Professional Documents
Culture Documents
ANAK
DARI PORNOGRAFI DAN SEKS BEBAS
Dilihat dari sisi perangkat hukum yang ada, pelaku pornografi dan seks
bebas nampaknya memang akan sulit dikriminalisasi. Meski sebagian pakar
hukum dan advokad menyatakan bisa, namun pendapat yang kuat
menunjukkan bahwa undang-undang yang ada memang membuka celah
yang lebar bagi pelaku kemaksiatan untuk lolos dari jeratan hukum. KUHP,
UU Pornografi, UU Perlindungan Anak dan UU ITE yang umumnya dibuat
dengan menghabiskan uang rakyat, semuanya mandul tak berdaya. Tak ada
harapan bagi rakyat yang masih peduli dengan urusan akhlak untuk bisa
melindungi diri dan anak-anak mereka dari ancaman kerusakan moral.
Pelaku pornografi, pornoaksi, pergaulan bebas termasuk perzinahan,
semuanya bebas merdeka. Wajar jika negeri ini menjadi surga bagi penyuka
tindak asusila.
Menelaah KUHP pasal 284 yang bisa dikenakan sanksi hanyalah pelaku
seks bebas dari kalangan yang sudah memiliki pasangan saja, karena
definisi perzinaan di dalamnya hanya dapat dikenakan kepada lelaki beristri
atau perempuan bersuami yang berhubungan kelamin dengan perempuan
atau lelaki lain tanpa ikatan perkawinan yang sah. Perzinaan dalam pasal
284 ini adalah satu-satunya delik aduan yang bersifat absolut. Artinya, yang
mengadukan telah terjadinya perzinaan adalah istri dari suami atau suami
dari istri yang berhubungan kelamin dengan orang lain tanpa ikatan
perkawinan yang sah. Tegasnya, jika tanpa pengaduan dari istri atau suami,
tindak pidana perzinaan tidak mungkin diproses secara hukum. Secara jelas
pasal ini tidak akan pernah menjerat perzinaan yang dilakukan oleh remaja
lajang/bujang yang dilakukan suka sama suka. Hingga wajar - disaat
keimanan remaja lemah, apalagi tanpa didukung kontrol orang tua dan
masyarakat - jika seks bebas semakin merajalela.
Undang-undang pornografi no 4 tahun 2008 jelas-jelas tidak akan
mampu menghambat seks bebas. Karena undang-undang ini hanya
menjerat pelaku pornografi baik dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukkan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat
(lihat pasal 1). Artinya pelaku pornoaksi - termasuk yang dilakukan oleh
remaja, terlebih jika dilakukan di tempat privat - tidak akan pernah
tersentuh UU ini. Adapun kepornoan sebagaimana digambarkan pada pasal
4 UU No 4 tahun 2008 tentang Pornografi hanya berkisar pada aktivitas seks
dan ketelanjangan. Hingga wajar jika setiap hari para remaja disuguhi
tayangan-tayangan yang semakin menggelorakan hasrat seksualnya.
Intinya, UU Pornografi tidak mampu mengatasi masalah kepornoan di
tengah-tengah masyarakat termasuk remaja.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) No 11 tahun
2008, terbukti belum mampu menghambat tersebarnya situs-situs porno.
Para remaja masih bebas mengunduh berbagai macam video porno dari
dunia maya. Wajar, sekalipun usia UU ITE memasuki usia dua tahun,
masalah pornografi masih jadi PR besar di negeri ini. Celakanya tidak ada
satupun aturan yang berlaku di negeri ini yang secara khusus mengatur
pergaulan antara laki-laki dan wanita. Hingga menghantarkan para remaja
pada derajat yang tidak lebih tinggi dari binatang melata. Nau’udzubillah!
Bagaimana dengan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang
gencar ditujukan untuk remaja SMP hingga perguruan tinggi, mampukah
menghambat seks bebas di kalangan remaja? Pada faktanya KRR bertujuan
agar para remaja memperoleh informasi lengkap tentang seksualitas,
kespro, cara mengatasi masalah kespro. Para remaja berhak memperoleh
informasi yang tepat dan benar tentang kesehatan reproduksi remaja
sehingga dapat berperilaku sehat dan menjalani kehidupan seksual yang
bertanggungjawab. Para remajapun berhak memperoleh pelayanan KB yang
aman, efektif, terjangkau dan dapat diterima. Dalam program ini remaja
dilarang Menikah di Usia Muda. Padahal jika remaja terus menerus dipapari
informasi tentang seks, mereka juga diberi akses terhadap pelayanan KB (KB
premarital), sementara pintu untuk menikah di usia muda ditutup, sama saja
dengan menyuruh mereka melakukan seks bebas. Wajar, jika setelah lebih
dari satu dasawarsa dicanangkan program KRR ini, angka seks bebas
bukannya berkurang tetapi justru semakin meningkat.
Sebenarnya pihak yang memberi perhatian terhadap persoalan anak
sudah banyak. Di negeri ini ada beberapa lembaga pemerhati yang peduli
pada nasib anak-anak. Mereka berusaha memberikan perlindungan terhadap
anak agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Ada Komisi
Nasional Perlindungan Anak (KPAI), misalnya. KPAI merupakan lembaga
independen yang kedudukannya sejajar dengan komisi negara lainnya. KPAI
juga dibentuk sebagai konsekuensi dari Konvensi Hak Anak (KHA), yang
menyatakan bahwa setiap negara yang turut meratifikasi harus memiliki
komisi nasional.
Tetapi dalam pelaksanaannya KPAI kerap mengeluh kekurangan dana
sehingga kinerjanya menjadi kurang efektif. Wajar jika gaung KPAI hanya
terdengar sayup-sayup. Banyak pihak menilai kinerja KPAI kurang
memuaskan karena memang tidak menimbulkan pengaruh di masyarakat.
KPAI tidak ada ketika masyarakat justru membutuhkan adanya perhatian
serta perlindungan bagi anak-anak mereka maupun anak-anak dalam
lingkungan suatu masyarakat. Ini bukti bahwa sosialisasi yang menjadi salah
satu tugas KPAI tidak berjalan dengan baik.
Eksistensi KPAI pun dipertanyakan karena minimnya minat serta
pengetahuan masyarakat dalam menjadikan KPAI sebagai sarana untuk
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan anak. Ada atau tidaknya
KPAI tidak menimbulkan dampak apa-apa terhadap kelangsungan
pemenuhan hak serta perlindungan pada anak-anak Indonesia. Karena itu,
pengaduan masyarakat terkait masalah-masalah perlindungan anak serta
masalah penyimpangan perlakuan terhadap anak lebih banyak disalurkan ke
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Komnas PA merupakan
LSM yang disahkan dengan Surat Akta Notaris. Komnas PA memperoleh dana
untuk membiayai operasional serta program-programnya dari hasil
kerjasama dengan para donor asing, semisal UNICEF. Tentu saja kinerja
Komnas PA, meski dinilai berbagai pihak lebih aktif daripada KPAI, tetap
bergantung pada adanya donor. Artinya, mereka akan bergerak jika ada
dana. Hal ini tentu tidak maksimal untuk memberikan perlindungan pada
anak, karena kinerjanya hanya bersifat reaktif.
Di sisi lain, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Perlindungan
Anak (UUPA) No 23 Tahun 2002. Lahirnya regulasi ini merupakan salah satu
bentuk keseriusan Pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun
1990. Sayang, UU yang berbau liberal ini tidak cukup mumpuni untuk
menjamin hak-hak anak. Menurut UUPA, yang dimaksud dengan anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak dalam kandungan. Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa
hanyalah sebatas umur saja. Definisi ini menuai polemik karena berbenturan
dengan regulasi lain, seperti usia minimal menikah, yang akhirnya tidak
boleh di bawah usia 18 tahun. Akibatnya, banyak yang memilih berzina
karena khawatir terjerat UU jika menikah pada usia di bawah 18 tahun. Hak
untuk menikah pada usia di bawah 18 tahun menjadi hilang karena terbentur
regulasi ini.
Dengan demikian, aturan yang dikeluarkan pemerintah terkait
pengaturan hubungan lawan jenis, yang terkait dengan pemenuhan hak
anak, lembaga bentukannya maupun lembaga-lembaga independen lainnya
hingga kini belum mampu menuntaskan persoalan. Solusi terhadap
permasalahan anak pun cenderung bersifat reaktif, parsial dan tidak
menyentuh akar masalah.
Islam mempunyai model masyarakat yang khas dan unik. Jika kita
menengok sejarah, maka kita akan melihat, bahwa ketika sistem Islam
diterapkan secara sempurna dan konsisten, masyarakat Islam dikenal
sebagai masyarakat yang sangat ‘bersih’ dan maju. Ini adalah sebuah
keniscayaan, mengingat Islam saat itu benar-benar tampil dengan jati
dirinya yang asli sebagai sebuah IDEOLOGI (mabda’). Islam tegak di atas
asas yang kuat yakni aqidah yang keabsahannya dapat dibuktikan secara
akal. Dari aqidah itu pula terpancar aturan kehidupan (nidzham al-hayat)
yang mampu menjamin keadilan dan kebahagiaan hakiki karena berasal
dari Dzat Yang Maha Menciptakan dan Maha Adil, yakni Allah SWT.
Khotimah