You are on page 1of 16

Kuliah Umum ekonomi-syariah.

Com
Copyright © 2008 ekonomi-syariah.Com

PERILAKU KONSUMEN
(Oleh : Diah Lukita Sari, Ratna Sari, Septiana Ambarwati)

Lisensi Dokumen:
Copyright © 2008 ekonomi-syariah.com
Seluruh dokumen di ekonomi-syariah.com dapat digunakan, dimodifikasi dan
disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak
menghapus atau merubah atribut penulis dan pernyataan copyright yang disertakan
dalam setiap dokumen. Tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali
mendapatkan ijin terlebih dahulu dari ekonomi-syariah.com.
Email : Septiana_a@yahoo.com

I. Prinsip dan Tujuan Konsumsi


Dalam kerangka teori ekonomi konvensional, munculnya ilmu atau perilaku ekonomi
didasarkan kepada jumlah sumber daya (resource) yang terbatas dengan kebutuhan
(needs) yang tidak terbatas. Fenomena keterbatasan tersebut melahirkan suatu kondisi
yang disebut kelangkaan (scarcity). Munculnya kelangkaan mendorong berbagai
permasalahan dalam memilih (problem of choices) yang harus diselesaikan guna
mencapai suatu tujuan yang dinamakan kesejahteraan (welfare). Menurut sebuah buku
digital: Principles of economics Welfare adalah The study of how the allocation of
resources affects economic well-being diperjelas oleh Case/Fair dalam Principles of
Economics yang mengatakan bahwa kriteria penilaian pencapaian hasil ekonomi
berdasarkan kepada:
ƒ Efficiency (allocative efficiency): menghasilkan apa yang dibutuhkan masyarakat
dengan biaya yang serendah-rendahnya
ƒ Equity: fairness (keadilan)
ƒ Growth: peningkatan total output dalam perekonomian
ƒ Stability: kondisi output yang tetap atau meningkat dengan tingkat inflasi rendah dan
tidak ada sumber daya yang menganggur
Resources

Problem of
Scarcity Welfare
Choices

Needs

What will be produced


How it will be produced
Who will get what is
produced

Gambar 1
Pelaku ekonomi yang menyelesaikan permasalahan ekonomi dengan tujuan kesejahteraan
terbagi menjadi:
1. Rumah Tangga (Household)
2. Perusahaan (Firm)
3. Pemerintah (Government)
4. Masyarakat Luar Negeri (Rest of The World)

Masing-masing pelaku diatas bertindak menyelesaikan permasalahan ekonomi dalam


lingkupnya. Membicarakan mengenai teori konsumsi, dalam hal ini erat kaitannya
dengan perilaku rumah tangga (household behavior). Perilaku konsumen sendiri
diturunkan berdasarkan uraian singkat di awal mengenai sebab hingga terciptanya tujuan
ekonomi konvensional.

Ketika suatu perekonomian sampai pada masalah dalam memilih, di awali dengan
keterbatasan hingga kelangkaan, rumah tangga sebagai salah satu pelaku ekonomi
diharapkan menghasilkan solusi hingga terciptalah kesejahteraan. Dalam ekonomi
konvensional keberhasilan rumah tangga didapatkan ketika sumber daya dapat
dialokasikan dengan well-being. Pemilihan baik barang maupun jasa dilakukan dengan
membuat penilaian yang spesifik tentang nilai relative (relative worth) suatu barang atau
jasa yang akan berbeda satu dengan yang lain (Case/Fair , 1989). Apakah satu barang
atau jasa lebih terpilih daripada yang lain bergantung pada seberapa besar tingkat utilitas
atau kepuasan yang dihasilkan relative terhadap setiap jenis barang atau jasa. Dengan
demikian dasar dari penyelesaian masalah dalam memilih (problem of choices) pada
ekonomi konvensional menurut kacamata rumah tangga (household) dapat diselesaikan
dengan bantuan konsep utilitas.

Dipihak lain pelaku ekonomi, Perusahaan misalnya, maka proses menyelesaikan problem
of choices yang dihadapi dilakukan dengan dasar maximizing profit.

Resources

Problem of
Scarcity Welfare
Choices

Needs

Household: Consupmtion
base on Utility
Firm: Production base on
maximizing profit

Gambar 2

1. Prinsip Konsumsi
a. Alokasi Pendapatan
Dalam ekonomi konvensional tujuan konsumsi ditunjukkan oleh bagaimana konsumen
berperilaku (consumer behavior). Dalam mempelajari consumer behavior ada tiga
langkah yang dilakukan oleh ekonomi konvensional (Pyndick):
1. Mempelajari consumer preferences: mendeskripsikan bagaimana seseorang lebih
memilih suatu barang terhadap barang yang lain. Asumsi dasar dalam konsumsi:
ƒ Preferences are complete pilihan-pilihan menyeluruh.
ƒ Preferences are transitive pilihan-pilihan bersifat konsisten A>B, B>C, maka
A>C.
ƒ Consumers always prefer more of any good to less: konsumen selalu memilih
sesuatu yang banyak dibandingkan yang sedikit.
2. Mengetahui keberadaan budget constraint (keterbatasan anggaran/sumber daya).
3. Menggabungkan antara consumer preferences dan budget constraint untuk
menentukan pilihan konsumen atau dengan kata lain kombinasi barang apa saja yang
akan dibeli untuk memenuhi kepuasannya.

Dengan demikian maka prinsip konsumsi dalam ekonomi konvensional dapat


digambarkan dengan kurva dibawah ini.

Barang Y

Penambahan Utilitas

U2

U1

Barang X

Gambar 3

Garis tegak-lurus (vertikal-Horisontal) menggambarkan jumlah barang dan jasa yang


menjadi pilihan dalam konsumsi. Garis diagonal merupakan budget line (sumber daya
yang dimiliki), sedangkan garis cembung (convex) kearah titik origin adalah garis
indifference yang menunjukkan tingkat utilitas yang dialami oleh konsumen. Secara
rasional konsumen akan memilih indifference curve yang bersentuhan dengan budget line
yang dimilikinya karena pada titik tersebutlah jawaban atas keterbatasan sumber daya
dengan keinginan manusia dipertemukan.
Menurut Fahim Khan, prinsip ekonomi konvensional dapat disimpulkan menjadi:
1. Diasumsikan bahwa Preferences dapat dipresentasikan dengan indifference curve, hal
ini mengasumsikan bahwa barang X dan Y adalah substitusi sempurna.
2. Asumsi indifference curve dirangkai oleh asumsi utilitas. Konsep utilitas melibatkan
value judgement.
3. Diasumsikan bahwa sesuatu yang lebih banyak (semakin banyak) lebih baik.
4. Tingkat kepuasan yang terbaik adalah kepuasan yang berhimpitan dengan budget
line. Sehingga seluruh income harus dibelanjakan sampai tidak tersisa agar kepuasan
(utilitas) menjadi maksimal.
5. Konsumen akan memilih titik yang memaksimalkan utilitinya: pada saat indifference
curve menyentuh budget line nya.
Dari asumsi nomor 2, 3 dan 4 diatas adalah asumsi yang didasari oleh suatu nilai dan
norma (tidak bebas nilai).

Ekonomi yang Islami, memiliki asumsi dasar bahwa konsumen memahami Islam dan
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ada suatu pilihan yang dilupakan dalam teori
konvensional dalam pilihan konsumsinya yaitu seberapa bagian income yang
dibelanjakan di jalan Allah (infaq fii sabilillah).

Konsumsi jalan Allah


Y

Y1 A
Kebutuhan pribadi
(keluarga)
X

X2
Gambar 4

Dengan adanya pilihan ini, kasus pemilihan preferences barang berbeda antara konsep
konvensional dengan konsep Islami. Perbedaan terletak pada bobot atau nilai alokasi
pendapatan. Pada teori konvensional dimana seluruh pendapatan dialokasikan pada
pembelian barang atau jasa maka nilai masing-masing barang atau jasa yang di pilih
bersifat substitusi sempurna. Pada teori Islami dimana alokasi pendapatan diletakkan
pada ukuran norma atau peraturan Islam yang berlaku (sebagian harta kita adalah milik
yang lainnya), maka semakin banyak pendapatan dialokasikan untuk jalan Allah semakin
kita mendekati tingkat kepuasan yang semakin tinggi. Tetapi tidak dengan demikian kita
meninggalkan konsumsi selain jalan Allah (kebutuhan pribadi dan keluarga) yang
menjaga kelangsungan hidup kita. Karena memelihara diri (tidak menzolimi diri sendiri)
adalah wajib hukumnya. Dengan demikian titik kepuasan maksimum yang dapat dicapai
adalah ketika alokasi bagi konsumsi minimum diri sendiri terpenuhi dan alokasi
konsumsi di jalan Allah juga terpenuhi (pada gambar dibawah adalah titik A), hal inilah
yang dikatakan keseimbangan (iqtishad) dalam Islam, seperti dalam surat Al Furqon ayat
67 berikut ini:
“ Dan mereka itu, apabila membelanjakan hartanya , tidak melampaui batas dan tidak
(pula) bersifat kikir, tetapi pertengahan antara keduanya.”

b. Skala Waktu
Dalam teori konvensional dibedakan antara konsumsi dengan investasi, masing-masing:
Consumption: Spending by household on goods or services, with the exception of
purchases of new housing (Mankiw, 2000). Investment: spending on capital equipment,
inventories, and structures, including household purchases of new housing (Mankiw,
2000).
Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konsumsi adalah kegiatan yang
melibatkan horison waktu yang singkat atau dengan kata lain sesuatu yang dinikmati atau
berdampak hanya pada saat ini saja. Menurut sumber lain dikatakan bahwa uang yang
kita terima hari ini lebih berharga jika dibandingkan uang (dengan jumlah yang sama)
yang kita terima pada masa yang akan datang. Sehingga apabila kita menunda konsumsi
dengan kata lain melakukan investasi maka kita harus mendapatkan kompensasi berupa
kesempatan konsumsi yang hilang pada saat ini (Keown, 1999).

Dalam ekonomi Islam, pandangan mengenai waktu dalam jangkauan Islam sangat
panjang, hal tersebut diketahui berulang kali melalui Al-qur’an dan As-sunnah yang
mengatakan bahwa akibat dari sesuatu itu akan dapat diterima hingga hari setelah kita
dimatikan (dan dihidupkan kembali), seperti dalam surat Al Fatihah ayat 4:
“Yang menguasai hari pembalasan.”

Hal tersebut memberikan implikasi bagi prinsip konsumsi dalam pandangan Islam yaitu:
1. Konsumsi (membelanjakan harta) dalam pandangan Islam merupakan suatu aktifitas
yang dampaknya (kegunaannya) dapat dirasakan secara langsung pada saat itu
Misalnya ketika seseorang melakukan konsumsi nasi, pada saat yang sama maka
seseorang tersebut menikmati kegunaan nasi.
2. Kemanfaatan konsumsi dapat pula dirasakan dalam jangka waktu yang panjang
(balasan di akhirat). Contohnya adalah seseorang yang meminjamkan dananya tanpa
bunga kepada orang yang miskin untuk berusaha, untuk pemeliharaan generasi muda
dan lain sebagainya, merupakan suatu aktifitas yang tidak secara langsung dirasakan
oleh individu tersebut, tetapi mungkin dirasakan oleh masyarakat.
3. Lebih lanjut lagi konsep Islam tentang waktu adalah anjuran kaum muslimin untuk
memanfaatkan waktu yang dimilikinya untuk beribadah kepada Penciptanya.

c. Prinsip Lain dalam Konsumsi


1. Konsumsi dengan barang-barang yang halal dan baik berdasarkan surat Al
Baqarah ayat 168
“Hai manusia! Makanlah sebagian dari makanan yang ada di bumi ini, yang halal
dan baik, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan, karena syaitan itu
musuhmu yang nyata”
2. Tidak diperkenankan melakukan konsumsi dengan cara berlebihan dan boros,
seperti dalam surat Al ‘Isra ayat 27
“ Sesungguhnya orang-orang pemboros itu saudara syaitan, sedang syaitan sangat
ingkar kepda Tuhannya.”

2. Tujuan Konsumsi
Teori konvensional mendasarkan konsumsi pada pencapaian kepuasan dengan konsep
utility. Utility the basic of choices, the satisfaction, or reward, a products yield relatif to
its alternatives (Case dan Fair, 1989). Dengan berdasarkan pada konsep utility inilah
tujuan konsumsi dilakukan oleh rumah tangga sebagai representasi dari pelaku yang
beraktifitas dalam kegiatan konsumsi.

Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan
maslahah. Masalahah menurut para tokoh adalah sebagai berikut:
1. Syatibi: maslahah adalah kepemilikan atau kekuatan barang/jasa yang mengandung
elemen-elemen dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini (dan peroleh
pahala untuk kehidupan akhirat) (Muhammad, 2004).
2. Khallaf: maslahah adalah tujuan syar’I dalam menyari’atkan hukum ialah
terwujudnya kemaslahatan umum. Karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan
ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat daruriyah, hajiyah dan tahsiniyah telah
terpenuhi.
3. Fahim Khan: semua barang dan jasa yang memiliki kekuatan untuk mendukung
kelima elemen dasar kehidupan manusia dikatakan sebagai maslahah. Ada tiga level
dalam kebutuhan:
a. Tingkat dimana lima elemen dasar dilindungi dengan baik
b. Tingkat dimana perlindungan lima elemen dasar di atas dilengkapi untuk
memperkuat perlindungannya
c. Tingkat dimana kelima elemen dasar diperbaiki dan diperindah

II. Rasionalitas dalam Perilaku Islami


Perbedaan mendasar antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam terletak pada
idiologi yang dianut. Dalam ekonomi konvensional landasan dasar (norma) utamanya
adalah semboyan “ laissez-fare, laissez passer” yang secara umum dikatakan kaum
kapitalis. Sedangkan ekonomi Islami didasarkan pada norma-norma Islami.

Yang dimaksud dengan asumsi rasionalitas adalah anggapan bahwa manusia berperilaku
secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang
akan menjadikan mereka lebih buruk. Berdasarkan kepada landasan norma yang berbeda
maka rasionalitas dalam berperilaku kedua pelaku ekonomi (konvensional dan Islam)
akan berbeda pula. Teori rasionalitas konvensional yang selanjutnya dapat dikatakan teori
kapitalis merupakan sumber dualitas, yakni “rasionalisme ekonomik” dan
“utilitarianisme”. Rasionalisme ekonomik menafsirkan perilaku manusia sebagai sesuatu
yang dilandasi dengan “perhitungan cermat yang diarahkan pada pandangan ke depan
dan persiapan terhadap keberhasilan ekonomik. Memperoleh harta, baik dalam
pengertian uang atau berbagai komoditas, adalah tujuan hidup yang terakhir dan pada
saat yang sama, merupakan tongkat pengukur keberhasilan ekonomik.

Utilitarianisme adalah sumber nilai-nilai dan sikap-sikap moral. Kejujuran berguna


karena ia menjamin kepercayaan; demikian juga ketepatan waktu, ketekunan kerja, dan
sikap hemat.

Dari sumber yang dua inilah timbul teori perilaku konsumen. Teori ini
mempertimbangkan maksimisasi pemanfaatan sebagai tujuan konsumen. Pemanfaatan
yang dimaksimisasikan adalah pemanfaatan “homo-economicus” yang tujuan tunggalnya
adalah mendapatkan kepuasan ekonomik pada tingkatan tertinggi dan dorongan satu-
satunya adalah “kesadaran akan uang”.

1. Rasionalitas Perilaku Konsumen Konvensional

• Ada dua jenis rasionalitas yakni:


a. Self interest rationality
Menurut Edgeworth, setiap pihak digerakkan hanya oleh self interest. Hal ini mungkin
saja benar pada masa-masa Edgeworth, tapi salah satu pencapaian dari teori utilitas
modern adalah pembebasan ilmu ekonomi dari prinsip self interest rationality tersebut.

Self interest tidak harus selalu berarti memperbanyak kekayaan seseorang dalam satuan
rupiah tertentu. Kita berasumsi bahwa individu mengejar berbagai tujuan, bukan hanya
memperbanyak kekayaan secara moneter. Dengan demikian, self interest sekurang-
kurangnya mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan prestise, persahabatan,
cinta, kekuasaan menolong sesama, penciptaan karya seni., dan banyak lagi. Kita juga
dapat mempertimbangkan self interest yang tercerahkan, di mana individu-individu
dalam rangka untuk mencapai sesuatu yang menjadikan mereka lebih baik, pada saat
yang sama membuat orang-orang di sekelilingnya menjadi lebih baik pula.

b. Present-aim rationality
Teori utilitas modern yang aksiomatis tidak berasumsi bahwa manusia tidak
mementingkan kepentingan pribadinya (self interested). Teori ini hanya berasumsi bahwa
manusia menyesuaikan preferensinya dengan sejumlah aksioma: secara kasarnya
preferensi-preferensi tersebut harus konsisten. Individu-individu menyesuaikan dirinya
dengan aksioma-aksioma ini tanpa harus menjadi self interested.

• Aksioma-Aksioma Pilihan Rasional


Terdapat tiga sifat dasar, yakni:
a. Kelengkapan (completeness)
Jika individu dihadapkan pada dua situasi, X dan Y, maka ia dapat selalu menentukan
salah satu dari tiga kemungkinan berikut ini:
ƒ X lebih disukai daripada Y
ƒ Y lebih disukai daripada X
ƒ X dan Y keduanya sama-sama disukai

b. Transitivitas (transitivity)
Jika seseorang berpendapat bahwa “X lebih disukai daripada Y” dan “Y lebih disukai
daripada Z” maka tentu ia akan mengatakan “X harus lebih disukai daripada Z”. Asumsi
ini menyatakan bahwa pilihan individu konsisten secara internal.

c. Kontinuitas (continuity)
Jika seseorang menganggap “X lebih disukai daripada Y”, maka situasi-situasi yang
secara cocok “mendekati X”, harus lebih disukai daripada Y.

• Asumsi-asumsi lain Tentang Preferensi


1. Strong monotonicity
Bahwa lebih banyak berarti lebih baik. Biasanya kita tidak memerlukan asumsi sekuat
ini. Asumsi ini dapat diganti dengan yang lebih lemah yakni local nonsatiation.

2. Local nonsatiation
Asumsi ini menyatakan bahwa seseorang dapat selalu berbuat lebih baik, sekecil apapun,
bahkan bila ia hanya menikmati sedikit perubahan saja dalam “keranjang konsumsinya”

3. Strict convexity
Asumsi ini menyatakan bahwa seseorang lebih menyukai yang rata-rata daripada yang
ekstrim, tetapi selain dari makna ini, asumsi ini memiliki muatan ekonomis yang kecil.
Strict convexity merupakan generalisasi dari asumsi neoklasik diminishing marginal
rates of substitutionI.

Perspektif Islam tentang Asumsi Rasionalitas

1. Perluasan Konsep Rasionalitas (untuk transitivitas)


Pertama-tama, kita berpendapat bahwa self interest rationality yang diperkenalkan oleh
Edgeworth adalah konsep yang lebih baik dalam artian kita berasumsi bahwa individu
mengejar banyak tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan secara moneter.
Sayangnya konsep ini terlalu longgar sehingga tindakan apapun dari seseorang dapat
dijustifikasi sebagai rasional hanya karena ia mengklaim bahwa tindakannya didorong
oleh self interest-nya.
Kedua, kita berpendapat bahwa teori modern tentang keputusan rasional tidak disepakati
secara universal. Versi yang berbeda memiliki aksioma yang berbeda. Tapi kesemuanya
sekurang-kurangnya menyepakati aksioma transitivitas. Transitivitas adalah syarat
minimal konsistensi; jika konsistensi tidak mensyaratkan transitivitas, maka
sesungguhnya ia tidak mensyaratkan apapun. Sebenarnya tidak semua aksioma teori
keputusan rasional merupakan syarat dari konsistensi. Contohnya, salah satu aksioma
adalah completeness: terhadap pasangan alternatif apapun dari X dan Y, kita dapat
memilih X daripada Y, Y daripada X, atau sama saja antara X dan Y. hal ini tidak
dipersyaratkan oleh konsistensi.
Dalam nilai Islam, terdapat dua cara untuk mendistribusikan pendapatan. Iuran wajib
(zakat), dan iuran sukarela (infaq). Dalam kebanyakan kasus, sektor sukarela tidak dapat
secara mutlak dijelaskan bahwa tindakan sukarela ini memenuhi persyaratan transitivitas.
Jika pekerjaan dengan gaji Rp 5 juta lebih disukai daripada pekerjaan dengan gaji Rp 3
juta, dan jika pekerjaan dengan gaji Rp 3 juta lebih disukai daripada pekerjaan dengan
gaji Rp 500 ribu, apakah masuk akal jika pekerjaan dengan gaji Rp 500 ribu lebih disukai
daripada pekerjaan dengan gaji Rp 5 juta? Menurut aksioma transitivitas, hal ini dianggap
tidak rasional karena tidak konsisten. Merupakan pertanyaan yang menarik bagaimana
keputusan yang tidak rasional ini dapat dijelaskan sebagai “rasional”. Lagi pula, menjadi
sangat menarik untuk disimak bagaimana rasionalitas ini dijelaskan berdasarkan aksioma
transitivitas, bukan berdasarkan self interest rationality.

2. Perluasan Spektrum Utilitas (untuk strong monotonicity dan local nonsatiation)


Dalam perspektif Islam, lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik. Asumsi “lebih
banyak lebih baik” hanya benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y halal. Tidak
benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y haram, atau X haram dan Y halal, atau
X haram dan Y haram. Nilai Islam tentang halal dan haram membuat kita harus
memperluas spektrum utilitas.

Barang Y

Penambahan Utilitas

Barang X

Gambar 5
Strong Monotonicity

Penambahan
Utilitas

Gambar 6

3. Melonggarkan Persyaratan Kontinuitas


Dalam keadaan dimana suatu barang yang diharamkan harus dikonsumsi karena dalam
keadaan yang darurat maka permintaan terhadap barang tersebut sifatnya menjadi
sementara bukan bersifat kontinus, melainkan diskrit. Karenya permintaannya adalah titik
(point demand) berapa pun tingkat harga barang tersebut.

4. Perluasan Horison Waktu


Horison waktu dalam kacamata Islam sangat panjang dan tidak terbatasi pada masa kini
saja, sehingga analisa statis ekonom konvensional tidak memadai untuk menerangkan
perilaku ekonomi Islam.

Dalam Islam waktu memiliki nilai yang penting. Nilai waktu ditentukan oleh bagaimana
seseorang memanfaatkan waktunya. Semakin produktif seseorang emanfaatkan
waktunya, semakin banyak nilai yang diperolehnya. Dalam Islam waktulah yang bernilai,
sementara uang tidak memiliki nilai waktu.

III. Utility dan Maslahah


Utility yang merupakan jargon konsumsi dalam ekonomi konvensional celakanya
dilemahkan sendiri oleh pendukungnya, Case dan Fair dalam buku the Principles of
Economics menyadari adanya masalah yang secara implisit muncul dari konsep utilitas
ini:
1. Tidak untuk mengukur utilitas secara lengkap dan akurat
2. Tidak mungkin untuk membandingkan utilitas pada tiap orang yang berbeda

Dengan demikian ketika ekonomi konvensional mencoba menjelaskan mengenai


penyelesaian permasalahan dalam memilih problem of choice dapat diselesaikan dengan
konsep utilitas yang ditawarkan, konsep itu sendiri “dimentahkan” oleh kriteria yang
tidak tercapai oleh konsep tersebut.

Beberapa keunggulan konsep maslahah adalah sebagai berikut:


1. Maslahah bersifat subjektif dalam arti bahwa proses menentukan kemaslahatan suatu
barang ditentukan berdasarkan penilaian subjektif setiap individu. Tetapi kriteria
penentuan kemaslahatan barang atau jasa adalah faktor yang objektif yang tidak
berlaku pada konsep utility. Dalam konsep maslahah kriteria yang menjadi bingkai
subjektivitas penilaian individu didasarkan pada kriteria kemaslahaan yang telah
ditentukan atau tetap bagi siapa saja. Misalnya mobil Mercedes memiliki utility atau
tidak dapat ditentukan dengan berdasarkan berbagai dasar, contohnya, memiliki
kenyamanan, merupakan utility, dapat dijadikan alat untuk pemer kekayaan dan
kebanggaan juga merupakan utility, dst.
2. Maslahah individu akan selalu konsisten dengan maslahah sosial tidak seperti utility
yang justru sering menimbulkan konflik dalam lingkungan sosial. Hal tersebut dipicu
karena ketidakhadiran kriteria umum dari utility. Dukungan terhadap lima elemen
dasar sangat diharapkan bukan hanya bagi individu tetapi oleh masyarakat. Alkohol
memiliki utility bagi sebagian orang karena kesukaan dalam minum minuman keras
tetapi tidak bagi keseluruhan masyarakat.
3. Konsep maslahah ditekankan pada seluruh aktifitas ekonomi dalam masyarakat.
Konsep maslahah merupakan konsep dalam kegiatan konsumsi, produksi, dan
perdagangan, tidak seperti teori konvensional yang menempatkan utilitas hanya pada
kegiatan konsumsi saja bukan merupakan tujuan dari keseluruhan kegiatan ekonomi.
Dengan demikian maslahah juga berhubungan dengan pelaku ekonomi baik itu
tingkat perorangan hingga ketingkat negara.
4. Sangat mungkin membandingkan tingkat kemaslahaan dari dua aktifitas yang sama
yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda, dimana hal tersebut tidak dapat
dijelaskan dalam konsep utility. Misalnya, dua orang memakan apel dengan jumlah
yang sama pada waktu yang bersamaan, menurut konsep utility tingkat kepuasan dari
kedua individu tersebut tidak dapat dibandingkan. Orang A pemakan apel melakukan
konsumsi apel guna kelangsungan hidupnya (tidak ada barang lain), orang B yang
lain memakan apel untuk kesehatan maka berdasarkan konsep maslahah. Dari
ilustrasi diatas berdasarkan kemaslahaan orang A lebih besar dibandingkan orang B.
Sumber Referensi
Adiwarman A. Karim: Ekonomi Mikro Islam, Rajawali Pers
Al-qur’an dan terjemahan, Widjaya Jakarta
Digital Book (unknown): Principles of Economics
Drs. Muhammad, M.Ag.: Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, BPFE-Yogyakarta,
Karl E. Case dan Ray C. Fair: Principles of Economics, Prentice Hall
M. Fahim Khan (Theory of Consumer Behavior in Islamic Perspective): Lectures on
Islamic Economics, Islamic Research and Training IDB
N. Gregory Mankiw: Principles of Economics, Harcout College Publisher
Pyndick: Micro economics
Sadono Sukirno: Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Rajawali Pers
Scott Jr, Martin, Petty, Keown: Basic Financial Management, Prentice Hall

You might also like