You are on page 1of 17

Klasifikasi Aedes Aegypti

Nyamuk Aedes Aegypti adalah hewan yang termasuk ke dalam golongan insekta (serangga) dari
ordo diptera (bersayap sepasang). Nyamuk ini merupakan salah satu hewan yang paling
mematikan di dunia.
Bagaimana tidak, gigitan satu ekor nyamuk Aedes Aegypti ini di kulit manusia bisa
mengakibatkan kematian. Penyakit yang disebabkannya disebut sebagai demam berdarah.
Aedes Aegypti yang menggigit kulit manusia adalah nyamuk Aedes Aegypti betina. Adapun
nyamuk Aedes Aegypti jantan tidaklah menghisap darah tetapi memakan nektar (sari bunga).
Hal yang membuat nyamuk betina ini membutuhkan darah adalah karena dia membutuhkan
banyak protein sebagai nutrisi bagi telur dan calon anak-anaknya. Meskipun nyamuk betina ini
memakan darah, ketika mereka tidak akan dan tidak sedang bertelur, nyamuk betina juga
memakan nektar.
Siklus Hidup Aedes Aegypti
Semua nyamuk mengalami siklus hidup yang disebut sebagai metamorfosis. Metamorfosisnya
adalah metamorfosis sempurna (4 tahap). Metamorfosis itu sendiri merupakan proses perubahan
bentuk tubuh makhluk hidup selama masa hidupnya.
Nyamuk betina bertelur di permukaan air. Kemudian, telur berubah bentuk menjadi larva. Dalam
satu hingga dua minggu, larva kemudian akan berubah menjadi pupa (kepompong). Saat fase
pupa, nyamuk tidak makan, tetapi tetap aktif berenang di atas permukaan air. Dalam beberapa
hari, pupa akan membuka dan keluarlah nyamuk dewasa.
Nyamuk betina dewasa bisa hidup selama 2 hingga 2 bulan, sedangkan nyamuk jantan dewasa
hanya berumur seminggu saja.
Adaptasi dan Pertahanan Aedes Aegypti
Nyamuk jantan menggunakan antena sebagai alat indra. Indra ini juga digunakan dalam
mendeteksi pasangannya dengan cara mendengung. Dengungan ini bisa terjadi sebanyak 250 kali
dalam 1 detik.
Nyamuk betina mencari darah dengan cara mendeteksi karbondioksida dan oktenol yang
dihasilkan saat makhluk hidup target bernapas dan berkeringat (termasuk manusia). Ketika
nyamuk betina mendeteksi karbondioksida, mereka akan terbang ke atas sampai dia menemukan
sumbernya.
Darah yang diisapnya bukanlah untuk energi tubuhnya melainkan untuk kebutuhan
perkembangan anak-anaknya.
Persebaran Nyamuk Aedes Aegypti
Nyamuk Aedes Aegypti tersebar di berbagai Negara. Dari mulai Negara-negara tropis hingga
Negara-negara subtropis. Seperti Asia Tenggara, Afrika, Amerika, Mediterania, hingga Pasifik.
Tempat yang paling banyak menyebarkan nyamuk ini biasanya adalah tempat yang mempunyai
sistem air yang buruk (air yang tidak mengalir). Di tempat inilah biasanya nyamuk Aedes
Aegypti berkembang biak.
Kemampuan terbang nyamuk Aedes Aegypti bisa mencapai jarak yang sangat jauh dari
sarangnya (sekitar 121 km). Itu sebabnya, walaupun kita menjaga lingkungan sekitar agar bersih
dari sarang nyamuk, kita masih bisa tergigit oleh nyamuk Aedes Aegypti dari sarangnya yang
sangat jauh sekali.
Mencegah Gigitan Aedes Aegypti
Pencegahan gigitan nyamuk Aedes Aegypti agar tidak sampai menjadi demam berdarah sudah
sangat kita kenal. Pemerintah kita sudah sejak lama memasyarakatkan program pencegahan
demam berdarah ini. Usaha yang dilakukan berupa program 3M, yaitu menguras, menutup, dan
mengubur.
Menguras, berarti rajin membersihkan tempat-tempat penampungan air agar bisa dicegah dari
pembentukan sarang nyamuk. Menutup, berarti menutup semua tempat penampungan air agar
nyamuk tidak bisa bersarang. Adapun mengubur adalah mengubur/ menimbun semua barang
yang berpotensi menjadi sarang nyamuk di dalam tanah

Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit
dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu
dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur.
Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun
tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam atau merah.
Demam berdarah kerap menyerang anak-anak karena anak-anak cenderung duduk di dalam kelas
selama pagi hingga siang hari dan kaki mereka yang tersembunyi di bawah meja menjadi sasaran
empuk nyamuk jenis ini.

Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang mengarah pada
peningkatan kompetensi vektor, yaitu kemampuan nyamuk menyebarkan virus. Infeksi virus
dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam mengisap darah, berulang kali menusukkan
proboscis nya, namun tidak berhasil mengisap darah sehingga nyamuk berpindah dari satu orang
ke orang lain. Akibatnya, risiko penularan virus menjadi semakin besar.

Di Indonesia, nyamuk A. aegypti umumnya memiliki habitat di lingkungan perumahan, di mana


terdapat banyak genangan air bersih dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis
ini bersifat urban, bertolak belakang dengan A. albopictus yang cenderung berada di daerah
hutan berpohon rimbun (sylvan areas).

Nyamuk A. aegypti, seperti halnya culicines lain, meletakkan telur pada permukaan air bersih
secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang lain.
Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam
perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar 1 ke instar 4 memerlukan
waktu sekitar 5 hari. Setelah mencapai instar ke-4, larva berubah menjadi pupa di mana larva
memasuki masa dorman. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar
dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7 hingga 8 hari,
namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.

Telur Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan kering.
Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat
membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat
mempengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi larva yang
melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus
dalam mengisap darah. Sebaliknya, lingkungan yang kaya akan nutrisi menghasilkan nyamuk-
nyamuk
Ciri fisik nyamuk yang menularkan penyakit DBD dengan nama aedes aegypty adalah sebagai
berikut :

1. Berwarna hitam dengan loreng putih (belang-belang berwarna putih) di sekujur tubuh nyamuk.
2. Bisa terbang hingga radius 100 meter dari tempat menetas.
3. Nyamuk betina membutuhkan darah setiap dua hari sekali.
4. Nyamuk betina menghisap darah pada pagi hari dan sore hari.
5. Senang hinggap di tempat gelap dan benda tergantung di dalam rumah.
6. Hidup di lingkungan rumah, bangunan dan gedung.
7. Nyamuk bisa hidup sampai 2-3 bulan dengan rata-rata 2 minggu.

Tempat yang biasa dijadikan tempat bertelur (berkembang biak) adalah di tempat yang tergenang
air bersih dalam waktu lama seperti bak mandi, vas bunga, kaleng bekas, pecahan botol,
penampungan air, lubang wc, talang air, dan lain sebagainya. Air kotor seperti got, air keruh, air
empang, genangan yang berhubungan langsung dengan tanah, dsb bukan tempat yang cocok bagi
nyamuk dengue untuk bertelur.

Nyamuk penyebab DBD bertelur dengan ciri sebagai berikut :


1. Jumlah telur bisa mencapai 100 buah.
2. Warna telur hitam dengan ukuran rata-rata 0,8 mm
3. Menetas setelah 2 hari terendam air bersih
4. Jika tidak ada air maka telur akan tahan menunggu air selama 6 bulan.

Setelah telur menetas, lantas menjadi jentik nyamuk dengan ciri-ciri :


1. Gerakan lincah dan bergerak aktif di dalam air bersih dari bawah ke permukaan untuk
mengambil udara nafas lalu kembali lagi ke bawah.
2. Memiliki ukuran 0,5 s/d 1 cm
3. Jika istirahat jentik terlihat tegak lurus dengan permukaan air.
4. Setelah 6-8 hari akan berubah jadi kepompong nyamuk.

Kepompong nyamuk aides aigypty memiliki ciri seperti di bawah ini :


1. Bergerak lamban di dalam air bersih. Sering berada di permukaan air.
2. Memiliki bentuk tubuh seperti koma.
3. Setelah usia 1-2 hari maka kepompong siap berubah menjadi nyamuk baru dan siap
mencelakakan umat manusia yang ada di sekitarnya.

Waspadalah terhadap nyamuk demam berdarah dengue karena jika penyakit dbd tersebut tidak
ditanggulangi dengan baik maka bisa menyebabkan kematian pada manusia yang ada di
sekitarnya.

Aedes aegypti merupakan spesies nyamuk yang banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis
yang terletak antara 35º lintang utara dan 35º lintang selatan. Selain itu Aedes aegypti jarang
ditemukan pada ketinggian lebih dari 1.000 m. Tetapi di India pernah ditemukan pada ketinggian
2.121 m dan di California 2.400 m. Nyamuk ini mampu hidup pada temperatur 8ºC-37ºC. Aedes
aegypti bersifat Anthropophilic dan sering tinggal di dalam rumah (WHO, 1997). Kemampuan
terbang nyamuk betina bisa mencapai 2 km tetapi kemampuan normalnya kira-kira 40 meter.
Nyamuk Aedes mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple bitters) yaitu menggigit
beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan karena nyamuk
Aedes aegypti sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini sangat membantu Aedes
aegypti dalam memindahkan virus Dengue ke beberapa orang sekaligus sehingga dilaporkan
adanya beberapa penderita DBD di dalam satu rumah (Depkes, 2004).

 LARVASIDA

 Cara melakukan larvasida.

Menggunakan bubuk Abate 1 G(bahan aktif :Temephos 1%)

Takaran penggunaan bubuk abate 1G adalah sebagai berikut : untuk 100 liter air cukup dengan
10 gram bubuk Abate 1G dan seterusnya. Bila tidak ada alat untuk menakar gunakan sendok
makan, satu sendok makan peres (yang diratakan diatasnya) berisi 10 gram Abate 1 G.
Selanjutnya tinggal membagikan atau menambahkannya sesuai dengan banyaknya air yang akan
di abatisasi. Takaran tidak perlu tepat betul.

Bubuk abate 1 G berwarna kecoklatan terbuat dari pasir yang dilapisi dengan zat kimia yang
dapat membunuh jentik nyamuk. Dalam takaran yang di anjurkan seperi diatas aman bagi
manusia dan tidak menimbulkan keracunan, jika di masukan kedalam air maka sedikit demi
sedikit zat kimia itu akan larut secara merata dan membunuh semua jentik nyamuk yang ada
dalam tempat penampungan air tersbut. Diantaranya ada yang menempel pada dinding tempat
penampungan air dan bertahan sampai 3 bulan bila tidak disikat. Oleh sebab itu maka penaburan
abate 1 G perlu di ulang setiap 3 bulan.

Vaksin
Hepatitis B
Ditulis oleh Irsan Hasan; Griskalia   
Rabu, 03 Februari 2010 09:33

Saat ini lebih dari 350 juta pasien karier virus Hepatitis B di dunia, dimana 75%
berada di Asia dan Pasifik Barat. Vaksinasi Hepatitis B yang efektif telah tersedia selama lebih
dari 20 tahun, tetapi transmisi perinatal dan paparan terhadap virus pada awal kehidupan
merupakan sumber penularan utama. Asia Tenggara merupakan daerah endemik infeksi virus
Hepatitis B, dimana 8% atau lebih merupakan karier Hepatitis B dan risiko infeksi selama hidup
bervariasi dari 60-80%. Transmisi vertikal merupaakan sumber infeksi utama di seluruh dunia.

b.  Cara Penularan


Virus Hepatitis B merupakan virus DNA yang termasuk golongan Hepadnaviridae. Genome
virus ini mempunyai empat buah open reading frame: inti, kapsul, polimerase, dan X. Gen inti
mengkode protein nukleokapsid yang penting dalam membungkus virus dan HBeAg. Gen
permukaan mengkode protein pre-S1, pre-S2, dan protein S. Gen X mengkode protein X yang
berperan penting dalam proses karsinogenesis.

Sampai saat ini terdapat delapan genotipe virus Hepatitis B: genotype A, B, C, D, E, F, G, H.


Genotipe B dan C paling banyak ditemukan di asia.

Selain transmisi vartikal, virus Hepatitis B dapat ditransmisikan dengan efektif melalui cairan
tubuh, perkutan, dan melalui membran mukosa. Penularan yang lebih rendah dapat terjadi melalui
kontak dengan karier Hepatitis B, hemodialisis, paparan terhadap pekerja kesehatan yang
terinfeksi, alat tato, alat tindik, hubungan seksual, dan inseminasi buatan. Selain itu penularan
juga dapat terjadi melalui transfusi darah dan donor organ. Hepatitis B dapat menular melalui
pasien dengan HBsAg yang negatif tetapi anti-HBc positif, karena adanya kemungkinan DNA
virus Hepatitis B yang bersirkulasi, yang dapat dideteksi dengan PCR (10-20% kasus).Virus
Hepatitis B 100 kali lebih infeksius pada pasien dengan infeksi HIV dan 10 kali lebih infeksius
pada pasien Hepatitis C. Adanya HBeAg yang positif mengindikasikan risiko transmisi virus
yang tinggi.

Patogenesis infeksi virus Hepatitis B merupakan suatu proses yang kompleks, yang melibatkan
respon imun humoral dan seluler. Virus bereplikasi di dalam hepatosit. Virus Hepatitis B tidak
bersifat sitopatik, dimana yang membuat kerusakan sel hati dan manifestasi klinis bukan
disebabkan oleh virus yang menyerang hepatosit, tetapi oleh karena respon imun yang dihasilkan
oleh tubuh. Respon antibodi terhadap antigen permukaan berperan dalam eliminasi virus. Respon
sel T terhadap selubung, nukleokapsid, dan antigen polimerase berperan dalam eliminasi sel yang
terinfeksi. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa infeksi kronik berhubungan dengan respon
sel T yang lemah. Penemuan DNA virus di ekstrahepatik menjelaskan tingginya tingkat transmisi
virus dari organ donor yang mengandung anti-HBc yang positif.

c. Gambaran Klinis

Infeksi virus Hepatitis B terdiri dari empat fase: imunotoleran, immune clearance, fase non
replikasi (karier inaktif), dan reaktivasi. Pasien yang sudah terinfeksi sejak lahir biasanya
mempunyai kadar DNA serum yang tinggi tanpa manifestasi hepatitis aktif. Fase ini disebut fase
imunotoleran. Fase immune clearance ditandai dengan menurunnya kadar DNA, meningkatnya
kadar ALT, aktivitas histologi, dan lisis hepatosit. Fase non replikasi merupakan fase dimana
terjadi serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe. Pada fase ini DNA virus hanya dapat dideteksi
dengan PCR, diikuti dengan normalisasi ALT, dan berkurangnya nekroinflamasi. Pada fase
reaktivasi, terjadi peningkatan DNA virus yang tinggi dengan atau tan[a serokonversi HBeAg,
disertai peningkatan ALT. Mutasi pada precore dan inti menghambat produksi HBeAg.

 
Hepatitis B akut

Masa inkubasi dari beberapa minggu sampai 6 bulan, tergantung dari jumlah replikasi virus.
Hanya 30% pasien yang disertai ikterus. Infeksi akut biasanya ditandai dengan serum sickness
pada 10-20% kasus, dengan demam, artralgia, artritis, dan kemerahan pada kulit. Ikterus akan
hilang dalam waktu 1-3 bulan, tetapi beberapa pasien mengalami kelelahan kronik meskipun
kadar ALT telah kembali normal. Pada umumnya kadar ALT dan HBsAg akan menurun dan
hilang bersamaan; 80% kasus HBsAg hilang dalam 12 minggu setelah sakit. Kadar
aminotransferase yang tinggi mencapai 1000-2000 IU/l sering terjadi, dimana ALT lebih tinggi
daripada AST. Hepatitis fulminan terjadi pada kurang dari 1% kasus, biasanya terjadi dalam
waktu 4-8 minggu setelah gejala, dan berhubungan dengan ensefalopati dan kegagalan
multiorgan. Mortalitas hepatitis B fulminan > 80%.

Hepatitis B kronik

Gejala yang paling sering adalah kelelahan, anoreksia, dan malaise. Kadang-kadang juga disertai
nyeri ringan pada abdomen kanan atas. Hepatitis B kronik dapat tidak bergejala. Bila terdapat
sirosis hati, reaktivasi infeksi dapat disertai dengan ikterus dan gagal hati. Selain itu dapat pula
disertai manifestasi klinis ekstrahepatik.

d. Diagnosis Serologi Hepatitis B

HBsAg muncul di serum 2-10 minggu setelah paparan virus dan sebelum muncul gejala, atau
peningkatan kadar aminotransferase serum. Hilangnya HBsAg setelah beberapa minggu diikuti
munculnya antibody anti-HBs. Anti-HBs dapat tidak terdeteksi selama periode jendela selama
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan setelah hilangnya HBsAg. Koeksistensi HBsAg dan
anti HBs dapat terjadi pada 10-25%.

Antibodi terhadap komponen inti (anti HBc) terdeteksi pada infeksi akut, kronik, maupun
eksaserbasi. Selama infeksi akut, IgM anti-HBc terdeteksi selama 4-6 bulan setelah episode
hepatitis akut dan jarang betahan sampai 2 tahun.

Antigen e Hepatitis B (HBeAg) ditemukan dalam serum selama infeksi akut. Reaktivitas HBeAg
biasanya hilang setelah enzim dalam serum mencapai kadar maksimal.

e. Terapi Hepatitis B

Tujuan utama terapi Hepatitis B adalah untuk mencapai supresi DNA virus. Jenis terapi yang
diberikan dapat berupa imunomodulator berupa interferon alfa, maupun analog nukleosida seperti
lamivudin, entecavir, telbivudin, adefovir, tenovovir).

f. Komplikasi
Infeksi virus Hepatitis B pada orang dewasa dengan sistem imun yang intak menyebabkan infeksi
akut, dengan 1-5% kasus menjadi kronik. Namun sebaliknya, 95% neonatus yang terinfeksi akan
menjadi Hepatitis B kronik. Pada orang dewasa, gagal hati fulminan akibat Hepatitis B akut
terjadi pada kurang dari 1% kasus. Survival spontan pada gagal hati akut akibat Hepatitis B
adalah sekitar 20%. Infeksi Hepatitis B dikatakan kronik bila HBsAg dalam serum positif lebih
dari 6 bulan. Sekitar 1/4-1/3 pasien dengan infeksi Hepatitis B kronik akan mengalami penyakit
hati yang progresif.

Infeksi pada bayi 90% akan cenderung menjadi hepatitis B kronik, sedangkan infeksi pada anak
usia 1-5 tahun 30-50% akan menjadi kronik. Hepatitis B kronik dapat menjadi sirosis hati dan
hepatoma. Dua puluh lima persen pasien dengan hepatitis B kronik akan meninggal akibat sirosis
hati maupun hepatoma.

g. Pencegahan

Pencegahan infeksi virus Hepatitis B dapat dilakukan melalui non imunisasi dan imunisasi.
Pencegahan non imunisasi dapat dilakukan dengan cara, menghindari kontak dengan darah
maupun cairan tubuh pasien yang terinfeksi virus Hepatitis B, tidak menggunakan jarum suntik
dan alat kedokteran yang tidak steril, menghindari hubungan seksual yang tidak aman, dan cara-
cara pencegahan umum lainnya. Imunisasi Hepatitis B terdiri dari dua bentuk, imunisasi pasif dan
imunisasi aktif.

h. Imunisasi Pasif

Imunitas pasif yang didapat melalui anti-HBs dapat melindungi individu dari infeksi Hepatitis B
akut dan kronik bila diberikan segera setelah paparan, dengan menggunakan imunoglobulin yang
mengandung titer anti-HBs yang tinggi. Profilaksis pasca paparan diberikan kepada bayi yang
dilahirkan dari ibu yang menderita Hepatitis B, paparan membran mukosa atau kulit terhadap
darah yang terinfeksi virus Hepatitis B, dan kontak seksual pada pasien yang HBsAg positif.
Imunoglobulin Hepatitis B (HBIG) juga digunakan untuk melindungi pasien dari infeksi Hepatitis
B rekuren setelah transplantasi hati. Efektivitas imunoglobulin Hepatitis B adalah 75% untuk
mencegah Hepatitis B yang bermanifestasi klinis atau keadaan karier bila digunakan segera
setelah paparan. Proteksi yang dihasilkan oleh HBIG hanya bertahan selama beberapa bulan.

Salah satu penggunaan utama HBIG adalah sebagai ajuvan vaksin Hepatitis B dalam mencegah
transmisi Hepatitis B perinatal. Data penelitian menyebutkan bahwa terapi kombinasi HBIG dan
vaksin Hepatitis B dapat meningkatkan efektivitas pencegahan infeksi perinatal sebesar 85-95%
dan memberikan efek proteksi jangka panjang.

Imunoglobulin Hepatitis B juga diindikasikan untuk profilaksis pasca paparan jarum suntik atau
luka kulit lainnya, yang terpapar dengan cairan tubuh pasien dengan  ininfeksi virus Hepatitis B.
Profilaksis vaksin Hepatitis B sebelum paparan mengurangi kebutuhan terhadap HBIG. Sebuah
studi menyatakan bahwa bila tidak diterapi, 30% individu yang tertusuk jarum yang terinfeksi
virus Hepatitis B akan mengalami infeksi klinis dan penggunaan HBIG mempunyai efektivitas
75% dalam mencegah penyakit yang bermanifestasi klinis. Efikasi HBIG dalam pencegahan
Hepatitis B klinis dan Hepatitis B kronik adalah 75% bula diberikan dalam waktu 7 hari setelah
paparan.

i. Imunisasi Aktif

Perkembangan Vaksin

Vaksin Hepatitis B yang aman, imunogenik, dan efektif telah dipasarkan sejak tahun 1982.
Vaksin Hepatitis B mengandung HBsAg ayng dimurnikan. Vaksin dapat diperoleh dari hasil
kultur HBsAg dari plasma pasien infeksi Hepatitis B kronik (plasma-derived vaccine) atau
dengan memasukkan plasmid yang mengandung gen S virus dan pada beberapa kasus pre-S1 dan
atau pre S2 ke dalam ragi atau sel mamalia. Insersi ini akan menginduksi sel mengekspresikan
HBsAg, yang berkumpul menjadi partikel imunogenik (vaksin DNA rekombinan). Vaksin
tersebut mengalami inaktivasi, dimurnikan, dan ditambah aluminium fosfat atau alminium
hidroksida, dan diawetkan dengan thimerosal.

Contoh produk vaksin Hepatitis B yang beredar di pasaran adalah Recombivax HB (Merck) dan
Engerix-B (Glaxo Smith Kline). Kedua vaksin tersebut mempunyai efektivitas yang serupa.
Vaksin tersebut termasuk vaksin DNA rekombinan, dimana vaksin menginduksi sel T yang
spesifik terhadap HBsAg dan sel B yang dependen terhadap sel T untuk menghasilkan antibodi
anti-HBs secepatnya 2 minggu setelah vaksin dosis pertama.

Sebagian pabrik vaksin memproduksi vaksin kombinasi yang mengandung komponen Hepatitis
B. Vaksin kombinasi yang sudah ada diantaranya adalah: difteri, tetanus, pertusis – Hepatitis B
(DTP-Hep B); difteri, tetanus, difteri aseluler – Hepatitis B (DTaP-Hep B); difteri, tetanus, difteri
aseluler – Hepatitis B – Haemophilus influenza tipe b (DTaP-Hep B-Hib); dan difteri, tetanus,
difteri aseluler – Hepatitis B - Haemophilus influenza tipe b – polio inaktif (DTaP-Hep B-Hib-
IPV). Selain itu juga terdapan kombinasi vaksin Hepatitis B dengan Hepatitis A. Tidak ada
peningkatan efek samping maupun interverensi antara pemberian vaksin Hepatitis B dengan
vaksin lain.

Vaksin Hepatitis B harus disimpan pada suhu 2-8oC. Vaksin yang mengalami pembekuan akan
mengurangi efektivitas vaksin. Vaksin Hepatitis B tersmasuk vaksin yang termostabil.
Pemanasan pada suhu 45oC selama 1 minggu atau 37oC selama 1 bulan tidak mengubah
imunogenisitas dan reaktivitas vaksin.

j. Indikasi Vaksin Hepatitis B

Vaksin Hepatitis B diberikan kepada kelompok individu dengan risiko tinggi tertular Hepatitis B,
diantaranya adalah:

 Pekerja di bidang kesehatan


 Petugas keamanan yang rentan terhadap paparan darah
 Pekerja di panti sosial
 Pasien hemodialisis
 Pasien yang membutuhkan transfusi darah maupun komponen darah
 Kontak atau hubungan seks dengan karier Hepatitis B atau Hepatitis B akut
 Turis yang bepergian ke daerah endemik Hepatitis B.
 Pengguna obat-obatan suntik
 Pria biseksual dan homoseksual
 Orang yang melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan
 Pasien penyakit hati kronik
 Pasien yang berpotensi menjalankan transplantasi organ.

k. Pemberian Imunisasi dan Dosis

Vaksin Hepatitis B harus diberikan secara intramuskular di otot deltoid pada orang dewasa. Pada
orang dewasa, imunogenisitas vaksin akan berkurang bila vaksin disuntikkan pada gluteus.
Panjang jarum yang digunakan sebaikya 1-1,5 inci untuk memastikan vaksin masuk ke jaringan
otot.

Penyuntikan vaksin secara intradermal tidak dianjurkan karena imunogenisitas pada usia muda
lebih rendah, respons antibodi yang tidak konsisten pada orang tua, kurangnya pengalaman
tenaga kesehatan dalam melakukan suntikan intradermal, dan kurangnya data tentang efektivitas
jangka panjang.

Vaksin Hepatitis B diberikan dalam 3 dosis pada bulan ke-0, 1, dan 6. Dua dosis pertama
merupakan dosis yang penting untuk membentuk antibodi. Dosis ketiga diberikan untuk
mencapai kadar antibodi anti-HBs yang tinggi.

Tabel 1. Rekomendasi Dosis Vaksin Hepatitis B

Recombivax HB Engerix B
Keadaan
(10 µg/ml) (20 µg/ml)
*
Bayi dan anak < 11 tahun 2,5 µg/ml 10 µg/ml
Anak / remaja (11-19 tahun) 5 µg/ml 20 µg/ml
Dewasa (> 20 tahun) 10 µg/ml 20 µg/ml
Pasien hemodialisis 40 µg/ml (1 ml)# 40 µg/ml (2 ml) ##
Pasien imunokompromais 10 µg/ml (1 ml)# 40 µg/ml (2 ml) ##
Jadwal yang dianjurkan bulan ke-0, 1, 6

*Bayi yang lahir dengan ibu yang HBsAg (-)


#
Formulasi khusus
##
2 dosis 1 ml disuntikkan di satu sisi dalam 4 dosis (bulan ke-0, 1, 2, 6)
 
Tabel 2. Rekomendasi Profilaksis Hepatitis B Setelah Paparan Perkutan

Rekomendasi bila Rekomendasi bila Rekomendasi bila


Status imun pasien sumber HBsAg (+) sumber HBsAg (-) status HBsAg sumber
yang terpapar tidak diketahui
Belum divaksinasi HBIG  0,06 mg/kg + Inisiasi vaksin Inisiasi vaksin
vaksin Hepatitis B Hepatitis B Hepatitis B
 
     
 
     
Sebelumnya sudah
vaksinasi      

 Individu Terapi (-) atau Terapi (-) Terapi (-)


responder pertimbangkan booster
   
   
   
  2 x HBIG atau
Terapi (-) Bila sumber risiko
 Non responder 1 x HBIG + vaksinasi tinggi: terapi seolah-
Hepatitis B Terapi (-) olah HBsAg (+)
 
     
 
Tes anti-HBs individu   Tes anti-HBs individu
 Respon tidak yang terpapar yang terpapar
diketahui Terapi (-)
 Bila inadekuat :  Bila inadekuat :
1 x HBIG + booster vaksin
booster vaksin Hepatitis B
Hepatitis B  Bila adekuat:
 Bila adekuat: terapi-
terapi -

l. Efektivitas Vaksin

Pemberian 3 dosis vaksin Hepatitis B secara intramuskluar menginduksi respon antibodi protektif
pada lebih dari 90% dewasa sehat yang berusia kurang dari 40 tahun. Setelah berusia 40 tahun,
imunitas berkurang dibawah 90%, dan saat berusia 60 tahun hanya 65-76% vaksin yang
mempunyai efek proteksi terhadap infeksi virus Hepatitis B. Meskipun faktor pejamu lainnya
seperti merokok, obesitas, infeksi HIV, dan penyakit kronik menyebabkan imunogenisitas vaksin
yang rendah, tetapi usia merupakan factor determinan terpenting.
m. Efek Samping dan Kontraindikasi

Vaksin Hepatitis B merupakan vaksin yang termasuk aman. Efek yang ditimbulkan berupa nyeri
di tempat injeksi, demam, reaksi anafilaksis, dan Sindrom Guillan-Barre. Reaksi alergi terhadap
komponen vaksin termasuk thimerosal merupakan kontraindikasi pemberian vaksin.

n. Perkembangan Terkini

Imunogenisistas vaksin Hepatitis B dapat ditingkatkan dengan menggunakan ajuvan yang lebih
poten. Vaksin HBVsAg/AS04 mengandung 3’-deacylated monophosphoryl lipid A (MPL) dan
ajuvan MF59 mengandung antigen permukaan dan pre-S2. Keduanya mempunyai efek yang lebih
baik. Penggunaan granulocyte colony stimulating factor juga dapat meningkatkan antibodi anti-
HBs. Imunisasi menggunakan HBV DNA encoding untuk antigen permukaan Hepatitis B dan
nukleoprotein menarik untuk diteliti sebagai profilaksis maupun untuk terapi. Vaksin yang
berbasis DNA ini menghasilkan imunitas humoral dan seluler, juga respon sel CD4+ dan CD 8+.

o. Pelaksanaan Vaksin Hepatitis B Pada Patugas Kesehatan

Sampai saat ini cakupan imunisasi pada petugas kesehatan masih rendah. Pada tahun 2006, di
RSUPN Cipto Mangunkusumo dilakukan vaksin Hepatitis B pada 1142 petugas kesehatan.
Sebagian dari petugas kesehatan tersebut mempunyai HbsAg yang positif. Alur yang dilakukan
untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan vaksinasi tersebut adalah sebagai berikut

Sporozoit berpindah ke hati dan menembus hepatosit. Tahap dorman bagi sporozoit Plasmodium
dalam hati dikenal sebagai hipnozoit. Dari hepatosit, parasit berkembang biak menjadi ribuan
merozoit, yang kemudian menyerang sel darah merah.

Di sini parasit membesar dari bentuk cincin ke bentuk trofozoit dewasa. Pada tahap skizon,
parasit membelah beberapa kali untuk membentuk merozoit baru, yang meninggalkan sel darah
merah dan bergerak melalui saluran darah untuk menembus sel darah merah baru. Kebanyakan
merozoit mengulangi siklus ini secara terus-menerus, tetapi sebagian merozoit berubah menjadi
bentuk jantan atau betina (gametosit) (juga dalam darah), yang kemudiannya diambil oleh
nyamuk betina.

Dalam perut tengah nyamuk, gametosit membentuk gamet dan menyuburkan satu sama lain,
membentuk zigot motil yang dikenal sebagai ookinet. Ookinet menembus dan lepas dari perut
tengah, kemudian membenamkan diri pada membran perut luar. Di sini mereka terbelah berkali-
kali untuk menghasilkan sejumlah besar sporozoit halus memanjang. Sporozoit ini berpindah ke
kelenjar liur nyamuk, di mana ia dicucuk masuk ke dalam darah inang kedua yang digigit
nyamuk. Sporozoit bergerak ke hati di mana mereka mengulangi siklus ini.

Dalam beberapa spesies jaringan selain hati mungkin dijangkiti. Namun hal ini tidak berlaku
pada spesies yang menyerang manusia
PLASMODIUM FALCIPARUM
Posted on Maret 15, 2008 by harnawatiaj

PLASMODIUM FALCIPARUM

Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad-jasad yang hidup untuk sementara atau tetap di
dalam atau pada permukaan jasad lain dengan maksud untuk mengambil makanan sebagian atau
seluruhnya dari jasad itu (parasiros = jasad yang mengambil makanan; logos = ilmu).

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai plasmodium sp dan lebih rinci lagi akan dibahas
mengenai plasmodium Falcifarum.

Plasmodium sp pada manusia menyebabkan penyakit malaria dengan gejala demam, anemia dan
spleomegali (pembengkakan spleen). Dikenal 4 (empat) jenis plasmodium, yaitu :
1.Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertiana (malaria tertiana begigna).
2.Plasmodium malariae menyebabkan malaria quartana
3.Plasmodium falciparum menyebabkan malaria topika (malaria tertiana maligna).
4.Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale.

Malaria menular kepada manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. dalam siklus hidupnya.
Plasmodium sp berproduksi secara sexual (sporogoni)dan asexual (schizogon) di dalam host
yang berbeda, host dimana terjadi reproduksi sexsual, disebut host definitive sedangakn
reproduksi asexual terjadi pada host intermediate. Reproduksi sexual hasinya disebut sporozoite
sedangkan hasil reproduksi asexual disebut merozoite.

Plasmodium falciparum mempunyai sifat – sifat tertentu yag berbeda dengan species lainnya,
sehingga diklasifikasikan dalam subgenus laveran.
Plasmodium falciparum mempunyai klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Haemosporodia
Divisio : Nematoda
Subdivisio : Laveran
Kelas : Spotozoa
Ordo : Haemosporidia
Genus : Plasmodium
Species : Falcifarum

A.Nama penyakit
P.falciparum menyebabkan penyakit malaria falsifarum.

B.Hospes
Manusia merupakan hospes perantara parasit ini dan nyamuk Anopheles betina menjadi hopses
definitifnya atau merupakan vektornya.
C.Distribusi geografik
Parasit ini ditemukan didaerah tropic, terutama di Afrika dan Asia Tenggara. Di Indonesia
parasit ini terbesar di seluruh kepulauan.

D.Morfologi dan daur hidup


Parasit ini merupakan species yang berbahaya karena penyakit yang ditimbulkannya dapat
menjadi berat dan menyebabkan kematian.
Perkembangan aseksual dalam hati hanya menyangkut fase preritrosit saja; tidak ada fase ekso-
eritrosit. Bentuk dini yang dapat dilihat dalam hati adalah skizom yang berukuran ± 30 µ pada
hari keempat setelah infeksi.
Jumlah morozoit pada skizon matang (matur) kira-kira 40.000 bentuk cacing stadium trofosoit
muda plasmodium falciparum sangat kecil dan halus dengan ukuran ±1/6 diameter eritrosit. Pada
bentuk cincin dapat dilihat dua butir kromatin; bentuk pinggir (marginal) dan bentuk accole
sering ditemukan. Beberapa bentuk cincin dapat ditemukan dalam satu eritrosit (infeksi
multipel). Walaupun bentuk marginal, accole, cincin dengan kromatin ganda dan infeksi multiple
dapat juga ditemukan dalam eritrosit yang di infeksi oleh species plasmodium lain pada manisia,
kelainan-kelainan ini lebih sering ditemukan pada Plasmodium Falciparum dan keadaan ini
penting untuk membantu diagnosis species.
Bentuk cincin Plasmodium falciparum kemudian menjadi lebih besar, berukuran seperempat dan
kadang-kadang setengah diameter eitrosit dan mungkin dapat disangka parasit Plasmodium
malariae. Sitoplasmanya dapat mengandung satu atau dua butir pigmen. Stadium perkembangan
siklus aseksual berikutnya pada umumnya tidak berlangsumg dalam darah tepi, kecuali pada
kasus brat (perniseosa).
Adanya skizon muda dan matang Plasmodium falciparum dalam sediaan darah tepi berarti
keadaan infeksi yang berat sehingga merupakan indikasi untuk tindakan pengobatan cepat.
Bentuk skizon muda Plasmodium falciparum dapat dikenal dengan mudah oleh adanya satu atau
dua butir pigmen yang menggumpal. Pada species parasit lain pada manusia terdapat 20 atau
lebih butir pigmen pada stadium skizon yang lebih tua. Bentuk cincin da tofozoit tua menghilang
dari darah tepi setelah 24 jam dan bertahan dikapiler alat-alat dalam, seperti otak, jantung,
plasenta, usus atau sumsum tulang; di tempat – tempat ini parasit berkembang lebih lanjut.
Dalam waktu 24 jam parasit di dalam kapiler berkembang biak secara zkisogoni. Bila skison
sudah matang, akan mengisi kira-kira 2/3 eritrosit. Akhirnya membelah-belah dan membentuk 8
– 24 morozoit, jumlah rata-rata adalah 16. skizon matang Plasmodium falciparum lebih kecil dari
skizon matang parasit malaria yang lain. Derajat infeksi pada jenis malaria ini lebih tinggi dari
jenis-jenis lainnya, kadang-kadang melebihi 500.000/mm3 darah.
Dalam badan manusia parasit tidak tersebar merata dalam alat-alat dalam dan jaringan sehingga
gejala klinik pada malaria falciparum dapat berbeda-beda. Sebagian besar kasus berat dan fatal
disebabkan oleh karena eritrosit yang dihinggapi parasit menggumpal dan menyumbat kapiler.
Pada malaria falciparum eritrosit yang diinfeksi tidak membesar selama stadium perkembangan
parasit. Eritrosit yang mengandung trofozoit tua dan skizon mempunyai titik kasar berwarna
merah (titik mauror) tersebar pada dua per tiga bagian eritrosit. Pembentukan gametosit
berlamgsung dalam alat-alat dalam, tetapi kadang-kadang stadium mudah dapat ditentukan
dalam darah tepi. Gametosis muda mempunyai bentuk agak lonjong, kemudian menjadi lebih
panjang atau berbentuk elips; akhirnya mencapai bentuk khas seperti sabit atau pisang sebagai
gametosis matang. Gametosis untuk pertama k ali tampak dalam darah tepi setelah beberapa
generasi mengalami skizogoni biasanya kira-kira 10 hari setelah parasit pertama kali tampak
dalam darah. Gametosis betina atau makrogametosis biasanya lebih langsing dan lebih panjang
dari gametosit jantang atau mikrogametosit, dan sitoplasmanya lebih biru dengan pulasan
Romakonowsky. Intinya lebih lebih kecil dan padat, berwarna merah tua dan butir-butir pigmen
tersebar disekitar inti. Mikrogametozit membentuk lebih lebar dan seperti sosis. Sitoplasmanya
biru, pucat atau agak kemerah-merahan dan intinya berwarna merah mudah, besar dan tidak
padat, butir-butir pign\men disekitan plasma sekitar inti.

Jumlah gametosit pada infeksi Falciparum berbeda-beda, kadang-kadang sampai 50.000 –


150.000/mm3 darah, jumlah ini tidak pernah dicapai oleh species Plasmodium lain pada
manusia. Walaupun skizogoni eritrosit pada Plasmodium falciparum selesai dalam waktu 48 jam
dan priodisitasnya khas terirana, sering kali pada species ini terdapat 2 atau lebih kelompok-
kelokpok parasit, dengan sporolasi yang tidak singkron, sehingga priodesitas gejala pada
penderita menjadi tidak teratur, terutama pada stadium permulaan serangan malaria.
Siklus seksual Plasmodium falciparum dalam nyamuk sama seperti pada Plasmodium yang lain.
Siklus berlangsung 22 hari pada suhu 20o C, 15 – 17 hari pada suhu 23o C dan 10 – 11 hari pada
suhu 25o C – 28o C. pigmen pada obkista berwarna agak hitam dan butir butinya relative besar,
membentuk pola pada kista sebagai lingkaran ganda sekitar tepinya, tetapi dapat tersusun sebagai
lingkaran kecil dipusat atau sebagai garis lurus ganda. Pada hari ke- 8 pigmen tidak tampak
kecuali beberapa butir masih dapat dilihat.
E.Patologi dan gejala-gejala.
Masa tunas intrinsic malaria falciparum berlangsung antara 9-14 hari. Penyakitnya mulai dengan
sakit kepala, punggung dan ekstremitas, perasaan dingin, mual, muntah atau diare ringan.
Demam mungkin tidak ada atau ringan dan penderita tidak tampak sakit; diagnosis pada stadium
ini tergantung dari anamosis tentang kepergian penderita ke daerah endemic malaria sebelumnya.
Penyakit berlangsung terus, sakit kepala, punggung dan ekstremitas lebih hebat dan keadaan
umum memburuk. Pada stadium ini penderita tampak gelisah, pikau mental (mentral
cunfuncion). Demam tidak teratur dan tidak menunjukkan perodiditas yang jelas.
Ada anemia ringan dan leucopenia dengan monositosis. Pada stadium dini penyakit penyakit
dapat didiagnosis dan diobati dengan baik, maka infeksi dapat segera diatasi. Bila pengobatan
tidak sempurna, gejala malaria pernisiosa dapat timbul secara mendadak. Istilah ini diberikan
untuk penyulit berat yang timbul secara tidak terduga pada setiap saat, bila lebih dari 5 %
eritrosit di-infeksi.
Pada malaria Falciparum ada tiga macam penyulit :
1.Malaria serebral dapat dimulai secara lambat atau mendadak setelah gejala permulaan.
2.Malaria algida menyerupai syok/renjatan waktu pembedahan.
3.gejala gastro-intestinal menyerupai disentri atau kolera.
Malaria falciparum berat adalah penyakit malaria dengam P.falciparum stadium aseksual
ditemukan di dalam darahnya, disertai salah satu bentuk gejala klinis tersebut dibawah ini
(WHO, 1990) dengan menyingkirkan penyebab lain (infeksi bakteri atau virus) :
1.malaria otak dengan koma (unarousable coma)
2.anemia normositik berat
3.gagal ginjal
4.Edema paru
5.Hipoglikemia
6.syok
7.Perdarahan spontan/DIC (disseminated intravascular coagulation)
8.kejang umum yang berulang.
9.Asidosis
10.Malaria hemoglobinuria (backwater fewer)
Manifestasi klinis lainnya (pada kelompok atau daerah didaerah tertentu) :
1.Gangguan kesadaran (rousable)
2.penderita sangat lemah (prosrated)
3.Hiperparasitemia
4.Ikterus (jaundice)
5.hiperpireksia
Hemolisis intravascular secara besar-besaran dapat terjadi dan memberikan gambaran klinis khas
yang dikenal sebagai “blackwater fever” atau febris iktero-hemoglobinuria. Gejala dimulai
dengan mendadak, urin berwarna merah tua samapi hitam, muntah cairan yang berwarna
empedu, ikterus, badan cepat lemah dan morolitasnya tinggi. Pada “blackwater” parasit sedikit
sekali, kadang-kadang tidak ditemukan dalam darah tepi.
F.Diagnosis
Diagnosis malaria falcifarum dapat dibuat dengan menemukan parasit trofozoit muda ( bentuk
cincin ) tanpa atau dengan stadium gametosit dalam sediaan darah tepi. Pada autopsy dapat
ditemukan pigmen dan parasit dalam kapiler otak dan alat-alat dalam.
G.Resistensi parasit malaria terhadap obat malaria.
Resistensi adalah kemampuan strain parasit untuk tetap hidup, berkembangbiak dan
menimbulkan gejala penyakit, walaupun diberi pengobatan terhadap parasit dalam dosis standar
atau dosis yang lebih tinggi yang masih dapat ditoleransi. Resistensi P.falciparum terhadap obat
malaria golongan 4 aminokuinolin (klorokuin dan amodiakuin untuk pertama kali ditemukan
pada tahun 1960 -1961 di Kolombia dan Brasil. Kemudian secara berturut-turut ditemukan di
Asia Tenggara, di Muangthai, Kamboja, Malaysia, Laos, Vietnam, Filifina. Di Indonesia
ditemukan di Kalimantan timur (1974), Irian Jaya (1976), Sumatera Selatan (1978), Timor Timur
(1974), Jawa Tengah (Jepara, 1981) dan Jawa Barat (1981). Focus resistensi tidak mengcakup
semua daerah, parasit masih sensitive dibeberapa tempat di daerah tersebut. Bila resistensi
P.Falciparum terhadap klorokuin sudah dapat dipastikan, obat malaria lain dapat diberikan ,
antara lain :
1.Kombinasi sulfadoksin 1000 mg dan pirimetamin 25 mg per tablet dalam dosis tunggal
sebanyak 2-3 tablet.
2.Kina 3 x 2 tablet selama 7 hari.
3.Antibiotik seperti tetrasiklin 4 x 250 mg/hari selama 7-10 hari, minosiklin 2 x 100 mg/hari
selama 7 hari.
4.Kombinasi – kombinasi lain : kina dan tetrasiklin.
Mengapa parasit malaria menjadi resisten terhadap klorokuin, amsih belum diketahui dengan
pasti. Ada beberapa kemungkinan yaitu :
1.Mungkin parasit itu tidak mempunyai tempat (site) untuk mengikat klorokuin sehingga obat ini
tidak dapat dikonsentrasi dalam sel darah merah,
2.Plasmodium yang resisten mempunyai jalur biokimia (biochemical pathway) lain untuk
mengadakan sintesis asam amino sehingga dapat menghindarkan pengaruh klorokuin,
3.Mutasi spontan dibawah tekanan otot.
Criteria untuk menentukan resistensi parasit malaria terhadap 4-aminokuinolin dilapangan telah
ditentukan oleh WHO dengan cara in vivo dan in vitro. Derajat resistensi terhadapobat secara in
vivo dapat dibagi menjadi :
S : Sensitive dengan parasit yang tetap menghilang setelah pengobatan dan diikuti selama 4
minggu.
R I : Resistensi tingkat I dengan rekrusesensi lambat atau dini (pada minggu ke 3 sampai ke 4
atau minggu ke 2)
R II : Resistensi tingkat II dengan jumlah parasit menurun pada tingkat I.
R III : Resistensi tingkat III dengan jumlah parasit tetap sama atau meninggi pada minggu ke I.
Akhir akhir ini ada laporan dari beberapa Negara (Bombay India, Myanmar, Papua Nugini,
Kepulauan Solomon, Brasil) dan dari Indonesia (Pulau nias Sumatera Utara, Florest NTT,
Lembe Sulawesi Utara, Irian Jaya) mengenai P.vivax yang resistensi ditentukan dengan cara
mengukur konsentrasi klorokuin dalam darah atau serum penderita.
H.Pengobatan Pengobatan dan Pencegahan Penyakit Malaria

Klasifikasi biologi obat malaria


Berdasarkan suseptibilitas berbagai stadium parasit malaria terhadap obat malaria maka obat
malaria di bagi dalam 5 golongan :
1.Skizontosida jaringan primer : proguanil, pirimetamin, dapat membasmi parasit pra eritrosit
sehingga mencegah masuknya parasit ke dalam eritrosit digunakan sebagai profilaksis kausal.
2.Skizontosida jaringan sekunder primakuin, membasmi parasit daur eksoeritrosit atau bentuk-
bentuk jaringan P. vivax dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal infeksi ini sebagai
obat anti relaps.
3.Skizontosida darah : membasmi parasit stadium eritrosit yang berhubungan dengan penyakit
akut disertai gejala klinis.
4.Gametositosida : menghancurkan semua bentuk seksual termasuk stadium gametosit
P.falcifarum , juga mempengaruhi stadium perkembangan parasit malaria dalam nyamuk
Anopheles betina
5.Sporontosida : mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista
dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles
Obat-obat malaria yang ada dapat dibagi dalam 9 golongan menurut rumus kimianya :
1.Alkaloid cinchona (kina)
2.8-aminokuinolin (primakuin)
3.9-aminoakridin (mepakrin)
4.4-aminokuinolin (klorokuin, amodiakuin)
5.Biguanida(proguanil)
6.Diaminopirimidin (pirimetamin, trimetoprim)
7.Sulfon dan sulfonamide
8.Antibiotic ( tetrasiklin, minosiklin, klindamisin )
9.Kuinilinmetanol dan fenantrenmetanol ( meflokuin )
Penggunaan Obat malaria
Suatu obat mempunyai beberapa kegunaan yang dapat dipengaruhi beberapa factor, seperti
spesies parasit malaria, respon terhadap obat tersebut, adanya kekebalan parsial manusia, risiko
efek toksik, ada tidaknya obat tersebut di pasaran, pilihan dan harga obat. Penggunaan obat
malaria yang utama ialah sebagai pengobatan pencegahan (profilaksisi ), pengobatan kuratif
( terapeutik ), dan pencegahan transmisi.
1.Pengobatan pencegahan (profilaksis). Obat diberikan dengan tujuan mencegah terjadinya
infeksi atau timbulnya gejala. Semua skizontisida darah adalah obat profilaksis klinis atau
supresif dan ternyata bila pengobatan diteruskan cukup lama , infeksi malaria dapat lenyap.
2.Pengobatan terapeutik (kuratif). Obat digunakan untuk pengobatan infeksi yang telah ada,
penanggulangan serangan akut dan pengobatan radikal. Pengobatan serangan akut dapat
dilakukan dengan skizontosida.
3.Pengobatan pencegahan transmisi. Obat yang efektif terhadap gametosit, sehingga dapat
mencegah infeksi pada nyamuk atau mempengaruhi perkembangan sporogonik pada nyamuk
adalah gametositosida atau sporontosida
Pada pemberantasan penyakit malaria, penggunaan obat secara operasional tergantung pada
tujuannya. Bila obat malaria digunakan oleh beberapa individu untuk pencegahan infeksi, maka
disebut proteksi individu atau profilaksis individu.Dalam program pemberantasan malaria cara
pengobatan yang terpenting adalah pengobatan presumtif, pengobatan radikal, dan pengobatan
missal. Pengobatan presumtif adalah pengobatan kasus malaria pada waktu darahnya diambil
untuk kemudian dikonfirmasi infeksi malarianya. Pengobatan radikal dilakukan dentgan tujuan
membasmi semua parasit yang ada dan mencegah timbulnya relaps.
Pengobatan misal dilakukan di daerah dengan endemisitas tinggi. Tiap orang harus mendapat
pengobatan secara teratur dengan dosis yang telah ditentukan.
Dosis obat malaria
Dosis obat malaria tanpa keterangan khusus berarti bahwa dosis tersebut diberikan kepada orang
dewasa dengan BB kurang lebih 60 kg. Dosis tersebut dapat disesuaikan BB ( 25 mg/kg BB
dosis total.
Pencegahan penyakit malaria
Menghindari gigitan nyamuk, misalnya tidur menggunakan kelambu
Mengobati semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan
Pemberantasan nyamuk dan larvanya

You might also like