You are on page 1of 5

Maaf, bang!

Tak terasa tahun 2010 akan segera berakhir, diikuti juga dengan liburan sekolah.
Liburan yang diadakan sekolahku tidak terlalu panjang. Tepatnya tanggal 24 Desember 2010
diadakan pembagian rapor, dan diikuti dengan libur natal dan tahun baru hingga tanggal 2
Januari 2011.
Terkadang pada masa liburan seperti ini aku merasa sangat aneh. Pada hari-hari
pertama libur, aku merasa sangat senang. Terbebas dari segala tugas dan segala pekerjaan
sekolah yang dapat membuat otak bekerja cukup keras. Aku dapat melakukan segala sesuatu
yang biasanya sulit untuk kulakukan saat hari-hari sekolah. Bangun siang, bermalas-malasan
di kursi santai di depan TV, dan sebagainya. Dunia terasa seperti miliku.
Memasuki pertengahan liburan, aku mulai merasa bosan. Melakukan hal yang sama
setiap hari. Ingin rasanya kembali ke sekolah dan melakukan kegiatan seperti biasa dengan
teman-temanku disekolah yag biasa kutemui setiap hari.
Pada hari-hari terakhir liburan seperti sekarang ini, perasaanku berubah lagi. Aku
merasa sangat sayang, liburan akan segera berakhir. Kembali ke rutinitas sehari-hari di
sekolah dan tempat kursus yang cukup melelahkan.
***
Aku terbangun dari tidurku, yang tidak nyenyak. Sebab diganggu oleh jutaan debu
yang masuk ke hidungku dan membuatku terbangun pada tengah malam karena hidung gatal
dan bersin, beberapa kali. Maklum, aku bukan tipe orang yang rajin membersihkan debu
meskipun ayahku telah berkali-kali mengingatkanku untuk melakukanya setiap hari.
Hari itu adalah hari-hari yang kutunggu-tunggu. Akhirnya ada suatu acara yang akan
mewarnai iburanku yang akan segera berkahir ini. Teman-temanku mengajaku untuk jalan-
jalan bersama di sebuah mall. Kami berencana akan makan siang dan menonton sebuah film
bersama-sama.
Bangun tidur aku bergerak ke arah meja tempat kuletakan handphone-ku. Kulihat di
sudut kanan atas waktu telah menunjukan pukul 8.47 pagi. Woah! Aku menguap, ini masih
terlalu pagi dari acara yang kutunggu. Menurut rencanaku aku akan jalan beberapa menit
sebelum jam 10 pagi, dan sampai di rumah temanku pukul 10. Tadinya, aku ingin tidur lagi.
Tapi, kedua mataku ini sudah ‘kenyang’ akan tidur. Maka, kuputuskan untuk ‘berkencan’
terlebih dahulu dengan ‘pacar kayu bersenar 6’-ku. Saat tengah asyik bermain gitar, tiba-tiba
hanphone-ku berbunyi. Kuraih handphone-ku diatas meja. Ada satu pesan baru yang masuk.
Dari temanku, Sony,
”kata fita jam 11 aja...”.
Itu berarti aku mendapat tambahan waktu 1 jam lagi.
Tak beberapa lama kemudian, aku mulai bosan bermain gitar. Aku pun berjalan ke
arah kursi santai di depan TV. Menikmati acara-acara pagi di berbagai channel TV. Tiba-tiba
perutku berbunyi, aku baru sadar aku belum sarapan. Aku berjalan ke arah meja makan.
Tidak ada apa-apa disana. Aku bertanya pada ibuku, ibuku pun mengajaku untuk sarapan
diluar juga membeli sarapan untuk orang-orang dirumah yang tidak ikut keluar.
Sepulang dari luar, kulihat jam telah menunjukan pukul 10.29. Sudah waktunya untuk
mulai bersiap-siap untuk pergi. Aku berjalan ke arah kamar mandi untuk melakukan suatu
‘kewajiban’ manusia normal setiap pagi. Setelah mandi dan berpakaian aku kembali
menonton TV sembari menunggu waktu yang pas untuk berangkat. Tiba-tiba, handphone-ku
berbunyi lagi. Ada satu pesan masuk lagi, dari Sony,
“aku dah ada d ARAS”
Wah! Cepat sekali! Aku berjanji dengan Sony untuk bertemu di depan ARAS sebab
aku tidak tahu jalan ke rumah Fita. Kami berencana akan jalan bersama ke rumah Fita. Aku
pun segera berpamitan dengan kedua orang tuaku dan segera bergegas ke ARAS dengan
sepeda motorku.
Sesampainya disana, aku melihat Sony sedang mondar-mandir, juga sepeda motornya
yang diparkirkan di dekatnya. Ternyata satu lagi teman kami, Ilam, belum sampai di ARAS.
Dia juga tidak tahu jalan ke rumah Fita, dan hendak jalan bersama kami. Ku parkirkan
motorku, dan ikut menunggu Ilam.
“Uda coba telpon ilam, son?”, aku bertanya.
“Uda, ga diangkat, kayaknya dia lagi bawa motor tuh”, jawab Sony
Sony mencoba lagi. Kali ini tersambung. Dia pun seperti bersahutan sendiri berkali-
kali.
“ham, kau ada dimana sekarang?”
“...hah?”
“dimana sekarang??”
“TK An-Namiroh? Dimana tuh?”
“Uda mentok kulim terus belok kiri?”
“aha....aha...aha...Oke, kalo gitu sekarang kau tunggu disana”
Sony menutup telponya. Kemudian aku bertanya,
“ Jadi dia lagi dimana,son?”
“Di TK An-Namiroh katanya,” kata Sony.
“TK An-Namiroh? Di mana tuh?” aku bingung.
“Ntah la jalan aja kita yoo..” jawab Sony.
Lalu kami menuju sepeda motor masing-masing. Menyalakanya dan mulai mencari
Ilam. Sony yang membawa jalan, aku hanya mengikutinya dari belakang. Ternyata kecepatan
Sony membawa motor cukup tinggi. Tidak mudah untuk mengejarnya dan berjalan beiringan
dengannya. Jadi, aku hanya mengikutinya dari belakang sambil melihat-lihat lingkungan dan
bangunan sekitar di pinggir jalan.
Daerah di sekitar ARAS terasa asing bagiku. Aku tidak melewati jalan ini kecuali jika
ada kebutuhan tertentu. Rumah saudaraku juga tidak ada yang di sekitar sini. Jalanan disini
tidak serata jalanan yang biasa kulaui. Dari jauh dapat terlihat jalanan didepan yang menanjak
seperti bukit. Dan dari atas sana, terlihat jalan penurunan yang terlihat agak curam.
Beberapa menit kemudian, kami melihat sebuah papan reklame cukup besar, “TK An-
Namiroh”. Nah itu dia TK An-Namiroh! Tapi kami tidak melihat Ilam. Rasanya tidak
mungkin Ilam yang memiliki tubuh cukup besar tak terlihat oleh kami. Itu artinya Ilam
memang tidak ada di sekitar sini.
“Jadi gimana ni, yib?” aku bertanya.
“Ya udah lah, kita ke rumah Fita dulu,” jawab Sony.
Kami pun meanjutkan perjalanan ke rumah Fita. Semoga saja Ilam tidak nyasar jauh
agar kami bisa memjemputnya nanti dari rumah Fita.
Tak beberapa lama kemudian kami sampai di depan gang rumah Fita. Gang itu
terletak di sebelah kiri jalan, sedangkan kami berada di sebelah kanan jalan. Kami
menghentikan sepeda motor kami, dan mulai melihat ke kanan dan kiri untuk bersiap
menyebrang. Sony tetap berada di depan sementara aku di belakangnya. Kulihat sebuah
sepeda motor yang cukup kencang melintas melewatiku. Tiba-tiba kudengar suara tabrakan
yang cukup keras, BRAKK!! Saat aku menoleh, ternyata itu adalah Sony dan pengendara
motor yang baru saja melintas di depan ku. Mereka bertabrakan karena Sony tidak sempat
melihat sepeda motor yang melaju cukup kencang itu. Mereka berdua bertabrakan dan
terjatuh di tengah-tengah jalanan. Aku segera memarkirkan sepeda motorku di pinggir jalan,
lalu kubantu Sony untuk mengangkat motornya dan memarkirkannya di pinggir jalan.
Pengendara motor yang bertabrakan dengan Sony adalah seorang pria berusia kira-
kira 30 tahun dengan badan kurus dan rambut cukup panjang, yang kalau dilihat oleh guru
kedisplinan sekolah kami, pasti akan dicolak. Ia juga bangkit dan mengangkat sepeda
motornya, dibantu oleh seorang abang-abang lainya yang kebetulan melintas dan
membantunya. Wajah abang itu tampak seperti menahan sakit. Tanganya kirinya tampak
memegangi pinggang kirinya, sambil menahan sakit. Di kaki kirinya juga tampak luka lecet
di dekat ibu jarinya kira-kira sebesar koin rupiah.
Sony lalu berjalan mendekati abang itu.
“Abang ndak apa-apa, bang?” tanya Sony dengan wajahnya yang tampak cemas
“Kamu kenapa masih jalan juga? Tadi uda ku sorak dari jauh, kamu masih maju juga”
abang itu berkata.
“Maaf bang, kan saya uda di depan uda tinggal maju, ndak liat saya bang...abang ndak
apa?” Sony kembali menanyakan keadaan abang itu.
Di tengah-tengah percekapan itu yang cukup menegangan itu, tiba-tiba tampak
seorang lelaki cukup gemuk yang menghentikan sepeda motornya di dekat kami. Tubuhnya,
sepeda motornya, dan helm-nya tampak kukenali. Lalu dia membuka kaca helm-nya. Wah itu
dia si Ilam yang dicari-cari! Dia tampak tersenyum saat aku menyapanya dari seberang jalan.
Aku dan Ilam pun menemani Sony yang sedang trus nego masalah kecelakaan ini.
“Gimana bang? Apa kita bawa berobat dulu, daripada kenapa-kenapa nanti..?”
“Ndak usah lah..”
Beberapa kali Sony sempat menanyakan hal yang sama namun dibalas dengan
jawaban yang tidak begitu pasti. Abang itu lalu mengajak Sony untuk duduk di teras sebuah
kios kecil dari kayu yang di tutup dan tak ada siapa-siapa. Pasti sudah ditinggal karena
liburan akhir tahun.
Ilam lalu mendekati Sony dan mengatakan sesuatu dengan agak berbisik.
“Uda la, son. Ganti rugi aja biar cepat selesai, bisa pergi kita.” bisik Sony.
“....”
Aku tidak mendengar jawaban dari Sony, karena aku jalan ke arah motorku untuk
memindahkanya ke tempat yang lebih aman, lalu kembali. Namun sepertinya Sony menerima
usul dari Ilam karena dia mulai nego dengan abang itu masalah uang.
“ 300 ribu lah, dek” abang itu berkata pada Sony.
“Ham, kau ada berapa? Mud, ada bawa uang?” Sony menanyakan uang yang bisa
dipinjamnya.
“Aku ada 50” jawab Ilam
“ Kau ada berapa, mud?” Sony bertanya pada ku.
“Berapa aja ada kalo emang di butuhkan, hehehe..” aku berkata sambil tertawa kecil
mendinginkan suasana.
“ Aku ada yang merah son. Kau ada berapa?” jawabku dengan serius kali ini.
“Yang merah? 100 ribu?” dia memperjelas.
“Iya” jawabku.
“Aku ada 100” Sony berkata.
“Bang 250 ribu bisa ndak? Segitu adanya, bang.
“Ya udah lah.” Jawab abang itu.
Lalu aku dan Ilam mengambil dompet masing-masing. Aku mengeluarkan lembaran
merah yang hanya satu-satunya di dompet ku itu. Sisanya hanya satu lembaran yang
berwarna hijau, ungu, dan beberapa yang berwarna abu-abu dan kuning. Ilam tampak
memberikan Sony sepotong kertas berwarna biru. Itu adalah uang 50 ribu rupiah yang dilipat-
lipat. Sony juga mengeluarkan uang 100 ribu rupiah dari dompetnya. Lalu dibeirkanya pada
abang itu.
“Ini bang, maaf ya bang.” Sony kembali meminta maaf.
“Iya. Lain kali hati-hati.” abang itu masih tampak memegangi pinggang kirinya
menahan sakit.
“Iya, bang. Kami jalan dulu ya bang.” Pamit Sony
Kami berpamitan dan pergi meninggalkan abang itu yang masih duduk di teras itu.
Sony tampak sedikit lega. Masalahnya sudah selesai. Sekarang kami akan pergi ke rumah
Fita yang hanya berjarak beberapa meter dari situ dan menjemput teman kami.
Saat berjalan ke sepeda motor kami. Aku mendekat Ilam dan berkata.
“Wah tapi kalo gini, aku ga jadi nonton, nih” sambil sedikit nyengir aku berkata pada
Ilam. Ilam hanya ikut nyengir tanpa berkata-kata. Sekarang aku hanya berharap agar
rekening bankku belum di dorman-kan, sebab sudah lama aku tidak melakukan transaksi.
Aku harus menarik uang untuk membeli tiket bioskop. Jika tidak, aku terpaksa harus memilih
antara makan siang, atau nonton.

You might also like