You are on page 1of 32

KATA PENGANTAR

Makalah ini disusun dalam rangka Memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
nilai tugas dalam program studi Arsitektur Bali 2, Universitas Udayana. Judul mekalah
ini adalah “Pola Desa, Bale Desa, dan Bale Banjar pada Desa Gunaksa”.
Dalam makalah ini akan dikaji pemahaman tentangaspek non-fisik dan aspek fisik
dari pola desa, bale desa, dan bale banjar khususnya pada desa Gunaksa.
Tentunya makalah ini masih banyakj kekurangan yang belum disadari sehingga
pada kesempatan kali ini , ucapan terima kasih disampaikan pada semua pihak atas
koreksi yang diberikan untuk memperbaiki makalah ini. Sehingga makalah ini dapat
berguna di dalam pengetahuan arsitektur maupun kepentingan masyarakat luas.
Dalam kesempatan ini ucapan terima kasih tidak terhingga disampaikan untuk
semua pihak yang telah banyak memberi bantuan sehingga terselesaikannya makalah ini,
terutama pada:
1. Ir. I Nengah Lanus, MT. dan

2. Nyoman Susunta, ST. ,M.Erg.,

selaku dosen pembimbing mata kuliar Arsitektur Bali 2,


3. Warga Desa Gunaksa yang telah membantu dalam proses observasi,

4. Dan pihak-pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Denpasar, Januari 2009


Penyusun

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
................................................................................................................................................
i
DAFTAR ISI
................................................................................................................................................
ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
....................................................................................................................................
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
....................................................................................................................................
2
1.3 TUJUAN
....................................................................................................................................
2
1.4 METODE PENELITIAN
....................................................................................................................................
2

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN


2.1 ASPEK NON FISIK DESA GUNAKSA
2.1.1 SEJARAH DESA GUNAKSA
........................................................................................................................
3
2.1.2 LAMBANG DESA GUNAKSA
........................................................................................................................
4
2.1.3 LETAK GEOGRAFIS
........................................................................................................................
5
2.1.4 LUAS WILAYAH
........................................................................................................................
5
2.2 ASPEK FISIK
2.2.1 POLA DESA
........................................................................................................................
6
2.2.2 BALE DESA
........................................................................................................................
7
2.2.3 BALE BANJAR
........................................................................................................................
7

2
2.2.4 BALE BANJAR KUNO
........................................................................................................................
18

BAB III PENUTUP


3.1 KESIMPULAN
....................................................................................................................................
27
3.2 SARAN
....................................................................................................................................
28

DAFTAR PUSTAKA
................................................................................................................................................
29

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pola lingkungan desa (khususnya desa adat atau pakraman) di Bali berpola linear.
Dengan pembangunan banyak puri pada masa Bali pertengahan (setelah masuknya
pengaruh Majapahit) maka banyak pula dibangun catuspatha sebagai kerangka tempat

3
kedudukan berbagai fasilitas pemerintahan dan kota. Keadaan ini nampaknya juga
mempengaruhi desa-desa kuno yang sebelumnya linear murni dikombinasikan dengan
pola catuspatha.
Bale desa biasanya berbentuk Wantilan. Wantilan berasal dari kata wanti yang
berarti berulang-ulang. Dalam hal ini yang diulang-ulang adalah atapnya, sehingga salah
satu cirinya adalah atapnya yang bertumpuk. Ciri lain dari wantilan adalah soko guru
sebagai saka utama yang ada di ring tengah, tiang-tiang serambi yang jumlahnya satu
sampai dua lapis di ring dua dan ring tiga. Lantai berundak-undak untuk melapangkan
pandangan kearah arena yang ada di tengah-tengah wantilan.
Bale banjar merupakan sekelompok bangunan tempat untuk berkumpul krama
banjar dan anggota banjar. Bila ada banyak orang dalam posisi berjajar dalam satu
ruangan, konotasinya adalah mereka melakukan rapat atau pertemuan. Bale banjar yang
memiliki makna yang tinggi dalam upaya untuk menjaga kebersamaan dan kesatuan
warga banjar. Fungsi utama bale banjar adalah untuk menyelenggarakan pertemuan.
Sedangkan fungsi-fungsi lainnya adalah berkaitan dengan penyelenggaraan upacara
keagamaan dan pementasan hiburan. Sekarang fungsi bale banjar berkembang ke
penyelenggaraan resepsi, kantor lingkungan, sampai ke taman kanak-kanak.
Menurut perkembangan jaman dan situasinya rapat warga banjar dilakukan mulai
dari halaman terbuka, bangunan berpanggung dan ruangan luas (hall) yang mengambil
berbagai bentuk. Secara tradisi bentuk bale banjar tidak diatur secara spesifik di dalam
lontar, tetapi mengambil bentuk-bentuk yang umumnya ada di dalam rumah seperti bale
sumanggen, paon, jineng, Kemudian berkembang ke penggunaan bentuk-bentuk
bangunan konvensional dan bentuk-bentuk wantilan. Dalam kenyataan lapangan dari
pendekatan bentuk, masih diketemukan bale banjar tradisional. Bentuk-bentuk yang
dikembangkan semitradisional, semi modern, sampai modern.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja aspek-aspek non fisik dari desa Gunaksa?


2. Apa saja aspek-aspek fisik dari desa Gunaksa?

4
1.3 TUJUAN

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memperluas pengetahuan tentang pola
desa, bale desa, dan bale banjar khususnya pada desa Gunaksa.

1.4 METODE PENELITIAN

1.4.1 Metode Pencarian Data


Dalam penelitian ini menggunakan metode Survei yaitu dengan pengamatan
langsung kelapangan dan mencatat data terhadap seluruh aspek-aspek yang ada
di Desa Gunaksa baik Non-Fisik maupun Fisik, melalui wawancara yang
kemudian dikelompokkan sehingga dapat disimpulkan.
1.4.2 Metode Telaah Pustaka
Penulis melakukan pendalaman data atau materi yang didapatkan dari berbagai
sumber seperti buku referensi yang berkenaan dengan materi di yang akan
dibahas sebagai landasan penulisan yang otentik. Metode yang digunakan
adalah mencari literature-literatur.

BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 ASPEK NON-FISIK DESA GUNAKSA


2.1.1 SEJARAH SINGKAT DESA GUNAKSA
Desa Gunaksa yang merupakan salah satu Desa di samping desa lainnya di
kecamatan Dawan, mempunyai sejarah tersendiri sebagaimana desa-desa lainnya di

5
daerah propinsi Bali. Suatu wilayah desa biasanya dinamai dengan sebuah nama yang
dihubungkan dengan kejadian-kejadian dan peristiwa tercantum dalam Babad dan
prasasti disamping pula cerita dari orang tua di desa tersebut.
Sejarah desa Gunaksa menurut prasasti Tutuan Bukit Buluh oleh Kerajaan Tutuan
dari kerajaan Keling di Jawa datang ke Bali mendirikan pemukiman di sekitar dataran
bebukitan yang akhirnya mencari daerah dasar sesuai dengan keperluan dari penduduk
yang makin berkembang.
Sampailah para leluhur yang mendirikan desa ini di suatu wilayah yang di beri nama
Banjar Belimbing, yang sekarang bernama banjar Patus atau nama lain wilayah tersebut
bernama wilayah Dauh Bingin, Karena dibagian timur wilayah tersebut terdapat pohon
beringin yaitu di wilayah atau komplek SD no.3 Gunaksa. Pohon beringin tersebut
tumbang tahun 1952, saat mendirikan sekolah rakyat Gunaksa yang terlanda lahar akibat
bencana nasional meletusnya Gunung Agung di tahun 1963.
Pada saat para leluhur yang membuat atau membangun permukiman di Banjar
Belimbing beliau membuat suatu pelinggih sebagaimana yang diajarkan oleh ajaran
Hindu bahwa setiap permukiman harus ada:
1. Pelinggih sebagai tanda taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Yahng Widi
Wasa
2. Batas wilayah dikenal dengan nama palemahan
3. Penghuni adalah pawongannya
Guna memenuhi persyaratan dimaksud lalu didirikan sebuah tempat ibadah yang
diberi nama Pura Pewalang Tamah atau Guna Ksaya. Guna berarti segala jenis ilmu
hitam peduduk berkembang akhirnya banyak berkembang. Jadi untuk memberi nama
Desa atau wilayah pemukiman diberi sesuai nama pelinggih yang pertama yaitu Guna
Ksaya yang lahirnya menjadi nama Desa Gunaksa.
Dalam perkembangan sejalan dengan perkembangan wilayah kedesaan yang lain,
maka Desa Gunaksa menjadi satu Desa Administratif yang didukung oleh 7 Dusun yaitu :

1. Dusun Patus ( Banjar belimbing )


2. Banjar Bandung
3. Banjar Nyamping

6
4. Banjar Kebon
5. Banjar Tengah
6. Banjar Babung
7. Banjar Buayang.

Sebagai Desa Adat, Desa Gunaksa didukung oleh 7 Banjar Adat yaitu :

1. Banjar Patus ( Banjar Belimbing )


2. Banjar Bandung
3. Banjar Nyamping
4. Banjar Kebon
5. Banjar Tengah
6. Banjar Babung
7. Banjar Buayang.

2.1.2 LAMBANG DESA GUNAKSA


Arti Lambang :
1. Segi lima :
Sebagai Dasar, bahwa masyarakat Desa Gunaksa dalam segala tindakannya
berdasarkan Pancasila.
2. Swastika :
Sebagai Lambang tujuan masyarakat Desa Gunaksa bertaqwa Kepada Tuhan
Yang MAha Esa, sesuai degan ajaran agama Hindu.
3. Padi Kapas :
Merupakan lambing, tujuan masyarakat Desa Gunaksa, agar cukup pangan,
sandang dan papan.
4. Tugu :
Guna Ksaya, atau Pewalang Tamak yang berarti suatu symbol kekuatan yang
bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa untuk menjaga masyarakat Desa Gunaksa
dari segala gangguan-gangguan.
5. Tangga :

7
Tangga yang banyaknya 7 buah menggambarkan bahwa Desa Gunaksa terdii dari
7 Dusun/banjar.
6. Anak Gembala :
Seorang anak gembala sapi (Rare Angon) yang memberi kemakmuran kepada
desa Gunaksa.
7. Seruling :
Kenyamanan kesenian yang ada di Desa Gunaksa.
8. Dua ekor Sapi :
Dua ekor sapi berwarna hitam dan merah dengan ekor terkulai ketanah, adalah
sapinya Rare Angon yang memberi kemakmuran kepada masyarakat dan Desa
Gunaksa.

2.1.3 LETAK GEOGRAFIS


Desa Gunaksa merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan dawan, terletak
± 3 Km dari Ibu kota kecamatan serta berbatasan dengan:
1. Sebelah utara : Kabupaten Karangasem
2. Sebelah timur : Desa Dawan Kaler, Dawan Kelod, Kusamba
3. Sebelah selatan : Tangkas, Selat Badung
4. Sebelah barat : Desa Sampalan Kelod, Sampalan Tengah, dan Desa Sulang.

2.1.4 LUAS WILAYAH


Desa Gunaksa memiliki luas wilayah 683,006 Ha, yang terdiri dari 1 Desa dinas
dan satu desa adat / Pakraman Gunaksa dan di dukung 7 dusun/banjar.

2.2 ASPEK FISIK


2.2.1 POLA DESA
Pola lingkungan desa (khususnya desa adat atau pakraman) di Bali berpola
linear. Dengan pembangunan banyak puri pada masa Bali pertengahan (setelah
masuknya pengaruh Majapahit) maka banyak pula dibangun catuspatha sebagai
kerangka tempat kedudukan berbagai fasilitas pemerintahan dan kota. Keadaan ini

8
nampaknya juga mempengaruhi desa-desa kuno yang sebelumnya linear murni
dikombinasikan dengan pola catuspatha.
Pola perkampungan di Bali dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tata nilai
ritual yang ditempatkan di zona sakral dibagian timur arah terbitnya matahari sebagai
arah yang diutamakan. Pola yang digunakan di desa Gunaksa adalah pola catuspatha.

2.2.2 BALE DESA


Bale desa di Desa Gunaksa berbentuk Wantilan. Wantilan berasal dari kata
wanti yang berarti berulang-ulang. Dalam hal ini yang diulang-ulang adalah atapnya,
sehingga salah satu cirinya adalah atapnya yang bertumpuk. Tumpukan atap wantilan
di Desa Gunaksa ada 2. Ciri lain dari wantilan adalah soko guru sebagai saka utama
yang ada di ring tengah, tiang-tiang serambi yang jumlahnya satu sampai dua lapis di

9
ring dua dan ring tiga. Lantai berundak-undak untuk melapangkan pandangan kearah
arena yang ada di tengah-tengah wantilan.

2.2.3 BALE BANJAR


Kata banjar bersinonim dengan kata banjah yang berarti berjajar. Bila ada
banyak orang dalam posisi berjajar dalam satu ruangan, konotasinya adalah mereka
melakukan rapat atau pertemuan. Bale banjar yang memiliki makna yang tinggi
dalam upaya untuk menjaga kebersamaan dan kesatuan warga banjar. Bale banjar
diperkenalkan oleh pedanda Putra Tlaga yang merupakan keturunan Danghyang
Dwijendra. Pelinggih di bale banjar sebagai sarana untuk mempersatukan warga
banjar yang terkemas rapi dalam kegiatan peribadatan. Fungsi utama bale banjar
adalah untuk menyelenggarakan pertemuan. Sedangkan fungsi-fungsi lainnya adalah
berkaitan dengan penyelenggaraan upacara keagamaan dan pementasan hiburan.
Sekarang fungsi bale banjar berkembang ke penyelenggaraan resepsi, kantor
lingkungan, sampai ke taman kanak-kanak.
Tata letak bale banjar mengambil letak-letak strategis yang dipilih di tengah-
tengah wilayah banjar seperti di jalan utama, dipersimpangan, dan dijantung
lingkungan. Tapak suatu bale umumnya dibagi-bagi untuk zone rapat umumnya
mengambil posisi di madua mandala, zona peribadatan di utama mandala, zona servis
di bagian belakang, dan bale kul-kul di bagian depan. Pola tata letak ini mengunakan
aturan Arsitektur Nusantara Bali, seperti misalnya jarak bangunan ke bangunan, jarak
bangunan ke batas tembok batas site, ketentuan itu ditentukan dengan ukuran yang
menggunakan modul panjang telapak kaki dari jarak minimal 3 telapak ditambah satu
melintang (telung tampakangandang ) dan demikian seterusnya sesuai dengan
perwatakan masing-masing, secara umum terdapat natah ditengah-tengah yang

10
menjadi pusat orientasi dalam setiap bale banjar. Tempat suci atau tempat ibadah
pada bale bajar kebanyakan merupakan bale pelik ( banguna kecil ) yang terdapat
pada natah banjar atau pada zone utama kaja kangin. Bangunan paon terdapat pada
zone nista atau teben (hilir). Bangunan bale kul-kul adalah bangunan untuk
meletakkan kentongan yang terletak pada sisi jalan dan menjulang tinggi seperti
menara.

Badan bangunan pada bale banjar memakai tiang-tiang kayu berbentuk segi
empat dengan perkuatan bernama sunduk berupa balok tari yang terbuat dari kayu
dihubungkan dari satu tiang ke tiang lainnya sehingga bangunan dapat berdiri dengan
stabil. Untuk kekakuan simpul dipakai perkuatan berupa pasak. Atap bangunan
memakai system struktur yang menyerupai rangka bidang dimana terbentuk dengan
deretan usuk bambu ( iga-iga ) yang disatukan dengan penjepit (apit-apit), ditutup
dengan atap alang-alang yang diikatkan pada usuk. Struktur dan konstruksi pasangan

11
batu bata ataupun batu alam dengan perekat tanah liat digunakan untuk bebaturan
(peninggian lantai) dan tembok.
Ornament pada bale banjar umumnya dibuat sederhana misalnya ornament
pada tiang yang disebut kekupakan (prifil). Pada pekerjaan pasangan untuk tembok,
bebaturan, terutama pada bale kul-kul diselesaikan dengan beberapa motif ornament
serta dekorasi seperti pada contoh bale kul-kul pada desa gunaksa.
Bangunan bale banjar tidak terlalu mempermasalahkan utilitas, karena
disamping penguasaan teknologi yang sangat sederhana, juga karena bangunan bale
banjar yang terbuka. Penghawaan dan pencahayaan memanfaatkan potensi alam.
Aktivitas yang dilakukan pada bale banjar umumnya pada siang hari, dan jika
dilakukan pada malam hari maka penerangannya menggunakan lampu minyak kelapa
yang disebut sentir atau penyembean.
Menurut perkembangan jaman dan situasinya rapat warga banjar dilakukan
mulai dari halaman terbuka, bangunan berpanggung dan ruangan luas (hall) yang
mengambil berbagai bentuk. Secara tradisi bentuk bale banjar tidak diatur secara
spesifik di dalam lontar, tetapi mengambil bentuk-bentuk yang umumnya ada di
dalam rumah seperti bale sumanggen, paon, jineng, Kemudian berkembang ke
penggunaan bentuk-bentuk bangunan konvensional dan bentuk-bentuk wantilan.
Dalam kenyataan lapangan dari pendekatan bentuk, masih diketemukan bale banjar
tradisional. Bentuk-bentuk yang dikembangkan semitradisional, semi modern, sampai
modern.

Bale banjar di Desa Gunaksa terbagi menjadi tujuh banjar, yaitu:


1. Banjar Patus ( Banjar Belimbing )

12
Banjar Patus sebelumnya di sebut dengan banjar Belimbing. Padas
masa kerajaan, banjar babung dan buayang dianggap tidak cukup untuk
melaksanakan proses kegiatan. Sehingga dibuat banjar Patus. Banjar Patus di
sini dimaksudkan untuk pertemuan karma desa. Banjar ini sebelumnya sangat
susah didirikan sehingga masyarakat sekitar memohon pada Tuhan Yang
Maha Esa untuk dapat mendirikan banjar ini. Masyarakat lalu mendirikan
sebuah pelinggih yang dijadikan sebagai bentuk penghormatan, yaitu sebuah
pelinggih Jero Gede.

13
2. Banjar Bandung

14
Banjar bandung dibangun karena saat itu masyarakat memerlukan tempat
untuk melakukan meubat.

15
3. Banjar Nyamping

16
4. Banjar Kebon

Banjar ini terbentuk karena dahulu tempat ini merupakan tempat kubu (tempat
tinggal sementara) yang ada di ladang. Kemudian lama-kelamaan berkembang
sehingga menjadi banjar kebon. Selain itu, dikatakan sebagai banjar kebon
karena terdapat sebuah pura yang dinamakan banjar kebon tuo.

17
5. Banjar Tengah

Banjar tengah adalah Banjar yang sifatnya ada di tengah2. Pada saat
berdirinya banjar ini terdapat perbedaan pendapat di antara masyarakat.
Sehingga masyarakat banjar Tengah membuat suatu kelombok yang bertujuan
untuk menengahi berbedaan pendapat tersebut. Banjar tengah setuju dengan
sejarah banjar Patus dan juga banjar Babung.

18
6. Banjar Babung

19
Banjar Babung merupakan banjar yang berbatasan dengan
kabupaten Karangasem. Babung berasal dari kata bah yang berarti
tumbang dan buung yang berarti tidak jadi. Jadi Babung berarti tidak jadi
jatuh. Maksudnya disini adalah

7. Banjar Buayang.

20
2.2.4 Arsitektur Bale Banjar Kuno
Pertumbuhan Arsitektur Nusantara Bali di awali dari berkembangnya kerajaan
Majapahit yang mulai berkuasa di Bali. Kekuasaan Majapahit berasal dari Samprangan
Gianyar sampai di Puri Sueca Pura, Desa Gelgel, Kabupaten Klungkung sekitar 40km
kea rah timur Denpasar. Di daerah yang dekat dengan kerajaan kehidupan masyarakat
lebih mapan, dan penyebaran ilmu arsitektur juga lebih merata. Oleh karena itu akan di
tampilkan adat istiadat yang masih ajeg dan bale banjar yang masih kuno, yaitu banjar
Bandung.
Bale banjar Bandung terletak di desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten
Klungkung, Bali. Menurut orang tua di banjar tersebut, Banjar tersebut telah ada sejak
waktu meratu Bali (jaman pemerintahan raja Bali), berarti sebelum masa penjajahan.
Walaupun jaman telah berubah, bale banjar ini tetap mempertahankan
ketradisionalannya. Hal tersebut Nampak dari tampilan material yang alami maupun
bentuk bangunan yang kuno.
Bangunan angkul-angkul atau gerbang berfungsi sebagai pintu masuk ke areal
dalam banjar. Angkul-angkul pada dasarnya adalah sebagai tempat berpegangnya pintu,
namun bangunan tersebut tidak hanya dibuat berdasarkan nilai fungsional melainkan juga
dari nilai estetis. Nilai estretisnya dapat terlihat pada undag (atap angkul-angkul) dibuat
tiga step, menurut perwatakan yang dipercaya di Bali hitungan jumlah step atau anak
tangga harus jatuh pada undag (step pada hitungan jumlah step atau anak tangga haruslah
jatuh pada undag dari kelipatan hitungan undag – gunung – rubuh). Selain itu, angkul-
amgkul yang tinggi akan memberikan kesan keagungan dan menjadi dinamis.
Bagian dari angkul-angkul penamaannya di bagi menjadi beberapa bagian, yakni
bagian bawah tangga disebut suku (kaki), bagian atas suku adalah pengawak (badan), di
atas ambang kosen disebut ulap-ulap, di atas ulap-ulap disebut gidar (dahi), dan atapnya
disebut kereb (kepala). Dari penamaan tersebut dapat di simpulkan bahwa wujud angkul-
angkul mengambil imajinasi dari gadis cantik menawan sehingga proporsi dan
ekspresinya dapat memberi kesan estetis.
Tata letak angkul-angkul banjar ini juga mempertimbangkan proporsinya dengan
jarak pandang yang nyaman, sehingga posisi angkul-angkul tersebut mundur 3 meter dari
tepi jalan. Sehingga jika dari as jalan akan memenuhi perbandingan D/H =1 yakni

21
merupakan jarak pandang ideal terhadap bangunan tersebut. Bangunan kecil di depan kiri
dan kanan angkul-angkul menambah dinamisnya unit pintu gerbang ini. FGungsi
bangunan tesebut sebagai pengarah monumental karena bangunan yang bernama bedugul
itu tidak terlalu tinggi. Dibalik kesan pengarah monumental, bedugul yang di sebut juga
apit lawang (pengapit pintu) berfungsi juga sebagai penjaga pintu, yang akan selalu
menghalangi dan mencegah niat jahat untuk masuk ke areal banjar.

Tanpak Depan Ankul-Angkul Banjar Bandung

Tampak dari Dalam

22
Bangunan bale banjar yang masih kuno ini, terkomposisi dengan banyak masa,
besar bangunan menyerupai besar bangunan umah (rumah) pada arsitektur nusantara
Bali. Bangunan berorientasi ke ruang terbuka yang disebut natah yang biasanya berada di
tengah-tengah rumah tinggal. Suasana dinamis tercipta dari pola banyak masa, dan unit-
unit bangunan tersbut dapat memberikan kesan terjadinya pengelompokan aktifitas yang
berbeda, dan memang pada kenyataannya setiap bangunan digunakan untuk aktifitas
yang berbeda baik secara permanen maupun temporer. Pengelompokan kegiatan dengan
permanen adalah seperti dapur, tempat pertemuan berbentuk bale bundar, bangunan loji
untuk tempat menyimpn peralatan, sedangkan bale yang lain dalam kegiatan tertentu
seperti mebat (memasak khas Bali), bale dangin maupun bale daja dapatdikelompokan
sebagai aktifitas mengupas bawang dan bagian-bagian kegiatan memasak yang lain.
Bangunan tempat melakukan musyawarah pada banjar ini disebut bale bunder,
terdiri dari delapan buah tiang yang berada pada pinggir bangunan tersebut, sehingga
pada bagian tengah bangunan bebas tiang. Musyawarah dipimpin oleh pengurus banjar
yang disebut kelihan banjar duduk di bagian tengah dan dikelilingi oleh anggota banjar.
Bale bunder ini mempunyai luas lantai sekitar 6,5 m x 6,5 m, menggunakan atap alang-
alang yang membentuk langit-langitnya terlihat berirama antara pasangan usuk bamabu
yang rapi, ruasnya bertemu satu sama lainnya dipadukan dengan jalinan atap alang-alang
dengan jarak yang konstan dan sambuangannya disembunyikan dengan sistim lanang
wadon (urus dan lubang), dan bertambah dinamis lagi dengan pemasangan lis struktural
sebagai penjepit rusuk yang disebut apit-apit. Struktur lainnya yaitu balok tengah yang
disebut pemade dan balok sudut atap yang disebut pemucu, semuanya menyatu menuju
puncak sebagai simpul utama yang disebut petaka dengan ornament bintangan dan
ukiran.

23
Bale Bunder

Bale bunder adalah sebuah nama yang berasal dari kaya bunter (bahasa bali) yang
artinya bulat dan sama dengan bundar, dan mana itu dipakai mengingat cara masyarakat
banjar rapat atau musyawarah atau rapat dengan posisi melingkar, sedangkan bentuk
bangunannya berbentuk segi empat. Bangunan bale bunder yang berdiri di tepi jalan dan
letaknya berseberangan dengan areal bale banjar jeroan (di dalam), pada delapan

24
tiangnya dilengkapi dengan ornament sesuai dengan arsitektur nusantara bali berupa
kekupakan.
Bale Pemanggangan berfungsi sebagai tempat untuk memanggang sate bila ada
upacara adat. Bale pemanggangan dibuat dengan tiang 4 atau 6 sedangkan tempatnya
dibuat agar asapnya tidak mengganggu aktifitas banjar, maka letaknya di pilih di
bagianbarat daya/selatan karena kegiatan manggang sate dilakukan pagi hari dan udara
berhembus dari utara.

Paon / dapur berfungsi sebagai tempat memasak nasi maupun daging pada waktu
ada upacara adat. Dapur ini dibuat dari tiang 6 atau 9, letak dari dapur ini adalah di
daerah nista atau barat daya sama seperti halnya dengan bale pemanggangan.
Bale Pengekesan berfungsi sebagai tempat ngekes / memarut kelapa untuk bahan lawar.
Bale pengekesan ini berdekatan dengan dapur karena sebelum dikekes atau diparut
kelapa harus dibakar dahulu. Bale pengekesan ini dibuat dengan tiang 6 atau 8.
Bale Pesadonan berfungsi sebagai tempat untuk mencampur lawar bagi tukang sadon,
bale ini diletakan dekat dengan dapur karena tukang sadon sangat erat hubungannya
dalam mengontrol masakan di dapur. Bale ini dibuat dengan tiang 6 atau 8 yang lengkap
dengan bale-balenya.

25
Bale Bandung / sekulu bandung berfungsi sebagai tempat mebat atau pesagian
atau makan megibung, bale ini disebut sekulu bandung karena pada dasarnya terdiri dari
2 bale sekulu yang digabung.
Bale Gede Tegak Wayah berfungsi sebagai tempat untuk mebat, tapi di isni
dikhususkan untuk membuat banten, dan merupakan tempat untuk menyimpan daging
ebatan setelah selesai di karang (ditanding). Bale ini dibuat dengan tiang 12 (bale gede)
bila untuk megibung tiap bale berisi 4 unit nasi yang satu unit masing-masing 4 orang,
sehingga satu bale untuk 16 orang dan untuk satu bangunan bale gede untuk 24 orang
makan magibung, letaknya di utara.
Bale Gede Paebatan berfungsi untuk mebat maupun makan megibung yang
bentuk maupun ukuran bangunannya sama dengan bale gede lainnya.

Bale Pengarangan berfungsi sebagai tempat unutk ngarang (nanding) ikan juga
dapat berfungsi untuk makan megibung, bengunan ini dapat dibuat dengan bale gede,
sekenem atau sekulu, letaknya disebelah timur, dan juga bale ini berfungsi sebagai tempat

26
untuk upacara.Lesung tempat menumbuk, tempat membuat tepung untuk jajan dan lain-
lain. Gentong batu yang berfungsi untuk setok air keperluan dapur pada saat upacara.
Proporsi bangunan pada bale banjar ini pada umumnya adalah sangat rendah,
dimana ujung atap bangunan ini lebih rendah dari jangkauan tangan normal. Kerendahan
bangunan ini mempunyai kelebihan dalam penaungannya karena sudut sinar yang masuk
pada pagi maupun sore hari menjadi lebih rendah dan pendek, dan apabila aktifitas
dilakukan di atas bale-bale tidak akan terkena sinar matahari langsung. Proporsi seperti
ini tidak dirasa terkesan menekan karena langit-langit ekpose yang miring mengikuti
kemiringan atap membuat kesan tinggi dan volume ruang menjadi besar. Perasaan leluasa
juga didapat dari ketinggian lantai, sekitar 70 cm, dan ketinggian lantai ini membuat
proporsi bangunan menjadi seimbang antara atap, badan bangunan dan kakinya. Garis-
garis horizontal yang terbentuk oleh bale-bale panjang ikut berperan dalam memberikan
kesan kerendahan bangunan sehingga memberikan kesan kestabilan. Pada kenyataannya
bale-bale tersebut disamping berfungsi sebagai tempat duduk juga berfungsi sebagai
struktur pengaku agar tiang bangunan tetap tegak, dengan sistim balok pengikat bernama
sunduk (balok tarik dari kayu), dan menjadi lebih estetis lagi dengan pemasangan umpak
(sendi) di bawah tiang yang juga berfungsi struktural.
Setiap elemen bangunan pada bale banjar selalu dilengkapi dengan ornamen,
misalnya sunduk (balok tarik) yang terletak di bawah bale-bale berfungsi sebagai balok
tarik pengaku struktur, ujung-ujungnya diselesaikan dengan hiasan cunguh bangkung
(hiasan yang menyerupai hidung babi) demikian pula lait (pasak) yang berfungsi untuk
mengunci posisi sunduk terhadap tiang dilengkapi ornament menyerupai dagu, sehingga
apabila terpasang menyatu antara sunduk dan lait tadi akan muncul bentuk menyerupai
mulut binatang. Arsitektur nusantara bali pada umumnya jarang menampilakn dimensi
struktur yang gemuk maupun tebal, sehingga apabila ada balok yang segi empat selalu
sudut-sudutnya dihilangkan atau diprofil seperti terlihat pada kekupakan saka (profil pada
tiang), tadapaksi (balok tari struktur atap), dan waton (bingkai bale-bale).
Tempat suci pada bale banjar belakangan ini pada umumnya terletak pada areal
kaja kangin, posisi seperti itu sesuai dengan konsep arsitektur nusantara bali yakni
menurut tata nilai suatu zoning yang menempati zona utamaning utama (zona yang
paling utama). Namun pada bale banjar bandung ini berbeda dan hampir semua tempat

27
suci pada bale banjar yang berada di Desa Gunaksa letak tempat sucinya berada di tengah
(areal pusat natah). Bangunan ibadat pada bale banjar ini berbentuk segi empat dengan
empat tiang mempunyai dua step bebaturan (lantai). Bangunan tempat suci pada banjar
ini disebut bale patok. Jika mengkaji nama patok dalam bahasa bali adalah sebatang kayu
yang ditancap di tanah untuk menambatkan hewan peliharaan, seperti sapi atau kerbau
supaya tidak lepas dari tempatnya. Nama bale patok juga diambil dari pengertian
tersebut, karena bangunan tersebut berfungsi sebagai pengikat bangunan-bangunan yang
mengelilinginya, dan makna lainnya adalah sebagai pengikat persatuan dan kesatuan
antar warga banjar, dan bangunan tempat ibadat bale patok ini merupakan pusat untuk
menggantungkan kesucian pikiran dari seluruh warga banjar.

28
Bale Pantokan

Bale loji adalah salah satu bentuk bangunan pada bale banjar yang berbeda
dengan lainnya, bangunan ini terbagi menjadi dua ruang, yakni bagian terbuka dan bagian
tertutup. Pada bagian terbuka digunakan sebagai tempat duduk para pimpinan banjar dan
sebagai ruang koordinasi apabila ada kegiatan pada banjar tersebut. Pada bagian yang
tertutup digunakan sebagai ruang untuk menyimpan peralatan milik banjar apabila
kegiatan telah usai. Nama loji ini merupakan pengaruh dari Belanda (lodge), mengingat
bangunan pada arsitektur nusantara biasanya diberi nama berdasarkan fungsinya.
Proporsi bangunan ini mempunyai laintai yang agak tinggi dan terletak antara luar dan
dalam sehingga bangunan ini sangat strategis untuk mengawasi ataupun berkomunikasi
ke segalam arah, baik halaman banjar yang berada di luar, di alun-alun, maupun di
jeroan.
Alun-alun berfungsi sebagai tempat untuk membuat peralatan upacara misalnya
pekerjaan kayu bambu, atau membuat wadah, Madya, Singa, lembu, atau peralatan
ngaben lalinnya. Bila ada upacara mukur tempat ini berfungsi sebagai Peta suci, alun-
alun berfungsi juga sebagai tempat pertunjukan.
Tempat pengangguran terbuat dari batu lempeng yang besarnya menyerupai kursi untuk
tempat santai.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pola lingkungan desa (khususnya desa adat atau pakraman) di Bali berpola
linear. Dengan pembangunan banyak puri pada masa Bali pertengahan (setelah
masuknya pengaruh Majapahit) maka banyak pula dibangun catuspatha sebagai
kerangka tempat kedudukan berbagai fasilitas pemerintahan dan kota. Pola yang
digunakan di desa Gunaksa adalah pola catuspatha.
Bale desa di Desa Gunaksa berbentuk Wantilan. Wantilan berasal dari
kata wanti yang berarti berulang-ulang. Dalam hal ini yang diulang-ulang adalah
atapnya, sehingga salah satu cirinya adalah atapnya yang bertumpuk.
Banjar merupakan kelompok-kelompok organisasi dan merupakan struktur
pemerintahan terbawah dalam sebuah desa adat, dimana di masa perkembangan
saat ini organisasi yang berupa banjar ini pula dimanfaatkan oleh pemerintah
sebagai struktur pemerintahan terbawah berupa ‘dusun’ yang berada dibawah
pemerintahan desa dinas. Maka dari itu banjar mempunyai dua fungsi yaitu:
fungsi adat dan dinas.
Secara umum Arsitektur bale banjar di Bali tidak lagi secara utuh
menerapkan Arsitektur Nusantara Bali, karena telah melakukan perubahan-
perubahan dari petunjuk membangun Arsitektur Nusantara Bali. Perbedaan
tersebut ditandai oleh adanya pemaknaan baru terhadap tata nilai maupun system
nilai, terciptanya masa tunggal, hilangnya natah banjar, orientasi bangunan ke
jalan, bangunan berlapis secara vertical (bertingkat), struktur konstruksi dan
bahan cenderung modern dengan ornament maupun langgam campuran.

30
3.2 Saran
• Sebaiknya arsitektur nusantara Bali terus dilestarikan, sebab arsitektur
Bali merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia yang memiliki ciri
khas yang berbeda dengan arsitektur yang ada di daerah lain.
• Dengan ini diharapkan agar arsitektur Bali mendapat perhatian dari
banyak pihak baik itu dari pemerintah, maupun masyarakat.

31
DAFTAR PUSTAKA

Lanus, Nengah, 1990,Inventarisasi Perwujudan Bale Banjat di Desa Gunaksa


Kabupaten Klungkung, Denpasar : Universitas Udayana press.

- , 2002,Arsitektur Poskolonial: kasus Bale Banjar di


Bali,Surabaya : ITS.

Sumber foto :

Dokumentasi pribadi

32

You might also like