You are on page 1of 32

Tinjauan pustaka

SKLEROSIS SISTEMIK

Rita Sriwulandari

Pembimbing

Prof. Dr. Eddy Mart Salim, SpPD, K-AI, FINASIM

Dr. Nova Kurniati, SpPD, K-AI, FINASIM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRI / RSMH PALEMBANG

2011

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi ………………………………………………………………………… i


BAB 1 Sklerosis Sistemik…………………………………………………….. 1

1.1 Definisi……………………………………………………………….. 1
1.2 Epidemiologi…………………………………………………………. 1
1.3 Klasifikasi…………………………………………………………….. 2
1.4 Faktor Genetik………………………………………………………… 5
1.5 Faktor Lingkungan……………………………………………………. 6
1.6 Patogenesis……………………………………………………………. 6
1.6.1 Vaskulopati……………………………………………………. 8
1.6.2 Autoimunitas Seluler dan Humoral…………………………… 10
1.6.3 Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis…………………… 12

BAB 2 Diagnosis dan Penatalaksanaan Sklerosis Sistemik…………………… 15


2.1Diagnosis…………………………………………………………… 15
2.2Gambaran Patologi..……………………………………………….. 17
2.3Penatalaksanaan……………………………………………………. 19
BAB 3 Kasus-kasus Skleroderma di Bagian Penyakit Dalam RSMH Palembang 25
BAB 4 Daftar Pustaka………………………………………………………… 30

2
BAB 1

SKLEROSIS SISTEMIK

1.1 Definisi
Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai
dengan penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan keterlibatan organ internal
yang luas terutama paru, saluran cerna, jantung dan ginjal. Stadium dini dari penyakit ini
berhubungan dengan gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan
struktural dan fungsional yang menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang
progresif akibat dari proses fibrosis. Adanya gambaran skleroderma, membedakan
sklerosis sistemik dari penyakit jaringan ikat lain. 1-5

1.2 Epidemiologi
Skleroderma adalah penyakit sporadis dengan distribusi yang luas diseluruh dunia
dan menyerang semua ras. Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio
pada tahun 1973 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun.
Hubungan skleroderma dengan fenomena Raynaud pertamakali dilaporkan oleh Maurice
Raynaud pada tahun 1865. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa
penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun 1945 Goetz mengusulkan istilah
progressive systemic sclerosis yang menggambarkan lesi yang luas baik di kulit maupun
di organ viseral. Pada tahun 1964 Winterbauer mendeskripsikan salah satu varian
Skleroderma yang hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut dengan
sindroma CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).1-5
Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang tidak
dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada
masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar
19-75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 1,9-4 : 1.
Pada penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien skleroderma pada
wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia
yang sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali

3
laki-laki pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan
insiden yang lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat.1-5
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras
kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor
lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma misalnya debu silika
dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin,
trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga
diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma. Pajanan terhadap vinilklorida
diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma yang disertai fenomena Raynaud,
akroosteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomisin pada kanker testis
terutama bila dikombinasi dengan sisplatinum ternyata berhubungan dengan timbulnya
skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru. 1-5
Skleroderma adalah penyakit yang jarang dan sebagian besar penelitaian
epidemiologi deskriptif berasal dari penelitian retrospektif dan prospektif pasien yang
masuk rumah sakit atau penelitian pada populasi yang dicurigai. Hanya terdapat satu
penelitian berbasis populasi yang dilakukan oleh Maricq dkk tahun 1989. Penelitian
prevalensi di Inggris oleh Allock dkk tahun 2004 menemukan frekuensi yang lebih tinggi
yaitu 12 diantara 100.000 penduduk, serupa dengan penelitian Mayes dkk 2003 di
Amerika utara dan penelitian Roberts-Thomson dkk 2001 di Australia. 3
Kesimpulan dari studi demografik ini didapatkan bahwa penyakit ini jarang
terjadi pada anak-anak dan insidennya meningkat sesuai dengan penambahan usia.
Insiden yang jarang ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan
penting dalam kerentanan yang terjadi pada populasi. 1-5

1.3 Klasifikasi
Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat
dibagi menjadi dua kelompok yaitu : 1-5
1. Skleroderma Lokal
Yaitu beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai
kelainan sistemik. Termasuk dalam kelompok ini adalah :

4
a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian tubuh
mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan.
b. Linear Sclerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai perubahan skleroderma pada
kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan tulang
dibawahnya
c. Scleroderma en coup de sabr : Merupakan varian skleroderma linier, dimana garis
yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah
frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dana kelainan tulang.

2. Sklerosis sistemik
a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas, muka
dan seluruh tubuh.
b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut
tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah sindroma CREST
(calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).
c. Sklerosis sitemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit
walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas untuk
sklerosis sistemik.
d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau penyakit
otot inflamasi
e. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan fenomena
Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sitemik

Tabel 1. Klasifikasi Skleroderma 3

5
Gambar 1 Gambaran klinis Skleroderma. 3
(A,B) Keterlibatan kulit tersebar pada sklerosis sintemik, (C.) Amputatum,
(D) Plaque morphea

Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan sklerosis sistemik difusa dapat dilihat
pada table 2.
Tabel 2. Perbedaan antara sklerosis sitemik terbatas dan sklerosis sistemik difusa 1

6
Sklerosis Sistemik Terbatas versus Sklerosis Sistemik Difusa
Tampilan Sklerosis Sistemik Terbatas Sklerosis Sistemik Difus
Kulit yang terlibat Terbatas pada jari, lengan distal, Difus: jari-jari, ekstremitas, wajah,
wajah, progresifitas lambat badan, progresifitas cepat
Fenomena Mendahului keterlibatan kulit; Sejalan dengan keterlibatan kulit
Raynaud berhubungan dengan iskemia
Fibrosis pulmonal Mungkin terjadi, moderat Sering, awal dan berat
Hipertensi arteri Sering, lambat, mungkin terisolasi Dapat terjadi, berhubungan dengan
pumonal fibrosis pulmonal
Krisis renal Sangat jarang 15 % terjadi; diawal
skleroderma
Kalsinosis kutis Sering, menonjol Dapat terjadi, ringan
Karakteristik Antisentromer Antitopoisomerase (Scl-70)
autoantibodi

1.4 Faktor Genetik

Skleroderma adalah penyakit yang tidak diturunkan sesuai dengan hukum


Mendelian. Kembar dizigot dan monozigot menunjukkan kekerapan yang berbeda.
Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang menunjukkan
pentingnya faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk systemic lupus
erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat pada keturunan
pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan pada polimorfisme
gen kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan regulasi imunitas, inflamasi, fungsi
vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang lemah antara single nucleotide
polymorphisms (SNPs) denagan skleroderma telah dilaporkan pada gen yang mengkode
angiotensin-converting enzyme (ACE), endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell
markers (CD19), kemokin (monocyte chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin,
sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha, IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha), growth
factors dan reseptornya (connective tissue growth factor [CTGF] and transforming
growth factor beta [TGF-beta]) dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin,
and SPARC).1-5

1.5 Faktor Lingkungan

7
Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan
pentingnya faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama
virus, paparan toksin lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat
mencetuskan skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan
antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan antitopoisomerase I
autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit. Hal
ini terjadi melalui proses mimikri molekuler antara hCMV dengan host. Penelitian lain
menunjukkan implikasi infeksi hCMV pada vaskulopati allograft pada transplantasi
organ padat. Vaskulopati ini dicirikan dengan pembentukan neointima vaskuler,
proliferasi otot polos dan vaskulopati obliteratif. hCMV dapat secara langsung
menginduksi produksi CTGF pada fibroblast yang terinfeksi sehingga hipotesis tentang
peran hCMV terhadap kejadian skleroderma adalah rasional. Infeksi Human parvovirus
B19 juga diperkirakan berhubungan dengan kejadian Skleroderma. 1-5
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada
pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan dengan
skleroderma adalah polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic hydrocarbons
(toluene, trichloroethylene). Obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian
skleroderma adalah bleomycin, pentazocine, cocaine dan penekan nafsu makan
(terutama derivat fenfluramine) yang berhubungan dengan kejadian hipertensi
pulmonal. 1-5

1.6 Patogenesis
Dalam dua dekade ini telah banyak usaha dilakukan untuk mengetahui
pathogenesis dari skleroderma. Salah satu yang menjadi kendala adalah gambaran klinis
yang luas dan bagaimana menjelaskan perbedaan terjadinya pola penyakit berdasarkan
sistem organ. 1-5
Didapatkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan dalam patogenesis
skleroderma dan pada sebagian besar pasien tampaknya kerentanan host merupakan
factor kunci yang dapat mencetuskan penyakit. 1-5
Makrofag, sel mast, eosinofil dan basofil jumlahnya meningkat dalam darah dan
jaringan skleroderma yang aktif. Sel-sel ini mampu memproduksi mediator larut yang

8
dapat memodifikasi fungsi endotel dan fibroblast. Sebagai contoh sel mast menghasilkan
histamin yang menstimulasi proliferasi dan sintesis matriks oleh fibroblast dan
menyebabkan retraksi sel endotel.1-5
Sel target utama dari respon imun adalah sel endotel dan fibroblast. Stimulasi
sintesis kolagen dapat melibatkan sejumlah besar sitokin yang dapat memodulasi
fibroblast. Dimungkinkan bahwa perubahan kadar sitokin atau autokrin/parakrin dapat
menstimulasi atau menstabilkan proses penyakit. Perubahan sel jaringan ikat (sintesis
kolagen, fibronektin dan glikosaminoglikans yang berlebihan) dan kerusakan sel endotel
serta vaskulopati terjadi akibat proses imunologi. 1-5
Sel efektor utama pada Skleroderma adalah sel fibroblast yang mensintesis
matriks. Sel ini mengekspresikan penanda dan fenotif miofibrolast seperti hasil penelitian
Kissin dan Korn tahun 2002. Diduga sel progenitor yang beredar mengendap pada
daerah fibrosis, sebaliknya pada Skleroderma juga ditemukan sel endothel dalam
sirkulasi seperti penelitian Del Papa 2004. Penelitian Denton dkk tahun 2001
menyatakan bahwa terdapat sejumlah sel progenitor fibrobalast yang dapat diaktifasi
manjadi fibrosis. 1-5
Patogenesis Skleroderma terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi respon imun
seluler dan humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel. Autoimunitas, perubahan
fungsi sel endotel dan aktifitas vaskuler mungkin merupakan manifestasi dini dari
Skleroderma berupa fenomena Raynaud yang terjadi bertahun-tahun sebelum gambaran
klinis lain muncul. Terjadi proses yang kompleks dari proses fibrosis mulai dari inisiasi,
amplifikasi dan perbaikan jaringan. 1-5
Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap
scleroderma, akan menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler, inflamasi dan
terjadinya autoimunitas. Inflamasi dan respon imun akhirnya menyebabkan sel fibroblast
teraktifasi dan berdifernsiasi secara terus menerus, menghasilkan fibrogenesis yang
patologis dan kerusakan jaringan yang ireversibel. 1-5

9
Gambar 2. Skema pathogenesis kompleks Sklerosis Sistemik.
(CTG ; Connective Tissue Grown Factor, PDGF : Platelet-Derived Grown Factor, ECM :
Extracelluler Matrix).4

1.6.1 Vaskulopati
Pada Skleroderma keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan penting
dalam implikasi klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi awal penyakit ditandai
dengan perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya
reversibel, terjadi akibat perubahan sistem saraf otonom dan perifer dengan kurangnya
produksi neuropeptida seperti calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris
dan peningkatan sensitifitas reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler.
Pada fenomena Raynaud primer gejala klinis relative lebih ringan dan tidak progresif

10
seperti halnya Skleroderma yang mengakibatkan perubahan morfologi dan fungsi
sirkulasi yang ireversibel dan mengakibatkan cedera endotel. 1-5
Di dalan sel endotel terdapat perubahan produksi dan responsifitas endothelium-
derived factors yang memediasi vasodilatasi (nitric oxide, prostacyclin) dan
vasokonstriksi (endothelin-1). Terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah mikro
sehingga diapedesis leukosit transendotelial meningkat, aktifasi kaskade koagulasi dan
fibrinolitik serta agregasi trombosit. Proses ini menyebabkan terjadinya trombosis. Sel
Endotel menunjukkan peningkatan ekspresi molekul adhesi intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1) serta molekul adhesi permukaan lainnya. 1-5
Vaskulopati mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole dan bahkan
pembuluh darah besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot
polos mengalami proliferasi, membran basal menebal, reduplikasi serta terjadi
perkembangan fibrosis adventitia. Oklusi lumen vaskuler progresif akibat hipertrofi
tunica intima dan media serta fibrosis adventitia, ditambah dengan kerusakan persisten
sel endotel dan apoptosis sehingga menjadi suatu lingkaran setan. Angiogrom tangan dan
ginjal pasien Skleroderma stadium lanjut menunjukkan hilangnya gambaran vaskuler. 1-5
Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit dan pelepasan
vasokonstriktor (tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan
vaskuler ini kemudian diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat
iskemia berhubungan dengan terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut melalui peroksidasi lipid membran.
Sebaliknya, proses revaskularisasi yang seharusnya mempertahankan aliran darah pada
jaringan yang iskemik tampaknya gagal pada Skleroderma. Kegagalan vaskulogenesis
terjadi dalam keadaan kadar faktor angiogenik yang tinggi seperti vascular endothelial
growth factor (VEGF). Pada pasien Skleroderma, jumlah progenitor sel CD34+ dan
CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam sirkuklasi jumlahnya menurun secara
bermakna. Lebih jauh lagi, penelitian in vitro menunjukkan diferensiasinya menjadi sel
endotel matur terganggu. Oleh karena itu vaskulopati obliteratif dan kegagalan perbaikan
pembuluh darah adalah pertanda dari Skleroderma.1-5

1.6.2 Autoimunitas Seluler dan Humoral

11
Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang teraktifasi akan
terakumulasi di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang terkena. Sel T yang
menginfiltrasi, mengekspresikan penanda aktivasi seperti CD3, CD4, CD45 dan HLA-DR
serta menampakkan restriksi reseptor yang mengindikasikan ekspansi oligoclonal sebagai
respon terhadap antigen yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang bersirkulasi juga
meningkatkan reseptor kemokin dan mengekspresikan molekul adhesi alpha 1 integrin
yang berfungsi meningkatkan kemampuan untuk mengikat endotel dan fibroblast.1-5
Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang
memfasilitasi diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan
respon Th2 terpolarisasi dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin Th2
ini dapat menginduksi TGF-beta yang merupakan modulator regulasi imun dan
akumulasi matriks yang. TGF-beta dapat menginduksi produksi dirinya sendiri serta
sitokin lain karena mempunyai aktifitas autokrin/parakrin untuk mengaktifasi fibroblast
dan sel efektor lain. 1-5

Tabel 3. Mediator terlarut pengaktivasi Fibroblast yang kadarnya meningkat pada Skleroderma4

Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial
menunjukkan pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4 dan

12
IL-13 serta penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2 merangsang
sintesis kolagen dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis kolagen dan
memblok aktivasi fibroblast yang dimediasi sitokin. 1-5
Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma. Autoantibodi ini
spesifisitasnya tinggi terhadap skleroderma dan menunjukkan hubungan yang kuat dengan
fenotif penyakit individual dan haplotipe HLA yang dibedakan secara genetik. Kadar
autoantibodi berhubungan dengan keparahan penyakit dan titernya berfluktuasi sesuai aktifitas
penyakit. Autoantibodi spesifik Skleroderma adalah antinuklear dan menyerang langsung protein
mitosis seperti topoisomerase I dan RNA polymerase. Autoantibodi lain langsung menyerang
antigen permukaan atau protein yang disekresi. Autoantibodi Topoisomerase I pada Skleroderma
dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi terhadap fibroblast, sel
endotel, fibrillin-1 serta enzim matriks metalloproteinase. Beberapa autoantibodi ini mungkin
mempunyai peran patogenik langsung sebagai mediator kerusakan jaringan. 1-5
Berbagai mekanisme potensial telah diajukan dengan memperhitungkan peran
pembentukan autoantibodi pada Skleroderma. Menurut salah satu teori, pada pasien sklerodema
self-antigen spesifik dapat membuat perubahan struktural melalui celah proteolitik, peningkatan
level ekspresi atau perubahan lokalisasi subseluler sehingga sel tersebut dapat dikenali oleh
sistem imun. Sebagai contoh, sel Tc melepaskan protease granzim B yang merusak autoantigen,
menghasilkan fragmen baru dengan neo-epitop potensial yang merusak toleransi imun. 1-5
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan baik dalam autoimunitas dan
fibrosis pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat berperan sebagai antigen
presenting cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta memodulasi fungsi
sel T dan sel dendritik. Sel B pada pasien skleroderma menunjukkan abormalitas intrinsik
dengan penningkatan ekspresi reseptor sel B CD19, ekspansi sel B naif dan menurunkan jumlah
sel B memori serta sel plasma. 1-5

1.6.3 Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis

Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Skleroderma yang
membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan konsekuensi
13
dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai dengan penggantian arsitektur
jaringan normal dengan jarunga ikat aseluler yang progresif yang menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas skleroderma.3-5
Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas fungsional
dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi oleh TGF-beta dan
sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi dengan kolagen dan matriks
makromolekul lain, mensekresi growth factor dan sitokin, mengekspresi reseptor permukaan
untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi menjadi miofibroblast. Respon fibroblast ini
memfasilitasi perbaikan cedera jaringan yang efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan
fibroblast akan berhenti dengan sendirinya setelah penyembuhan terjadi.3-5
Pada respon fibrosis yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi terus-menerus dan makin
besar yang menghasilkan perubahan matriks dan pembentukan jaringan parut. Aktivasi
fibroblast yang salah ini serta akumulasi matriks adalah perubahan patologis utama yang
mendasari terjadinya fibrosis pada skleroderma. 3-5
Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari sumsum
tulang yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang mengekspresikan
CD14 dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-smooth muscle actin-positive
fibrocytes pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGF-beta.3-5

14
Gambar 3. Aktivasi Fibroblast pada scleroderma 5

Faktor-faktor yang meregulasi produksi progenitor sel mesenkim di sumsum tulang,


perjalananannya dari dalam sirkulasi ke tempat lesi, dan meningkatnya diferensiasinya menjadi
matriks adesif dan fibrosit yang kontraktil belum sepenuhnya diketahui. Transisi sel epitel
menjadi sel mesenkim adalah proses yang terjadi dalam berkembangnya fibrosis di paru dan
ginjal serta organ lain. 3-5
Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot polos. Baik proses
transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi oleh TGF-beta. Miofibroblast bertahan di
dalam jaringan terjadi karena adanya resistensi terhadap apoptosis. Miofibroblast berkontribusi
terhadap pembentukan skar melalui kemampuannya dalam memproduksi kolagen dan TGF-beta,
memperbesar kekuatan kontraktil pada matriks di sekitar dan mengubahnya menjadi skar yang
rapat. 3-5

15
Ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen kolagen tipe I dari fibroblast pasien
skleroderma. Didapatkan juga peningkatan sintesis berbagai molekul matriks ekstraseluler,
ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF, resitensi tehadap
apoptosis dan sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal transduksi TGf-beta intraseluler yang
tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan kegagalan loop umpan balik negative Smad-7
tamapak pada Skleroderma. Protein koaktivator inti p300 memfasilitasi transkripsi yang
dimediasi Smad dan merupakan lokus yang penting dalam integrasi sinyal ekstraseluler yang
memodulasi fungsi fibroblast. Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad, p300 dan
protein seluler lain mempengaruhi meneta dan progresifitas proses fibrogenik scleroderma
dengan cara memodulasi transkripsi gen. 3-5

Gambar 4. Perubahan lesi pada berbagai stadium Skleroderma. 5

16
BAB 2
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

2.1 Diagnosis

Diagnosis Skleroderma ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan


penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul
kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan
gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun. 1
Tahun 1980, American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria sklerosis
sistemik dengan sensitifitas 97 % dan spesifisitas 98 %., yaitu bila terdapat:
- Satu kriteria mayor, atau
- 2 dari 3 kriteria Minor

Kriteria Mayor :
Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetrik pada
kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.
Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan
abdomen)

Kriteria Minor :
- Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut di atas tetapi hanya terbatas pada jari
- Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Hal ini terjadi akibat iskemia.
- Fibrosis basal kedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikular terutama di
bagian basal kedua paru, tampak pada gambaran foto thorak standar.

17
Gambar 5. (A) Hiperkeratosis pada lipatan kuku pasien pada fase edema pasien
skleroderma terbatas. (B) Ulserasi jari pada pasien skleroderma terbatas. 5

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah autoantibodi antitopo-I (Scl 70) dan
antisentromer, karena memiliki spesifisitas yang baik pada sklerosis sistemik.

Gambar 6. Autoantibodi pada scleroderma. 5

Evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan.
Bila keadaan meragukan dapat dilakukan biopsi kulit.

18
Gambar 7. (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah paa specimen kulit pasien
scleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan meluas ke
jaringan lemak subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri interlobar
dari biopsi ginjal pasien skleroderma.5

2.2 Gambaran Patologi

Patologi Kulit
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan gambaran
patologis yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks
ekstraselular pada dermis, terutapa kolagen tipe I dan III, yang disertai penipisan epidermis dan
hilangnya rete pegs merupakan gambaran patologis yang khas pada skleroderma. Hal ini
meyebabkan penegangan kulit yang khas pada skleroderma. Pada stadium awal, tampak infiltrasi
sel radang mononuklear di dalam dermis, terutama limfosist T dan Mast sel. Sel-sel ini banyak
ditemukan mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik), kulit relatif
aselular. 1,2,3,4
Lesi Vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ
lainnya. Tunika intima arteri dan arteriola tampak berproliferasi sehingga lumennya menjadi
sempit. Dengan tekhik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler
yang makan lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperplasi tunika
intima, sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi.1,2,3,4

19
Patologi Paru-paru
Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan kelainan
vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan skleroderma
yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru, yaitu penebalan tunika
media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat berakhir
sebagai gagal jantung kanan. 1,2,3,4

Patologi Jantung
Sklerosis sistemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada
perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang akhirnya
dapat berkembang menjadi perikarditis konstruktif. Pada miokardium, tammpak proliferasi
intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. De sekeliling pembuluh darah koroner,
ditemukan banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme dan infark miokard.
1,2,3,4

Patologi Saluran Cerna


Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus
proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologis, tampak gambaran fibrosis pada
tunika propria dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat
fibrosis, peristaltis usus akan berkurang. Selain itu atrofi lapisan otot dan berkurangnya
peristaltis akan menimbulkan divertikel di kolon dengan mulut yang lebar. Pada esofagus dapat
timbul Barret`s esofagus (gastritis esofagus distal). Walaupun demikian, insiden,
adenokarsinoma pada keadaan ini sangat rendah.1,2,3,4

Patologi Ginjal
Akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan
reduplikasi lamina elastika. Membaran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada
tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran sklerotik pada glomeruli mmerupakan tanda khas

20
infark kortek ginjal dan stradium akhir skleroderma. Pada sklerosis sitemik yang disertai
kelainan ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisis eritrosit yang
beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat.1,2,3,4

Patologi Sistem Muskoloskletal


Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosis perivaskular yang menyebabkan
penurunan kekuatan otot dan peingkatan ringan enzim otot dalam serum. Selain itu dapat juga
terjadi kelainan seperti tampak pada poli dan dermatomiositis, yaitu infiltrasi limfositik
perivaskular, nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinis akan tampak
kelemahan otot proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna. Pada tendon akan
tampak deposisi fibrin dalam sarung tendon, sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat
timbul kontraktur fleksi, teutama pada jari-jari.1,2,3,4

Fenomena Raynaud
Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritem) yang
dicetuskan oleh lingkungan yang dingin atau stres emosional. Perubahan spesifik umumnya
terjadi pada jari tangan, dapat juga mengenai jari kaki, daun telinga, lidah dan hidung. Pada fase
palordan sianosis pasien akan merasa nyeri sedangkan pada fase hiperemis akan terasa terbakar.
Fenomena Raynaud pada slerosis sistemik dapat dijumpai sebanyak 95%.1,2,3,4

2.3 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mano yang terlibat. Derajat penyakit
merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan kulit menunjukkan
perlunya terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat
tergantung manifestasi organ spesifik.
Strategi penatalaksannan skleroderma telah berkembang dengan pesat beberapa tahun
terakhir ini seperti tampak pada gambar di bawah ini. 3

21
Gambar 8. Ringkasan penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ
(CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD : gastroesophageal refl
ux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF, mycophenylate mofetil; MTX :
methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterial
hypertension; PDE-5 : type 5 phosphodiesterase; RP : Raynaud’s pheno menon;SRC:scleroderma renal crisis;
SSRI, specifi c serotonin receptor uptake inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-β, transforming
growth factor beta.)

Penyuluhan dan dukungan psikososial


Penyuluhan dan dukungan psikososial memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
pasien sklerosis sistemik, karena perjalanan penyakit lama dan progresif.

Terapi Vaskuler
Komplikasi Skleroderma terjadi akibat PAH (pulmonary arterial hypertension), RP
(Raynaud’s phenomenon) dan SRC (scleroderma renal crisis). Pendekatan penatalaksanaan
keadaan ini telah berkembang dengan cepat. 3,6

PAH (Pulmonary Arterial Hypertension)

Disfungsi endothel pada PAH menyebabkan peningkatan endothelin dan penurunan


nitric oxide dan prostasiklin. Pemberian Continuous intravenous epoprostenol (Flolan) dan

22
subcutaneous atau intravenous treprostinil (Remodulin) yang sudah disahkan oleh US Food
and Drug Administration (FDA) dipakai sebagai terapi lini pertama penatalaksanaan PAH fs
NYHA IV. Efek prostasiklin yang selektif pada pembuluh darah pulmonal, memberikan tempat
untuk pemberiannya dengancara inhalasi untuk menghindari efek sitemiknya. Pemberian Iloprost
(Ventavis) tampaknya memberikan perbaikan fungsi dan hemodinamik serta menurunkan
kecepatan progresifitas penyakit. Peran endothelin 1 pada PAH idiopatik dan PAH skleroderma
memungkinkan dikembangkannya endothelin receptor antagonists (ERA) dengan contoh
preparat oral Bosentan (Tracleer). Type V phosphodiesterase (PDE-5) yang memetabolisme
cyclic guanine monophosphate (cGMP) dapat dihambat dengan PDE-5 inhibitor sildenafil
(Viagra) untuk meningkatkan vasodilatasi pulmonal dengan efek samping keram otot. 3,6

Scleroderma Renal Crisis (SCR)


Definisi SCR adalah terjadinya hipertensi maligna dan anemia heholitik mikroangiopati
pada pasien scleroderma. Penatalaksanaan SCR adalah dengan ACE inhibitor. Obat ini tetap
dapat diberikan walaupun fungsi ginjal menurun dengan drastic. Jika diperlukan dapat dilakukan
1,3,6
dialysis. Pada kelainan ginjal pemberian steroid dan plasmafaresis tidak ada gunanya.

Raynaud’s Phenomenon (RP)


Terapi utama RP adalah menghangatkan badan. Pemakaian sarung tangan, penghangat
tangan dan penghangat ekstremitas lain dapat dipakai. Calcium-channel blockers seperti
amlodipine, nifedipine atau felodipine, adalah terapi medikal pertama pada RP. Dosis rendah
selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) juga digunakan karena dapat menhambat efek
agregasi dan aktivasi trombosit. Diantara SSRI, fluoxetine ( Prozac, Symbyax, Sarafem)
responnya baik dalam beberapa penelitian. ACE inhibitor dan ARB tidak efektif untuk RP.
Iskemi dan ulserasi jari ditatalaksana dengan pemberian Iloprost secara intermiten serta obat-
obatan lain yang dipakai pada PAH. 1,2,3,4

Obat Anti Infl amasi


Saat ini pemberian obat antiinflamasi pada skleroderma terbatas pada adanya keterlibatan
enyakit paru interstitial dan miositis. 3,5

23
Cyclophosphamide
Cyclophosphamide (CYC) telah digunakan sebagai terapi utama untuk penyakit paru
interstisial skleroderma. Dalam uji coba terkontrol baru-baru ini, cyclophosphamide
meningkatkan kapasitas vital paksa (FVC) sebesar 2,9% dibandingkan dengan plasebo.3,5

Transplantasi Stem Cell autologous


Immunoablasi dengan imun rekonstitusi dengan menggunakan stem cell perifer
autologous telah dipertimbangkan untuk scleroderma. Berbagai studi terus menerus dilakukan
untuk membandingkan anatara transplantasi sel induk dengan CYC dalam penatalaksanaan
scleroderma. 3,5

Methotrexate
Percobaan acak terkontrol mengevaluasi efisiensi dari metotreksat dalam skleroderma
dalam mengontrol stabilitas penyakit yang lebih besar dibandingkan dengan plasebo.
Methotrexate digunakan untuk kasus awal scleroderma dengan gambarabran skleroderma
terbatas pada kulit dan muskuloskeletal sistem, termasuk myositis. 3,5

Mofetil Mycophenolate
Belum ada penelitian acak buta ganda untuk Mofetil mycophenolate dalam
penatalaksanaan skleroderma. Bukti yang ada sekarang menunjukkan Mofetil mycophenolate
mungkin efektif pada skleroderma. 3,5

Tabel 4. Kandidat Terapi scleroderma 6

24
Terapi Antifibrotik
Terlepas dari kenyataan bahwa fibrosis merupakan komponen utama dalam patofisiologi
skleroderma, sampai saat ini belum ada obat anti fibrosis yang terbukti efektif untuk saat ini.
Agen nonspecifik, termasuk D-penicillamine dan rekombinan relaksin manusia, telah gagal
dalam uji klinis. Pentingnya ekspresi faktor pertumbuhan transformasi beta (TGF-beta) dalam
patogenesis skleroderma telah mendorong evaluasi agen yang dapat menghambat TGF-beta.
Meskipun penggunaan anti- antibodi TGF-beta telah diusulkan dalam studi-studi awal
aman, namun bukti klinis masih harus diamati. Terapi antisitokin lain belum berhasil pada
scleroderma. 3,5

Terapi Organ Spesifik Lain


Selain terapi ditujukan terhadap gangguan organ paru, ginjal dan pembuluh darah perifer
dalam skleroderma, saluran pencernaan adalah fokus umum untuk terapi organ specifiki. Jangka
panjang proton-pump inhibition (PPI) sangat efektif dalam mengobati refluks gastroesofagus
yang sering menjadi masalah kronis dan menjadi komplikasi pada skleroderma. Dosis tinggi
yang diperlukan kadang-kadang 2-3 kali dosis terapi normal, untuk mengurangi gejala. Dilatasi
dari striktur esophagus dapat dilakukan bila terdapat indikasi. ektasia vena lambung antral
(gastric antral venous ectasia /GAVE),sekarang dianggap sebagai penyebab paling umum dari
perdarahan gastrointestinal pada pasien skcleroderma. GAVE didiagnosis dan diobati
dengan endoskopi dan laser photocoagulation. Terjadi atropi otot polos sehingga menyebabkan
gastroparesis dan hipomotilitas usus kecil. Agen Prokinetik, termasuk metoklopramide dan

25
domperidone, digunakan dengan efek yang yang bervariasi. Pseudo-obstruksi usus dapat
ditangani dengan subkutan octreotide, analog somastatin. Perut kembung dan / atau diare
menandakan pertumbuhan yang berlebih dari bakteri usus kecil. Hal ini diobati dengan
pemberian antibiotic yang diubah secara berkala untuk menghindari resistensi antibiotic
contohnya pemebrian satu-dua minggu metronidazol 250 mg tiga kali sehari atau ciprofloxacin
500 mg empat kali sehari.Semakin beratnya scleroderma maka keterlibatan saluran pencernaan
mungkin akan didominasi oleh inkontinensia tinja dan sembelit. Obat antidiare dan dan obat
antikonstipasi dapat dipakai sesuai indikasi. 3,5

26
BAB 3
KASUS- KASUS SKLERODERMA
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSMH PALEMBANG

1. Wanita, 37 tahun, luar kota, dirawat sejak tanggal 4 september 2007 jam 18.25 WIB
dengan keluhan utama sulit menelan sejak 3 minggu SMRS. Tiga bulan SMRS os
mengeluh muka kaku, mulut sulit untuk dibuka, bicara sulit, sulit menelan, jari-jari
tangan kaku dan tidak bisa diluruskan, napas terasa sesak, tidur dengan tiga bantal, perut
kencang, kaki kencang, sulit berjalan, rasa nyeri pada sendi dan tulang (+), timbul bercak
putih pada muka, timbul benjolan pada kaki sebesar ujung korek api berisi cairan,
dipecahkan menjadi luka yang terbuka. Makan obat dari warung, sakit tidak berkurang.
Tiga minggu SMRS muka semakin kaku, mulut semakin sulit dibuka, sulit untuk
menelan, sesak masih tetap, perut bertambah kencang, BAB cair sehari 3 kali, warna
kecoklatan sebanyak ± 1 gelas. Bercak putih di wajah bertambah banyak dan melebar.
Berobat ke RS Gumawang, dirawat, setelah 1 minggu os dirujuk ke RSMH. Riwayat
penyakit 8 tahun yang lalu terasa pegal di seluruh badan. 7 tahun yang lalu kulit
menggelembung berisi cairan pada lengan dan tungkai. 6 tahun yang lalu jari ,lengan,
tungkai dan wajah mulai kencang, 5 tahun yang lalu bertambah berat, sakit pada
persendian, mengkonsumsi jamu pegal linu sebanyak 10 macam, 1 tahun yang lalu ke
dokter penyakit dalam di Belitang. Keadaan umum tampak sakit berat, CM, TD 110 / 80
mmHg, nadi 78 x / m ,reguler isi dan tegangan cukup, RR 24 x /m, T 36,8 ˚C. Keadaan
spesifik , kepala konjungtiva palpebra pucat (+) , hipopigmentasi pada wajah, kulit muka
keras dan tegang, trismus lebar 3,5 cm, RBH basal kedua paru, abdomen, cembung,
tegang, ekstremitas superior kontraktur jari 1-5 kanan dan kiri membentuk sudut 90º ,
kulit tegang, Inferior, kulit tegang, ulkus pada tumit kiri 5 x 4 cm, pada punggung kaki
3 x 2 cm, mata kaki kanan terdapat ulkus 2 x 2 cm . Laboratorium Hb : 8,5 gr/dl, Ht : 26
vol % , LED : 76 mm/jam, trombosit : 195.000 /mm3, asam urat : 9,0 mg/dl, ureum : 87
mg/dl, kreatinin : 1,7 mg/dl, albumin : 2,0, globulin : 3,7, serologi : CRP : (+).Echo :
EDD 4,13, FS 43, ESD 2,32, EF 75 %, IVS 1,5, LVH echocentrik, PW 1,23, LV
Function N, E/A 1,42, Diastolic filling N, AO 3,22,PH moderat, LA 3,15, TR mild,
USG Abdomen : Bright liver, OMD : Normal foto OMD, Foto thorax Top : Pulmo
27
normal tdk ada, Cor bentuk normal, besar prominen, USG ginjal : Kanan : ukuran normal
hiperechoik, batas cortex dan medula tidak jelas, Kiri : ukuran normal hiperechoik,
Batas cortex dan medula tidak jelas, ANA positif, C3 44, C4 12, Anti ds- DNA 552,7,
Foto manus et pedis dextra et sinistra, Poliartritis pada sendi phalanges dan kontraktur
manus dan pedis kanan dan kiri. Pasien ditatalaksana dengan diet bubur biasa, IVFD Rl
gtt x/m (mikro), Omeprazole 1 x 20 mg, Allopurinol 3 x 100 mg, Ceftriaxon 1 x 1 gr,
Vitamin B1 B6 B12 3 x 1, Diltiazem 3 x 30 mg, Captopril 2 x 6,25 mg, Furosemid 1 x 1
tab, Hct 1 x 25 mg, Spironolakton 3 x 25 mg, Metylprednisolon 16-16-12 mg, Kompres
luka dengan NaCl 0,9 %, Transfusi PRC 150 cc.

2. Seorang wanita, Ny. L P, umur 25 tahun, datang ke Poliklinik Penyakit Dalam pada 5
Agustus 2009 dengan keluhan utama jari-jari tangan biru bila cuaca dingin sejak + 1
bulan sebelumnya. Sejak 2 tahun yang lalu os mengeluh kulit tangan dan wajah terasa
tebal, jari-jari tangan terasa kaku di pagi hari dan pucat hingga tampak biru bila cuaca
dingin. Rambut sering rontok, kulit wajah terasa merah bila terpapar sinar matahari. Os
juga mengeluh berat badan terus menurun meskipun nafsu makan tidak ada perubahan
(biasa). Berat badan dari 50 kg menjadi 45 kg. BAB & BAK tidak ada keluahan. Os
merasa bahwa dirinya di guna-guna (diracun) orang. Os kemudian berobat ke
paranormal, tetapi tidak ada perubahan. + 1 bulan sebelumnya os mengeluh jari-jari
tangan biru bila cuaca dingin, ngilu dan nyeri kadang-kadang, Os juga mengeluh kulit
tangan dan wajah terasa tebal, dan kaku. Bila membuka mulut terasa kaku, kesulitan
menelan disangkal, nyeri disekitar kerongkongan disangkal, sesak nafas disangkal. Berat
badan menurun, menjadi 40 kg. Nafsu makan tidak ada perubahan. Sesak nafas
disangkal, nyeri dada disangkal. BAB & BAK tidak ada keluhan. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 92 x/menit,
reguler isi tegangan cukup, pernafasan 20 x/menit, suhu 36,5 oC, kulit dada tampak
menebal bentuk normal, abdomen kulit terasa tebal, hepar dan lien tak teraba, terdapat
sindaktili pada jari tangan kanan dan kiri, skleroderma proximal pada tangan dan lengan,
simetris kanan dan kiri. Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 12,8 g/dl, Ht 40 Vol %,
Leukosit, 10.900 /mm3, LED 7, Trombosit 408.000 /mm3, DC 0/1/1/68/24/6, Sel LE
tidak ditemukan, BSS 90 mg/dl, Ureum 20 mg/dl, Creatinin 0,8 mg/dl, Protein total 7,8

28
g/dl, Albumin 4,0 g/dl, Globulin 3,8 g/dl, Na 139 mmol/l, K 4,1 mmol/l, Urin:Leukosit
: 0 – 2 /LPB, Eritrosit : 0 – 1 /LPB, Protein : - , Glukose : -. EKG normal. Rongent
thorax PA, cor dan pulmo tidak ada kelainan. Echocardiografi : PR mild-moderate,
Endoskopi : Tampak mukosa didaerah pangkal lidah berdungkul-dungkul, rapuh, mudah
berdarah, Funduskopi: Vaskulitis OD, Leukokoria OS, Spirometri :Restriktif sedang,
Rontgen Manus dextra et Sinistra : manus kanan dan kiri normal, ANA (+), C3: 114
mg/dL, C4 30 mg/dL, Anti ds DNA 6.8 IU/mL, Antisentromer <7.5 IU/mL, USG
Normal, Endoskopi Kesan : Gastritis akut + Refluks empedu, Rehabilitasi Medik : ROM
bahu kiri & kanan terbatas, Keterbatasan Ekspansi dinding thorax.Os mendapat terapi
Vitamin B1B6B12 3x1 tab, Asetosal 1x80 mg, Ditiazem 3x15 mg, Metil prednisolon 1x6
mg, Lansoprazol 1x30 mg, Metoklopropamid 3x5 mg, Krim Urea 10% 2 kali sehari, Jaga
lingkungan agar tetap hangat, Senam nafas setiap hari, Program latihan dirumah, senam
wajah, senam persendian setiap hari.

3. Seorang wanita, Ny S, 36 tahun datang ke RSMH dengan keluhan luka koreng dikaki kiri
yang tidak mau sembuh sejak 1 minggu SMRS. Sejak 15 tahun SMRS os mengeluh nyeri
sendi, saat bangun tidur, nyeri pada sendi tangan dan kaki, nyeri berkurang saat siang,
sering kesemutan. Sejak 10 tahun SMRS nyeri pada tangan dan kaki semakin bertambah,
ujung jari os menghitam dan jari terasa memendek, kuku menipis, jari-jari tangan os
memucat hingga biru bila cuaca atau lingkungan dingin, lamanya 1 jam bila tidak
dihangatkan, kesulitan mengenggam tangan, sering sariawan dan gangguan menelan
terutama makanan padat, lidah kesat, kulit muka dan tangan terasa mengering, kurang
berkeringat dan nafsu makan berkurang. Sejak 7 tahun SMRS ujung jari kaki dan tangan
os mulai memendek, mengecil dan menghitam, nyeri bertambah, kuku os menipis sampai
mengelupas, kulit tangan dan kaki os mulai menebal, sariawan semakin sering, kesulitan
membuka mulut, rambut rontok, penglihatan kabur. Sejak 5 tahun SMRS timbul keras di
kaki os yang sebesar uang logam 100 rupiah, jumlah 5-6 buah masing-masing di kaki kiri
dan kanan os. Muka menebal, mulut terasa kaku dan mengecil. Sejak 1 tahun SMRS
tapak kaki os sering sakit, timbul keras dan bernanah, ujung jari kaki dan tangan os
memendek, kulit muka menebal. Sejak 2 minggu SMRS lutut kiri os mulai membengkak
disertai nyeri, panas jika diraba, bengkak menjalar kekaki kiri os, jari-jari semakin

29
membiru jika cuaca dingin, disertai nyeri, mulut semakin kaku dan menebal, sariawan
semakin sering, kesulitan menelan. Sejak 3 hari SMRS kaki kiri os semakin bengkak dan
bernanah, nyeri, lutut sulit digerakkan os berobat ke RSUD Ibnu Sutowo Baturaja
kemudian dirujuk ke RSMH. Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi dan status gizi
kurang. Pada keadaan spesifik didapatkan muka menebal, kojungtiva palpebrae pucat (+),
trismus (+), bentuk mulut fishmouth. Pada ekstremitas superior didapatkan sklerodaktili
(+) pada digiti manus I-V dextra et sinistra, skleroderma proksimal pada manus dan
antebrachial, simetris dextra et sinistra, kontraktur digiti manus III dextra. Kontraktur
digiti manus III-V sinistra. Pada ekstremitas inferior didapatkan ulkus di kruris sinistra,
jumlah 3 buah, dasar otot, ukuran masing-masing 3x3 cm; 2x3 cm; 3x4 cm, sklerodaktili
(+) pada jari kaki I-V kanan dan kiri, skleroderma proksimal pada tangan dan lengan
bawah, simetris kanan dan kiri, pembengkakan pada artikulatio genu sinistra, teraba
hangat, calsinosis di pedis dextra et sinistra dengan diameter masing-masing 2,5 cm,
ujung-ujung jari terasa dingin, ujung-ujung jari sakit jika diluruskan, kulit tegang (+),
keras (+), edema tibia sinistra. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 9,0 mg/dl,
Leukosit: 13.500/mm3, LED: 85 mm/jam, Albumin: 1,7 g/dl, Na: 126 mg/dl, K: 3,0
mmol/l. Sel LE tidak ditemukan, Protrombin Plasma : 14 1”, aPTT 25 2”, Gambaran
Darah Tepi : Anemia ec Penyakit Kronik ( infeksi/inflamasi). Protein total :7,8 mg/dl,
Albumin : 3,5 mg/dl, Globulin : 4,3 mg/dl, Bilirubin total : 0,51, Bilirubin direk : 0,18,
Bilirubin indirek : 0,33 mg/dl, SGOT : 22 u/l, SGPT : 14 u/l, Na : 133 mmol/l, K : 3,2
mmol/l, Ca : 2,17 mmol/l, TIBC : 177 ug/dl, Fe : 30ug/dl.’ ASTO (+), CRP (+), RF (-),
Coomb test direk (+), Coomb test indirek (+). Urin rutin : Sel epitel : positif +, leukosit :
4-5/LPB, Eritrosit : 0-1/LPB, Silinder : Granula Positif +, Protein : Positif +, Glukose :
(-), Nitrit (-). Faeces Rutin :Konsistensi : lembek, amoeba (-), eritrosit 0-1/LPB, leukosit :
0-1/LPB, telur cacing (-), sisa makanan : tak, protein : tak, lemak : tak, darah samar :
negatif (-). Kultur pus :Hasil Mikroskopis : Gram (+) coccus (+), Gram (-) basil (+),
leuko : 5-6/LPB, Epitel : 1-2/L, Hasil Biakan : Acinetobacter Calceocaticus, Hasil Uji
Sensitivitas : Amikacin , Imipenem, Rontgen Genu Ap/Lateral : OA genu Sinistra dan
OA Pedis Sinistra, rontgen Thoraks : kor dan pulmo tidak ada kelainan, funduskopi :
Vaskulitis ringan, OMD : peristaltik berkurang, bentuk esofagus relatif tubuler dan
spastik. Tidak tampak gambaran filling defek maupun additional shadow. Esofagus

30
tampak memendek disertai penarikan gaster ke superior (hernia hiatal). Ditambahkan
kontras negatif (gas) tampak mucosa gaster yang licin. Kesan: sesuai dengan gambaran
skleroderma oesophagus. Endoskopi : Tidak bisa dilakukan karena os susah membuka
mulut, mouthpeace tidak bisa masuk, ANA: Positif, Centromere Autoantibodies: < 7,5
IU/ml, Scl-70 IgG Autoantibodies: 108,00 Units, Feritin serum : 274,40 ng/dl, Coomb
test: direk (-), indirek (-), FEV 1/ FVC : 77 %, Spirometri : Gangguan restriktif ringan.
Os ditatalaksana dengan Diet NB 1700 kal, IVFD NaCl 0,9% : D5 % gtt xx/mnt,
Meropenem 3 x 500 mg, Meloxicam 1x7,5 mg, Topikal : kompres NaCl 0,9 % +
Gentamisin 2, Antioksidan 1x1.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiyohadi B. Sklerosis Sistemik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta : Pusat
penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, 2006.hal. 1239-1244.

2. Varga J. Systemic Sclerosis (Scleroderma). In : Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,


Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editor. Harrison’s Principles of internal
medicine. New York : Mc Grwa Hill Medical, 2008.p 2096-2106.

3. Denton CP, Black CM. Systemic Sclerosis, Scleroderma. In: Rose NR, Mackay IR,
editor. The Autoimmune Disease.. 4th ed. London :Elsevier, 2006. p : 369-379

4. Mayes MD. Systemic Sclerosis. In : Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH ,
editor. Primer on the Rheumatic Diseases. 13th edition. London:. Springer Science
Business Media,2008; p 343-362.

5. Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T. Scleroderma. The New England Journal of


Medicine. Massachusetts Medical Society. 2009.p.1989-2003

6. Sardana K, Garg VK. Therapeutic trial for systemic sclerosis : an update. Indian Journal
Dermatology Venerology. 2008; 436-446.

32

You might also like