Professional Documents
Culture Documents
Larry P. Nucci
University of Illinois at Chicago
Darcia Narvaez
University of Notre Dame
Banyak pihak sepakat kalau sekolah harus berperan penting bagi pengembangan
dan pembentukan karakter siswa. Di antara karakter tersebut adalah kejujuran, hormat
kepada orang lain, demokrasi, hormat kepada orang yang berbeda latarbelakang dan ras,
serta toleransi.
makna dan bentuk praktik pendidikan moral itu sendiri. Ini berkaitan dengan budaya
generasi muda Amerika dan orang Amerika pada umumnya. Para penganut social
1998; Putnam, 2003) dan krisis yang melanda generasi muda (Bennett, 1992;
Himmelfarb, 1994; Wayne, 1987). Hal ini menuntut perlunya pendidikan karakter yang
kembali kepada nilai – nilai moral tradisional (Bennett, 1992; Wynne & Ryan, 1993).
sekarang ini sedang mengalami perubahan social yang cepat di mana banyak sekali
terjadi ketidakadilan social; seperti diskriminasi rasisme dan gender (Turiel, 2002).
Tujuan handbook ini adalah untuk membahas hal – hal yang tidak sekedar wacana
seperti di atas. Buku ini adalah kumpulan penjelasan tentang pendidikan moral &
karakter dari para peneliti yang ahli di bidang tersebut. Berikut penjelasannya.
1
BAGIAN I
Kedua, asumsi yang mengatakan bahwa moralitas adalah fungsi penilaian dalam
suatu konteks. Asumsi ini mengacu pada argument filosofis dari etika kaum rasionalis
yang menekankan pada justifikasi tindakan moral berdasarkan prinsip keadilan (Rawls,
2001). Fokusnya adalah pemikiran kritis yang berasal dari konsep Piaget (1932) dan
Ketiga, asumsi yang menekankan pentingnya peran emosi. Ini didasarkan pada
konsep tentang care ethic (etika kepedulian), attachment theory dan pendidikan spiritual
Bab 2, yaitu Philosophical Moorings oleh Thomas Wren akan membawa kita
2
Di bab 3, Daniel Lapsley membahas wacana tentang kebaikan (virtues) dan alasan
(reason) yang menyinggung dasar filosofis dan psikologis tentang hubungan antara
moral.
Di bab 5 & 6, James Arthur dan David Carr membahas pendekatan tradisional dan
Bab 8 membahas riset oleh James Leming tentang kurangnya dampak praktik
BAGIAN II
Bagian ini membahas lingkungan social dan afektif kelas; serta bahwa hubungan
social di sekolah dapat mempengaruhi pembentukan moralitas dan karakter. Bagian ini
sebagai hal penting dalam perkembangan moral dan tindakan etis. Teori ini berasal dari
konsep Caroll Gilligan dan gerakan feminisme; namun oleh Noddings, teori tersebut
3
tentang hakikat pengaturan kelas dan sekolah serta membahas hal – hal yang diperlukan
oleh guru dan semua pihak yang terlibat dalam bidang kepedulian.
Di bab 10, Marilyn Watson memperluas konsep kepedulian sebagai apa yang
disebut dengan classroom relationship based on trust (hubungan kelas yang berdasarkan
kepercayaan). Yang ditekankan adalah kebutuhan siswa tingkat dasar untuk membangun
hubungan yang manis dengan pihak bersangkutan. Di bab ini, Watson menjelaskan
pendekatan terhadap struktur kelas dan manajemen sikap yang disebut developmental
Di bab 11, David & Roger Johnson membahas secara terperinci bagaimana
menggunakan struktur kooperatif kelas dengan benar dan riset tentang dampak struktur
tentang implementasi komunitas sekolah dan riset tentang efektifitas pendekatan ini
Di bab 13, Maurice Elias, Sarah Parker, Megan Kash, Roger Weissberg dan Mary
Utne O’Brien menjelaskan hubungan antara program SEL (social and emotional learning
Di bab 14, Stacey Horn, Christopher Daddis dan Melanie Killen membahas
4
BAGIAN III
PENDEKATAN KONTEMPORER
Bab – bab di bagian ini focus pada pendekatan kontemporer tentang pendidikan
karakter dan moral. Bagian ini terdiri atas bab 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22.
Di bab 15, Larry Nucci membeberkan garis besar sebuah program riset selama 3
bersifat universal dan membentuk suatu system konseptual yang berbeda dengan isu
Di bab 16, Darcia Narvaez garis besar riset secara kognitif dan neurobiologis
program CDP (child development project = proyek perkembangan anak) dan hasil
kepedulian di sekolah adalah penting agar perkembangan emosi siswa menjadi lebih baik.
Di bab 18, Carolyn Hildebrant dan Betty Zan membahas asumsi teoritis dan
moral anak.
menjelaskan bahwa kebaikan moral seperti kejujuran dan keadilan harus didukung oleh
tindakan kebaikan seperti perseverance (terus berusaha walaupun banyak kesulitan) dan
Di bab 20, Anne Colby me-review riset yang menjelaskan dampak pengalaman
kampus terhadap perkembangan moral dan keterlibatan sipil dari generasi muda.
5
Di bab 21, Marvin Berkowitz, Victor Battistich dan Melinda Bier menjelaskan
hasil analisa komprehensif mengenai praktik dan kebijakan pendidikan moral dan
karakter.
Di bab 22, ada penjelasan tentang pendekatan terhadap pengajaran moral dan
karakter yang dikembangkan oleh Rachel Kessler dan kawan – kawan di Passage Ways
BAGIAN IV
Perkembangan moral dan pembentukan karakter anak serta orang dewasa bukan
murni berasal dari sekolah. Bagian 4 ini menjelaskan bagaimana program formal untuk
layanan masyarakat, pembelajaran informal melalui media dan media pembelajaran lain
Bagian ini terdiri atas bab 23, 24, 25, 26 dan 27.
Di bab 23, Richard Catalano, David Hawkins, dan John Toumbourou menjelaskan
Di bab 24, Daniel Hart, Kyle Matsuba, dan Robert Atkins menjelaskan tentang
arti service learning (pembelajaran bagi masyarakat) dan service learning (layanan
dalam program yang efektif, dan bukti yang menjelaskan kalau pengalaman di luar kelas
dapat membentuk perkembangan moral dan karakter generasi muda; termasuk mereka
yang suka terlibat dengan anggota gang, penyalahgunaan obat terlarang, dan kejahatan di
jalanan.
6
Banyak yang mengatakan kalau olah raga dapat membentuk karakter. Hal ini
dibahas oleh David Shields dan Brenda Bredemeier di bab 25. Mereka menjelaskan
perkembangan karakter dan moral dalam kaitannya dengan konteks olah raga.
Di bab 26, Jim Lies, Kendall Cotton Bronk dan Jennifer Menon Mariano
Di bab 27, Marjorie Hogan dan Victor Strasburger menjelaskan tentang tantangan
yang bisa menimpa pendidikan karakter generasi muda, yaitu media. Generasi muda di
computer, HP, dan alat elektronik lainnya ketimbang melakukan sesuatu di kelas. Mereka
berkomunikasi melalui media elektronik dan mengumpulkan informasi dari internet dan
outlet media lain. Semua media ini bisa mempengaruhi sosialisasi anak. Hogan dan
BAGIAN V
ISU PROFESSIONAL
Di bagian ini ada penjelasan tentang praktik dan pengalaman pendidikan yang
Di bab 28, Muriel Bebeau dan Verna Monson membahas riset mengenai dampak
7
Merle Schwartz di bab 29, menjelaskan analisa tentang kondisi sekarang dalam
upaya mempersiapkan guru pre-service untuk terlibat dalam pendidikan moral dan
karakter. Merle mengatakan bahwa program pendidikan guru sekarang tidak memiliki
komponen formal dalam upaya membekali mereka dengan dasar pengetahuan dan alat
untuk meng-integrasikan pendidikan moral & karakter ke dalam praktik pengajaran dan
pengajaran dan bagaimana rasanya menjadi seorang guru. Yang ditekankannya adalah
8
I
Thomas Wren
Loyola University Chicago
Pendidikan moral dan moralitas bisa dilihat dari segi internal dan eksternal.
Dilihat dari luar, moralitas adalah cara bergaul dengan orang lain. Dari dalam, moralitas
adalah bergaul dengan diri sendiri. Secara eksplisit, pendidikan moral merupakan hal
penting bagi control social dan alat realisasi diri. Semua pihak; baik filsuf maupun
kalangan pendidik serta orang tua, beranggapan bahwa 2 fungsi moralitas tersebut
(control social & alat realisasi diri) saling menopang satu sama lain; apa yang baik bagi
masyarakat maka baik juga untuk anak – anak kita; begitu juga sebaliknya.
Di Barat, tradisi filosofis berasal dari Yunani. Sementara di Asia, tradisi filosofis
Ketika Buddha duduk di bawah pohon Bodhi beberapa tahun sebelum Socrates
lahir di Yunani, dia tiba – tiba mengalami sesuatu luar biasa yang menandakan bahwa dia
akan menjadi Buddhist dalam sejarah perkembangan manusia. Dengan sesuatu luar biasa
tersebut maka datanglah pencerahan (enlightenment) bagi kondisi manusia yang sedang
9
menderita. Sepanjang hidupnya, Buddha terus mengajarkan nilai – nilai kebaikan yang
pada akhirnya membentuk budaya Hindu. Setelah kematian Buddha, lahirlah 2 sekte
keagamaan; Hinayana & Mahayana. Hinayana menekankan pada asal muasal doktrin
bahwa setiap individu harus bekerja sebagai sebuah kelompok dalam rangka memperoleh
pencerahan.
Ada perbedaan antara ajaran Buddha dengan Yunani. Contohnya, jalan Buddha
sangat berbatu (ex: lebih ascetic = tidak menghendaki kesenangan fisik); sementara
Motto Yunani, yaitu know thyself (kenali dirimu) atau gnothi seaution, ditempel
di pintu masuk kuil Appollo, dewa kebijaksanaan; dan diserap oleh filsuf pra-Socrates
yaitu Thales dan Phytagoras dan Socrates sendiri. Sebaliknya, motto Lose thyself
(kosongkan dirimu) adalah pesan dari the Noble Eightfold Path (8 jalan kebaikan) yang
tahapan progresif yang dilalui oleh tindakan seseorang, rangkaian 8 dimensi yang
10
• Right Viewpoint (sudut pandang yang benar) – memahami 4 kebaikan (bahwa
hasrat, hasrat harus bisa dikendalikan bukan dipuaskan dan ini bisa dilakukan
Kita harus ingat bahwa pesan Buddha adalah kita harus menghilangkan ide
tentang diri (self) karena entitas itu tidak pernah ada. Walaupun Yunani tidak memiliki
kata khusus untuk self (diri), namun mereka menganggap manusia sebagai sebuah self
Bagi Socrates (469 – 339 SM) & Plato (428 – 347 SM), jalan menuju pencerahan
itu tidak melibatkan pengetahuan khusus tentang self (diri), baik positif atau negative,
namun melibatkan pengetahuan tentang Ideal of Forms (bentuk ideal) dan tahapan
11
Doktrin tentang Ideal of Forms ini dikembangkan oleh Plato melalui berbagai
dialognya yang dikenal dengan the Divided Line (garis yang dibagi – bagi). Berikut
tabelnya:
= dianoia)
Persepsi (persepsi langsung = pistis; & objek yang dapat diraba (Objek fisik,
ARISTOTELES
(mencapai tujuan). Melalui hal ini, ada 2 bagian penting dalam konsep perkembangan
Pertama, hidup manusia disesuaikan dengan alasan (conformity with reason). Jadi,
jika karakter yang baik tidak diiringi dengan alasan, maka itu salah. Kedua, hidup
Ada ambiguitas dalam istilah reason (alasan) yang digunakan oleh Aristoteles
dalam konteks kebaikan dan karakter moral. Kadang, Aristoteles mengartikan reason
sebagai sifat bawaan kognitif seseorang; sementara di lain waktu, dia mengutip konsep
reason menurut Plato; yaitu bahwa reason adalah realita transcendent (berada di luar
12
(identitas diri moral sebagai tujuan pendidikan)
Daniel K. Lapsley
University of Notre Dame
Banyak orang tua yang menginginkan agar anaknya menjadi orang baik, orang
yang memiliki sifat terpuji, yang kepribadiannya sesuai dengan etika. Kita berharap
bahwa anak – anak melakukan hal yang benar demi alasan yang benar pula.
Bab ini akan menjelaskan tentang kerangka kualitas moral seseorang dalam
Identitas diri moral dalam psikologi perkembangan (Blasi, 1993; Lapsley &
Narvaez, 2004) tercermin dalam tren etika kontemporer yang menghasilkan hubungan
erat antara pertimbangan moral dan personal (Flanagan & Rorty, 1990; Taylor, 1989).
Taylor (1989: 12) mengatakan,”menjadi seorang diri berkaitan dengan keberadaan dalam
TEORI SELF-IDENTITY
Terdapat hubungan tematik antara teori identitas diri moral dalam psikologi
(1971) tentang bagaimana kemauan (will) dibangun oleh second-order desires (hasrat
kedua).
Kita memiliki motif dan hasrat yang membangun kemauan dan tindakan. First-
order desire (hasrat pertama) adalah kemauan terhadap segala hal. Second-order desire
(kemauan kedua) adalah kemauan untuk hal – hal tertentu atau yang oleh Frankfurt
(1971) disebut dengan second-order volitions. Contoh, kita ingin memiliki hasrat tertentu
(ex: ingin mengadakan amal, menolak rokok, mengurangi emisi karbon), namun hasrat
13
Namun, ketika kita menginginkan hasrat itu bisa menuntun kita pada all the way
to action (semua tindakan) (Frankfurt, 1971: 8), yang artinya, to be willed (dikehendaki),
maka di saat inilah kita memiliki second-order volition. Menurut Frankfurt (1971), yang
memiliki second-order volitions disebut person (orang); sementara yang tidak punya
disebut wantons. Seorang person memperhatikan jenis hasrat, karakteristik, dan motif;
dan ingin agar hal tersebut diimplementasikan dalam kehidupan. Seorang wanton tidak
dipengaruhi oleh teori identitas diri moral baik dalam filosofi (Taylor, 1989) maupun
psikologi (ex: Blasi, 2004, 2005). Contohnya, menurut Taylor (1989), seorang individu
itu adalah orang yang terlibat dalam strong evaluation (evaluasi yang sangat teliti). Orang
yang evaluasinya tinggi (strong evaluator) adalah mereka yang selalu membuat penilaian
etis tentang first-order desires. Strong evaluator selalu memilah – milah antara sesuatu
yang berharga dengan yang tidak berharga, mana yang tinggi dan mana yang rendah,
mana yang buruk dan mana yang baik. Identitas kita ditentukan oleh strong evaluation;
ditentukan oleh pemikiran tentang sesuatu yang signifikan bagi kita. Menurut Taylor
(1989: 27), to know who I am (untuk tahu siapa diri saya) adalah bagian dari to know
KARAKTER MORAL
14
Karakter moral seseorang terdiri atas virtues (kebaikan). Namun, menurut Blasi
(2005) penting untuk membedakan higher- dengan lower-order virtues (kebaikan tingkat
tinggi dan rendah). Lower-order virtues contohnya adalah empati, keinginan, keadilan,
kejujuran, keramahan, kebaikan, giat dsb. Semua sifat tersebut biasanya untuk merespon
situasi tertentu. Sementara higher-order virtues memiliki generalitas yang lebih luas dan
sebagai will power (control diri). Sebagai control diri, willpower adalah jenis
tetap melakukan tugas, ulet dan disiplin merupakan skill dari willpower.
yang mengacu pada konsistensi diri. Menjadi orang yang selalu memegang janji, jujur
kepada orang lain, bertanggungjawab, dapat diandalkan, tulus dan selalu menghindari
meraih tujuan moral. Integritas dirasakan sebagai identitas (identity) ketika kita
15
PENDIDIKAN MORAL DALAM TRADISI PERKEMBANGAN KOGNITIF:
John Snarey
Emory University
Peter Samuelson
Georgia State University
perkembangan dan kognisi moral, mari kita mulai dengan sejarah hidup Kohlberg.
Sebagai anak paling kecil dari 4 bersaudara yang lahir dari ibu Kristen dan ayah
Yahudi, Laurie kecil, begitu dia dipanggil, suka bergaul dengan kalangan atas (high
class) yang mengutamakan kebebasan individu, hak istimewa, dan ekonomi kapitalis. Dia
masuk ke sekolah elit di Massachussetts, di mana dia berada dalam kungkungan ketika
melawan apa yang dinamakan konvensi social arbitrer. Sebagai siswa SMA selama
Perang Dunia II, dia mengikuti European Jewry (kelompok Yahudi Eropa) dan mulai
sekolahnya yang bergabung dengan Ivy League College, Kohlberg malah bergabung
dengan Marinir Amerika dan dan berkeliling Eropa, di mana dia bisa menyaksikan
berakhirnya perang dan bertemu dengan para korban yang selamat dari holocaust
(pembunuhan besar – besaran terhadap kaum Yahudi yang dilakukan oleh Hitler).
pandangan tentang moral untuk mengatur identitasnya (Snarey & Hooker, 2006).
kapal Paducah. Kapal tersebut diubah namanya menjadi S.S Redemption oleh Haganah
(angkatan militer Yahudi) dan berupaya untuk menyelamatkan pengungsi Yahudi Eropa
16
melalui blockade Inggris dan mendaratkan mereka di Palestina dan wilayah control
Inggris. Apakah menyelamatkan kaum Yahudi merupakan bagian dari upaya moral
civil disobedience (perlawanan dari warga sipil terhadap hukum) – yaitu melanggar
sengaja demi melakukan apa yang disebut tujuan moral yang lebih tinggi (a higher moral
purpose). Kapal S.S Redemption kemudian dicegat sekitar 10 mil dari pesisir pantai
Palestina. Para awak, karena tidak mau dihadapkan pada konsekuensi dari civil
disobedience, bersembunyi dengan cara berbaur dengan para pengungsi yang berjumlah
sekitar 1500 orang. Mereka semua diberangkatkan ke Cyprus. 3 bulan kemudian, dengan
bantuan Haganah, Kohlberg berhasil melarikan diri dan menuju Palestina; berada di sana
selama PD II pada 1948, dan ikut mendirikan Negara Israel (Brabeck, 2000; Kohlberg,
Kohlberg muda ikut berperan dalam menyelamatkan para korban yang selamat
dari Holocaust dan mendirikan Negara Israel. Meskipun demikian, muncul suatu
dilemma moral; apakah menyelamatkan korban yang selamat dari Holocaust di Eropa
dengan mengusir penduduk asli Arab Palestina dari tanah leluhurnya merupakan sebuah
resolusi? Apakah cara ini merupakan metode dari Haganah? Kohlberg kemudian
Semasa kuliah, Kohlberg bercita – cita menjadi pengacara atau ahli psikologi
klinik sebagai cara untuk mengabdikan diri dalam bidang keadilan social. Kemudian dia
masuk pada program doctoral psikologi, di mana dia tertarik pada bidang psikologi dan
17
pada interview terhadap 84 anak muda di Chicago tentang beberapa dilemma moral.
Anak – anak itu ditanya,”Haruskah seorang suami mencuri obat untuk menyelamatkan
istrinya atau haruskah dia mematuhi hukum dan membiarkan istrinya mati karena tidak
ada obat? Mengapa dan mengapa tidak?” Sambil mengkaji jawaban dari anak – anak
pribadi yang dihadapi oleh Kohlber ketika dia hendak menyelamatkan para korban
selamat Holocaust dan membangun sebuah Negara baru (Israel) meskipun hal tersebut
bertentangan dengan hukum Inggris. Dilemma ini bisa disebut indoctrination atau
enculturation, yaitu dilemma yang menjadi bagian dari proses alami seseorang. Nilai,
norma dan pelajaran moral yang diperoleh dari proses enculturation bisa dibenarkan jika
meninggalkan nilai – nilai yang sudah ada (misalnya, melanggar hukum Inggris) tapi
tidak sesuai dengan nilai – nilai baru (ex: demi menyelamatkan pengungsi Yahudi yang
selamat dari Holocaust)? Menurut perspektif kita, itulah dilemma yang tergambar dalam
sudah ada yang pada gilirannya, Kohlberg berkomitmen untuk melakukan persamaan hak
18
DAN KOGNISI MORAL
terbesarnya terhadap psikologi moral. 3 model tersebut adalah: (1) moral stages (tahapan
moral), (2) moral types (tipe moral) dan (3) moral atmosphere (atmosfir moral).
Moral stages
tahap. Yang mengendalikan perkembangan moral adalah struktur pemikiran moral dalam
Di sini, yang disebut moral itu adalah berupaya tidak melanggar hukum atau
menghindari kontak fisik dengan orang lain. Di tahap ini, seseorang mungkin tidak
menyadari kalau kepentingannya itu bisa bertolak belakang dengan orang lain.
Di sini, yang disebut moral itu adalah mengikuti aturan hukum. Seseorang sudah
menyadari kalau kepentingannya itu bisa bertentangan dengan orang lain. Di sini,
terjadi pertukaran instrumental: jika kau melukaiku maka aku pun akan melukaimu.
Di sini, yang disebut moral adalah menyesuaikan kehendak dengan keinginan orang
lain. Apapun yang kita lakukan harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan
orang lain.
19
Di sini, yang disebut moral adalah melaksanakan kewajiban masing – masing. Untuk
menjadi warganegara yang baik, maka kita harus melakukan hal – hal yang benar.
Di sini, yang disebut moral adalah kesadaran bahwa nilai dan aturan bersifat relative
bagi sebuah kelompok dan nilai relative ini berada dalam hak asasi manusia, seperti
Yang disebut moral di sini dipandu oleh prinsip etika universal yang menghasilkan
sebagaimana mestinya.
Moral types
Kohlberg menjelaskan tentang dua tipe moral, yaitu tipe A & tipe B. Berikut
adalah tabelnya:
utama
Intrinsicality Pandangan instrument tentang Seseorang dipandang
berdasarkan kepentingan
pribadi
Freedom Dasar eksternal yang Tidak bersandar pada otoritas atau
20
memvalidasi penilaian tradisi eksternal
Mutual respect Kepatuhan unilateral Kerjasama di antara pihak yang
sama
Reversibility Memandang suatu dilemma Memahami perspektif orang lain
keadilan
Moral atmosphere
Menurut Kohlberg (1980, 1985) dkk (Power, Higgins & Kohlberg, 1989), moral
atmosphere adalah iklim moral atau budaya moral suatu komunitas di mana mereka
saling berbagi nilai normative dan harapan. Kohlberg tahu bahwa konteks utama
Moral exemplars
21
Dalam salah satu bab penutup Essays on Moral Development: the Psychology of
Moral Development (1984: 486 – 490), Kohlberg dan co-author Ann Higgins
mengemukakan contoh dari seorang wanita berusia 32 tahun bernama Joan. Joan, yang
bekerja di pengadilan setempat, pernah membiarkan seorang ward (anak yang berada di
bawah perlindungan hukum pengadilan) untuk pergi dari perlindungan hukum menuju
tempat lain demi meraih kehidupan yang lebih baik bahkan Joan memberinya uang
tambahan. Ini jelas melanggar hukum, dan Joan akhirnya dipecat dari pekerjaannya.
Tindakan Joan ini karena didasarkan atas penghormatan terhadap hak asasi dan
Kohlberg (1981: 132) juga menjelaskan tentang tindakan Martin Luther King, Jr.
Pelajaran yang didapat dari orang ini adalah prinsip universal keadilan yang merupakan
kulminasi perkembangan moral. Dr. King adalah contoh utama dari tahap tertinggi alasan
bermoral karena kemauannya untuk memperjuangkan hak asasi manusia bagi kaum kulit
moral, pendidikan moral yang pertama dilakukan adalah melalui eksperimen oleh Moshe
Blatt, salah satu mahasiswa Kohlberg di program doctoral, yang berupaya memfasilitasi
perkembangan tahapan moral di antara siswa kelas 6 melalui diskusi mingguan tentang
dilemma moral hipotetis (Blatt & Kohlberg, 1975). Blatt menemukan bahwa 1/3 siswa di
22
Kohlberg dkk mengimplementasikan metode ini melalui integrasi dilemma
discussion ke dalam kurikulum sekolah pada bidang studi humaniora (ex: kesusasteraan)
dan ilmu social (ex: sejarah). Dalam mempersiapkan dilemma discussion, Kohlberg dkk
(diskusi dilemma moral) (ex: Fenton & Kohlberg, 1976; Kohlberg & Lickona, 1987).
Pertanyaan yang diajukan kepada siswa yaitu alasan why (mengapa) mereka memilih
suatu posisi. Pertanyaan lainnya adalah meminta siswa untuk memperjelas makna (ex:
(ex: Ashley, maukah kau menjelaskan kepada kelompok apa yang sudah dikatakan oleh
Benjamin?), atau interaksi antar siswa, khususnya tentang perspektif masing – masing
(ex: Ashley, apa pendapatmu mengenai penjelasan Benjamin tadi?). Pertanyaan lainnya
adalah menyangkut pembahasan Socratic (ex: apakah melanggar hukum itu bisa
dibenarkan? Apa yang terjadi bila seseorang melanggar hukum dan hal itu membuat dia
senang?). Georg Lind (2007) juga menjelaskan tentang pentingnya mengatur struktur dan
Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa (1) dilemma discussion adalah
metode yang berguna bagi pendidikan pengembangan moral, (2) dibandingkan dilemma
hipotetis, dilemma kehidupan nyata lebih efektif untuk pengembangan moral, (3) terdapat
dilemma discussion bisa meningkatkan perkembangan moral secara maksimal, (4) teman
siswa merupakan guru terbaik atau rekan untuk berkomunikasi. Diskusi tentang dilemma
atau masalah kehidupan nyata merupakan metode pendidikan moral yang masih
23
Just community schools
Kohlberg menciptakan metode ini pada musim semi 1974. Dia mendapatkan dana
untuk melatih para guru SMA dalam pendidikan moral. Siswa, guru dan orang tua serta
Kohlberg melakukan rapat untuk merancang sekolah baru. Hasilnya adalah Cluster
School, yang diatur oleh prinsip berikut (Power, Higgins, & Kohlberg, 1989: 64):
• Sekolah tersebut diatur oleh demokrasi langsung. Semua isu utama akan dibahas
dan diputuskan pada rapat mingguan komunitas di mana setiap anggota (guru dan
• Ada sejumlah komite yang akan diisi oleh siswa, guru dan orang tua
• Ada kontrak social yang dilakukan oleh para anggota; membahas tentang hak
• Guru dan siswa memiliki hak sama; termasuk kebebasan berbicara, hormat
kepada orang lain, dan kebebasan dari gangguan fisik atau verbal
Kunci utama dari Just Community Schools adalah rapat mingguan komunitas,
yaitu rapat siswa dengan staf sekolah untuk memutuskan kebijakan dan praktik sekolah
yang berkaitan dengan isu keadilan dan komunitas. Fungsi rapat ini adalah konteks untuk
antara siswa – untuk menciptakan suatu atmosfir moral – melalui praktik demokrasi
(membahas segala keputusan yang berkaitan dengan moral; dilakukan secara demokrasi).
James Arthur
Canterbury Christ Church University
24
Pendidikan karakter berakar pada system persekolahan negeri Amerika. Di abad
18 & 19, setiap sekolah memiliki tujuan untuk mengembangkan karakter. Selama masa
colonial, pendidikan karakter didasarkan atas teologi, suatu ajaran Protestan yang
mendominasi pada waktu itu, dan Founding Fathers memandang kalau pendidikan moral
merupakan cara untuk membentuk generasi muda menjadi warga Negara yang baik.
Namun, menjelang akhir abad 19, pendidikan karakter tidak lagi didasarkan pada ajaran
Kristen. Pendekatan tradisional terhadap pendidikan karakter terus berlanjut pada abad 20
Salah satu investigasi riset tentang pendidikan karakter adalah The Character
Education Enquiry yang dilakukan di Amerika oleh Hugh Hartshorne dan Mark May
(1928 – 1939). Inkuiri ini tampaknya membantah kalau tidak semua hal bisa disebut
karakter. Hasil riset tersebut menunjukkan kalau perilaku moral itu hadir dalam situasi
tertentu. Secara signifikan, riset ini mempengaruhi konsep Lawrence Kohlberg dan ahli
riset perkembangan moral lainnya. Namun, metodologi riset inkuiri tersebut sangat
terbatas. Hartshorne dan May menggunakan profil orang yang dewasa secara moral
sebagai model dan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada generasi muda seputar
hubungan antara pelatihan karakter dengan perilaku actual. Kedua, perilaku moral
seseorang tidak sama dari satu situasi ke situasi lain. Ketiga, tidak ada hubungan antara
perkataan seseorang tentang moralitas dengan cara mereka bertindak; dan terakhir bahwa
semua orang pasti pernah berbuat cheating (nyontek) walaupun sedikit. Hasil riset
tersebut merupakan tantangan bagi pihak yang berupaya mengajarkan karakter kepada
anak – anak.
25
Pada 1950an, psikologi kognitif menjadi suatu disiplin yang popular di bidang
pendidikan. Keberhasilan Jean Piaget, Lawrence Kohlberg, dan Erik Erikson disebabkan
oleh tema mereka mengenai perkembangan. Tema ini sesuai dengan tuntutan budaya
pada waktu itu. Budaya dan social menjadi lebih pluralistic sehingga sekolah menjadi
moral – pendidikan karakter – lebih sesuai dengan tradisi liberal pemikiran kritis
ketimbang pendekatan berbasis kebaikan. Kohlberg (1984) mungkin merupakan ahli teori
perkembangan yang paling berpengaruh dan dia percaya bahwa pengetahuan tentang
Sampai saat ini para ahli psikologi kognitif banyak menekankan pada
beberapa ahli meng-klaim keabsahan aplikasi metode ini. Namun, David Carr (2002)
justru berpendapat kalau teori tersebut digunakan untuk mendukung pendekatan progresif
terhadap pendidikan di mana yang ditekankan adalah pilihan gaya hidup. Hal ini tidak
mengindahkan perspektif para ahli tradisional yang berupaya mengajarkan siswa tentang
pengetahuan, nilai dan kebaikan masyarakat sipil. Menurut Carr, pendekatan progresif
manusia dank arena pendekatan tersebut meragukan nilai dan pengetahuan yang diterima.
asalkan dia memiliki karakter yang kuat karena segala tindak – tanduk guru merupakan
teladan bagi siapa saja. Orang Skotlandia lainnya, David Fordyce berbicara tentang
26
perkembangan imajinasi anak dalam hal moral sehingga beranggapan kalau pengajaran
moral secara formal tidak berpengaruh terhadap pembentukan karakter yang baik. Francis
menganjurkan agar studi tentang karakter dilakukan secara lebih mendalam. Dia ingin
mendalami tentang hakikat diri kita sebagai manusia. Yang diperlukan adalah studi
objektif tentang hakikat manusia, terutama tentang motif dan perilaku. John Locke juga
Ada juga kritikan terhadap hubungan antara ajaran agama dengan karakter. David Hume
dan Jeremy Bentham mengatakan bahwa moralitas tidak memerlukan konsep keagamaan.
Pendidikan adalah mengenai pengetahuan dan bebas dari nilai sementara agama berkaitan
yang harus menanamkan nilai – nilai karakter kepada siswa. Berkowitz dan Bier (2005)
menganalisa sejumlah riset empiric untuk meneliti apakah pendidikan karakter itu
berhasil atau tidak. Kesimpulannya, mereka mengatakan kalau pendidikan karakter itu
27
empati, keterampilan social, resolusi konflik, menciptakan kedamaian, dan keterampilan
hidup.
tanggungjawab orang tua bersama masyarakat dan dalam masyarakat yang multi-kultural,
tidak ada kesepakatan untuk menentukan mana karakter yang baik dan karakter yang
buruk. Terdapat juga perkembangan pola pikir pendidikan mengenai perbaikan moral,
karena guru tidak men-cap sesuatu sebagai immoral (tidak bermoral); mereka takut
dikatakan diskriminatif. Nyatanya, guru tidak memberi penilaian terhadap bahasa resmi
yang digunakan siswa. Carr dan Steutel (1999) mengatakan kalau pendidikan karakter
etika kebaikan digunakan dalam pendidikan sekarang, namun belum banyak guru yang
kebaikan dalam pendidikan karakter karena belum memahami wacana etika kebaikan
pengembangan karakter siswa, namun jika John Dewey benar, tanggungjawab ini
dan dipertahankan dalam interaksi dengan semua lingkungan social dan fisik seseorang.
Sekolah hanyalah bagian dari lingkungan siswa, dan lingkungan lainnya di mana siswa
didasarkan atas riset yang sah secara psikologi. Dia menjelaskan model pendidikan dan
pengembangan karakter yang dia sebut sebagai IEE (integrative ethical education =
28
pendidikan etika yang bersifat integratif) yang menganggap karakter sebagai sejumlah
komponen skill yang bisa dipelihara sampai tingkatan tertinggi. Dia mengatakan kalau
perkembangan karakter anak berlangsung mulai dari tingkat pemula sampai tingkat ahli.
Pendekatan ini memerlukan lingkungan sekolah yang terstruktur dengan baik di mana
siswa bisa memahami dan mengembangkan skill serta memperoleh kesempatan untuk
mem-praktikan moral yang baik. Siswa belajar dari berbagai pengalaman dan
membangun dasar pengetahuan yang bisa digunakan dalam pengalaman belajar praktis
yang otentik. Narvaez menjelaskan kalau pendekatannya tidak hanya tentang kemampuan
karakter yang mengatakan bahwa thinking (pemikiran) – apa yang harus dilakukan atau
dipelajari, feeling (perasaan) – mengapresiasi apa yan dipelajari, dan action (tindakan)
harus diaplikasikan ke dalam tindakan; tidak hanya sebatas wacana. Dari teori ini, ada 6
prinsip yang diperoleh. Pertama, pendidikan karakter seharusnya tidak boleh dianggap
sebagai suatu bidang studi. Kedua, pendidikan karakter seharusnya dianggap sebagai
pendidikan tindakan. Ketiga, pendidikan karakter dibentuk dan dibangun oleh lingkungan
sekolah. Keempat, pendidikan karakter harus menjadi bagian dari kebijakan sekolah.
Kelima, pendidikan karakter harus dilakukan oleh guru tanpa harus terpaku pada
kurikulum yang ada. Keenam, pendidikan karakter harus melibatkan semua komunitas
local dan sekolah. Semua pendekatan ini telah diaplikasikan di sekolah – sekolah
29
Bill Puka (2000: 131) menjelaskan tentang 6 metode pendidikan karakter; yaitu
(1) pengajaran tentang dasar kebaikan dan nilai, (2) pengajaran kode perilaku, (3)
bercerita tentang pelajaran moral, (4) memberikan contoh teladan tentang nilai dan sifat
yang baik, (5) mencontoh sifat teladan dalam sejarah, kesusasteraan dan agama, (6)
sekolah menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mempraktikan sifat dan nilai
kebaikan.
keputusan yang rasional. Elemen penting di fase ini adalah alasan moral, pengambilan
keputusan, dan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan diri melalui evaluasi dan
mengkaji. Kedua, domain afektif, yang melibatkan perasaan simpati, peduli dan
menyayangi orang lain merupakan hal penting dalam tindakan moral. Ketiga, tindakan
tergantung pada kemauan, kompetensi dan kebiasaan seseorang. Kemauan artinya bahwa
siswa harus bisa mengendalikan keinginan dan ketakutan diri agar tahu bagaimana
bertindak dengan benar. Siswa juga harus mengembangkan kompetensi untuk melakukan
kebaikan, yang melibatkan skill tertentu, dan mereka harus terus melakukan tindakan
30
UNTUK MENGABADIKAN KEBAIKAN
Karl Marx berpendapat kalau filsafat bukan untuk menafsirkan dunia; namun
justru untuk merubah dunia (Marx, 1968: 30). Dari perspektif politik, banyak pihak
perilaku manusia ke arah yang lebih baik. Di sebuah dunia yang dipenuhi oleh masalah
social dan politik (perang, kriminal, sikap anti-sosial, disfungsi individu, alienasi dan
keputusasaan), manusia lebih menginginkan solusi yang cepat & tepat dalam mengatasi
perilaku yang buruk daripada terlibat dalam pencarian teori. Tidaklah mengherankan
Mungkin sebaiknya kita harus mengkaji dulu masalah teoritis. Pertama, kita harus
membedakan antara etika kebaikan dengan teori kebaikan. Etika dan teori kebaikan
berhubungan dengan fungsi dan relevansi sifat bawaan karakter terhadap asosiasi dan
kehidupan moral, hubungan pemahaman moral terhadap sifat bawaan karakter seperti
kejujuran, integritas, keadilan, keberanian dan sebagainya. Ada yang mengatakan kalau
“tata bahasa” moral diatur oleh teori kebaikan; sementara penjelasan tentang bagaimana
(psikologi). Teori etika klasik – deontologi ajaran Kant dan Utilitarianisme – dianggap
sebagai salah satu upaya untuk mengabadikan sifat bawaan karakter. Dari perspektif ini,
teori Kant dan Utilitarianisme mengenai karakter moral telah banyak dikembangkan (ex:
31
Teori Kant dan Utilitarianisme bukanlah bentuk etika kebaikan. Secara sederhana,
etika kebaikan merupakan jenis teori kebaikan yang menjadikan studi karakter moral
menjadi lebih logis. Secara umum, teori deontologist dan utilitarian dimulai dengan
menanyakan jenis pemikiran apa yang dibutuhkan oleh seseorang agar tindakannya
menjadi lebih bermoral. Contoh, orang jujur adalah orang yang terbiasa berpikir secara
Aristoteles menganggap kualitas moral merupakan fitur hakikat manusia yang tidak jauh
beda dengan makan dan bernafas; pendekatan Aristoteles terhadap studi kebaikan
adalah teleologis. Pendeknya, untuk memahami fungsi makhluk hidup, entitas atau
“Apa yang mereka perlukan untuk mencapai tujuan tersebut?” Menurut sudut teleologis,
pertanyaan ini saling berkaitan. Contoh, untuk memahami hakikat ikan beserta fiturnya,
kita mungkin pertama meng-observasi bahwa ikan adalah sesuatu yang perlu hidup dan
bergerak di lingkungan perairan. Kita lalu meneliti bahwa untuk melakukan hal tersebut
secara efektif, seekor ikan pasti perlu sirip dan insang agar bisa berenang di perairan yang
luas. Kita lalu menjelaskan bahwa fungsi sirip dan insang tersebut adalah untuk
membantu ikan mengarungi perairan; begitu juga bagi makhluk hidup lainnya.
perairan, seperti insang dan sirip, disebut sebagai arête (bahasa yunani). Arête adalah
sesuatu yang menciptakan keberhasilan atau kebaikan; dalam bahasa Inggris, arête
32
diartikan sebagai virtue (kebaikan). Arête memiliki konotasi yang lebih luas yaitu
excellence (kemuliaan); jadi yang termasuk arête pada ikan adalah sirip, insang dan hal
penting lainnya yang menciptakan keberhasilan bagi suatu spesies dan spesies lain.
Maka, untuk memahami kebaikan moral manusia, menurut Aristoteles kita harus
menanyakan tujuan umum dan tujuan akhir perilaku manusia. Aristoteles juga
menjelaskan dua fitur keberhasilan manusia; pertama, manusia adalah hewan yang
hewan social (zoon politikon) sehingga kebahagiaan atau kehidupannya tidak terlepas
dari orang lain. Namun konsekuensinya, karena keberhasilan manusia dalam mengarungi
kehidupan bisa terjadi bila mereka mempraktikan kebaikan moral, seperti kejujuran,
keadilan, kerendahan hati dan keberanian; maka, kebaikan moral dan intelektual tersebut
tergantung pada ide tentang tujuan manusia itu sendiri; dalam pandangan ini, manusia
harus mempraktikan kebaikan moral agar bisa berhasil mengarungi kehidupan, sama
seperti fitur – fitur yang dibutuhkan oleh ikan dalam mengarungi perairan.
Menurut Aristoteles, upaya untuk mengabadikan kebaikan moral adalah kita harus
melatih dan membiasakan diri melakukan kebaikan – sama seperti jika seseorang ingin
33
menjadi musisi yang baik, maka dia harus terus berlatih bermain musik. Upaya pertama
dalam mengabadikan kebaikan itu adalah bersikap rendah hati atau melakukan
pengendalian diri (self-control). Dari sinilah, kita akan bisa melakukan kebaikan moral
lainnya, seperti keadilan, kebijaksanaan atau bahkan keberanian. Dengan rendah hati dan
control diri, semua kejelekan moral; seperti hamil di luar nikah, pelecehan seksual, dan
penyalahgunaan obat terlarang yang suka terjadi di masyarakat kontemporer, akan bisa
diatasi. Hal tersebut merupakan bukti dari kegagalan dalam menerapkan disiplin diri baik
Upaya lain untuk mengabadikan kebaikan moral adalah pendidikan orang tua
yang mengajarkan nilai – nilai keberanian, kasih sayang dan dukungan yang
kepada generasi muda, baik guru maupun orang tua harus memberikan contoh teladan
Kenneth A. Strike
Syracuse University
34
Bab ini membahas peran komunitas dalam pendidikan karakter, di mana yang
praktik dan komunitas yang mendukung praktik tersebut. Inisiasi ke dalam komunitas
perkembangan rasa keadilan. Proses inisiasi ini disebut normation (Green, 1999).
Normation memerlukan dukungan norma yang kuat dari komunitas. Namun, sekolah
bukanlah komunitas yang kuat dan terkadang memberikan norma yang salah.
Kaum komunitarian mengklaim bahwa nilai kebaikan dan keadilan terletak pada
tujuan, tradisi dan atribut komunitas. Tidak ada prinsip universal yang terus ada di
sepanjang waktu dan semua tempat (Nagel, 1986). Pandangan tentang pendidikan moral
yang menekankan otonomi dan kritik terhadap tradisi membuat anggota komunitas
menjadi individu yang abstrak, di mana cirinya adalah kebebasan dan persamaan (Sandel,
1982). Individu, yang tidak lagi memiliki akar nilai tradisi, akan berubah menjadi egois
Michael Walzer (1995: 54) mengatakan bahwa kritik kaum komunitarian terhadap
liberalisme itu ada 2 versi. Versi pertama meng-kritik praktik liberal dan beranggapan
bahwa praktik ini mencerminkan teori liberal. Kaum komunitarian menganggap kalau
35
masyarakat Barat adalah “rumah” bagi individu yang terisolasi, kaum egois rasional, dan
nyata sehingga tidak mungkin seseorang memiliki visi liberalisme. Semua manusia, baik
laki – laki maupun perempuan dipisahkan dari ikatan social. Walzer mengatakan kalau 2
versi ini tidaklah konsisten namun masing – masing versi tersebut sebagian ada yang
benar.
nowhere (pandangan yang tidak jelas asal usulnya). Liberalisme membuat manusia tidak
lagi memiliki akar nilai tradisi dan membuat mereka menjadi makhluk yang abstrak.
mengatakan bahwa kalangan liberal menginginkan kalau norma keadilan harus menjadi
Kaum liberal memandang budaya sebagai kata pertama yang berkaitan dengan
keadilan namun mereka tidak bisa menjamin validitas kata ini. Jadi, kaum liberal
mendukung praktik dan bentuk budaya yang bisa menjamin terciptanya warganegara
liberal yang baik; namun, kaum liberal takut kalau budaya, komunitas dan tradisi menjadi
liberal.
Kaum liberal memiliki kepentingan lain dalam bentuk dan praktik budaya. Rawls
kebaikan; dan kemampuan untuk memiliki rasa keadilan. 2 kemampuan ini harus
36
dikembangkan. Perkembangan ini tergantung pada hakikat dan kualitas budaya, tradisi
dan komunitas yang ada bagi manusia. Lebih jauh, ada keterkaitan antara perkembangan
manusia menjadi warganegara yang baik dengan kemampuan mereka dalam mengarungi
kehidupan. Warganegara yang baik diciptakan oleh budaya liberal dan kemampuan
Mungkin kritik dari kaum komunitarian yang bisa ditujukan kepada kaum liberal
adalah seperti ini: mengembangkan rasa keadilan dan konsep kebaikan akan sangat
bergantung pada internalisasi sumber intelektual dan cultural yang terdapat di berbagai
budaya, tradisi dan komunitas. Budaya, tradisi dan komunitas ini bisa dianggap berharga,
diterima atau bahkan autoritatif. Liberalisme bisa menciptakan institusi dan praktik yang
membuat kekayaan budaya, tradisi dan komunitas menjadi lebih bisa diterima tapi tidak
autoritatif.
Sumber budaya yang melanda masyarakat liberal senantiasa hadir tanpa ada
quality control (kendali mutu). Masyarakat harus mampu memilah kekayaan budaya
tersebut dengan cara memilih mana yang bernilai dan mana yang tidak. Tuhan, Bach (ahli
composer musik klasik), Heavy Metal (jenis musik rock), Shakespeare, Marlboro, SUV,
Hip Hop (jenis musik yang disukai anak gaul), Playboy (majalah porno), dan Budweiser
senantiasa hadir di tengah – tengah masyarakat, terutama kalangan anak, secara konstan.
Semua produk budaya modern tersebut tidak memakai cap value (nilai/harga) di “kerah
bajunya.” Maka di sini, kita harus bisa memilah dan memilih produk tersebut secara
bijaksana.
Untuk bisa memilah dan memilih secara bijaksana maka kita membutuhkan
norma dan kritera pengakuan. Anak tidak terlahir secara rasional. Memahami
37
rasionalitas, norma dan criteria pengakuan merupakan artifak cultural yang ditemukan
Anak – anak mempelajari norma dan criteria dengan cara mencontoh nilai norma
yang dipraktikan oleh kerabat terdekat. Tindakan yang dilakukan anak sebetulnya tidak
berdasarkan pada norma. Mereka memahami nilai – nilai norma melalui keluarga,
masyarakat dan budaya sekitar tempat mereka hidup. Kelompok inilah yang memberi
pemahaman tentang nilai kepada anak. Inilah kebenaran inti dari komunitarianisme.
Jika ini benar, maka kaum liberal harus bisa memastikan kalau anak – anak hidup
di tengah komunitas yang menawarkan nilai – nilai kebaikan dan juga harus menjamin
kalau komunitas tersebut bisa menanamkan nilai norma kepada anak – anak. Tentu saja,
masyarakat liberal pluralisme memiliki criteria tersendiri mengenai nilai kebaikan dan
keadilan. Oleh karena itu, kita harus mengkaji hal tersebut secara lebih mendalam dan
bijaksana.
Kita mungkin berharap kalau sekolah bisa mengadopsi konsep budaya yang
adalah siswa bisa memiliki etos kerja. Maksudnya, sekolah bisa mengajarkan
keterampilan pada siswa sehingga mereka bisa memasuki dunia kerja dengan mudah.
Secara kompetitif, nilai keterampilan ini sangat berharga. Siswa diajarkan kalau mereka
berada dalam persaingan dengan orang lain demi meraih kesempatan dan melakukan
kebaikan.
Bryk, Lee dan Holland (1993: 318 – 319) menjelaskan beberapa poin berikut
terkait budaya di sekolah negeri. Pertama, mereka mengklaim bahwa sekolah negeri
memiliki visi tentang masyarakat di mana setiap individu berusaha meraih keberhasilan
38
sambil mengejar kepentingan diri mereka sendiri. Norma institusional bersifat kompetitif,
tracking dan tugas yang diberikan guru, sekolah berupaya untuk mendistribusikan
keberhasilan social. Ketiga, sekolah menerapkan aturan yang tidak dipandang sebagai
konsep keadilan atau moral, di mana otoritas moral diganti dengan otoritas birokratik,
mereka sendiri.
terdiri atas pelajaran yang dianggap sebagai bagian dari pendidikan seni liberal: sains,
dengan tujuan pendidikan liberal seperti kewiraan dan kewarganegaraan; justru dianggap
sebagai inti kapitalisme manusia dan dasar keamanan serta kesejahteraan (National
Commission, 1983).
Jika seorang anak harus menjadi warganegara yang baik dan memiliki
pemahaman tentang kebaikan, maka mereka harus berada di lingkungan masyarakat yang
berfungsi sebagai “alat transmisi norma” yang menanamkan nilai – nilai keadilan dan
kebaikan. Jika masyarakat berhasil menanamkan nilai kebaikan tersebut, mereka harus
bisa memberikan dukungan otoritatif terhadap norma tersebut. Namun, liberalisme bisa
demikian, maka siswa akan didominasi oleh etos kerja pasar sehingga membuat mereka
menjadi individu yang lebih egois dan posesif ketimbang individu yang memiliki nilai –
39
Argument di atas bukan klaim kaum komunitarian bahwa individu yang egois dan
posesif merupakan nilai inti liberlisme atau inti konsep liberal mengenai individu. Ini
tidak benar. Yang benar adalah bahwa di komunitas liberal kapitalis dan komunitas yang
mendukung nilai kebaikan di mana anak – anak dibesarkan, nilai pasar bisa dikatakan
sebagai nilai paten. Liberalisme tidak mendukung hal ini. Bahkan mungkin menolaknya.
40