You are on page 1of 2

KETIDAKADILAN

Di suatu malam yang dingin, angin berhembus begitu kencang. Suara daun yang
tertiup angin yang begitu kencang sangat menakutkan. Seolah akan terjadi hal yang tidak
diinginkan. Semua warga desa tidak ada yang berani keluar rumah pada malam itu, mereka
mengurung diri bersama keluarga di dalam rumah karena takut akan terbawa angin yang
sangat kencang itu. Di jalan-jalan desa dipenuhi daun-daun yang jatuh tertiup kencangnya
angin selain itu ranting-ranting pohon yang tumbang seakan menutup jalan itu. Kerisauan
yang dirasakan warga desa karena adanya angin yang sangat kencang juga dirasakan oleh
Ani. Ani adalah seorang wanita buruh pabrik berusia 26 tahun yang telah memiliki suami.
Namun kerisauan yang dirasakan oleh Ani bukan karena adanya angin yang kencang, tetapi
karena suaminya dipenjara.
Sudah hampir satu bulan suami Ani berada di penjara karena suatu perkara yang
tidak jelas. Menurut kabar dari Andi yang merupakan teman suami Ani bekerja, suaminya
masuk penjara karena difitnah telah melakukan korupsi. Lima hari setelah suaminya dipenjara
Ani berusaha meminta bantuan mulai dari RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, dinas sosial,
lembaga-lembaga bantuan hukum hingga ke pengacara ia lakukan. Namun apa daya Ani yang
hanya seorang buruh pabrik dengan penghasilan yang hanya cukup untuk makan saja, dia
tidak mempunyai uang sebagai adminitrasi untuk menolong suaminya. Ketika tidak ada satu
pun orang maupun lembaga yang mau menolong Ani, kekecewaan Ani mulai muncul. Dia
tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi, semua kekecewaan dan kekesalannya hanya
dipendam dalam hati. Sekali-kali di dalam rumah Ani berteriak “apakah menolong harus ada
imbalan? Apakah hukum di Negara ini sudah buta? Aaaa”. Dia berteriak dengan keras seperti
orang yang tidak waras untuk meluapkan segala amarah, kekecewaan dan kekesalannya pada
hukum dan orang-orang yang tidak mau menolongnya secara cuma-cuma.
Di malam itu perasaan Ani tidak karuan, mulai dari kesal, jengkel, kecewa, dendam,
risau semua bercampur menjadi satu. Hari demi hari dilalui Ani dengan hidup seorang diri,
hingga tiba hari dimana suami Ani akan disidang. Pagi-pagi Ani bersiap untuk berangkat ke
tempat dimana suaminya akan disidang. Setelah sampai di pengadilan Ani menunggu
suaminya dan persidangan yang belum dimulai di dalam ruang sidang. Melihat suaminya
yang dibawa oleh petugas kejaksaan memasuki ruang sidang dengan kondisi yang babak
belur, amarah dan kekecewaan Ani seolah tidak dapat dibendung. Tapi dia masih dapat
menahannya walaupun ia luapkan dengan cucuran air mata. Persidangan pun dimulai,
dakwaan demi dakwaan di bacakan oleh jaksa penuntut yang sudah diberi imbalan oleh orang
yang memfitnah suami Ani. Mendengar jaksa penuntut yang membacakan dakwaan yang
tidak dilakukukan oleh suaminya dengan seenaknya, amarah Ani pun tidak dapat dibendung
lagi. Dia menangis histeris di dalam ruang sidang tanpa bisa mengungkapkan kekesalan
hatinya.
Ani tidak memperdulikan orang yang melihatnya, walaupun banyak orang yang
memperhatikannya. Tapi rasa cinta dan sayang seorang istri terhadap suaminya mengalahkan
segala sesuatu. Tanpa memperdulikan orang lain Ani terus-menerus menangis dengan histeris.
Layaknya istri-istri lain yang tidak mau kehilangan suaminya wajar saja jika sikap Ani seperti
itu, karena yakin suaminya tidak bersalah dan belum ada keputusan hukuman yang diterima
oleh suaminya tapi kondisi suaminya sudah babak belur akibat siksaan. Dia kecewa terhadap
hukum, seakan-akan mereka mempunyai hak menjalankan pengadilan sendiri tanpa
menghiraukan undang-undang yang ada. Jelas tidak ada seorang istri di dunia ini yang rela
apabila suaminya yang tidak bersalah diperlakukan seperti itu, terlebih belum ada keputusan
hukum dari pengadilan yang dijatuhkan kepada suaminya. Melihat kondisi Ani yang yang
histeris maka hakim memutuskan untuk menunda persidangan satu minggu lagi. Selama satu
minggu keresahan menyelimuti perasaan Ani, seakan dia hidup dengan beban yang sangat
berat dan tidak bisa melepaskannya. Malam sebelum persidangan, Ani bermimpi bahwa dia
mengunjungi suaminya dipenjara untuk berpamitan akan pergi ke suatu tempat untuk mencari
keadilan dan berpesan agar suaminya sabar dan tabah menghadapi semua cobaan hidup.
Setelah bermimpi Anipun terbangun dan hari sudah agak siang. Ani terkaget ketika bangun
sudah agak siang, diapun terburu-buru segera bergegas untuk pergi ke tempat suaminya di
sidang dan menghiraukan mimpinya semalam.
Jalan menuju persidangan dari rumah Ani yang di desa lumayan jauh dan melewati
jembatan kayu yang sudah rapuh. Karena terburu-buru dan angin yang begitu kencang Ani
tidak menyadari bahwa ada bagian jembatan yang berlubang. Ketika berjalan tiba-tiba dia
tersandung oleh lubang jembatan sehingga dia terjatuh dan tergelincir hingga akhirnya
terjatuh dan kepalanya terbentur batu dengan keras hingga mengeluarkan darah. Ani pun
pingsan, karena tidak ada yang menolong Ani menghembuskan nafas terakhir dengan
memendam amarah, kekecewaan dan dendamnya kepada hukum dan orang-orang yang tidak
mau membantunya tanpa bisa mengungkapkannya.

You might also like