Pluralisme Hindu dan Toleransi. ( Wayan Suwira Satria)
Menurut Mircea Eliade, manusia adalah Homo Religius, artinya bahwa
manusia pada dasarnya mahluk yang di dalam kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari kecenderungannya untuk hidup berdekatan dengan Yang Kudus, Tuhan Yang Maha Kuasa. Sejauh-jauhnya manusia hidup secara sekuler masih tetap dan tak akan dapat hidup lepas dari Yang Kudus, walaupun dalam suasana kehidupan modern ini, manusia cenderung untuk hidup dalam dunia yang profan atau sekuler. Dalam tingkatan sekuler yang paling tinggipun seperti yang kita temukan pada manusia modern toh masih berhubungan dengan penghayatan Yang Kudus, namun dalam wujudNya yang didesakralisasi ( Sacred and Profane, M Eliade, 1959 ). Dalam pengalaman manusia berhadapan dengan Yang Kudus, menghadapi stuasi yang mendua atau ambigue dimana disatu pihak ia merasa sangat berkeinginan untuk berada dekat dengan Yang Kudus namun secara bersamaan ia juga merasa takut, yaitu takut yang spesifik demikian Rudolf Otto. Dalam situasi yang seperti ini Sarvepalli Radhakrishnan berpendapat bahwa keterlibatan manusia dalam berhadapan dengan Yang Kudus adalah keterlibatan yang bersifat total. Bahwa manusia berhadapan dengan Tuhannya melibatkan kemanusiaan secara menyeluruh. Kemanusiaannya yang menyeluruh berarti pula bahwa seluruh kemampuannya dan potensinya ikut terlibat dalam berhadapan dengan Yang Kudus. Setiap manusia memiliki potensi-potensi di dalam dirinya seperti; intelek, emosi, perasaan, imajinasi dengan kapasitas yang berbeda-beda, sesuai dengan pengaruh tiga energi alam (tri guna = tiga yang mengikat) yaitu satwam (kebaikan), rajas (nafsu) dan tamas (malas) (BG. XIV.5; XVIII.40). Dengan kapasitasnya yang berbeda-beda ini mereka semuanya berjuang untuk mengisi kehidupan ini dengan harapan dapat sampai pada tujuan kehidupan tertinggi yaitu pembebasan (moksa). Oleh karena “pembebasan” atau “keselamatan” itu milik dan tujuan dari setiap manusia dalam kehidupan ini, maka dalam Weda, Tuhan memberikan banyak jalan yang dapat ditempuhnya, sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Bhagavad-gita 3.11
Dengan jalan bagaimanapun orang mendekati, dengan jalan yang
sama itu juga Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti jalanku, Oh Parta. Menyadari bahwa manusia mempunyai kemampuan yang berbeda- beda, maka Brahman memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk mendekati diriNYA dan memberikan kebebasan untuk memilih jalan yang mana saja untuk menuju kepadaNYA, asalkan jalan-jalan yang dipilih itu adalah jalan yang dibenarkan. Jalan-jalan itu antara lain adalah : 1. Janana Marga, 2. Bhakti Marga, 3. Karma Marga, 4. Yoga Marga. Jnana Marga cocok untuk mereka yang mempunyai kecenderungan intelektual yang kuat. Mereka senang berfilsafat, mengadakan perenungan-perenungan filsafat dalam suatu perdebatan atau diskusi ilmiah, sehingga menemukan persamaan antara Atman dengan Brahman. Aham Brahmasmi, aku adalah Brahman. Tat Tvam Asi, aku adalah Engkau. Bhakti Marga yaitu mengembangkan cinta kasih yang ada dalam hati manusia untuk dikembangkan menuju kepada cinta kasih kepada Tuhan. Tentu saja konsep Tuhannya kelompok Bhakti Marga tidak sama dengan konsep Tuhan para Jnanin yang Impersonal. Konsep Tuhan kaum Bhakta yang Personal. Karma Marga adalah kelompok yang berusaha mencapai Tuhan lewat jalan kerja tanpa pamrih. Yoga Marga yaitu mereka yang mendekati Tuhan lewat tahapan-tahapan yang diajarkan dalam Yoga (astangga yoga). Tidak ada diantara empat jalan ini yang paling baik. Jalan atau cara yang terbaik bagi seseorang sangat tergantung dari jalan yang paling sesuai dengan kemampuan dan bakatnya masing-masing. Disamping itu Hindu juga mengenal konsep tentang Istadewata, yaitu pemahaman dan penghayatan tentang Tuhan, yang memungkinkan manusia untuk memiliki konsep tentang Tuhan yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya. Secara umum dalan pemikiran Hindu bahwa konsep Tuhan, dapat dipahami sebagai Tuhan yang Transenden dan Tuhan yang Imanen yang secara jelas kita temukan dalam pemikiran Advaita dari Sankara. Sankara mengatakan bahwa ada dua Brahman, yaitu Nirguna Brahman (Tuhan yang Transenden) dan Saguna Brahman (Tuhan yang Imanen). Menurut Sankara Tuhan yang Transenden adalah Tuhan yang tanpa sifat, sehingga Tuhan terbebas dari perbedaan-perbedaan, sehingga tidak dapat dibedakan oleh manusia yang pada dasarnya memiliki pemikiran yang terbatas. Upanisad menyatakan bahwa Brahman itu Neti-Neti, artinya bukan ini dan bukan itu (Madrasuta,2002:78). Tidak seorangpun manusia mampu memikirkan dan mengenalinya. Namun Brahman yang Saguna, yang Imanen adalah Tuhan dengan segala atributnya yang dapat didekati dan dikenal oleh manusia. Oleh karena kemampuan manusia mengenalnya dengan tingkat serta kapasitas yang berbeda beda dan atribut Tuhan yang tak terbatas maka Saguna Brahman (Tuhan) dikenal dengan tingkat keragaman yang tinggi, oleh karena kemampuan pengenalan manusia yang satu, berbeda dengan pengenalan manusia yang lainnya. Dengan demikian sangat mudah kita yang awam akan menarik kesimpulan bahwa seolah olah ada banyak Tuhan dalam Hindu, atau Hindu adalah Agama yang Politeistis. Tentu saja pernyataan seperti ini keliru, oleh karena Nirguna Brahman dan Saguna Brahman adalah Advaita (tidak dua), hanyalah satu, Tuhan itu Esa. Sekaligus dalam hal ini terkandung konsep dasar tentang kebebasan pada setiap manusia untuk untuk memuliakan Istadewatanya masing-masing dengan perbedaan-perbedaan yang ada, tanpa harus dipertentangkan satu dengan yang lainnya. Pluralitas adalah suatu keharusan, suatu keniscayaan, yang tak dapat dipungkiri. Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan yang ada dalam Weda yang memperkuat pluralisme ini, dalam (Rg Veda 1.164.46): Ekam Eva Advityam Brahman, Sat Viprah Bahudha Vadanti. Brahman (Tuhan) adalah Esa, para maharsi menyebutkannya dengan banyak nama. Tuhan memiliki ribuan nama (sahasra nama). Secara bebas dapat diartikan pula bahwa “kebenaran” itu adalah satu, hanya orang bijaksana yang menyebutnya dengan banyak nama (Bansi Pandit, 2005:375). Lebih lanjut, jalan-jalan yang berbeda itupun dibenarkan dalam (B.G. IV. 11): Sejauh mana semua orang menyerahkan diri padaKu, Aku menganugrahi mereka sesuai dengan penyerahan dirinya itu. Semua orang menempuh jalanKu dalam segala hal, wakai putra Prtha. (Prabhupada, 2000:232). Svami Vivekananda dalam pidatonya pada pertemuan Parlemen Agama Dunia di Chicago Th. 1893 mengatakan bahwa seluruh umat manusia adalah mulia. Kalian semua adalah anak-anak Tuhan, yang berbagi kebahagiaan, kesucian dan mahluk sempurna yang abadi. Engkaulah yang paling mulia di bumi ini. Mengatakannya sebagai “pendosa” adalah fitnah. Ada suatu kesetaraan diantara manusia, apakah anda dilahirkan sebagai Muslim, Kristen, Hindu, sebagai orang Amerika, Arab, Indonesia, Cina dan sebagainya. Menurut pandangan eksistensialisme bahwa kita terlempar, terlahir ke dunia ini tanpa persetujuan kita. Vasudhaiva Kutumbakam, bahwa semua manusia adalah satu keluarga. Aku adalah Engkau kata Martin Buber, yang sudah ada pada pemikiran Hindu, Tat Tvam Asi. Tidak satu orangpun dapat mengklaim dirinya lebih mulia dari yang lainnya. Hanya dirinya yang memiliki jalan terbaik dan satu-satunya jalan untuk sampai padaNya. Sangat relevan konsep Hindu kuno ahimsa, yang secara total dijalankan dan diaplikasikan oleh Gandhi di bidang kehidupan politik, yang melahirkan kekuatan yang maha dahsyat tanpa kekerasan di dalam diam, di dalam keheningan, sehingga mampu menghentikan kekuatan Kolonialisme Inggris. Konsisten dengan nilai-nilai Hindu di atas pada setiap penutup dari doa-doa yang diucapkan oleh umat Hindu tidak pernah hanya semata mendoakan keselamatan dirinya sendiri tetapi selalu juga keselamatan orang lain, umat lainnya dan bahkan sampai kepada keselamatan dari apa saja yang eksis, segala yang ada. Doanya bersifat universal : “Semoga semua manusia bahagia; semoga semua manusia sehat selalu; semoga semua manusia mendapatkan kemakmuran; semoga tidak ada seorangpun yang menderita”