You are on page 1of 15

Aliansi Demokrasi untuk Papua

(Alliance of Democracy for Papua)


YAYASAN KERJA SAMA UNTUK DEMOKRASI DAN KEADILAN

Laporan Akhir Tahun 2010

TahunPenuh Ujian bagi Akuntabilitas Pemerintahan Sipil

I. PENDAHULUAN :

Bagi Indonesia, Papua seperti satu wilayah penaklukan yang sarat dengan musuh sehingga cara
membangunnya penuh dengan ketakutan dan praktek kekerasan. Pendekatan yang digunakan
cenderung bersifat reaktif dan instruksional. Nasionalisme Papua pun memandang Indonesia sedang
melaksanakan praktek neokolonialisme. Akibatnya tidak pernah berhasil menumbuhkan saling
percaya bahkan terus saling melukai. Relasi yang ada penuh dengan kecurigaan dan keterpaksaan.
Pembangunan berjalan dengan saling mengeksploitasi kekuatan dan bukan karena suatu
kepentingan bersama.

Sepanjang tahun 2010 situasi hukum dan hak asasi manusia di Papua terjadi sangat variatif. Meski
dalam merespon aksi demonstrasi, pihak keamanan cenderung kooperatif tapi kejahatan terhadap
kemanusiaan lahir dalam beragam bentuk. Tahun 2010 adalah Tahun Penuh Ujian bagi Akuntabilitas
Pemerintahan Sipil.Tahun 2010 diwarnai dengan kegagalan pemerintah menata dirinya dan
mengimplementasikan kebijakan mulai dari tingkat pusat hingga ke pelosok negeri.

Potret besar peristiwa yang mencuat tajam di tahun 2010 :

1. Pilkada di sejumlah daerah telah memetakan masyarakat sipil pada kepentingan-kepentingan


politik yang menghancurkan relasi kekerabatan sebelumnya. Di tubuh birokrat ,pilkada juga
menimbulkan konflik akibat munculnya dukungan dan penyalahgunaan fasilitas diantara
kelompok birokrat dan berdampak pada jenjang karier pada periode tertentu.
2. Otonomi, lebih khusus Otonomi Khusus diterjemahkan sesuai kepentingan masing-masing
institusi di pemerintah pusat maupun di daerah. Koordinasi antara pemerintah kota/kabupaten
dengan pemerintah provinsi hampir tidak ada.Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
provinsi dengan mudah diabaikan oleh pemerintah kota/kabupaten. Demikian juga kebijakan di
tingkat pemerintahan provinsi, saling tidak sejalan.Pemerintah pusat masih ditempatkan sebagai
pemutus dan pembenar segala kebijakan di Papua.
3. Sejumlah aksi kekerasan terjadi hampir di setiap tempat, menebarkan teror dan ketakutan, baik
yang dialami oleh orang Papua maupun non Papua. Seolah siapa saja dapat menjadi sasaran
kekerasan berupa penembakan, penyiksaan dan pembunuhan, seperti kasus. Relasi antara
kelembagaan, kelompok dan individu menjadi semakin buruk nampak dari perkelahian berbasis
sara pada kasus Nafri dan Yoka. Ada juga fokus wilayah tertentu pada periode tertentu yang
terus terjadi aksi kekerasan dalam bentuk penyiksaan, penyerangan dan kontak senjata seperti
di Puncak Jaya.
4. Semakin buruknya pelayanan kesehatan dan pendidikan, meningkatnya angka HIV_Aids dan
kasus KDRT. Peredaran dan konsumsi minuman keras tidak terkendali. Persoalan SDA,
reclaiming tanah serta kejahatan kriminalitas ala kota besar telah juga melanda Papua,
khususnya Jayapura.

II. FAKTA KEJADIAN

A. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota dan kabupaten

1. Sebagaian besar Partai politik yang ada belum siap berdemokrasi. Terjadi money politic
berkaitan dengan penetapan dukungan kepada calon tertentu termasuk adanya dukungan
ganda dan intervensi pimpinan parpol di tingkat pusat. Pilkada memunculkan konflik
internal di Partai politik.

2. Perangkat penyelenggara pilkada yakni KPU kota/kabupaten dan jajaran terdepan di tingkat
distrik dan kampung belum memahami tugasnya dengan baik dan masih mudah terjebak
pada kepentingan kelompok tertentu. Muncul dugaan suap terhadap anggota KPU untuk
meloloskan calon tertentu seperti kasus di KPU Kota Jayapura.Dugaan praktek
penggelembungan suara hasil pilkada dan penyelenggaraan pilkada yang dilakukan oleh
anggota KPU yang sudah diganti. Di beberapa kabupaten dilakukan penggantian anggota
KPU.

3. Lemahnya pendidikan politik dan sistem kontrol bagi pemilih dan parpol berdampak pada
munculnya masalah di KPU terkait penghitungan dan saling menggugat di Mahkamah
Konstitusi dengan keputusan yang variatif seperti perintah melakukan penghitungan suara
ulang pada distrik tertentu (kab Merauke) atau melakukan pilkada ulang (bukan putaran
kedua) dan memasukan pasangan calon yang sebelumnya tidak diloloskan oleh KPU (kota
Jayapura).

4. Upaya memobilisasi massa pendukung tidak saja terjadi pada saat kampanye berlangsung
akan tetapi dilakukan jauh hari sebelumnya dengan menggunakan atribut atau fasilitas –
fasilitas yang sebenarnya mewakili kepentingan publik yang seharusnya tidak memihak.

B. Tata pemerintahan

1. Disharmoniassi hubungan antara DPRP dan gubernur terjadi sejak pelantikan anggota dan
pimpinan DPRP pada Oktober 2009. Seringkali gubernur tidak memenuhi undangan DPRP.
Ketegangan semakin meninggi ketika pembahasan SK MRP nomor 14 tahun 2009. Pada
pembahasan APBD, DPRP menilai gubernur memangkas habis fungsi dan kewenangan
DPRP. Akumulasi ketegangan tersebut menjadi salah satu pemicu DPRP untuk melakukan
Judicial Review terhadap pasal 7 ayat 1(a) UU OTSUS yang dihapus berdasarkan UU nomor
35 tahun 2008. Kini DPRP menghendaki ayat itu dikembalikan sehingga pemilihan gubernur
dilakukan oleh DPRP.

2. Pertentangan yang panjang antara pihak DPRP, MRP dan gubernur seringkali menimbulkan
kecenderungan untuk membawa persoalan ke Jakarta. Padahal Jakarta telah berkali-kali
mempermainkan pemerintahan di daerah. Sayangnya, perjumpaan yang sangat sering
dengan pemerintah pusat tidak juga menghasilkan negosiasi maksimal dan berakhir dengan
kekecewaan.

3. Gaya kepemimpinan gubernur Papua menimbulkan kesan tersendiri apalagi sehari-harinya


gubernur berkantor di gedung negara (rumah tinggal dinas) dan bukan di kantor gubernur,
selain itu setiap perayaan natal gubernur keluar daerah/tidak berada di Jayapura. Sehingga
interaksi gubernur dengan rakyat dan birokratnya sendiri sangat terbatas,seperti saat turun
kampung (turkam).

4. Kinerja DPRP kurang maksimal karena persoalan internal seperti kurangnya koordinasi dan
komunikasi diantara pimpinan DPRP dan cenderung hanya satu wakil ketua yang terlibat
aktif. Anggota DPRP, sebagai anggota partai politik, diawal periodenya sudah disibukkan
dengan proses pilkada di beberapa kabupaten dan kota sehingga kurang fokus pada tugas
kedewanannya. Fungsi komisi secara keseluruhan belum berjalan baik sebab seolah-olah
permasalahan di DPRP hanya ditangani oleh komisi-komisi tertentu saja.Keputusan yang
dihasilkan oleh Badan Musyawarah (Paripurna mini di DPRP) seringkali berubah-ubah,
demikian juga keputusan Badan Anggaran. Alat kelengkapan dewan lainnya yakni Badan
Legislasi baru terbentuk pada bulan Agustus 2010.

5. PERDASI dan PERDASUS yang telah ditetapkan pada akhir tahun 2010 hingga kini belum
dapat diketahui materinya dan belum disosialisasikan. MRP masih mempertanyakan
beberapa isi PERDASUS karena diduga bahwa pertimbangan dan persetujuan MRP tidak
diakomodir. Demikian halnya dengan PERDASUS mengenai Pemilihan Keanggotaan MRP
meski telah disahkan akan tetapi isi final dari PERDASUS tersebut masih dipertanyakan.

6. Proses pembahasan APBD di DPRP tidak berjalan sesuai mekanisme sebab pembahasan
APBD tahun 2011 dilakukan terlebih dahulu sebelum pembahasan ABT tahun 2010 dengan
masih menggunakan PERMENDAGRI No.13 tahun 2006 dan bukan PERDASUS No 1 tahun
2007. Ada indikasi perbedaan dokumen APBD yakni antara usulan SKPD (satuan kerja
Perangkat Daerah) dengan persetujuan dari gubernur melalui Sekretaris Daerah dan yang
tercantum di dalam buku PPA/S yang diajukan ke DPRP.Jumlah dana yang tercantum di
dalam buku PPA/S selalu dalam platform anggaran yang sangat besar dan ironisnya tidak
diketahui oleh SKPD yang bersangkutan. Ada juga buku PPA/S yang isinya sama dari tahun
sebelumnya untuk SKPD tertentu.

7. MRP sebagai lembaga kultural hampir tidak memiliki kekuatan hingga diakhir periodenya.
Pandangan, masukan bahkan ancaman yang coba disampaikan oleh MRP tidak ditanggapi
secara serius oleh pemerintah. Keputusan MRP No. 14 tahun 2009 yang mengatur soal
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/wakil walikota harus orang asli Papua sebagai upaya
menterjemahkan penjelasan pasal 20 ayat(1) huruf f dari UU OTSUS, menjadi polemic yang
berdampak pada sejumlah aktifitas politik dan demontrasi lainnya di tahun 2010. Demo Tim
Pansus DPRP di kantor Kemendagri di Jakarta dan pelaksanaan MUBES MRP, sebagai salah
satu reaksi akibat ditolaknya Keputusan MRP No.14 tahun 2009 tersebut. Di sisi lain, ada
juga kelompok yang menolak SK MRP tersebut.

8. Pemerintah tidak memiliki kemauan kuat untuk merespon berbagai aksi kekecewaan rakyat
seperti demontrasi tanggal 18 Juni 2010 yang menyampaikan 11 butir tuntutan hasil MUBES
MPR bahkan ada kesan saling menuding kewenangan untuk menghindari tanggungjawab,
akibatnya hingga kini tuntutan tersebut tidak pernah di follow up secara kelembagaan baik
di tingkat DPRP maupun eksekutif. Konsistensi MRP sendiri dalam memperjuangkan aspirasi
tersebut masih dipertanyakan seolah tidak ada korelasinya antara aspirasi dan perilaku yang
ditunjukkan.

9. Keberhasilan Barisan Merah Putih (BMP) untuk memperjuangkan 11 kursi DPRP yang
diangkat mengundang polemik dikarenakan salah satu argumentasi yang digunakan adalah
untuk menyeimbangkan jumlah anggota DPRP yang dianggap tidak nasionalis NKRI. Selain
itu putusan MK tersebut bersifat einmalig (hanya sekali).

10. Koalisi parlemen Pengunungan Tengah meminta dilakukan perubahan pembagian dana
OTSUS untuk wilayah pegunungan tengah, diberikan secara proposional dan adanya
penambahan dana infrastruktur. Dana OTSUS pada tahun 2010 mengalami kenaikan
termasuk dana infrastuktur. Penyusunan APBD dengan menyatukan dana OTSUS dan
sumber dana lainnya menimbulkan dugaan adanya duplikasi anggaran dan kesulitan untuk
mengontrol penggunaannya.

11. Dugaan korupsi dana OTSUS terus membayang pada sejumlah pejabat akan tetapi hingga
kini belum ada tindak lanjut yang lebih konkrit dari aparat penegak hukum. Seperti kasus
Jhon Ibo terkait pembangunan rumah dinas dan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah (BPKAD) terkait pembangunan jalan di Kab Sorong Selatan. Apalagi setelah
mencuatnya kasus Kepala BPKAD, pihak polda Papua mendapatkan 50 sepeda motor yang
diserahkan langsung oleh gubernur dan kepala BPKAD. Pemberian motor tersebut sempat
dipertanyakan karena diduga tidak tercantum sebelumnya di dalam APBD. Dugaan korupsi
juga terjadi pada pengadaan kapal tongkang di kabupaten Boven Digul, pembangunan
sekolah di distrik Kimaam Merauke dan pembangunan kantor Agama di kab Supiori.
12. Kebijakan Dana RESPEK yang menjadi primadona gubernur diminta untuk ditinjau kembali
termasuk pembagiannya di setiap kabupaten dan kota. Total dana yang diterima setiap
kampung (dana RESPEK, PNPM Mandiri, ADK dll) berkisar 300 juta – 600 juta/tahun.
Penggunaan dana tersebut berjalan tidak maksimal hanya sekitar 40 %– 80 % dengan
menitikanberatkan pada pembangunan infra struktur dan bukan kegiatan ekonomi
produktif. Di beberapa tempat, dana tersebut langsung dibagi bagi kepada masyarakat atau
habis digunakan oleh sekelompok orang tertentu saja. Perputaran uang untuk kepentingan
konsumtif di kampung jadi meningkat. Dampak buruk lainnya muncul pola baru dari
masyarakat yang semula bekerja untuk mendapatkan penghasilan tanpa mengenal periode
‘penggajian’ kini bantuan dana dinilai sebagai sumber rutin alias gaji, seolah menjadi PNS.

C. Aksi Kekerasan dan Situasi Keamanan

1. Aksi pengibaran bendera masih terjadi, seperti pengibaran bendera di kampung Waro
Yahokimo tanggal 12 mei 2010 oleh 60 CPNS meski kemudian dibantah oleh Bupati
Yahokimo, pengibaran di Demta tanggal 10 Oktober 2010 dan Wamena tanggal 20
November 2010. Pengibar bendera di Demta mengaitkan aksi politik tersebut dengan
keyakinan (adat) tertentu, mirip peristiwa pengibaran bendera di lapangan Kapeso tahun
2009. Keyakinan mengenai datangnya sang ratu Adil kembali dihidupkan melalui tradisi
adat dengan media tertentu (rumah adat dan doa-doa) bagian dari mencerminkan
ketidakpercayaan dan keputusasaan terhadap segala hal yang sedang terjadi.

2. Aksi kekerasan dengan menggunakan senjata tajam muncul lebih beragam. Ada yang
dengan mudah diidentifikasi pelakunya seperti penembakan di Expo Waena tanggal 27 Mei
2010, penembakan yang diduga dilakukan oleh Brimobda Kompi C Manokwari tanggal 15
september 2010, penembakan terhadap anggota Petapa dari Dewan Adat Papua di Bandara
Udara Wamena tangga 4 Oktober 2010 dan penembakan seseorang narapidana di
kompleks BTN Tanah hitam saat dilakukan penyisiran peristiwa kasus Nafri tanggal 21
November 2010. Proses hukumnya seolah berjalan di tempat. Ada juga aksi yang tidak
diketahui dengan jelas pelakunya seperti yang dialami oleh seseorang yang bertugas
sebagai penagih hutang tertembak di Boroway tanggal 15 desember 2010.

3. Selain itu ada juga laporan masyarakat mengenai dugaan keterlibatan aparat atas aksi
kekerasan terhadap masyarakat sipil lainnya seperti kasus Edina Tabuni (25 tahun) yang
terkena peluru nyasar aparat saat mengamankan perselisihan antara aparat dengan
masyarakat di Sinak Kab Puncak. Korban penembakan peluru nyasar juga terjadi ketika
polisi melakukan pengejaran tersangka pembunuhan di Transito kelurahan Maro Merauke
bulan Juni 2010. Penembakan terhadap Yawan Yuweni di Serui, kasus di Bolakme, Wamena
tanggal 1 Desember 2010. Untuk kasus – kasus tersebut hingga kini belum ada pengakuan
baik dari pihak TNI dan kepolisian mengenai keterlibatan aparatnya. Selain itu disinyalir ada
juga sejumlah kasus penyerangan atau kontak senjata yang tidak terpublikasikan secara
terbuka. Kekerasan Juga terjadi dengan fokus pada wilayah tertentu seperti di Puncak Jaya,
seperti penembakan yang menewaskan anggota brimob Polda Papua tanggal 15 Februari
2010 dan penembakan terhadap karyawaan PT Modern pada April 2010.

4. Aksi kekerasan diantara warga sipil meningkat seperti konflik antar etnis yang terjadi di Nafri
dan kemudian di Yoka tanggal 17 November 2010. Pengrusakan Polsek KP3 Wamena akibat
kekecewaan pada peristiwa di penggeledahan dan penembakan anggota Petapa DAP di
bandara Wamena tanggal 4 Desember 2010, pengrusakan kantor Management PT Sinar
Mas di Lereh oleh karyawannya karena pelarangan pembangunan rumah ibadah yang
dilakukan oleh pihak management dan pengrusakan Polres Jayapura tanggal 26 Oktober
2010 akibat konflik antara etnis di Sentani.

5. Munculnya video kekerasan yang dilakukan oleh pihak TNI kemudian disikapi dengan
persidangan kilat ala militer sebagai upaya untuk menghindari tuntutan pelanggaran HAM
dan persidangan melalui pengadilan HAM. Terbukti bahwa tuduhan yang diberikan kepada
tersangka adalah tuduhan melawan perintah atasan, bukan difokuskan telah melakukan
penyiksaan terhadap warga sipil hal ini diperkuat dengan tidak dilakukan pemeriksaan
terhadap saksi korban.

6. Teror terhadap pekerja kemanusiaan dan tokoh agama masih terus terjadi seperti yang
dialami oleh Pdt.Socrates S Yoman ketua BPP Gereja Baptis dan ketua DAP termasuk
pemeriksaan berlapis terhadap pengunjung saat menghadiri persidangan video penyiksaan
di pengadilan militer Jayapura. Kematian wartawan Jubi Ardiansyah di Merauke masih
misterius bahkan sempat membuat hubungan antara jurnalis dan pihak kepolisian menjadi
tegang karena pihak kepolisian dinilai tidak mampu mengungkapkan misteri kematian
tersebut. Infiltrasi aparat keamanan dalam berbagai institusi dan profesi terus terjadi
seperti di birokrasi dan juga di dunia jurnalis.

7. Aksi kekerasan seperti sebuah siklus: kekerasan dibalas dengan kekerasan. Pemberitaan
mengenai berbagai aksi penembakan di sekitar kota atau dekat kota dan penemuan rumah
yang diidentifikasikan sebagai salah satu rumah atau markas (di dalam kota) dari TPN/OPM
memberi kesan kuat bahwa aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, siapa saja dapat
menjadi korban dan ironisnya selalu terjadi saling tuduh menuduh mengenai pelakunya.
Rakyat semakin sulit mendapatkan informasi yang benar bahkan diprovokasi ke dalam
berbagai bentuk kehidupan yang saling menyudutkan, berseberangan serta saling curiga.

8. Lemahnya institusi sipil dan masyarakat sipil untuk melindungi dirinya dan menjalankan
fungsinya. Peran kepolisian dalam menangani persoalan di masyarakat terus dipertanyakan
apalagi dalam beberapa kasus terakhir ini kepolisian didampingi oleh aparat TNI dalam
melakukan operasi seperti pengejaran pelaku kasus Nafri tanggal 21 November 2010.
Aparat TNI juga melakukan operasi sendiri seperti kasus pencarian Lambert Pkikir tanggal
18 November 2010 di kampung Workwana.
D. Situasi Ecosob

1. Tuntutan pasar buat mama-mama pedagang asli Papua pada akhir tahun 2010 dijawab
dengan peresmian pasar sementara. Ada kalangan yang mencurigai ini sebagai upaya
gubernur untuk mencari dukungan saat pilgub mendatang. Ada juga kekhawatiran dengan
pemilihan lokasi yang tidak tepat sehingga akan menimbulkan persoalan sosial seperti
masalah lalu lintas dan penumpukan limbah sehingga membutuhkan penataan yang lebih
baik.

2. Penggunaan pasar sentral Hamadi pada awal September 2010 hingga kini melahirkan
sejumlah persoalan akibat dari ketidakjelasan mengenai kepemilikan los, harga sewa los
dan perebutan los diantara penyewa dan pemilik hak ulayat. Selain itu ada indikasi bahwa
los –los di bagian depan adalah milik dari para anggota DPRD Kota Jayapura.

3. Gempa bumi di Wasior tanggal 5 Oktober 2010 menjadi pembelajaran untuk penataan
sumber daya alam dan hutan yang lebih maksimal dan tidak saja berorientasi kepada
kepentingan ekonomi. Penanganan yang dilakukan harus bersifat integratif baik secara
medis, rehabilitasi ekonomi, sosial dan psikologis selain itu dukungan fasilitas dari
pemerintah daerah. Kondisi ini juga membuktikan sistem pencegahan dan penanganan
cepat belum berjalan secara maksimal. Sebelumnya telah terjadi bencana banjir pada 11
distrik di Jayawijaya pada awal april 2010, wabah penyakit malaria yang menewaskan
sekitar 40 orang di sejumlah distrik di Kab Intan Jaya dan gempa di Kaimana tanggal 30
September 2010.

4. Proyek MIFEE merupakan isu pengelolaan sumber daya alam yang mencuat ditahun 2010
dan mengancam hilangnya kepemilikan hak ulayat secara permanen. Diperkirakan
mobilisasi tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar akan masuk ke Papua, khususnya
ke Merauke akibatnya praktek marginalisasi terhadap masyarat Papua makin meluas.
Overlapping perijinan investasi diantara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten akibat
referensi aturan hukum yang berbeda masih terus terjadi. Pengelolaan sumber daya alam
yang berlangsung secara ilegal. Munculnya reclaiming seperti pemalangan pembangunan
pelabuhan peti kemas di Depapre pada September 2010, Airport Sentani tanggal 29
November 2010 dan 17 desember 2010 dan pemalangan pembangunan sekolah di Yobeh,
Sentani kab Jayapura. Hal ini terjadi karena pemerintah ingkar janji dan ada juga kasus
pengalihan sepihak tanah hak ulayat tanpa melalui musyawarah adat akibat godaan hidup
yang makin konsumtif.

5. Persoalan kesehatan ditandai dengan rusaknya management dan kelembagaan pada


institusi kesehatan. Fasilitas, mutu pelayanan dan kebersihan rumah sakit terutama rumah
sakit utama (RS Rujukan) semakin buruk. Di tahun 2010, pemerintah provinsi Papua
menganggarkan 25 M untuk pengadaan obat OTSUS namun masih ada indikasi
berkembangnya praktek mafia obat diantara apotik dan dokter sehingga membebani pasien
dengan obat merek dagang bukan generik selain itu berkembangnya bisnis di rumah sakit
dengan menyediakan obat hingga kebutuhan pasien lainnya. Akibatnya pemenuhan hak-
hak kesehatan rakyat menjadi terabaikan. Selain itu muncul konflik internal berkaitan
dengan kesejahteraan tenaga medis sehingga menimbulkan aksi protes seperti
demonstrasi yang dilakukan oleh perawat dan bidan baik yang terjadi di RS Mitra
Masyarakat Mimika maupun RS Dok II Jayapura.

6. Di bidang pendidikan menjadi persoalan besar adalah menurunnya kualitas pelayanan dari
institusi pendidikan serta mulai beralihnya gelar dari kepentingan kapasitas keilmuwan
menjadi demi kualifikasi jabatan tertentu. Dukungan terhadap institusi pendidikan swasta
hampir tidak ada padahal institusi tersebut memiliki beban yang sangat tinggi untuk
pengembangan SDA di Papua. Guru-guru yang bertugas di wilayah pedalaman sering
meninggalkan tempat tugas karena alasan kesejahteraan dan keamanan tanpa ada sanksi
yang tegas. Di sisi lain, mekanisme penjenjangan kepangkatan tidak berlangsung dengan
baik sehingga menyebabkan guru-guru harus mengurus sendiri keperluannya pada dinas di
kota.

7. Kejahatan sosial seperti KDRT, Kecelakaan Lalu lintas, pembunuhan, pemerkosaan,


penganiayaan, perkelahian dan penipuan seringkali dipicu akibat minuman keras (miras).
Meski beberapa kabupaten telah mengeliarkan Peraturan Daerah mengenai minuman keras
namun distribusi dan penjualan miras tetap dilakukan secara ilegal atau beberapa pejabat
bersedia terbang ke tempat lain (kabupaten lain) yang tidak memiliki Peraturan Daerah
mengenai miras agar dapat menikmati minuman keras. Gubernur Papua sendiri
menjanjikan akan mengeluarkan Perdasi mengenai Peredaran minuman keras(Agustus
2010) namun hingga kini belum ada realisasinya.

E. Situasi Gerakan Kelompok Sipil

1. Gerakan masyarakat sipil cenderung melemah dan tidak bersinergis. Koalisi diantara LSM
dan lembaga keagamaan sangat terbatas akibat masalah internal dan ekstrenal yang
dihadapi oleh masing-masing lembaga. Intensitas aktifitas LSM yang berkerja di bidang
Hukum dan HAM semakin berkurang. Demikian juga konsolidasi masyarakat adat tidak
tertata dengan baik.Proses pilkada telah juga membuat berbagai komponen masyarakat
sipil seperti LSM, kelompok perempuan, adat, pemuda dan lembaga keagamaan disibukkan
dengan agenda-agenda politik.

2. Beberapa upaya konsolidasi diantara kelompok masyarakat sipil telah dilakukan namun
masih belum cukup solid. Tuntutan yang dirumuskan masih mencerminkan agenda masing-
masing kelompok yang bisa tidak sejalan dengan kelompok yang lain. Sehingga sulit
mencapai negosiasi yang maksimal. Di waktu yang bersamaan begitu banyak tawaran yang
terus menguji komitmen dan konsistensi setiap kelompok maupun tokoh dari kelompok
masyarakat sipil tersebut.
3. Praktek untuk memecah kekuatan dan membingungkan diantara rakyat sipil di Papua terus
dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan jalan berusaha keras memulangkan Nicolas
Jouwe dari Belanda dan menjadikannya alat kampanye pro NKRI, memback up aktifitas
kelompok IGSSAPRI termasuk penerbitan dan kampanye buku Integras Telah Selesai ( buku
ini mengambil tulisan dari Blogspot ALDP tanpa ijin, hal 55-64)) untuk mencounter buku
Papua Road Map yang diterbitkan oleh LIPI. Atau pun membentuk LMA untuk mereduksi
kekuatan DAP termasuk dengan mengkampanyekan dan membentuk forum komunikasi
konstruktif untuk mengadu dengan gagasan Dialog Papua Jakarta.

4. Tekanan pemerintah RI terhadap berbagai kelembaga asing termasuk pihak kedutaan yang
melaksanakan programnya di Papua menyebabkan menimbulkan kehati-hatian dan
kekecewaan. Masyarakat sipil lebih sering dijadikan alat justifikasi, diundang untuk
melakukan presentasi mengenai persoalan di Papua akan tetapi eksekusi program justru
lebh banyak dialihkan kepada pemerintah. Lembaga asing cenderung memilih kebijakan
yang ‘super smooth’, akibatnya pada situasi tertentu lembaga asing turut mengabaikan
persoalan riil yang ada di Papua. Seolah Lembaga asing turut terlibat melemahkan kekuatan
masyarakat sipil dan mendukung praktek pemerintahan yang korup karena terhadap
mekanisme kontrol dan pertanggungjawaban keuangan jauh lebih transparan jika dilakukan
terhadap kelompok masyarakat sipil daripada pemerintah. Sebab pemerintah
menggabungkan semua sumber dana dalam APBD dan berpeluang melakukan duplikasi
kegiatan dari berbagai sumber dana yang ada.

5. Intensitas kunjungan berbagai kedutaan asing ke Papua cenderung sangat tinggi dan
senantiasa menegaskan dukungannya terhadap keberadaan Papua di dalam NKRI,
diperhadapkan dengan internasionalisasi masalah Papua yang terus bergulir mulai dari
serumpun di negara-negara Pasifk hingga di wilayah Asia, Eropa dan Amerika seperti
pelaksanaan Conggres Hearing tanggal 22-23 September 2010 di USA.

F. Wacana Dialog

1. Sosialisasi konsep dialog Papua Jakarta terus dilakukan terutama oleh Jaringan Damai
Papua (JDP) yang merupakan keterwakilan dari komponen masyarakat sipil dengan
koordinator Dr.Neles Tebay dan Dr.Muridan Satrio Widjojo. Posisi JDP sering dikritisi
diantara kelompok pro NKRI dan pro Merdeka. Gagasan dialog berkembang meluas, orang
mulai melakukan eksplorasi dan improvisasi mengenai gagasan tersebut, misalnya
kesadaran akan banyaknya persoalan yang tidak diselesaikan di Papua, kebuntuan
komunikasi diantara berbagai level hingga perdebatan soal kata “Papua”, apakah Papua
dalam konteks etnis ataukah Papua dalam pengertian mewakili persoalan dan kepentingan
bersama. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan dialog Papua Jakarta memasuki ruang
akademis dan lebih kritis.
2. Ketika presiden SBY menyebutkan pentingnya komunikasi yang konstruktif untuk
menyelesaikan persoalan di Papua pada pidatonya tanggal 16 Agustus 2010, menandakan
gagasan dialog semakin kuat dibicarakan di tingkat pemerintahan. Oleh pihak – pihak
tertentu gagasan dialog dipertentangkan dengan Komunikasi konstruktif. Secara subtantif
kedua gagasan ini mengedepankan penyelesaian masalah Papua tanpa kekerasan oleh
karenanya tidak ada alasan yang prinsip untuk saling meniadakan justru perlu
mendiskusikan konsep secara bersama.

G. Pendekatan Pemerintah

1. Selama ini pendekatan yang digunakan hanya berorientasi pada alasan peningkatan
kesejahteraan terutama melalui program RESPEK. Pemenuhan hak asasi manusia yang
berkaitan dengan hak sipil politik (terutama kebebasan berekspresi dan perlindungan
hukum) sebagaimana tercantum dalam UU OTSUS seperti koordinasi kebijakan di Papua,
pembentukan KOMNAS HAM, peradilan HAM, KKR, Komisi Hukum Ad Hoc serta pengakuan
identitas seperti lambang dan bendera atau pembentukan partai lokal tidak pernah
diberikan perhatian serius. Permasalahan sipil politik hanya dipakai untuk komoditi politik
kekuasaan dengan pendekatan militeristik yang sangat merugikan masyarakat sipil.

2. Pendekatan hukum masih digunakan untuk meredam suara-suara kiritis merupakan wujud
dari ketidaksukaan pemerintah untuk dikoreksi. Beban kerja kepada aparat penegak
hukum, khususnya pihak kepolisian tanpa didukung dengan fasilitas yang memadai
memberi kesan agenda kerja kepolisian hanya bergerak dari satu proses investigasi awal ke
investigasi berikutnya dan tidak pernah tuntas apalagi jika memuat kepentingan politik.
Satu peristiwa belum tuntas untuk diungkap sudah muncul peristiwa lainnya.

3. Cara menangani persoalan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) tidak mengalami perubahan.


Apabila terjadi keributan di LP maka akan dilakukan penguncian sel, mematikan lampu,
memasuki sel pada malam hari dengan sipir dan pihak keamanan, melakukan pemukulan
kemudian memindahkan tahanan atau narapidana tertentu ke dalam tahanan kepolisian
untuk waktu yang relatif lama seperti yang dialami oleh Philep Karma dan Buktar Tabuni
cs.Pendekatan ini jelas mengabaikan kewenangan yang dimiliki oleh otoritas sipil seperti
pihak kanwil hukum dan HAM yang jelas-jelas memiliki otoritas terhadap narapidana atau
tahanan di LP. Gagasan pemberian grasi pada TAPOL/NAPOL yang disampaikan oleh
menteri Hukum dan HAM pada saat kunjungannya di Jayapura mendapat tanggapan pro
dan kontra dari berbagai pihak. Beberapa narapidana menolak gagasan tersebut.
Dikhawatirkan hanya bersifat politis dan tidak serius, sejauh ini pemberian grasi telah
kepada Yusak Pakage.

4. Di bidang pendidikan program kerjasama dengan memberangkatkan 20 orang guru ke


Australia ataupun melakukan program guru kontrak sebanyak 600 orang tidak cukup
menjawab permasalahan dasar pendidikan di Papua seperti kualitas belajar mengajar dan
ketersediaan fasilitas akibatnya produk akhir nstitusi pendidikan selalu tidak bernilai
kompetitif. Tenaga – tenaga terampil masih lebih banyak didatangkan dari luar. Demikian
juga dengan bidang kesehatan, berbagai kerjasama dan banyaknya sumber dana tidak
berdampak pada meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan atau meningkatnya angka
harapan hidup di Papua.Angka HIV_AIDS dan kematian ibu hamil tetap tinggi, penyakit-
penyakit tertentu di wilayah edemiknya masih juga tinggi.

5. Bertambahnya uang OTSUS tetap tidak mampu menjawab persoalan mendasar yang
dihadapi oleh orang asli Papua. Janji SBY untuk melakukan evaluasi UU OTSUS setelah
lebaran dan upaya pembentukan UP4B belum direalisir.

III. TANTANGAN DAN REKOMENDASI TAHUN 2011

A. TANTANGAN

1. UU OTSUS akan tetap menjadi isu yang terus diperdebatkan meski wilayah perdebatan
masih lebih banyak di wilayah implementasi sedangkan soal –soal subtantif akan cenderung
masuk di wilayah politik. Perdebatan mengenai defenisi orang asli Papua di dalam UU
OTSUS akan berlanjut dan menyulitkan sejumlah regulasi di tingkat lokal. Di sisi lain akan
muncul tuntutan untuk lebih terbuka dalam memberikan defenisi terhadap orang asli
Papua dan identitas kepapuan. Kebijakan Jakarta akan juga mereduksi identitas tersebut.
Apa yang khusus di dalam UU OTSUS?.

2. Proses dan keputusan Judicial Review di MK yang dilakukan oleh DPRP, apapun hasilnya
akan menyebabkan menguatnya ketegangan antara DPRP dan gubernur mengingat proses
pilgub semakin dekat. Proses pilgub mulai menggiring rakyat ke dalam kotak-kotak
kepentingan politik apalagi sejumlah tokoh yang diduga akan mencalonkan diri sudah mulai
melakukan kampanye dalam berbagai bentuk.

3. Sejak UU OTSUS menegaskan bahwa peserta pilgub harus orang Papua asli maka proses
Pilgub Provinsi Papua cenderung membuka pertentangan diantara orang Papua sendiri.
Propaganda primordial terutama antara gunung dan pantai akan dibuat meningkat.

4. Proses politik lainnya yang terjadi seperti Pemilihan keanggotaan MRP dan pengangkatan
11 kursi berdasarkan UU OTSUS akan memperpanjang ketegangan horizontal diantara
masyarakat sipil dan juga di tingkat pemerintah daerah.

5. Penanganan berbagai kasus korupsi akan mendapat tantangan yang makin


meluas.Tuntutan akan datang dari berbagai pihak termasuk sorotan dukungan yang makin
meluas melalui media massa. Sehingga aparat kepolisian dan kejaksaan makin didesak
untuk bekerja maksimal.
6. Tuntutan pemenuhan hak –hak dasar sesuai OTSUS akan terus dipermasalahkan terutama
mengenai hukum dan HAM serta hak – hak ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Secara
khusus pengelolaan sumber daya alam dan tanah akan berpeluang konflik, seperti kasus
MIFEE ,pertambangan emas di Degewo Nabire, Investasi tambang nikel di Depapre dll.
Pengalihan lahan untuk sejumlah investasi akan terus terjadi dan regulasi pemerintah
belum berpihak kepada masyarakat adat.

7. Gagasan dialog makin tersebar dan terbuka sehingga berbagai respon akan mengalir. Akan
ada aksi segregasi dan reaksi – reaksi memotong karena menghendaki posisi status quo
ataupun ingin mengambil alih gagasan dialog untuk kepentingan tertentu.

8. Isu keamanan akan terus menjadi masalah yang sensitif disebabkan beberapa hal a).
Penanganan permasalahan keamanan masih bersifat tertutup tanpa ada kejelasan
mengenai pentingnya keterlibatan pihak tertentu, misalnya keterlibatan TNI pada saat
melakukan penggeledahan atau operasi selain itu b). Kebijakan penerapan pasukan non
organik terus berlangsung c). Adanya berbagai satuan keamanan dan intelejen yang sangat
terbatas berkoordinasi satu sama lain dan hanya mendisktribusikan informasi kepada
jaringannya menyebabkan input mengenai situasi keamanan di Papua kepada pemilik
otoritas bersifat parsial dan kebijakan yang dilakukan cenderung berorientasi kepada
jenjang karier satuan masing-masing.

9. Aksi kekerasaan akan terus meningkat dengan berbagai variasinya, sejumlah kegagalan
pihak kepolisian untuk mengungkapkan kasus sebelumnya memberikan alasan dan
keleluasaan pihak lain untuk meningkatkan aksi kekerasan.

B. REKOMENDASI

1. Harus ada kesadaran dan pengakuan dari pemerintah bahwa UU OTSUS telah gagal sebagai
kebijakan yang bertujuan memberikan pemihakan, jaminan keamanan dan keadilan buat
orang Papua. Sehingga revisi atasnya harus dilakukan secara mendalam untuk menghasilkan
perbaikan atau perubahan lain yang lebih substantif. Kebijakan terhadap harus menyentuh
berbagai aspek, bukan saja aspek kesejahteraan tetapi juga aspek sipil dan politik dan
dilakukan dengan serius. Seperti halnya untuk pembentukan UP4B, jika tidak maka UP4B
akan mengalami kegagalan sebagaimana yang dialami oleh UU OTSUS.

2. Setiap pihak harus memperkaya cara pandang dan pemahaman terhadap pihak lain
khususnya terhadap orang Papua sehingga tidak mudah terjebak dengan stigmatisasi dan
kesimpulan-kesimpulan yang saling menyesatkan. Termasuk merumuskan kembali berbagai
defenisi yang mengacaukan cara pandang dan cara bertindak dalam menyelesaikan
persoalan di Papua, seperti “otonomi” dan “orang asli Papua’.

3. Pemerintah secara khusus harus meningkat perhatian terhadap pemenuhan hak asasi
manusia khususnya hak sipil dan politik sebagaimana tercantum di dalam UU OTSUS. Sikap
politik dan dukungan konkrit harus diberikan kepada korban kekerasan/penyiksaan melalui
regulasi, institusionalisasi, proses hukum yang adil dan kebutuhan lainnya. Melakukan
reformasi sector keamanan sebagai bagian penting dari pemenuhan hak asasi manusia
seperti meninjau kembali praktek intelejen dan inflitrasi pada birokrasi sipil, pentingnya
mengkoordinasikan kebijakan keamanan dengan otoritas setempat dan menghargai
berbagai otoritas lainnya.

4. Menata kembali hubungan diantara pemerintah sipil di daerah serta memperbaiki


permasalahan internal di dalam kelembagaan masing – masing. Patuh pada mekanisme
kelembagaan dan bersedia mengembangkan komunikasi formal dan informal secara
maksimal sebagai upaya untuk memperkuat konsolidasi masyarakat sipil.

5. Keterbukaan dan professional telah menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk
melakukan penegak hukum guna menghindari intervensi kekuasaan maupun politik uang
termasuk terhadap berbagai kasus korupsi. Sejalan dengan itu penting untuk melakukan
perbaikan pada system pembinaan yang berlangsung di Lembaga Pemasyarakatan,
penyediaan fasilitas dalam rangka pemenuhan hak – hak narapidana termasuk
mengembangkan kegiatan produktif.

6. Perhatian terhadap dunia pendidikan agar mencapai kualitas sumber daya manusia mulai
dari tingkat SD hingga perguruan tinggi terutama perhatian kepada perguruan tinggi swasta.
Pelayanan kesehatan harus diperbaiki secara total menyangkut sistem management,
berbagai fasilitas dan sarana di rumah sakit juga perhatian terhadap sumber daya manusia
yang melaksanakan fungsi pelayanan pendidikan dan kesehatan.

7. Pengelolaan sumber daya alam dan alih fungsi untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi harus
dibekali dengan kajian transformasi ekonomi dan sosial sesuai dengan perubahan yang akan
dihadapi rakyat. Pasar bagi mama – mama pedagang asli Papua, harus disertai dengan
proteksi yang jelas mengenai komoditi yang dijual dengan memperhatikan kondisi social
cultural yang menjadi pola menjual dari mama-mama pedagang tardisional sehingga pasar
yang dibuat dapat dimanfaatkan secara maksimal dan komoditi yang dijual tidak bersaing
dengan pemilik modal besar.

8. Kampanye dialog Papua Jakarta akan semakin menguat dalam bentuk dukungan, kritik
maupun kepentingan politik yang berusaha menghalanginya. Agenda penyelesaian
permasalahan di Papua tanpa kekerasan yang ditawarkan melalui dialog akan memperluas
dukungan dan keterlibatan berbagai pihak. Oleh karenanya sangat penting untuk sosialisasi
dan internalisasi mengenai dialog Papua Jakarta pada berbagai kalangan secara lebih
mendalam.

9. Berbagai lembaga asing yang memberikan perhatian kepada permasalahan di Papua


semestinya juga memahami bahwa selain dukungannya untuk memberikan masukan
kepada pemerintah Indonesia mengenai penyelesaian persoalan di Papua melalui
perwakilannya di Jakarta tetapi perlu juga memberikan dukungan yang lebih konkrit
terhadap kelompok masyarakat sipil yang dinilai sebagai mitra startegisnya di Papua dengan
menciptakan peluang-peluang baru agar relasi yang dibangun dapat berjalan sinergis dan
tidak berkesan mengeksploitasi sumber informasi dan ketidakberdayaan kelompok
masyarakat sipil tersebut.

IV. KELEMBAGAAN ALDP :

1. Jumlah staff ALDP sebanyak 9 orang terdiri dari 5 perempuan dan 4 laki-laki.Pada setiap
tahunnya fasilitas dan sarana kantor terus berusaha untuk dipenuhi dan ditingkatkan guna
memberikan rasa nyaman dan profesionalisme dalam bekerja. Bagi AlDP, sumber daya manusia
yang ada terdiri dari staff ALDP dan kelompok atau individu potensial. Oleh karena itu ALDP
membuka akses kepada mahasiswa, masyarakat adat dan perempuan untuk aktif mengikuti
kegiatan ALDP secara internal ataupun terlibat pada berbagai kegiatan di lingkungan LSM dan
organisasi lainnya sesuai kapasitas dan kebutuhan agar terjadi transformasi penyadaran dan
pemahaman pada kalangan kelompok potensial secara meluas.

2. Diakhir tahun ALDP melakukan sejumlah perubahan yang sifatnya Stategis untuk memperbaiki
dan memperkuat pencapaian Visi dan Misi lembaga. Perubahan tersebut berisi : (a).
Penambahan struktur baru yakni struktur badan pengurus/Board yang terdiri dari : Pr.Jhon
Jonga, Paskalis Kosay, Theo Van Den Broek, Weynand Watory dan Poengky Indarti.
(b).Perubahan struktur badan Pelaksanaan/Eksekutif dari Ketua menjadi Direktur dan
menambah struktur baru yakni Wakil Direktur (c). Perubahan divisi pada struktur badan
Pelaksana/Eksekutif dengan membentuk 2 divisi program yakni Divisi Demokrasi dan Divisi
Keadilan, ditambah Divisi Keuangan dan Divisi Administrasi dan Umum (Adum).

3. Pemilihan wilayah tertentu dalam kurun waktu tertentu (indikator: termarginal dan isu
kekerasan) dan menentukan kelompok potensial (indikator: termarginal dan potensial, seperti
dewan adat dan mahasiswa serta perempuan) masih tetap menjadi pendekatan utama dalam
menjalankan program. Kapasitas yang dimiliki oleh ALDP terfokus pada pendampingan hukum
dan pengorganisasian komunitas (termasuk pelatihan). Respon yang dilakukan berdasarkan
inisiatif dan kebutuhan yang datang dari masyarakat (individu dan kelompok potensial).

4. Makin terbuka peluang dan jaringan kelembagaan (lokal, nasional dan internasional). Sejalan
dengan itu, tuntutan peningkatan peran staf, profesionalisme dan kinerja lembaga juga
ditingkatkan melalui berbagai penyediaan sarana, training dan memperdalam materi pertemuan
bulanan dan program hingga perubahan strategis.

5. Pada pertengahan tahun 2010 ada agenda untuk memperbaiki kembali kondisi lembaga HAM di
Papua akan tetapi agenda tersebut belum berjalan maksimal. Akibat dari pola komunikasi dan
siklus pertemuan yang tidak berjalan baik selain itu masing – masing LSM masih harus
mengerjakan agenda tahunannya. Terhadap beberapa kasus HAM, ALDP dengan keterbatasan
yang ada mencoba untuk mengambil langkah penanganan kasus sesuai dengan
kemampuan,dilakukan secara swadaya dan berkoalisi

6. Secara umum di tahun 2010, sebagian besar aktifitas AlDP masih melanjutkan agenda tahun
2009 seperti Diskusi Perdamaian Lintas Etnis (orientasi pada kelompok strategis di kota) dengan
penambahan program Diskusi Kampung Lintas Etnis (orientasi pada wilayah transmigrasi dan
sekitarnya).Selain itu penguatan institusionalisasi HAM sebagai hak sipil politik di dalam UU
OTSUS dan Penyadaran Hak-hak Perempuan untuk pencegahan HIV_Aids serta kampanye Anti
Penyiksaan masih dilakukan. Sejumlah pertemuan lainnya seperti jaringan penanganan konflik
berbasis program psikososial yang dilaksanakan oleh IRCT di Colombo Sri Lanka, jaringan Damai
dan Keadilan di San Diego, USA, Forum Rekonsiliasi Damai di Rome, Italia, training fasilitator JDP,
terlibat dalam kampanye Dialog Papua Jakarta dan Diskusi kelompok Perempuan membahas
Resolusi PBB Nomor 1325 tentang Keterlibatan Perempuan di dalam meja perundingan. Koalisi
untuk sejumlah kasus seperti kasus Wamena 4 Oktober 2010, Pengibaran bendera di Demta 10
Oktober 2010, permasalahan pembangunan rumah ibadah di Perusahaan kelapa sawit PT Sinar
Mas, Lereh, pendampingan atas konflik SDA di Depapre, koalisi Hari Anti Kekerasan terhadap
Perempuan serta berbagai pertemuan di tingkat nasional dan lokal lainnya.

Jayapura,10 januari 2011

You might also like