You are on page 1of 25

Kontruksi Sosial Pengetahuan & Pendidikan

Oleh. Hendra Manurung

--------------------------------------------------

I. Pendahuluan

”Seorang intelektual tidak pernah fanatik atau berdendam. Ia tidak akan


mengejar pengukuhan diri oleh orang lain (self recognizition). Ia berani berpendirian,
dan tidak takut mengaku salah atau keliru kalau memang demikian. Ia tidak pernah
takut kehilangan gengsi atau wibawa”. (Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah, 2005)

Menurut penulis, dalam sebuah komunitas ditemukan bahwa, kehidupan


dinamis masyarakat atau pembangunan negara yang memiliki peradaban yang sedang
bangkit biasanya disertai dengan bermunculannya ide – ide besar dan semangat yang
besar dari para penggagas ide – ide tersebut guna dapat mewujudkanya, walaupun
bagi sebagian besar orang, ide – ide besar yang dilontarkan seringkali dipandang
mustahil, karena sedikitnya infrastruktur pendukung ide tersebut di negara mereka
(Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Malaysia tahun 1970-1980an). Diakui bahwa,
memang masing-masing individu yang sedang membawa peradaban tidak hanya
berkutat pada tataran perhitungan mungkin atau tidak mungkin semata yang dilakukan
dengan modal yang mereka miliki, namun mereka lebih berkonsentrasi pada tataran
kesetiaan atau ketidaksetiaan (faithfull or unfaithfull), sehingga ciri khas orang –
orang yang membawa ide besar tersebut memiliki idealisme tinggi dan tidak dapat
dibatasi oleh ruang dan waktu.

Ketika peradaban telah berada pada tataran kemapanan dan ide – ide besar,
dan kemudian telah mulai terbukti sebagai sesuatu yang bukan hanya bualan belaka,
maka pada posisi ini kematangan pemikiran serta inovasi intelektual akan menjadi
corak utama, dan tataran yang digunakan disini bukan hanya pada ”faithfull or
unfaithfull”, karena sesungguhnya segala ketidakmungkinan telah terbantahkan
dengan bukti peradaban yang telah sedemikian maju, modern, dan mapan, hingga
pada tataran demikian yang sering muncul adalah logis atau tidak logis (logic or
unlogic), dimana hampir segala tindakan yang diambil akan dikalkulasi dan
diperhitungkan berdasarkan modal kekuatan yang dimiliki atau infrastruktur yang
mendampinginya, sehingga ciri khas orang – orang yang hidup dalam kemapanan
cenderung menjadi orang yang lebih realistis dan kalkulatif, serta mengutamakan ilmu
pengetahuan, keahlian/kompetensi, dan sikap/perilaku normatif dalam lingkungan
masyarakatnya (knowledge, skill, attitude). Namun demikian, apakah pendidikan telah
memiliki unsur humaniora dalam proses pengajarannya ?. Untuk menjawab
pertanyaan ini, maka perlu kita mencermati,”Apa itu Humaniora ?”. Bahkan disiplin-
disiplin ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan tentang manusia atau
kedokteran umum (human sciences) belum ada, humaniora telah terbentuk.

Dalam humaniora klasik, bahasa tidak disebut sebagai disiplin. Oleh


karenanya, bahasa Latin bukan unsur humaniora. Bahasa Latin, yang karena
perkembangan historisnya, merupakan bahasa yang dipakai sebagai,”lingua franca”,
seperti halnya bahasa Melayu yang dulu pernah merupakan lingua franca di Indonesia
pada awal abad 20. Bahkan bahasa Latin bukan merupakan bahasa dasar. Bahasa yang
paling tua di Eropa dan sebagian dari Asia adalah bahasa Indo-European.1

Bahasa Yunani, bahasa Celtic, bahasa Italic, bahasa Germanic, bahasa Slavic,
bahasa Baltic, dan bahasa Indo-Iranian merupakan anak bahasa Indo-European.
Bahasa Latin adalah dialek dari bahasa Italic, dimana bahasa Latin tidak pernah
menghasilkan karya filosofis, drama, dan literatur yang berarti. Kebanyakan karya
bahasa Latin adalah mengenai hukum, militer, administrasi, organisasi, dan politik.
Namun karena suku Latinum berhasil merebut kekuasaan di Eropa, Timur Tengah,
dan Afrika Utara, mereka telah berhasil menjadikan bahasa Latin sebagai bahasa
pemerintah (state official language), dengan kemudian mendesak bahasa Yunani
sebagai bahasa budaya (language of culture). Sebagian besar karya bahasa Yunani
tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, namun diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab, dan melalui Spanyol, dari bahasa Arab diterjemahkan ke bahasa Latin.2

Humaniora, yang menjadikan manusia (humanus) menjadi lebih manusiawi


(humanior) mula-mula terdiri atas gramatika, logika, dan retorika, disebut dengan
trivium. Pada awalnya, segala tekanan dipusatkan pada gramatika yang sering

1
Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 23
2
Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 24
dipelajari selama tiga tahun pada sekolah menengah tingkat atas. Hal demikian
terjadi, dikarenakan penguasaan bahasa Latin, yang merupakan bahasa studi dan
pergaulan di lingkungan universitas, dan bukan induk bahasa para mahasiswa, dimana
pada umumnya mereka belum cukup untuk dapat mengkomunikasikan hasil proses
belajar. Dengan demikian, jika bahasa komunikasi tidak dikuasai secara mutlak, maka
kemampuan logika dan retorika tidak mungkin dapat berjalan dengan baik. Pada
akhirnya keadaan ini dapat diubah, dengan lebih menekankan bahasa komunikasi
pada logika dan retorika. Terdapat perkembangan dari trivium menjadi quadrivium,
yaitu: teologi, aritmetika, musik/teori akustik, dan astrologi (astronomi saat ini).3

Dapat dijelaskan bahwa, pendidikan humaniora bukan hanya bahasa sebagai


bahasa. Tata bahasa atau Gramatika, bertujuan untuk membentuk manusia terdidik
yang menguasai sarana komunikasi secara mutlak saat ini (how to communicate).
Kemampuan Logika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik yang dapat
menyampaikan apa yang ingin disampaikan sedemikian rupa (how to describe),
sehingga dapat diterima oleh orang lain, karena dapat dimengerti dan masuk akal
(easy to understand & reasonable). Sementara itu, Retorika bertujuan untuk
membentuk manusia terdidik mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar,
serta mampu menyesuaikan diri dan menggambarkan berbagai persoalan dengan
perasaan dan kebutuhan yang dimiliki (how to feel).

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bahasa Indonesia adalah de


facto,”second language”, sementara bahasa Indonesia sendiri sudah hampir tidak
dikuasai secara maksimal. Dapat dimaknai bahwa, bahasa Indonesia untuk para calon
intelektual kita bukan merupakan sarana humaniora yang penting. Bagaimana
mungkin logika dan retorika dapat berkembang, jika secara gramatika kemampuan
berbahasa Indonesia tidak dikuasai secara mutlak. Menurut penulis, pendidikan
humaniora modern dapat diwujudkan di Indonesia, dengan mengakui bahwa bahasa
Indonesia telah menjadi bahasa budaya (language of culture), dimana kita juga akan
mampu menguasai bahasa asing lainnya (contohnya: bahasa Inggris, bahasa
Mandarin, bahasa Jepang, bahasa Korea, bahasa Jerman, bahasa Belanda, bahasa
Rusia, dll). Menjadi hal yang mustahil bilamana berkeinginan mempelajari bahasa
asing, namun ketika kita duduk di bangku SD bahasa Indonesia tidak diajarkan secara
3
Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 25
optimal. Inilah syarat bagi kita orang yang berbudaya, dengan memiliki penguasaan
dua bahasa asing.

Tulisan sederhana ini dibuat atas dasar pemikiran guna menampung mimpi-
mimpi besar pencapaian di bidang pendidikan dan pengajaran, pembentukan serta
pematangan profesi dan pencapaian kemampuan para akademisi. Selain itu pada saat
yang bersamaan juga dapat memberikan sumbangsih besar kepada masayarakat luas
melalui berbagai kegiatan advokasi langsung, pembinaan dan pelatihan para peneliti,
dosen, dan mahasiswa agar supaya dapat menjadi partner pemerintah maupun pihak
swasta dan sektor industri dalam memberikan pemikiran – pemikiran alternatif, solutif
dan aplikatif yang dapat menyelesaikan permasalahan sosial, ekonomi, maupun
politik secara arif dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Disinilah
peran President University diharapkan dapat semakin mengemuka dan mewujud
menjadi sebuah ”universitas terapan dunia” (global research university) yang akan
mampu menjaga keberlangsungan siklus ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
berbagai studi, kajian, dan penelitian ilmiah tersebut di abad millenium ini.

Bilamana melihat upaya pencapaian President University tersebut sejak awal


berdirinya pada tahun 2004 hingga saat ini, memang sepintas hasil pencapaian
penelitian ilmiah sangat luas dan terkesan tidak fokus, namun disinilah karakter
penelitian ilmiah sebenarnya (scientific reserach), dimana ia akan menjadi sebuah
payung besar yang akan selalu menaungi mimpi – mimpi besar itu, dan satu demi
persatu setiap mimpi akan diwujudkan dan diharapkan menjadi hasil yang bermakna
bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Diharapkan pula ketika satu demi satu mimpi -
mimpi itu terwujud, maka keyakinan demi keyakinan para ilmuwan dan penstudi akan
semakin menguat dan menghasilkan energi keilmuan yang lebih besar guna
mendorong ke arah sebuah kemapanan yang selalu dinamis dan up to date bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa yang akan datang.
Guna mewujudkan tercapainya tujuan ini, maka diperlukan untuk mencermati
konstruksi sosial pendidikan ditinjau dari disiplin ilmu Sosiologi dan Filsafat Ilmu.

Fokus studi ilmu Sosiologi adalah sebuah interaksi antara individu dengan
masyarakat, demikian menurut Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam
kehidupan sehari-hari. Disamping itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu
alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala
sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial itu.4
Sosiologi pengetahuan Peter Ludwig Berger menekuni makna yang ada dalam
masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang harus dicermati Sosiologi Berger ?.
Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi ”teori makna” Peter Ludwig Berger. Untuk
memudahkan pembahasan, maka tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang
aliran-aliran pemetaan teori dalam Sosiologi. Kemudian; mencari jawaban dari;
dimana pemosisian teori Berger? Dan bagaimana menggeluti makna perspektif Berger
dalam masyarakat ?

II. Ragam Aliran Teori Sosiologi

Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan paradigma dalam disiplin


sosiologi.5 Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi, yaitu:
paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba
Yunus dan Farid Ahmad memaparkan bahwa paradigma besar dalam sosiologi
kemudian berkembang menjadi tiga, yaitu: Pertama, Struktural Konflik; Kedua,
Struktural Fungsional; Ketiga, Interaksi Simbolik.6 Sedangkan ilmuwan mazhab
Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran tersebut berdasarkan
kepentingannya, yaitu: Positivis, Interpretatif, dan Kritis.7 Sedikit berbeda dengan
Habermas, Poloma membagi sosiologi kontemporer menjadi; naturalis, interpretatif,
dan evaluatif.8

III. Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda

4
Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu
Sosial Universitas Indonesia (1993), hlm. 19

5
Ritzer, George, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm
Science, 1980, hlm. 5
6
Ba Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Jakarta: Mizan,
1988, hlm. 11

7
Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen
Habermas, 2004, hlm. 3
8
Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 44
Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya
pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang
digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of
Sociological Method dan Suicide.9 Emile Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial
sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial
(social institution). Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi/Father of
Sociology” dan pencetus “Positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial yang memiliki
pengaruh besar dalam pengembangan paradigma fakta sosial ini. Terutama dalam
usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian
ilmu-ilmu sosial.

Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori


Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.
Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi
struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar
hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus
umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta
sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang
memaksa dalam masyarakat. Teori sistem Talcott Parson juga termasuk dalam
paradigma ini.

Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan
sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini.
Bagi Max Weber, persoalan utama sosiologi adalah, ”bagaimana memahami tindakan
sosial dalam interaksi sosial”, dimana “tindakan yang penuh arti” ini ditafsirkan
untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Max Weber
menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative
understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.10 Selain Teori
Aksi Max Weber, Teori Fenomenologis Alfred Schutz, Interaksionalisme Simbolis
(diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk dalam aliran ini.
Juga, teori eksistensialisme.

9
Ritzer, George, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm
Science, 1980, hlm. 6-7
10
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2003, hlm. 65
Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini
adalah B. F. Skiner. Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah
pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini mencermati
”perilaku individu yang tak terpikirkan”. Fokus utamanya pada imbalan (rewards)
sebagai stimulus berperilaku, yang diinginkan, dan hukuman atau sanksi
(punishment) sebagai pencegah perilaku-perilaku yang tidak diinginkan. Berbeda
dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner
dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku
sosial menggunakan metode eksperimen. Ada dua teori yang masuk dalam
“behaviorisme sosial”, yakni; sociology behavioral, dan teori pertukaran (theory of
change).

Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma integratif.


Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan
realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan
bahasa), makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya), mikro-obyektif (pola perilaku,
tindakan, dan interaksi), dan mikro-subyektif (persepsi, keyakinan; berbagai segi
konstruksi sosial tentang realita). Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran
Ritzer. Sejumlah pendahulunya, Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964)
telah mengupayakan pengintegrasian makro-mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer
sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang
lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan kontinum mikro-
makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan
individual ke sistem dunia.11 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of
the Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C. Wright Mills (1959)
tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat
makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit.

IV. Kritik Multi - Paradigma Ritzer

11
Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana,
2004, hlm. 60-61
Penempatan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural
fungsional oleh Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang
mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa berada dalam konflik dan menuju
perubahan, dimana berlawanan dengan struktural fungsional yang mengasumsikan
bahwa, masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-
masing yang saling terkait dan aktif, serta senantiasa membawa masyarakat menuju
keseimbangan. Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan
perubahan sosial, sementara pendekatan struktural-fungsional memusatkan
perhatiannya pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari pengabaian
terhadap gejolak perkembangan filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang
menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain,
menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama,
misalnya; antara fungsionalisme dengan teori pertukaran.

Selain itu, paradigma integratif sebagai kesepakatan bersama, ”konsensus”


antar paradigma, atau sebagaimana paradigma yang lebih lengkap, sehingga lebih
akurat sebagai sebuah perspektif sosiologi yang patut diperdebatkan. Merumuskan
teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan berbagai aliran untuk
bersepakat. Tentu hal ini akan mengakibatkan pendistorsian pada teori-teori yang ada,
yang bermunculan dari berbagai paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan
paradigma integratif ini sebagai paradigma tersendiri yang berbeda dengan
paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai paradigma ke-empat
setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku
sosial.

Meta teori Ritzer ternyata tidak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori
alternatif baru dewasa ini. Kemunculan berbagai teori kritis dengan bermacam
alirannya, tidak serta merta mampu ditampung dalam kerangka meta teori Ritzer.
Karena itu, pemetaan Ritzer tidak lagi tepat untuk menggambarkan bagaimana
perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin menampakkan
bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi sombolik) tak
lagi relevan.

V. Empiris-Analitis, Historis-Hermeneutis, dan Emansipatorik Jurgen


Habermas
Jurgen Habermas membagi menjadi tiga aliran berdasarkan kepentingannya,
yaitu: Positivis, Interpretatif, dan Kritis. Pertama, Positivisme ditujukan untuk
kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis; Kedua, Humanisme ditujukan untuk
praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis; dan Ketiga, Emansipatoris untuk ilmu-ilmu
kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar
pada filsafat Rasionalisme Plato yang dipadukan Empirisme Aristoteles. Humanisme
mengambil Epistemologi Transedental Immanuel Kant. Sedangkan Teori Kritis,
bermula dari upaya mencari jalan keluar dari perdebatan panjang positivisme dan
humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl
Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt). Dalam metodologi ilmu
pengetahuan (scientific methodology), ilmu sosial positivisme menggunakan metode
empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survei,
statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan
metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian
kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian
partisipatorik dan metode kualitatif.

VI. Positivisme Plato

Plato menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu
sendiri (a priori). Penerus gagasan ini diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan
Aristoteles menganggap empiris berperan besar terhadap obyek pengetahuan
(aposteriori). Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat Thomas Hobbes dan
John Locke. Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap
perkembangan ilmu alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai ilmu
pengetahuan murni, ”pure science”, maka ilmu alam dapat melepaskan diri dari
berbagai kepentingan, sehingga menjadi lebih obyektif.12

Adopsi saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste
Comte (1798-1857). Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan
istilah ilmu sosiologi menandai positivisme awal ilmu sosial. Sosiologi yang ”bebas

12
Ahmad Zainul Hamdi (Redaktur Pelaksana), Jurnal Gerbang, No.14, Vol.V. Februari-April
2003, Menafsirkan Hermeneutika. hlm. 15
nilai” adalah ciri utama pemikiran Auguste Comte. Karena itu, positivisme ilmu
mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan
menjunjung nilai-nilai moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari kepentingan praktis.
Teori untuk teori, dan bukan praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, maka
pemaknaan ilmu pengetahuan akan menjadi suci dan universal, dan tercapailah
pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Emille Durkheim (1858-1917) adalah
tokoh yang berpengaruh terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi positivistik,
terutama sumbangannya tentang fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan bahwa
pemikran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas
obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai.

VII. Pemahaman Humanisme dan Pendidikan

Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang


berlaku abadi, teori interpretatif humanis mencoba memahami tindakan sosial pada
level makna yang relatif, plural, dan dinamis. Sewajarnya, sosiologi bukan mencoba
untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan pemaknaan
arti yang dibangun orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini berakar
dari epistemologi Immanuel Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat
kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang
mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian
yang tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan
proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak rumusan positivis yang
mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). Penentangan
saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey. 13 Kemudian
disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya.

Weber menekankan pada fenomena ”spiritual” atau ”ideal” manusia, yang


merupakan ciri khas melekat manusia, dan tidak dapat dijangkau oleh ilmu-ilmu alam.
Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas kehidupan manusia, dengan cara
memahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey, lebih memusatkan
perhatiannya pada usaha menemukan struktur simbolis atau makna dari produk-
produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi. Sementara
13
Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi,
Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis
Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia, 2002. hlm. 20-21
Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia
sehari-hari adalah dunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia,
sekaligus sebagai realitas yang memiliki makna subyektif. Perkembangan
fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya etnometodologi (Harold Garfinkel),
interaksionisme simbolik (Herbert Blumer), dramaturgi (Erving Goffman), dan
konstruksi sosial (Peter L. Berger).14

VIII. Teori Kritis

Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan
maupun akademisi tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat beserta
kepentingannya, dan hanya bertujuan demi mengejar obyektivitas ilmu semata.
Ilmuwan harus menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial (actor for
social change). Karena itu, teori kritis menolak tegas positivisme, dan ilmuwan sosial
wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk semakin kritis.
Sehingga, teori kritis bersifat melibatkan semua pihak atau emansipatoris. Emansipasi
mutlak diperlukan, untuk membebaskan masyarakat dari struktur penindasan (new
colonialism). “Kesadaran palsu” senantiasa muncul dan melekat dalam masyarakat,
dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah
interdispliner.

Ben Agger menyebutkan ciri-ciri utama teori kritik sebagai berikut:15

1. Teori Kritis berlawanan dengan Positivisme. Pengetahuan bukanlah refleksi


atas dunia statis “di luar sana”, namun konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori
yang membuat asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari sehingga
tidak sepenuhnya bebas nilai. Selain itu, jika positivis mengharuskan untuk
menjelaskan hukum alam, maka teori kritis percaya bahwa masyarakat akan
terus mengalami perubahan secara dinamis.
2. Teori Sosial Kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum
ditandai oleh adanya dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Oleh karena itu,

14
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2003. hlm. 68
15
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2003. hlm. 58
ilmuwan kritis harus berpartisipasi untuk mendorong perubahan sosial (social
change).
3. Teori Kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial
kritis adalah mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam
memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami.
4. Pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh
kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh Ideologi (Karl Marx), Reifikasi
(Lukacs), Hegemoni (Gramsci), Pemikiran Satu Dimensi (Marcuse), dan
Metafisika Keberadaan (Derrida).
5. Teori Sosial Kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada
kehidupan sehari-hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan
tempat kerja. Disini, teori sosial kritis menghindari determinisme dan
mendukung voluntarisme.
6. Mengikuti pemikiran Karl Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan
antara struktur manusia secara dialektis.
7. Teori Sosial Kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan
panjang yang dapat dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan hidup
manusia. Di sisi lain, teori sosial kritis juga menolak pragmatisme
revolusioner.

IX. Humanisme: Antara Positivisme dan Teori Kritis

Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau
kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan.16 Teoritisi
interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa juga memberikan konsepsi sosiologi
interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori
interpretatif dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan
secara cukup terarah. Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog,
etnometodolog, dan konstruksionis sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif
sebagai counter atas penelitian survai. Penelitian survai gagal memahami makna yang
dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian survai sebagai
turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu fisika prediktif,
sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme.
16
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2003. hlm. 62
Sangat berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough
berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur bersama kajian budaya (cultural
studies) dan teori feminis. Menurut mereka, teori interpretatif adalah cabang dari teori
kritis. Clough dan Smith (1987), melacak keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan
struktur sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan dalam
rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari struktur sosial politik yang menaunginya.17

Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis secara politis
kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara
humanisme dengan teori kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme
eksistensi hukum sosial. Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam
menyikapi ”kesadaran palsu/false consciousness”.18Interpretatif berpandangan bahwa
sangat arogan bagi analisis sosial untuk mengandaikan bahwa, masyarakat memiliki
”kesadaran palsu” atau ”kesadaran sejati”. Sedangkan teori kritik secara tegas
menjelaskan bahwa, masyarakat memiliki ”kesadaran palsu”, yang harus dilawan,
dihancurkan dan diperbaiki.

X. Metodologi Pengetahuan

Epistemologi yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi


pengetahuan yang berbeda. Secara kasar; positivis menggunakan teknik-teknik
kuantitatif, interpretatif dengan kualitatif, dan teori kritis dengan kualitatif-
emansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode
empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai,
statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan
metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian
kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian
partisipatorik dan metode kualitatif.19Dengan demikian, secara spesifik masing-
masing sosiolog memiliki penekanan yang berbeda-beda, walaupun masuk dalam satu
aliran. Terlebih dalam humanisme ilmu sosial dan teori kritik. Walaupun sama-sama
menekuni makna, Harold Garfinkel menggunakan etnometodologi yang memiliki
17
Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 56

18
Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 32
19
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003. hlm. 17
perbedaan dengan fenomenologi Schutz. Peter Ludwig Berger, yang membidik makna
dalam skala lebih luas, menggunakan studi pendekatan sejarah sebagai bagian dari
metodologinya (historical approch as his methodology).

XI. Pemosisian Teori Berger

Perspektif Peter Ludwig Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi
Amerika pada tahun 1960an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun,
seiring mulai ditinggalkannya pendekatan fungsionalisme oleh para penstudi sosiolog
muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik atau teori kritis dan humanisme.
Karena itu, gagasan Peter L. Berger yang lebih humanis (Max Weber dan Schutz)
akan mudah diterima, dan di sisi lain mengambil fungsionalisme (Emille Durkheim)
dan konflik (dialektika Marx). Berger mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain
dalam menyikapi ‘perang’ antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak
melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau
mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu pada
akhirnya bertemu pada tatanan sejarah. Selain itu, benang merah itu yang kemudian
menjadikan Berger menekuni pemaknaan arti Schutz yang menghasilkan watak ganda
masyarakat, dimana masyarakat sebagai kenyataan subyektif menurut Max Weber,
dan juga masyarakat sebagai kenyataan obyektif menurut Emille Durkheim, yang
terus berdialektika (Karl Marx). Lalu, dimana pemosisian teori Berger? Apakah
masuk dalam positif, humanis, atau kritis?

Dalam bukunya, Peter Ludwig Berger secara tegas mengatakan bahwa


Sosiologi, ”merupakan suatu disiplin yang humanistik”.20 Hal ini senada dengan
Poloma yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif
atau humanis.21 Hanya saja, pengambilan Peter L. Berger terhadap paradigma fakta
sosial Emille Durkheim menjadi kontroversi ke-humanisan-nya. Pengambilan itu pula
yang membuat Douglas dan Johnson menggolongkan Peter L. Berger sebagai
Durkheimian, dimana, ”Usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi
sosial atas realitas, pada pokoknya merupakan usaha untuk memberi justifikasi

20
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 265

21
Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. hlm. 30
gagasan Durkheim berdasarkan pada pandangan fenomenologi”.22 Selain itu,
walaupun Berger mengklaim bahwa pendekatannya adalah non-positivistik, namun ia
mengakui jasa positivisme, terutama dalam mendefinisikan kembali aturan
penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial.23

Upaya yang paling aman dan lebih tepat dalam menggolongkan sosiolog
tertentu, adalah dengan menempatkan sosiolog dalam pemosisian dirinya sendiri.
Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang
adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu
memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan
sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat
dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran dan teori antar sosiolog, bukan
menggolong-golongkannya. Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog
sebelumnya yang begitu mempengaruhi teorinya sebagaimana digambarkan di atas
adalah Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert
Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak
bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu
adalah produk masyarakat, masyarakat adalah produk manusia), Peter L. Berger
rupanya meminjam gagasan Marx. Sedangkan masyarakat sebagai realitas obyektif,
yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah
sumbangan pemikiran Emille Durkheim. Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh
lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara
umum, dalam masalah internalisasi, termasuk tentang ’I’ and ’Me’ dan significant
others, Mead menjadi rujukan Peter L. Berger.24

XI. Menekuni Makna dengan Sosiologi Pengetahuan

Selain konsep diri atau self concepts, makna adalah istilah yang sentral dari
sosiologi humanis. Pembahasan mengenai makna sangat nampak dalam

22
Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu
Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 42
23
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 268

24
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 269
Interaksionisme Blumer. Teori Blumer bertumpu pada tiga premis utama yang
melibatkan makna, yaitu :25

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada


sesuatu itu bagi mereka
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang
lain
3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.

Bagi Harold Garfinkel, setiap orang bergulat untuk menangkap pengalaman


sosialnya sedemikian rupa sehingga pengalaman itu “punya/memiliki arti”.
Etnometodologi Harold Garfinkel menyangkut isu realitas common sense di tingkat
individual. Hal itu berbeda dengan Berger, yang menganalisa pada tingkat kolektif.

Berger banyak “berhutang budi” pada fenomenologi Alfred Schutz,


sebagaimana juga Harold Garfinkel, terlebih dalam hal “pengetahuan” dan
”pemaknaan arti”. Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk
pengertian manusia tentang masyarakat, yakni: dunia sehari-hari, sosialitas, dan
makna.26 Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari kenyataan (the first order of
reality). Ia menjadi dunia yang paling fundamental dan esensial bagi manusia.
Sosialitas berpijak pada teori tindakan sosial Max Weber. Social action yang terjadi
setiap hari selalu memiliki makna-makna. Atau, berbagai makna senantiasa
mengiringi tindakan sosial, dimana di balik tindakan sosial pasti muncul dan ada
berbagai makna yang bersembunyi atau melekat (hidden agenda).

Sumbangan Schutz yang utama bagi gagasan fenomenologi, terutama tentang


makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial, adalah tentang “makna” dan
“pembentukan makna”. Orde asasi dari masyarakat adalah dunia sehari-hari,
sedangkan makna dasar bagi pengertian manusia adalah dunia akal sehat (common
sense). Dunia akal sehat terbentuk dalam percakapan sehari-hari. Common sense
merupakan pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan
ini didapatkan individu secara sosial melalui sosialisasi dari dan melalui orang-orang

25
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 112
26
Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana,
2004. hlm. 81
sebelumnya, terlebih dari orang-orang lain yang dikenalnya (significant others).
Common sense terbentuk dari tipifikasi yang menyangkut pandangan dan tingkah
laku, serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena individu-individu yang terlibat
dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun
semacam sistem relevansi kolektif.27

XII. Aktualisasi Sosiologi Pengetahuan

Walaupun Peter L. Berger berangkat dari pemikiran Schutz, namun Berger


jauh keluar dari fenomenologi Schutz, yang hanya berkutat pada makna dan sosialitas.
Karena itu garapan Berger tak lagi fenomenologi, melainkan sosiologi pengetahuan.
Namun demikian, Berger tetap menekuni makna, tapi dalam skala yang lebih luas,
dan sekali lagi menggunakan studi sosiologi pengetahuan. Dalam studi ini, Berger
juga memperhatikan makna tingkat kedua, yakni legitimasi. Legitimasi adalah
pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan
membenarkan tatanan sosial.28 Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat
kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif, karena
tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral (morality values).
Legitimasi, dalam pengertian fundamental, memberitakan apa yang seharusnya ada
atau terjadi dan mengapa terjadi. Berger mencontohkan, tentang moral-moral
kekerabatan, “Kamu tidak boleh tidur dengan X”, karena “X adalah saudarimu, dan
kamu adalah saudari X”.29 Jika dikaitkan dengan norma dalam Islam, maka legitimasi
itu misalnya, “Kamu tidak boleh ‘berhubungan’ dengan X, karena dia bukan istrimu,
dan jika engkau melakukan itu, maka engkau telah berzina, telah melakukan
perbuatan dosa yang besar”.30

Penelitian makna melalui sosiologi pengetahuan, mensyaratkan penekunan


pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah yang menjadi istilah kunci teori
konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1990).31 “Kenyataan”
adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang memiliki

27
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2003. hlm. 17
28
Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 36
29
Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 37
30
Ba Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Jakarta: Mizan,
1988. hlm. 22
31
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 28
keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang
kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). “Pengetahuan” adalah
kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-
karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil eksternalisasi dari
internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan dalam kehidupan sehari-
sehari. Atau, secara sederhana, dapat diartikan bahwa eksternalisasi dipengaruhi oleh
cadangan sosial pengetahuan (stock of knowledge) yang dimilikinya. Cadangan sosial
pengetahuan adalah akumulasi dari pengetahuan akal sehat (common sense
knowledge). Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama
individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan
sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari.32Dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan:
sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan Berger dan Luckmann (1990)
merumuskan teori konstruksi sosial atau sosiologi pengetahuan. Buku ini terdiri dari
tiga bab, yaitu: dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
sebagai realitas obyektif, dan masyarakat sebagai realitas subyektif.

XIII. Dasar-dasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari

Kehidupan sehari-hari telah menyimpan dan menyediakan kenyataan,


sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang ditafsirkan oleh individu,
atau memiliki makna-makna subyektif. Di sisi lain, kehidupan sehari-hari merupakan
suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dan
dipelihara sebagai ”yang nyata” oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-dasar
pengetahuan tersebut diperoleh melalui obyektivasi dari proses-proses dan makna-
makna subyektif, yang membentuk dunia akal-sehat intersubyektif.33 Pengetahuan
akal sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-
individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal dalam kehidupan sehari-hari.
Realitas kehidupan sehari-hari merupakan taken for granted. Walaupun ia bersifat
memaksa, namun ia hadir dan tidak (jarang) dipermasalahkan oleh individu
(Misalnya; civitas akademika President University jarang, bahkan belum pernah,
menanyakan; mengapa gedung universitas terletak di Jalan Ki Hajar Dewantara,
32
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 34
33
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 29
mengapa kantor dekan di lantai tiga, mengapa kantin makan kampus di sebelah
selatan. Hal ini sudah dianggap alamiah, sehingga tidak perlu dibuktikan
kebenarannya. Selain itu, realitas kehidupan sehari-hari pada pokoknya merupakan;
realitas sosial yang bersifat khas dan individu tak mungkin untuk mengabaikannya,
serta totalitas yang teratur dan terikat struktur ruang dan waktu, dan obyek-obyek
yang menyertainya.34

Realitas kehidupan sehari-hari selain terisi oleh obyektivasi, juga memuat


signifikasi. Siginfikasi atau pembuatan tanda-tanda oleh manusia, merupakan
obyektivasi yang khas, yang telah memiliki makna intersubyektif, walaupun
terkadang tidak ada batas yang jelas antara signifikasi dan obyektivasi. Sistem tanda
meliputi sistem tanda tangan, sistem gerak-gerik badan yang berpola, sistem berbagai
perangkat artefak material, dan sebagainya. Bahasa, sebagai sistem tanda-tanda suara,
merupakan sistem tanda yang paling penting. Signifikasi tingkat kedua ini merupakan
sarana untuk memelihara realitas obyektif. Dengan bahasa realitas obyektif masa lalu
dapat diwariskan ke generasi sekarang, dan berlanjut ke masa depan. Bahasa
memungkinkan menghadirkan obyek tersebut ke dalam situasi tatap muka.35

XIV. Masyarakat sebagai Realitas Obyektif dan Subyektif

Manusia berbeda dengan binatang. Binatang telah dibekali insting oleh Tuhan,
sejak dilahirkan hingga melahirkan sampai mati. Manusia secara biologis dan sosial
terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun
keberlangsungan hidupnya. Upaya menjaga eksistensi hidup inilah yang kemudian
menuntut manusia menciptakan tatanan sosial (social structure). Jadi, tatanan sosial
merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus, sebagai keharusan
antropologis yang berasal dari biologis manusia. Tatanan sosial itu bermula dari
eksternalisasi, yaitu : ”pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam
dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya”.36

Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan adanya ”pelembagaan” di


dalamnya. Proses pelembagaan atau institusionalisasi ini diawali oleh eksternalisasi
34
Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu
Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 9
35
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003. hlm. 41
36
Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 4-5
yang dilakukan secara berulang-ulang, sehingga terlihat polanya dan dapat dipahami
bersama, yang kemudian menghasilkan habitualisasi (pembiasaan). Habitualisasi
yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan
tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Disinilah
terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan
pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Jadi, peranan
mempresentasikan tatanan kelembagaan atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan
adalah representasi diri sendiri. Peranan mempresentasikan suatu keseluruhan
rangkaian perilaku yeng melembaga, misalnya peranan guru/dosen dengan peran-
peran lainnya di sektor pendidikan nasional.

Masyarakat sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi.


Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan
yang berdimensi kognitif dan normatif, karena tidak hanya menyangkut penjelasan
tetapi juga nilai-nilai yang dianut masyarakat. Legitimasi berfungsi untuk membuat
obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subyektif.

Perlu sebuah norma umum, ”universum simbolik” yang menyediakan


legitimasi utama keteraturan pelembagaan, seperti halnya universitas. Universum
simbolik menduduki hirarki yang tinggi, metasbihkkan bahwa semua realitas adalah
bermakna bagi individu, dan individu harus melakukan sesuai makna tersebut. Agar
individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial diperlukan, sebagai pemelihara
”universum simbolik”. Maka, dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai
dengan universum simbolik (teori/legitimasi). Di sisi lain, manusia tidak begitu saja
menerima legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum simbolik yang lama tak
lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui organisasi
sosial membangun universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori
dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial. Proses ”legitimasi sebagai legitimasi
lembaga sosial” menuju ”lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi” terus
berlangsung, dan dialektik. Dialektika ini terus terjadi, dan dialektika ini yang
berdampak pada perubahan sosial dalam masyarakat.

Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif


ditafsirkan secara subyektif oleh individu. Dalam proses penafsiran itulah berlangsung
internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk ’mengambil alih’
dunia yang sedang dihuni sesamanya.37 Internalisasi berlangsung seumur hidup
melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses
penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional.
Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, maka individu, seperti halnya dosen
dan para mahasiswa pun bahkan hanya mampu mamahami definisi orang lain, namun
demikian lebih dari itu, mereka turut pula mengkonstruksi definisi tersebut bersama-
sama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai
pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat (social change).

XV. Konseptualisasi Metodologi Sosiologi Berger

Menurut Hanneman Samuel, metodologi Sosiologis Berger mengacu pada tiga


poin penting dalam kerangka teori Berger, yang berkaitan dengan arti penting makna
yang dimiliki aktor sosial, yakni:

1. Semua manusia memiliki makna dan berusaha untuk hidup dalam suatu dunia
yang bermakna ;
2. Makna manusia pada dasarnya bukan hanya dapat dipahami oleh dirinya
sendiri, tetapi juga dapat dipahami oleh orang lain ;
3. Terhadap makna, beberapa kategorisasi dapat dilakukan, yaitu: Pertama,
makna dapat digolongkan menjadi makna yang secara langsung dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya; dan makna yang tidak
segera tersedia secara ’at-hand’ bagi individu untuk keperluan praktis
membimbing tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, makna dapat
dibedakan menjadi makna hasil tafsiran orang awam, dan makna hasil tafsiran
ilmuwan sosial. Ketiga, makna dapat dibedakan menjadi makna yang
diperoleh melalui interaksi tatap muka, dan makna yang diperoleh tidak dalam
interaksi, misalnya melalui media massa cetak maupun elektronik.

Sosiolog menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Karena
itu, Peter L. Berger menjadikan interaksi sosial sebagai ”subject matter” sosiologi.
Interaksi dalam dunia pendidikan ini melibatkan hubungan individu dengan
masyarakat dan lingkungannya. Individu adalah acting subject, makhluk hidup yang
37
Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu
Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 16
senantiasa bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan individu dilandaskan
pada makna-makna subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak
dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang
melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan itu dilaksanakan. Dalam demokrasi
Pancasila, kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan
tanggung jawab sosial. Di dalam kebebasan ini, harus selalu melekat tanggung jawab
terhadap kepentingan umum (public interest) dan kepentingan-kepentingan bersama
(common interests).38

Demokrasi Pancasila adalah berdasarkan paham kekeluargaan dan


kegotongroyongan yang bertujuan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat,
dimana melekat unsur-unsur berkesadaran religius dan menolak atheisme, mencintai
kebenaran berlandaskan budi pekerti yang luhur, berkepribadian Indonesia, dalam arti
menuju keseimbangan antara individu dan masyarakat, antara manusia dengan
Tuhannya, secara lahir dan batin. Hakekatnya, masyarakat merupakan satu kesatuan
yang bersifat kompleks, dimana terdiri atas relasi-relasi antar manusia yang relatif
besar dan berpola.39

Interaksi sosial sebagai persoalan utama, “subject matter”, adalah interaksi


sosial dengan dimensi horisontal dan vertikal. Horisontal tidak hanya bermakna
interaksi antar individu dengan individu lainnya, namun meliputi kelompok dan
struktur sosial masyarakat. Karena itu faktor sosial kultural, ekonomi, dan politik
tidak mungkin terabaikan. Perjalanan sosial manusia tidak lepas dari masa lalu dan
masa mendatang, sehingga aspek sejarah atau aspek vertikal menjadi penting. Hal ini
tidak berarti menghilangkan sosiologi sebagai disiplin ilmiah dan menyatu dengan
ilmu sejarah, namun sosiologi meminjam data-data rekam jejak sejarah untuk
meningkatkan pemahamannya tentang realitas modern masa kini.

* Hendra Manurung, Lecturer at Faculty of Communications, President University,


Kota Jababeka, Cikarang Baru, Bekasi. HP. 021-32602874, Kantor. 021-8910 9762-
63 (Tlp), 021-89109768 (Faks)
38
Hendra Manurung, “Memahami Kebebasan Pers Nasional (Tinjauan : Kejahatan Berkelompok
Terhadap Insan Pers)”, Jurnal Studi Kepolisian : Memahami Tindakan Anarkis ?, PTIK, Edisi 066,
Mei – Agustus 2008. hlm. 45

39
Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu
Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 3
Daftar Pustaka

Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya,


Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.

Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory,


Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik,
Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi,
Surabaya: Insan Cendekia, 2002.

Ba Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat


Kontemporer, Jakarta: Mizan, 1988.
Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES,
1991.

____________, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan;


Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990.

Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan,


Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2003.

Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6,
Jakarta: Kencana, 2004

Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi: menyingkap kepentingan


Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik,
2004.

J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen


Berbasis Sekolah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.

Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu


Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003.

Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2003.

Ritzer, George, Sosiologi; Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta,


1985

Soeprapto, H.R. Riyadi, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi


Modern, Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002

Zeitlin, Irving M, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Sosiologi


Kontemporer, Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 1995.

Jurnal, Majalah, dll


Jurnal Gerbang, No.14, Vol.V. Februari-April 2003, Menafsirkan
Hermeneutika, Ahmad Zainul Hamdi (Redaktur Pelaksana).

Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar


Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1993).

Happy Susanto, Menggagas “Sosiologi Profetik”, Jurnal Pemikiran Islam


Vol.1, No.2, Juni 2003, International Institute of Islamic Thought Indonesia.

Hendra Manurung, “Memahami Kebebasan Pers Nasional (Tinjauan :


Kejahatan Berkelompok Terhadap Insan Pers)”, PTIK, Jurnal Studi
Kepolisian : Memahami Tindakan Anarkis ?, Edisi 066, Mei – Agustus 2008.

You might also like