Professional Documents
Culture Documents
--------------------------------------------------
I. Pendahuluan
Ketika peradaban telah berada pada tataran kemapanan dan ide – ide besar,
dan kemudian telah mulai terbukti sebagai sesuatu yang bukan hanya bualan belaka,
maka pada posisi ini kematangan pemikiran serta inovasi intelektual akan menjadi
corak utama, dan tataran yang digunakan disini bukan hanya pada ”faithfull or
unfaithfull”, karena sesungguhnya segala ketidakmungkinan telah terbantahkan
dengan bukti peradaban yang telah sedemikian maju, modern, dan mapan, hingga
pada tataran demikian yang sering muncul adalah logis atau tidak logis (logic or
unlogic), dimana hampir segala tindakan yang diambil akan dikalkulasi dan
diperhitungkan berdasarkan modal kekuatan yang dimiliki atau infrastruktur yang
mendampinginya, sehingga ciri khas orang – orang yang hidup dalam kemapanan
cenderung menjadi orang yang lebih realistis dan kalkulatif, serta mengutamakan ilmu
pengetahuan, keahlian/kompetensi, dan sikap/perilaku normatif dalam lingkungan
masyarakatnya (knowledge, skill, attitude). Namun demikian, apakah pendidikan telah
memiliki unsur humaniora dalam proses pengajarannya ?. Untuk menjawab
pertanyaan ini, maka perlu kita mencermati,”Apa itu Humaniora ?”. Bahkan disiplin-
disiplin ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan tentang manusia atau
kedokteran umum (human sciences) belum ada, humaniora telah terbentuk.
Bahasa Yunani, bahasa Celtic, bahasa Italic, bahasa Germanic, bahasa Slavic,
bahasa Baltic, dan bahasa Indo-Iranian merupakan anak bahasa Indo-European.
Bahasa Latin adalah dialek dari bahasa Italic, dimana bahasa Latin tidak pernah
menghasilkan karya filosofis, drama, dan literatur yang berarti. Kebanyakan karya
bahasa Latin adalah mengenai hukum, militer, administrasi, organisasi, dan politik.
Namun karena suku Latinum berhasil merebut kekuasaan di Eropa, Timur Tengah,
dan Afrika Utara, mereka telah berhasil menjadikan bahasa Latin sebagai bahasa
pemerintah (state official language), dengan kemudian mendesak bahasa Yunani
sebagai bahasa budaya (language of culture). Sebagian besar karya bahasa Yunani
tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, namun diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab, dan melalui Spanyol, dari bahasa Arab diterjemahkan ke bahasa Latin.2
1
Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 23
2
Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 24
dipelajari selama tiga tahun pada sekolah menengah tingkat atas. Hal demikian
terjadi, dikarenakan penguasaan bahasa Latin, yang merupakan bahasa studi dan
pergaulan di lingkungan universitas, dan bukan induk bahasa para mahasiswa, dimana
pada umumnya mereka belum cukup untuk dapat mengkomunikasikan hasil proses
belajar. Dengan demikian, jika bahasa komunikasi tidak dikuasai secara mutlak, maka
kemampuan logika dan retorika tidak mungkin dapat berjalan dengan baik. Pada
akhirnya keadaan ini dapat diubah, dengan lebih menekankan bahasa komunikasi
pada logika dan retorika. Terdapat perkembangan dari trivium menjadi quadrivium,
yaitu: teologi, aritmetika, musik/teori akustik, dan astrologi (astronomi saat ini).3
Tulisan sederhana ini dibuat atas dasar pemikiran guna menampung mimpi-
mimpi besar pencapaian di bidang pendidikan dan pengajaran, pembentukan serta
pematangan profesi dan pencapaian kemampuan para akademisi. Selain itu pada saat
yang bersamaan juga dapat memberikan sumbangsih besar kepada masayarakat luas
melalui berbagai kegiatan advokasi langsung, pembinaan dan pelatihan para peneliti,
dosen, dan mahasiswa agar supaya dapat menjadi partner pemerintah maupun pihak
swasta dan sektor industri dalam memberikan pemikiran – pemikiran alternatif, solutif
dan aplikatif yang dapat menyelesaikan permasalahan sosial, ekonomi, maupun
politik secara arif dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Disinilah
peran President University diharapkan dapat semakin mengemuka dan mewujud
menjadi sebuah ”universitas terapan dunia” (global research university) yang akan
mampu menjaga keberlangsungan siklus ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
berbagai studi, kajian, dan penelitian ilmiah tersebut di abad millenium ini.
Fokus studi ilmu Sosiologi adalah sebuah interaksi antara individu dengan
masyarakat, demikian menurut Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam
kehidupan sehari-hari. Disamping itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu
alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala
sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial itu.4
Sosiologi pengetahuan Peter Ludwig Berger menekuni makna yang ada dalam
masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang harus dicermati Sosiologi Berger ?.
Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi ”teori makna” Peter Ludwig Berger. Untuk
memudahkan pembahasan, maka tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang
aliran-aliran pemetaan teori dalam Sosiologi. Kemudian; mencari jawaban dari;
dimana pemosisian teori Berger? Dan bagaimana menggeluti makna perspektif Berger
dalam masyarakat ?
4
Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu
Sosial Universitas Indonesia (1993), hlm. 19
5
Ritzer, George, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm
Science, 1980, hlm. 5
6
Ba Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Jakarta: Mizan,
1988, hlm. 11
7
Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen
Habermas, 2004, hlm. 3
8
Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 44
Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya
pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang
digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of
Sociological Method dan Suicide.9 Emile Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial
sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial
(social institution). Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi/Father of
Sociology” dan pencetus “Positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial yang memiliki
pengaruh besar dalam pengembangan paradigma fakta sosial ini. Terutama dalam
usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian
ilmu-ilmu sosial.
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan
sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini.
Bagi Max Weber, persoalan utama sosiologi adalah, ”bagaimana memahami tindakan
sosial dalam interaksi sosial”, dimana “tindakan yang penuh arti” ini ditafsirkan
untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Max Weber
menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative
understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.10 Selain Teori
Aksi Max Weber, Teori Fenomenologis Alfred Schutz, Interaksionalisme Simbolis
(diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk dalam aliran ini.
Juga, teori eksistensialisme.
9
Ritzer, George, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm
Science, 1980, hlm. 6-7
10
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2003, hlm. 65
Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini
adalah B. F. Skiner. Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah
pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini mencermati
”perilaku individu yang tak terpikirkan”. Fokus utamanya pada imbalan (rewards)
sebagai stimulus berperilaku, yang diinginkan, dan hukuman atau sanksi
(punishment) sebagai pencegah perilaku-perilaku yang tidak diinginkan. Berbeda
dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner
dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku
sosial menggunakan metode eksperimen. Ada dua teori yang masuk dalam
“behaviorisme sosial”, yakni; sociology behavioral, dan teori pertukaran (theory of
change).
11
Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana,
2004, hlm. 60-61
Penempatan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural
fungsional oleh Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang
mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa berada dalam konflik dan menuju
perubahan, dimana berlawanan dengan struktural fungsional yang mengasumsikan
bahwa, masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-
masing yang saling terkait dan aktif, serta senantiasa membawa masyarakat menuju
keseimbangan. Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan
perubahan sosial, sementara pendekatan struktural-fungsional memusatkan
perhatiannya pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari pengabaian
terhadap gejolak perkembangan filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang
menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain,
menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama,
misalnya; antara fungsionalisme dengan teori pertukaran.
Meta teori Ritzer ternyata tidak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori
alternatif baru dewasa ini. Kemunculan berbagai teori kritis dengan bermacam
alirannya, tidak serta merta mampu ditampung dalam kerangka meta teori Ritzer.
Karena itu, pemetaan Ritzer tidak lagi tepat untuk menggambarkan bagaimana
perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin menampakkan
bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi sombolik) tak
lagi relevan.
Plato menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu
sendiri (a priori). Penerus gagasan ini diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan
Aristoteles menganggap empiris berperan besar terhadap obyek pengetahuan
(aposteriori). Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat Thomas Hobbes dan
John Locke. Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap
perkembangan ilmu alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai ilmu
pengetahuan murni, ”pure science”, maka ilmu alam dapat melepaskan diri dari
berbagai kepentingan, sehingga menjadi lebih obyektif.12
Adopsi saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste
Comte (1798-1857). Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan
istilah ilmu sosiologi menandai positivisme awal ilmu sosial. Sosiologi yang ”bebas
12
Ahmad Zainul Hamdi (Redaktur Pelaksana), Jurnal Gerbang, No.14, Vol.V. Februari-April
2003, Menafsirkan Hermeneutika. hlm. 15
nilai” adalah ciri utama pemikiran Auguste Comte. Karena itu, positivisme ilmu
mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan
menjunjung nilai-nilai moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari kepentingan praktis.
Teori untuk teori, dan bukan praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, maka
pemaknaan ilmu pengetahuan akan menjadi suci dan universal, dan tercapailah
pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Emille Durkheim (1858-1917) adalah
tokoh yang berpengaruh terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi positivistik,
terutama sumbangannya tentang fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan bahwa
pemikran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas
obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai.
Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan
maupun akademisi tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat beserta
kepentingannya, dan hanya bertujuan demi mengejar obyektivitas ilmu semata.
Ilmuwan harus menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial (actor for
social change). Karena itu, teori kritis menolak tegas positivisme, dan ilmuwan sosial
wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk semakin kritis.
Sehingga, teori kritis bersifat melibatkan semua pihak atau emansipatoris. Emansipasi
mutlak diperlukan, untuk membebaskan masyarakat dari struktur penindasan (new
colonialism). “Kesadaran palsu” senantiasa muncul dan melekat dalam masyarakat,
dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah
interdispliner.
14
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2003. hlm. 68
15
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2003. hlm. 58
ilmuwan kritis harus berpartisipasi untuk mendorong perubahan sosial (social
change).
3. Teori Kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial
kritis adalah mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam
memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami.
4. Pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh
kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh Ideologi (Karl Marx), Reifikasi
(Lukacs), Hegemoni (Gramsci), Pemikiran Satu Dimensi (Marcuse), dan
Metafisika Keberadaan (Derrida).
5. Teori Sosial Kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada
kehidupan sehari-hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan
tempat kerja. Disini, teori sosial kritis menghindari determinisme dan
mendukung voluntarisme.
6. Mengikuti pemikiran Karl Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan
antara struktur manusia secara dialektis.
7. Teori Sosial Kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan
panjang yang dapat dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan hidup
manusia. Di sisi lain, teori sosial kritis juga menolak pragmatisme
revolusioner.
Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau
kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan.16 Teoritisi
interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa juga memberikan konsepsi sosiologi
interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori
interpretatif dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan
secara cukup terarah. Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog,
etnometodolog, dan konstruksionis sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif
sebagai counter atas penelitian survai. Penelitian survai gagal memahami makna yang
dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian survai sebagai
turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu fisika prediktif,
sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme.
16
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2003. hlm. 62
Sangat berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough
berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur bersama kajian budaya (cultural
studies) dan teori feminis. Menurut mereka, teori interpretatif adalah cabang dari teori
kritis. Clough dan Smith (1987), melacak keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan
struktur sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan dalam
rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari struktur sosial politik yang menaunginya.17
Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis secara politis
kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara
humanisme dengan teori kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme
eksistensi hukum sosial. Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam
menyikapi ”kesadaran palsu/false consciousness”.18Interpretatif berpandangan bahwa
sangat arogan bagi analisis sosial untuk mengandaikan bahwa, masyarakat memiliki
”kesadaran palsu” atau ”kesadaran sejati”. Sedangkan teori kritik secara tegas
menjelaskan bahwa, masyarakat memiliki ”kesadaran palsu”, yang harus dilawan,
dihancurkan dan diperbaiki.
X. Metodologi Pengetahuan
18
Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 32
19
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003. hlm. 17
perbedaan dengan fenomenologi Schutz. Peter Ludwig Berger, yang membidik makna
dalam skala lebih luas, menggunakan studi pendekatan sejarah sebagai bagian dari
metodologinya (historical approch as his methodology).
Perspektif Peter Ludwig Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi
Amerika pada tahun 1960an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun,
seiring mulai ditinggalkannya pendekatan fungsionalisme oleh para penstudi sosiolog
muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik atau teori kritis dan humanisme.
Karena itu, gagasan Peter L. Berger yang lebih humanis (Max Weber dan Schutz)
akan mudah diterima, dan di sisi lain mengambil fungsionalisme (Emille Durkheim)
dan konflik (dialektika Marx). Berger mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain
dalam menyikapi ‘perang’ antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak
melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau
mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu pada
akhirnya bertemu pada tatanan sejarah. Selain itu, benang merah itu yang kemudian
menjadikan Berger menekuni pemaknaan arti Schutz yang menghasilkan watak ganda
masyarakat, dimana masyarakat sebagai kenyataan subyektif menurut Max Weber,
dan juga masyarakat sebagai kenyataan obyektif menurut Emille Durkheim, yang
terus berdialektika (Karl Marx). Lalu, dimana pemosisian teori Berger? Apakah
masuk dalam positif, humanis, atau kritis?
20
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 265
21
Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. hlm. 30
gagasan Durkheim berdasarkan pada pandangan fenomenologi”.22 Selain itu,
walaupun Berger mengklaim bahwa pendekatannya adalah non-positivistik, namun ia
mengakui jasa positivisme, terutama dalam mendefinisikan kembali aturan
penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial.23
Upaya yang paling aman dan lebih tepat dalam menggolongkan sosiolog
tertentu, adalah dengan menempatkan sosiolog dalam pemosisian dirinya sendiri.
Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang
adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu
memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan
sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat
dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran dan teori antar sosiolog, bukan
menggolong-golongkannya. Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog
sebelumnya yang begitu mempengaruhi teorinya sebagaimana digambarkan di atas
adalah Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert
Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak
bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu
adalah produk masyarakat, masyarakat adalah produk manusia), Peter L. Berger
rupanya meminjam gagasan Marx. Sedangkan masyarakat sebagai realitas obyektif,
yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah
sumbangan pemikiran Emille Durkheim. Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh
lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara
umum, dalam masalah internalisasi, termasuk tentang ’I’ and ’Me’ dan significant
others, Mead menjadi rujukan Peter L. Berger.24
Selain konsep diri atau self concepts, makna adalah istilah yang sentral dari
sosiologi humanis. Pembahasan mengenai makna sangat nampak dalam
22
Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu
Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 42
23
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 268
24
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 269
Interaksionisme Blumer. Teori Blumer bertumpu pada tiga premis utama yang
melibatkan makna, yaitu :25
25
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 112
26
Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana,
2004. hlm. 81
sebelumnya, terlebih dari orang-orang lain yang dikenalnya (significant others).
Common sense terbentuk dari tipifikasi yang menyangkut pandangan dan tingkah
laku, serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena individu-individu yang terlibat
dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun
semacam sistem relevansi kolektif.27
27
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2003. hlm. 17
28
Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 36
29
Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 37
30
Ba Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Jakarta: Mizan,
1988. hlm. 22
31
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 28
keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang
kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). “Pengetahuan” adalah
kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-
karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil eksternalisasi dari
internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan dalam kehidupan sehari-
sehari. Atau, secara sederhana, dapat diartikan bahwa eksternalisasi dipengaruhi oleh
cadangan sosial pengetahuan (stock of knowledge) yang dimilikinya. Cadangan sosial
pengetahuan adalah akumulasi dari pengetahuan akal sehat (common sense
knowledge). Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama
individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan
sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari.32Dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan:
sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan Berger dan Luckmann (1990)
merumuskan teori konstruksi sosial atau sosiologi pengetahuan. Buku ini terdiri dari
tiga bab, yaitu: dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
sebagai realitas obyektif, dan masyarakat sebagai realitas subyektif.
Manusia berbeda dengan binatang. Binatang telah dibekali insting oleh Tuhan,
sejak dilahirkan hingga melahirkan sampai mati. Manusia secara biologis dan sosial
terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun
keberlangsungan hidupnya. Upaya menjaga eksistensi hidup inilah yang kemudian
menuntut manusia menciptakan tatanan sosial (social structure). Jadi, tatanan sosial
merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus, sebagai keharusan
antropologis yang berasal dari biologis manusia. Tatanan sosial itu bermula dari
eksternalisasi, yaitu : ”pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam
dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya”.36
1. Semua manusia memiliki makna dan berusaha untuk hidup dalam suatu dunia
yang bermakna ;
2. Makna manusia pada dasarnya bukan hanya dapat dipahami oleh dirinya
sendiri, tetapi juga dapat dipahami oleh orang lain ;
3. Terhadap makna, beberapa kategorisasi dapat dilakukan, yaitu: Pertama,
makna dapat digolongkan menjadi makna yang secara langsung dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya; dan makna yang tidak
segera tersedia secara ’at-hand’ bagi individu untuk keperluan praktis
membimbing tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, makna dapat
dibedakan menjadi makna hasil tafsiran orang awam, dan makna hasil tafsiran
ilmuwan sosial. Ketiga, makna dapat dibedakan menjadi makna yang
diperoleh melalui interaksi tatap muka, dan makna yang diperoleh tidak dalam
interaksi, misalnya melalui media massa cetak maupun elektronik.
Sosiolog menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Karena
itu, Peter L. Berger menjadikan interaksi sosial sebagai ”subject matter” sosiologi.
Interaksi dalam dunia pendidikan ini melibatkan hubungan individu dengan
masyarakat dan lingkungannya. Individu adalah acting subject, makhluk hidup yang
37
Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu
Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 16
senantiasa bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan individu dilandaskan
pada makna-makna subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak
dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang
melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan itu dilaksanakan. Dalam demokrasi
Pancasila, kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan
tanggung jawab sosial. Di dalam kebebasan ini, harus selalu melekat tanggung jawab
terhadap kepentingan umum (public interest) dan kepentingan-kepentingan bersama
(common interests).38
39
Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu
Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 3
Daftar Pustaka
Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6,
Jakarta: Kencana, 2004