Professional Documents
Culture Documents
Kalau kita menemui orang dengan aksen latin yang kental, maka kita bisa menebak
bahwa orang itu berasal dari negara-negara Amerika Latin atau Spanyol. Berbeda bila
kita bertemu dengan orang yang berbicara dengan cepat namun tetap berirama, maka kita
akan tahu bahwa dia berbahasa mandarin dan berasal dari Cina. Dengan bahasa kita bisa
membedakan siapa dan darimana orang yang sedang kita ajak berbicara. Entah apa
jadinya dunia ini bila semua orang berbicara dengan bahasa yang sama. Sehingga kita
mengenal cerita menara Babil yang didirikan manusia menuju langit sebelum kemudian
Tuhan murka dan memecah mereka menjadi beberapa bangsa yang berbeda ketika
mengetahui bahasa yang mereka ucapkan berbeda.
Bahasa merupakan salah satu dari unsur kebudayaan. Kebudayaan pula yang mampu
membentuk karakter bangsa, sehingga setiap daerah mempunyai ciri khas. Patut dipahami
ketika Bung Karno yang dikenal sangat nasionalis begitu kesal dengan budaya barat yang
masuk Indonesia tanpa saringan, bahkan Bung Karno menyebut musik-musik barat
sebagai musik ”Ngak Ngik Ngok” yang kemudian ditindaklanjuti dengan penjeblosan
pelaku musik ”Ngak Ngik Ngok” di Indonesia ke penjara, Koes Plus. Apa yang
dilakukan Bung Karno wajar-wajar saja mengingat ketika sebuah karakter sebuah bangsa
itu kuat, maka bangsa itu akan menjadi bangsa yang tangguh. Dan untuk menjadi sebuah
bangsa dengan karakter kuat yang diindikasikan lewat bahasa, maka tentu kita harus
berbahasa dengan baik dan benar.
Inilah yang coba disajikan oleh Alif Danya Munsyi, lewat bukunya yang berjudul
”Bahasa Menunjukkan Bangsa”. Alif Danya Munsyi merupakan salah satu nama pena
dari Japi Tambayong, yang telah sejak lama kita kenal dengan nama pena lainnya yaitu
Remy Sylado, dimana menurut sang pemilik nama ”Remy Sylado” merupakan urutan not
yang dikutip dari salah satu lagu The Beatles ”I Give You All My Love”.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari Alif Danya Munsyi baik berupa makalah yang
dipresentasikan dalam berbagai forum seperti diskusi dan seminar, maupun artikel yang
pernah dimuat di media cetak. Dengan gayanya yang khas. Alif dalam buku ini
menyajikan fenomena berbahasa Indonesia masyarakat kita yang ternyata masih banyak
salah kaprah. Dengan gayanya yang khas kritis, tajam bahkan beberapa bagian cenderung
sarkasme Alif menunjukkan beberapa kesalah kaprahan cara berbahasa lisan kita.
Pada tulisan yang berjudul ”Nginggris : Penyakit Remaja yang Belum Tanggal pada
Orang Tua”, kita akan menemukan bagaimana Alif mencoba mewakili sikap sinisnya
terhadap kekenesan berbahasa lisan kita lewat istilah yang disebutnya ”nginggris”
(halaman 32). Berbeda lagi dengan tulisannya yang dijadikan bahan diskusi di Bandung
dengan judul ”Bahasa Kita Bukan Hanya Diurus Sarjana Bahasa” (halaman 3), sosok Alif
Danya Munsyi sebagai orang yang mumpuni dalam data terlihat. Dalam tulisan ini Alif
menyoroti pembakuan ejaan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia
yang amburadul. Tulisan ini juga bukan hanya sekedar kritik, namun diperkuat data
tentang tata bahasa baik Indonesia maupun asing yang memang dikuasainya.
Sisi sarkasme namun sekaligus sedikit lucu ditunjukkan lewat beberapa bagian dalam
buku ini. Sindiran terhadap ke”ngawur”an pembakuan kosakata bahasa Indonesia Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia ditunjukkannya lewat plesetan ”Pusat
Pembinasaan dan Pembingungan Bahasa Indonesia” (halaman 4). Sikap sarkasme juga
ditunjukkannya ketika Alif mengungkapkan beberapa kata benda yang menjadi busana
kita sehari-hari, ternyata bangsa kita yang ngakunya kaya akan budaya masih meminjam
kosakata bahasa asing untuk pakaian sehari-hari (halaman 50).
Meskipun judulnya ”Bahasa Menunjukkan Bangsa” namun buku ini tidak hanya
membahas bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan. Kekayaan wawasan Alif Danya
Munsyi mulai dari sastra, seni pertunjukan, agama dan musik juga disuguhkan dalam
buku ini. Sehingga buku ini dibagi menjadi 4 bagian, Bagian I berjudul ” Bahasa dan
Kekenesan Berbahasa”, Bagian II ”Bahasa, Sastra dan Seni Pertunjukan”, Bagian III
”Bahasa dan Agama”, Bagian IV ”Bahasa dan Musik”
Alif menulis buku ini sebagai refleksi atas keprihatinan seorang pengguna bahasa tulis,
dengan harapan timbul kesadaran dari tiap diri kita untuk membangun kebudayaan kita
(halaman xi). Alif sendiri menempatkan Munsyi yang menurutnya lebih tepat dipahami
sebagai komperehensi ganda antara seorang yang cinta bahasa Indonesia dan orang yang
menghasilkan bahasa tulis yang kreatif di atas sifat-sifat kedibyaan budaya (halaman 3).
Meskipun buku ini ditulis oleh orang yang kaya wawasan, sayang beberapa bagian masih
sulit dicerna karena menggunakan istilah-istilah dalam ilmu lingustik. Alif memang
bukan orang dengan latar belakang pendidikan sastra, karena itu dia menempatkan
dirinya sebagai seorang munsyi (yang sekaligus bentuk penghormatan kepada Abdullah
bin Abdulkadir Munsyi, tokoh bahasa dan sastra Indonesia). Kekuatan buku ini ada pada
lengkapnya data yang disajikan. Untuk membahas satu kosakata saja, Alif menggunakan
tata bahasa asing yang dipadukan dengan kajian ilmu lingustik, mungkin itu pula yang
menyebabkan gaya penulisan buku ini cukup membuat jenuh pada beberapa bagian,
karena tidak ada pengeksplorasian gaya menulis mengingat sebagian besar tulisan yang
dikumpulkan dalam buku ini adalah makalah yang bersifat ilmiah. Namun semua itu
sedikit tertolong dengan gaya khas Alif ketika melontarkan sebuah kritik, sikap ceplas-
ceplosnya kadang menimbulkan tawa. Hal ini juga kerap ditunjukkan dalam forum, salah
satunya pada sebuah diskusi di SMA Swasta Malang tahun 2001 lalu. Meskipun
berpakaian rapi, tapi Alif yang hari itu dikenal dengan nama Remy Sylado tetap dengan
gaya berbicaranya yang cuek bahkan cenderung kasar.
Buku ini bagaikan sebuah oase di padang pasir, karena saat ini kita semakin miskin
dengan buku bertemakan bahasa di luar buku pelajaran untuk sekolah. Buku ini cocok
untuk dibaca oleh kalangan akademis baik mahasiswa maupun dosen, pers yang disebut
Alif sebagai salah satu faktor penyebab kesalah kaprahan berbicara lisan kita dan semua
orang yang masih ingin dan peduli membangun karakter bangsa kita lewat bahasa
Indonesia.
Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerjasama dan identifikasi diri. arbitrer
yaitu tidak ada hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Indonesia yang disebutkan di dalam Undang-
Undang Dasar RI 1945, pasal 36. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa persatuan
bangsa indonesia Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua
di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara
Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang
sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia
yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia
akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di
Republik Indonesia.
2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau.
Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang
berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami
budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3. Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau
Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan
pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun
lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca,
Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa
Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun
1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris.
Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara
kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik
dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
Ada beberapa faktor yang membuat kurang optimalnya penggunaan Bahasa Indonesia di
kalangan remaja. Pertama, remaja lebih senang menggunakan bahasa daerah masing-
masing. Bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa
Indonesia adalah bahasa pertama. Di kalangan remaja bahasa daerah lebih mudah
digunakan untuk berkomunikasi, karena bahasa daerah merupakan bahasa ibu yang
pertama kali dikenal sejak lahir. Ketika Bahasa Indonesia digunakan, seringkali terselip
dialek-dialek dan logat-logat di daerah bahasa Indonesia itu dituturkan.
Adanya adat yang kental di daerah mereka yang membuat komunikasi dengan Bahasa
Indonesia sangat minim. Misalnya, di daerah terpencil Papua, sedikit dari mereka yang
dapat Berbahasa Indonesia. Adapun yang dapat Berbahasa Indonesia dalam
menggunakan bahasa persatuan ini masih terbalik susunan kata maupun pola kalimatnya.
Salah satu kasus aktual yang merefleksikan budaya mencampur adukkan Bahasa
Indonesia dengan Bahasa asing adalah selebriti muda yang berwajah “indo” atau “bule”.
Para selebriti tersebut menjadi contoh yang tidak sesuai dalam menggunakan kaidah
bahasa Indonesia.
Ketiga, Bahasa Indonesia hanya dipakai di Indonesia. Jadi remaja Indonesia cenderung
berkeinginan menguasai bahasa asing. Hal tersebut didorong oleh globalisasi yang
diterapkan oleh internasional.
Di era globalisasi ini para remaja khususnya pelajar dituntut untuk menguasai bahasa
internasional.
Beberapa faktor di atas menjadi sebab para remaja Indonesia kurang memiliki bahasa
Indonesia yag menjadi bahasa resmi Indonesia. Ketiga poin permasalahan di atas pada
dasarnya hanyalah garis besar dari penyebab sulitnya remaja Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan benar baik secara informal maupun formal,
dengan memperhatikan kaidah tata bahasa sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Selanjutnya bagaimana supaya Bahasa Indonesia dapat dimiliki oleh remaja Indonesia.
Dimiliki dalam artian remaja menyukai bahasa Indonesia dan bangga menggunakannya
dan mampu menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi atau bahasa pertama.
Jika remaja di Indonesia mampu menempatkan bahasa Indonesia dalam situasi resmi
maupun tidak resmi sesuai dengan fungsinya, maka bahasa Indonesia telah berhasil
menjadi bahasa persatuan.
Adapun beberapa solusi yang dapat ditawarkan oleh penulis adalah sebagai berikut.
Pertama melalui keluarga untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam porsi yang lebih
daripada bahasa daerah. Sehingga anak mampu menguasiai secara sederhana bahasa
Indonesia.
Kedua, proses pemurnian kembali agar bahasa Indonesia menjadi milik dan kebanggaan
bersama melalui pendidikan dan pengajaran, baik informal maupun formal. Para pelajar
khususnya remaja dituntut untuk menguasai Bahasa Indonesia. Seorang pelajar dikatakan
berhasil apabila nilai yang diberikan melebihi batas kriteria ketuntasan minimal dari
sekolah masing-masing. Melalui lembaga pendidikan pemerintah tersebut, pelajar di
bekali pengetahuan mengenai kaedah tata bahasa untuk menggunakan Bahasa Indonesia
di lingkungan formal dan informal sesuai dengan situasi dan kondisi. Di akhir di setiap
jenjang akan diuji kemampuan berbahasanya, baik secara tertulis maupun praktik.
Bila di tinjau kembali dari segi bahasa, bahsa Indonesia lebih mudah, fleksibel, dan
efektif dalam penggunaannya.
Bahasa Indonesia mudah karena banyak orang asing yang tinggal di Indonesia sedikitnya
satu tahun, mereka mengerti dan dapat Bahasa Indonesia dengan baik. Berdasarkan
perkiraan seorang peneliti yang dianggap ahli di bidang ini, yaitu Haarmann (2001b),
terdapat 6417 bahasa di dunia, di antaranya hanya 273 bahasa yang digunakan lebih dari
satu juta orang dan merupakan 85% dari populasi dunia.
1. Pada tahun 1901 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuijsen dan
ia dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2. Pada tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan
yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang
kemudian pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-
buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam,
penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa
Melayu di kalangan masyarakat luas.
4. Pada tahun 1933 secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan muda yang
menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisyahbana dan kawan-kawan.
5. Pada tarikh 25-28 Juni 1938 dilangsungkanlah Kongres Bahasa Indonesia I di Solo.
Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan
Indonesia saat itu.
7. Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi)
sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
8. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober s.d. 2 November 1954
juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus
menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan
ditetapkan sebagai bahasa negara.
10. Pada tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
11. Kongres Bahasa Indonesia III yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28
Oktober s.d. 2 November 1978 merupakan peristiwa penting bagi kehidupan bahasa
Indonesia. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang
ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa
Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia.
12. Kongres bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 21-26 November
1983. Ia diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55.
Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal
mungkin.
13. Kongres bahasa Indonesia V di Jakarta pada tarikh 28 Oktober s.d. 3 November 1988.
Ia dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Nusantara
(sebutan bagi negara Indonesia) dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei
Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu
ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
14. Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta pada tarikh 28 Oktober s.d. 2 November
1993. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari
mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia,
Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Syarikat. Kongres mengusulkan
agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi
Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa
Indonesia.
15. Kongres Bahasa Indonesia VII diselenggarakan di Hotel Indonesia, Jakarta pada
tanggal 26-30 Oktober 1998. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan
Bahasa dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Keanggotaannya terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar yang mempunyai kepedulian
terhadap bahasa dan sastra.
Bahasa indonesia efektif karena kita tidak harus menggunakan banyak kata untuk
mengidentifikasi waktu. Bahasa Indonesia tepat guna dalam pemakaian kata kerjanya.
Upaya yang harus dilakukan oleh remaja untuk menjadikan Bahasa Indonesia melekat
dalam kehidupan remaja Indonesia.
2. Bahasa Indonesia digunakan dalam forum resmi secara baik dan benar
Dengan berhasilnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, maka diharapkan dapat
terwujudnya keberhasilan komunikasi yang sesuai dengan kaidah tata bahasa.