You are on page 1of 20

REFERAT

SINDROMA CROUP

Disusun oleh:
Bagus Dhananing Satwikaputra, S. Ked
062010101059

Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp. A
dr. Gebyar Tri Baskoro, Sp. A
dr. Ramzi Syamlan, Sp. A

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Kesehatan Anak di RSUD dr.Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010
PENDAHULUAN

Sindroma croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak,
batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres
pernapasan. Gejala yang dapat ditimbulkan bisa dari yang bersifat ringan, sedang,
atau bahkan bisa dengan gejala yang cukup parah biasanya terjadi memburuk pada
malam hari. Penyakit ini sering terjadi pada anak. “Croup” berasal dari bahasa
Anglo-Saxon yang berarti “tangisan keras”. Penyakit ini pertama kali dikenal pada
tahun 1928.
Croup sindrom ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak, dan biasanya
terpapar antara usia 6 bulan dan 5-6 tahun. Penyakit ini terdapat sekitar 5% dari
penerimaan rumah sakit dalam suatu populasi. Dalam kasus yang jarang, mungkin
terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang tertua sekitar usia 15 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita penyakit ini adalah
50% anak laki-laki lebih sering daripada perempuan, dan ada peningkatan
prevalensi di musim gugur.
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi
inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika terjadi
sampai ke bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis.
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus
yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan
obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan hingga
berat.
Croup sindrom terbanyak disebabkan oleh virus yang menyerang saluran
respiratori atas. Virus yang paling sering menyebabkan sindroma croup ini
biasanya adalah Para-influenza tipe 1 virus (HPIV-1) 60%, HPIV-2, 3 dan 4,
influenza A dan virus B, adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan
campak virus. Selain dapat disebabkan oleh virus, croup sindrom ini dapat pula
disebabkan oleh suatu bakteri. Bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ini
antara lain Corynebacterium diphtheriae, Staphylococcus aureus , Streptococcus
pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan Catarrhalis Moraxella.

1
Sifat penyakit ini adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung
menjadi berat bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara luas, 30%
kasus croup sindrom harus dirawat d Rumah Sakit dan 1,7% memerlukan intubasi
endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid telah digunakan secara luas, kasus
croup yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit menurun drastis, dan intubasi
endotrakea jarang dilakukan.
Di Alberta, lebih dari 60% anak didiagnosis croup derajat ringan, 4% (satu
dari 170 anak) memerlukan perawatan di Rumah Sakit dan 4% (satu dari 4500
anak) harus dilakukan intubasi.

2
DEFINISI

Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit


heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik
sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi,
dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas2.
Pada croup sindrom ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang biasanya
dipicu oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi menyebabkan
pembengkakan di dalam tenggorokan, yang mengganggu pernapasan normal.
Selain itu juga terjadi suatu pembengkakan di sekitar pita suara, terjadi biasanya
secara umum pada bayi dan anak-anak dan dapat memiliki berbagai penyebab

KLASIFIKASI

Secara umum Croup Sindrom diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu2,5:


A. Viral Croup (laringotrakeobronhotis)
Ditandai dengan gejala-gejala prodromal infeksi pernafasan: gejala
obstruksi saluran pernafasan berlangsung selama 3-5 hari. Usia ± 6 tahun.
Stridor (+), Batuk (sepanjang waktu), Demam (+) yang tinggi, durasi 2-7 hari,
Keluarga sejarah (+), kecenderungan oleh asma (-).
B. Spasmodic Croup
Spasmodic croup, batuk hebat, terdapat faktor atopik, tanpa gejala
prodromal, anak tiba-tiba bisa mendapatkan obstruksi saluran pernapasan,
biasanya pada malam hari sebelum menjelang tidur, serangan terjadi sebentar
kemudian kembali normal.

Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat


keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori5:
1. Ringan: Ditandai dengan batuk menggonggong keras yang kadang-kadang
muncul, Stridor yang tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak
beraktivitas atau tidak ada kegiatan dan teradapat retraksi dada ringan.

3
2. Moderat/Sedang: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
Stridor lebih bisa mendengar ketika pasien beristirahat atau tidak aktivitas,
retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tanpa gangguan pernapasan
yaitu gawat napas (repiratory distress).
3. Berat: Ditandai dengan sering batuk menggonggong yang sering timbul,
Inspirasi stridor lebih bisa mendengar saat aktivitas pasien atau kurang
istirahat, akan tetapi, lebih terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan
kadang-kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, juga
terdapat gangguan pernapasan.
4. Gagal napas mengancam: Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor positif
(kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), terdapat sedikit gangguan
kesadaran (letargi), dan kelesuan.

EPIDEMIOLOGI

Sindrom Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada anak
berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun meskipun angka prevalensi untuk kejadian ini
cukup kecil.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin
dan musim gugur pada negara-negara sub-tropis sedangkan pada negara tropis
seperti indonesia angka kejadian cukup tinggi pada musim hujan, tetapi penyakit
ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh
pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter.
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan
dengan pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15% pasien
sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama5.

4
ETIOLOGI

Croup sindrom ini biasanya dianggap terjadi karena infeksi virus. Nama
lain menggunakan istilah yang lebih luas, untuk menyertakan laryngotrakeitis
akut, batuk tidak teratur, difteri laring, trakeitis bakteri , laryngotrakeo-bronkitis,
dan laryngotrakeobronkopneumonitis. Dari macam-macam penyakit tersebut
terdapat kondisi yang melibatkan infeksi virus dan umumnya lebih ringan
sehubungan dengan simptomatologi, akan tetapi terdapat pula yang dikarena
infeksi bakteri dan biasanya dengan tingkat keparahan lebih besar. Selain dapat
disebabkan virus dan bakteri, croup sindrom juga bisa dikarenakan infeksi jamur
yaitu berupa Candida albican1.

Viral
Viral croup / laryngotrakeitis akut yang disebabkan oleh Human
Parainfluenza Virus terutama tipe 1 (HPIV–1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4
terdapat pada sekitar 75% kasus. Etiologi virus lainnya adalah Influenza A dan B,
virus campak , Adenovirus dan Virus pernapasan/Respiratory Syncytial Virus
(RSV). Batuk hebat disebabkan oleh kelompok virus yang sama seperti
laryngotrakeitis akut, tetapi tidak memiliki tanda-tanda infeksi biasa (seperti
demam, sakit tenggorokan, dan meningkatkan jumlah sel darah putih). Perawatan,
dan respon terhadap pengobatan, juga serupa2.

Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan batuk dapat dibagi menjadi beberapa
antara lain, difteri laring, trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan
laryngotrakeobronkopneumonitis. Difteri laring disebabkan Corynebacterium
diphtheriae sementara trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan
laryngotrakeobronkopneumonitis biasanya karena infeksi virus primer dengan
pertumbuhan bakteri sekunder. Sebagian besar bakteri yang umum terlibat adalah
Staphylococcus aureus , Streptococcus pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan
Catarrhalis moraxella2.

5
Penyebab Lain
Etiologi lainnya selain dikarenakan infeksi berupa virus, bakteri, dan
jamur. Terdapat pula penyebab lain yaitu1:
 Mekanik
 Benda asing
 Pasca pembedahan
 Penekanan massa ekstrinsik
 Alergi
 Sembab angioneurotik

PATOFISIOLOGI

Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi


langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi besar
terjadi partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di laryngotrakeitis,
laryngotrakeobronkitis dan laryngotrakeobronkopneumonia biasanya dimulai dari
nasofaring atau oropharynx yang turun ke laring dan trakea setelah masa inkubasi
2-8 hari. Diffuse peradangan yang menyebabkan eritema dan edema dinding
mukosa dari saluran pernapasan. Laring adalah bagian tersempit saluran
pernafasan atas, yang membuatnya sangat suspectible untuk terjadinya obstruksi.
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan
mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm
akan menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan
75% pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan
mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglottis juga dapat menyebabkan
gejala sesak napas.
Airway karena turbulensi udara menyebabkan peradangan yang
menyebabkan penyempitan stridor diikuti retraksi dinding dada yang dapat terjadi
(selama inspirasi). Di daerah Laryngotrakeitis edematous akut, ada histologis
mengandung infiltrat selular di lamina propria, submukosa dan advensisia.
Infiltrat ini berisi histiosit, limfosit, sel plasma, dan neutrofil.

6
Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada
keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti napas2.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan


stridor inspiratoir. Bila terjadi obstruksi stridor menjadi makin berat, tetapi dalam
kondisi yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi
gejala obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara
serak dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan
membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas
yang makin berat, ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan
cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan retraksi supraklavikular,
suprasternal, interkostal, epigastrial.
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia
bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang
berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan
terjadi setelah 7-14 hari1. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa
nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong2.
Perbandingan antara viral croup (laringotrakeobronkitis) dan spasmodic
croup (spasmodic cough) dapat dilihat pada tabel dibawah ini2:

7
Tabel perbandingan antara Viral croup dan Spasmodic croup
Karakteristik Viral Croup Spasmodic Croup
Usia 6 bulan – 6 tahun 6 bulan – 6 tahun
Gejala prodromal Ada Tidak jelas
Stridor Ada Ada
Batuk Sepanjang waktu Terutama malam hari
Demam Ada (tinggi) Bisa ada, tidak tinggi
Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam
Riwayat keluarga Tidak ada Ada
Predisposisi asma Tidak ada Ada

DIAGNOSIS

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada


pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan
frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan
derajat stres pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu
diperlukan. Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat
napas/respiratory distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat
diperlukan.
Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan croup beratnya
adalah Skor Westley. Hal ini terutama digunakan untuk tujuan penelitian, jarang
digunakan dalam praktek klinis. Ini adalah jumlah poin yang dipaparkan untuk
lima faktor: tingkat kesadaran, cyanosis, stridor, masuknya udara, dan retraksi.
Hal-hal yang diberikan untuk setiap faktor terdaftar dalam tabel ke kanan, dan
skor akhir berkisar dari 0 sampai 17 5.
 Skor total ≤ 2 menunjukkan batuk ringan. Batuk menggonggong
karakteristik dan suara serak yang mungkin ada, tetapi tidak ada stridor
saat istirahat.
 Total skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croup moderat. Hal ini menyajikan
dengan mendengar stridor mudah, tetapi dengan beberapa tanda-tanda lain.

8
 Hal ini juga menyajikan dengan stridor jelas, tetapi juga fitur ditandai
dinding dada indrawing.
 Sebuah nilai total ≥ 12 menunjukkan yang akan adanya kegagalan
pernapasan . Batuk menggonggong dan stridor mungkin tidak lagi
menonjol pada tahap ini.

85% dari anak-anak yang datang ke bagian darurat memiliki penyakit


ringan, batuk parah sangat jarang (<1%).

Skor Westley: Klasifikasi keparahan batuk


Jumlah poin yang ditugaskan untuk fitur ini
Ciri
0 1 2 3 4 5
Retraksi
Dinding Tidak ada Ringan Moderat Parah
dada
Dengan
Stridor Tidak ada Diam
agitasi
Dengan
Sianosis Tidak ada Diam
agitasi
Tingkat
Normal Bingung
kesadaran
Udara Menurun
Normal Penurunan
masuk tajam

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis
tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan
anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik.
Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi PMN,
kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan
diagnosis croup sindrom ini yaitu bisa dengan pemeriksaan radiologis dan CT-
Scan.

9
Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis (seperti menara /
steeple sign) pada foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan lunak yang
ireguler pada trakea foto lateral, serta peumonia bilateral.
Tanda menara terlihat pada radiografi anteroposterior jaringan lunak leher.
Konvektivitas lateral normal trakea subglottic hilang, dan penyempitan lumen
subglottic menghasilkan konfigurasi V terbalik di daerah ini. Titik dari V terbalik
pada tingkat margin inferior pita suara yang benar. Penyempitan dari lumen
subglottic mengubah tampilan radiografi dari kolom udara trakea, yang
menyerupai atap bernada tajam atau menara gereja.

Gambaran normal foto anterior-posterior

Gambaran normal foto lateral

10
Gambaran Sindrom Croup foto anterior-posterior

Gambaran Sindrom Croup foto lateral

Dalam tanda menara (steeple sign), area kritis penyempitan saluran napas
adalah 1 cm proksimal trakea, di elasticus konus ke tingkat pita suara yang benar.
Mukosa pada tingkat ini memiliki lampiran longgar. Tanda menara dihasilkan
oleh adanya edema pada trakea, yang menghasilkan elevasi mukosa trakea dan
hilangnya memikul normal (Convexities lateral) dari kolom udara
Pada pemeriksaan radiologis leher posisi poserior-anterior ditemukan
gambaran udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya
penyempitan kolumna subglotis. Akan tetapi, gambaran radiologis seperti ini
hanya dijumpai pada 50% kasus saja.

11
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai
diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran
napas atas dapat dijumpai sebagai berikut:
1. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-
camping.
2. Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal.
3. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang
menonjol.

Pada pemeriksaan CT scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab


obstruksi pada pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya
stridor sejak usia di bawah 6 bulan atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu,
pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran radiologis dicurigai adanya
massa2.

DIAGNOSIS BANDING

 Epiglotitis akut
 Laringitis
 Laringotrakeitis akut
 Laringotrakeobronkopneumonitis

TATALAKSANA
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan
napas. Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat RS, melainkan cukup
dirawat dirumah. Pasien dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala
berikut: anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor
terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia,
gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan
tidak ada respons terhadap terapi 2,7.

12
Terapi inhalasi
Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi obstruksi
jalan napas pada sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap
panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin akan
melembabkan saluran respiratori, akan inflamasi, mengencerkan lender pada
saluran respiratori, sekaligus memberikan efek yang nyaman dan menenangkan
bagi anak.
Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada sindrom
croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula memperberat
keadaan pada dengan bronkospasme yang disertai dengan mengi, seperti
laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Saat ini beberapa pusat kesehatan tidak
merekomendasikan penggunaan terapi uap.
Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi
(coldwater fog) tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya untuk
mengobati croup menguntungkan. Gina dkk.melakukan penelitian RCT dengan
memberikan terapi oksigen lembab (humidifiedoxygen) pada pasien croup derajat
sedang di UGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi oksigen lembab dan yang
tidak diberikan.

Epinefrin
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi
kadang-kadang membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah
digunakan untuk mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan
pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak
diperlukan.
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan
membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak
mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin.

13
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular epitel
bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju
udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode double blind, efek terapi
nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama dua
jam. Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin), dengan dosis
0,5 ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan dalam 3 ml
salin normal. Larutan tersebut diberikan melalui nebulizer selama 20 menit.
2. L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek
terapi terjadi dalam dua jam
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar, dan
mempunyai sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan hipertensi.
Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan takikardi
dan kelainan jantung seperti Tetralogy Fallot.

Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme
anti radang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis
ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan
dengan plasebo.

Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/antimuskular
sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak 2-
3 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian yang menyokong keuntungan
penambahan dosis. Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut:
 Mengurangi rata-rata tindakan intubasi
 Mengurangi rata-rata lama rawat inap
 Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon
dengan dosis 1-2 mg/kgBB (E4). Berdasarkan dua penelitian meta-analisis (24

14
RCT) tentang pemakaian kortikosteroid sistemik, dengan pemberian
kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24 jam, disimpulkan bahwa tidak
ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik.

Budesonid
Nebulisasi budesonid dipakai sejak tahun 1990. Tingkat efektifitasnya
adalah E2 bila dibandingkan dengan plasebo. Larutan 2-4 mg budesonid (2 ml)
diberikan melalui nebulizer dan dapat diulang pada 12 dan 48 jam pertama. Efek
terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam 30 menit, sedangkan kortikosteroid
sistemik terjadi dalam satu jam.
Pemberian terapi ini mungkin akan lebih bermanfaat pada pasien dengan
gejala muntah dan gawat napas (respiratory distress) yang hebat. Budesonid dan
epinefrin dapat digunakan secara bersamaan. Sebagian besar kasus pemakaian
budesonid tidak lebih baik daripada deksametason oral.
Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB (kecuali
pada anak yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kortikosteroid dalam jangka
waktu lama (1 mg/kgBB/hari selama delapan hari) dapat meningkatkan infeksi
Candida albicans.

Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat,
yang tidak responsive terapi lain. Intubasi endotrakeal rnerupakan terapi
alternative selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi
melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya hiperkarbia dan ancaman gagal
napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan bila terdapat peningkatan stridor,
peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada,
sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk
jangka waktu yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi2,7.

15
Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra
untuk mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta
mempunyai densitas dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat membantu
mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan meningkatkan aliran gas dan
mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila helium dikombinasikan dengan
oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat.
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup beratakan merasa
nyaman dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek klinis
pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama dengan pemberian nebulisasi
epinefrin.

Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali
pasien dengan laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai
infeksi bakteri. Pasien diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur.
Terapi awal dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3. Pemberian
sedative dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom croup.
Dibawah ini merupakan Algoritma penatalaksanaan sindrom Croup,
sebagai berikut2:

16
CROUP

Diagnosis banding
Obstruksi jalan napas yang  Aspirasi benda asing
mengancam jiwa  Abnormalitas kongenital
 Sianosis  Epiglotitis
 Penurunan kesadaran
 O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi
adrenalin (5ml) 1:1000
 Intubasi anak sesegera mungkin oleh seorang
TIDAK YA yang berpengalaman
 Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak

Croup derajat ringan


Croup derajat sedang Croup derajat berat
 Batuk menggonggong
 Stridor saat istirahat  Stridor menetap saat
 Tanpa retraksi dada
 Terdapat retraksi istirahat
 Tanpa sianosis
dinding dada minimal  Trakeal tug dan
 Mampu berinteraksi retraksi dinding dada
terlihat jelas
 Edukasi orang tua  Apatis dan gelisah
 Pertimbangkan  Pulsus paradoksus
Kortikosteroid
kortikosteroid dosis deksametason 0,15-0,30
tunggal (oral) mg/kg atau Prednison 1-2  Minimal handling
 Periksa kemampuan mg/kg (oral) atau  O2 4 lpm dan nebulisasi
orang tua dan nebulisasi Budesonide 2 adrenalin dan
kemampuan dalam mg jika kortikosteroid oral kortikosteroid sistemik
menyediakan transport tidak berpengaruh (dosis sama dengan
croup derajat sedang)
DIPULANGKAN OBSERVASI > 4 JAM  Intubasi

RAWAT RS
Membaik Tidakmembaik
 Dipulangkan bila tidak  Evaluasiulang
ada stridor saat istirahat  Rawat
Perbaikan
 Edukasi orang tua pasien  Hubungikonsulen
 Evaluasi diagnosis
 Rawat/observasi di IGD
 Ulangi pemberian  Nebulisasi adrenalin (dosis
kortikosteroid oral/12 jam sama) dan kortikosteroid
 Edukasi ortu pasien Sebagian sistemik (dosis sama)
 Sediakan penjelasan  Persiapkan pelayanan untuk
tertulis untuk dokter umum tindakan darurat
yang akan follow up  Pertimbangkan intubasi
 Evaluasi diagnosis 17
Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,
dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan
tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang
perawatan dan pengobatannya tidak adekuat2.

Prognosis
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang baik2.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sindroma Croup, Penyakit Respirologi, Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi


III, Buku satu, RSUD dr. Soetomo Surabaya: 2008. p 57-61
2. Croup (Laringotrakeobronkitis akut), Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
Pertama. Badan Penerbit IDAI: 2008. p 320-328
3. Hardiono d. pusponegoro dkk. Standar Pelayanan Medis Anak Edisi I. Ikatan
Dokter Anak Indonesia: 2004.
4. Harjono, Rima M, dr dkk. Kamus Kedokteran Dorland. EGC: 1996
5. Dominic A dan Henry A Kilham Fitzgerald, 2003, Croup: Assesment and
Evidence-Based Management. Medical Journal The Australia. MJA 2003;
179 (7) : 372-377
6. Roosevelt GE. Inflamasi akut obstruksi jalan napas atas (batuk, Epiglottitis,
laringitis, dan trakeitis bakteri). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, BF Stanton. Nelson Textbook of Pediatrics.18 ed. Philadelphia, Pa:
Saunders Elsevier; 2007: chap 382
7. Croup, Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO,
DEPKES dan IDAI. 2009. p 104-105

19

You might also like