You are on page 1of 140

TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI SARANA

PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH MENENGAH

KEJURUAN (SMK) NEGERI 5 SEMARANG

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

Giri Harto Wiratomo

NIM 3401403057

FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN

2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian

skripsi pada:

Hari : Kamis

Tanggal : 19 Juli 2007

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Makmuri Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si

NIP. 130675638 NIP. 131813668

Mengetahui,

Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

Drs. Slamet Sumarto, M.Pd

NIP. 131570070

iii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas

Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada:

Hari : Sabtu

Tanggal : 4 Agustus 2007

Penguji Skripsi

Drs. Suprayogi, M.Pd

NIP. 131474095

Anggota I Anggota II

Drs. Makmuri Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si

NIP. 130675638 NIP. 131813668

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial

Drs. Sunardi, M.M

NIP. 130367998

iv
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar – benar hasil

karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini

dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 19 Juli 2007

Peneliti

Giri Harto Wiratomo

NIM. 3401403057

v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya


yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”
(Al Baqarah:45)

Hidup hanya sekali jadikanlah lebih berarti bagi diri dengan hiasan
prestasi (Peneliti)

PERSEMBAHAN

Ayah dan Ibu,

Kakakku Lilian Maharani, S.Pd dan Anton

Sundargo, S.Pd

Adikku Kopral Taruna Pramudyo Wardani di

Akademi Militer Magelang

vi
PRAKATA

Segala rasa syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT Raab semesta

alam atas limpahan rahmat, hidayah serta karunia sehingga peneliti dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi dengan lancar dan tepat pada waktunya dengan

judul ”Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang”.

Penyusunan skripsi ini dilakukan adalah sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Pancasila

dan Kewarganegaraan Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu

Sosial Universitas Negeri Semarang. Peneliti menyadari bahwa dengan tanpa

adanya bantuan dari berbagai pihak penulisan skripsi ini tidak dapat terwujud.

Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Prof. DR. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri

Semarang.

2. Drs. Sunardi, M.M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Semarang.

3. Drs. Slamet Sumarto, M.Pd, Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan

kesempatan peneliti untuk berkarya dan menyelesaikan studi di Program

Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Hukum dan

Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

vii
4. Drs. Makmuri, Pembimbing Skripsi I yang dengan keikhlasan dan

ketelitian memberikan bimbingan baik berupa motivasi dan masukan bagi

penyusunan skripsi ini.

5. Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si, Pembimbing Skripsi II yang dengan

kesabaran membimbing dan mengarahkan peneliti baik saran dan petunjuk

dari awal hingga akhir guna penyusunan skripsi ini.

6. Drs. H. M. Saidi, Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang yang telah bersedia memberikan kemudahan dan perizinan

dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ayah dan Ibu yang selalu memelukku dalam ruang sandaran hati dan kasih

sayang yang tiada hentinya dengan segala dorongan motivasinya.

8. Teman – teman seperjuangan ”Almamater Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan Angkatan 2003”.

9. Semua pihak – pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu atas

bantuan yang diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung

untuk penyelesaian skripsi ini.

”Tak ada gading yang tak retak” serta sebagai insan biasa, peneliti

menyadari atas kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang

sifatnya membangun selalu peneliti harapkan demi perbaikan di masa depan.

Semoga peyusunan skripsi dapat memberikan manfaat khususnya bagi diri

peneliti dan pembaca pada umumnya. Amin

Semarang, 19 Juli 2007

Peneliti

viii
SARI

Giri Harto Wiratomo. 2007. Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan
Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. Jurusan
Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
125h.

Kata Kunci: Tata Tertib, Sarana, Pendidikan Moral


Kondisi akhir – akhir ini menunjukkan telah terjadi degradasi moral pada
kualitas personal bangsa Indonesia terutama generasi muda. Banyak faktor yang
mempengaruhi gejala – gejala degradasi moral tersebut. Permasalahan yang dikaji
dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah benar tertib sekolah berisi muatan sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?,
(2) Bagaimana pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?, (3) Bagaimana kendala
– kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?.
Dasar penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif. Ada 2 (dua) variabel yang
dikaji dalam penelitian ini, yaitu: (1) Tingkah laku siswa dalam implementasi tata
tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang, (2) Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang, dan
(3) Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah
sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap tata tertib
sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang tergolong tinggi. Pelanggaran tata tertib sekolah tersebut
meliputi tidak masuk tanpa keterangan (alpa), meninggalkan pelajaran tanpa izin,
baju tidak dimasukkan, mencorat – coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera
menempuh atau menyelesaikan remidi. Bentuk – bentuk pelanggaran tata tertib
sekolah bersifat ringan, sedang, dan berat. Faktor – faktor penyebab siswa
melanggar tata tertib sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang adalah faktor internal dan eksternal. Berdasarkan penelitian pendidikan
moral selain diajarkan melalui bentuk formal dalam mata pelajaran juga dapat
diberikan dalam bentuk informal melalui bentuk – bentuk lain seperti adanya tata
tertib sekolah. Pendidikan moral pada intinya adalah mengajarkan dan melatih
siswa terhadap kesadaran moral. Implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral adalah pada isi tata tertib sekolah (content), berperan sebagai
alat pencegah (preventif) dan sanksi yang mendidik. Perbedaannya hanya terletak
pada bentuk dan cara menggunakannya. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai
sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang menggunakan sistem credit poin. Kendala – kendala utama yang
dihadapi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang adalah
kurangnya konsistensi Guru dalam penegakan tata tertib sekolah. Upaya – upaya

ix
sekolah dalam penegakan tata tertib sekolah adalah secara preventif, kuratif atau
rehabilitatif dan represif.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi sekolah, orang tua
dan masyarakat. Kepala Sekolah hendaknya terus berkomitmen dan lebih intensif
mengadakan penegakan kedisiplinan siswa serta fasilitas pendukung dalam upaya
menekan tingkat pelanggaran siswa terhadap tata tertib sekolah. Guru hendaknya
terus melakukan kontrol terhadap pelanggaran tata tertib sekolah terutama
membina kedisiplinan siswa. Siswa hendaknya dengan penuh kesadaran diri untuk
mematuhi tata tertib sekolah. Orang tua hendaknya ikut serta melakukan
pembinaan moral anaknya agar patuh dan taat terhadap tata tertib sekolah.

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. ii

PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................... iii

PERNYATAAN ............................................................................................. iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v

PRAKATA ..................................................................................................... vi

SARI ............................................................................................................... viii

DAFTAR ISI .................................................................................................. x

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ...................................... 7

C. Perumusan Masalah ................................................................. 8

D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9

E. Kegunaan Penelitian ................................................................ 10

F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................. 11

BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 13

A. Tata Tertib Sekolah .................................................................. 13

B. Pendidikan Moral ..................................................................... 18

xi
C. Hubungan Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral ............ 35

D. Sarana Pendidikan Moral ......................................................... 40

E. Kerangka Berpikir.................................................................... 44

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 46

A. Dasar Penelitian ....................................................................... 46

B. Fokus Penelitian ....................................................................... 47

C. Sumber Data Penelitian ........................................................... 48

D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 50

E. Objektivitas dan Keabsahan Data ............................................ 54

F. Metode Analisis Data .............................................................. 57

G. Prosedur Penelitian .................................................................. 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 61

A. Hasil Penelitian ........................................................................ 61

1. Gambaran Umum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang ............................................................. 61

2. Keadaan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang ............................................................. 64

3. Keadaan Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang ............................................................. 65

4. Tingkat Kedisiplinan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK) Negeri 5 Semarang ................................................ 67

xii
5. Isi Tata Tertib Sekolah Kaitannya Dengan Pelaksanaan

Pendidikan Moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang ............................................................. 70

B. Pembahasan .............................................................................. 73

1. Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana

Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang ............................................................. 73

2. Kendala – Kendala Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah

Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.................................. 98

BAB V PENUTUP ...................................................................................... 105

A. Simpulan .................................................................................. 105

B. Saran ......................................................................................... 106

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

LAMPIRAN ...................................................................................................

xiii
DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 Jumlah Siswa SMK Negeri 5 Semarang ..................................... 65

2. Tabel 2 Data Guru Normatif/Adaptif SMK Negeri 5 Semarang ............ 66

3. Tabel 3 Data Guru Produktif SMK Negeri 5 Semarang .......................... 67

4. Tabel 4 Jenis Pelanggaran Tata Tertib Sekolah SMK Negeri 5

Semarang .................................................................................................. 69

5. Tabel 5 Perbandingan Penerapan Sistem Credit Poin ............................. 86

xiv
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1 Bagan components of good character .................................... 34

2. Gambar 2 Hubungan Moral, Etika dan Hukum ....................................... 37

3. Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir ........................................................ 44

4. Gambar 4 Bagan Metode Analisis Data ................................................... 59

5. Gambar 5 Pola Pembinaan Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah ................. 81

6. Gambar 6 Faktor – Faktor Mempengaruhi Moral Siswa ......................... 93

xv
DAFTAR LAMPIRAN

1. Instrumen Wawancara

2. Hasil Wawancara

3. Daftar Nama Responden

4. Foto – Foto Wawancara

5. Surat Penelitian

6. Tata Tertib Siswa

7. Jadwal Piket Pembinaan Ketertiban Guru dan Siswa Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

8. Analisis Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Komponen Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

9. Struktur Organisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

10. Pola Umum Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang

11. Daftar Nama Guru dan Karyawan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri

5 Semarang

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Merebaknya isu – isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan

obat – obat terlarang (narkoba), tawuran pelajar, pornografi dan lain – lain,

sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara

tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap

sebagai suatu persoalan sederhana, karena tindakan – tindakan tersebut sudah

menjurus kepada tindakan – tindakan yang bersifat kriminal.

Remaja merupakan usia atau tahap seorang siswa mencari jati diri

yang dilakukan melalui peniruan diri atau imitasi. Pergaulan remaja yang

tanpa arah dan pengawasan terhadap tingkah laku mereka akan mempunyai

kecenderungan mengarah pada pergaulan remaja yang negatif. Banyak

anggapan dari siswa selama ini bahwa tata tertib sekolah hanya membatasi

kebebasan mereka sehingga berakibat pelanggaran terhadap peraturan itu

sendiri. Tanpa disadari bahwa kebebasan yang kurang bertanggung jawab

akan merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Pendidikan moral kepada anak diawali saat mereka berada pada

lingkungan keluarga terutama orang tua melalui proses sosialisasi norma dan

aturan moral dalam keluarga sendiri serta lingkungan dekat pergaulan sosial

anak. Kemudian saat anak masuk ke sekolah mulai diperkenalkan dan

diajarkan sesuatu yang baru yang tidak diajarkan dalam keluarga. Sekolah,

1
2

sebagai tempat sosialisasi kedua setelah keluarga serta tempat anak ditatapkan

kepada kebiasaan dan cara hidup bersama yang lebih luas lingkupnya serta ada

kemungkinan berbeda dengan kebiasaan dan cara hidup dalam keluarganya,

sehingga berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran moral diri anak.

Penanaman kebiasaan bersikap dan berbuat baik atau sebaliknya bersikap dan

berbuat buruk, pada tahap awal pertumbuhannya, anak dapat sangat

dipengaruhi oleh lingkungan sekolah tempat ia belajar.

Subjek didik tidak begitu saja lahir sebagai pribadi bermoral atau

berakhlak mulia. Lingkungan sekolah merupakan lembaga pendidikan yang

dapat menunjang terjadinya rekonstruksi sosial ke arah masyarakat yang lebih

baik, dan mengemban misi membentuk watak yang baik dari anak bangsa.

Pembukaan UUD 1945 alinea keempat tentang tujuan negara Indonesia

menyatakan dengan jelas “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu

Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ”.

Pada aspek tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam pasal 3

Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang

demokratis serta bertanggung jawab. Mencerdaskan kehidupan bangsa


3

merupakan lingkup filosofis serta yuridis arti pendidikan yang melandasi

pendidikan di Indonesia. Pandangan Ki Hajar Dewantara (Munib, 2004:32)

menyatakan bahwa: ”pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk

memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran

(intelek), dan tubuh anak”.

Berkaitan dengan Pendidikan, Tilaar dalam Mulyasa (2002)

mengemukakan bahwa Pendidikan Nasional dewasa ini sedikitnya ada tujuh

masalah pokok Sistem Pendidikan Nasional:

1. Menurunnya akhlak peserta didik;


2. Pemerataan kesempatan belajar;
3. Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan;
4. Terjadinya degradasi moral peserta didik;
5. Status kelembagaan;
6. Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan
nasional;
7. Sumber daya yang belum profesional.

Pendidikan harus dipahami sebagai bagian dari proses pembudayaan

subjek didik sehingga bukan hanya pengalihan dan penguasaan ilmu

pengetahuan serta pelatihan serta penguasaan keterampilan – keterampilan

teknis tertentu, namun juga perlu dipahami sebagai penumbuhan dan

pengembangan subjek didik menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan

beradab. Tujuan menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan beradab adalah

mewujudkan personal yang tidak hanya cerdas dalam segi kognitif akan tetapi

mampu mengembangkan dan menanamkan kemampuan tertinggi dalam

mengaktualisasikan budaya yang dimiliki suatu bangsa agar tidak kehilangan

jati diri sebagai suatu bangsa akibat tergerus oleh perubahan zaman.
4

Pada saat remaja inilah masa anak berhadapan dengan cara

bertindak dan cara bernalar berbeda dengan apa yang selama ini sudah

menjadi kebiasaannya, anak mulai ditantang untuk memilih dan mengambil

keputusan sendiri, entah ia akan meneruskan kebiasaan yang selama ini telah

ditanamkan dalam keluarganya atau mengambil jarak terhadapnya dan lebih

menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di sekolah. Kondisi saat ini

adalah ketika anak berada pada masa memulai pilihan dirinya akan

pendewasaan diri dari masa anak – anak ke masa dewasa.

Meski tugas dan tanggung jawab utama untuk melakukan

pendidikan moral terhadap anak terletak di pundak orang tua dalam

lingkungan keluarga tempat anak itu lahir dan dibesarkan, namun itu tidak

berarti sekolah tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan

pendidikan moral khususnya pada tahap pendidikan dasar dan menengah,

tempat remaja masih dalam proses pembiasaan diri mengenal dan mematuhi

aturan hidup bersama yang berlaku dalam masyarakatnya, berlatih displin,

berbuat baik dan mengalami proses pembentukan identitas diri moral mereka,

pendidikan moral perlu secara khusus mendapat perhatian para Guru dan

pendidik di sekolah.

Di sekolah banyak sekali ditemui komponen yang bisa menjadi

sarana dari pendidikan moral. Salah satu komponen sekolah yang menjadi

sarana pendidikan moral tersebut adalah tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah

sebagai bentuk peraturan dalam tingkatan hierarki terendah tata perundang –

undangan memuat adanya aspek pendidikan moral dan rule of law. Peraturan
5

yang dibuat tidak hanya legal formal akan tetapi menuntut adanya penerapan

moral di dalamnya. Hubungan tersebut erat kaitannya dengan hakikat dan isi

dari pembuatan peraturan. Internalisasi nilai – nilai moral kepada subjek didik

diperlukan upaya yang optimal dalam rangka menegakkan tata tertib sehingga

pelaksanaan tidak hanya bersifat rule of law saja akan tetapi didasari oleh

esensi adanya pendidikan moral.

Dari hasil pengamatan awal lapangan di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang oleh peneliti, diketahui kasus atau

pelanggaran terhadap tata tertib sekolah masih sering dilakukan siswa. Pada

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang khususnya, diketahui

pula pada periode tahun pelajaran 2003/2004 terjadi sebanyak 162 kasus atau

pelanggaran kemudian tahun pelajaran 2004/2005 meningkat sebanyak 430

kasus atau pelanggaran dan pada tahun pelajaran 2005/2006 sebanyak 209

kasus atau pelanggaran yang meliputi antara lain tidak masuk tanpa

keterangan (alpa), meninggalkan pelajaran tanpa izin, baju tidak dimasukkan,

mencorat – coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera menempuh atau

menyelesaikan remidi dan lain – lain. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa

masih cukup tinggi.

Pelanggaran terhadap tata tertib sekolah menunjukkan siswa kurang

patuh terhadap peraturan sekolah. Berbagai upaya yang telah dilaksanakan di

sekolah sering kurang dihargai dan diperhatikan oleh siswa. Sekolah

memegang peran yang sangat penting dalam menanamkan dan menumbuhkan


6

aspek pendidikan moral. Kasus atau pelanggaran tata tertib sekolah tersebut

terkait dengan karakteristik siswa seperti perbedaan – perbedaan yang dimiliki

setiap individu yang dipengaruhi oleh sikap, minat, keinsyafan, pengetahuan

dan faktor lain yang mempengaruhinya. Kepatuhan terhadap tata tertib

sekolah adalah sebuah kesiapan yang harus ditanamkan kepada siswa di

sekolah agar mempunyai sikap dan perbuatan sesuai dengan norma – norma

yang berlaku di masyarakat. Seseorang akan patuh atau sadar dalam mematuhi

peraturan atau hukum berkaitan pula dengan faktor peraturan atau hukum itu

sendiri.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas peneliti memilih Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang sebagai objek yang akan

diteliti karena: (1) Kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah yang

masih tinggi terutama sebagai penerapan konsep pendidikan moral, (2) Aspek

pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan kurang diperhatikan karena

dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digabung dengan Sejarah

sehingga kurang optimal, (3) Sekolah Menengah Kejuruan mempersiapkan

siswa untuk siap bekerja di masyarakat sehingga diperlukan nilai – nilai moral

dalam bekerja dan letak sekolah yang strategis mudah dijangkau peneliti serta

dapat memudahkan peneliti untuk memperoleh data – data dalam melakukan

penelitian.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin mengetahui

tentang pelaksanaan dan kendala – kendala yang dihadapi Guru serta sekolah

dalam menerapkan peraturan sebagai implementasi atau penerapan


7

konseptualisasi pendidikan moral di sekolah maka peneliti mengambil judul

penelitian: “ TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI SARANA

PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)

NEGERI 5 SEMARANG ”.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Pada lingkup tahap siswa merupakan masa yang penuh gejolak.

Siswa adalah bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari sekolah.

Perubahan sosial yang begitu cepat, kemudahan akses teknologi yang

sedemikian maju, perbenturan antara nilai lokal dan nilai global

menyebabkan kondisi dan situasi yang sangat rawan terhadap

pembentukan serta perkembangan moral siswa yang baik.

Pendidikan adalah upaya untuk mendewasakan manusia yang

memiliki identitas sebagai manusia sebenarnya. Penyimpangan tingkah

laku siswa mencerminkan adanya kesenjangan antara harapan dan

kenyataan. Menemukan pendekatan dan strategi itulah diperlukan suatu

penelitian yang memadai sehingga dapat memberikan bahan pertimbangan

yang diperlukan seperti masih adanya hal – hal yang berkaitan dengan tata

tertib sekolah yang belum tertangani dengan baik, harus ada paparan

tentang sistem pengelolaan tata tertib sekolah yang dijadikan rujukan guna

penanganan masalah – masalah ketertiban.


8

Ketertiban sekolah sering dijadikan indikasi keberhasilan

pembinaan mental dan tingkah laku siswa, latar belakang sosial keluarga

dan lingkungan banyak memberikan pengaruh terhadap ketaatan

melaksanakan tata tertib sekolah. Ketaatan dalam melaksanakan tata tertib

sekolah juga akan menumbuhkan dampak nuansa yang mendukung

pembelajaran yang lebih optimal pada diri siswa dan pihak sekolah.

2. Pembatasan Masalah

Berkaitan dengan luasnya permasalahan serta agar tidak terjadi

kesalahpahaman dalam menanggapi isi atau uraian dalam lingkup

pembahasan ini, maka berikut ini akan dijelaskan beberapa fokus utama

dan indikator yang disajikan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Hal – hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tata tertib sekolah

sebagai media dalam maksud atau tujuan mencapai pendidikan

moral.

2. Tata tertib sekolah dalam penelitian ini dibatasi pada tata tertib

yang berlaku bagi siswa.

3. Tata tertib sekolah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

sejumlah aturan yang ditetapkan sekolah yang harus dipatuhi oleh

siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.

C. Perumusan Masalah

Kenyataan di sekolah masih ditemui banyak kasus atau pelanggaran

terhadap tata tertib sekolah. Kenyataan tersebut menimbulkan berbagai


9

persoalan dan permasalahan mengenai pelaksanaan pendidikan moral. Sesuai

dengan pembatasan masalah diatas maka penelitian ini mengambil rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Apakah benar tata tertib sekolah berisi muatan sarana pendidikan

moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?

2. Bagaimana pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan

moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?

3. Bagaimana kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata

tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini

mempunyai tujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui implementasi konsep tata tertib sekolah sebagai

sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana

pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang.

3. Untuk mengetahui kendala – kendala yang dihadapi sekolah terutama

terhadap tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.


10

E. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini dapat dipergunakan untuk menambah khasanah

pengembangan pustaka ilmu pengetahuan secara umum dan secara khusus

pada kajian lingkup pendidikan moral serta dapat digunakan sebagai

referensi bagi yang akan melakukan penelitian sejenis. Oleh karena itu,

hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

kajian – kajian dan teori – teori yang berkaitan dengan persoalan tersebut.

2. Kegunaan Praktis

b Bagi Guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

masukan yang berharga dalam upaya meningkatkan pendidikan moral

terutama di sekolah.

c Bagi Siswa, sebagai motivasi untuk meningkatkan sikap dan tingkah

lakunya dalam mematuhi tata tertib yang dibuat oleh sekolah.

d Bagi Orang tua, sebagai bahan pertimbangan untuk lebih

meningkatkan kualitas dalam mendidik dan memupuk pendidikan

moral khususnya di lingkungan keluarga.

e Bagi Sekolah, diharapkan dapat memberikan masukan yang

digunakan untuk melaksanakan tata tertib sebagai sarana pendidikan

moral di sekolah dan menerapkan kebijakan – kebijakan sekolah

dalam rangka meningkatkan pendidikan moral khususnya kepada

siswa.
11

F. Sistematika Penelitian Skripsi

Sistematika skripsi adalah pokok persoalan yang akan disajikan

dalam bab – bab yang terangkum dalam suatu skripsi. Adapun sistematika

skripsi yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagian Pendahuluan skripsi, terdiri atas: (a) Halaman Judul, (b) Abstrak,

(c) Halaman Persetujuan, (d) Halaman Pengesahan, (e) Halaman Motto

dan Persembahan, (f) Prakata, (g) Daftar Isi, (h) Daftar Gambar / Foto, (i)

Daftar Lampiran.

2. Bagian Inti skripsi terdiri atas

Bab I Pendahuluan berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan

Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan

Penelitian dan Sistematika Penelitian Skripsi.

Bab II Landasan Teori berisi bab yang menguraikan tentang Pengertian

Tata Tertib Sekolah, Tujuan Tata Tertib Sekolah, Isi Tata Tertib Sekolah,

Tipe – Tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Tata Tertib Sekolah, Nilai dan

Moral, Batasan Moral, Pengertian Pendidikan Moral, Tujuan Pendidikan

Moral, Prinsip – Prinsip Pendidikan Moral, Tahap – Tahap

Perkembangan Moral Manusia, Hubungan Antara Tata Tertib Sekolah dan

Pendidikan Moral, Sarana Pendidikan Moral.

Bab III Metode Penelitian merupakan bab yang berisi Dasar Penelitian,

Fokus Penelitian, Sumber Data Penelitian, Alat dan Teknik Pengumpulan

Data, Objektivitas dan Keabsahan Data, Metode Analisis Data dan

Prosedur Penelitian.
12

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan menguraikan tentang Hasil

Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian.

Bab V Penutup berisi Simpulan dan Saran.

3. Bagian Akhir skripsi berisi Daftar Pustaka, Lampiran – lampiran.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tata Tertib Sekolah

1. Pengertian Tata Tertib Sekolah

(Mulyono, 2000:14) tata tertib adalah kumpulan aturan – aturan

yang dibuat secara tertulis dan mengikat anggota masyarakat. (Dekdikbud,

1989:37) tata tertib sekolah adalah aturan atau peraturan yang baik dan

merupakan hasil pelaksanaan yang konsisten (tatap azas) dari peraturan

yang ada.

Aturan – aturan ketertiban dalam keteraturan terhadap tata tertib

sekolah, meliputi kewajiban, keharusan dan larangan – larangan. Tata

tertib sekolah merupakan patokan atau standar untuk hal – hal tertentu.

Sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan

Menengah Nomor 158/C/Kep/T.81 Tanggal 24 September 1981 (Tim

Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:145)

ketertiban berarti kondisi dinamis yang menimbulkan keserasian,

keselarasan dan keseimbangan dalam tata hidup bersama makhluk Tuhan

Yang Maha Esa. Ketertiban sekolah tersebut dituangkan dalam sebuah tata

tertib sekolah.

(Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang,

1989:146) mengartikan tata tertib sekolah: sebagai kesediaan mematuhi

ketentuan berupa peraturan – peraturan tentang kehidupan sekolah sehari –

13
14

hari. Tata tertib sekolah disusun secara operasional guna mengatur tingkah

laku dan sikap hidup siswa, Guru dan karyawan administrasi.

Secara umum tata tertib sekolah dapat diartikan sebagai ikatan

atau aturan yang harus dipatuhi setiap warga sekolah tempat

berlangsungnya proses belajar mengajar. Pelaksanaan tata tertib sekolah

akan dapat berjalan dengan baik jika Guru, aparat sekolah dan siswa telah

saling mendukung terhadap tata tertib sekolah itu sendiri, kurangnya

dukungan dari siswa akan mengakibatkan kurang berartinya tata tertib

sekolah yang diterapkan di sekolah.

Peraturan sekolah yang berupa tata tertib sekolah merupakan

kumpulan aturan – aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat di

lingkungan sekolah. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tata

tertib sekolah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu

dengan yang lain sebagai aturan yang berlaku di sekolah agar proses

pendidikan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.

2. Tujuan Tata Tertib Sekolah

Secara umum dibuatnya tata tertib sekolah mempunyai tujuan

utama agar semua warga sekolah mengetahui apa tugas, hak dan

kewajiban serta melaksanakan dengan baik sehingga kegiatan sekolah

dapat berjalan dengan lancar. Prinsip tata tertib sekolah adalah diharuskan,

dianjurkan dan ada yang tidak boleh dilakukan dalam pergaulan di

lingkungan sekolah.
15

Tata tertib sekolah harus ada sanksi atau hukuman bagi yang

melanggarnya. Menjatuhkan hukuman sebagai jalan keluar terakhir, harus

dipertimbangkan perkembangan siswa. Sehingga perkembangan jiwa

siswa tidak dan jangan sampai dirugikan. Tata tertib sekolah dibuat dengan

tujuan sebagai berikut:

a Agar siswa mengetahui tugas, hak dan kewajibannya.

b Agar siswa mengetahui hal – hal yang diperbolehkan dan

kreatifitas meningkat serta terhindar dari masalah – masalah

yang dapat menyulitkan dirinya.

c Agar siswa mengetahui dan melaksanakan dengan baik dan

sungguh – sungguh seluruh kegiatan yang telah diprogramkan

oleh sekolah baik intrakurikuler maupun ektrakurikuler.

3. Isi Tata Tertib Sekolah

Tata tertib sekolah sebagaimana tercantum di dalam Instruksi

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14/4/1974 Tanggal 1 Mei

1974 (Nawawi, 1986:161) mencakup aspek – aspek sebagai berikut:

a. Tugas dan kewajiban.


1). Dalam kegiatan intra kurikuler.
2). Dalam kegiatam ekstra kurikuler.
b. Larangan – larangan bagi para siswa.
c. Sanksi – sanksi bagi siswa.

Tata tertib sekolah termasuk dalam administrasi ko – kurikulum

yaitu merupakan kegiatan – kegiatan yang diselenggarakan di sekolah

untuk menunjang dan meningkatkan daya dan hasil guna kegiatan


16

kurikulum. (Arikunto, 1990:123) berpendapat batasan antara peraturan dan

tata tertib sekolah sebagai berikut:

a Peraturan menunjuk pada patokan atau standar yang sifatnya


umum yang harus dipenuhi oleh siswa. Misalnya peraturan tentang
kondisi yang harus dipenuhi oleh siswa di dalam kelas pada waktu
pelajaran sedang berlangsung.
b Tata tertib sekolah menunjuk pada patokan atau standar yang
sifatnya khusus yang harus dipenuhi oleh siswa. Tata tertib sekolah
menunjuk pada patokan atau standar untuk aktifitas khusus, seperti
penggunaan pakaian seragam, penggunaan laboratorium, mengikuti
upacara bendera, mengerjakan tugas rumah, pembayaran SPP dan
sebagainya.

Tata tertib sekolah bukan hanya sekedar kelengkapan dari

sekolah, tetapi merupakan kebutuhan yang harus mendapat perhatian dari

semua pihak yang terkait, terutama dari pelajar atau siswa itu sendiri.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka sekolah pada umumnya menyusun

pedoman tata tertib sekolah bagi semua pihak yang terkait baik Guru,

tenaga administrasi maupun siswa. Isi tata tertib sekolah secara garis besar

adalah berupa tugas dan kewajiban siswa yang harus dilaksanakan,

larangan dan sanksi.

Pada hakikatnya tata tertib sekolah baik yang berlaku umum

maupun khusus meliputi tiga unsur (Arikunto, 1990:123 – 124) yaitu:

a Perbuatan atau tingkah laku yang diharuskan dan yang


dilarang;
b Akibat atau sanksi yang menjadi tanggung jawab pelaku atau
pelanggar peraturan;
c Cara atau prosedur untuk menyampaikan peraturan kepada
subjek yang dikenai tata tertib sekolah tersebut.

4. Tipe – Tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Tata Tertib Sekolah


17

Graham (Sanjaya, 2006:272 – 273) melihat empat faktor yang

merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:

a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma – norma hukum.

Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga

bentuk, yaitu, (1) Kepatuhan terhadap nilai atau norma itu sendiri;

(2) Kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri;

(3) Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari

peraturan itu.

b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan

pertimbangan – pertimbangan yang rasional.

c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar

basa basi.

d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap

individu tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat

normativist, sebab kepatuhan semacam ini adalah kepatuhan didasari

kesadaran akan nilai, tanpa memedulikan apakah tingkah laku itu

menguntungkan untuk dirinya atau tidak.

Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat

faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan:

a. Otoritarian. Suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang

ikut – ikutan.
18

b. Conformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1)

conformist directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau

orang lain; (2) conformist hedonist, yakni kepatuhan yang

berorientasi pada “untung – rugi”, dan (3) conformist integral,

adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri

dengan kepentingan masyarakat.

c. Compulsive deviant. Kepatuhan yang tidak konsisten.

d. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa

memperhitungkan kepentingan orang lain.

e. Supramoralist. Kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap

nilai – nilai moral.

B. Pendidikan Moral

1. Nilai dan Moral

Nilai merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia. Karena

itu maka nilai diungkapkan dalam bentuk norma dan norma ini mengatur

tingkah laku manusia. Pengertian nilai adalah (Daroeso, 1986:20):

Nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau


hal, yang dapat dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu atau
hal itu menyenangkan (pleasant), memuaskan (satifying), menarik
(interest), berguna (usefull), menguntungkan (profitable), atau merupakan
suatu sistem keyakinan (belief)

Di antara beberapa macam nilai, ada nilai etik. Nilai etik atau nilai

yang bersifat susila, memberi kualitas perbuatan manusia yang bersifat

susila, sifatnya universal tidak tergantung waktu, ruang dan keadaan. Nilai
19

etik tersebut diwujudkan dalam norma moral. Norma moral merupakan

landasan perbuatan manusia, yang sifatnya tergantung pada tempat, waktu

dan keadaan. Sehingga norma moral itu dapat berubah – ubah sesuai

dengan waktu, tempat dan keadaannya.

Pelaksanaan norma moral yang merupakan perwujudan dari nilai

etik itu, tergantung pada manusianya. Penilaian moral dari perbuatan

manusia ini meliputi semua penghidupan, dalam hal ini hubungan manusia

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri sendiri, terhadap

masyarakat maupun terhadap alam. Perbuatan manusia dinilai secara

moral bilamana perbuatan itu didasarkan pada kesadaran moral.

Adanya nilai – nilai yang merupakn rangsangan (stimulus) diterima

oleh pancaindera, menimbulkan suatu proses dalam diri individu yang

dapat berupa suatu kebutuhan, motif, perasaan, perhatian dan pengambilan

keputusan. Perbuatan susila adalah merupakan wujud dari norma moral

dan norma moral merupakan ungkapan dari nilai etis (Daroeso, 1986:28).

Karena itulah nilai etis menjadi pedoman tingkah laku dan perbuatan

manusia dalam kehidupan sehari – hari. Nilai etis bersifat normatif dan

tingkah laku perbuatan manusia mengarah kepadanya.

2. Batasan Moral

Moral berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan: ajaran kesusilaan.

Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan (Salam, 2000:80). Driyakara

mengatakan bahwa “moral atau kesusilaan” adalah nilai yang sebenarnya

bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah


20

kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat

manusia (Daroeso, 1986:22).

Huky (Daroeso, 1986:22) mengatakan: kita dapat memahami

moral dengan tiga cara:

a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan


diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk
mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
dalam lingkungannya.
b. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup,
dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok
manusia di dalam lingkungan tertentu.
c. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik
berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.

Pengertian lain tentang moral berasal dari P. J. Bouman yang

mengatakan bahwa ”moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku

manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu – individu di

dalam pergaulan”. Dari beberapa pengertian moral, dapat dilihat bahwa

moral memegang peran penting dalam kehidupan manusia yang

berhubungan dengan baik buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah

laku ini mendasarkan diri pada norma – norma yang berlaku dalam

masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut

bertingkah laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam

masyarakat.

Seorang individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah – kaidah

yang berlaku dalam masyarakatnya disebut baik secara moral, dan jika

sebaliknya, ia disebut jelek secara moral (immoral). Dengan demikian

moral selalu berhubungan dengan nilai – nilai. Ciri khas yang menandai
21

nilai moral yaitu tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara

mau dan tahu; dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai

pribadi (person) manusia dan masyarakat Indonesia (Salam, 2000:74).

Dengan demikian, moral adalah keseluruhan norma yang

mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan

perbuatan yang baik dan benar. Objek moral adalah tingkah laku manusia,

perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individual maupun

secara kelompok (Daroeso, 1986:26). Dalam melaksanakan perbuatan

tersebut manusia didorong oleh tiga unsur, yaitu:

a. Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan


pada manusia untuk melakukan perbuatan.
b. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan
perbuatan dalam segala situasi dan kondisi.
c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah
yang memberikan corak dan warna perbuatan tersebut.

3. Pengertian Pendidikan Moral

Pendidikan moral adalah upaya dari orang dewasa dalam

membentuk tingkah laku yang baik, yaitu tingkah laku yang sesuai dengan

harapan masyarakat yang dilakukan secara sadar. (Daryono, 1998:13)

mengemukakan bahwa: ”Pendidikan moral adalah merupakan suatu usaha

sadar untuk menanamkan nilai – nilai moral pada anak didik sehingga

anak bisa bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai – nilai moral

tersebut”.

Dewey (Daroeso, 1986:32) menyatakan pendidikan moral

seperti pendidikan intelektual mempunyai basis pada berfikir aktif

mengenai masalah – masalah moral dan keputusan – keputusan


22

selanjutnya ia mengatakan tujuan pendidikan adalah pertumbuhan atau

perkembangan moral dan intelektual.

Sementara itu (Sudarminta, 004:108) menyatakan bahwa

pendidikan moral pada umumnya, baik di dalam keluarga maupun di

sekolah, sebagai bagian pendidikan nilai, adalah upaya untuk membantu

subjek didik mengenal, menyadari pentingnya, dan menghayati nilai –

nilai moral yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan tingkah

lakunya sebagai manusia, baik secara perorangan maupun bersama – sama

dalam suatu masyarakat. (Daroeso, 1986:45), berpendapat tentang

pendidikan moral bahwa: “pendidikan moral adalah pendidikan yang

menyangkut aspek dari pada watak seseorang yang sama pendidikannya,

watak itu tidak baru dimulai pada saat ia masuk sekolah”.

Pendidikan moral dapat dirumuskan sebagai: suatu proses yang

disengaja di mana para warga muda dari masyarakat dibantu supaya

berkembang dari orientasi yang berpusat pada diri sendiri mengenai hak –

hak dan kewajiban mereka, ke arah pandangan yang lebih luas, yaitu

bahwa dirinya berada dalam masyarakat dan ke arah pandangan yang lebih

mendalam mengenai diri sendiri (Salam, 2000:76).

Kehidupan manusia memang mempunyai otonomi, tetapi

manusia tidak bebas sepenuhnya. Kehidupan manusia terkait oleh

ketentuan – ketentuan yang ada dalam masyarakat. Ketentuan – ketentuan

itu menurut Daroeso (1986:23) sebagai berikut:

1. ketentuan agama yang berdasarkan wahyu.


23

2. ketentuan kodrat yang terutama dalam diri manusia, termasuk


didalamya ketentuan moral universal yaitu moral yang seharusnya.
3. ketentuan adat istiadat buatan manusia termasuk didalamnya
ketentuan moral yang sedang berlaku pada suatu waktu.
4. ketentuan hukum buatan manusia, baik berbentuk adat istiadat
atau hukum negara.

Diungkapkan oleh Magnis (Daroeso, 1986:27) bahwa:

berkesadaran moral tidak lain adalah merasa wajib untuk melakukan

tindakan yang bermoral. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan

tindakan yang bermoral itu ada dan terjadi di dalam hati sanubari manusia,

siapapun, dimanapun dan kapanpun juga.

Kohlberg seorang pakar Perkembangan Moral secara Kognitif

(Cognitive Moral Development) memandang pendidikan moral adalah

pendidikan mengenai prinsip – prinsip umum tentang moralitas dengan

menggunakan metode pertimbangan moral atau cara – cara memberi

pertimbangan moral. Prinsip – prinsip moralitas adalah prinsip mengenai

pilihan. Kohlberg melihat pendidikan moral adalah kegiatan untuk

membantu peserta didik menuju kearah yang sesuai dengan kesiapan

mereka, dan tidak memaksakan pola – pola eksternal terhadapnya. Dalam

pendidikan moral senantiasa melibatkan stimulasi perkembangan melalui

tahap – tahap, dan tidak sekedar mengajarkan kebenaran – kebenaran yang

sudah baku. Secara umum pendidikan moral berkenaan dengan aturan –

aturan (moral rules), sikap – sikap (behavior), dan tingkah laku (action).

Pandangan Wilson tentang esensi dari pendidikan moral adalah

menanamkan pilihan – pilihan yang benar dan klarifikasi akan perasaan

dan disposisi tersebut. Pendidikan moral umumnya lebih menunjuk kepada


24

pengembangan konsepsi keadilan yang begitu dipengaruhi oleh pemikiran

– pemikiran Kant (Haricahyono, 1995:210) moralitas mencakup makna

yang begitu luas, antara lain:

a Tingkah laku membantu orang lain;


b Tingkah laku yang sesuai dengan norma – norma sosial;
c Internaliasasi norma – norma sosial;
d Timbulnya empati atau rasa salah, atau bahkan keduanya;
e Penalaran tentang keadilan, dan
f Memperhatikan kepentingan orang lain.

4. Tujuan Pendidikan Moral

Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia

dengan aturan – aturan yang mengenai perbuatan – perbuatan manusia itu

(Salam, 2000:9). Tujuan secara khusus pendidikan moral: untuk

berkembangnya siswa dalam penalaran moral (moral reasioning) dan

melaksanakan nilai – nilai moral (Salam, 2000:77).

Pandangan Salam (2000: 80) tentang tujuan pendidikan moral

adalah:

membimbing para generasi muda untuk memahami dan menghayati


Pancasila secara keseluruhan dan setiap sila. Tujuan akhirnya adalah
agar dapat menumbuhkan manusia – manusia pembangunan yang
dapat membangun dirinya sendiri serta bersama – bersama
bertanggungjawab atas pembangunan

Ditambahkan bahwa tujuan pendidikan moral adalah: (1)

Meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2)

Meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dan mempertinggi budi

pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan.

Tujuan utama pendidikan moral adalah untuk meningkatkan

kapasitas berpikir secara moral dan mengambil keputusan moral.


25

mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan moral ditekankan pada metode

pertimbangan moral dan untuk membantu anak – anak untuk mengenal

apa yang menjadi dasar untuk menerima suatu nilai. Selain itu tujuan

pendidikan moral adalah untuk mengusahakan perkembangan yang

optimal bagi setiap individu. Lickona (Koyan, 2000:85) mengemukakan

tentang dua tujuan utama pendidikan moral, yaitu kebijakan dan kebaikan.

Selain itu sebagai intrakulikuler dalam mata pelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tujuan pendidikan moral (Daryono,

1998:31) yaitu:

meneruskan dan mengembangkan jiwa semangat dan nilai – nilai


yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 kepada generasi
muda, dengan menekankan ranah sikap dan nilai – nilai yang
mendorong semangat, merangsang ilham, dan menyeimbangkan
kepribadian peserta didik

Tujuan Pendidikan moral perlu diefektifkan, karena adanya

kecenderungan remaja bertingkah laku menyimpang. Membangun

manusia seutuhnya adalah masalah dan tugas pendidikan di lingkungan

keluarga, sekolah, lingkungan manusia seutuhnya adalah tugas untuk

membantu manusia dalam perkembangannya menjadi manusia insan

kamil/manusia yang sempurna, manusia yang sehat jasmani dan rohani,

manusia yang seimbang dalam perkembangannya sebagai insan sosial

yang adil (Daroeso, 1986:43). Adapun pendidikan moral memiliki tujuan

dan sasaran sebagai berikut:

1. Perkembangan anak seutuhnya;


2. Membina warga negara yang bertanggung jawab;
3. Mengembangkan rasa hormat menghormati martabat individu dan
kesucian hak asasi manusia;
26

4. Menanamkan patriotisme dan integrasi nasional;


5. Mengembangkan cara hidup dan berpikir demokratis;
6. Mengembangkan toleransi, mengerti perbedaan;
7. Mengembangkan persaudaraan;
8. Mendorong tumbuhnya iman;
9. Menanamkan prinsip moral.

5. Prinsip – Prinsip Pendidikan Moral

Pendidikan moral memang menanamkan prinsip moral yang

lazim disebut sosialisasi moral. Mengenai prinsip – prinsip moral,

Durkheim menjelaskan sebagai berikut : (1) Pada dasarnya tidak ada

seperangkat prinsip – prinsip moral dalam artian serangkaian pernyataan

apriori dapat dianggap universal dan menentukan kehidupan moral semua

makhluk manusia. (2) Pernyataan tentang prinsip – prinsip moral tidak

berakar dalam naluri individualistik, akan tetapi lebih berakar dalam

masyarakat beserta sifat – sifat sosial manusianya, yang sekaligus

merupakan prinsip utama yang dibenarkan dalam eksistensi manusia. (3)

Moralitas adalah suatu sistem aturan tingkah laku tertentu merefleksikan

realitas moral dari masyarakat tertentu dimana aturan – aturan tersebut

disertai dengan otoritas dan sanksi berdasarkan kepentingan masyarakat

yang bersangkutan (Haricahyono, 1995:96 – 102). Dengan demikian,

dalam pendidikan moral, prinsip – prinsip moral itu adalah subjek dan

sekaligus konteks yang esensial bagi pendidikan moral.

Keller dan Reuss (Haricahyono, 1995:207) menegaskan adanya

empat prinsip yang mendasari moral, yang tidak harus berkaitan satu sama

lain antara lain;


27

a Prinsip justifikasi, yang mengimplikasikan adanya kepentingan

untuk menjustifikasi perbagai tindakan yang menarik perhatian

kita;

b Prinsip kejujuran, yang menjamin keseimbangan secara adil dalam

mendistribusikan perbagai usaha dan pengorbanan;

c Prinsip konsekuensi, yang mengandung implikasi bahwa setiap

orang harus mengatasi konsekuensi dari tindakan atau pun

kelalaiannya;

d Prinsip universalitas, yang berimplikasi adanya konsistensi dalam

pertimbangan dan kehendak untuk mengambil peranan dari pribadi

– pribadi yang menarik.

Dalam pendidikan moral, mengajarkan proses penalaran moral

semata – mata, akan tetapi harus diarahkan kepada pensosialisasian

individu secara moral agar bisa bertindak dengan cara – cara tertentu

sesuai dengan norma – norma yang berlaku dalam masyarakat.

Durkheim (Haricahyono, 1995:337) memandang pendidikan

moral berkaitan dengan sosialisasi moral, sementara penalaran dianggap

mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam proses penting tersebut.

Prinsip moral menginginkan agar manusia atau personal individu

bertanggungjawab terhadap antara lain:

a. Pengembangan personal yang diinginkan;


b. Pengembangan atribut – atribut sosial (nilai – nilai yang dijunjung
tinggi);
c. Memperoleh prinsip moral sebagai bahan membuat pertimbangan
dan putusan moral;
d. Menemukan hakikat hidup.
28

Supaya menjadi bermoral, maka harus menghargai disiplin,

menempatkan diri dalam kelompok masyarakat, dan mengetahui alasan

tertentu akan tingkah lakunya secara otonom. Dengan demikian akan

tampak, bahwa pribadi yang terdidik secara moral akan bertindak sesuai

dengan iklim dan budaya masyarakat.

6. Tahap –Tahap Perkembangan Moral Manusia

Tahap – tahap perkembangan moral manusia ditinjau melalui pendekatan

kognitif Piaget dalam Haricahyono (1995) adalah terkait dengan aspek

mental dan kognitif. Tentang tahap perkembangan moral sendiri, Piaget

mengemukakan adanya dua tahap yang harus dilewati setiap individu.

Yang pertama disebut tahap Heteronomous atau Realisme

Moral. Dalam tahap ini anak cenderung menerima begitu saja aturan –

aturan yang diberikan oleh orang – orang yang dianggap kompeten untuk

itu; Tahap yang kedua disebut Autonomous Morality atau Independensi

Moral. Dalam tahap ini anak sudah mempunyai pemikiran akan perlunya

memodifikasi aturan – aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi

yang ada.

Tahap perkembangan moral Bull (Daroeso, 1986:29 – 30)

menyimpulkan empat tahapan perkembangan moral yaitu:

a Anomi (without law), adalah anak belum memiliki perasaan

moral dan belum ada perasaan untuk menaati peraturan –

peraturan yang ada.


29

b Heternomi (law imposed by others), adalah tahap moralitas

terbentuk karena pengaruh luar (external morality). Pada

heternomi peraturan dipaksakan oleh orang lain, dengan

pengawasan, kekuatan atau paksaan, karena itulah peraturan

tersebut di atas.

c Sosionomi (law driving from society), adalah suatu kenyataan

adanya kerjasama antar individu, menjadi individu sadar bahwa

dirinya merupakan anggota kelompok.

d Autonomi (law driving from self), adalah tahapan perkembangan

pertimbangan moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari

individu bersumber pada diri individu sendiri, termasuk di

dalamnya pengawasan tingkah laku moral individu tersebut.

Tahap perkembangan lainnya dikemukakan oleh Kohlberg

terdiri dari tiga tingkatan perkembangan moral yang masing – masing

tingkat memuat pula dua tahap perkembangan yaitu:

a. Tingkat prakonvesional

Pada tingkat ini setiap individu memandang moral

berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral

didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa

menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat.

Pada tingkat prakonvensional ini terdiri dari dua tahap.

1). Orientasi hukuman dan kepatuhan


30

Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan

kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak

hanya berpikir bahwa tingkah laku yang benar itu adalah

tingkah laku yang tidak mengakibatkan hukuman. Dengan

demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak

menimbulkan konsekuensi negatif.

2). Orientasi instrumental – relatif

Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan

kepada rasa ”adil” berdasarkan aturan permainan yang

telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas

tingkah laku kita yang anggap baik. Dengan demikian

tingkah laku itu didasarkan kepada saling menolong dan

saling memberi.

b. Tingkat konvensional

Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada

hubungan individu – masyarakat. Kesadaran dalam diri anak

mulai tumbuh bahwa tingkah laku itu harus sesuai dengan norma

– norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan

demikian, pemecahan masalah itu sesuai dengan norma

masyarakat atau tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai

dua tahap sebagai lanjutan dari tahap yang ada pada tingkat

prakonvensional, yaitu tahap keselarasan interpersonal serta tahap

sistem sosial dan kata hati.


31

1). Keselarasan interpersonal

Pada tahap ini ditandai dengan setiap tingkah

laku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan

untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu

mulai tumbuh bahwa ada orang lain di luar dirinya untuk

bertingkah laku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak

sadar bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang

lain. Dan, hubungan itu tidak boleh dirusak.

2). Sistem sosial dan kata hati

Pada tahap ini tingkah laku individu bukan

didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang

lain yang dihormatinya, akan tetapi didasarkan pada

tuntutan dan harapan masyarakat. Ini berarti telah terjadi

pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran

sosial. Artinya, anak sudah menerima adanya sistem sosial

yang mengatur tingkah laku individu.

c. Tingkat postkonvensional

Pada tingkat ini tingkah laku bukan hanya didasarkan

pada kepatuhan terhadap norma – norma masyarakat yang

berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan

nilai – nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat

sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dua tahap:

1). Kontrak sosial


32

Pada tahap ini tingkah laku individu didasarkan

pada kebenaran – kebenaran yang diakui oleh masyarakat.

kesadaran individu untuk bertingkah laku tumbuh karena

kesadaran untuk menerapkan prinsip – prinsip sosial.

Dengan demikian, kewajiban moral dipandang sebagai

kontrak sosial yang harus dipatuhi, bukan sekadar

pemenuhan sistem nilai.

2). Prinsip etis yang universal aturan – aturan

Pada tahap terakhir, tingkah laku manusia

didasarkan pada prinsip – prinsip universal. Segala macam

tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak sosial

yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu

kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib

menolong orang lain, apakah orang itu sebagai orang yang

kita benci atau tidak, orang yang kita suka atau tidak.

Pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada alasan

subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran yang

bersifat universal.

7. Muatan Pendidikan Moral

Pendidikan moral pada tiap – tiap negara berbeda satu dengan

yang lainnya. Dalam negara yang menjadikan agama sebagai hukum

dasarnya maka pendidikan moral bersumber pada agama yang berlaku di

negara itu. Bagi masyarakat Indonesia mengenai dasar pendidikan moral


33

sudah jelas, berdasarkan religi, adat istiadat dan kebudayaan Indonesia

yaitu Pancasila. Moral sesuatu masyarakat adalah merupakan identitas

bagi masyarakat itu (Daroeso, 1986:55).

Pandangan Durkheim (Haricahyono, 1995:327) terhadap muatan

moralitas pada dasarnya berkaitan dengan isi, tindakan, aturan – aturan,

atau tingkah laku – tingkah laku tertentu. ”Morality is not a system of

abstract truth which can be derived from some fundamental notion,

posited as self – efident”, demikian Durkheim. Lebih lanjut dikemukakan,

”...it belongs to the realm of life, not to speculation. It is a set of rules of

conduct, of practical imperatives which have grown up historically under

the influence of specific social necessities” (Durkheim, 1961:34).

Mengacu pada pandangan di atas Durkheim melihat adanya satu

fenomena dalam kehidupan manusia yang menduduki rangking teratas.

Fenomena dimaksud adalah serangkaian aturan yang dapat dibatasi secara

jelas dan spesifik. Dalam konteks ini pribadi yang bermoral tidak lantas

dikaitkan dengan kesediaan yang bersangkutan untuk selalu memenuhi

prosedur – prosedur tertentu, akan tetapi pribadi – pribadi semacam ini,

paling tidak, mampu bertindak sesuai dengan aturan – aturan atau norma –

norma yang berlaku.

Di dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat norma - norma

yang mengatur tingkah laku anggotanya. Dalam hubungan ini, F. Von

Magnis membedakan tiga macam norma kelakuan umum, yaitu : (1)

peraturan sopan santun atau kebiasaan, (2) norma – norma hukum, dan
34

norma – norma moral. Muatan pendidikan moral dapat dilihat pada

gambar 1 sebagai berikut:

MORAL FEELING
MORAL KNOWING 1. Conscience
1. Moral awareness 2. Self – esteem
2. Knowing moral 3. Empathy
values 4. Loving the good
3. Perspective – taking 5. Self – control
4. Moral reasioning 6. Humility
5. Decision making
6. Self knowledge

MORAL ACTION
1. Competence
2. Will
3. Habit

Gambar 1. Bagan components of good character


Sumber: Lickona (Koyan, 2000:86)
35

C. Hubungan Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral

Hubungan antara kenyataan hukum atau tata tertib sekolah dan

moralitas atau pendidikan moral yang efektif sangat intensif, pada hakikatnya

karena hukum itu hanya penglogisan dari nilai – nilai moral. Gerakannya

dikekang oleh generalisasi dan penentuan kebutuhannya, hukum itu berubah –

ubah secara lebih langsung sebagai suatu fungsi dari perubahan – perubahan

moralitas (Johnson, 2006:286).

Moral berkaitan dengan disiplin dan kemajuan kualitas perasaan,

emosi dan kecenderungan manusia; sedangkan aturan pelaksanaanya

merupakan aturan praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah

pertimbangan dan konversi lainnya (Tim Dosen Jurusan Administrasi

Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:211).

Moralitas adalah keseluruhan norma – norma, nilai – nilai dan sikap

moral seseorang atau sebuah masyarakat. Nilai – nilai moral itu berada dalam

suatu wadah yang disebut moralitas, karena di dalamnya terdapat unsur –

unsur keyakinan dan sikap batin dan bukan hanya sekedar penyesuaian diri

dengan aturan dari luar diri manusia. Moralitas dapat bersifat intrinsik dan

ekstrinsik. Moralitas yang bersifat intrinsik berasal dari diri manusia itu

sendiri, sehingga perbuatan manusia itu baik atau buruk terlepas atau tidak

dipengaruhi oleh peraturan hukum yang ada (Tedjosaputro, 2003:6). Moralitas

intrinsik ini esensinya terdapat dalam perbuatan diri manusia itu sendiri.

Moralitas yang bersifat ekstrinsik penilaiannya didasarkan pada

peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat perintah maupun larangan.
36

Moralitas yang bersifat ekstrinsik ini merupakan realitas bahwa manusia

terikat pada nilai – nilai atau norma – norma yang diberlakukan dalam

kehidupan bersama (Tedjosaputro, 2003:7).

Sudarto (Tedjosaputro, 2003:31) mengatakan bahwa ada hubungan

erat antara nilai, norma, sanksi dan peraturan – peraturan. Beliau mengatakan

sebagai berikut:

Nilai adalah ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu
masyarakat atau golongan untuk menetapkan apa yang benar, yang
baik dan sebagainya. Norma adalah anggapan bagaimana seseorang
harus berbuat. Agar normanya dipatuhi, maka masyarakat atau
golongan itu mengadakan sanksi dan penguat.

Ilmu hukum (pidana) normatif pada hakikatnya bukan semata –

mata ilmu tentang norma, justru ilmu tentang nilai. Aspek norma merupakan

aspek luar atau aspek lahiriah yang tampak dan terwujud dalam perumusan

perundang – undangan atau tata tertib, sedangkan aspek nilai merupakan

aspek dalam atau aspek batiniah/kejiwaan yang ada di balik atau di belakang

norma.

Keduanya bersifat saling menunjang secara terpadu. Nilai selalu

menjiwai secara konsisten berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat,

baik norma agama, moral (etika), kesopanan maupun hukum. Hubungan tata

tertib sekolah dan pendidikan moral lebih jelas pada gambar 2 sebagai berikut:
37

MORAL

ETIKA

HUKUM

Gambar 2. Hubungan Moral, Etika dan Hukum


Sumber: Marpaung (1996:3)

Piaget (Salam, 2000: 67) bahwa pikiran manusia menjadi semakin

hormat pada peraturan. Manusia mempunyai daya tahu (budi) dan daya

memilih karena adanya dua macam daya inilah timbul penilaian etis atau

moral terhadap tingkah laku manusia. Dalam masyarakat yang hendak teratur

dan tertib, diadakanlah aturan – aturan yang semuanya justru untuk


38

melindungi kemanusiaan, aturan untuk ketertiban hidup manusia dalam

masyarakat.

Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah

laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam masyarakat. Dengan

demikian moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur

tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan baik dan

benar. Perlu diingat baik dan benar menurut seseorang, tidak pasti baik dan

benar bagi orang lain. Karena itulah diperlukan adanya prinsip – prinsip

kesusilaan/moral yang dapat berlaku umum, yang telah diakui kebaikan dan

kebenarannya oleh semua orang. Moral dipakai untuk memberikan penilaian

atau predikat terhadap tingkah laku seseorang.

Dengan sendirinya menurut indentitas, ukuran manusia yang baik

adalah yang mampu memenuhi ketentuan – ketentuan kodrat yang tertanam

dalam dirinya sendiri. Ukuran ini tentunya tidak bertentangan dengan norma

yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan syarat untuk menjadi manusia

yang bermoral, adalah memenuhi salah satu ketentuan kodrat yaitu adanya

kehendak yang baik. Kehendak yang baik ini mensyaratkan adanya bertingkah

laku dan tujuan yang baik pula. Jadi predikat moral mensyaratkan adanya

kebaikan yang berkesinambungan, mulai munculnya kehendak yang baik

sampai dengan tingkah laku dalam mencapai tujuan yang juga baik.

Meskipun pada dasarnya manusia itu selalu cenderung berbuat baik,

tetapi kesadaran tidak datang dengan sendirinya. Kesusilaan harus diajarkan

dengan contoh yang baik, sehingga dengan demikian dapatlah terbentuk


39

manusia susila lahir dan batin. Pokok pembicaraan tata tertib sekolah dan

pendidikan moral ini adalah perbuatan manusia dengan tujuan yang hampir

sama. Kalau tujuan tata tertib sekolah mengatur adalah mengatur tata – tertib

masyarakat dan tingkah laku warga masyarakat dalam bermasyarakat dan

bernegara sesuai dengan aturan – aturan hukum yang berlaku. Sedangkan

pendidikan moral mempunyai tujuan mengatur tingkah laku manusia sebagai

manusia.

Lingkungan pendidikan moral lebih luas daripada lingkungan tata

tertib sekolah. Tata tertib sekolah berisikan perintah – perintah dan larangan –

larangan agar tingkah laku manusia tidak melanggar aturan – aturan tertulis

maupun tidak tertulis. Sedangkan pendidikan moral memerintahkan manusia

untuk berbuat apa yang berguna dan melarang segala yang tidak baik. Norma

moral memberikan memberi kewajiban moral pada manusia agar kepentingan

hukum dan kepentingan umum jangan dilanggar.

Karakter atau watak warga negara yang bermoral salah satunya bisa

dilakukan melalui jalur pendidikan di sekolah. Pendidikan moral bukan

sesuatu entitas abstraksi ide semata namun nyata dalam kehidupan sehari –

hari yang harus diajarkan pada manusia. Pendidikan moral merupakan suatu

wadah bagi sekolah untuk mendidik, mengajar dan melatih siswa agar

mempunyai sikap dan berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nilai – nilai

moral dan norma – norma yang ada di masyarakat. Tata tertib sekolah

mengatur dan memberi petunjuk pedoman aturan atau hukum tingkah laku

siswa terhadap moral yang baik. Tata tertib sekolah sebagai aturan hukum di
40

dalamnya terkandung makna implementasi pendidikan moral untuk siswa

dalam bertingkah laku.

D. Sarana Pendidikan Moral

Pandangan Daryanto (2001:51) tentang sarana pendidikan moral

adalah seperti alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Sarana

pendidikan moral dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai alat pendidikan.

Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja memuat kondisi – kondisi yang

memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi alat pendidikan itu

telah mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi mana, dicita – citakan

dengan tegas, untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan ialah suatu

tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan

untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.

Suwarno (Daryanto, 2001:141) membedakan alat pendidikan dari

bermacam – macam segi salah satunya adalah alat pendidikan preventif dan

korektif. Alat pendidikan preventif diartikan sebagai jika maksudnya

mencegah anak sebelum ia berbuat sesuatu yang tidak baik, misalnya contoh:

pembiasaan perintah, pujian, ganjaran. Kedua adalah alat pendidikan korektif,

jika maksudnya memperbaiki karena anak telah melanggar ketertiban atau

berbuat sesuatu yang buruk, misalnya: celaan, ancaman, hukuman.

Alat pendidikan yang preventif ialah alat – alat pendidikan yang

bersifat pencegahan yaitu untuk mencegah masuknya pengaruh – pengaruh

buruk dari luar ke dalam diri siswa. Kewajiban pendidik adalah mendidik
41

siswa menjadi anak yang baik dan mencegah/membentengi siswa dari

masuknya pengaruh – pengaruh yang buruk ke dalam dirinya. Jenis alat – alat

pendidikan preventif yang abstrak seperti tata tertib, anjuran, larangan,

perintah, disiplin dan semisalnya.

Hal – hal yang diperbaiki (korektif) adalah perbuatan – perbuatan

jelek yang sudah menjadi kebiasaan diperbuat siswa, seperti suka berkelahi,

suka bertengkar, suka mengambil barang milik orang lain, suka menghina,

suka mengejek, suka mengganggu dan sebagainya.

E. Kerangka Berpikir

Perkembangan dan perubahan masyarakat yang berlangsung cepat

dan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; khususnya kemajuan

di bidang teknologi komunikasi dan informasi, di satu sisi dapat berdampak

positif namun di sisi lain menimbulkan pengaruh yang berdampak negatif,

terutama nilai – nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai – nilai luhur

budaya bangsa.

Gejala – gejala pengaruh negatif itu, kini telah tampak di kalangan

generasi muda, terutama di kota – kota besar di Indonesia. Gejala – gejala

negatif tersebut merupakan tantangan bagi sekolah untuk lebih memperhatikan

siswanya dan lebih menggiatkan pelaksanaan pendidikan moral di lingkungan

sekolah secara khusus.

Selain melalui komponen kurikulum komponen formal seperti

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama juga lewat jalur


42

hidden curriculum. Namun harus dipahami salah satu usaha untuk

melaksanakan pendidikan moral secara intensif dan komprehensif di sekolah

adalah melalui hidden curriculum antara lain seperti penegakkan aturan moral

melalui tata tertib sekolah. Menurut konsep pendidikan dewasa ini, bahwa

pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan pendidikan untuk semua

(education for all).

Pelaksanaan pendidikan moral harus dimulai dari dalam lingkungan

keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan

utama di dalam kehidupan manusia. Sekolah memiliki peranan penting dalam

pembentukan kepribadian, mentransmisi dan mentransformasi nilai – nilai

moral; serta seleksi dan pra aloksi tenaga kerja. Baik dan buruknya moral

siswa tergantung pada berhasil atau tidaknya pendidikan moral di sekolah dan

penegakan tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah memberikan bentuk nyata

dari pendidikan moral yang harus diberikan pada siswa yang berisikan nilai –

nilai moral. Moral siswa yang baik dapat diketahui dari indikator berupa taat

dan patuh pada tata tertib sekolah yang dapat dilihat melalui pengamatan

berupa aturan moral, sikap dan tingkah laku atau tingkah laku yang

mencerminkan nilai – nilai moral yang sesuai dengan kehidupan masyarakat.

Pelaksanaan tata tertib sekolah tersebut tentunya bergantung pada

kemampuan sekolah dalam implementasi pendidikan moral yang banyak

ditemui kendala – kendala sehingga dirasa belum optimal guna menekan

tingkat pelanggaran tata tertib sekolah. Belum optimalnya pelaksanaan tata

tertib sekolah tersebut dapat dilihat melalui profil pribadi siswa sehari – hari
43

baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat sudah menunjukan tingkah laku

yang mencerminkan pribadi – pribadi yang bermoral atau sebaliknya.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mendidik siswa agar memiliki

keterampilan atau keahlian (skill) tertentu. Pemberian muatan moral terhadap

tingkah laku siswa kadang hanya sebatas bersifat temporal tidak bersifat

kontiunitas. Kontrol dari pihak sekolah yang lemah mengakibatkan siswa

cenderung mengabaikan aturan moral atau tata tertib sekolah. Siswa Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) mempunyai kecenderungan yang besar untuk

berbuat penyimpangan. Indikasi ini diakibatkan oleh karakteristik siswa yang

berbeda dan stimuli siswa untuk langsung mendapatkan pekerjaan (ready

work) sehingga menimbulkan dampak tidak terlalu memedulikan aspek

moralitas diri sendiri. Interaksi antar siswa dengan Guru dan lingkungan ikut

mempengaruhi dan membentuk tingkah laku siswa.

Apabila tingkah laku siswa tanpa kontrol dan penanganan secara

tidak serius maka akan dapat menimbulkan tingkah laku yang menyimpang

bahkan cenderung menuju tindakan kriminalitas. Tentu saja sebagai lanjutan

tingkah laku siswa yang menyimpang akan dapat merugikan tidak hanya baik

diri sendiri akan tetapi keluarga serta lingkungan masyarakat. Mengingat

kompleksnya kehidupan manusia, maka dalam pelaksanaan pendidikan moral,

perlu diciptakan dan ditemukan metode yang tepat sehingga bisa menjangkau

seluruh aspek kehidupan manusia. Untuk mempermudah dalam memahami

penelitian ini maka disajikan gambar 3 sebagai berikut:


44

Sistem Pendidikan Nasional

Tujuan Pendidikan Nasional

Moral Siswa

SMK NEGERI 5 SEMARANG

Kurikulum Guru Siswa Fasilitas

Pendidikan Tata Tertib


Moral Sekolah

Aturan Sikap Tingkah Laku

Baik Buruk

Keterangan:
: Proses distribusi
: Proses kontrol

Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir


45

Keterangan:

Pendidikan diartikan tidak hanya sebagai formal transfer of

knowledge namun bagaimana membentuk pribadi – pribadi manusia yang

memiliki nilai moralitas yang tinggi. Oleh karena itu Sistem Pendidikan

Nasional yang tercantum pada tujuan pendidikan nasional menghendaki agar

siswa tumbuh dan berkembang dari sisi akhlak, moralitas yang baik. Moral

siswa yang baik atau buruk tercermin dari tingkah laku siswa baik di rumah,

sekolah dan masyarakat. Tentunya sekolah terutama Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang mempunyai tanggung jawab terhadap

pembentukan moral siswa tersebut.

Pada komponen sekolah yang berperan dalam mewujudkan cita –

cita tersebut salah satunya melalui komponen pendidikan moral dan tata tertib

sekolah. Guru mengontrol tingkah laku siswa melalui tata tertib sekolah.

Tingkah laku siswa yang baik atau buruk akan mencerminkan dan

menentukan pandangan masyarakat terhadap kadar moralitas siswa Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Dasar Penelitian

Suatu penelitian untuk mendapatkan hasil yang optimal harus

menggunakan metode penelitian yang tepat. Ditinjau dari permasalahan

penelitian ini yaitu tentang pelaksanaan dan kendala – kendala tata tertib

sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK) Negeri 5 Semarang maka penelitian ini bersifat non eksperimen yaitu

penelitian kualitatif deskriptif.

Karl dan Milles (Moleong, 2002:3), penelitian kualitatif adalah

tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

bergantung pada pengamatan kepada manusia dalam kawasannya sendiri dan

berhubungan dengan orang tersebut. Di samping itu penelitian deskriptif yaitu

merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan

menginterprestasikan objek sesuai dengan apa adanya. Dengan metode

deskriptif, peneliti memungkinkan untuk melakukan hubungan antara variabel,

menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori

yang memiliki validitas universal. Penelitian deskriptif pada umumnya

dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta

dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan

kualitatif deskriptif yaitu mengamati, mencatat, dan mendokumentasi

46
47

pelaksanaan dan kendala – kendala tata tertib sekolah sebagai sarana

pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.

Peneliti berinteraksi dengan lingkungan sekolah dan berusaha memahaminya.

Dimana dalam penelitian tersebut memiliki ciri – ciri sebagai berikut:

1. Sumber data langsung berupa tata situasi alami dan peneliti adalah
instrumen kunci.
2. Bersifat deskriptif dimana data yang dikumpulkan umumnya
berbentuk kata – kata, gambar – gambar dan bukan angka – angka,
kalaupun ada angka – angka sifatnya hanya sebagai penunjang.
3. Lebih menekankan pada makna proses ketimbang hasil.
4. Analisis data bersifat induktif.
5. Makna merupakan perhatian utama dalam pendekatan penelitian
(Sudarwan, 2002:6).

B. Fokus Penelitian

Di dalam penelitian kualitatif deskriptif menghendaki ditetapkannya

batas atas dasar fokus penelitian. Dalam pemikiran fokus terliput di dalamnya

perumusan latar belakang, studi permasalahan, fokus juga berarti penentuan

keluasan (scope) permasalahan dan batas penelitian. Penentuan fokus

memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Menentukan keterikatan studi, ketentuan lokasi studi.

2. Menentukan kriteria inklusi dan eksklusi bagi informasi baru. Fokus

membantu bagi penelitian kualitatif deskriptif membuat keputusan

untuk membuang atau menyimpan informasi yang diperolehnya

(Rachman, 1999:121).

Fokus penelitian merupakan pokok persoalan apa yang menjadi

pusat perhatian dalam penelitian. Fokus dalam penelitian ini adalah tata tertib

sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan


48

(SMK) Negeri 5 Semarang. Sebagai indikator dari fokus tersebut di atas

adalah:

1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai

sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang.

2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.

3. Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib

sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.

C. Sumber Data Penelitian

Data adalah bentuk jamak dari datum. Data merupakan keterangan –

keterangan tentang suatu hal, dapat berupa sesuatu yang diketahui atau yang

dianggap. Atau suatu fakta yang digambarkan lewat angka, simbol, kode dan

lain – lain. Data perlu dikelompok – kelompokkan terlebih dahulu sebelum

dipakai dalam proses analisis. Pengelompokkan data disesuaikan dengan

karakteristik yang menyertainya (Hasan, 2002:82).

Sumber data penelitian adalah subjek di mana data dapat diperoleh

(Arikunto, 2002:107). Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan

menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

1. Data Primer
49

Data primer adalah data yang dikumpulkan atau diperoleh

langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang

bersangkutan. Sumber data primer yaitu kata – kata atau tindakan

orang yang diamati atau diwawancarai (Arikunto, 2002:122). Data

primer ini disebut juga data asli atau data baru. Sumber data primer

diperoleh peneliti melalui wawancara dengan responden. Responden

orang yang diminta keterangan tentang suatu fakta atau pendapat,

keterangan dapat disampaikan dalam bentuk tulisan, yaitu ketika

mengisi angket, atau lisan ketika menjawab wawancara (Arikunto,

2002:122).

Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah,

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Guru Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn), Guru bidang Bimbingan Konseling (BK) dan

siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang atau

yang terkait dengan pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana

pendidikan moral. Data yang diperoleh peneliti melalui responden,

termasuk dalam kategori data sekunder. Sebagaimana data yang

diperoleh melalui informan di atas sehingga data sifatnya juga masih

asli dan baru.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber – sumber yang

telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari
50

laporan – laporan penelitian terdahulu. Data sekunder disebut juga data

tersedia (Hasan, 2002:82). Dokumen adalah setiap bahan yang tertulis

maupun film (Moleong, 2002:113). Dokumen dalam penelitian ini

berupa tata tertib siswa, buku – buku, dan literatur lain yang ada

hubungan dengan masalah yang akan diteliti. Tujuannya adalah data

didapatkan berupa data tambahan yang merupakan data sekunder.

D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

1. Alat Pegumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah observasi, wawancara (interviu) dan dokumentasi.

a. Observasi

Dalam penelitian ini, observasi diartikan sebagai

pengamatan dan pencatatan secara sistemik terhadap gejala yang

tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang

dilakukan terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnya

peristiwa, sehingga peneliti berada bersama objek yang diselidiki,

disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung

adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya

peristiwa tersebut diamati melalui film, rangkaian slide atau

rangkaian foto (Rachman, 1999:77).

Berkaitan dengan jenis observasi yang digunakan

peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan metode


51

observasi secara langsung dan tidak langsung yaitu di Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.

b. Wawancara (Interviu)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,

percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu wawancara yang

mengajak pertanyaan – pertanyaan dan yang diwawancarai

memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002:135).

Wawancara merupakan data informasi dengan cara mengajukan

sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula

(Rachman, 1999, 83).

Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa

pedoman atau instrumen wawancara yaitu berbentuk pertanyaan

yang diajukan kepada subjek penelitian. Sedangkan wawancara

yang diterapkan adalah wawancara berstruktur. Wawancara

berstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun secara

terperinci sehingga menyerupai check – list (Arikunto, 2002:20).

Selain itu wawancara dilakukan melalui wawancara tak

berstruktur yaitu wawancara dilakukan secara informal, dimana

pertanyaan tentang pandangan sikap, keyakinan subjek atau

tentang keterangan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tata

tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang yang diajukan

secara bebas kepada subjek penelitian.


52

Di samping itu wawancara ini dapat dikembangkan

apabila diperlukan untuk melengkapi data – data yang masih

kurang. Kelebihan tersebut wawancara tak berstruktur antara lain:

1). Memungkinkan peneliti untuk mendapatkan keterangan


dengan lebih cepat.
2). Ada keyakinan bahwa penafsiran responden terhadap
pertanyaan yang diajukan adalah tepat.
3). Sifatnya lebih luas.
4). Pembatasan – pembatasan dapat dilakukan secara langsung,
apabila jawaban yang diberikan melewati batas ruang
lingkup masalah yang diteliti.
5). Kebenaran jawaban dapat diperiksa secara langsung.
(Soekanto, 1984:25)

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa wawancara

adalah untuk mendapatkan gambaran yang sejelas – jelasnya dan

informasi yang selengkap – lengkapnya. Melalui wawancara ini

diharapkan peneliti mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan

tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.

c. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari

data mengenai hal – hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,

buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, surat, lengger, agenda

dan sebagainya (Arikunto, 2002:206).

2. Teknik Pengumpulan Data

Guna mendapatkan informasi yang diharapkan penelitian ini

teknik pengumpulan data dilakukan melalui:


53

a. Teknik Observasi

Berkaitan dengan teknik observasi (Kartono, 1996:57)

mengemukakan, observasi adalah studi yang disengaja dan

sistematis tentang fenomena sosial dan gejala – gejala alam dengan

jalan pengamatan dan pencatatan. Ditambahkan bahwa observasi

ialah pengujian secara internasional atau bertujuan suatu hal,

khususnya untuk maksud mengumpulkan data. Teknik observasi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi yang

menerapkan observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat

dengan menggunakan pedoman sebagai intrumen pengamatan.

b. Teknik Komunikasi

Teknik komunikasi adalah cara mengumpulkan data

melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data

dengan sumber data (Rachman, 1999:82). Dalam pelaksanaannya

peneliti menggunakan teknik komunikasi langsung yaitu teknik

pengumpulan data dengan mempergunakan wawancara atau interviu

sebagai alatnya.

c. Teknik Dokumentasi

Berkaitan teknik dokumentasi (Hasan, 2002:88)

mengemukakan bahwa teknik dokumentasi adalah teknik

pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subjek

penelitian, namun melalui dokumen, dimana dokumen yang


54

digunakan dapat berupa buku harian, surat pribadi, laporan, notulen

rapat, catatan kasus dalam pekerjaan sosial dan dokumen lainnya.

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan teknik

dokumentasi sebagai metode ketiga disamping observasi dan

wawancara, karena teknik dokumentasi dapat memberikan cara yang

terbaik untuk memberikan data – data masa lalu yang berkaitan

dengan objek yang akan diteliti. Di samping itu untuk subjek

penelitian tertentu yang sukar atau tidak mungkin dijangkau, maka

studi dokumentasi dapat memberikan jalan untuk melakukan

penelitian (Hasan, 2002:88).

d. Teknik Studi Pustaka

Teknik studi pustaka diperlukan dalam penelitian ini

sebagai acuan terhadap permasalahan yang di lapangan dengan

buku – buku literatur tentang tata tertib sekolah dan lingkup yang

terkait dengan pendidikan moral.

E. Objektivitas dan Keabsahan Data

1. Objektivitas Data

Objektivitas terhadap keabsahan data merupakan salah satu

bagian yang penting di dalam penelitian kualitatif deskriptif, untuk

mengetahui derajat kepercayaan dari hasil penelitian yang dilakukan.

Apabila peneliti melaksanakan objektivitas terhadap keabsahaan data


55

secara cermat dengan teknik yang tepat dapat diperoleh hasil penelitian

yang benar – benar dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai segi.

2. Keabsahan Data

Keabsahan data diterapkan dalam rangka membuktikan

kebenaran temuan hasil penelitian dengan kenyataan di lapangan. Lincoln

dan Guba (Moleong, 2002:175) untuk memeriksa data pada penelitian

kualitatif deskriptif antara lain digunakan taraf kepercayaan data

(Credibility). Teknik yang digunakan untuk melacak Credibility dalam

penelitian ini yaitu Teknik Triangulasi (Triangulation). Teknik Triangulasi

adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di

luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data itu (Moleong, 2002:178).

Teknik Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

triangulasi sumber dan metode artinya bahwa teknik pemeriksaan dengan

membandingkan atau mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi

yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda (Moleong, 2002:178).

Teknik Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

triangulasi yang memanfaatkan penggunaan sumber dan metode yaitu

pemeriksaan keabsahaan data dengan membandingkan data hasil

pengamatan dengan data hasil wawancara dan dokumentasi serta dengan

pengecekan penemuan hasil penelitian.

Dari beberapa teknik triangulasi tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut Denzin (Moleong, 2002:178):


56

a. Triangulasi dengan memanfaatkan sumber berarti membandingkan

dan mengecek bahwa derajat kepercayaan sesuatu informasi yang

diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Hal ini dicapai

dengan jalan:

1). Membandingkan data hasil wawancara.

2). Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum

dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

3). Membandingkan apa yang dikatakan orang – orang tentang

situasi penelitian dengan yang dikatakan sepanjang waktu.

4). Membandingkan keadaan pada perspektif seseorang dengan

berbagai pendapat orang lain.

5). Membandingkan hasil wawancara dengan isi sesuatu dokumen

yang berkaitan.

b. Triangulasi dengan metode terdapat dua strategi yaitu:

1). Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian

dengan beberapa teknik pengumpulan data.

2). Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dan

metode yang sama.

Dengan menggunakan kedua teknik triangulasi di atas akan

dapat diperoleh hasil penelitian yang benar – benar sahih, karena kedua

teknik triangulasi di atas sangat sesuai dengan penelitian yang bersifat

kualitatif deskriptif.
57

F. Metode Analisis Data

1. Tinjauan Metode Analisis Data

Patton (Hasan, 2002:97) mengemukakan analisis data adalah

proses mengatur urutan data mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,

kategori dan satuan uraian dasar. Sedangkan Bogdan dan Taylor (Hasan,

2002:97) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha

formal untuk menemukan tema dan merumusakan hipotesis (ide) seperti

yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan

pada tema dan hipotesis itu.

Moleong (2002) menyatakan bahwa yang dimaksud analisis data

adalah proses mengorganisasikan dan menGurutkan data ke dalam pola,

kategori satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dirumusakan hipotesis kerja seperti yang dirumuskan data.

2. Bentuk dan Cara Melakukan Analisis Data

Pada prinsipnya analisis data ada dua cara yaitu analisis statistik

dan analisis non statistik, hal ini tergantung pada datanya. Adapun analisis

data non statistik, yang disebut juga sebagai analisis kualitatif deskriptif

yaitu analisis yang tidak menggunakan model matematik, model statistik

dan ekonometrik atau model – model tertentu lainnya.

Analisis data dilakukan terbatas pada teknik pengolahan

datanya, seperti pada pengecekan data dan tabulasi, dalam hal ini sekedar

membaca tabel – tabel, grafik – grafik atau angka – angka yang tersedia

kemudian melakukan uraian dan penafsiran (Hasan, 2002:98).


58

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif

non statistik, dimana komponen reduksi data, dan sajian data dilakukan

bersamaan dengan proses pengumpulan data setelah data terkumpul maka,

tiga komponen analisis (reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan)

berinteraksi. Ini untuk menjawab permasalahan pertama dari penelitian.

Langkah – langkah analisis kualitatif deskriptif adalah sebagai berikut:

a. Pengumpulan data

Pengumpulan data ialah mencari, mencatat dan

mengumpulkan semua data secara objektif dan apa adanya sesuai

dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan yaitu

pencatatan data yang diperlukan terhadap berbagai jenis data dan

berbagai bentuk data yang ada di lapangan yang diturunkan peneliti

serta melakukan pencatatan di lapangan.

b. Reduksi data

Data yang telah terkumpul dipilih dan dikelompokkan

berdasarkan data yang mirip atau sama. Kemudian data ini

diorganisasikan untuk mendapatkan kesimpulan data sebagai bahan

penyajian data. Penyusunan data dilakukan dengan pertimbangan

penyusunan data sebagai berikut:

1). Hanya memasukan data yang penting dan benar – benar


dibutuhkan.
2). Hanya memasukan data yang benar – benar objektif.
3). Hanya memasukan data yang autentik.
4). Membedakan antara data informasi dengan pesan pribadi
responden (Rachman, 1999:103).
c. Penyajian data
59

Setelah diorganisasikan, selanjutnya data disajikan dalam

uraian – uraian naratif disertai dengan bagan atau tabel untuk

memperjelas penyajian data.

d. Penarikan kesimpulan atau verifikasi

Setelah data disajikan, maka dilakukan penarikan

kesimpulan atau verifikasi. Untuk lebih jelasnya proses

pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan atau verifikasi, serta interaksi dari ketiga komponen

dapat dilihat pada gambar 4 sebagai berikut:

Pengumpulan Data

Penyajian Data

Reduksi Data

Penarikan
Kesimpulan/Verifikasi

Gambar 4. Bagan Metode Analisis Data


Sumber: Miles dan Huberman (1994:20)
60

G. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang ditempuh dalam penelitian ini meliputi tiga

tahapan yaitu:

1. Tahap pembuatan rancangan

Tahap ini merupakan langkah awal dan pertama peneliti

mempersiapkan segala macam yang dibutuhkan sebelum memasuki tahap

selanjutnya terjun dalam kegiatan penelitian. Pada tahap ini peneliti

melaksanakan beberapa alur yaitu memilih masalah, studi pendahuluan,

merumuskan masalah, memilih pendekatan, menemukan variabel dan

sumber data serta menentukan dan menyusun instrumen.

2. Tahap pelaksanaan penelitian

Peneliti melaksanakan penelitian, dengan melaksanakan

pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan pencatatan.

Kemudian melaksanakan analisis data dengan semua data yang telah

diperoleh di lapangan dianalisis dan dicek atau diperiksa kebenarannya

menggunakan teknik triangulasi.

3. Tahap penyusunan laporan

Kegiatan penelitian menuntut agar hasilnya disusun, ditulis dalam

bentuk laporan penelitian agar hasilnya diketahui orang lain, serta

prosedurnya pun diketahui orang lain pula sehingga dapat mengecek

kebenaran pekerjaan penelitian tersebut.

(Arikunto, 2002:20)
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga

pendidikan tingkat lanjut menengah yang memiliki karakteristik berbeda

dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) karena bertugas mempersiapkan

siswa untuk mengutamakan berkembangnya kompetensi vocational skill

(kecakapan/kemampuan kejuruan) yaitu kecakapan yang dikaitkan dengan

pekerjaan tertentu. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam

pembelajarannya ditekankan pada bagaimana persiapan siswa menguasai

keterampilan atau keahlian praktis yang diterapkan dalam lingkungan

pekerjaan. Hal ini berbeda dengan kecakapan yang diprioritaskan pada

Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu lebih menekankan pada academic

skill (kemampuan akademik).

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang berdiri

atas dukungan Guru – Guru teknik dan direstui oleh Kepala Diktek

Propinsi Jawa Tengah, Bapak Dimiyati Prasojo yang pada waktu itu

menjabat Kepala STM 2 Semarang, mempelopori dan merintis jalan

terwujudnya cita – cita tersebut yaitu terbentuknya sekolah teknologi lagi

guna melengkapi STM yang telah sebelumnya. Berdasarkan Surat

61
62

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.

85/DIRPT/BI/65 Tanggal 5 Agustus 1965 diresmikan oleh Kepala

Inspeksi Daerah Pendidikan Teknologi Propinsi Jawa Tengah pada tanggal

17 Agustus 1965 Sekolah Tinggi Menegah 5 Semarang dengan jurusan

Bangunan Gedung, Mesin, Listrik yang berada di STM 2 Jalan Sompok

43A Semarang.

Pada awal berdirinya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang berstatus sekolah negeri yang belum mempunyai

gedung sendiri. Untuk melaksanakan proses belajar mengajar terpaksa

diselenggarakan siang hari dan menumpang pada sekolah negeri lain yang

secara berurutan bertempat di STM 2 Semarang beralamat di Jalan

Sompok 43A Kelurahan Peterongan Kecamatan Semarang Timur.

Terhitung sejak tanggal 18 Agustus 1965 sampai dengan 30 Juli 1977

yang pada waktu itu karena kekurangan ruang sebagian kelas yang

menempati STM 1 – 3 Semarang di Jalan Cinde Raya Semarang (sekarang

ditempati SMP 8 Semarang).

Kemudian berurutan kembali yaitu berada di STM 1 – 3

Semarang yang beralamat Jalan Dr. Cipto 93 Semarang Kelurahan

Karangkojo Kecamatan Semarang Utara terhitung sejak tanggal 1 Juli

1977 sampai dengan 30 Juni 1979. Berdasarkan Surat Keputusan Kanwil

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah Tanggal

22 November 1977 No. 107/Kep/1977 tentang penunjukan tempat

bangunan dan Surat Keputusan Kepala Bidang Pendidikan Menengah


63

Kejuruan Propinsi Jawa Tengah Tanggal 1 Juni 1979 No.

542/I03.5/R.a/1979 terhitung sejak tanggal 1 Juni 1979 STM 5 Semarang

secara resmi menempati gedung sendiri.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

merupakan salah satu Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Semarang

mempunyai Nomor Identitas Sekolah (NIS) 400050, Nomor Statistik

Sekolah (NSS) 321036308805 beralamat di Jl. Dr. Cipto No. 121

Semarang 50124 Kelurahan Karangturi Kecamatan Semarang Timur

dengan nomor telepon (024) 8416335 – 8447476, E – Mail

smk05_smg@yahoo.com berstatus sebagai sekolah negeri.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

menempati luas tanah sekolah 10.612 m2 yang berdampingan dengan

SMK (SMEA) 1 yang dulunya adalah juga lokasi STM 5 Semarang.

Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang bernama

Drs. H. M.Saidi dengan Nomor Induk Pegawai (NIP) 130935750 Nomor

SK Pengangkatan 821.2/23/2002 Tanggal 28 Agustus 2002 No. Rekening

Sekolah Bank BRI Cabang Semarang Pandanaran 0325 – 01 – 031142 –

50 – 4.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

mempunyai visi menjadi pusat pendidikan dan latihan kejuruan yang

berstandar nasional. Misi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang yang pertama adalah mendidik dan melatih siswa dalam

program keahlian teknik gambar bangunan, teknik pemanfaatan tenaga


64

listrik, teknik komputer jaringan, teknik transmisi telkom, teknik

pemesinan dan teknik mekanik otomotif. Kedua adalah mendidik dan

melatih siswa untuk dipersiapkan menjadi tenaga kerja profesional siap

memasuki lapangan kerja di dunia usaha dan industri global, nasional dan

regional, melanjutkan studi, berwirausaha maupun memasuki dinas dan

militer.

2. Keadaan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang

Sumber siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang berasal dari SMP/MTs Negeri/Swasta Se Kota Semarang dan

SMP/MTs Negeri Swasta di sekitar perbatasan Kabupaten Kendal,

Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan. Data

keadaan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

dari hasil observasi dan wawancara memiliki jumlah siswa yang dominan

laki – laki sebanyak 886 orang sedangkan siswa wanita berjumlah 30

orang terbagi dalam beberapa jurusan. Data jumlah keseluruhan siswa

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang terbagi menjadi

beberapa jurusan pada tabel 1 yaitu:


65

Tabel 1 Jumlah Siswa SMK Negeri 5 Semarang

Jumlah
No. Program Keahlian Total
I II III
1. Teknik Gambar Bangunan 72 60 34 166
2. Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik 67 52 61 180
3. Teknik Mesin Perkakas 71 55 52 178
4. Teknik Mekanik Otomotif 70 59 66 195
5. Teknik Transmisi Telkom 35 30 26 91
6. Teknik Komputer Jaringan 37 34 35 106
JUMLAH 352 290 274 916
Sumber: data SMK Negeri 5 Semarang

3. Keadaan Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang

Keadaan Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang terdiri dari dua yaitu Guru Normatif/Adaptif dan Guru

produktif. Idealnya berdasarkan aturan seorang Guru Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) adalah sejumlah 110 orang. Dari hasil observasi

didapatkan bahwa Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang mempunyai jam mengajar 50 jam sehari sedang menurut aturan

yaitu 20 jam sehari.

Guru Normatif/Adaptif yaitu mengajar pada mata pelajaran non

kejuruan/umum sedangkan Guru Produktif yaitu mengajar pada mata


66

pelajaran kejuruan/khusus program keahlian pada tabel 2 dan tabel 3

sebagai berikut:

Tabel 2 Data Guru Normatif/Adaptif SMK Negeri 5 Semarang

No Guru Bidang Studi Status Jumlah


Tetap TT
1. Pendidikan Agama Islam 3 - 3
2. Pendidikan Agama Kristen - 1 1
3. Pendidikan Agama Katolik - 1 1
4. Bahasa Indonesia 4 - 4
5. PPKN 3 - 3
6. Sejarah 2 - 2
7. Pendidikan Jasmani & 2 1 3
Kesehatan
8. Matematika 4 3 7
9. Bahasa Inggris 3 2 5
10. Fisika 1 1 2
11. Kimia 4 1 5
12. Komputer / KKPI - 1 1
13. Kewirausahaan 2 - 2
14. Bimbingan Konseling 5 - 5
JUMLAH 31 11 42

Sumber: data SMK Negeri 5 Semarang


67

Tabel 3 Data Guru Produktif SMK Negeri 5 Semarang

Status
No. Guru Program Keahlian Jumlah
Tetap TT
1. Teknik Gambar Bangunan 8 - 8
2. Teknik Pemanfaatan Listrik 8 - 8
3. Teknik Mesin Perkakas 4 - 4
4. Teknik Mekanik Otomotif 3 1 4
5. Teknik Transmisi Telkom - 2 2
6. Teknik Komputer Jaringan 2 2 4

JUMLAH 25 4 31

Sumber: data SMK Negeri 5 Semarang

4. Tingkat Kedisiplinan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang

Pelanggaran tata tertib sekolah paling banyak dilakukan oleh

siwa berjenis kelamin laki – laki. Pelanggaran tata tertib sekolah yang

sering dilakukan oleh siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang beragam terdiri dari tidak masuk tanpa keterangan (alpa),

meninggalkan pelajaran tanpa izin, baju tidak dimasukkan dan mencorat –

coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera menempuh atau

menyelesaikan remidi (lihat gambar 7).

Dari pelanggaran tata tertib sekolah tersebut tidak masuk tanpa

keterangan (alpa) dan keterlambatan datang ke sekolah (lihat gambar 8)

menempati urutan teratas pelanggaran terhadap tata tertib sekolah.


68

Observasi secara langsung mendapatkan bahwa kasus atau pelanggaran

yang paling tampak adalah ketertiban mengenai baju yang tidak

dimasukkan dan tidak memakai atau membawa atribut sekolah seperti

bagde sekolah dan sabuk (lihat gambar 9). Alasan siswa mengenai baju

yang tidak dimasukkan adalah karena gaya/trend anak remaja masa kini.

Guru sering memberikan teguran dan nasehat agar baju dimasukkan tapi

siswa kadang tidak memperhatikan dan menyepelekan ajuran Guru

tersebut. Siswa kadang hanya memasukkan baju saat bertemu Guru dan

ingin masuk ruang Guru, setelah itu siswa mengeluarkan bajunya kembali.

Karakteristik siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang pada umumnya memiliki rasa tanggung jawab kurang karena

motivasi belajar yang kurang.

Data kedisiplinan tata tertib sekolah dapat dilihat salah satunya

melalui jenis – jenis pelanggaran siswa yang berupa hasil obeservasi dan

wawancara, diperoleh data sebagaimana pada tabel 4 sebagai berikut:


69

Tabel 4 Jenis Pelanggaran Tata Tertib Sekolah SMK Negeri 5

Semarang

No Jenis Pelanggaran Tahun Pelajaran


2003 - 2004 2004 - 2005 2005 - 2006
1. Alpa 63 145 80
2. Bolos 16 85 49
3. Merokok 9 12 4
4. Berkelahi 10 38 5
5. Berjudi 25 19 14
6. Remidiasi 16 36 7
7. Keluarga 4 6 3
8. Ekonomi 9 12 15
9. Kesulitan Belajar 12 58 35
10. Pribadi 8 27 16
JUMLAH 172 438 228
Sumber: data SMK Negeri 5 Semarang

Dari observasi dan wawancara jenis – jenis pelanggaran tata tertib

sekolah dapat diperinci sebagai berikut:

1. Alpa atau tidak masuk tanpa ijin adalah perbuatan pergi meninggalkan

sekolah tanpa sepengetahuan orang tua disebabkan oleh aspek luar

akibat pergaulan dengan teman sepermainan.

2. Bolos dilakukan siswa dengan sendiri maupun berkelompok tanpa

tujuan, dan mudah menimbulkan perbuatan yang iseng negatif. Bolos

dari mengikuti pelajaran dilakukan saat jam pelajaran berlangsung


70

disebabkan siswa merasa kurang bisa mengikuti pelajaran yang

diberikan oleh Guru.

3. Merokok dilakukan siswa di saat jam istirahat biasanya bertempat di

kamar mandi sekolah dengan adanya faktor pengaruh dari teman.

4. Berkelahi di dalamnya termasuk tawuran disebabkan oleh masalah

individu dan salah paham antar siswa.

5. Berjudi dilakukan siswa dengan alasan iseng tidak ada kerjaan di

sekolah untuk mengisi waktu dan adanya pengaruh dari teman.

6. Remidiasi adalah bagi siswa yang mempunyai nilai mata pelajaran

tidak sesuai standar disarankan mengkuti remidiasi pelajaran. Namun

siswa sering tidak mengkuti remidiasi dengan berbagai alasan seperti

malas untuk mengikutinya bahkan ada yang sampai satu tahun

pelajaran tapi belum mengkuti remidiasi.

7. Keluarga, disebabkan hubungan keluarga tidak harmonis yang

mengganggu siswa di sekolah.

8. Ekonomi, biasanya yang sering adalah siswa belum membayar SPP

sampai beberapa kali hingga menunggak pembayaran.

9. Kesulitan belajar, siswa mengalami kesulitan dalam memahami

pelajaran sehingga sering mengganggu situasi pembelajaran di kelas.

10. Pribadi adalah terkait dengan personal individu siswa yaitu interaksi

dengan siswa lain.

5. Isi Tata Tertib Sekolah Kaitannya Dengan Pelaksanaan Pendidikan

Moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang


71

Pendidikan moral di sekolah diberikan melalui 2 (dua) program

yaitu program intrakulikuler dan program ekstrakulikuler. Pendidikan

moral melalui program intrakulikuler terdapat pada mata pelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah, Agama, Kesenian dan

Olahraga sedangkan pada mata pelajaran yang lain diterapkan dan

disesuaikan dengan kajian pembahasan oleh masing – masing Guru.

Program yang bersifat ekstrakulikuler dilakukan melalui

kegiatan selain program intrakulikuler antara lain sebagai suatu lembaga

pendidikan formal, sekolah berperan dalam penumbuhan keutuhan pribadi

siswa melalui situasi budaya di lingkungan sekolah dan penanaman nilai –

nilai luhur, etika dan budaya bagi siswa. Program ekstrakulikuler

dilaksanakan melalui kegiatan organisasi di sekolah seperti Organisasi

Intra Sekolah (OSIS), Pramuka, Pencinta Alam dan olahraga.

Dalam kaitannya dengan pengamalan nilai – nilai hidup, maka

moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai

dengan nilai – nilai hidup yang dimaksud. Nilai moral yang diharapkan

oleh sekolah sekurang- kurangnya seperti yang dirumuskan dalam SKL

(Standar Kompetensi Lulusan) baik yang terdapat dalam pendidikan

agama, PKNS, kesenian dan olahraga. Misalkan mengembangkan nilai

religiositas, nilai sosialitas, nilai keadilan, nilai demokrasi, nilai kejujuran,

nilai kemandirian, nilai daya juang, nilai tanggung jawab dan nilai

penghargaan terhadap lingkungan alam. Salah satu nilai religiositas pada

tata tertib sekolah adalah waktu pelajaran pertama akan dimulai dan
72

pelajaran terakhir akan selesai, semua siswa melakukan acara berdoa yang

dipimpin ketua kelas. Nilai sosialitas antara lain setiap siswa wajib

mengikuti pelajaran dengan baik, sopan dan patuh kepada Guru. Nilai

tanggung jawab adalah piket kelas bertanggungjawab atas alat-alat olah

raga yang digunakan. Nilai penghargaan terhadap lingkungan alam setiap

siswa wajib menjaga kebersihan lingkungan sekolah, setiap siswa wajib

menjaga keindahan lingkungan sekolah, setiap siswa wajib menjaga

keutuhan barang-barang milik sekolah.

Tata tertib sekolah dapat menjadi sarana pendidikan moral

dikarenakan juga dalam penyusunannya memperhatikan norma –

norma/kaidah – kaidah baik berupa norma agama, norma sosial maupun

norma hukum. Peran dari Kepala Sekolah adalah menyusun tata tertib

sekolah, menyusun mekanisme kerja petugas tata tertib sekolah dan

melakukan kontrol terhadap pelaksanaan tata tertib sekolah. Menyusun

petugas tata tertib sekolah, menyusun mekanisme kerja petugas tata tertib

sekolah, melakukan pengontrolan terhadap pelaksanaan tata tertib sekolah.

Pegawasan terhadap tata tertib sekolah diserahkan pada Bidang Kesiswaan

baik mengenai personil, penanganan sanksi dan pendataan pelanggaran –

pelanggaran. Tugas BP/BK yaitu mendata file khusus yang berisi siswa

yang ditangani, konsultasi, memanggil orang tua, seminggu sekali

mengecek ketertiban siswa, BK/BP membuat surat skors. Macam –

macam tata tertib sekolah untuk unit-unit kegiatan di sekolah itu, seperti
73

perpustakaan sekolah, laboratorium, fasilitas olah raga, kantin sekolah, dan

sebagainya.

B. Pembahasan

1. Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah Sebagai Saraan Pendidikan Moral

Di Sekolah Menengah kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

Pendidikan adalah usaha sadar untuk membantu siswa di dalam

mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan sekaligus

kepribadiannya secara utuh. Sesuatu prinsip moral barulah menjadi suatu

kekuatan yang mengikat (imperatif) jika mampu menumbuhkan kesediaan

seseorang untuk menerimanya sebagai pemandu tingkah lakunya. Situasi

moral adalah situasi di mana siswa akan memilih dan menentukan tingkah

lakunya berdasar serangkaian alternatif tingkah laku. Dalam memilih dan

menentukan tingkah laku yang akan diambil, seseorang akan dibimbing

oleh serangkaian prinsip – prinsip atau aturan – aturan moral, yang pada

hakikatnya preskripsi universal (sekedar menganjurkan atau mensugesti

tingkah laku – tingkah laku yang dimaksudkan) dari tingkah laku

berjustifikasi, dalam suatu proses yang bercirikan oleh pendayagunaan

penalaran. Sekolah dapat membantu perkembangan moral yang tidak

hanya eksplisit dalam kurikulum, tetapi juga terletak secara implisit pada

situasi di sekolah tersebut.

Tata tertib sekolah di samping sebagai aturan hukum yang

diterapkan di sekolah, dari hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah


74

satu sarana pendidikan moral. Tata tertib sekolah mengatur tingkah laku

siswa di sekolah, otomatis tata tertib sekolah adalah sebagai suatu norma.

Norma selalu terkait dengan aspek moral jadi merupakan salah satu moral

yang harus dimiliki oleh siswa semisal norma agama, norma kesusilaan

dan norma kesopanan. Diungkapkan H.M Saidi, Kepala Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang bahwa ”tata tertib sekolah

disusun berdasarkan kaidah – kaidah hukum formal dan norma – norma

sosial maupun norma agama” (wawancara: 29 Mei 2007). Sebenarnya

hakikat pendidikan moral adalah bagaimana mengajarkan pada siswa

tentang moral sendiri. Pemberian moral tersebut substansinya pada

penekanan nilai – nilai kehidupan yang dihargai oleh masyarakat yang

melembaga melalui norma – norma, baik norma agama, norma hukum

maupun norma sosial.

Nilai – nilai kehidupan adalah norma – norma yang berlaku

dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun. Dalam

moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu diperlukan, dan

suatu perbuatan yang dinilai tidak baik perlu dihindari. Tata tertib sekolah

menjadi efektif karena setiap pelanggaran tata tertib sekolah mengandung

sanksi. Tata tertib sekolah memiliki sifat memaksa yang di dalamnya

memuat tugas dan kewajiban, larangan – larangan serta sanksi. (Djamarah,

2005:199) tujuan pemberian hukuman dalam perspektif pedagogis, sanksi

berupa hukuman dilaksanakan dengan tujuan untuk melicinkan jalan

tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran. Lebih lanjut dalam rangka


75

pembinaan siswa, baik pendekatan hukum maupun pendekatan

sosioantropologis kurang baik digunakan, yang tepat digunakan adalah

pendekatan pedagogis.

Tata tertib sekolah yang baik adalah yang mampu dilaksanakan,

kriterianya membatasi atau mengikat semua siswa secara keseluruhan,

tidak hanya sekedar takut pada aturan tapi membuat siswa sadar, tidak

hanya larangan tapi menyadarkan anak terhadap peraturan. Mampu

menyadari pentingnya tata tertib sekolah sendiri, siswa mampu melakukan

tata tertib sekolah sesuai dengan kesadaran pribadi masing – masing, siswa

menjadi butuh atau kebutuhan/kebiasaan dalam diri siswa.

Diungkapkan Purwodarminto (Sunarto, 1994:141) moral adalah

ajaran tenggang baik buruk, perbuatan kelakuan, akhlak, kewajiban dan

sebagainya. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan

antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian moral

merupakan kendali dalam bertingkah laku. Sumber acuan moral antara lain

dapat berasal dari agama, adat – istiadat, hukum positif dan kodrat

manusia. Pendidikan moral juga mengajarkan antara lain disiplin, otonomi

diri dan interaksi dengan lingkungan.

Pada prinsipnya pendidikan moral merupakan tanggung jawab

setiap elemen sekolah. Karena kondisi sekolah yang kondusif akan

mendukung terciptanya moral siswa yang baik. Zakiyah (Daroeso,

1986:128) mengatakan sekolah hendaknya diusahakan menjadi lapangan

yang baik bagi penumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak
76

didik, di samping tempat pemberian pengetahuan, pendidikan

keterampilan dan pengembangan bakat dan kecerdasan. Hendaknya segala

sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran (baik Guru,

pegawai, buku, peraturan dan alat – alat) dapat membawa siswa kepada

pembinaan mental yang sehat, moral yang tinggi dan pengembangan

bakat, sehingga siswa dapat lega dan tenang dalam pertumbuhan dan

jiwanya tidak goncang. Kegoncangan jiwa dapat meyebabkan mudah

terpengaruh oleh tingkah laku yang kurang baik.

Tata tertib sekolah adalah ketentuan yang mengikat yang

bertujuan untuk menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang baik.

Tata tertib sekolah menjadi efektif karena setiap pelanggarannya

mengandung sanksi yang bersifat memaksa. Pendidikan moral adalah

upaya untuk memberi motivasi, memberi keteladanan, memberi nilai –

nilai tentang kaidah – kaidah/norma – norma baik norma agama, norma

hukum formal, norma sosial yang semuanya ditujukan untuk membangun

moral siswa. Tata tertib sekolah disusun berdasarkan kaidah – kaidah

hukum formal dan norma – norma sosial maupun agama, seperti dilarang

minum minuman keras, berjudi. Impelementasi pendidikan moral

tercermin pada pelaksanaan tata tertib sekolah.

Nilai – nilai pendidikan moral terdapat pada tingkat ketertiban

siswa dalam lingkungan sekolah. Isi pendidikan moral pada tata tertib

sekolah terdapat pada setiap poin yang diatur dalam tata tertib sekolah

seperti. Di lingkungan sekolah mengalami bertemunya berbagai macam


77

tingkah laku siswa. Masyarakat menginginkan adanya nilai – nilai yang

stabil dihargai atau dengan kata lain nilai – nilai yang diharapkan dan

sesuai dengan masyarakat. Mengharapkan kestabilan beberapa tingkah

laku dan kebiasaan yang telah ada di masyarakat seperti berpakaian rapi,

berbicara dengan sopan dan hormat pada Guru. Sehingga diperlukan

adanya pedoman dalam bertingkah laku terhadap nilai – nilai masyarkat

mengenai apa yang dilarang atau diperbolehkan.

Berbicara tentang nilai – nilai yang bisa ditanamkan melalui

pendidikan moral, APEID – NIER Regional Project, melalui salah satu

publikasinya, Moral Education in Asia (Haricahyono, 1995:403 – 404),

menegaskan adanya 4 (empat) macam nilai, yaitu:

a. Nilai – nilai sosial, meliputi kerjasama, kebersihan lingkungan,

kebajikan, persaudaraan, keadilan sosial, menghormati orang lain,

tanggung jawab sosial, persaudaraan yang mondial, menghormati

martabat manusia, menghormati hak asasi manusia, dan lain – lain;

b. Nilai – nilai personal, meliputi rendah hati, dapat dipercaya, disiplin,

toleran, tertib, kebersihan, suka perdamaian (tenang), dan lain – lain;

c. Nilai – nilai kenegaraan – mondial, meliputi kesadaran nasional,

patriotisme, ketaatan kepada pemerintah, suka damai, persaudaraan,

kemanusiaan, kesadaran ketergantungan antar bangsa, dan lain –

lain;
78

d. Nilai – nilai prosesual, meliputi pendekatan ilmiah terhadap

kenyataan, mencari kebenaran, penangguhan pengadilan, dan lain –

lain.

Obyek pendidikan moral yang menekankan pada Pancasila pada

hakikatnya adalah nilai – nilai yang dijabarkan oleh Pancasila. Nilai – nilai

tersebut mencakup nilai – nilai yang dikualifikasikan ke dalam 4 (empat)

kelompok nilai di atas, yaitu nilai – nilai sosial, personal, kenegaraan –

mondial, dan prosesual. Nilai – nilai itulah sebenarnya yang ingin

ditumbuhkembangkan dalam diri pribadi masing – masing siswa.

Pendidikan Moral Pancasila pada hakikatnya adalah pendidikan yang

secara sadar ingin mengarahkan sikap dan tingkah laku siswa kearah hal –

hal yang baik dan positif.

Selain itu nilai – nilai kehidupan juga bisa dikembangkan

dengan nilai – nilai Pancasila seperti nilai – nilai keagamaan, nilai – nilai

kemanusiaan dan nilai perikeadilan, nilai – nilai estetik, nilai – nilai etik

dan nilai – nilai intelektual, dalam bentuk – bentuk sesuai dengan

perkembangan remaja. Pelanggaran tata tertib sekolah, merupakan

pelanggaran norma hukum dan sekaligus norma moral. Tetapi norma

moral dapat menjadi norma hukum, sehingga barangsiapa yang

melanggarnya dapat dikenakan sanksi hukum. Norma tersebut, setelah

mengalami suatu proses pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari

lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan

(institutionalization) yang dimaksud ialah sampai norma itu oleh


79

masyarakat dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam

kehidupan sehari – hari.

Sidharta (2006:77) menyatakan sebagai suatu kompleks dari

nilai – nilai (sistem nilai) atau kumpulan moral, moralitas pada diri

seseorang atau suatu masyarakat digunakan dalam 2 (dua) hal, yakni:

a. Sebagai standar normatif evaluatif (normative standards of

evaluation), dan;

b. Aturan normatif perilaku (normative rules of conduct).

Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti sedemikian saja,

akan tetapi dapat berlangsung lebih jauh lagi hingga suatu norma

kemasyarakatan tidak hanya menjadi institutionalized dalam masyarakat,

tetapi menjadi internalized. Maksudnya adalah suatu taraf perkembangan

di mana para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin bertingkah laku

sejalan dengan tingkah laku yang memang sebenarnya memenuhi

kebutuhan masyarakat.

Dalam kaitan ini, nilai – nilai moral adalah nilai yang berada

dalam lubuk hati serta menyatu dengan raga, yang di dalamnya menjadi

suara hati atau mata hati atau hati nurani ”the conscience of man”.

Menyebut suara batin itu sebagai suatu panggilan luhur hendak

meningkatkan kesadaran manusia setinggi – tingginya. Suara batin ini

tidak berkembang secara otomatis, tetapi harus dikembangkan melalui

pendidikan sepanjang hayat terutama terhadap sosialiasi moral di

lingkungan sekolah.
80

Nilai – nilai terlebih dahulu harus dikenal kemudian dihayati dan

didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai –

nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai

– nilai yang dimaksud. Norma moral adalah norma untuk mengukur betul

– salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Kesadaran moral adalah

kesadaran manusia tentang diri sendiri, di dalam mana kita melihat diri

kita sendiri dalam berhadapan dengan baik – buruk. Dalam hal ini manusia

dapat membedakan antara yang halal dan yang haram, yang boleh dan

tidak boleh dilakukan, meskipun dapat dilakukan. Dalam kehidupan

bersama memunculkan tata nilai atau aturan – aturan yang dianut atau

diberlakukan serta harus dipatuhi oleh para anggota kelompoknya. Tata

nilai tersebut tidak lepas dari penilaian baik dan buruk, benar dan salah,

adil dan jahat, tertib dan tidak tertib dan sebagainya. Pelaksanaan tata

tertib sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

dapat dilihat pada gambar 5 yaitu:


81

Unsur Luar

Kepala Sekolah Waka Siswa


Kesiswaan

STP2K

BK/BP

Penyusunan Penerapan Evaluasi

Credit Poin

Tahu Perasaan
Moral Moral
Tugas dan
Kewajian

Tindakan
Larangan - Tata Tertib
Moral
Larangan Sekolah

Sanksi

Gambar 5. Pola Pembinaan Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah


82

Pendidikan moral yang dilakukan di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang antara lain disampaikan Warsito,

Guru Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang ”.....melalui peringatan hari – hari

besar keagamaan, sholat jum’at yang rutin dilakukan, peringatan hari –

hari besar nasional, bakti sosial, donor darah dan zakat fitrah.....”

(wawancara: 25 Mei 2007). Ditambahkan Warsito dalam pembelajaran di

kelas dilakukan dengan memberikan contoh – contoh riil nilai – nilai

moral yang ada di masyarakat ”.....misalkan pada pembelajaran cinta tanah

air siswa diberikan contoh untuk menjaga kebersihan di sekolah.....”

(wawancara: 25 Mei 2007).

Tata tertib sekolah merupakan salah satu diantara pendidikan

moral yang bersifat pencegahan atau preventif diungkapkan oleh Siti

Bulqis, Guru koordinator Bimbingan Konseling Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang”.....tata tertib sekolah bisa dijadikan

sarana pendidikan moral sebagai alat pencegahan atau preventif.....”

(wawancara: 26 Mei 2007). Sebagai sarana pendidikan moral adalah suatu

tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja

diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. Alat pendidikan yang

preventif ialah alat – alat pendidikan yang bersifat pencegahan yaitu untuk

mencegah masuknya pengaruh – pengaruh buruk dari luar ke dalam diri

siswa. Alat pendidikan preventif diartikan sebagai jika maksudnya

mencegah anak sebelum ia berbuat sesuatu yang tidak baik.


83

Tindakan pendidikan yang merupakan alat pendidikan, dapat

ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu (Djamarah, 2005:210 –

211):

a. Pengaruh tindakan terhadap tingkah laku siswa.

1). Yang bersifat positif mendorong siswa untuk melakukan

serta meneruskan tingkah laku tertentu;

2). Yang bersifat negatif mendorong siswa untuk menjauhi

serta menghentikan tingkah laku tertentu.

b. Akibat tindakan terhadap perasaan siswa: menyenangkan siswa;

tidak menyenangkan atau menyebabkan siswa menderita.

c. Bersifat melindungi siswa yaitu mencegah atau mengarahkan dan

memperbaiki.

Salah satu materi dari tata tertib sekolah adalah mengenai norma

kesopanan seperti cara berpakaian, cara masuk saat datang terlambat

masuk ke kelas dan saat berkomunikasi antara Guru dan siswa. Segi norma

agama dan norma hukum dalam tata tertib sekolah seperti siswa dilarang

minum minuman beralkohol, judi dan berkelahi.

Sudarminta (2004:114 – 117) mengklasifikasi langkah – langkah

pendidikan moral di sekolah yang mau menumbuhkembangkan kecerdasan

moral atau sikap dan tingkah laku yang baik dalam diri siswa

memperhatikan antara lain:

a. Pendidikan moral dilakukan dengan menciptakan suasana dan

iklim di sekolah secara keseluruhan yang kondusif bagi sosialisasi


84

terhadap nilai – nilai moral yang mau dikenalkan dan ditumbuhkan

kesadaran akan pentingnya serta penghayatannya dalam tingkah

laku siswa.

b. Tindakan nyata dan penghayatan hidup dari para pendidik atau

sikap keteladanan mereka dalam menghayati nilai – nilai moral

yang diajarkan akan dapat secara instinktif mengimbas dan efektif

berpengaruh pada siswa.

c. Semua pendidik di sekolah, terutama Guru, perlu jeli melihat

peluang yang ada, baik secara kulikuler maupun non

ekstrakulikuler, untuk menyadarkan pentingnya sikap dan tingkah

laku positif dalam hidup bersama dengan orang lain, baik dalam

keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Tata tertib sekolah dapat meningkatkan pendidikan moral bagi

siswa didasarkan pada indikator tata tertib sekolah yang baik harus mampu

untuk dipahami dan dilaksanakan oleh siswa. Kriteria tata tertib sekolah

yang baik adalah dapat membatasi atau mengikat semua siswa secara

keseluruhan, siswa tidak hanya sekedar takut pada tata tertib sekolah

namun dapat membuat siswa sadar akan pentingnya bertingkah laku yang

baik dan tata tertib sekolah yang baik tidak hanya memuat larangan saja

akan tetapi menyadarkan siswa terhadap tata tertib sekolah.

Sistem Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang merupakan hasil

dari penggalian antara unsur – unsur kebutuhan siswa dan sekolah. Tata
85

tertib sekolah sangat perlu diadakan sebagai aturan yang harus diikuti oleh

mereka dengan penuh kesadaran, bukan karena tekanan atau paksaan. Tata

tertib sekolah tidak dapat ditentukan oleh kepala sekolah sendiri, atau

bahkan oleh dinas pendidikan semata-mata. Tata tertib sekolah pada

hakikatnya dibuat dari, oleh, dan untuk warga sekolah. Kalaupun konsep

tata tertib sekolah itu telah dibuat oleh kepala sekolah atau dinas

pendidikan, maka konsep itu harus mendapatkan persetujuan dari semua

pemangku kepentingan di sekolah. Komite Sekolah akan lebih baik jika

dimintai pendapatnya tentang tata tertib sekolah tersebut. Guru dan siswa

harus dimintai pendapatnya tentang tata tertib tersebut. Orangtua pun

harus memperoleh penjelasan secara terbuka tentang tata tertib sekolah itu.

Pemberian sanksi pelanggaran tata tertib sekolah berdasarkan

poin angka (credit poin) maksudnya setiap pelanggaran tata tertib sekolah

akan diberikan poin atau bobot angka yang menunjukan kesalahan yang

diperbuat. Poin atau bobot angka ini nantinya akan ditotal menjadi laporan

pada tiap akhir tahun pelajaran. Bagi siswa yang telah masuk atau

melebihi bobot angka tersebut akan dikenai sanksi sesuai dengan yang

telah diatur dalam tata tertib sekolah. Sanksi akan diberikan sesuai dengan

derajat kesalahan yang telah ditentukan dalam tata tertib sekolah.

Penerapan tata tertib sekolah dengan menggunakan sistem credit poin

dapat dilihat dalam 2 (dua) tipe yaitu dari sisi positif dan sisi negatif pada

tabel 5 yaitu:
86

Tabel 5 Perbandingan Penerapan Sistem Credit Poin

No. Perbandingan Positif Negatif


1. Kriteria Bersifat menciptakan Bersifat top down
suasana ketertiban dan
kedisiplinan
2. Aturan Dibuat dengan Adanya sifat yang
kesepakatan antara membatasi dan memaksa
sekolah dan siswa
3. Sanksi Lebih tegas dan Kurang memberikan
spesifik impelementasi
pendidikan moral
cenderung ke sanksi
yang bersifat fisik
4. Personil Guru akan dapat penggunaan poin yang
mudah mengontrol
kurang konsisten dan
setiap pelanggaran
tegas oleh Guru dalam
siswa dengan
penggunaan pendataan, sanksi akan
standarisasi poin
berdampak siswa akan

mengacuhkan pemberian

poin tersebut
87

Penyusunan tata tertib sekolah dilakukan oleh Wakil Kepala

Sekolah Bidang Kesiswaan dengan staf dipimpin oleh Kepala Sekolah

dengan menerima masukan – masukan dari berbagai elemen sekolah

seperti Guru Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah (PKNS), Guru

Agama dan Guru Bimbingan dan Penyuluhan/Bimbingan dan Konseling.

Tata tertib sekolah yang baik adalah memberikan jaminan

menimbulkan suasana yang kondusif sehingga mendukung

penyelenggaraan pendidikan. Mujis (2001:42) mengemukakan bahwa:

School effectiveness research has long pointed to the importance of


school-wide behavior policies in creating the academically oriented,
high-achieving school. It can often be fruitful to involve students in the
making of rules in order to encourage a sense of ownership and
shared responsibility and shared responsibility over them and to
involved (especially older) students in policing rules and procedures
as well

Seperti diketahui, bahwa tata tertib sekolah dapat menciptakan

disiplin dan orientasi akademis warga sekolah pada khususnya, dan

meningkatkan capaian sekolah pada umumnya (Mujis, 2001:42).

Penggunaan tata tertib sekolah diharapkan dapat mengembangkan pola

sikap dan tingkah laku yang lebih disiplin dan produktif dari siswa.

Dengan tata tertib sekolah tersebut, siswa memiliki pedoman dan acuan

dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam melaksanakan

kebijakan, program, dan kegiatan sekolah. Tata tertib sekolah sangat

penting sebagai aturan yang harus dipatuhi oleh peserta didik. Tata tertib

sekolah apa saja yang harus dibuat itu sudah barang tentu amat ditentukan

oleh kepentingan sekolah.


88

Penegakan tata tertib sekolah dengan menggunakan langkah –

langkah berupa pemasangan di ruang – ruang belajar atau tempat yang

strategis sehingga siswa dapat melihat dan membaca, sosialisasi tata tertib

sekolah melalui kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) dan pada saat

upacara, pekan tata tertib sekolah, pengontrolan siswa setiap hari,

sidak/pemeriksaan mendadak ke kelas – kelas, bekerjasama dengan

kepolisian jika terjadi pelanggaran berat. Siswa yang menaati tata tertib

sekolah dapat dikatakan mempunyai moral yang baik karena mempunyai

kesadaran diri akan arti penting tingkah laku yang diperlihatkan pada

pelaksanaan di sekolah.

Bentuk – Bentuk Pelanggaran Tata Tertib Sekolah Sebagai

Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri

5 Semarang adalah bersifat ringan, sedang dan berat. Kategori ringan yaitu

Bentuk penegakan tata tertib sekolah untuk kasus atau pelanggaran

tersebut adalah ditegur atau dinasehati dengan pembinaan secara

insidental. Bentuk pelanggaran yang bersifat sedang adalah terbukti

membuat/menggunakan surat keterangan ijin tidak dari orang tua/wali,

sengaja melanggar aturan kebersihan corat – coret tembok dan bangku,

terbukti membawa rokok dan merokok, ancaman terhadap

Guru/Karyawan.

Bentuk pelanggaran yang bersifat berat antara lain bermain judi

di sekolah, melakukan tindakan asusila di lingkungan sekolah, berkelahi

dengan teman sekolah, mengambil barang milik sekolah atau orang lain
89

tanpa seijin pemilik, mencemarkan nama baik Guru, Karyawan maupun

sekolah, terlibat perkara yang ditangani oleh Kepolisian, berkelahi dengan

siswa sekolah lain sehingga melibatkan nama sekolah dan penganiayaan

terhadap Guru dan Karyawan.

Pemberian sanksi bisa berupa hadiah dan juga bisa berupa

hukuman terhadap siswa yang melanggar tata tertib sekolah. Sanksi

dilaksanakan sekolah dalam rangka komformitas dan kontrol. Sanksi

adalah tanggungan berupa tindakan, hukuman dan sebagainya memaksa

orang, untuk menepati janji atau menaati apa – apa yang telah ditentukan.

Sanksi digunakan untuk menghukum perbuatan/tingkah laku dianggap

tidak sesuai dengan norma. Stern (Djamarah, 2005:204) mengatakan

bahwa pemberian hukuman memperhatikan tingkat perkembangan siswa

yang menerima hukuman melalui hukuman normatif yaitu hukuman yang

memperbaiki moral siswa. Dengan hukuman ini Guru berusaha

mempengaruhi kata hati siswa, menginsyafkan siswa terhadap

perbuatannya yang salah, dan memperkuat kemauannya untuk selalu

berbuat baik dan menghindari kejahatan.

Sanksi – sanksi terhadap pelanggaran tata tertib sekolah menurut

sistem credit poin menggunakan bobot sanksi dengan aturan setiap

pelanggaran akan dijumlahkan untuk satu tahun pelajaran, bobot tahun

sebelumnya akan diteruskan dengan perhitungan 25 % nya, siswa yang

melanggar akan dibina dengan tahapan sebagai berikut tahap 1 (satu)

jumlah bobot 20 siswa diberi peringatan lisan; tahap 2 (kedua) jumlah


90

bobot 50 panggilan dan pemberitahuan kepada orang tua/wali; tahap 3

(tiga) jumlah bobot 75 panggilan orang tua/wali dengan surat pernyataan;

tahap (empat) jumlah bobot 120 siswa dikembalikan pada orang tua/wali.

Setiap pelanggaran dengan bobot lebih besar dari 10 (sepuluh) atau

melakukan pelanggaran yang sama dengan yang pernah dilakukan di

samping mendapat tambahan nilai juga harus mengerjakan tugas cinta

lingkungan.

Sanksi yang diberikan kepada siswa yang melanggar tata tertib

sekolah selain sanksi yang tertulis ada sanksi yang tidak tertulis, namun

penggunaanya dengan memperhatikan sifat mendidik bagi siswa antara

lain tugas membersihkan kelas, kamar mandi dan taman kelas. Sanksi

akademis yaitu teguran lisan, pembinaan, dikeluarkan dari kelas,

memanggil orang tua dengan Bimbingan dan Penyuluhan/Bimbingan dan

Konseling.

Faktor – Faktor Penyebab Pelanggaran Tata Tertib Sekolah

Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 5 Semarang adalah karena dua faktor utama yaitu faktor bawaan

(internal) siswa dan faktor lingkungan (eksternal) siswa. Yang termasuk

dalam lingkungan internal adalah faktor yang berhubungan dengan potensi

bawaan siswa itu sendiri, seperti faktor intelegensi, bakat maupun

dorongan instrinsiknya atau motif. Sedangkan yang termasuk dalam

lingkungan eksternal adalah lingkungan instrumental, paling tidak terdapat

faktor pendidik, materi pendidikan, alat dan metode pendidikan, serta


91

sistem komunikasi antara pendidik dan siswa. Lingkungan sosial budaya,

paling tidak ada akan terdapat lingkungan tempat tinggal, kondisi status

sosial ekonomi keluarga, lingkungan teman sebaya (peer group), keutuhan

keluarga, keharmonisan keluarga dan interaksinya dengan lingkungan

masyarakat secara umum.

Faktor yang bersifat internal pada diri siswa yaitu terjadi karena

siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan tahap fase adolesen

yang mempunyai kecenderungan siswa tidak terikat pada aturan dan

mencoba – coba untuk melakukan pelanggaran terhadap tata tertib

sekolah. Soeparwoto (2006:62 – 63) masa remaja adalah masa umur antara

13/14 sampai 18 tahun dengan ciri – ciri:

a. Periode yang penting karena berakibat langsung terhadap sikap dan


tingkah laku.
b. Periode perubahan sikap dan perilaku yang sejajar dengan
perubahan fisik.
c. Mencari identitas, pada tahun – tahun awal masa remaja,
penyesuaian diri dengan kelompok masih penting, kemudian
mereka mendambakan identitas diri.

Kesadaran yang tumbuh di kalangan siswa tidak lepas dari

bagaimana proses pendidikan siswa, pemahaman terhadap tata tertib

sekolah, sikap membimbing dari Guru dan kondisi dukungan keluarga.

Masalah moral yang terjadi pada proses remaja ditandai oleh adanya

ketidakmampuan remaja membedakan mana yang benar dan mana yang

salah. Hal ini disebabkan oleh ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan

salah yang ditemukan dalam kehidupan sehari – hari (Mugiarso, 2006:98).

Terbentuknya kesadaran siswa disebabkan oleh beberapa faktor yang


92

mempengaruhi yaitu Guru, peraturan itu sendiri, keluarga dan lingkugan

sekitar.

Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) termasuk tahap

perkembangan Autonomous Morality atau Independensi Morality dalam

tingkat perkembangan Postkonvensional. Pendidikan moral yang diberikan

melalui tata tertib sekolah adalah berupa kontrak sosial dibuat antara

kesepakatan sekolah dan siswa dengan mempertimbangkan masukan –

masukan dari berbagai pihak. Tujuannya kebijakan tersebut agar dapat

diterapkan dan diterima secara umum oleh masyarakat dan siswa.

Tentunya sikap dan berperilaku yang baik itu merupakan prinsip etis yang

universal terhadap aturan – aturan.

Tingkat kesadaran siswa untuk mematuhi tata tertib sekolah

yaitu ada 3 (tiga) kategori yaitu baik, cukup dan kurang. Hal tersebut

dipengaruhi oleh faktor proses pendidikan, keluarga, kedewasaan siswa,

kewibawaaan Guru, kondisi sosial ekonomi keluarga dan faktor tata tertib

sekolah. Dengan tata tertib sekolah diharapkan siswa mampu menyadari

arti penting tata tertib sekolah, mampu melaksanakan tata tertib sekolah

sesuai dengan kesadaran pribadi masing – masing siswa, menjadi suatu

kebutuhan atau kebiasaan dalam diri siswa.

Faktor yang kedua adalah faktor eksternal artinya bahwa tingkah

laku siswa yang tidak sesuai dengan tata tertib sekolah terjadi karena unsur

lingkungan di luar diri siswa terbagi lagi menjadi 3 kategori yaitu yang

pertama kondisi sosial ekonomi orang tua siswa yaitu secara umum siswa
93

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang mempunyai

kondisi sosial hubungan dalam keluarga yang kurang nyaman. Seperti

yang disampaikan oleh Romadhon siswa kelas 12 (dua belas) melakukan

pelanggaran karena “di rumah orang tua kurang memperhatikan sehingga

ke sekolah ingin hiburan” (wawancara: 25 Mei 2007). Dari faktor – faktor

yang mempengaruhi siswa dalam bertingkah laku sesuai dengan moral

pada gambar 6 sebagai berikut:

Kesadaran Diri

Lingkungan
Moral Siswa Keluarga
Pergaulan

Tata Tertib

Sekolah

Gambar 6. Faktor – Faktor Mempengaruhi Moral Siswa


94

Selain itu, dari segi ekonomi termasuk ke dalam kategori

menengah ke bawah. Diungkapkan Siti Bulqis bahwa faktor ekonomi

termasuk keluarga menengah ke bawah, kemudian latar belakang

pendidikan orang tua, rumah yang hanya berukuran 2 X 3 dan 3 X 3, 75 %

siswa SMK N 5 Semarang termasuk golongan ekonomi menengah ke

bawah. Anak sering bermain di luar, tidak kerasaan di rumah dan banyak

yang rumahnya jauh bahkan ada yang dari luar kota prosentasenya 90%

(wawancara: 26 Mei 2007). Kondisi ekonomi keluarga dapat diketahui

melalui home visit oleh Guru Bimbingan Konseling (BK) didapatkan

bahwa siswa yang sering melakukan pelanggaran tata tertib sekolah

kecenderungan mempunyai kondisi ekonomi yang lemah. Mugiarso

(2006:88) mengungkapkan bahwa Kunjungan Rumah (Home Visit)

mempunyai fungsi untuk pemahaman dan pengentasan masalah siswa

yang meliputi pengambilan data/keterangan yaitu:

a. Kondisi rumah tangga dan orang tua.

b. Fasilitas belajar yang ada di rumah.

c. Hubungan antara anggota.

d. Sikap dan kebiasaan siswa di rumah.

e. Berbagai pendapat orang tua dan anggota keluarga lainnya dalam

perkembangan anak dan pengentasan masalah siswa.

f. Komitmen orang tua dan anggota keluarga lainnya dalam

perkembangan siswa dan pengentasan masalah siswa.


95

Kondisi ekonomi keluarga turut mempengaruhi pergaulan siswa,

siswa cenderung tidak merasa nyaman di rumah. Hal ini disebabkan oleh

kondisi rumah yang tidak nyaman untuk ditempati, sehingga siswa

cenderung mencari hiburan di luar rumah. Pergaulan dengan lingkungan

luar mempunyai dampak pada sikap dan tingkah laku sehari – hari. Faktor

yang lain adalah keadaan keluarga mengenai hubungan antar keluarga,

ketidakcocokan dengan keinginan siswa dengan program keahlian yang

dipilih. Solusi dari pihak sekolah adalah dengan memberikan beasiswa

melalui BAZIS sekolah yang dikumpulkan setiap hari Jum’at. Guru dalam

penanganan pelanggaran tata tertib sekolah terhadap siswa berbeda antara

siswa kelas 10 (sepuluh), 11 (sebelas) dan 12 (duabelas).

Mengingat perbedaan perkembangan siswa yang memiliki kelas

yang lebih tinggi diungkapkan oleh Moehadjir (Daroeso, 1986:75)

“semakin rendah tingkat/kelas semakin besar aspek moralnya dan semakin

tinggi tingkat/kelas semakin besar aspek yuridis konstitusionalnya.....oleh

karena itu aspek moral pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bersifat

pemeliharaan dan pemupukan”. Pemeliharaan dan pemupukan aspek

moral tersebut pada kelas 12 (duabelas) seperti yang dikatakan oleh

Warsito “berbeda penanganan terhadap tiap kelas, misalkan pada kelas 12

memberikan pujian…..lah nang ngono luweh ganteng, luweh bagus nek

klambine dilebokna daripada ditakno…..(nah begitu kelihatan lebih bagus,

kelihatan lebih baik kalau bajunya dimasukan daripada dikeluarkan)”

(wawancara: tanggal 25 Mei 2007).


96

Suatu faktor yang cukup berpengaruh terhadap tingkah laku

siswa di sekolah adalah hubungan orang tua dan anak di rumah. Siswa

yang berasal dari keluarga yang konsisten dan mempunyai kebiasaan yang

teratur memperlihatkan tingkah laku baik di sekolah. Sebaliknya siswa

yang berasal dari keluarga yang sulit menanamkan kebiasan teratur di

rumah memperlihatkan tingkah laku yang jelek di sekolah. Siswa yang

kurang mempunyai bimbingan yang serasi, jarang bertemu dengan orang

tua karena sibuk bekerja, menunjukan tingkah laku yang kurang baik.

Orang tua yang mengajarkan norma – norma dan di sekolah Guru – Guru

juga mengajarkan norma – norma pula maka apabila norma yang diterima

siswa di sekolah adalah merupakan kelanjutan dari atau sama dengan yang

diperoleh siswa di lingkungan keluarga berdampak pola hubungan

keluarga dan sekolah akan selaras dan serasi (contunity). Jika sebaliknya

antara di sekolah dan di rumah bertentangan atau tidak sejalan maka akan

menimbulkan konflik pada diri siswa (discontunity). Konflik tersebut akan

berakibat siswa mempunyai kecenderungan untuk melakukan

penyimpangan atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah.

Goffman (Bahar, 1989:65) mengemukakan 4 (empat) macam

tindakan siswa yang sering dilakukan terhadap sekolah: pertama

situasional withdrawal yaitu siswa tidak menerima sanksi berupa

hukuman yang diberikan sekolah pada siswa, dan siswa menentang dan

bahkan mengabaikannya seperti tidak mengkuti remidiasi, tujuannya

adalah agar membatalkan sanksi yang diberikan sekolah kepadanya; kedua


97

intransigence yaitu merupakan perlawanan (menentang) secara terang –

terangan terhadap otorotitas sekolah atau kelas tertentu, siswa menolak

untuk menerima dan mematuhi tata tertib sekolah dan melawan dengan

beraksi, suatu bahaya dalam hal ini adalah bahwa siswa merasa bebas dari

hukuman sekalipun mereka berbuat salah; ketiga colonization yaitu

merupakan respon yang dilakukan siswa yang merasa bahwa tidak ada

yang dapat mereka kerjakan di sekolah, siswa mengganggap bahwa

sekolah tidak banyak membantu dalam pemenuhan keinginan dan harapan

mereka, sekolah hanya sebagai tempat bermain, tempat untuk dapat

bergaul dengan teman seperti lebih baik pergi ke sekolah daripada main –

main di jalanan; keempat conversion yaitu siswa menerima menerima

segala tata tertib sekolah seperti sekolah dengan siswanya lebih banyak

laki – laki daripada wanitanya tata tertib sekolah sering dilanggar.

Faktor sekolah turut serta memberikan penyebab siswa

melakukan pelanggaran tata tertib sekolah yaitu ketetapan dari Kepala

Sekolah yang menginstruksikan kepada Guru agar penanganan terhadap

kasus atau pelanggaran tata tertib sekolah diserahkan pada Wakil Kepala

Sekolah Bidang Kesiswaan yang membentuk STP2K (Satuan Tugas

Pembinaan dan Penegakan Kedisiplinan) yang dibantu oleh Bimbingan

Konseling (BK). Semestinya semua komponen di sekolah tutur

bertanggung jawab terhadap pemberian moral yang baik terutama Guru

mata pelajaran. Guru baik secara formal maupun informal memberitahu


98

tentang tata tertib sekolah dan sanksi – sanksi yang akan didapatkan siswa

bila melanggar tata tertib sekolah.

Faktor yang lain adalah adanya stigma dari siswa, bahwa

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang memiliki citra

sebagai salah satu sekolah yang sering tawuran. Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang mempunyai sejarah negatif berupa

image akan tawuran sehingga berdampak sampai sekarang persepsi itu

masih melekat. Namun mulai tahun 2007 ke bawah atau sejak 3 (tiga)

tahun terakhir tawuran tersebut sudah tidak ada lagi. Tawuran tersebut

cenderung untuk berkurang karena disebabkan beberapa hal antara lain

sudah berkurangnya aktivitas praktikum yang dilakukan di luar sekolah,

adanya sanksi yang tegas dari sekolah bagi yang melakukan tawuran

dikeluarkan dari sekolah, kerjasama dengan pihak Kepolisian dalam

penanganan kasus atau pelanggaran tersebut.

2. Kendala – Kendala Penegakan Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana

Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang

Unsur kendala – kendala yang dihadapi dalam penegakan tata

tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang yaitu Guru dalam penegakan tata

tertib sekolah kurang bisa seirama dalam penegakan tata tertib sekolah.

Tergantung dari individu Guru masing – masing ada Guru yang konsisten

dan ada Guru yang kadang – kadang konsisten dan adapula yang tidak
99

peduli sama sekali terhadap pelanggaran tata tertib sekolah. Kurang

konsisten dari Guru menyebabkan siswa tidak menghargai teguran dari

Guru. Tidak semua Guru melakukan penegakan tata tertib

sekolah/lemahnya monitoring karena yang bertugas hanya BP/BK dan

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan.

Kendala – kendala yang lain adalah adanya beberapa siswa yang

memang sudah mempunyai potensi untuk melanggar tata tertib sekolah,

faktor kegiatan praktik masih ada yang di luar yaitu bengkel Balai Latihan

Pendidikan Teknik) sehingga kurang kontrol namun sejak tahun 2002

sekolah sudah membuat bengkel sendiri mudah dalam pengawasan siswa

sehingga sekolah bisa mengawasi.

Kendala – kendala yang dihadapi oleh Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang dalam pelaksanaan tata tertib sekolah

sebagai sarana pendidikan moral terdiri dari dua unsur kendala yaitu

bersifat internal dan eksternal. Kendala yang bersifat internal adalah

kurang konsistennya petugas maupun Guru di dalam melaksanakan

kontrol terhadap tingkah laku siswa yang melakukan pelanggaran. Kendala

yang bersifat eksternal adalah diakibatkan oleh faktor luar dari sekolah

seperti siswa yang dipukul terlebih dahulu oleh siswa sekolah lain.

Pelanggaran tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa dari

hasil pengamatan mengalami penurunan dari kuantitas terutama tawuran

antara sekolah. Penyebabnya adalah tindakan dari sekolah yang tegas

untuk mengeluarkan siswa yang bermasalah dari sekolah. Salah satu sebab
100

frekuensi penurunan pelanggaran tata tertib sekolah disebabkan terjadi

pergantian bidang kesiswaan dengan penajaman pembentukan satuan tugas

STP2K yang melakukan penanganan terhadap pelanggaran tata tertib

sekolah dan tegas dalam pelaksanaan tata tertib sekolah.

Penghargaan atau reward dari Guru terhadap siswa yang

moralnya baik adalah dengan penilaian terhadap nilai rapor yang berbeda

antara siswa yang sering melakukan pelanggaran tata tertib sekolah dengan

siswa yang taat pada tata tertib sekolah. Penilaian tersebut lazim sebagai

penilaian afektif siswa yang tidak hanya didasarkan pada ranah kognitif

saja namun Guru dalam memberikan evaluasi juga memperhatikan tingkah

laku siswa. Penghargaan yang lain adalah pemberian beasiswa terhadap

siswa yang kurang mampu akan diprioritaskan pada siswa yang memiliki

tingkah laku atau moral yang baik dengan indikasi bahwa tidak pernah

melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Siti Bulqis dari wawancara

mengatakan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5

Semarang yang mendapatkan beasiswa dari GAKI di kelas 10 sebanyak

148 orang, 75 % siswa merupakan dari keluraga tidak mampu

(wawancara: 26 Mei 2007).

Antara siswa kelas 10, 11 dan 12 dari hasil observasi dan

wawancara didapatkan perbedaan karakteristik siswa. Siswa kelas 10

cenderung untuk taat dan patuh pada tata tertib sekolah karena masih ada

rasa takut dan masih mengenal lingkungan sekolahnya. Siswa kelas 11

sudah mengalami perubahan karena sudah mengenal lingkungan sekolah


101

dan tidak memikirkan ujian akhir nasional sehingga unsur coba – coba

semakin besar. Berbeda dengan kelas 12 yang semakin dewasa untuk

mengurangi pelanggaran tata tertib sekolah. Disebabkan Guru sudah

memberikan pemahaman kepada siswa bahwa mereka nantinya akan

menghadapi ujian akhir nasional.

Kendala – kendala tersebut secara umum akan mencakup dari

fasilitas yang dimiliki sekolah, personil yang menangani kebutuhan siswa

dan implementasi tujuan pendidikan moral melalui tata tertib sekolah yang

kadang kurang tepat disampaikan oleh Guru. Akibat yang ditimbulkan

adalah rasa ketidakpercayaan yang dialami oleh siswa dalam melalui tahap

– tahap perkembangan moral.

Upaya – upaya sekolah dalam mengatasi pelanggaran tata tertib

sekolah ada 3 (tiga) tahap yaitu tindakan preventif, tindakan kuratif dan

tindakan represif (Soeparwoto, 2006:213). Tahap tindakan preventif yaitu

berupa upaya pencegahan sebelum pelanggaran tata tertib sekolah terjadi

dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu:

a. Usaha pencegahan timbulnya pelanggaran tata tertib sekolah secara

umum dengan langkah – langkah

1). Berusaha mengenal dan mengetahui ciri umum dan khas

siswa.

2). Mengetahui kesulitan – kesulitan yang secara umum dialami

oleh siswa.

3). Usaha pembinaan siswa, yang meliputi:


102

a). Menguatkan sikap mental siswa supaya mampu

menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

b). Memberikan pendidikan bukan hanya dalam

penambahan pengetahuan dan keterampila, namun

juga pendidikan mental dan pribadi melalui pengajaran

agama, budi pekerti dan etika.

c). Menyediakan sarana – sarana dan menciptakan suasana

yang optimal demi perkembangan pribadi yang wajar.

d). Usaha memperbaiki keadaan lingkungan sekitar.

b. Usaha pencegahan timbulnya pelanggaran tata tertib sekolah secara

khusus yang dilaksanakan oleh Guru, Guru Pembimbing, atau

psikolog sekolah bersama para pendidik lainnya.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang dalam

tindakan preventif antara lain melalui kegiatan keagamaan, nasehat setiap

upacara, penyuluhan psikologi dan hukum yang bekerjasama dengan

psikolog dan Polres Semarang Timur. Uapaya sekolah dalam menyadarkan

siswa yang melanggar tata tertib sekolah dengan memberikan pembinaan

akan tata tertib sekolah kepada siswa. Siswa mempunyai kewajiban

membaca dan mematuhi tata tertib sekolah.

Tahap kuratif atau rehabilitasi yaitu dilakukan setelah tindakan

pencegahan lainnya dilaksanakan dan dianggap perlu mengubah tingkah

laku siswa yang melanggar dengan cara membina siswa yang selalu

melanggar tata tertib sekolah, baik dari Guru yang bersangkutan dengan
103

bekerjasama Bimbingan dan Penyuluhan/Bimbingan dan Konseling atau

wali kelas intensif mengawasi tingkah laku siswa yang dianggap

melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Upaya ini ditindaklanjuti

dengan pemantauan khusus kepada keseluruhan siswa maupun siswa yang

berpotensi untuk melakukan pelanggaran tata tertib sekolah dari unsur –

unsur sekolah tersebut. Selain itu perorangan dari Guru bagi yang

membolos dikumpulkan diberi pemahaman kesalahan, akibat yang

ditimbulkan bila melanggar tata tertib sekolah kemudian diadministrasi

atau didata diteruskan membuat surat pernyataan tidak mengulangi

perbuatan dan tugas secara fisik yang bersifat mendidik.

Tahap tindakan represif berupa pengambilan tindakan bagi

pelanggaran yang telah berulang kali atau termasuk kategori pelanggaran

berat terhadap tata tertib sekolah. Soeparwoto (2006:215) dalam usaha

menindak pelanggaran tata tertib sekolah, tindakan represif dilaksanakan

apabila tingkah laku siswa sudah melewati batas toleransi dari norma

sosial atau kadar angka poin yang telah ditentukan oleh pihak sekolah. Di

sekolah yang yang berwenang memberikan hukuman represif ini adalah

Kepala Sekolah. Guru dan staf pembimbing bertugas menyampaikan data

mengenai pelanggaran maupun akibatnya. Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK) Negeri 5 Semarang pada tahun pelajaran 2003/2004 ada 2 siswa

yang terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena tersangkut kriminal dan

tawuran antar sekolah. Langkah – langkah pihak sekolah antara lain


104

memberikan peringatan secara lisan maupun tertulis kemudian memanggil

orang tua ke sekolah.


BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Pendidikan moral pada intinya adalah mengajarkan dan melatih

siswa terhadap kesadaran moral. Pendidikan moral selain diajarkan melalui

bentuk formal dalam mata pelajaran juga dapat diberikan melalui bentuk –

bentuk lain seperti adanya tata tertib sekolah. Pendidikan moral yang diajarkan

dan dilatihkan tersebut disesuaikan dengan nilai – nilai identitas masyarakat

atau nilai – nilai moral seperti nilai religiositas, nilai sosialitas, nilai gender,

nilai keadilan, nilai demokrasi, nilai kejujuran, nilai kemandirian, nilai daya

juang, nilai tanggung jawab dan nilai penghargaan terhadap lingkungan alam.

Dari hasil penelitian dan pembahasan didapatkan simpulan yaitu:

1. Nilai – nilai moral tersebut harus dilembagakan melalui norma –

norma/kaidah – kaidah dalam lingkungan sekolah yang disesuaikan

dengan masyarakat. Tata tertib sekolah dapat menjadi sarana pendidikan

moral yang mempunyai fungsi pencegahan atau preventif bagi tingkah

laku siswa agar tidak melanggar atau menyimpang dari moral

masyarakat. Sanksi bagi siswa yang melanggar adalah bersifat mendidik

siswa terutama untuk menanamkan pendidikan moral.

2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang menggunakan

sistem credit poin yaitu setiap pelanggaran tata tertib sekolah

105
106

mendapatkan poin tertentu. Penggunaan credit poin dengan

mempertimbangkan segi tahap – tahap perkembangan siswa dan sanksi

yang mendidik. Faktor – faktor penyebab siswa melanggar tata tertib

sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang

adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal dari diri siswa

adalah potensi bawaan siswa itu sendiri, seperti faktor intelegensi, bakat

maupun dorongan instrinsiknya atau motif. Faktor eksternal adalah

lingkungan sosial budaya, paling tidak ada akan terdapat lingkungan

tempat tinggal, kondisi status sosial ekonomi keluarga, lingkungan

teman sebaya (peer group), keutuhan keluarga, keharmonisan keluarga

dan interaksinya dengan lingkungan masyarakat secara umum.

3. Kendala – kendala utama yang dihadapi sekolah adalah kurang

konsistennya Guru dalam menegakan tata tertib sekolah meliputi dari

tidak secara komperehensif hanya dilakukan oleh Guru yang masih

peduli terhadap moral siswa dan adanya pengaruh dari pergaulan siswa

yang kurang baik. Kurangnya pengawasan dari Guru menyebabkan

siswa banyak yang melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Upaya –

upaya sekolah dalam mengatasi pelanggaran tata tertib sekolah adalah

bersifat preventif, kuratif dan represif.

B. Saran

Saran yang merupakan masukan yang dapat disampaikan berkaitan

penelitian ini adalah:


107

1. Kepala Sekolah hendaknya terus berkomitmen dan lebih intensif

mengadakan penegakan kedisiplinan siswa serta fasilitas pendukung dalam

upaya menekan tingkat pelanggaran siswa terhadap tata tertib sekolah.

2. Guru hendaknya terus melakukan kontrol terhadap pelanggaran tata tertib

sekolah dan meningkatkan kebersamaan guna membina kedisiplinan

siswa.

3. Siswa hendaknya dengan penuh kesadaran diri untuk mematuhi tata tertib

sekolah.

4. Orang tua hendaknya ikut serta melakukan pembinaan moral anaknya agar

patuh dan taat terhadap tata tertib sekolah.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta:


PT Rineka Cipta

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Jakarta: PT Rineka Cipta

Bahar, Aswandi. 1989. Dasar – Dasar Kependidikan. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan

Daroeso, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila.


Semarang: Aneka Ilmu

Daryanto H.M. 2001. Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta

Daryono, dkk. 1998. Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.


Jakarta: PT Rineka Cipta

Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta: PT Rineka Cipta

Haricahyono, Cheppy. 1995. Dimensi – Dimensi Pendidikan Moral. Semarang:


IKIP Semarang Press

Hasan, Iqbal. 2002. Pokok – Pokok Materi Metodologi Penelitian dan


Aplikasinya. Jakarta: Ghalian Indonesia

Johnson, Alvin S. 2006. Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta

Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Jakarta: CV. Mandar
Maju

Koyan, I Wayan. 2000. Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya. Jakarta:


Departemen Pendidikan Nasional

Magnis, Frans – Suseno. 2001. Etika Politik (Prinsip – Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Marpaung, Leden. 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah


Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya

108
109

Mugiarso, Heru dkk. 2006. Bimbingan dan Konseling. Semarang: UNNES Press

Muijs, Daniel dan Reynolds, David. 2001. Effective Teaching, Evidence and
Practice. London: Paul Chapman Publishing

Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya

Mulyono. 1998. Kesadaran Berbangsa. Bandung: Angkasa

Munib, Achmad dkk. 2004. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK
Unnes

Nawawi, Hadari dkk. 1986. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia

Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah –Langkah Penelitian. Semarang:


IKIP Press

Salam, Burhanudin. 2000. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta:
PT Rineka Cipta

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses


Pendidikan. Jakarta: Kencana

Sidharta. 2006. Moralitas Profesi Hukum. Bandung: PT Refika Aditama

Soeparwoto, dkk. 2006. Psikologi Perkembangan. Semarang: UNNES Press

Sunarto dan Agung Hartono. 1994. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Sutopo, H.B. 2002. Metode Penelitian Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan
Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press

Tedjosaputro, Liliana. 2003. Etika Profesi dan Profesi Hukum. Semarang: CV


Aneka Ilmu

Tim Depdikbud. 1989. Disiplin Murid SMTA di Lingkungan Formal Pada


Beberapa Propinsi di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan

Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang. 1989.


Administrasi Pendidikan. Malang: IKIP Malang Press

Widiastono, Tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia (Kumpulan Artikel).


Jakarta: Buku Kompas
110

PEDOMAN INSTRUMEN WAWANCARA


BAGI KEPALA SEKOLAH

Nama :
Usia :
Alamat :

1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang.
a. Bagaimana tingkat kedisiplinan siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
b. Bagaimana ketertiban siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang?
c. Bagaimana kesopanan siswa terhadap guru saat di kelas maupun di
luar kelas?
d. Bagaimana interaksi antar sesama siswa dalam lingkungan sekolah
serta terhadap masyarakat sekitar?
e. Bagaimana respon orang tua terhadap pelanggaran tata tertib
sekolah?
f. Bagaimana kesopanan siswa dengan lingkungan masyarakat
sekitar sekolah?
g. Apa saja pelanggaran tata tertib sekolah yang sering dilakukan
oleh siswa?
2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
a. Apakah yang anda ketahui tentang tata tertib sekolah?
b. Apakah yang anda ketahui tentang pendidikan moral?
c. Siapakah yang bertugas menyusun tata tertib sekolah?
d. Apakah peran kepala sekolah dalam penegakan tata tertib sekolah?
111

e. Bagaimanakah tata tertib sekolah yang baik tersebut?


f. Apakah tata tertib sekolah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang sudah mengandung nilai – nilai moral?
g. Apakah tata tertib sekolah dapat meningkatkan pendidikan moral?
h. Menurut anda, bagaimana moral siswa yang diharapkan oleh
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
i. Bagaimana sistem tata tertib sekolah yang diterapkan di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
j. Bagaimana penyusunan tata tertib sekolah yang dilaksanakan di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
k. Bagaimana bentuk – bentuk penegakan tata tertib sekolah?
l. Bagaimana upaya – upaya sekolah dalam mengatasi pelanggaran
tata tertib sekolah?
m. Apa saja kendala – kendala dalam penegakan tata tertib sekolah di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
112

PEDOMAN INSTRUMEN WAWANCARA


BAGI GURU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Nama :
Usia :
Alamat :

1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang.
a. Bagaimana tingkat kedisiplinan siswa Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang?
b. Bagaimana ketertiban siswa di lingkungan sekolah?
c. Apakah siswa sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh
guru?
d. Apakah siswa sering tawuran atau berkelahi di lingkungan sekolah?
e. Bagaimana melakukan kontrol terhadap ketertiban yang sesuai
dengan moral?
f. Apa saja nilai – nilai moral yang diajarkan pada siswa?
g. Bagaimana cara yang anda lakukan untuk memberikan nilai – nilai
moral tersebut?
h. Apakah tata tertib sekolah dapat meningkatkan moral siswa?apa
indikatornya?
i. Apa saja yang termasuk dalam pelanggaran terhadap tata tertib
sekolah?
j. Apa saja kategori siswa yang melakukan pelanggaran tata tertib
sekolah?
k. Bagaimana penegakan tata tertib sekolah pada saat kegiatan belajar
mengajar?
2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
113

a. Apakah yang anda ketahui tentang tata tertib sekolah?


b. Apakah yang anda ketahui tentang pendidikan moral?
c. Apakah tata tertib sekolah dapat menjadi sarana pendidikan moral
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?apa saja
indikasinya?
d. Apakah tata tertib sekolah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang mengandung pendidikan moral?
e. Bagaimana peran guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam
penegakan tata tertib sekolah?
f. Apakah siswa memahami tata tertib sekolah yang dibuat oleh
sekolah?
g. Bagaimana pembelajaran pendidikan moral di kelas?
h. Apa sanksi yang diberikan terhadap siswa yang melanggar tata
tertib sekolah?
i. Apa faktor – faktor pendukung tata tertib sekolah dalam
implementasi pendidikan moral?
j. Hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tata tertib
sekolah?
k. Apa saja kendala – kendala dalam penegakan tata tertib sekolah?
l. Bagaimana upaya mengatasi siswa yang melakukan pelanggaran
tata tertib sekolah?
114

PEDOMAN INSTRUMEN WAWANCARA


BAGI GURU BIMBINGAN KONSELING

Nama :
Usia :
Alamat :

1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang.
a. Bagaimana tingkat kedisiplinan siswa Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang?
b. Bagaimana ketertiban siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang?
c. Bagaimana kesopanan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang?
d. Apa saja pelanggaran tata tertib sekolah yang sering dilakukan oleh
siswa?
e. Bagaimana persepsi masyarakat sekitar terhadap ketertiban siswa
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
f. Apakah ada perbedaan karakteristik siswa pada setiap kelas atau
jurusan dan angkatan?apa saja perbedaan tersebut?
2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
a. Apakah yang anda ketahui tentang tata tertib sekolah?
b. Apakah yang anda ketahui tentang pendidikan moral?
c. Apakah tata tertib sekolah dapat menjadi sarana pendidikan moral
di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?apa
saja indikasinya?
115

d. Apakah tata tertib sekolah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)


Negeri 5 Semarang mengandung pendidikan moral?
e. Bagaimana sistem tata tertib yang diterapkan di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
f. Apakah tata tertib sekolah dapat meningkatkan pendidikan
moral?apa saja indikatornya?
g. Bagaimana prosedur pemberian sanksi bagi siswa yang melanggar
tata tertib sekolah?
h. Apakah penegakan tata tertib sekolah sering dilakukan?apa saja
bentuknya?
i. Apa saja peran guru bimbingan konseling dalam penegakan tata
tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral?
j. Apakah sanksi yang diberikan terhadap siswa yang melanggar tata
tertib sekolah?
k. Apakah pemberian sanksi membuat siswa menjadi jera untuk tidak
mengulangi pelanggaran tata tertib sekolah yang sama?
l. Apakah kelebihan penggunaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral?
m. Bagaimana mengatasi siswa yang melakukan pelanggaran terhadap
tata tertib sekolah?
n. Apa saja motif – motif siswa melakukan pelanggaran tata tertib
sekolah?
o. Apa saja faktor – faktor yang menyebabkan siswa melanggar tata
tertib sekolah?
p. Bagaimana upaya – upaya bimbingan sekolah dalam mengatasi
pelanggaran tata tertib sekolah?
q. Bagaimana peran orang tua dalam masalah pelanggaran tata tertib
sekolah?
116

PEDOMAN INSTRUMEN WAWANCARA


BAGI SISWA

Nama :
Usia :
Kelas/Jurusan :
Alamat :

1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang
a. Mengapa kamu melakukan pelanggaran tata tertib sekolah?
b. Apakah kamu pernah diajak teman kamu untuk berbuat immoral?
c. Apa saja pelanggaran yang kamu lakukan tersebut?berapa kali?
d. Kamu melakukannya karena diri sendiri atau diajak teman?
e. Apakah kamu tidak malu dengan guru tentang pelanggaraan tata
tertib sekolah yang kamu lakukan?
f. Apakah kamu dengan tata tertib sekolah menjadi jera untuk tidak
mengulangi pelanggaran tata tertib sekolah?
g. Apakah kamu merasa berat jika harus taat terhadap tata tertib
sekolah?
h. Apakah kamu tidak merasa malu jika orang tua kamu dipanggil ke
sekolah dan guru mengatakan bahwa kamu sering melanggar tata
tertib sekolah?
i. Bagaimana perasaan kamu jika melihat temanmu memakai baju
seragam rapi, datang ke sekolah tepat waktu dan taat pada tata tertib
sekolah?
j. Menurut kamu, bagaimana kedisiplinan siswa di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
117

2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di


Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
a. Apakah yang kamu ketahui tentang tata tertib sekolah?
b. Apakah yang kamu ketahui tentang pendidikan moral?
c. Apakah kamu tahu tujuan dibuatnya tata tertib sekolah?
d. Apakah kamu di sekolah termasuk siswa yang mematuhi tata tertib
sekolah?
e. Apakah kamu dijelaskan tentang tata tertib sekolah oleh guru?
f. Apakah kamu tahu kesalahan yang telah diperbuat dirimu?
g. Apakah kamu dijelaskan oleh guru tentang kesalahan yang
diperbuat dalam pelanggaran tata tertib sekolah?
h. Apa sanksi yang diberikan guru terhadap pelanggaran tata tertib
sekolah?
i. Apakah penegakan tata tertib sekolah sering dilakukan oleh pihak
sekolah?
j. Apakah kamu pernah ditegur dan dinasehati oleh guru karena
melanggar tata tertib sekolah?
k. Apakah orang tua kamu sering memberi nasihat jika kamu
melanggar tata tertib sekolah dari guru kamu?
l. Apakah jika kamu membolos dan berkelahi tidak dimarahi oleh
orang tua kamu?
m. Bagaimana perasaan orang tua kamu terhadap pelanggaran tata
tertib sekolah tersebut?
118

DAFTAR NAMA RESPONDEN

No. Nama Jabatan Usia Alamat

1. Drs. H. M. Saidi Kepala Sekolah 53 Tahun Jl. Kendeng No.

332

2. Drs. Darmawan Wakil Kepala Sekolah 52 Tahun Dr. Cipto


SB
Bidang Kurikulum

3. Drs. Heru Wakil Kepala Sekolah 44 Tahun Karangjati


Usadajati
Bidang Kesiswaan Ungaran

4. Drs. Warsito Guru Pendidikan 46 Tahun Dr. Cipto

Kewarganegaraan dan

Sejarah

5. Dra. Siti Bulqis Koordinator BP/BK 48 Tahun Kaligarang

6. Dwi Puji B., Guru Pendidikan 26 Tahun Dr. Cipto 121

S.Pd Jasmani dan Rekreasi

7. Wardi Penjaga Sekolah 57 Tahun Medoho

8. Ngadiyono Penjaga Sekolah 60 Tahun Medoho

9. M. Romadhon Siswa kelas 12 19 Tahun Kaligawe

Kampung Pondok

RT 3 RW 9

10. M. Asrul Siswa kelas 11 17 Tahun Jl. Medoho RT 3

RW 4

11. Fangga Siswa kelas 10 16 Tahun Banyumanik


119

PEMERINTAH KOTA SEMARANG


DINAS PENDIDIKAN
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 5 SEMARANG
Jalan Dr.Cipto 121 (024) 8416335 – 8447476 Semarang 50124

TATA TERTIB SISWA

SMK NEGERI 5 SEMARANG

Bahwa sesungguhnya siswa adalah warga negara yang terdidik.


Oleh karena itu sudah seharusnya merupakan warga negara yang baik,
loyal, tertib dan pantas dicontoh.
Bahwa kehidupan siswa adalah masa yang paling baik dalam
pembentukan fisik, mental dan karakter, untuk menjadi manusia
pembangunan yang ber Pancasila.
Bahwa sesungguhnya tata tertib siswa bukan sekedar kelengkapan
sekolah, tetapi merupakan bagian dari kehidupan siswa dan merupakan
kebutuhan dari siswa itu sendiri.
Untuk menciptakan kedisiplinan siswa dan menekan angka
pelanggaran terhadap tata tertib siswa, SMK Negeri 5 Semarang
memberlakukan sangsi pelanggaran tata tertib siswa ini dalam bentuk
bobot pelanggaran. Bagi siswa yang melanggar tata tertib akan dikenai
bobot angka tertentu sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Apabila
bobot sangsi telah melampui jumlah tertentu maka pengambilan tindakan
sesuai dengan ketetapan terhadap pelanggaran tata tertib ini.
Maka sehubungan dengan hal tersebut di atas disusunlah pedoman
tata tertib siswa SMK Negeri 5 Semarang sebagai berikut :
I. KEGIATAN INTRA SEKOLAH
A. WAKTU PELAJARAN BERLANGSUNG
A.1. Setiap siswa wajib datang 10 menit di sekolah sebelum
pelajaran dimulai pada jam 07.00 WIB, kecuali jam pelajaran
yang ditentukan lain.
A.2. Setiap siswa memasuki ruangan dengan teratur dan tertib.
120

A.3. Pada waktu pelajaran pertama akan dimulai dan pelajaran


terakhir akan selesai, semua siswa melakukan acara berdoa
yang dipimpin ketua kelas.
A.4. Sebelum tiap pelajaran dimulai, semua siswa harus sudah
siap mengikuti pelajaran selanjutnya.
A.5. Setiap siswa wajib mengikuti pelajaran dengan baik, sopan
dan patuh kepada guru.
A.6. Siswa yang datang terlambat, wajib lapor guru piket.

B. WAKTU TIDAK ADA PELAJARAN


B.1. Pada jam istirahat, siswa dianjurkan berada diluar kelas dan
tidak diperbolehkan keluar dari halaman sekolah.
B.2. Pada jam bebas, siswa tidak boleh meninggalkan halaman
sekolah. Dianjurkan untuk memanfaatkan perpustakaan.
B.3. Apabila guru yang bersangkutan berhalangan hadir maka
ketua kelas melaporkan kepada guru piket dan ketua kelas
bertanggungjawab pada ketenangan serta ketertiban kelas.

II. KEGIATAN ESKTRA KURIKULER


A. Kegiatan Ekstra Kurikuler
A.1. Setiap siswa wajib menjadi anggota OSIS
A.2. Setiap siswa dianjurkan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
yang diselenggarakan oleh sekolah.

B. Upacara Bendera
B.1. Setiap siswa wajib mengikuti upacara bendera di sekolah
B.2. Pada saat upacara bendera setiap siswa wajib memakai
seragam OSIS lengkap kecuali ditentukan lain.
B.3. Setiap siswa wajib menjaga agar pelaksanaan upacara
bendera berlangsung tertib, khidmat dan lancar.
121

C. Bimbingan dan Konseling


C.1. Setiap siswa yang mempunyai maslaah-masalah pada dirinya
dianjurkan untuk berkonsultasi dengan guru pembimbing
(bimbingan dan konseling )
C.2. Setiap siswa wajib memberikan keterangan-keterangan yang
dipelrukan dengan sebenar-benarnya.
C.3. Setiap permasalahan yang dialami oleh siswa akan dipegang
teguh kerahasiaannya.

D. Ketertiban dan Kebersihan


D.1. Setiap siswa wajib menjaga kebersihan lingkungan sekolah
D.2. Setiap siswa wajib menjaga keindahan lingkungan sekolah
D.3. Setiap siswa wajib menjaga keutuhan barang-barang milik
sekolah

III. TATA TERTIB KHUSUS


A. OLAH RAGA
A.1. Setiap siswa harus berpakaian seragam olah raga yang telah
ditentukan dan bersepatu. Apabila tidak memakai seragam
maka tidak boleh mengikuti pelajaran tersebut pada saat itu.
A.2. Piket kelas bertanggungjawab atas alat-alat olah raga yang
digunakan.
A.3. Dilarang menggunakan alat-alat olah raga tanpa izin guru
olah raga
A.4. Setiap siswa wajib menghormati dan menjunjung tinggi jiwa
olah raga
A.5. Setiap siswa wajib mentaati peraturan permainan dan
petunjuk guru
122

B. LAIN-LAIN
B.1. Setiap siswa wajib menjaga nama baik sekolah, baik di
lingkungan sekolah maupun diluar sekolah.
B.2. Setiap siswa tidak diperkenankan membawa atau merokok di
lingkungan sekolah, serta makan/minum di dalam kelas.
B.3. Setiap siswa tidak boleh membawa barang-barang terlarang
disekolah antara lain : Senjata tajam, ganja, narkotik dan
sejenisnya, minuman keras, buku/majalah dan alat-alat yang
asusila, serta uang dalam jumlah banyak.

C. MENINGGALKAN SEKOLAH / TIDAK MASUK SEKOLAH


C.1. Setiap siswa pulang sekolah setelah jam pelajaran usai.
C.2. Bila akan meninggalkan sekolah waktu pelajaran belum
selesai, wajib minta izin kepada guru pengajar dan guru
piket. Yang diizinkan adalah :
a. Siswa yang sakit
b. Ada suatu keperluan yang tak dapat ditinggalkan yang
dibuktikan dengan surat keterangan orang tua/wali
c. Untuk keperluan resmi / dispensasi
C.3. Siswa yang sakit pada saat mengikuti pelajaran, diberi izin
untuk berobat ke UKS, ke puskesmas atau istirahat di rumah.
C.4. Siswa yang berhalangan hadir harus minta izin dengan surat
keterangan / surat pemberitahuan.

D. KEAMANAN DI SEKOLAH
D.1. Setiap siswa wajib memiliki alat-alat pelajaran dengan
lengkap
D.2. Siswa yang membawa kendaraan atau sepeda motor wajib
mematikan mesin saat memasuki pintu gerbang/pintu parkir
di tempat yang telah disediakan serta dikunci. Apabila terjadi
kerusakan/kehilangan sepda motor, helm, maka resiko
ditanggung siswa sendiri.
D.3. Setiap siswa wajib menjaga keselamatan hak milik sendiri.
123

E. PAKAIAN DAN CARA BERDANDAN


E.1. Setiap siswa wajib berpakaian seragam sesuai ketentuan
sekolah lengkap dengan badge dan atribut yang terdiri dari :
Bagde OSIS, Badge Lokasi Sekolah.
E.2. Pada saat praktek mengenakan pakaian praktek yang telah
ditentukan.
E.3. Wajib bersepatu hitam tidak boleh memakai sepatu sandal
dan sejenisnya. Wajib memakai kaos kaki yang panjang
minimal di atas mata kaki dan memakai ikat pinggang.
E.4. Setiap siswa putrid tidak diperbolehkan memakai perhiasan
dan berdandan yang berlebihan. Untuk siswa putra tidak
diperbolehkan memakai gelang, kalung, anting dan
perhiasan.
E.5. Setiap siswa wajib mengatur rambut, kuku dan pakaian
dengan rapi dan bersih, baju dimasukkan, siswa putra tidak
boleh berambut panjang, sekurang-kurangnya 1,5 cm di atas
kerah baju.
E.6. Pada saat pelajaran Olah Raga siswa wajib mengenakan
pakaian olah raga dengan baik, menjunjung tinggi sportivitas
dan menaati peraturan yang berlaku.

F. TERTIB ADMINISTRASI
F.1. Setiap siswa wajib membayar Uang BP3 dan Iuran lain yang
ditentukan sekolah selambat-lambatnya tanggal 10 setiap
bulannya.
F.2. Buku rapor harus ditandatangani orang tua/wali masing dan
segera dikembalikan kepada wali kelas.
F.3. Setiap siswa tidak diperbolehkan melakukan kegiatan-kegiatan
yang mengganggu ketenangan dan ketertiban sekolah.
F.4.Setiap siswa yang tidak naik tingkat dua kali berturut-turut
dikeluarkan dari sekolah.
F.5. Setiap siswa tidak diperbolehkan menikah selama menjadi
siswa.
124

G. P E N U T U P
A. Segala sesuatu yang belum tercantum dalam tata tertib ini akan
ditentukan kemudian
B. Setiap siswa diwajibkan memiliki, memahami, mengingat,
menghayati serta melaksanakan Pedoman Tata Tertib ini.

Ditetapkan di : SEMARANG
Tanggal : 18 Juli 2005

Kepala Sekolah,

Drs. H.M. Saidi


NIP.130935750
125

Pola Umum Bimbingan dan Konseling SMK Negeri 5 Semarang

BK

Bimbingan Bimbingan Bimbingan Bimbingan


Pribadi Sosial Belajar Karier

Layanan Layanan Layanan Layanan


Orientasi Penempatan/ Konseling/ Konseling
Penyaluran Individual Keluarga

Layanan Layanan Layanan Bimbingan


Informasi Pembelajaran Kelompok

Instrumentasi Konferensi Alih Tugas


BP/BK kasus Kasus

Himpunan Data Kunjungan


Rumah

You might also like