You are on page 1of 5

Peter Kasenda

Soekarno, Kapitalisme dan Imperialisme

Pidato-pidato maupun tulisan-tulisan Soekarno sering diwarnai kritik terhadap


kapitalisme maupun imperialisme hingga akhir kekuasaannya. Hal ini diawali dengan tulisan-
tulisannya pada surat kabar Oetoesan Hindia pada tahun 1910-an milik Sarekat Islam, sebuah
organisasi massa yang pertama, di mana Soekarno menjadi anggota. Di sana Soekarno menulis,”
Hancurkan segera Kapitalisme yang dibantu oleh budaknya Imperialisme. Dengan kekuatan
Islam Insya Allah itu segera dilaksanakan..” Di lain kesempatan mengatakan bahwa apabila
Indonesia telah merdeka, yang memegang tampuk pemerintahan adalah bukan pengikut-pengikut
kapitalisme maupun imperialisme. Kalau tidak, tidak mungkin tercipta masyarakat adil dan
makmur, tanpa ada penghisapan manusia atas manusia.

Kapitalisme, kata Soekarno, ternyata menyebabkan kemiskinan dan kesengsaraan. Sistem


ini adalah sistim yang mengeksploitisir sesamanya. Soekarno begitu marah, ketika mendengar
ucapan penguasa Belanda yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia cukup hidup dengan
pendapatan segobang sehari. Menurut Soekarno, Imperialisme adalah suatu nafsu. Suatu sistem
menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain. Dia mengindentikan imperialisme dengan
kolonialisme, dimana kolonialisme kuno pada masa VOC dan kolonialisme modern pada masa
Hindia Belanda Adanya imperialisme ini merupakan syarat yang perlu bagi hidupnya
kapitalisme. Kata Onghokham, dilihat dari sudut ilmu sejarah maka perbedaan itu terletak pada
sifat dan struktur kolonialisme yang diungkapkan pada kemauan dan kesanggupan Belanda
untuk membentuk masyarakat Indonesia.

Marhaen

Ternyata sistem penjajahan yang berlangsung selama ratusan tahun bersendi atas
kesuburan tanah, jumlah tenaga kerja yang berlimpah dan murah tidak banyak memberi peluang
bekerja di luar pertanian dan terasa sulit mencari dan mendapatkan kesempatan kerja yang layak.
Di samping itu ada permintaan tenaga kerja untuk kebutuhan perkebunan semakin meningkat,
sedangkan tanah garapan semakin menyempit, hal itu membuat posisi sosial –ekonomis
penduduk daerah pedesaan menjadi lemah, disebabkan mereka turun derajat dari petani menjadi
buruh di daerah pedesaan. Istilah populernya Soekarno, Marhaen. Kata ini merupakan simbol
penderitaan, akibat penjajahan yang dialami rakyat Indonesia selama ratusan tahun.

Konsep Marhaen yang dirumuskan Soekarno, tentu berlainan dengan konsep Proletarnya
Karl Marx. Disini terlihat Soekarno bersifat kritis tidak begitu saja mengambil konsep yang
dllontarkan pemikir-pemikir sosialis Barat. Konsep Proletar hanya mempunyai relevansi di
negara-negara industri Barat, untuk masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat agraris
tidak memungkinkan.

Kalau konsep Marhaen mewakili sebagian besar anggota masyarakat yang sengsara dan
tertindas, sedangkan Proletar hanya mencakup sedikit anggota masyarakat saja. Dan yang
membedakan keduanya adalah kaum Marhaen yang memiliki alat produksi, tetapi kaum proletar

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

tidak memiliki alat produksi dan hanya menjual jasa. Melalui Marhaenisme sebagai teori
perjuangan dipakainya untuk mengubur sistem kapitalisme maupun imperialisme dari muka
bumi Indonesia yang kaya sumber alamnya, tetapi rakyatnya miskin.

Melalui tulisannya, “ Swadeshi dan Massa-Aksi di Indonesia” pada majalah Soeoloeh


Indonesia Moeda (1932), Soekarno melukiskan akibat adanya penjajahan tidak memungkinkan
munculnya kelas menengah dalam arti ekonomi, tidak seperti apa yang terjadi di India.
Sebenarnya, kata Benyamin Higgins sekurang-kurangnya ada dua kesempatan dalam sejarah
Jawa yang memungkinkan dorongan besar untuk tinggal landas.

Kesempatan pertama muncul pada tahun 1850-an, akibat dorongan sistem Tanam Paksa
dan gelombang pertama pemukiman orang Belanda serta perusahaan perkebunan Belanda.
Kesempatan kedua muncul pada tahun 1930-an ketika terjadi malaise besar, yang menyebabkan
mundurnya perusahaan Belanda, dan seakan-akan mampu memberi suntikan kegairahan baru
kepada pengekspor karet dan industri Jawa, walaupun usaha orang Jawa di bidang gula gulung
tikar akibat malaise.

Pada dua kesempatan itu kelas menengah Jawa gagal menampilkan diri dan
memantapkan diri, karena tidak mendapatkan dukungan elite politik dan menyiapkan ruang
gerak untuknya. Kacaunya, ketika bangsawan Jawa gagal melebarkan sayap dalam
kepemimpinan ekonomi, mereka justru mengundurkan diri dengan ajaran-ajaran yang tak ada
arti ekonominya.

Tuduhan Soekarno terhadap imperialisme sebagai biang kehancuran perdagangan


pribumi. Hal ini bisa dilihat bagaimana perdagangan Jawa tidak berkembang akibat dirintangi
oleh Portugis maupun Kompeni Dagang Hindia Belanda Timur dengan menggunakan
kekerasaan. Bibit-bibit entrepreneur yang pada mulanya tumbuh seperti di Eropa, tidak tampak
lagi. Akhirnya hanya menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan mentah, tempat eksploitasi
dan pasaran potensial.

Hubungan antara penjajahan dengan kemiskinan, Soekarno tampaknya mempunyai


kesimpulan serupa dengan Cliford Geertz ketika membalikan kesimpulan Boeke dengan
menyatakan bahwa “masyarakat desa Jawa telah menjadi miskin oleh penjajahan, maka karena
itu statis.” Pendapat semacam itu bisa juga diketahui bagaimana Soekarno menafsirkan sejarah
Indonesia dimana pandangannya mencerminkan ramalan Jayabaya abad ke-19 tentang masa kini
sebagai masa gelap, akibat penjajahan. Suatu masa datang seperti masa lampau, yaitu masa
gemilang, Seperti masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Ada benarnya kalau ada orang mengatakan bahwa kegiatan perekonomian Indonesia ke
bidang pertanian tanaman yang diperlukan untuk menopang tanah jajahan. Karl Marx
menggambarkan bahwa di dunia ini terjadi pembagian kerja yang bersifat internasional. Di mana
sebagai bola bumi bertindak sebagai ladang produksi pertanian yang melayani kebutuhan bagian
dunia lain, yang merupakan pusat industri.

J.A.C. Mackie mencatat bahwa selama 150 tahun terakhir ini dalam sejarah
perekonomian Indonesia, terdapat dua ciri terpenting, yang pertama adalah pertambahan hasil

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

produksi yang besar sekali dari tanam-tanaman untuk ekspor, yang sebagian besar dengan
menggunakan modal asing. Yang kedua, ialah pertambahan penduduk terus-menerus. Jadi dapat
disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris.

Walaupun Soekarno membedakan antara imperialisme kuno dan modern, tetapi pada
hakekatnya adalah sama, yaitu nafsu menguasai atau mengendalikan perekonomian bangsa dan
negara lain untuk kepentingan kekuasaan metropol, dimana kepentingan imperialisme
bertentangan dengan kepentingan negara satelit. Negara penjajah bertahan selama-lama agar
dapat menguras sebanyak mungkin sumber daya alam, sedangkan negara terjajah ingin
secepatnya membebaskan diri dari cengkraman nafsu imperialisme,

Soekarno kurang berminat berbicara mengenai nilai-nilai positif dalam imperialisme. Di


matanya imperialisme itu penuh dengan tipu daya. Bukankah Soekarno melalui tulisan yang
klasik itu, yang berjudul“ Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,”, menghimbau agar ketiga
kelompok aliran tersebut bersatu menghancurkan imperialisme yang dimanifestasikan kekuasaan
kolonial Hindia Belanda. Kalau boleh dikatakan, Soekarno lebih menaruh perhatian terhadap
penghisapan ekonomis, diskriminasi dan penghancuran nilai-nilai sosial yang menyertai
imperialisme. Dan itu adalah salah satu bentuk pandangan politik yang tetap dipertahankannya.

NEFOS VS OLDEFOS

Sebenarnya istilah Nekolim (neo-kolonialisme, kolonialisme dan imperialisme) yang


diciptakan Jendral Achmad Yani itu berasal dari pengertian imperialisme tahun 1920-an. Lewat
pidatonya, To Build The World Anew, didepan Sidang Majelis Umum PBB bulan September
1960, Soekarno membagi dunia menjadi dua, yaitu New Emerging Forces melawan Old
Established Forces. Melalui konsep ini, Soekarno ingin mengatakan bahwa pertentangan yang
terjadi di dunia, bukanlah konflik ideologis sebagaimana sangka orang, melainkan pertentangan
kepentingan.

Tepatnya, satu tahun kemudian, di depan peserta Konperensi Non Blok, Beldrago.
Soekarno memperingatkan bahwa keamanan dunia senantiasa terancam oleh Oldefos. Ia adalah
kekuatan yang sedang mempertahankan kekuasaannya yang sudah mapan, kekuatan yang
bersifat menguasai. Soekarno melihat bahwa keterbelakangan negara di Dunia Ketiga adalah
akibat keserakan dari negara-negara yang tidak pernah puas dan selalu mengadakan penghisapan
terhadap bangsa-bangsa yang dilanda kelaparan dan kemiskinan.

Cornell University Press menerbitkan hasil penelitian Franklin B Weinstein, Indonesia


Foreign Policy and Dilemma of Dependence : From Soekarno to Soeharto (1976). Buku setebal
363 halaman itu melukiskan, ternyata elite politik Indonesia masih menerima konflik Nefos
dengan Oldefos sebagai suatu cara yang berguna untuk membagi dunia ini, Kalangan elite politik
masih menangkap kembali konsep ini dalam terminiloginya dan menganggap pertentangan
kepentingan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin.

Akhirnya Franklin B Weinstein berdasarkan wawancara dengan sejumlah elite politik


yang terdiri dari generasi 1928, 1945 dan 1966 menyimpulkan bahwa elite Indonesia pada
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

umumnya menanggap tatatan internasional bersifat eksploitatif dan negara-negara besar


merupakan ancaman bagi kemerdekaan dan kebebasan Indonesia.

Setelah dua puluh tahun, Soekarno mengucapkan kata-kata Nefos dan Oldefos, ternyata
terbukti kebenarannya. Kini umat manusia memerlukan membentuk dunia baru yang lebih adil.
Kalau negara-negara maju dan negara berkembang berbicara kerafian baru untuk mewujudkan
“Tata Ekonomi Internasional Baru.” bukankah berarti kita mengakui relevansi pikiran-pikiran
Soekarno. Mungkin ini dulu hanya dianggap mimpi-mimpi kosong.

Kini banyak dilakukan studi ilmiah mengenai keterbelakangan di Dunia Kalau Teori
Imperialisme banyak berbicara mengenai keuntungan-keuntungan yang diperoleh negara-negara
kapitalis, sebaliknya Teori Ketergantungan lebih memperhatikan akibat dari imperialisme
terhadap keterbelakangan di Dunia Ketiga. Kalau di atas sudah banyak mengulas imperialisme,
ada baiknya kita menyimak kata-kata pemikir Teori Ketergantungan mengenai situasi negara di
Dunia Ketiga. Paul Baran, The Political Economy of Growth, menggambarkan negara kaya
menjadi kaya karena menyedot surplus dari Dunia Ketiga. Secara demikian tidak terjadi proses
akumulasi modal nasional. Lain halnya dengan Andre Gunder Frank dalam Capitalism and
Development in Latin America, melihat adanya tali dominasi akan ketergantungan dari metropol
ke satelit, surplus negara satellit di Dunia Ketiga disedot ke metropol.

Sritua Arief dan Adi Sasono dalam Ketergantungan dan Keterbelakangan di Indonesia,
memperlihatkan adanya aliansi-aliansi antara tuan tanah, petani sedang dan kaya, golongan
miskin kota, birokrat, penguasa dan kapitalis asing ternyata menyebabkan terjadinya proses
pengalihan surplus ekonomi dari massa rakyat ke golongan yang berada dalam sektor modern
dan disetrum kekuasaan untuk seterusnya keluar negeri bagi kepentingan kapitalis asing.

Kalau di masa kolonialisme terjadi persaingan di antara negara-negara kapitalis, kini


persaingan perusahan transnasional yang menentukan kenyataan ekonomi, politik, sosial dan
budaya suatu negara. Mereka selalu berhasrat menguasai sumber bahan mentah dan
memonopolinya. Di samping itu menjadikan negara-negara di Dunia Ketiga hanya sebagai
pabrik-pabrik perakit yang hanya memperkuat struktur ekonomi internasional. Dan inilah jerat
imperialisme masa kini.

Celakanya lagi, para pucuk manajer korporasi sejagat merasa bahwa kekuatan mereka
untuk kebaikan. Mereka tidak menyukai apa yang namanya kemiskinan, pengangguran, buta
huruf dan penyakit. Kalau begitu, hanya imperialisme yang dikumandangkan Soekarno terasa
relevan hingga kini. Artinya kita harus selalu waspada terhadap “imperialisme baju baru”.
Imperialisme itu penuh tipu daya, kata Soekarno.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com

You might also like