CERITA SAMPUL

Dra Siti Rochmiyati

Ternyata Jadi Guru Menyenangkan

Sentuhan tangan seorang guru ternyata berimbas
positif dalam kehidupan keluarga Atiek Prihadi.
Kecintaannya terhadap profesi guru telah membawa
ibu dua anak ini dikenal sebagai pelopor kegiatan Pos
Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) di daerah
Gunung Kidul dan Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dan kecintaannya pada keluarga telah
melahirkan gagasan ilmu baru untuk
mengembangkan pendidikan anak usia dini
(PAUD) di 54 Posdaya yang menjadi wilayah

D
binaannya.
Dra Siti Rochmiyati
[FOTO: IMAJI INDONESIA] ITEMUI saat menghadiri Rapat Kerja
Perumusan Buku Petunjuk Kuliah Kerja
Nyata (KKN) Tematik Posdaya, ibu
muda bertubuh mungil ini terlihat
sumringah. Suasana Raker yang terkesan “kaku”
dan butuh keseriusan, ternyata tidak membuat
senyum wanita ini terlihat kaku saat berha-
dapan dengan kamera.
Tanpa harus memperkenalkan diri, ter-
nyata wanita asli Kebumen, Jawa Tengah,
yang terlihat cukup vocal ini telah mengenal
Tim Redaksi Majalah Gemari lewat Facebook.
“Kita sudah berteman lama di facebook, ba-
ru bertemu sekarang ya,” ujar istri Drs
Prihadi, MHum ini ramah saat menyapa
Rahmawati, S Herman dan Kemri dari
Majalah Gemari di sela acara Raker.
Demam facebook, imbuh wanita yang me-
miliki nama lengkap Dra Siti Rochmiyati, harus
disiasati dengan baik. Sebagai ibu yang memiliki
dua anak menjelang remaja, Atiek memiliki trik
tersendiri agar anak pertamanya Nindo Harun
Prabantara (17) dan si bungsu Cesaria Riza
Asyifa (13) bisa memanfaatkan kecanggihan
teknologi internet dengan pembelajaran positif.
“Internet sangat penting, tapi bisa jadi bumerang
buat anak, bila orang tua tidak mengawasi
dengan baik,” tegasnya.
Salah satu trik yang dilakukannya adalah
menyediakan fasilitas internet di rumah. ”Kalau
nge-net di rumah, saya bisa melihat situs-situs
apa saja yang dibuka. Sebagai orang tua, selalu
saya katakan pada mereka bahwa kami tidak
mungkin selamanya mendampingi kalian. Ha-
nya kamu sendiri yang dapat mengontrol diri
kamu, karena Allah selalu melihat apa yang
kamu kerjakan,” tuturnya.

20 Gemari Edisi 101/Tahun X/Juni 2009

 Sebagai orangtua yang selalu
mengikuti perkembangan kedua
anaknya, Atiek juga menyimpan
password dari berbagai aktivitas
dunia maya yang kerap dikunjungi
anak pertamanya, terutama
facebook. “Kedua anak saya sangat
suka membaca. Kalau anak perta-
ma suka membaca di internet, anak
kedua saya lebih suka membaca
buku. Dan kami berusaha me-
ngembangkan potensi mereka
sesuai minatnya,” tukasnya.
Kegemaran membaca ini, kata
Atiek, perlu ditanamkan sejak dini
pada anak. Masa peka baca dimu-
lai pada saat anak usia 3,5 tahun
sampai menjelang remaja atau
pada saat anak memiliki keingin-
tahuan sangat besar tentang segala
sesuatu.
“Kalau kita mau amati dengan
jeli anak-anak kita, sebenarnya
ada masa begitu kepingin anak mengerti ma-
cam-macam. Misalnya, kalau kita baca koran,
sepertinya ingin sekali ikut membaca. Saat itu,
orang tua harus lebih dekat lagi pada anak,”
kata Bu Atiek, panggilan sehari-hari, yang sem-
pat ambil cuti dari kantor untuk memprioritas-
kan mengajar kedua anaknya membaca pada
usia 3,5 tahun. Dan pada usia 4 tahun, kedua
anaknya sudah lancar membaca koran.
Bukan hanya mengajarkan huruf abjad pada
masa balita, Atiek pun menerapkan pola baca
cepat Al Qur ’an dengan tekniknya sendiri.
“Anak-anak saya tidak ada yang masuk TPA.
Dari abatatsa sampai membaca al quran, saya
yang ajari. Anak-anak saya masuk TPA sehari
saja, protes ‘kenapa saya harus dimasukkan ke
TPA?’ Saya lebih suka diajarkan mama,” ujarnya.
Berangkat dari kedekatan mengajarkan anak-
anaknya membaca inilah, Atiek memberikan
metode pengajaran khusus untuk membuat anak
bisa cepat baca ABCD sampai koran. Pengalaman
ini pun kemudian selalu diceritakan kepada ibu-
ibu di Posdaya, bahwa pendampingan orang tua
sangat diperlukan dalam pembentukan karakter
anak di masa depan.
Pembinaan Posdaya untuk pendidikan anak
usia dini (PAUD) ini, dilakukan Atiek bersama
Tim kerjanya di Lembaga Pengembangan dan
Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas
Sarjanawiyata Taman Siswa, DIY di daerah
Gunung Kidul dan Kulonprogo. “Kami mencoba
untuk membuat anak-anak PAUD, berkembang
secara mandiri,” tukasnya.
Menciptakan nilai tambah
Di bidang peningkatan ekonomi masyarakat,
LPPM UST juga mengembangkan budidaya
jagung kualitas rendah hasil produksi petani Dra Siti Rochmiyati
menjadi susu jagung yang memiliki nilai tambah bersama Ketua
tersendiri. “Produksi jagung di Gunung Kidul, Yayasan Damandiri
kualitasnya jelek, sehingga nilai jualnya rendah, Prof Dr Haryono Suyono
karena hanya untuk pakan ternak. Oleh karena
(kiri) dan Ibu Hj Astuty
itu kami olah menjadi susu jagung. Ampas
jagungnya kita olah untuk pellet ikan, sehingga Hasinah Haryono (kedua
nilai tambahnya luar biasa,” cetus wanita dari kanan) serta Ibu
kelahiran Kebumen, 28 Oktober 1965 silam. Rohadi Haryanto (kedua
Selain budi daya jagung, LPPM UST juga dari kiri) saat
memanfaatkan ranting dan daun kering yang kunjungan kerja.
banyak berceceran di wilayah Gunung Kidul
dibuat arang briket. “Biasanya ranting dan daun
[FOTO: DOK]
kering di desa itu hanya dibakar lalu habis. Kita
manfaatkan bahan bakunya untuk arang briket,”
ungkapnya.
Menurutnya, pemberdayaan masyarakat itu
tergantung tiga hal. Pertama, komitmen peme-
rintah setempat. Kedua, peran LPPM sebagai
pelaksana dalam memberikan stimulant. Ketiga,
peran masyarakat. “Stimulan bukan berarti dana.
Tapi bagaimana merangsang masyarakat, mem-
beri arahan kepada mereka tentang pentingnya
Posdaya,” tukasnya.
Posdaya binaan LPPM UST yang telah di-
launching Ketua Yayasan Damandiri Prof Dr
Haryono Suyono dan Rektor UST pada 9 Agustus
2008 lalu itu, langsung mendapat apresiasi luar
biasa dari Bupati, Camat dan Lurah. Kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang dulunya terpi-
sah-pisah menjadi kian terpadu dengan adanya
Posdaya.
“Sebelumnya, Posyandu memang ada tapi
kegiatannya belum optimal, karena terpisah-
pisah. Kegiatan wirausaha juga sifatnya masih
Gemari Edisi 101/Tahun X/Juni 2009 21

individualistis. Sementara kita inginnya ber-
Atik Prihadi cukup mitra. Maksudnya, yang punya usaha meng-
serius kalau sudah gandeng mereka yang kurang mampu untuk
bekerja. kerja sama,” jelas Atiek.
Dari dua Posdaya yang dilaunching oleh Prof
Haryono Suyono itu, yaitu Posdaya Mekar Sari
[FOTO-FOTO: DOK FB]
di Karangmojo dan Posdaya Dahlia di Playen,
kini telah berkembang menjadi 54 Posdaya de-
ngan menerjunkan sejumlah mahasiswa dan
dosen. Dalam waktu yang relative singkat itu,
LPPM UST juga mendatangkan dosen tata boga
nya untuk mengolah susu jagung agar terasa
enak, segar, tanpa bahan pengawet.
“Karena Posdaya itu dalam rangka perbaikan
gizi, di kantin-kantin TK, SD kita arahkan supaya
tidak menggunakan bahan pengawet. Begitu
pula dengan susu jagung. Tidak perlu dengan
pengolahan teknologi tinggi, home industri de-
ngan tenaga konvensional sudah cukup mema-
dai di sini,” jelasnya.
Terkait dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN)
Tematik Posdaya di lingkungan perguruan tinggi
yang diusung Yayasan Damandiri, Atiek me-
nyambut baik ajakan itu dan yakin mahasis-
wanya mampu melakukan pengabdian serupa
ke masyarakat. “Selama ini mahasiswa kami
telah di terjunkan ke masyarakat dalam berbagai
situasi. Kami pernah mengadakan KKN Tematik
PAUD. Juga ketika Bantul terjadi gempa, kita
lakukan KKN Tematik Jogjaku Bangkit.
Guru profesi menyenangkan
Menjadi guru boleh jadi merupakan makanan
rohaninya. “Seringkali saya sakit tapi begitu ke
kampus ketemu mahasiswa, sembuh. Tapi begitu
pulang, sakit lagi, hehehe. Sehingga suami saya
sering bilang, kalau saya sering ngga enak badan,
ke kantor aja, nanti kan mama sembuh,” tuturnya
sambil tertawa renyah.
22 Gemari Edisi 101/Tahun X/Juni 2009
Padahal, ungkapnya, menjadi
guru awalnya adalah pemaksaan
orang tua. “Dari eyang sampai
saudara-saudara saya tidak ada
yang menjadi guru. Sebagai se-
orang pedagang, bapak saya ingin
salah satu dari enam anaknya
menjadi guru. Jadi sepertinya
sejak kecil saya sudah diarahkan
menjadi guru. Setamat SMP saya
pernah memohon, tolong perbo-
lehkan saya masuk SMA, insya
Allah nanti saya menjadi guru
juga. Almarhum bapak saya tetap
berkeras, kalau saya masuk SMA
pasti memilih universitas lain.
Tetapi kalau dari SMP memilih
SPG, tidak ada pilihan selain
masuk IKIP,” kenang anak kelima
dari enam bersaudara ini. Dari
hasil kepatuhannya pada pilihan orang tua, Atiek
dihadiahi motor oleh bapaknya.
Hadiah motor ternyata belum menumbuhkan
kesadaran akan betapa mulianya profesi seorang
guru. Selama sekolah di SPG sampai kuliah di
IKIP yang sekarang menjadi Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY), Atiek jarang mengikuti pe-
lajaran. Kecintaan menjadi guru tumbuh dengan
sendirinya ketika ditawari mengajar mata kuliah
umum (MKU) Bahasa Indonesia di sebuah
perguruan tinggi.
Setelah lulus kuliah, tawaran pekerjaan pun
berdatangan. Namun hanya satu yang dipilih-
nya, menjadi guru. “Ternyata menjadi guru itu
menyenangkan. Karena ada beberapa hal yang
menjadi terealisir dari prinsip-prinsip saya.
Kepada mahasiswa saya mengatakan, belajar
tidak harus mengenal waktu dan tempat. Kalau
tidak bisa sekolah di formal, bisa di non formal.
Dan yang namanya waktu tidak bisa pagi, siang,
maupun malam,” ujarnya.
Setelah menjalani profesi guru, Atiek selalu
menanamkan prinsip kepada anak didiknya,
jangan hanya menyampaikan apa yang bisa
diberikan, tetapi apa yang seharusnya bisa mere-
ka berikan kepada orang lain. “Jadi, ada sema-
ngat untuk belajar terus.”
Semangat untuk terus belajar ini juga menjadi
komitmen dalam menjalani biduk rumah tangga
yang dijalaninya bersama Prihadi. “Ketika me-
nikah, suami punya komitmen, saya boleh mene-
ruskan studi setinggi-tingginya setelah mendam-
pingi anak-anak tumbuh mandiri. Alhamdulillah,
anak-anak kami sekarang memiliki self control
yang terus dipupuk sejak dini. Sehingga saat ini
saya sudah diizinkan melanjutkan studi S2,” ujar
wanita yang sedang menyesaikan tesis S2-nya di
UNY, mengambil jurusan pasca sarjana penelitian
dan evaluasi pendidikan.  RW