dan privatisasi PTN. Anggapan

komersialisasi ini disebabkan beberapa PTN yang berstatus BHMN

menyiasati otonominya dengan membuka jalur khusus bagi mahasiswa yang secara

67
BHMN-merupakan-model-manajemen-PTN, http://www.kompas.org, diakses tanggal 30
Agustus 2009.

Universitas Sumatera Utara


38

finansial mampu sehingga hal ini dianggap diskriminatif serta mengurangi jatah

mahasiswa lainnya yang kurang mampu. Sedangkan privatisasi diartikan

sebagai minimalisasi peranan pemerintah dan maksimalisasi peranan sektor swasta,

baik dalam aktivitas-aktivitas layanan publik maupun kepemilikan asetnya.

Menurut Sofian Effendi68 kesalahpahaman ini disebabkan karena publik dan

para pengamat cenderung menggunakan konsep ekonomi pasar untuk menganalisis

fenomena perguruan tinggi, yang merupakan fenomena layanan publik yang bersifat

tidak mencari keuntungan atau nirlaba. Menurut beliau, privatisasi dalam literatur

ekonomi artinya adalah pengalihan kepemilikan pemerintah atas suatu perusahaan

kepada swasta yang dilakukan dengan berbagai cara, antara lain penjualan seluruh

perusahaan, penjualan sebagian saham kepada swasta, atau menggunakan manajemen

swasta. Padahal dalam perubahan PTN menjadi BHMN tidak ada transfer

kepemilikan. Semua lembaga negara yang berstatus BHMN adalah tetap milik negara

dan menerima alokasi anggaran dari APBN. Jadi kepemilikan BHMN tidak berubah.

Seluruh harta kekayaan pemerintah yang ada di PTN, baik tanah, gedung, peralatan,

perlengkapan, dan SDM, statusnya tetap milik negara. Hanya pengelolaannya

didelegasikan oleh Pemerintah kepada suatu Board of Trustees yang mewakili

Pemerintah, masyarakat, dan masyarakat kampus.

Lebih lanjut Sofian Effendi mengatakan bahwa PTN menjadi BHMN tidak

sama sekali mengubah pengelola pendidikan tinggi milik negara tersebut menjadi

68
paradigma-salah-bhmn.pdf/http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel, diakses tanggal 2 september
2009, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


39

economic entity seperti dugaan orang banyak. Juga tidak ada perubahan kepemilikan.

Jadi konsep privatisasi sangat tidak tepat untuk menggambarkan perubahan bentuk

organisasi PTN menjadi BHMN melainkan lebih tepat menggunakan istilah

perubahan organisasi. 69

Ada hal yang perlu dikritisi dari pendapat Sofian Effendi di atas, yaitu bahwa

kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara (kecuali tanah) yang

dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, BUMD atau badan hukum lainnya

yang dimiliki negara atau daerah di mana penyertaan modal negara adalah sebagai

pengalihan kepemilikan Barang Milik Negara yang semula merupakan kekayaan

negara yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk

diperhitungkan sebagai saham negara pada BUMN, BUMD atau badan hukum

lainnya yang dimiliki negara atau daerah.

PTN berstatus BHMN saat ini dalam suasana dilematis, di mana kebijakan

pemerintah memberikan otonomi kepada PTN dilakukan setengah hati karena

perubahan status tersebut tidak didukung dengan peraturan perundangan yang

memadai. Dasar penetapan PTN menjadi BHMN adalah Peraturan Pemerintah yang

secara hirarki perundang-undangan derajatnya ada di bawah Undang-Undang.

Masalah yang paling krusial dan senantiasa menjadi perdebatan sengit antara pihak

PTN dan Departemen Keuangan adalah mengenai PNBP.

Menkeu Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat di DPR Senin (26/3/06)

menyebutkan sejumlah PTN yang mengelola PNBP dinilai melanggar tiga undang-
69
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


40

undang karena tidak menyetorkan dana PNBP ke kas negara, yaitu bertentangan

dengan UU No 20/1997 tentang PNBP, UU No 17/ 2003 tentang Keuangan Negara,

dan UU No 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PNBP itu antara lain

penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dapat dilaksanakan kepada masyarakat,

seperti pendidikan dan kesehatan. 70

Menanggapi pernyataan Menkeu tersebut Wakil Rektor Senior Bidang

Sumber Daya lTB, Carmadi Mahbub71 mengatakan, pada dasarnya PTN bukan

dengan sengaja melakukan tindakan yang melanggar UU. Namun, PP yang mengatur

pembentukan PTN menjadi BHMN-lah yang tidak sesuai UU. Yang terjadi saat ini

PP yang mengubah status PTN meniadi BHMN bertentangan dengan UU. Sehingga

para pimpinan PTN dibuat bingung dengan masalah ini.

Dalam PP yang mengatur pembentukan PTN menjadi BHMN disebutkan

pendapatan dari masyarakat yang diperoleh PTN yang telah berubah status menjadi

BHMN, tak termasuk PNBP. Karena itu, BHMN tidak berkewajiban menyetorkan

pendapatan itu ke kas negara. Carmadi Mahbub berpendapat yang dilakukan

pimpinan PTN BHMN jelas dasarnya, yakni PP yang menetapkan PTN sebagai

BHMN. Untuk menyelesaikan masalah ini menurutnya hanya satu, yakni pemerintah

segera menentukan, apakah PP atau UU yang akan dijadikan sebagai kiblat. 72

70
Langgar 3 UU, BHMN Membingungkan, http://www.suarapembaruan/news/2007/03/29.
71
Ibid., hal 5.
72
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


41

Terkait dengan hal tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada saat itu,

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie73 mengatakan,

”penerapan BHMN sama dengan gejala kapitalis pendidikan yang


memberatkan mahasiswa dan stakeholder. Jimly mengatakan, penerapan status
BHMN lebih diorientasikan pada upaya otonomi kampus secara total, dengan bentuk
pengelolaan keuangan di luar tanggungjawab negara, sehingga penerapan status itu
banyak ditolak sejumlah PTN di lndonesia.
Apalagi pemerintah belum sepenuhnya mengeluarkan pedoman pelaksanaan
status BHMN melalui Peraturan Pemerintah (PP) ke semua perguruan tinggi, karena
masih banyak pertimbangan pada sektor pendidikan. Jika diupayakan menjadi
BHMN ada kekhawatiran dari masyarakat akan adanya peningkatan pembayaran
Sumbangan Pendidikan dan Pembangunan (SPP). Padahal dalam UUD 1945
pendidikan tidak lepas dari tanggungjawab negara, sehingga pemerintah masih
berperan dalam pemberian anggaran pendidikan. Jimly mengusulkan jalan terbaik
bagi universitas, yakni perubahan status menjadi BLU dan banyak dilirik perguruan
tinggi di Indonesia. BLU merupakan upaya penciptaan otonomi kampus tidak secara
total, sehingga pengelolaan keuangan masih bagian negara dan pemerintah berhak
memberikan subsidi kepada perguruan tinggi yang menerapkan status BLU tersebut.
BLU sebuah solusi yang memiliki nilai untung cukup baik bagi sektor pendidikan di
perguruan tinggi.”

Rektor Universitas Indonesia (UI) pada saat itu, Usman Chatib Warsa

menanggapi pro kontra pendapat mengenai PNBP mengatakan bahwa proses

pencairan PNBP ke Kas Negara dinilai banyak PTN sangat lamban. Sedangkan

menanggapi pendapat agar PTN jadi BLU beliau berpendapat bahwa jika PTN

berstatus BLU maka badannya akan tetap di bawah Depdiknas. Padahal, yang

diinginkan adalah kemandirian dengan otonomi perguruan tinggi. Jadi menurut beliau

badannya yang yang tepat BHP, karena dalam RUU BHP lebih jelas konsep BHMN

73
Kelola- uang- di- universitas- idealnya -blu /http://www.anggaran.depkeu.go.id/2009a/web-
konten-list.asp?id=110.

Universitas Sumatera Utara


42

di mana perguruan tinggi mandiri dan memiliki otonomi secara akuntabel dan

bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. 74

Pendapat yang berbeda dan sangat tegas mendukung eksistensi PTN-BHMN

datang dari Prof. Arifin P. Soeria Atmadja. Beliau berpendapat bahwa penetapan

PTN sebagai BHMN dengan Peraturan Pemerintah telah memenuhi persyaratan

yuridis formal. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata yang

menentukan Badan Hukum dapat didirikan atau diakui oleh Pemerintah. Tidak ada

suatu ketentuan hukum positip yang mengharuskan pendirian suatu badan hukum

dengan Undang-undang. Hukum positip Indonesia menggunakan sistem terbuka, di

mana pendirian suatu badan hukum dapat dilakukan dengan Undang-undang,

Peraturan Pemerintah bahkan dengan Keputusan Presiden sekalipun, atau dengan

konstruksi hukum perdata.75

Ada 4 alasan yang dikemukakan Prof. Arifin P. Soeria Atmadja mengapa

penetapan status PTN sebagai BHMN dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu:

a. Pasal 1653 tidak menetapkan secara spesifik jenis peraturan perundang-


undangan yang dapat dijadikan dasar pendirian suatu badan hukum yang
diadakan oleh pemerintah. Dengan demikian pemerintah bebas memilih
jenis landasan hukum yang akan dijadikan dasar hukum mendirikan suatu
badan hukum yang tentu didasarkan pada pertimbangan subjektif yang
sesuai dengan kebutuhan yang dianggap cukup alasan untuk memilih jenis
peraturan perundang-undangan tertentu. Peraturan Pemerintah yang
menetapkan PTN sebagai BHMN itu dinilai tepat dan tidak terbantahkan,
karena Peraturan Pemerintah tersebut merupakan peraturan pelaksanaan
dari UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas, di samping sebagai sarana
hukum bagi otonomi perguruan tinggi.

74
http://www.suarapembaruan/news/2007/03/29, loc.cit.
75
Arifin P. Soeria Atmaja, op.cit., hal. 131.

Universitas Sumatera Utara


43

b. Meskipun tidak ada suatu ketentuan yang pasti bahwa setiap pemisahan
kekayaan negara harus dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, namun
Peraturan Pemerintah mengenai penetapan PTN sebagai BHMN merupakan
landasan hukum bagi pemisahan kekayaan negara dan penempatannya
sebagai kekayaan awal PTN-BHMN tersebut sekaligus guna memenuhi
syarat yuridis formal Pasal 1653 KUH Perdata.
c. Kekayaan awal PTN-BHMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan,
di mana sebagian kekayaan negara yang merupakan harta kekayaan tidak
bergerak berupa tanah, tidak dapat dipindahtangankan oleh PTN-BHMN
kepada pihak ketiga, hubungan kepemilikan awal tetap berada pada negara.
d. Oleh karena penetapan PTN-BHMN dilakukan dengan suatu ketentuan
publik yakni Peraturan Pemerintah, maka eksistensi PTN-BHMN tidak
terbantahkan. 76

Pendapat dari berbagai kalangan tersebut (Menkeu, Prof. Dr. Jimly

Asshiddiqie, pimpinan PTN dan pakar hukum Prof. Arifin P. Soeria Atmadja)

disampaikan sebelum berlakunya UU BHP. Ditinjau dari ketentuan yang berlaku

pada saat itu dapat diberikan analisis sebagai berikut :

1. Bahwa para pimpinan PTN BHMN yang tidak menyetorkan PNBP ke kas

negara secara yuridis melanggar UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan

Negara, UU PNBP, karena dasar hukum bagi PTN BHMN tidak menyetorkan

PNBP yang diperolehnya ke kas negara adalah PP Nomor 61 Tahun 1999

yang kedudukannya lebih rendah dari UU.

2. Kekhawatiran berbagai pimpinan PTN terhadap lambatnya proses pencairan

PNBP ke kas negara, tidaklah dapat dijadikan alasan untuk tidak menyetorkan

PNBP-nya apabila hal tersebut memang diwajibkan oleh UU. Seyogianya

pimpinan PTN BHMN melakukan koordinasi dengan Menkeu untuk mencari

solusi jalan tengah agar persoalan PNBP ini tidak menjadi penghalang bagi
76
Ibid, hal. 132.

Universitas Sumatera Utara


44

kelancaran pelaksanaan visi dan misi PTN. Sedangkan BLU yang bukan

merupakan badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan dapat

menggunakan langsung PNBP-nya, mengapa hal yang sama tidak

diberlakukan kepada PTN BHMN? Fleksibilitas inilah yang harusnya

diberikan kepada PTN BHMN mengingat banyaknya kebutuhan PTN yang

mendesak. Kalau dasar hukum berupa PP dianggap menjadi penyebabnya,

seharusnya pimpinan PTN segera mengajukan usul kepada pemerintah agar

mengenai PNBP tersebut diatur dengan UU. Setelah hampir 10 tahun

berlakunya PP Nomor 61 Tahun 1999 barulah lahir UU BHP yang mengakhiri

polemik PNBP tersebut.

3. Pasal 38 PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan

Layanan Umum (PK-BLU) memberi kesempatan kepada PTN berstatus

BHMN dengan kekayaan negara yang belum dipisahkan dapat menerapkan

PK-BLU. Ini berarti PK-BLU hanya dapat diterapkan pada PTN BHMN

dengan kekayaan negara yang belum dipisahkan. Pada kenyataannya yang

menerapkan PK-BLU justru PTN yang berstatus Unit Pelaksana Teknis

(UPT) Pemerintah.

4. Sejalan dengan pendapat Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, penetapan status

PTN menjadi BHMN dengan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan

hukum positip di Indonesia, namun lebih tepat jika penetapan PTN menjadi

BHMN diatur dengan UU sehingga merupakan produk eksekutif dan

legislatif.

Universitas Sumatera Utara


45

Sampai saat ini setelah 10 tahun berlakunya PP Nomor 61 Tahun 1999,

praktis baru tujuh PTN saja yang berstatus BHMN padahal ada hampir seratus PTN

di Indonesia. 77 Ini menunjukkan masih banyak terdapat kendala dan hambatan bagi

PTN yang ada untuk mempersiapkan diri menjadi BHMN. Selain dasar hukumnya

yang dinilai kurang memadai, karena ’hanya’ sebuah Peraturan Pemerintah, juga

kesiapan dari PTN itu sendiri yang masih belum memenuhi persyaratan untuk

menjadi BHMN sebagimana yang disyaratkan dalam Pasal 4 ayat (3) PP Nomor 61

Tahun 1999, yaitu harus memiliki kemampuan menyelenggarakan pendidikan tinggi

yang efisien dan berkualitas, memenuhi standar minimum kelayakan finansial, dan

melaksanakan PTN berdasarkan prinsip ekonomis dan akuntabilitas. Persyaratan ini

tentunya cukup berat bagi beberapa PTN yang sudah terbiasa dengan program kerja

yang sudah ditentukan dari Depdiknas. Demikian juga mengenai alokasi dan

pengelolaan keuangan PTN yang selama ini sangat tergantung kepada Depdiknas

sebagai organisasi induknya.

Bagi 7 PTN yang sudah berstatus BHMN saja kebanyakan ’jalan di tempat’

dan masih terdapat banyak keluhan. Bahkan menurut Rektor IPB Prof Ahmad Ansori

Mattjik, 78 status BHMN bagi PTN bagai sebuah layang-layang yang dilepas ke udara

namun masih dikontrol tali. Tali inipun masih bisa ditarik turun jika terbang terlalu

tinggi. Meskipun berstatus BHMN, namun dalam pengelolaan keuangan dan

77
Jumlah-pts-ptn-di-indonesia- 2800- paling - banyak-di-dunia- &- catid- :396 :23 agustus-
2009,http://www.analisadaily.com/index.php?option.com-content&view=article&id.
78
Unibraw-UM Pilih BHMN, UIN BLU, http://www1.surya.co.id/V2/?p=3258.

Universitas Sumatera Utara


46

kepegawaian masih dikendalikan Depkeu dan BKN. Kaitannya dengan keuangan,

belum ada pemisahan aset yang jelas antara milik negara dengan milik perguruan

tinggi. Hal ini bisa terlihat dari anggaran sisa yang dikelola oleh PTN harus

dikembalikan kepada negara, padahal seharusnya bisa dimanfaatkan oleh yang

lainnya, sedang masalah kepegawaian masih dibina sebagai PNS.

3. PTN Berstatus BLU

Salah satu agenda reformasi keuangan negara adalah adanya pergeseran dari

pengganggaran tradisional menjadi pengganggaran berbasis kinerja. Dengan basis

kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah tidak lagi berorientasi pada input, tetapi

pada output. Penganggaran yang berorientasi pada output merupakan praktik yang

telah dianut luas oleh pemerintahan modern di berbagai negara. Pendekatan

penganggaran yang demikian sangat diperlukan bagi satuan kerja instansi pemerintah

yang memberikan pelayanan kepada publik. Salah satu alternatif untuk mendorong

peningkatan pelayanan publik adalah dengan mewiraswastakan pemerintah.

Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma yang

memberi arah yang tepat bagi sektor keuangan publik.

Ketentuan tentang penganggaran tersebut telah dituangkan dalam UU

Keuangan Negara. Selanjutnya, UU Perbendaharaan Negara membuka koridor baru

bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69

Undang-Undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya

Universitas Sumatera Utara


47

memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pengelolaan keuangan

yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.

Menurut Pasal 1 angka 24 UU Perbendaharaan Negara, BLU adalah instansi

di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan

mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip

efisiensi dan produktivitas. Walaupun BLU dibentuk tidak untuk mencari

keuntungan, akan tetapi letak enterprising-nya dapat dilihat pada Pasal 69 ayat (6)

bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU

yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah,

sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan.

Sebagaimana amanat Pasal 69 UU Perbendaharaan Negara bahwa BLU akan

diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, pada tanggal 13 Juni 2005

pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan

Layanan Umum. Peraturan tersebut mengatur lebih rinci mengenai tujuan, asas,

persyaratan, penetapan, pencabutan, standar layanan, tarif layanan, pengelolaan

keuangan, dan tata kelola BLU. Status BLU dapat diberikan kepada semua instansi

pemerintah yang dibentuk untuk memberi pelayanan kepada masyarakat.

BLU merupakan alat untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik melalui

penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil, dan bukanlah semata-mata

sarana untuk mengejar fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan. Sehingga untuk

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat/publik dengan tarif/ harga layanan yang

Universitas Sumatera Utara


48

terjangkau masyarakat dengan kualitas layanan yang baik, cepat, efisien dan efektif

dapat diterapkan Pengelolaan Keuangan BLU dengan fleksibilitas berupa keleluasaan

untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat.79

Memang sebagai bagian dari fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU,

pendapatan operasional BLU, walaupun tetap merupakan PNBP tetapi dapat

digunakan langsung, sesuai Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA)-nya tanpa terlebih

dahulu disetorkan ke Rekening Kas Negara/Daerah. Anggaran BLU dimasukkan

dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKAKL) dan RBA

definitif BLU merupakan lampiran DIPA BLU. Dengan demikian penggunaan PNBP

harus sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan dalam DIPA dan RBA BLU.

Untuk BLU di lingkungan Pemerintah Pusat, selanjutnya setiap triwulan,

BLU tersebut wajib mempertanggungjawabkan penggunaan dana secara langsung

tersebut, dengan menyampaikan Surat Perintah Membayar (SPM) pengesahan yang

dilampiri Surat Pernyataan Tanggung Jawab (SPTJ) kepada KPPN selambat-

lambatnya tanggal 10 setelah akhir triwulan yang bersangkutan untuk memperoleh

pengesahan.

Hasil temuan BPK pada tahun 2007 masih mengindikasikan banyak PTN

yang terindikasi belum menyetorkan PNBP-nya. Alasan yang dikemukakan adalah

dana-dana PNBP itu digunakan terlebih dahulu selagi menunggu cairnya anggaran

APBN dalam suatu kegiatan. Tapi menurut BPK secara hukum hal itu salah. PNBP

79
Seputar BLU, http://sieyankesarkom.wordpress.com/2009/05/20/hello-world.

Universitas Sumatera Utara


49

yang diposkan sementara dalam rekening-rekening "liar" telah divonis merugikan

negara.

Menurut ketua BPK Anwar Nasution80 dari hasil pemeriksaan semester II

2006 menyatakan:

“Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Hasanuddin Makassar, dan


Universitas Sumatera Utara masih menahan PNBP senilai Rp 242,65 miliar. Hal
tersebut menimbulkan kontroversi karena pihak universitas terpaksa menahan uang
tersebut agar dapat membiayai operasional perkuliahan dan kegiatan mahasiswa di
kampusnya.”

Untuk menyikapi hal itu, Menteri Keuangan (Menkeu) menyadari kesulitan

yang dihadapi satker-satker dalam hal kebutuhan dana mendesak. Beliau

mengatakan81:

“Semuanya adalah aturan manusia yang masih bisa diubah. Daripada membuat para
rektor itu terus berbohong, lebih baik dicarikan cara agar mereka dapat
menggunakan dana PNBP tanpa harus terhambat oleh apa pun. Sebuah Departemen,
Lembaga,dan Universitas memiliki Badan Usaha. Lebih bagus lagi bila memiliki
BLU yang telah memiliki payung hukum yang jelas.

Tawaran Menkeu agar PTN berubah ke sistem BLU untuk mempermudah

pengelolaan dan transparansi keuangan mulai direspons serius. Institut Teknologi

Sepuluh Nopember (ITS) pada tanggal 13 Februari 2008 mengadakan lokakarya

tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) yang dihadiri

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta Prof. Dr. M. Amin

80
BLU- Akankah – Menjadi - Solusi, http://Heru-stan.blogspot.com/search/label/stan.
81
Ibid.
82
Sistem Keuangan BLU Direspon Positip Oleh PTN di Jatim,
htpp://www.bpkp.go.id/index.php.

Universitas Sumatera Utara


50

Abdullah, Departemen Keuangan, Dirjen Dikti dan Perwakilan BPKP Provinsi Jawa

Timur.82

Menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah83, selama menjadi BLU UIN Sunan

Kalijaga Jogjakarta tidak lagi menemui kesulitan seperti waktu yang terjadi saat

rezim PNBP. Sebelumnya, para rektor PTN mengeluh seputar penerimaan dan

pencairan anggaran untuk kebutuhan kampus. Selama ini mereka harus menyetorkan

dahulu ke negara seluruh dana yang diterima karena penerimaan itu termasuk PNBP.

Setelah proses setor ke kas negara, dana tersebut dikembalikan ke kampus lewat

rektor yang tentu saja membutuhkan waktu lama.

Selain dianggap berbelit, proses itu tidak efektif dan efisien terutama apabila

kampus bersangkutan mendapatkan sumbangan atau hibah atas nama pribadi. Tentu

kalau harus setor dahulu ke kas negara akan sangat menyulitkan kampus, seperti yang

dialami UIN Malang yang mendapatkan sumbangan besar dari warga Timur Tengah.

Apabila menggunakan sistem yang selama ini berlaku di PTN, kampus diwajibkan

setor dahulu ke kas negara. Padahal, yang memberi sumbangan itu tidak menuntut

laporan, hanya ingin melihat gedungnya jadi.

Hal itu berbeda kalau PTN telah menerapkan sistem BLU , kampus dapat

langsung menggunakan lima macam pendapatan, yaitu dana hibah, dana operasional,

kerja sama operasi, APBN, dan pendapatan lain-lain yang sah. Dengan BLU lima

pendapatan itu masuk ke kampus dan langsung dapat digunakan untuk kegiatan

82
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


51

operasional kampus, namun PTN harus tetap membuat laporan keuangan dengan jelas

dan pada akhirnya akan diperiksa oleh BPK, BPKP dan Depkeu. Sistem BLU

menuntut detail rincian per tarif setiap kegiatan kampus. Selain itu, kampus harus

membentuk dewan pengawas dan beberapa perubahan struktur.

Menurut Kepala Perwakilan BPKP Jatim Teguh Widhyo Utomo pengelolaan

keuangan BLU merupakan paradigma baru yang diharapkan dapat memberikan arah

yang tepat bagi pengelola keuangan sektor publik menuju enterprising the

government (mewiraswastakan pemerintah) yang public service oriented dalam arti

positif, instansi pemerintah boleh menciptakan keuntungan namun tetap

mengedepankan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Untuk lebih memahami dan mengenal BLU ini, perlu diuraikan Karakteristik,

jenis dan lingkup keuangan BLU. BLU mempunyai karakteristik yang berbeda

dengan BHMN dan BHPP yaitu84:

1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari

kekayaan Negara serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk

menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan;

2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat;

3. Tidak bertujuan untuk mencari laba;

4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala

korporasi;

84
Seputar BLU, http://sieyankesarkom.wordpress.com/2009/05/20/hello-world.

Universitas Sumatera Utara


52

5. BLU wajib membuat Rencana kerja dan anggaran tahunan yang

pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada instansi induk;

6. laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta laporan keuangan dan laporan

kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah

7. Pendapatan BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan maupun

sumbangan (tetap dianggap sebagai PNBP) namun dapat digunakan secara

langsung;

8. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain;

9. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri

sipil;

10. BLU bukan subyek pajak (UU Nomor 36 tahun 2008 Tentang Pajak

Penghasilan menyebutkan bahwa BLU bukanlah merupakan subjek pajak).

Apabila dikelompokkan menurut jenisnya BLU terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu85:

1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit,

lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain;

2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita

pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu; dan

3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana

bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai.

85
Dari Jogja Untuk Indonesia, http://www.hukum.jogja.go.id/?pilih=lihat&id=91.

Universitas Sumatera Utara


53

Dengan menjadi BLU , diharapkan pelayanan masyarakat dapat ditingkatkan

dengan cara yang profesional, efektif dan efisien oleh pengelola unit tersebut dengan

otonomi pengelolaan yang akan diberikan. BLU memiliki pengelolaan keuangan

yang mandiri, namun berada pada dua posisi. BLU mendapat dana dari pemerintah

(APBN atau APBD), sekaligus juga bisa mencari pendapatan sendiri melalui

pelayanan yang diberikannya. Pengelolaan keuangan BLU memang menjadi isu

penting belakangan ini ini karena BLU bisa terbentuk di semua lembaga dan instansi

pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Di Departemen Pendidikan Nasional ada

PTN BLU.

Dalam Pasal 38 PP No 23 tahun 2005 disebutkan bahwa Perguruan tinggi

berstatus BHMN dengan kekayaan negara yang belum dipisahkan dapat menerapkan

PPK BLU setelah memenuhi persyaratan dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

Menurut Pasal 4 ayat (2 , 3 dan 4) PP No 23 tahun 2005, ada 3 Persyaratan

yang harus dipenuhi oleh suatu satuan kerja instansi pemerintah agar dapat diizinkan

untuk menerapkan PK-BLU, yaitu:

1. Persyaratan substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang


bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:
a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi
dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
2. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada poin 1 terpenuhi apabila:
a. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola
dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana
direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD
sesuai dengan kewenangannya; dan

Universitas Sumatera Utara


54

b. Kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat


sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
3. Persyaratan administratif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang
bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen berikut:
a. pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja
pelayanan,keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
b. pola tata kelola;
c. rencana strategis bisnis;
d. laporan keuangan pokok;
e. standar pelayanan minimal; dan
f. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara
independen.

Penilaian persyaratan substantif dan teknis merupakan wewenang kementerian

negara/ lembaga/ kepala SKPD yang bersangkutan, sedangkan penilaian persyaratan

administrasi merupakan wewenang Menteri Keuangan/ gubernur/bupati/walikota.

Bentuk penetapan satker yang menerapkan PK-BLU dapat berupa pemberian

status BLU secara penuh atau BLU bertahap.

Beberapa bentuk keistimewaan/privilese atau pengecualian dalam hal

fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU Penuh tersebut, antara lain86:

a. Pendapatan operasional dapat digunakan langsung, sesuai Rencana Bisnis dan


Anggarannya tanpa terlebih dahulu disetorkan ke Rekening Kas Negara.
Namun demikian, seluruh pendapatan tersebut merupakan PNBP, sehingga
wajib dilaporkan dalam laporan Realisasi Anggaran.
b. Anggaran belanja BLU merupakan anggaran fleksibel berdasarkan kesetaraan
antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, atau dengan
kata lain, belanja dapat bertambah atau berkurang dari yang dianggarkan
sepanjang pendapatan terkait bertambah atau berkurang, setidaknya
proporsional.
c. Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai
berikut:
1. Merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas;

86
Kesalahan Persepsi Tentang Pengelolaan Keuangan BLU,
http:/www.perbendaharaan.go.id.

Universitas Sumatera Utara


55

2. Melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan;


3. Menyimpan kas dan mengelola rekening bank;
4. Melakukan pembayaran;
5. Mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek;
6. Memanfaatkan kas yang menganggur (idle cash) jangka pendek untuk
memperoleh pendapatan tambahan.
d. BLU dapat mengelola piutang, sepanjang dikelola dan diselesaikan secara
tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggungjawab serta memberikan
nilai tambah, sesuai praktik bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
e. BLU dapat mengelola utang sepanjang dikelola dan diselesaikan secara tertib,
efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggungjawab serta memberikan nilai
tambah, sesuai praktik bisnis yang sehat. Pembayaran kembali utang BLU
merupakan tanggung jawab BLU.
f. BLU dapat melakukan investasi jangka pendek maupun jangka panjang.
Khusus investasi jangka panjang, harus mendapat persetujuan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota.
g. Pengadaan barang/jasa BLU yang sumber dananya berasal dari pendapatan
operasional, hibah tidak terikat, hasil kerjasama dengan pihak lainnya dapat
dilaksanakan berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan
Pimpinan BLU dengan mengikuti prinsip-prinsip transparansi,adil/tidak
diskriminatif, akuntabilitas, dan praktik bisnis yang sehat. Dengan kata lain,
dapat tidak mengikuti ketentuan Keppres Nomor 80 tahun 2003 beserta
seluruh perubahannya.
h. BLU dapat mengembangkan Kebijakan, Sistem dan Prosedur Pengelolaan
Keuangan. Dalam mengembangkan sistem akuntansinya, BLU mengacu pada
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku sesuai jenis layanannya atau
mengembangkan kebijakan akuntansi, jika belum ada SAK yang sesuai jenis
industrinya dapat ditetapkan oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya.
i. BLU dapat memperkerjakan tenaga profesional non PNS.
j. Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU dapat diberikan
remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme
yang diperlukan, setelah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota atas usulan menteri/pimpinan
lembaga/kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
Beberapa bentuk keistimewaan/privilese atau pengecualian dalam hal fleksibilitas
pengelolaan keuangan BLU Bertahap, sama dengan BLU Penuh, terkecuali dalam
hal:
a. Penggunaan langsung PNBP secara penuh. Karena besaran persentase PNBP
yang dapat digunakan langsung adalah sebesar persentase maksimum yang
ditetapkan dalam KMK penetapan satker untuk menerapkan PK BLU.
b. Pengelolaan Investasi.

Universitas Sumatera Utara


56

c. Pengelolaan Utang.
d. Pengadaan barang/jasa.

Saat ini ada sekitar 28 PTN dan Sekolah Tinggi yang telah berstatus BLU. 87

B. Status PTN Setelah Berlakunya UU BHP

Meski dihadang demonstrasi besar-besaran dan kecaman luar biasa dari

mahasiswa di sejumlah kota, DPR mengesahkan RUU BHP UU. Sebanyak 10 fraksi

di DPR sepakat mengesahkan UU BHP. Pengesahan yang berlangsung dalam rapat

paripurna itu tidak dihadiri Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang

Sudibyo. Pemerintah diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi

Mattalatta. Banyak reaksi pro-kontra dalam proses sidang pengesahan RUU BHP

yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Prof Anwar Arifin

mengatakan bahwa UU BHP diperlukan agar lembaga pendidikan bisa melakukan

tindakan hukum dan tidak akan melahirkan kapitalisme dunia pendidikan. UU BHP

nantinya juga akan mengatur soal manajemen dan pengelolaan lembaga pendidikan

agar bisa lebih profesional dalam pelaksanaan program pendidikan dan pengelolaan

keuangan. 88

87
Satker Yang telah Ditetapkan Untuk Menerapkan PK-BLU per 5 Oktober 2009,
http://www.perbendaharaan.go.id.
88
Pandangan Komisi X Terhadap RUU BHP, http://www.lpm.undip.ac.id/index.php?.

Universitas Sumatera Utara


57

1. Tanggapan Berbagai Pihak Atas RUU BHP Khususnya Yang Menyangkut

PTN

UU BHP sebagai amanat dari Pasal 53 Undang-Undang Sisdiknas merupakan

topik yang hangat di bahas di beberapa kampus. Pembahasan yang sudah berlangsung

selama tidak kurang dari 5 tahun itu akhirnya sampai pada satu titik yang

menentukan, di mana pada tanggal 17 Desember 2008 DPR mengesahkan RUU BHP

menjadi UU BHP. Pengesahan UU tersebut menimbulkan sejumlah polemik dan

kontroversi.

Dominasi isu yang muncul adalah bahwa negara dianggap melepaskan

tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana

termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Isu ini semakin kuat jika

dikaitkan dengan gejala liberalisasi (neoliberalisme) atas nama profesionalisme dan

korporasi yang sudah terjadi pada sektor-sektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi

di dalam draf-draf awal RUU BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya

lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama

dengan BHP Indonesia yang telah ada. Pasal ini memiliki sisi positif untuk

meningkatkan daya saing pendidikan tinggi untuk menyerap pengetahuan pendidikan

tinggi asing, tetapi juga dapat memiliki dampak negatif berupa liberalisasi pendidikan

tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan penguasaan pendidikan oleh lembaga

pendidikan tinggi asing. Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh

DPR.

Universitas Sumatera Utara


58

Menurut Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno89, UU BHP sama sekali tidak

memuat Pasal yang meliberalkan dunia pendidikan. Justru pemerintah akan

menanggung seluruh biaya pembangunan dan gaji dosen.

Memang, sebagai badan hukum, perguruan tinggi punya hak menetapkan SPP yang

harus dibayar oleh mahasiswa peserta didik. Tapi, besaran pungutan dibatasi paling

tinggi 1/3 dari biaya operasional institusi pendidikan bersangkutan.

Kontroversi lainnya adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan

semakin mahal dengan terbentuknya BHP. Kekhawatiran ini berasal dari praktik PTN

BHMN yang dianggap sebagai spesies BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi

memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan.

Dalam praktik PT BHMN selama ini terlihat bahwa pembiayaannya masih berpijak

pada biaya operasional pendidikan (BOP) yang dipungut dari peserta didik. Hal ini

terjadi karena berbagai persoalan, seperti aset PT BHMN yang masih dimiliki oleh

negara menyebabkan kesulitan pengembangan sumber penerimaan lain dari bisnis. 90

Untuk lebih mengetahui ’perjalanan panjang’ RUU BHP menjadi UU BHP,

kiranya perlu disampaikan argumen dan pandangan dari berbagai pihak, baik fraksi-

fraksi DPR di komisi X yang membidangi Pendidikan, pakar hukum, pimpinan PTN

maupun kalangan mahasiswa.

89
Komersialisasi Pendidikan di Indonesia;Analisis Yuridis RUU BHP,http://www.fpks-
dpr.or.id.
90
Ibid

Universitas Sumatera Utara


59

a. Pandangan Fraksi-Fraksi dan Tanggapan Pemerintah

Pada Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU BHP oleh Komisi X DPR RI tanggal

16 Januari 2008, yang dipimpin oleh Heri Akhmadi, Wakil Ketua Komisi X DPR RI

membahas tentang hasil uji publik RUU BHP di 10 propinsi di Indonesia dan

membahas draft usulan terakhir dari Pemerintah tentang RUU BHP. Pihak

Pemerintah diwakili Dirjen Dikti, Fasli Jalal, dan Dirjen Manajemen Pendidikan

Dasar dan Menengah, Prof. Suyanto. Dalam rapat ini berkembang beberapa isu yang

krusial disampaikan oleh fraksi-fraksi, yaitu91 :

(1) Usulan untuk memecah RUU BHP antara BHP Pendidikan Tinggi dan BHP

Pendidikan Dasar dan Menengah.

Usul ini disampaikan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Menurut Fraksi PPP alasan pemisahan ini adalah pertimbangan ketidaksiapan

lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah yang dianggap belum

profesional dan belum mampu menerapkan otonomi pendidikan sepenuhnya.

Sementara perguruan tinggi sangat siap untuk itu, karena mereka memiliki budaya

akademis dan ilmiah. Usulan PPP ini didukung oleh beberapa Fraksi, seperti

PAN, PKB dan PDS. Fraksi yang mendukung pemisahan ini memandang bahwa

yang membutuhkan UU BHP segera adalah pendidikan tinggi, oleh karenanya

RUU BHP Pendidikan Tinggi yang mendesak untuk disahkan menjadi UU.

91
Pemisahan BHP, http://www. dikti. go. id / index. php? option.

Universitas Sumatera Utara


60

Dirjen Dikti, Fasli Jalal dalam tanggapannya dari pihak pemerintah

mengatakan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang berbunyi, Penyelenggara

dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau

masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan, menjadi landasan perlunya

dibuat UU BHP. Pasal ini tidak ada membedakan antara pendidikan tinggi dan

pendidikan dasar dan menengah. Menurut Fasli Jalal, perbedaan pendapat pada

satu atau dua Pasal saja hendaknya jangan dijadikan alasan untuk membuat

pemisahan UU BHP, karena akan melelahkan. Padahal RUU BHP ini telah

mengalami perjalanan panjang dan sekarang hampir mau mengerucut pada

kesepakatan. Untuk penyelenggara dan satuan pendidikan yang belum bisa

mengadopsi BHP secara keseluruhan, lebih baik diperpanjang saja waktu

penyesuaiannya.

(2) Usul pencantuman kata ‘dapat’ dalam Pasal 5 ayat 2 RUU BHP.

Pihak panja pemerintah mengusulkan pencantuman kata dapat dalam Pasal 5

ayat 2 yang semula berbunyi, untuk satuan pendidikan dasar dan pendidikan

menengah yang didirikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah berbentuk

badan hukum pendidikan sehingga bunyinya menjadi, untuk satuan pendidikan

dasar dan pendidikan menengah yang didirikan oleh pemerintah atau pemerintah

daerah dapat berbentuk badan hukum pendidikan. Pencantuman kata ’dapat’

pada Pasal 5 ayat 2 tersebut lebih moderat daripada memisahkan undang-undang

BHP yang sudah berpayah-payah dibangun. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia

Universitas Sumatera Utara


61

Perjuangan (PDIP), sepakat dengan pemerintah untuk mencantumkan kata ’dapat’

Pasal 5 ayat 2 RUU BHP.

Bagi Partai Golkar pencantuman kata dapat bermakna penyelenggara dan

atau satuan pendidian dasar dan menengah tidak diharuskan menjadi BHP, bila

tidak BHP, maka perlu difikirkan bentuk badan hukum apa yang digunakan.

Sementara itu, menurut Fraksi Demokrat dan PKS draf terakhir dari panja

pemerintah ini, pada Pasal 5 masih ada ketidakadilan, seharusnya pada ayat 4

ditambah dengan kata ’dapat’ juga, sehingga semula berbunyi, penyelenggara

pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang didirikan oleh masyarakat

berbentuk badan hukum pendidikan, bunyinya menjadi penyelenggara pendidikan

dasar dan pendidikan menengah yang didirikan oleh masyarakat dapat berbentuk

BHP.

(3) Memikirkan ulang pencantuman klausul numeric (angka), seperti 2/3 (pada Pasal

34 ayat 3 pada RUU BHP versi 5 Desember 2007) dan 20 persen (Pasal 38 ayat 1

RUU BHP versi 5 Desember 2007 dan Pasal 36 ayat 1 versi Panja Pemerintah

setelah melihat hasil uji publik RUU BHP).

Umumnya fraksi meminta agar Pasal yang ayat-ayatnya ada klausul numeric

(angka) difikirkan lagi, karena anggaran pendidikan dua puluh persen yang

tercantum dalam UUD 1945 saja belum terpenuhi. Misalnya pada Pasal 36 ayat 1

tentang alokasi beasiswa paling sedikit 20 % bagi warga Indonesia yang kurang

mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik

tinggi lebih baik ditiadakan.

Universitas Sumatera Utara


62

Sementara itu Pasal 34 ayat 2 dan 3 RUU BHP 5 Desember 2007 klausul 2/3

biaya pendidikan yang terdapat dalam draf usulan terakhir Panja Pemerintah, 24

Januari 2008 sudah ditiadakan.

b. Pandangan Komisi X terhadap RUU BHP Usulan Pemerintah

Pandangan Komisi X DPR terhadap RUU BHP menyoroti 6 (enam) hal,

yaitu92:

1. Pengaturan Badan

a. Undang-Undang BHP harus mampu mengatur tentang BHP yang menjamin

adanya keanekaragaman, antara lain, berbentuk BHPP, badan hukum pendidikan

masyarakat dan badan hukum pendidikan daerah, yayasan, badan wakaf,

perkumpulan dan badan hukum lain yang didirikan oleh masyarakat, yang diakui

sebagai BHP, dengan mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU BHP.

b. BHP harus memperkokoh pemihakan negara terhadap dunia pendidikan baik

negeri ataupun swasta tanpa diskriminasi.

c. BHP tidak boleh menghilangkan peran historis dunia pendidikan/lembaga

pendidikan yang sudah ada oleh masyarakat.

d. BHP juga tidak boleh menyeragamkan terhadap lembaga-lembaga pendidikan

yang selama ini sudah mempunyai karakter tersendiri.

92
Pandangan Komisi X Terhadap RUU BHP, http://www.lpm.undip.ac.id/index.php?..

Universitas Sumatera Utara


63

2. Pendanaan

a. Pendidikan merupakan tanggungjawab negara, sehingga negara mempunyai

tanggungjawab utama dalam penyediaan dana pendidikan dengan membuka

partisipasi masyarakat. Namun dengan adanya RUU BHP terkesan negara lepas

tangan dan menimbulkan multi tafsir terhadap penyelenggaraan pendidikan yang

dapat diterjemahkan sebagai liberalisasi atau komersialisasi pendidikan.

b. BHP tidak boleh mencari keuntungan dari penyelenggaraan pelayanan

pendidikan, sebab jika mencari keuntungan sama halnya dengan suatu lembaga

yang berorientasi bisnis (Commercial business oriented).

c. RUU BHP seharusnya menambah satu bagian/bab tentang pendanaan yang

menjelaskan bahwa pendidikan adalah tanggungjawab negara dengan membuka

partisipasi masyarakat.

3. Struktur Kelembagaan

a. UU BHP sebaiknya hanya mengatur fungsi organ-organ BHP. Organ-organ

tersebut adalah: (1) organ yang merepresentasikan pemangku kepentingan (stake

holders) pendidikan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, (2) satuan

pendidikan, (3) lembaga audit, dan (4) lembaga para pendidik. Pengaturan organ

tersebut sebaiknya tidak terlalu detil dan nama wadah/lembaga-lembaga lebih

baik diatur dalam AD/ART masing-masing badan hukum pendidikan.

b. Prinsip yang diatur dengan jelas adalah tentang otonomi pada satuan pendidikan

(otonomi perguruan tinggi dan manajemen berbasis sekolah). Demikian juga

harus diatur dengan jelas tentang akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas

Universitas Sumatera Utara


64

akademik sebagai bentuk pertanggungjawaban layanan kepada pemangku

kepentingan pendidikan.

4. Aset/Harta Kekayaan

a. Pengaturan aset/harta kekayaan harus jelas dengan memperhatikan tujuan utama

pendirian lembaga pendidikan oleh masyarakat. Terlebih asal mula pendirian

lembaga pendidikan oleh masyarakat lebih banyak dengan melibatkan harta

pribadi pendiri.

b. BHP harus tetap dapat mendorong masyarakat atau individu yang mempunyai

harta/kekayaan yang akan digunakan untuk mendirikan/menjalankan

penyelenggaraan lembaga pendidikan, karena pendidikan merupakan perbuatan

ibadah yang sangat mulia diantaranya adalah mencerdaskan para peserta didik.

c. Mengenai pemisahan aset pemerintah dalam bentuk badan hukum pendidikan

pemerintah dan kaitannya dengan APBN dan pengawasan keuangan negara harus

dibicarakan dengan Menteri Keuangan.

5. Implikasi UU Yang Lain

a. Agar tidak terjadi komplikasi hukum dalam implementasi UU BHP, perlu

diperhatikan ketentuan pada UU terkait antara lain UU Keuangan Negara, UU

Perbendaharaan Negara, UU No 15 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan

Tanggung-jawab Keuangan Negara, UU No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan

UU Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian Negara, UU Nomor

28 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor. 16 Tahun 2001 tentang

Universitas Sumatera Utara


65

Yayasan, UU PNBP, UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan

Tatacara Perpajakan, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

b. BHP harus diklasifikasikan sebagai non subjek pajak yang dapat menerima

insentif pajak dan bantuan keuangan dari Pemerintah untuk mencapai tujuan

pendidikan nasional. Untuk mencapai itu diperlukan Raker dengan Menteri

Keuangan dan Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen Pajak untuk merumuskan

BHP sebagai non subjek pajak.

6. Kegiatan BHP

a. BHP mempunyai kegiatan utama penyelenggaraan pelayanan pendidikan namun

BHP boleh mempunyai kegiatan usaha yang terkait dengan kegiatan pendidikan.

b. Sifat nirlaba dari badan hukum pendidikan perlu dijabarkan dengan tegas dalam

Bab terpisah tentang pengelolaan keuangan, akuntabel dan transparan.

c. Pandangan Pimpinan Beberapa PTN

Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR pada tanggal 10 Februari 2008,

Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat RUU BHP disahkan menjadi UU BHP.

Sejumlah pimpinan PTN di daerah menyambut positif rencana tersebut. Mereka

berharap pemerintah konsisten soal pembiayaan operasional untuk seluruh PTN di

Indonesia, seperti diamanatkan dalam UU BHP. Wakil Rektor Senior Bidang

Akademik Institut Teknologi Bandung (ITB), Adang Surachman dan Kepala Bidang

Humas dan Keprotokolan UGM, Suryo Baskoro serta Prof Dadang Achmad

Suryamihardja, Pembantu Rektor (Purek) I Universitas Hassanuddin (Unhas)

Makassar, termasuk yang sangat mendukung disahkannya RUU BHP tersebut,

Universitas Sumatera Utara


66

alasannya calon mahasiswa yang masuk PTN tidak perlu lagi membayar uang masuk,

uang pangkal, ataupun uang bangku kuliah, sepanjang pemerintah konsekuen dengan

mengambil alih seluruh kekurangan pembiayaan pendidikan. 93

d. Pandangan Pakar Hukum

Menurut Hikmahanto Juwana94 tujuan RUU yang mengatur BHP pada

dasarnya adalah ingin memandirikan lembaga pendidikan ’negeri’ yang selama ini

merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk UPT dan untuk

menciptakan badan hukum baru melengkapi sejumlah badan hukum yang ada yang

selama ini dikenal, yaitu Perseroan Terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan

umum (perum), BLU, perhimpunan, dan BHMN. Berbagai jenis badan hukum,

kecuali BHMN dianggap kurang memadai sebagai ’kendaraan’ yang mengelola

pendidikan. BHP diharapkan menjadi badan hukum yang dapat mengakomodasi

organ yang yang dikenal pada lembaga pendidikan. Namun kiranya kurang tepat jika

suatu RUU mengatur badan hukum yang secara eksklusif mengatur pendidikan

karena dari sejumlah jenis badan hukum yang dikenal, tidak ada satupun yang secara

eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan atau industri tertentu. Sebagai

contoh BHMN tidak secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan

pendidikan mengingat Badan Pelaksana Minyak dan Gas didirikan dalam bentuk

93
RUU BHP: Uang MasukPTN Bakal Dihapus, http://www.alumnifatek,
forumotion.com/postforum?mode=reply&t=558.
94
Apa - Tujuan - RUU - BHP?, http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0611/20/humanioral/3105718.htm.

Universitas Sumatera Utara


67

BHMN, demikian juga dengan PT dan yayasan yang tidak ditujukan untuk satu

kegiatan secara eksklusif.

e. Pandangan Ketua Perumus RUU BHP

UU BHP menjadi bahan perbincangan paling hangat di kalangan insan

pendidikan dua bulan belakangan. Sejak disahkan DPR, 17 Desember lalu,

gelombang protes terhadap UU ini seolah tak kunjung henti, mengepung dari

berbagai penjuru. Mahasiswa dan guru turun ke jalan, pengamat dan pemilik yayasan

melontarkan kecaman pedas. Yang satu bilang, pendidikan makin komersial, yang

lain berkata eksistensi mereka terancam. Johannes Gunawan95 sebagai ketua perumus

RUU BHP mengaku gerah melihat reaksi kebanyakan orang. Menurutnya, jika saja

UU dibaca cermat, mestinya pemerintahlah yang berdemonstrasi menolaknya. UU

BHP memaksa pemerintah lebih peduli kepada mahasiswa dan masyarakat. Artinya,

biaya lebih besar harus di gelontorkan pemerintah demi pendidikan yang makin

murah dan makin mudah diakses orang banyak.

UU BHP telah digodok sejak 2004 dan ditargetkan selesai dalam setahun

namun mundur hingga empat tahun. Pengajuan judicial review (uji materi) oleh

Asosiasi Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI)

Pusat pada 2006 atas Pasal 53 UU Sisdiknas, turut memperlambat proses pengesahan.

Memenangi sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), komisi bekerja lagi. Lalu 2007

RUU disampaikan kepada Presiden untuk selanjutnya digodok dalam panitia kerja

95
http://www.pikiran-rakyat.com.

Universitas Sumatera Utara


68

(panja) di Komisi X DPR RI. Selama kurun pembahasan tersebut, paling tidak terjadi

tiga kali deadlock.

UU BHP mengamanatkan terbentuknya empat badan hukum baru, yakni BHP

Pemerintah (BHPP) untuk eks PTN dan BHMN, BHP Penyelenggara untuk eks PTS,

BHP Pemerintah Daerah (BHPPD) untuk eks satuan pendidikan dasar hingga tinggi

negeri, serta BHP Masyarakat (BHPM) untuk eks satuan pendidikan swasta. Waktu

peralihan bagi BHMN 3 tahun, PTN 4 tahun, dan PTS 6 tahun. Sesudah itu, UU BHP

berlaku efektif.

UU BHP merupakan eksekusi UU Sisdiknas yang mengamanatkan

otonomisasi perguruan tinggi, agar PTN, sebagai pusat keilmuan, tidak mudah tunduk

pada pemerintah, dan PTS pada kemauan yayasan. UU BHP dibuat untuk

memisahkan itu. Ada ketakutan, otonomi kampus identik dengan makin mahalnya

biaya pendidikan karena pemerintah seolah lepas tangan, tidak ada lagi subsidi,

kampus berlomba mencari uang seperti yang banyak dikeluhkan pada PTN BHMN.

Ini yang ingin direvisi dengan kehadiran UU BHP. Tidak benar pemerintah dibuat

lepas tangan. Pemerintah justru diberi lebih banyak tanggung jawab dan tuntutan.

Kalau dibaca cermat, mestinya pemerintah yang berdemonstrasi menolak UU

BHP, bukannya para mahasiswa karena tanggung-jawab pemerintah untuk eks PTN

dan BHMN, saat UU BHP berlaku efektif adalah menanggung 100 persen investasi

kampus dan minimal 50 persen biaya operasional. Kalau dikatakan minimal 50

persen, tentu bisa saja menjadi 100 persen ditanggung pemerintah jika keuangan

negara memungkinkan. Selain itu, pemerintah juga diwajibkan menanggung beasiswa

Universitas Sumatera Utara


69

bagi 20 persen WNI yang tidak mampu tapi memiliki potensi akademik yang tinggi

dan wajib menjaring 20 persen mahasiswa baru yang kurang mampu tapi memiliki

potensi akademik tinggi. Bisa dikatakan, bagi eks PTN dan BHMN UU BHP

menjamin pendidikan murah. Di saat bersamaan, mahasiswa BHPP dibatasi

kontribusinya maksimal sepertiga. Kalau diatur maksimal sepertiga, diharapkan bisa

menjadi nol atau bebas biaya. Dua arah berlawanan ini dibuat untuk memicu lahirnya

pendidikan murah.

Mengenai ketakutan akan masuknya investasi asing di dunia pendidikan

adalah ketakutan yang tidak berdasar. Tidak ada satu Pasal pun yang memungkinkan

masuknya investasi asing. Prinsip BHP sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat 1

adalah nirlaba.

f. Pandangan Keluarga Mahasiawa Instirut Teknologi Bandung (KM-ITB)

Ada 4 aspek yang menjadi ’perhatian’ KM ITB,96 yaitu :

1. Pendanaan dalam BHP Mengurangi Peran Pemerintah dalam Sektor Finansial

Pendidikan

Aspek pertama dilihat dari sisi pendanaan pada perguruan tinggi. Pada Pasal

41 ayat 6 disebutkan bahwa Pemerintah bersama-sama dengan BHPP

menanggung paling sedikit seperdua (1/2) biaya operasional, pada BHPP yang

menyelenggarakan pendidikan tinggi. Tidak ada ketentuan yang mengatur

proporsi kontribusi pendanaan antara pemerintah dan BHPP. Artinya, bisa saja

96
Positioning paperKM ITB, http://km.itb.ac.id/web/diskusi/wp/content.

Universitas Sumatera Utara


70

dana yang diberikan pemerintah lebih sedikit daripada yang dibebankan kepada

BHPP. Pasal 41 ayat 9 mengatakan bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan

yang ditanggung seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi paling

banyak sepertiga dari biaya operasional. Terdapat kejanggalan dalam ayat

tersebut. Jika seperdua (1/2) biaya operasional ditanggung oleh Pemerintah dan

BHPP dengan sepertiganya (1/3) ditanggung oleh peserta didik, maka siapa yang

menanggung seperenam (1/6) sisanya tidak dijelaskan dalam RUU BHP ini.

2. Otonomisasi Kurikulum dalam BHP

Aspek kedua adalah dari sisi otonomisasi kurikulum. Pada Pasal 4 ayat 2

disebutkan bahwa salah satu prinsip pengelolaan pendidikan formal oleh BHP

adalah otonomi, yaitu kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri

dalam bidang akademik maupun non-akademik. Tidak ada penjelasan apa yang

dimaksud dengan kemandirian dalam bidang akademik. Kemudian pada Pasal 33

ayat 2 tentang tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan tinggi salah

satunya adalah menyusun dan menetapkan kebijakan akademik bersama dengan

organ representasi pendidik. Pada penjelasan RUU BHP disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan kebijakan akademik antara lain meliputi kebijakan tentang

kurikulum dan pembelajaran. Terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi dari hal

tersebut. Salah satunya mengenai batas kewenangan organ pengelola pendidikan

dan organ representasi pendidik dalam menetapkan kebijakan akademik termasuk

kurikulum. Apakah kurikulum tesebut benar-benar bebas disusun sesuai dengan

kebutuhan dan keinginan organ tersebut, ataukan ada koridor-koridor dasar yang

Universitas Sumatera Utara


71

ditentukan Pemerintah dalam menetapkan kurikulum. Perlu diingat bahwa

kurikulum merupakan hal amat penting dalam pelaksanaan pendidikan sebagai

representasi tujuan dan esensi dari pelaksanaan suatu pendidikan, maka

Pemerintah harus melakukan kontrol yang sangat terperinci terhadap kurikulum

dalam menjamin ketercapaian tujuan pendidikan karena kurikulum sangat terkait

dengan materi pengajaran untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia demi

kemajuan Bangsa.

3. ’Superioritas’ pada Organ Representasi Pemangku Kepentingan

Aspek ketiga dipandang dari sisi peran dari organ representasi pemangku

kepentingan. Pada BAB IV RUU BHP mengenai Tata Kelola, Pasal 15 ayat 2

mengatakan bahwa Organ BHP yang menjalankan fungsi BHP terdiri atas 4

elemen: 1. Organ representasi pemangku kepentingan, 2. Organ representasi

pendidik, 3. Organ audit bidang non-akademik, 4. Organ pengelola pendidikan.

Pada Pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa organ representasi pemangku

kepentingan merupakan organ tertinggi BHP dalam penyelenggaraan pendidikan

formal. Pada Pasal 18 ayat 3 dikatakan bahwa organ representasi pemangku

kepentingan di dalam BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi paling

sedikit terdiri atas pendiri atau wakil pendiri; wakil organ representasi pendidik;

pemimpin organ pengelola pendidikan; wakil tenaga kependidikan dan wakil

unsur masyarakat.

Pasal 19 ayat 3 menyatakan bahwa pada pendidikan tinggi jumlah anggota

organ representasi pemangku kepentingan yang berasal dari wakil organ

Universitas Sumatera Utara


72

representasi pendidik, pemimpin organ pengelola pendidikan, dan wakil tenaga

kependidikan adalah paling banyak sepertiganya (1/3). Hal tersebut berarti

duapertiga (2/3) anggota dari organ ini berarti berasal dari Pemerintah dan wakil

unsur masyarakat. Jumlah anggota yang berasal dari pendiri dan wakil pendiri

(Pemerintah atau pemerintah daerah) dapat lebih dari 1 orang. Artinya satu orang

pun tidak masalah. Hal ini berbahaya mengingat organ represetasi pemangku

kepentingan merupakan organ tertinggi dalam institusi badan hukum pendidikan

yang mengatur seluruh aspek strategis dalam pengelolaan badan hukum

pendidikan (Pasal 22).

Jika sebagian besar anggota organ ini adalah wakil unsur masyarakat, tidak

pernah didefinisikan dengan jelas siapa saja yang dimaksudkan wakil unsur

mayarakat tersebut dan standar kapabilitas dan kualifikasinya. Wewenang yang

sangat besar ditambah dengan ketiadaan dominasi pemerintah dalam keanggotaan

organ ini memungkinkan masuknya berbagai kepentingan dalam penyelenggaraan

pendidikan Indonesia. Kontrol Pemerintah pun bersifat amat minimalis dalam hal

ini.

Pasal 18 ayat 6 menyebutkan bahwa Pemimpin organ pengelola pendidikan

tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan di dalam organ

representasi pemangku kepentingan. Jika memang institusi BHP adalah institusi

yang menjunjung tinggi profesionalitas, mengapa dalam pengambilan keputusan

bukan porsi akademisi yang diperbanyak? Bukankah itu justru mengebiri potensi

insan akademis untuk mengatur dirinya sendiri? Alih-alih membentuk otonomi

Universitas Sumatera Utara


73

kampus, BHP justru membentuk otokrasi kampus yang dipegang oleh

’masyarakat’. Di mana, definisi , kriteria dan kualifikasi masyarakat ini belum

diatur dalam RUU BHP ini. Kejanggalan terakhir adalah adanya dewan audit di

bawah Organ Representasi Pemangku Kepentingan ini. Jika mengusung asas

transparan dan akuntabilitas, bukankah seharusnya dewan audit berada secara

independen dan dari pihak eksternal? Terlebih lagi, dalam UU BHP ini belum

dijelaskan secara terperinci bagaimana Organ Representasi Pemangku

Kepentingan mengatur organ-organ di bawahnya.

4. Analog BHP dengan Perusahaan

Aspek keempat adalah dari sisi pembubaran BHP. Bentuk Badan Hukum

Pendidikan memungkinkan suatu institusi pendidikan untuk mengalami

pembubaran yang disebabkan salah satunya karena pailit. Hal tersebut terdapat

dalam Pasal 57. Sangat jelas terlihat, bahwa BHP menjadikan institusi pendidikan

analog dengan perusahaan dimana ketika terjadi defisit anggaran, institusi

tersebut dapat dinyatakan pailit dan bubar. Mengingat pendidikan merupakan hal

pokok yang menentukan kualitas SDM bangsa dan dengan sendirinya juga

berpengaruh terhadap kemajuan-kemunduran bangsa ini, maka pembubaran

(kepailitan) adalah hal yang tidak boleh terjadi pada suatu institusi pendidikan di

suatu negara. Apalagi mempertimbangkan belum dilakukannya analisis fisibilitas

dan analisis kemampuan pendanaan dan pengelolaan pendidikan secara mandiri

dalam jangka panjang oleh elemen-elemen pendidikan Indonesia yang menjadi

objek dari BHP ini. Hal ini dapat dilihat dari belum dilakukannya evalusasi

Universitas Sumatera Utara


74

keberjalanan 7 PTN BHMN, terutama 4 kampus yang pertama kali mengalami

BHMN-isasi (UI, IPB, UGM, ITB). Padahal dalam keberjalanannya, BHMN-isasi

ini bukan berarti tanpa masalah sama sekali. Mengingat keempat aspek tersebut

sangat krusial dalam pelaksanaan pendidikan sekaligus penentuan kualitas

pendidikan Indonesia, maka pengesahan RUU BHP menjadi Undang-Undang

adalah hal patut dipertanyakan dari sisi kebenaran logika dan keterkaitannya

dalam menjawab permasalahan pendidikan nasional saat ini. Dengan demikian,

berdasarkan poin-poin analisis di atas, KM ITB menyatakan menolak pengesahan

RUU BHP menjadi UU BHP.

2. Mekanisme Perubahan PTN Dan PTN BHMN Menjadi PTN BHPP

Menurut Pasal 65 ayat 2 UU BHP seluruh PTN harus mengubah bentuk dan

menyesuaikan tata kelolanya sebagai BHPP dalam waktu paling lambat 4 tahun sejak

berlakunya UU BHP. Mekanisme perubahan PTN dan PTN BHMN menjadi PTN

BHPP di atur dalam Peraturan Mendiknas Nomor 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme

Pendirian BHP, Perubahan BHMN atau Perguruan Tinggi Dan Pengakuan

Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Sebagai BHP (selanjutnya disebut Permendiknas

Nomor 32 Tahun 2009).

Perubahan menjadi BHP menurut Pasal 2 ayat (2) Permendiknas Nomor 32

Tahun 2009 ini terdiri atas:

(1) perubahan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Departemen menjadi

BHPP,

Universitas Sumatera Utara


75

(2) perubahan perguruan tinggi BHMN menjadi BHPP,

(3) perubahan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh departemen lain atau

Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi BHPP.

Ad. (1) Mekanisme Perubahan Perguruan Tinggi Yang Diselenggarakan Oleh

Departemen (PTN UPT Pemerintah) menjadi BHPP diatur dalam Pasal

6, yaitu:

(1) Mekanisme perubahan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Departemen


menjadi BHPP sebagai berikut:
a. pemimpin perguruan tinggi dengan pertimbangan senat akademik menyusun
rencana peralihan (transition plan) perubahan perguruan tinggi tersebut
menjadi BHPP dan rancangan Peraturan Pemerintah yang berisi anggaran
dasar BHPP;
b. rencana peralihan yang telah memperoleh pertimbangan senat akademik
disampaikan oleh pemimpin perguruan tinggi kepada Menteri untuk
memperoleh persetujuan;
c. Menteri bersama Menteri Keuangan, Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Badan Pertanahan
Nasional dan Badan Kepegawaian Negara melakukan koordinasi mengenai:
1. pemisahan dan pengalihan kekayaan negara sebagai kekayaan awal
BHPP;
2. penyesuaian pola pendanaan;
3. penyesuaian kelembagaan;
4. penyesuaian status kepegawaian;
d. rancangan Peraturan Pemerintah yang telah memperoleh pertimbangan senat
akademik disampaikan oleh pemimpin perguruan tinggi kepada Menteri untuk
memperoleh persetujuan, dan selanjutnya disampaikan kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dilakukan harmonisasi;
e. rancangan Peraturan Pemerintah yang telah diharmonisasikan disampaikan
kepada Sekretariat Negara untuk ditetapkan Presiden;
f. setelah rancangan Peraturan Pemerintah ditetapkan, BHPP menyelenggarakan
kegiatan pendidikan.

Universitas Sumatera Utara


76

Ad. (2) Mekanisme perubahan perguruan tinggi BHMN menjadi BHPP diatur

dalam Pasal 7, yaitu :

(1) Mekanisme perubahan perguruan tinggi BHMN menjadi BHPP sebagai berikut:
a. pemimpin perguruan tinggi BHMN dengan pertimbangan senat akademik
menyusun rencana peralihan (transition plan) perubahan perguruan tinggi
BHMN tersebut menjadi BHPP dan rancangan Peraturan Pemerintah yang
berisi anggaran dasar BHPP;
b. rencana peralihan dan rancangan Peraturan Pemerintah yang telah
memperoleh pertimbangan senat akademik diusulkan oleh pemimpin
perguruan tinggi BHMN kepada Majelis Wali Amanat untuk memperoleh
persetujuan;
c. rencana peralihan yang telah disetujui oleh Majelis Wali Amanat disampaikan
oleh pemimpin perguruan tinggi BHMN kepada Menteri untuk memperoleh
persetujuan;
d. Menteri bersama Menteri Keuangan, Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Badan Pertanahan
Nasional dan Badan Kepegawaian Negara melakukan koordinasi mengenai:
1. pemisahan dan pengalihan kekayaan negara sebagai kekayaan awal
BHPP;
2. penyesuaian pola pendanaan;
3. penyesuaian kelembagaan;
4. penyesuaian status kepegawaian;
e. rancangan Peraturan Pemerintah yang telah disetujui oleh Majelis Wali
Amanat disampaikan oleh pemimpin perguruan tinggi BHMN kepada Menteri
untuk memperoleh persetujuan, dan selanjutnya disampaikan kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dilakukan harmonisasi;
f. rancangan Peraturan Pemerintah yang telah diharmonisasikan disampaikan
kepada Sekretariat Negara untuk ditetapkan Presiden;
g. setelah rancangan Peraturan Pemerintah ditetapkan, BHPP menyelenggarakan
kegiatan pendidikan.

Ad. (3) Mekanisme perubahan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh

Departemen lain atau LPND diatur dalam Pasal 8, yaitu :

(1) Mekanisme perubahan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Departemen


lain atau LPND menjadi BHPP sebagai berikut:
a. pemimpin perguruan tinggi dengan pertimbangan senat akademik menyusun
rencana peralihan (transition plan) perubahan perguruan tinggi tersebut
menjadi BHPP dan rancangan Peraturan Pemerintah yang berisi anggaran
dasar BHPP;

Universitas Sumatera Utara


77

b. rencana peralihan yang telah memperoleh pertimbangan senat akademik


disampaikan oleh pemimpin perguruan tinggi yang bersangkutan kepada
menteri lain/Ketua LPND untuk memperoleh persetujuan;
c. menteri lain/Ketua LPND menyampaikan rencana peralihan sebagaimana
dimaksud pada huruf b kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan;
d. Menteri bersama Menteri Keuangan, Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Badan Pertanahan
Nasional, Badan Kepegawaian Negara, dan menteri lain/Ketua LPND
melakukan koordinasi mengenai:
1. pemisahan dan pengalihan kekayaan negara sebagai kekayaan awal
BHPP;
2. penyesuaian pola pendanaan;
3. penyesuaian kelembagaan;
4. penyesuaian status kepegawaian;
e. pemimpin perguruan tinggi menyampaikan rancangan Peraturan Pemerintah
yang telah memperoleh pertimbangan senat akademik kepada menteri
lain/Ketua LPND untuk memperoleh persetujuan;
f. menteri lain/Ketua LPND menyampaikan rancangan Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada huruf e kepada Menteri untuk memperoleh
persetujuan;
g. Menteri menyampaikan rancangan Peraturan Pemerintah yang telah disetujui
kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dilakukan harmonisasi;
h. rancangan Peraturan Pemerintah yang telah diharmonisasikan disampaikan
kepada Sekretariat Negara untuk ditetapkan Presiden;
i. setelah rancangan Peraturan Pemerintah ditetapkan, BHPP menyelenggarakan
kegiatan pendidikan.

Detil rencana peralihan perguruan tinggi ex UPT Pemerintah, ex BHMN dan

perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Departemen lain atau LPND diatur

dalam Pasal 10, yaitu :

Rencana peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 7
ayat (1) huruf a, dan Pasal 8 ayat (1) huruf a serta rencana perubahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a paling sedikit berisi:
a. tujuan dan sasaran perubahan;
b. penahapan, langkah dalam setiap tahap, beserta penjadwalan;
c. kebijakan dasar:
1. pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;
2. sistem penjaminan mutu yang paling sedikit meliputi kerangka:
3. kebijakan sistem penjaminan mutu;
4. manual sistem penjaminan mutu;

Universitas Sumatera Utara


78

5. standar dalam sistem penjaminan mutu;


6. dokumen yang digunakan dalam sistem penjaminan mutu;
d. tata kelola yang dapat mewujudkan prinsip nirlaba, otonomi, akuntabilitas,
transparansi, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan,
dan partisipasi atas tanggung jawab negara yang paling sedikit meliputi:
1. susunan organisasi;
2. sumber daya manusia serta pengembangannya;
3. sumber dana untuk pembiayaan selama 5 (lima) tahun yang meliputi biaya
investasi, biaya operasional, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan;
4. sistem pengelolaan keuangan;
5. sarana dan prasarana (lahan untuk kampus, ruang kuliah, ruang dosen, ruang
laboratorium, studio, ruang kantor) serta rencana pengembangannya;
6. daya tampung mahasiswa dalam 5 (lima) tahun mendatang.

Dalam Pasal 3 Permendiknas diatur mengenai Mekanisme pendirian BHPP,

yaitu :

(1) Mekanisme pendirian BHPP sebagai berikut:


a. Direktorat Jenderal, baik atas prakarsa sendiri maupun prakarsa pemerintah
daerah, menyusun studi kelayakan pendirian BHPP;
b. studi kelayakan pendirian BHPP disampaikan kepada Menteri untuk
memperoleh persetujuan pendirian;
c. Sekretariat Jenderal bersama Direktorat Jenderal menyusun rancangan
Peraturan Pemerintah yang berisi anggaran dasar BHPP;
d. Menteri bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara melakukan koordinasi mengenai pemisahan dan pengalihan
kekayaan negara sebagai kekayaan awal BHPP, kelembagaan, serta status
kepegawaian;
e. rancangan Peraturan Pemerintah disampaikan oleh Menteri kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dilakukan harmonisasi;
f. rancangan Peraturan Pemerintah yang telah diharmonisasikan disampaikan
kepada Sekretariat Negara untuk ditetapkan Presiden;
g. setelah rancangan Peraturan Pemerintah ditetapkan, BHPP menyelenggarakan
kegiatan pendidikan.

Dalam Pasal 5 disebutkan, Studi kelayakan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 ayat (1) huruf a paling sedikit berisi tentang:

a. latar belakang dan tujuan pendirian;


b. bentuk dan nama perguruan tinggi;

Universitas Sumatera Utara


79

c. kebutuhan masyarakat terhadap lulusan;


d. prospek minat mahasiswa;
e. jenis pendidikan (akademik, vokasi, profesi, spesialis), bidang ilmu yang
diselenggarakan, dan kurikulum;
f. tata kelola yang dapat mewujudkan prinsip nirlaba, otonomi, akuntabilitas,
transparansi, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan,
dan partisipasi atas tanggung jawab negara yang paling sedikit meliputi: susunan
organisasi; sumber daya manusia serta pengembangannya; sumber dana untuk
pembiayaan selama 5 (lima) tahun yang meliputi biaya investasi, biaya
operasional, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan; sistem pengelolaan
keuangan; sarana dan prasarana (lahan untuk kampus, ruang kuliah, ruang dosen,
ruang laboratorium, studio, ruang kantor) serta rencana pengembangannya; daya
tampung mahasiswa dalam 5 (lima) tahun mendatang;
g. sistem penjaminan mutu yang akan diterapkan yang paling sedikit meliputi:
kebijakan sistem penjaminan mutu; manual sistem penjaminan mutu; standar
dalam sistem penjaminan mutu; dokumen yang digunakan dalam sistem
penjaminan mutu.

Universitas Sumatera Utara

You might also like