Professional Documents
Culture Documents
Pacaran sebuah kata yang sangat menarik untuk dibicarakan. Sekan tak ada
usainya, sepanjang roda dunia ini masih berputar. Pro-kontra mengenainya
pun sudah ada sejak pacaran itu sendiri ada, yang menurut saya sudah ada
sejak diciptakannya Hawa –ibu bangsa manusia. Adalah hal yang wajar bagi
generasi muda untuk selalu ingin tahu tentang segala sesuatu, bahkan akan
menjadi aneh bila orang muda tidak ingin banyak tahu. Demikian juga
tentang pacaran, generasi muda Islam saat ini pun seringkali menanyakan
hal pacaran. Namun kebanyakan yang ditanyakan adalah mengenai fikih
pacaran. Intinya kebanyakan mereka bertanya, “Sebenarnya boleh tidak sih,
pacaran itu?�? atau, “Ada tidak sih pacaran yang Islami itu?�? dan
pertanyaan lain yang senada. Jawaban sang ustadz pun berbeda-beda. Ada
yang dengan keras melarang dengan mengatakan “Pacaran itu haram!�?
ada juga yang agak “remang-remang�? boleh lah asal tidak kebangetan.
Namun saya sangat tertarik dengan jawaban Ustadz Wijayanto mengenai
pertanyaan ini. Beliau menjawab pertanyaan itu dengan jenaka dan
diplomatis, “Dalam Islam tidak ada larangan maupun anjuran untuk
berpacaran. Tidak ada dalil yang mengatakan ‘wala pacaranu inna pacaranu
minassyayatiin’ atau ‘fapacaranu, inna pacaranu minattaqwa’ .�? Saya
sepakat mengenai hal ini, karena memang pacaran itu sendiri tidak jelas
definisinya. Cobalah Anda tanya pada beberapa anak SMP atau SMA dari
berbagai komunitas dan kelompok. Pasti akan muncul berbagai definisi
berbeda mengenai pacaran. Ada yang bilang pacaran itu jalan bareng sama
seseorang yang kita cintai dan mencintai kita. Wah berarti jalan bareng
sama bapak ibu juga pacaran dong? Yang lain bilang pacaran itu menyepi,
ngobrol berduaan dengan kekasih hati. Nah yang ini malah sering dilakukan
sama Pak Ustadz dan santri-santrinya saat sepuluh hari terakhir Ramadhan,
alias iktikaf. Ada juga yang bilang pacaran itu ketemu dengan orang yang
kita cintai, entah rame, entah sepi, pokoknya ketemu trus ngobrol, bertukar
pikiran, atau diskusi. Naah… yang ini malah mirip acaranya anak-anak TSC*
saban sore tuh! Sementara yang lain bilang pacaran itu jalan bareng, makan,
atau nonton, atau shopping di mall bareng kekasih hati. Yaaa… yang ini sih
acaranya anak borju, kelaut aje…. So, karena gak ada definisi jelas tentang
pacaran, maka hukum pacaran sendiri jadi gak bisa begitu saja diputuskan.
Kata Dr. Yusuf Qardhawi jangan mudah mengharamkan sesuatu, apalagi
yang belum jelas definisinya. Nah, sekarang coba kita rumuskan definisi
umum pacaran, alias akan adakah benang merah yang dapat kita tarik dari
timbunan terigu kebingungan kita. Atau tepatnya, kita mencoba mencari
irisan dari semua himpunan definisi yang tadi udah kita cari, yang ternyata
jumlahnya banyak dan beda-beda semua. Akan saya coba rumuskan bahwa
pacaran itu adalah interaksi antara dua orang manusia berbeda jenis
kelamin yang saling mencintai sebelum menikah. Karena dari berbagai
definisi tadi yang cukup mewakili untuk disebut sebagai irisan adalah kata
interaksi, saling mencintai dan berlainan jenis kelamin, serta belum menikah.
Atawa kita sebut aja interaksi pra-marital dengan dasar saling ketertarikan
atau saling mencintai. Nah dengan definisi ini akan mudah bagi kita untuk
mengetahui hukum pacaran itu, atau adakah pacaran yang Islami itu. karena
sekali lagi dalam Islam tidak pernah diatur, atau ada dalil yang melarang
“pacaran�?. Yang ada dalam Islam adalah aturan-aturan dalam berinteraksi
dengan manusia. Bagaimana kita berinteraksi dengan orang tua, dengan
teman, guru, Nabi, semua ada aturannya dalam Islam. Interaksi yang sesuai
dengan kaidah Islam berati Islami, sementara yang tidak sesuai adalah tidak
Islami. Dengan definisi dasar bahwa pacaran itu adalah interaksi dan saling
mencintai, maka pacaran secara dasar hukum adalah netral. Karena
interaksi dalam Islam itu adalah netral, akan tergantung bentuknya.
Sementara tidak ada larangan bagi umat Islam untuk mencintai lawan
jenisnya. Dengan demikian sekali lagi pacaran adalah netral, tergantung
bagaimana kita melakukannya. Dengan netralnya pacaran, berarti pula ada
pacaran yang Islami dan ada pacaran yang tidak Islami. Lebih lanjut lagi jika
kita tinjau dari segi asal kata, pacaran berasal dari kata dasar “pacar�?,
yang artinya kurang lebih adalah seseorang –lawan jenis tentunya- yang kita
cintai namun belum menikah dengan kita. Maka semakin jelaslah bahwa
pacaran itu adalah netral. Karena sekali lagi bahwa mencintai seseorang
lawan jenis adalah tidak terlarang dalam Islam. Seperti kisah Umar bin Abu
Rabi’ah tentang seorang pemuda Arab yang lagi jatuh cinta, yang dilukiskan
dengan begitu indah di dalam buku “Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan
Memendam Rindu�?, yang terkenal itu. Baca sendiri dah kisahnya, gak
kalah romantis sama kisah Romeo dan Juliet yang fiksi itu. Selanjutnya pula
berati pernyataan bahwa tidak ada pacaran Islami, atau tidak ada pacaran
dalam Islam itu kurang tepat. Atau lebih tepatnya, adalah sepihak
pernyataan yang menyatakan tidak ada pacaran Islami itu, karena setelah
kita kaji lebih lanjut, ternyata kata pacaran itu sendiri bersifat netral, seperti
halnya seni. Seni dalam Islam adalah netral, tergantung bagaimana kita
melakukannya, bisa jadi seni itu haram, ketika seni tersebut tidak sesuai
kaidah Islam, namun juga sebaliknya. Namun kemudian muncul pandangan
baru yang menyatakan tidak boleh mencintai lawan jenis sebelum menikah!
Sebuah pernyataan yang agak naif dan sulit untuk dibenarkan. Selain tidak
ada dalil naqli-nya, juga sangat lemah dalam logika manusiawi. Sederhana
saja, Nabi memerintahkan kita “Wanita-wanita dinikahi karena
kecantikannnya, hartanya, nasabnya, dan agamanya….�? dan seterusnya
sampai akhir hadits. Dari potongan hadits tadi dapat kita simpulakn bahwa
Nabi menyuruh kita untuk memilih wanita –dalam hal ini untuk pria- yang
akan kita nikahi. Apa artinya memilih? Memilih artinya mengunakan
kecendrungan –rasa- untuk memutuskan pilihan dari beberapa variabel yang
ada. Misalnya saja saat Anda ingin membeli mie ayam, dari sekian banyak
warung mie ayam, Anda akan memilih warung yang paling Anda sukai (baca:
cintai). Adapun mengapa Anda membuat pilihan itu, akan ada banyak
variabel yang membuat Anda menentukan pilihan itu. Misalnya saja karena
rasanya enak, warungnya bersih, atau karena penjualnya ramah. Nah
akumulasi dari variabel yang Anda jadikan ukuran itu disebut rasa, hasrat,
atau cinta. Artinya Anda lebih mencintai untuk makan mie ayam di tempat X
ketimbang di tempat lain. Demikian juga dalam memilih pasangan hidup,
Andapun akan punya banyak variabel yang menjadi ukuran dalam
menentukan pilihan Anda. Misalnya saja, Anda memilih yang cantik –ini pun
akan sangat subjektif, misalnya saja cantik menurut Anda adalah yang
tinngi, semampai, manja dan imut-imut serta ceria-, yang muslimah, yang
kaya, atau yang anak Pak Lurah. Nah akumulasi dari kriteria yang Anda
jadikan ukuran inilah yang disebut dasar cinta atau sebab cinta. Anda akan
lebih mencintai seorang gadis yang cantik, muslimah, kaya, dan anaknya
Pak Lurah, ketimbang gadis lain yang tidak sesuai dengan kriteria Anda ini.
Artinya apa? Tidak mungkin Anda memilih seorang istri atau suami tanpa
mencintainya terlebih dahulu sebelum menikah! Jika tidak, maka Anda akan
segera bercerai! Kisah ini sudah ada di zaman Nabi dahulu. Dimana
perceraian rumah tangga seorang sahabat terjadi karena memang sang istri
tidak mencintai sang suami. Seperti dalam kisah pernikahan Tsabit bin Qais
dengan Habibah binti Sahl yang terpaksa harus berakhir karena Habibah
tidak mencintai Tsabit. Dan ini diperkenankan Nabi. Artinya Nabi jelas
menginginkan suatu rumah tangga itu dibangun atas dasar saling cinta. Nah
untuk mencegah perceraian yang cukup tragis seperti ini perlulah sebuah
pernkahan itu dibangun atas dasar saling mencintai. Sebenarnya inti dari
resistensi kalangan aktivis yang menolak pendapat saya adalah, bahwa
mereka menganggap terobsesi pada seseorang akibat cinta mendalam itu
adalah sebuah dosa. Mereka menganggap bahwa mencintai seseorang
sampe gak bisa tidur, gak doyan makan, adalah sebuah big sin, dosa gedhe.
Alasannya, nanti kalao ibadah ntar jadi gak ikhlas, niatnya karena si yang
dicintai itu, bukan karena Allah. Ujung-ujungnya ntar bisa syirik. Whii syerem
gitu. Padahal kalau mau jujur, sebenarnya bukan cuma cewek or cowok kita
yang bisi bikin niat kita jadi gak bener. Ustadz, babe, nyak, engkong, encing,
dosen, murabbi, temen, jamaah di masjid, semua bisa bikin kita punya niat
jadi gak lurus. Bahkan anak-anak dan preman yang nongkrong di pinggir
jalan dan sering godain kita, saat kita brangkat ke masjid bisa bikin kita jadi
brubah niat jadi arogan dan pengen dikatain “Tuh yang ahli surga, kerjanya
ke mesjid mulu!�?. Sementara di dalam hati tanpa sadar kita bilang “Ntar
loe pade jadi kerak nerake, gare-gare kagak pernah jamaah di masjid,
mampus loe!�?. Artinya sale besar kalo menjadikan cinta kita pada kekasih
kita menjadi satu-satunya penyebab utama melencengnya niat kita.
Sementara itu gak pernah ada yang bingung dan ribut melarang kita punya
murabbi, dosen, guru, temen, yang juga bisa bikin niat kita melenceng.
Padahal kalau mereka membaca sejarah para sahabat, seharusnya mereka
tidak mempunyai pendapat seperti itu, banyak juga para sahabat yang truly,
madly, deeply, loving a woman. kita simak lagi sejarahnya Abdullah bin Abu
Bakar yang begitu love-nya sama Atikah sehinga saat dipaksa bercerai (yang
artinya saat itu Atikah bukan apa-apanya Abdullah, tidak ada ikatan
pernikahan) oleh ortunya –yang khawatir Si Abdul jadi over loving her and
forget Lord- jadi seperti orgil. Suka ndomblong di depan rumah dengan
tatapan kosong, ra doyan maem, bikin syair tentang rindu. Toh gak ada yang
nuduh Abdullah jadi rada sesat gara-gara itu. Malah akhirnya mereka
dirujukkan kembali, artinya babenya Abdul tidak ngelarang cinta mereka. Ini
juga menyangkal anggapan mereka yang mengatakan boleh cinta tapi tidak
boleh mengekspresikannya sebelum menikah. Buktinya Abdul juga bikin
puisi cinta, dan juga ekspresi sedihnya yang jelas menunjukkan
kerinduannya pada sang kekasih hati. Dengar juga komentar sang Pintu Kota
Ilmu, Ali bin Abi Thalib, saat pernikahan Atikah dengan Umar bin Khattab.
Minta ijin sama si suami tuk sekedar nginjen manten perempuan and bilang,
“Wahai wanita yang berada di tempat yang tinggi, aku bersumpah tak akan
mengalihkan pandanganku darimu agar kulitku menguning…�? what a
love?!! Belum puas? Baca kisah Umar bin Abdul Aziz yang terobsesi pada
seorang budak yang cantik, walaupun akhirnya dia mengembalikannya pada
keluarganya. Baiknya jangan menjadi orang yang ramutu dan mengingkari
fitrah dan mengada-adakan dalil yang ngelarang kita mencintai lawan jenis
sebelum menikah. Bahkan Utsman bin Affan pun berkata bahwa dirinya
adalah seseorang yang amat suka pada wanita. Mencintai bukanlah sebuah
dosa. Dosa itu adalah ketika kita, melakukan khalwat, bersentuhan, berkata-
kata dengan menggoda, dan zina itu sendiri. Jangan ghuluw dengan
membuat batasan-batasan yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah dan
RasulNya. Cukuplah apa yang Allah dan rasulNya berikan. Ikatan hati
sebelum nikah bukanlah sebuah dosa. Dosa adalah perbuatan yang
melanggar secara hukum fikih, dan dosa urusan Allah dengan hambanya.
Ikatan hati selama dalam koridor syariat tiada berdosa. Namun muncul
perdebatan lain. Mencintai lawan jenis akan mengalahkan cinta kita kepada
Allah. Saya pikir ini sangat subjektif. Namun dapat kita ukur dengan mudah.
Caranya? Mudah saja, ketika Anda mencintai seseorang, apa yang menjadi
ukuran Anda untuk mencintainya. Misalnya saja Anda mencintai seorang
gadis karena dia seorang gadis muslimah dan berjibab, suka mengaji dan
berdakwah, santun akhlaknya. Jelaslah bahwa Anda lebih mencintai Allah
ketimbang si gadis. Karena yang menjadi ukuran Anda untuk mencintai si
gadis adalah ukuran-ukuran yang telah diberikan Allah. Ketika kemudian si
gadis menjadi tidak berjilbab, nakal, dan urakan, maka cinta Anda pada si
gadis akan luntur, dan Anda akan bilang pada si gadis, “Kalo Loe kagak
berubah, kelaut aje….�? karena si gadis sudah tidak lagi sesuai dengan
ukuran-ukuran yang Anda jadikan kriteria untuk mencintainya. Jika Anda
memang mencintai si gadis lebih dari Allah maka akan mudah saja. Anda
akan menerima si gadis apa adanya. Entah dia ndugal, urakan, pakaian mini,
gaul bebas, gak peduli! Yang penting saya cinta dia. Naaah kalau sudah
begini barulah cinta ini berbahaya, dan harus segera direvisi. Lain lagi
dengan seorang teman saya. Dia mencintai seorang gadis namun karena si
gadis ternyata baru memenuhi sebagian dari ukuran-ukuran cintanya, maka
dia berkata pada saya “Saya tidak bisa mencintainya karena dia belum
sesuai dengan ketentuan Tuhan saya.�? Kemudian saya bilang, “Lo, kenapa
tidak Kamu buat dia menjadi sesuai dengan syariat Tuhan, ajarin dia dong!
Ajak ngaji. Kan Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali dia
berusaha mengubahnya.�? Dia balas menjawab, “Saya takut saya
mengubahnya bukan karena Tuhan saya tetapi karena saya mencintai
dia.�? Kedengarannya teman saya ini benar. Namun coba Anda renungkan
lagi, sebenarnya dia berbuat itu untuk siapa? Untuk si gadis atau untuk
Tuhan? Saya akan dengan mantap bilang “Jika Anda berusaha mengubah dia
agar sesuai dengan syariat Tuhan, maka Anda telah berbuat untuk Tuhan!
�? mengapa? Karena apa yang Anda lakukan itu agar dia sesuai dengan
kehendak Tuhan arinya jelas-jelas Anda lebih mencintai Tuhan ketimbang si
gadis. Jika Anda berbuat itu karena si gadis, buat apa repot-repot mengajak
ngaji dan sebagainya. Karena Anda kan segera meneriama si gadis apa
adanya. Entah dia sesuai atau tidak dengan aturan Tuhan. Nahhh, setelah
tulisan yang panjang dan bertele-tele ini, kembali kita ke judul utama. Ada
tidak sih pacaran Islami itu? Saya akan berani menjawab ada! Jadi tidak
tepat kalau banyak aktivis dakwah secara “madju tak gentar�?
mengkampanyekan anti pacaran. Karena memang yang namanya pacaran
itu adalah sesuatu yang netral. Lebih tepat kalau aktivis dakwah
mengakampanyekan secara progresif tentang aturan berinteraksi di dalam
Islam. Sehingga objek dakwah menjadi lebih tahu, apa sih yang boleh dan
apa sih yang tidak boleh. Bukannya menambah kebingungan yang berujung
sikap menolak dakwah karena apa yang dikampanyekan tidak jelas dasar
hukumnya. Gimana? Setuju? Seandainya Anda tidak setuju maka marilah
kita dialogkan, mungkin saja saya banyak kekurangan referensi dan
kekhilafan logika. Sesungguhnya segala sesuatu itu kembali pada-Nya. Dan
hanya Dia lah Yang Maha Benar, pemilik kebenaran sejati. Kita hanya
mencoba mengais setetes kebijaksanaan-Nya di tengah samudera Maha
Bijak-Nya. Semoga Tuhan mengampuni semua dosa saya, Anda dan saudara
kita semua. And semoga saja tulisan saya ini ada manfaatnya… ciao!!! J *
(Teladan Science Club, kelompok ilmiah remaja-nya SMU N 1 Yogyakarta
yang sering disamperin sama anak-anak PSG) PageSevenGreen™ 2002 (hasil
dialog sore hari dg WA)
potret remaja
Kayaknya kita semua udah pada tahu deh, Fase usia remaja tuh merupakan masa dimana manusia
sedang mengalami perkem¬bangan yang begitu pesat, baik secara fisik, psikologis dan sosial.
Perkembangan secara fisik ditandai dengan semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ
reproduksinya. Secara sosial perkembangan ini ditandai dengan semakin berkurangnya
ketergantungan dengan orang tuanya, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal
komunitas luar dengan jalan inter¬aksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan
sebaya maupun masyarakat luas. Pada masa ini pula, ketertarikan dengan lawan jenis juga mulai
muncul dan berkembang. Rasa ketertarikan pada remaja kemudian dimunculin dalam bentuk
(misalnya) berpacaran di antara mereka. Berpacaran berarti upaya untuk mencari seorang teman
dekat dan di dalamnya terdapat hubungan belajar mengkomunikasikan kepada pasangan,
membangun kedekatan emosi, dan proses pendewasaan kepribadian. Kemudian berpacaran
biasa¬nya dimulai dengan membuat janji, dating lalu bikin komitment tertentu dan apabila di antara
remaja ada kecocokan maka akan dilanjutkan dengan berpacaran. Pacaran? Bosen ah! …..Eit!
jangan salah. Pacaran sih emang sudah sering dibahas. Tapi diskusi kita kali ini lebih oke, karena
kita bakal ngelihat data yang berupa angka perilaku remaja kita kalo pacaran. Asik khan? Makanya
baca terus…. Pacaran remaja enggak selamanya merupakan sebuah cerita yang bersifat manis dan
dapat dinikmati oleh kedua belah pihak. Banyak persoalan yang kemudian muncul di antara mereka
dalam menjalani dan menapaki perjalanan kisah-kasih asmara. Berdasarkan laporan yang berhasil
dikumpulkan dari rekap Konseling Sahaja-PKBI DIY pada tahun 1998 hingga 1999 tampak bahwa
hampir separo (48 persen) dari 1.514 klien yang melakukan konsultasi mengalami permasalahan
seputar pacaran. Persoalan-persoalan yang muncul di luar perilaku seksual dalam pacaran antara
lain komunikasi (40 persen), taksir menaksir (25 persen), perselingkuhan (11 persen) serta
permasalahan patah hati, kekerasan, persiapan pernikahan, beda agama, konflik dengan pihak
ketiga dan lain sebagainya. (lihat tabel). Masalah pacaran remaja Masalah prosentase (%) taksir
menaksir 25 ditolak atau menolak 4 patah hati 5 komunikasi 30 kekerasan fisik 1 kekrasan
psikologis atau verbal 2 persiapan pernikkahan 2 belum punya pacar 2 beda agama 2 konflik
dengan pihak ketiga 7 pacaran jarak jauh 2 gonta-ganti pacar 1 perselingkuhan 4 lain-lain 11
sumber: karakteristik klien youth center PKBI DIY (Januari-Juli 1999) Seringkali, karena minimnya
informasi yang benar mengenai pacaran yang sehat, maka terkadang tidak sedikit remaja saat
berpacaran unsur nafsu seksual menjadi unsur dominan. Jenis perilaku seksual yang dilakukan oleh
remaja dalam berpacaran biasanya bertahap mulai dari timbulnya perasaan saling tertarik yang
kemudian akan diikuti oleh kencan, bercumbu dan akhirnya melakukan hubungan seksual. Hasil
Baseline Survai Lentera-Sahaja PKBI Yogyakarta memperlihatkan bahwa perilaku seksual remaja
mencakup kegiatan mulai dari berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, necking, petting,
hubungan seksual, sampai dengan hubungan seksual dengan banyak orang. Dari berbagai
penelitian menunjukkan bahwa perilaku seksual pada remaja ini mempunyai korelasi dengan sikap
remaja terhadap seksualitas. Penelitian Sahabat Remaja tentang perilaku seksual di empat kota
menunjukkan bahwa 3,6 persen remaja di kota Medan; 8,5 persen remaja di kota Yogyakarta dan
3,4 persen remaja di kota Surabaya serta 31,1 persen remaja di kota Kupang telah terlibat
hubungan seks secara aktif. Penelitian yang pernah dilak¬ukan oleh Pusat Penelitian
Kependudukan UGM menemukan bahwa 33,5 responden laki-laki di kota Bali pernah berhubungan
seks, sedangkan di desa Bali sebanyak 23,6 persen laki-laki. Di Yogyakarta kota sebanyak 15,5
persen sedangkan di desa sebanyak 0,5 persen. Di samping itu, perkembangan jaman juga akan
mempengaruhi perilaku seksual dalam berpacaran para remaja. Hal ini misalnya dapat dilihat bahwa
hal-hal yang ditabukan remaja pada beberapa tahun yang lalu seperti berciuman dan bercumbu
sekarang dibenarkan oleh remaja saat ini. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan
free sex. Perubahan terhadap nilai ini misalnya terjadi dengan pandangan remaja terhadap
hubungan seks sebelum menikah. Dua puluh tahun yang lalu hanya 1,2 - 9,6 persen setuju dengan
hubungan seks sebelum menikah. Sepuluh tahun kemudian angka tersebut naik menjadi di atas 10
persen. Lima tahun kemudian angka ini naik menjadi 17 persen yang setuju. Bahkan ada remaja
sebanyak 12,2 persen yang setuju dengan free sex. Sementara itu kasus-kasus kehamilan yang
tidak dikehendaki sebagai akibat dari perilaku seksual di kalangan remaja juga semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Walaupun sulit untuk diketahui secara pasti di Indonesia angka kehamilan
sebelum menikah, tetapi dari berbagai penelitian tentang perilaku seksual remaja menya¬takan
tentang besarnya angka kehamilan remaja. Catatan konseling Sahaja menunjukkan bahwa kasus
kehamilan tidak dikehendaki yang tercatat pada tahun 1998/1999 tercatat sebesar 113 kasus.
Beberapa hal menarik berkaitan dengan catatan tersebut misalnya, hubungan seks pertama kali
biasanya dilakukan dengan pacar (71 %), teman biasa (3,5%), suami (3,5%); inisiatif hubungan seks
dengan pasangan (39,8%), klien (9,7%), keduanya (11,5%); keputusan melakukan hubungan seks:
tidak direncanakan (45%), direncanakan (20,4%) dan tempat yang biasa digunakan untuk
melakukan hubungan seks adalah rumah (25,7%) hotel (13,3%). Konsekuensi dari kehamilan
remaja ini adalah pernikahan remaja dan pengguguran kandungan. Hasil penelitian PKBI beberapa
waktu yang lalu menunjukkan bahwa di Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bali dan Manado
angka kehamilan sebelum nikah pada remaja dan yang mencari pertolongan untuk digugurkan
meningkat dari tahun ke tahun. Sebuah perkiraan yang dibuat oleh sebuah harian menunjukkan
bahwa setiap tahun satu juta perempuan Indonesia melaku¬kan pengguguran dan 50 persen
berstatus belum menikah serta 10-15 persen diantaranya remaja. Upaya pendampingan dari orang
tua dan lembaga yang peduli kepada remaja adalah sebuah hal yang musti dilakukan, dan tentu aja
pendampingan yang bersahabat, berpihak dan tahu akan kebutuhan remaja. Dan tentu saja, lagi
lagi ujungnya adalah pentingnya pendidikan seksual bagi kita semua para remaja, agar kita ngerti
bener diri dan tubuh kita, resiko resiko perilaku seksual kita, serta bagaimana memilih perilaku yang
sehat dan bertanggung jawab.
• (13 Tinjauan)
Summary ratin g: 3 stars
• Kunjungan : 650
• kata:600
•
More About : larangan pacaran
Lebih lanjut tentang: Dalil Hadis Larangan Yang Berhubungan Dengan Ttm, Pacaran Dan Tunangan
50% Remaja Indonesia Melakukan Seks
Pra Nikah
IN: PENYIMPANGAN SEKSUAL
26Dec2009
KapanLagi.com – Peranan orang tua sangat diperlukan untuk mencegah para remaja melakukan
hubungan seks pra nikah (di luar nikah).
“Peran orang tua itu sangat penting untuk membina dan mengawasi anak-anak mereka yang masih
berusia remaja,” kata Sosiolog Prof. Dr. Badarudin, MA di Medan, Minggu (24/05).
Hal tersebut dikatakannya ketika diminta komentarnya mengenai 52% remaja pernah melakukan
hubungan seks pra nikah.
Sebelumnya, Kepala BKKBN Pusat, Sugiri Syarif saat memberikan kuliah umum bagi mahasiswa di
Unimed, Rabu,(13/5) mengatakan, sebanyak 52% remaja di Kota Medan mengaku pernah
berhubungan seks di luar nikah.
Data tersebut berdasarkan hasil penelitian survei DKT Indonesia, PKBI Rakyat Merdeka, Komnas PA
dan analisa SKRRI 2002.
Selain itu, menurut dia, sebanyak 51% terdapat di Jabotabek, 54% di Surabaya dan juga 47%
terdapat di Bandung yang remajanya pernah melakukan hubungan seks pra nikah.
Rata-rata usia remaja yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah itu antara 13 sampai 18
tahun.
Badarudin mengatakan, dengan pengawasan orang tua yang ekstra ketat terhadap anak-anak mereka
itu, diharapkan tidak ada lagi ditemukan remaja yang berhubungan seks di luar nikah.
Perbuatan anak-anak remaja seperti ini, harus secepatnya dihentikan dan jangan terus dibiarkan
meluas di tengah-tengah masyarakat.
“Tindakan yang salah dan melanggar hukum itu, agar secepatnya dicegah, karena ini jelas
menyangkut moral generasi muda harapan bangsa,” kata Badarudin yang juga Guru Besar FISIP USU.
Selanjutnya, ia menjelaskan, bagaimana nantinya masa depan generasi muda calon-calon pemimpin
bangsa itu, kalau beginilah yang terus mereka lakukan.
“Ini jelas sangat memalukan dan dianggap tidak bermoral. Perilaku jelek yang tidak mencerminkan
budaya ketimuran itu harus dapat dihilangkan jauh-jauh,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, selain pengawasan orang tua agar para remaja tidak terjerumus
berhubungan seks di luar nikah, menonton film porno dan kegiatan yang merugikan lainnya.
Bahkan, pendidikan agama dan keimanan yang cukup kuat juga dapat mencegah atau “membentengi”
para remaja agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji atau dapat menyesatkan.
“Pengawasan orangtua dan pendidikan keimanan dapat menyelamatkan masa depan generasi muda
agar tidak berperilaku amoral,” kata Badarudin. (wo/bee)
Peranan orang tua sangat diperlukan untuk mencegah para remaja melakukan hubungan seks pra
nikah (di luar nikah). Ditemukan bahwa 52% remaja pernah melakukan hubungan seks pra nikah.
Data tersebut berdasarkan hasil penelitian survei DKT Indonesia, PKBI Rakyat Merdeka, Komnas PA
dan analisa SKRRI 2002.
PERGAULAN REMAJA
SEPARUH GADIS DI KOTA BESAR TAK PERAWAN
JPNN,JAKARTA-
P ertumbuhan budaya seks dikalangan pelajar mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia.
Pemerintah menemukan indikator baru yakni makin sulitnya menemukan remaja putri yang masih
perawan (virginity) di kota-kota besar.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) berdasarkan survei menyatakan, separuh remaja
perempuan lajang yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi kehilangan keperawanan dan
melakukan hubungan seks pra-nikah. Bahkan, tidak sedikit yang hamil di luar nikah.Rentang usia
remaja yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah antara 13-18 tahun.
"Berdasarkan data yang kami himpun dari 100 remaja, 51 diantaranya sudah tidak lagi perawan," ujar
Kepala BKKBN Sugiri Syarief ketika ditemui dalam peringatan Hari AIDS sedunia di lapangan parkir IRTI
Monas, Minggu (28/11) kemaren.
Ironisnya temuan serupa juga terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Selain di Jabodetabek, data y
ang sama juga diperoleh di wilayah lain. Di Surabaya misalnya, remaja perempuan sudah hilang
mencapai 54%, di Medan 52%, Bandung 47%, dan Yogyakarta 37%. Menurutnya data ini dikumpulkan
BKKBN sepanjang kurun waktu 2010 saja.
"Ini ancaman yang diam-diam bisa menghancurkan masa depan bangsa, jadi harus segera ditemukan
solusinya, "ujar Sugiri.
Maraknya perilaku seks bebeas, khususnya dikalangan remaja berimbas padda kasus infeksi penularan
HIV/AIDS yang cenderung berkembang di Indonesia. Perilaku seks bebas merupakan memicu meluasnya
kasus HIV/AIDS. Mengutip data dari Kemenkes pada pertengahan 2010, kasus HIV/AIDS di Indonesia
mencapai 21.770 kasus AIDS Positif dan 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia
20-29 tahun (30,9 persen). Kasus penularan HIV/AIDS terbanyak ada di kalangan heteroseksual
(49,3 persen) dan IDU atau jarum suntik (40,4 persen).
Fenomena free seks di kalangan remaja, menurut dia, tidak hanya menyasar pada kalangan pelajar
saja, tetapi juga jamak didapati di kelompok mahasiswa. Dari 1.660 responden mahasiswi di kota
pelajar Yogyakarta, sekitar 37 persen mengaku sudah kehilangan kegadisannya. menurutnya,
disamping masalah seks pranikah, remaja dihadapkan pada dua masalah besar lainnya yang terkait
dengan penularan HIV/AIDS. "Masalah itu adalah tingkat aborsi yang tinggi dan penyalahgunaan
narkoba,"kata Sugiri.
Data Kemenkes memang menyebutkan bahwa pertumbuhan jumlah penggunaan narkoba di Indonesia
saat ini mencapai 3,2 juta jiwa. Sebanyak 75 persen di antaranya atau 2,5 juta jiwa adalah remaja.
Tingkat kehamilan di luar nikah juga sangat tinggi. Sugiri mengatakan, rata-rata terdapat 17 persen
kehamilan di luar nikah yang terjadi setiap tahun. Sebagian dari jumlah tersebut bermuara pada
praktik aborsi . Sugiri menyampaikan, grafik aborsi di Indonesia masuk kategori tinggi, dengan jumlah
rata-rata per tahun mencapai 2,4 juta jiwa.
"Ini adalah problem nasional yang harus dihadapi bersama-sama. jadi bukan lagi hal yang tabu untuk
dibicarakan demi menemukan solusi yang tepat atas persoalan ini," kata dia.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno mengatakan, pihaknya sedang
merancang solusi untuk membendung arus perilaku seks bebas di kalangan pelajar. Bentuk yang paling
riil adalah dengan menggiatkan pendidikan seks secara khusus kepada pelajar di sekolah-sekolah.
"Seperti yang berlaku di negara-negara maju. Siswa harus diberi pendidikan seks agar mengenalinya
dan meminimalkan seks bebas," kata dia.
Yang terjado di Indonesia, pendidikan seks tidak diberikan karena dianggap tabu. asumsi yang beredar
di kalangan publik kebanyakan pendidikan seks dinilai sama dengan sosialisasi tentang aktivitas dan
identitas seks.
Setidaknya, hasil itu menjadi salah satu kesimpulan yang mengemuka dalam paparan hasil penelitian
Synovate Research tentang perilaku seksual remaja di 4 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan
Medan.
Survey ini mengambil 450 responden dari 4 kota itu dengan kisaran usia antara 15 sampai 24 tahun,
kategori masyarakat umum dengan kelas sosial menengah keatas dan kebawah. Selain itu, juga
diberikan pembagian terhadap para responden ini berdasarkan aktivitas seks yang aktif dan pasif.
Dari penelitian yang dilakukan sejak September 2004 itu, Synovate mengungkapkan bahwa sekitar
65% informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno.
Ironisnya, hanya 5% dari responden remaja ini mendapatkan informasi tentang seks dari orang
tuanya.
Para remaja ini juga mengaku tahu resiko terkena penyakit seksual (27%) sehingga harus
menggunakan kontrasepsi (27%). Tapi, hanya 24% dari responden ini yang melakukan preventiv
untuk mencegah penyakit AIDS menghinggapi mereka.
Pengalaman Berhubungan Seks Sejak Usia 16 Tahun
Dalam penelitian ini juga menarik untuk melihat pengalaman seksual remaja di 4 kota ini. Sebab,
44% responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16 sampai 18 tahun.
Sementara 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13 sampai 15
tahun.
Selain itu, rumah menjadi tempat paling favorit (40%) untuk melakukan hubungan seks. Sisanya,
mereka memilih hubungan seks di kos (26%) dan hotel (26%).
Uniknya, para responden ini sadar bahwa seharusnya mereka menunda hubungan seks sampai
menikah (68%) dan mengerti bahwa hubungan seks pra nikah itu tidak sesuai dengan nilai dan
agama mereka (80%). Tapi, mereka mengaku hubungan seks itu dilakukan tanpa rencana. Para
responden pria justru 37% mengaku kalau mereka merencanakan hubungan seks dengan
pasangannya. Sementara, 39% responden perempuan mengaku dibujuk melakukan hubungan seks
oleh pasangannya.
Karenanya, ketika ditanya bagaimana perasaan para responden setelah melakukan hubungan seks
pra nikah itu, 47% responden perempuan merasa menyesal karena takut hamil, berdosa, hilang
keperawanan dan takut ketahuan orang tua.
“Mereka juga tahu bahwa ada beberapa jenis penyakit yang ditularkan dari hubungan seksual.
Misalnya 93% tahu tentang AIDS dan 34% tahu Sipilis. Kalau tentang AIDS, mereka 82% tahu dari
televisi, 20% dari internet dan hanya 10% yang tahu dari orang tuanya,” kata camita Wardhana,
Project Director Synovate yang mempresentasikan hasil penelitian ini.
Meskipun hasil penelitian ini bukan hal yang baru bagi masyarakat saat ini, tetap saja perlu hati-hati
menyikapinya agar tidak menjadi salah persepsi. Adrianus Tanjung, Kepala Divisi Komunikasi
Informasi, Edukasi dan Advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melihat,
meskipun hasil penelitian ini memberikan gambaran rata-rata pada perilaku remaja kita saat ini, ada
beberapa faktor yang bisa saja bias.
“Seperti pembagian remaja yang aktif dan pasif secara seksual dalam penelitian ini, masih bisa
diperdebatkan. Misalnya, apakah jika remaja yang pernah sekali melakukan hubungan seksual tapi
lalu tidak melakukannya lagi, itu tetap dalam kategori aktif secara seksual?”
Namun, ia melihat bahwa hasil penelitian ini memberikan kecenderungan yang makin menguat bahwa
para remaja ini membutuhkan tempat yang nyaman untuk mencurahkan perasaan atau bertanya
seputar seks.
“Mereka sulit tanya ke orangtua karena bisa aja orangtua nggak tahu .Selain itu, mungkin juga
mereka membutuhkan tempat yang didesain nyaman supaya mereka mau datang ke konseling seks,”
tambah Tanjung.
Sebab itu, PKBI yang juga pernah mendapatkan hasil serupa dari penelitian sejenis beberapa waktu
lalu ini, menurut Tanjung, akan mencoba memberikan konseling lebih detil tentang alat-alat
reproduksi kepada remaja. Caranya dengan masuk ke sekolah-sekolah melalui kegiatan ekstra
kulikuler seperti Pramuka.
“Ini penting agar mereka mengerti organ reproduksi mereka sendiri, mulai dari pembuahan sampai
hamil dan melahirkan. Dengan begitu, mereka akan lebih dapat menjaga diri sendiri, tahu resiko-
resikonya, meskipun tidak selalu dalam pantauan orangtua,” demikian Andrianus Tanjung. (Lily Bertha
Kartika)
Informasi ini saja menggunakana data yang diambil pada 2005 lalu, Nah bagaimana halnya dengan
sekarang ini? tentu dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan merasuknya gaya hidup
modern bebas ala barat yang kebablasan tentunya lebih memiliki ancaman besar terhadap
meningkatnya aktivitas seks di usia remaja.
Cinta dan Anak Muda
Seringkali kita melihat — entah itu di televisi atau bahkan di dunia nyata sekali pun — banyak (sekali)
anak muda yang bercinta dengan pasangannya. Saya tidak memiliki statistik yang jelas untuk umur
mereka kebanyakan dari berapa tahun, tapi yang jelas di sini Saya akan menggarisbawahi mereka yang
masih terlalu muda untuk urusan percintaan ini — meski pada kenyataannya post ini ditujukan untuk
seluruh orang dan tidak peduli dari umur berapa mereka — yaitu siswa SMP dan SMA. Saya pikir, post
kontroversial ini akan menjadi menarik untuk disimak karena Anda harus mencoba melawan musuh
terbesar Anda: hawa nafsu.
Rasa cinta adalah suatu hal yang wajar karena memang itulah fitrah manusia dan tidak dapat ditolak.
Dalam Qur'an — kitab suci mumat islam — pun dijelaskan demikian:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-
wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
[Ali 'Imran ayat 14]
Tapi permasalahannya adalah implikasi dari rasa cinta itu: Kebanyakan dari mereka (anak muda itu) tidak
mengetahui apa yang harus mereka lakukan setelah munculnya rasa cinta. Yang mereka tahu, setelah
rasa cinta itu muncul, mereka harus mengungkapkannya terhadap pasangannya. Setelah sebuah proses
yang mereka sebut "jadian" dan "penembakan", mereka anggap "mereka resmi berhubungan" dan
mereka bisa jalan ke mana pun yang mereka suka — entah itu Mall atau sekedar jalan-jalan di taman
biasa.
Yang konyol, mereka fine-fine aja berjalan dengan pasangannya tanpa harus diliputi rasa bersalah atau
pun rasa malu — karena di saat yang sama mereka berjalan dengan pasangannya, mereka melihat
pemandangan yang tidak jauh dari apa yang mereka sedang lakukan. Padahal beberapa puluh tahun
yang lalu tidak sedikit manusia yang malu menjalani aktivitas ini, karena mereka sadar hal ini sangat
melanggar etika dan norma yang berlaku (orang-orang dahulu sangat mengagung-agungkan etika dan
aktivitas yang disebut "pacaran" atau "ngedate" ini sangat melanggar etika tersebut).
Jelas aktivitas berjalan berdua ini sangat dilarang. Sayang sekali Saya lupa ayat Qur'an yang
menjelaskan tentang hal ini (atau mungkin pembaca ada yang tahu?). Mungkin STFW adalah
jawabannya.
Terlebih dan yang paling pasti adalah mereka diliputi ketidakjelasan. Memang dengan mereka berduaan
mereka akan senang, semua syair disebutkan, tapi mungkin yang paling sering adalah: Hatiku damai
bersamamu. Huh? Iya rasa damai itu adalah rasa ketidaktenangan hati mereka sebenarnya, tapi mereka
tidak sadar sehingga mereka menyebutnya damai. Terlebih untuk sang gadis karena ini pasti menjadi
mimpi buruk baginya.
Setelah mereka saling suka mereka terdorong untuk melakukan pacaran. Terdorong ini bukan hanya dari
hati masing-masing tapi bisa jadi dari berbagai macam sumber tidak jelas. Sinetron yang menampilkan
adegan romantis, teman-teman dari kedua pasangan sehingga mereka semakin senang terhadap
pasangannya (sebutan cieeee fit fiw mungkin lebih mudah dipahami), lemahnya iman dan akhlak dari
kedua pasangan hingga minusnya pakaian sang gadis sehingga membuat sang lelaki semakin suka
padanya. Itu semua bisa jadi menjadi faktor pendorong mereka untuk pacaran atau pacaran lebih parah
— atau mereka menyebutnya dengan "romantis".
Di islam hal percintaan itu diatur dengan sangat ketat. Mereka tidak boleh berduaan karena memang
bahaya sekali bagi wanita. Mereka tidak boleh saling pandang karena akan timbul rasa suka. Mereka
tidak boleh bergaul sangat lama karena akan timbul rasa cinta. Dan mereka sangat amat disarankan
untuk menikah jika meman keduanya sudah cocok. Selain itu, ada hadits Nabi "5 Perbuatan Sunah yang
Kalau Dikerjakan Buru-Buru Bukanlah Perbuat Setan" yang salah satu isinya adalah "Jika ada anak yang
sudah gadis maka buru-burulah menikah".
"Tapi kita kan masih SMA/SMP sehingga gak mungkin nikah?" Kalau begitu siapa suruh pacaran?
Memang apa juga untungnya pacaran bagi kalian? Agar mengenal pasangannya? Apakah kalian
sebegitu yakin akan menikah selepas sekolah? Apakah kalian sangat yakin itu pasangan terbaik
kalian? Apakah kalian yakin yang kalian perbuat itu baik? Saya pikir yang kalian perbuat hanyalah
perbuatan setan semata. Jadi sudah terbukti pacaran bukanlah solusi masalah atas rasa cinta yang
timbul dalam diri manusia.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. [Al Baqarah
ayat 216]
Berprestasilah, Pelajar!
Yang pasti menjadi solusi atas keinginan terhadap wanita ini adalah puasa. Dengan berpuasa, dengan
berlapar-lapar ria, dengan berpikiran jernih, dengan menjaga pandangan, pastilah keinginan terhadap
"hal tersebut" akan berkurang.
Sedikit yang ingin saya sampaikan adalah kata ganti pihak ke-3 "mereka" yang Saya pakai di sini
mengarah kepada pelajar SMA/SMP. Sehingga akan lebih baik jika mereka memanfaatkan waktunya
untuk belajar dan bersosialisasi yang terkontrol dengan teman-temannya. Belajar membuat pelajar itu
berprestasi yang berimbas kepada kemudahan melanjutkan pendidikannya dan bersosialisasi agar
mereka tidak terus-menerus termenung dan menghiraukan kawannya. Tapi bersosialisasilah yang wajar,
jangan kebanyakan bersosialisasi dengan wanita karena itu justru membuat kondisi semakin parah.
Saya harap pedoman yang terlalu sederhana ini bisa membuat pikiran anak muda itu berubah sehingga
tidak hanya berbicara mengenai "cewe" saja.
Wallahualam bishawab.
Memang, sistem hormonal yang sedang terjadi pada masa pubertas mengondisikan remaja untuk tertarik kepada
lawan jenisnya. Ini adalah reaksi alamiah agar antara laki-laki dan perempuan memulai membina hubungan yang
lebih dekat yang akan sangat berguna dalam upaya-upaya pelestarian kehidupan manusia. Menurutmu, kira-kira apa
yang akan terjadi jika tidak ada rasa tertarik antara laki-laki dengan perempuan? Tepat sekali. Dalam waktu kurang
dari 100 tahun, manusia akan musnah!
Eit, jangan senang dulu ya. Alasan hormonal tidak dapat dijadikan kambing hitam atas wajibnya pacaran bagi remaja
ya. Ketertarikan sesama lawan jenis di usia puber (remaja) tidak cukup ampuh dan kuat untuk mengemban misi
pelestarian kehidupan manusia. Seperti yang selama ini kamu rasakan sebagai anak, untuk memiliki keluarga yang
harmonis, berkecukupan secara ekonomi, dan bahagia, orang tua kamu sudah berupaya habis-habisan. Itu pun
masih kamu vonis dengan tuduhan ‘ayah-ibu tidak pernah bisa mengerti kamu’.
Bukti paling kuat bahwa rasa tertarik diantara remaja putra dan putri tidak cukup kuat diantaranya adalah mudah
terbakar cemburu, cinta lokasi (kadang bubar hanya karena pindah sekolah), gampang putus, sering saling melukai
hati masing-masing, sulit memaafkan, kadang kasar, dan egois. Ini berbeda sekali dengan ketertarikan (cinta sejati)
pada pasangan-pasangan yang sudah dewasa yang saling menghormati, saling memberi, mudah memaafkan, rela
berkorban, bahu membahu saling menolong, empati, dan mendahulukan kepentingan bersama (keluarga).
Lalu, apa dong pemicu utama remaja-remaja ingin segera memiliki pacar. Setelah dipelajari lebih dalam, ternyata
faktor penekan terkuat atau penuntut utama agar seorang remaja harus memiliki pacar datang dari sesama remaja
itu sendiri. Tekanan teman-teman berupa ejekan, sindiran, cemoohan, pengucilan, label jomlo, label sok suci, label
kuper, label nggak gaul, label ortodoks, label kuno, dan seabreg celaan lainnya memang sulit untuk dihindarkan. Jika
kamu tidak memiliki mental kuat dan kepercayaan diri yang kukuh, tidak ada cara lain bagi kamu selain dapet pacar
sesegera mungkin.
Memiliki pacar di saat remaja, memang sepertinya mengasyikan. Tapi coba kamu telaah dan pikirkan dengan jernih.
Lebih banyak mana untung dan ruginya (manfaat vs mudharat)? Hayo jujur. Saya bantu ya dengan fakta-fakta ini.
Kira-kira, boros mana pasangan yang punya pacar dibandingkan yang single. Capek mana perasaan yang punya
pacar dengan yang tidak. Bebas mana antara yang punya pacar sama yang tidak punya pacar. Apakah remaja single
akan dilanda perasaan cemburu yang menyita konsentrasi belajar?
Tahu tidak, ada fakta yang lebih menyeramkan bagi remaja akibat punya pacar. Sebagian besar remaja putri dipaksa
pacarnya untuk berhubungan intim sebelum menikah. Menurut penelitian di barat (yang menganut seks bebas
sekalipun), tidak ada remaja putri yang sukarela berhubungan intim sebelum menikah! Kemudian, dalam kacamata
hukum di Indonesia, apapun alasannya, berhubungan intim dengan remaja putri yang berusia kurang dari 16 tahun
dikategorikan sebagai pemerkosaan! Ini bencana bagi kedua belah pihak, baik remaja putri maupun remaja putra
yang pacarannya melampaui batas. Bukankah sang remaja putra bisa masuk penjara karena memerkosa pacarnya!
Kata peribahasa, yang kalah jadi abu yang menang jadi arang!
Jadi, bagaimana dong agar kamu tahan banting untuk tetap tidak memiliki pacar. Yang pertama adalah berpikir jernih
beribu kali, apa manfaat dan mudharatnya. Kedua, cinta semasa remaja adalah cinta monyet, cinta semu, bukan
cinta sejati, dan tidak pantas ditukar dengan pengorbanan masa depanmu (apalagi kesucianmu). Ketiga, memiliki
banyak teman. Keempat, jangan pernah curhat masalah pribadi dengan teman. Kelima, nomorsatukan prestasi
(akademik, hobi, musik, olah raga, seni, sosial, dll). Keenam, milikilah kepercayaan diri yang kuat melalui keyakinan
yang benar dan pengetahuan yang luas. Ketujuh, ingat Tuhan terus ya. Jika sangat terpaksa atau terlanjur sudah
memiliki pacar, jangan kebablasan. Haramkan praktik-praktik pacaran gaya ‘bule’ seperti ciuman, mojok berduaan
(yang ketiganya pasti setan!), berpelukan, bercumbu, dan terutama hubungan intim!
By Syarif Niskala
Tags: cinta, hormon, manusia, pacar, pacaran, puber, remaja
MENGATUR INTERAKSI PRIA WANITA MENURUT SYARIAH
Februari 14, 2009 — Taukhid
Pengantar
Telaah ini bertujuan menerangkan pengaturan interaksi pria dan wanita dalam kehidupan publik
menurut Syariah Islam, sebagaimana diterangkan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam
kitabnya An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam (2003), khususnya hal. 25-30 pada bab Tanzhim Ash-Shilat
Bayna Al-Mar`ah wa Ar-Rajul (Pengaturan Interaksi Wanita dan Pria).
Pengaturan tersebut sebenarnya bukan persoalan yang mudah. Karena menurut An-Nabhani,
pengaturan yang ada hendaknya dapat mengakomodasi dua faktor berikut ini; Pertama, bahwa
potensi hasrat seksual pada pria dan wanita dapat bangkit jika keduanya berinteraksi, misalnya ketika
bertemu di jalan, kantor, sekolah, pasar, dan lain-lain. Kedua, bahwa pria dan wanita harus saling
tolong menolong (ta’awun) demi kemaslahatan masyarakat, misalnya di bidang perdagangan,
pendidikan, pertanian, dan sebagainya. (h. 25-26).
Bagaimana mempertemukan dua faktor tersebut? Memang tidak mudah. Dengan maksud agar hasrat
seksual tidak bangkit, bisa jadi muncul pandangan bahwa pria dan wanita harus dipisahkan secara
total, tanpa peluang berinteraksi sedikit pun. Namun jika demikian, tolong menolong di antara
keduanya terpaksa dikorbankan alias tidak terwujud. Sebaliknya, dengan maksud agar pria dan
wanita dapat tolong menolong secara optimal, boleh jadi interaksi di antara keduanya dilonggarkan
tanpa mengenal batasan. Tapi, dengan begitu akibatnya adalah bangkitnya hasrat seksual secara liar,
seperti pelecehan seksual terhadap wanita, sehingga malah menghilangkan kehormatan (al-fadhilah)
dan moralitas (akhlaq).
Hanya Syariah Islam, tegas An-Nabhani, yang dapat mengakomodasi dua realitas yang seakan
paradoksal itu dengan pengaturan yang canggih dan berhasil. Di satu sisi Syariah mencegah potensi
bangkitnya hasrat seksual ketika pria dan wanita berinteraksi. Jadi pria dan wanita tidaklah dipisahkan
secara total, melainkan dibolehkan berinteraksi dalam koridor yang dibenarkan Syariah. Sementara di
sisi lain, Syariah menjaga dengan hati-hati agar tolong menolong antara pria dan wanita tetap
berjalan demi kemaslahatan masyarakat.
Pengaturan Syariah
An-Nabhani kemudian menerangkan beberapa hukum syariah untuk mengatur interaksi pria dan
wanita. Hukum-hukum ini dipilih berdasarkan prinsip bahwa meski pria dan wanita dibolehkan
beriteraksi untuk tolong menolong, namun interaksi itu wajib diatur sedemikian rupa agar tidak
membangkitkan hasrat seksual, yakni tetap menjaga kehormatan (al-fadhilah) dan moralitas (akhlaq).
(h. 27). Di antara hukum-hukum itu adalah :
“Pandangan mata [pada yang haram] adalah satu anak panah di antara berbagai anak panah Iblis.
Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, Aku gantikan pandangan itu dengan
keimanan yang akan dia rasakan manisnya dalam hatinya.” (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, 4/349; Al-
Baihaqi, Majma’uz Zawaid, 8/63). (Abdul Ghani, 2004)
2. Perintah atas wanita mengenakan jilbab dan kerudung. Menurut An-Nabhani, busana wanita
ada dua, yaitu jilbab (QS Al-Ahzab : 59) dan kerudung (khimar) (QS An-Nuur : 31). Jilbab artinya
bukan kerudung, sebagaimana yang disalahpahami kebanyakan orang, tapi baju terusan yang longgar
yang terulur sampai ke bawah, yang dipakai di atas baju rumah (h. 44, 61). Sedang kerudung
(khimar) adalah apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala (h. 44). Penjelasan An-Nabhani
mengenai arti “jilbab” ini sejalan beberapa kamus, antara lain dalam kitab Mu’jam Lughah Al-
Fuqaha` :
“[Jilbab adalah] baju longgar yang dipakai wanita di atas baju (rumah)-nya.”(Qal’ah Jie &
Qunaibi, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 124; Ibrahim Anis dkk,Al-Mu’jamul Wasith, 1/128).
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk melakukan
perjalanan selama sehari semalam, kecuali dia disertai mahramnya.”(HR Muslim, Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Hibban).
4. Larangan khalwat antara pria dan wanita, kecuali wanita itu disertai
mahramnya. Khalwat artinya adalah bertemunya dua lawan jenis secara menyendiri (al-ijtima’ bayna
itsnaini ‘ala infirad) tanpa adanya orang lain selain keduanya di suatu tempat. (h. 97). Misalnya, di
rumah atau di tempat sepi yang jauh dari jalan dan keramaian manusia. Khalwat diharamkan, sesuai
hadits Nabi SAW :
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali wanita itu disertai
mahramnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
5. Larangan atas wanita keluar rumah, kecuali dengan seizin suaminya.Wanita (isteri) haram
keluar rumah tanpa izin suaminya, karena suaminya mempunyai hak-hak atas isterinya itu. An-
Nabhani menukilkan riwayat Ibnu Baththah dari kitab Ahkamun Nisaa`, ada seorang wanita yang
suaminya bepergian. Ketika ayah wanita itu sakit, wanita itu minta izin Nabi SAW untuk
menjenguknya. Nabi SAW tidak mengizinkan. Ketika ayah wanita itu meninggal, wanita itu minta izin
Nabi SAW untuk menghadiri penguburan jenazahnya. Nabi SAW tetap tidak mengizinkan. Maka Allah
SWT pun mewahyukan kepada Nabi SAW :
“Sesungguhnya Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatannya kepada suaminya.” (Taqiyuddin
An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, h. 29).
6. Perintah pemisahan (infishal) antara pria dan wanita. Perintah ini berlaku untuk kehidupan
umum seperti di masjid dan sekolah, juga dalam kehidupan khusus seperti rumah. Islam telah
memerintahkan wanita tidak berdesak-desakan dengan pria di jalan atau di pasar (h. 29). (Al-
Jauziyah, 1996).
Beberapa hukum syariah yang disebutkan An-Nabhani di atas sesungguhnya merupakan obat bagi
penyakit sosial saat ini, yaitu interaksi atau pergaulan antara pria dan wanita yang rusak, yakni telah
keluar dari ketentuan Syariah Islam. Penyakit sosial ini tak hanya ada di masyarakat Barat (AS dan
Eropa), tapi juga di masyarakat Dunia Islam yang bertaklid kepada Barat. Penyakit masyarakat ini
misalnya pelecehan seksual, seks bebas, perkosaan, hamil di luar nikah, aborsi, penyakit menular
seksual (AIDS dll), prostitusi, homoseksualisme, lesbianisme, perdagangan wanita, dan sebagainya.
(Thabib, 2003:401-dst).
Pada tahun 1975 Universitas Cornell AS mengadakan survei mengenai pelecehan seksual (sexual
harassement) bagi wanita karier di tempat kerja. Ternyata sejumlah 56 % wanita karier di AS
mengalami pelecehan seksual pada saat berkerja. Di AS, sebanyak 21 % remaja puteri AS telah
kehilangan keperawanan pada umur 14 tahun, dan satu dari delapan remaja puteri kulit putih AS
(7,12 %) tidak perawan lagi pada umur 20 tahun (Abdul Ghani, 2004). Satu dari sepuluh remaja
puteri AS (berumur 15-19 tahun) telah hamil di luar nikah, dan satu dari lima remaja puteri AS telah
melakukan hubungan seksual di luar nikah. (Andrew Saphiro, We’re Number One, h.18; dalam Abdul
Ghani, 2004).
Beberapa data tersebut menunjukkan bobroknya masyarakat Barat, yang sebenarnya berakar pada
pengaturan interaksi pria dan wanita yang liberal dan sekular, yang telah menjauhkan diri dari nilai-
nilai moral dan spiritual.
Sayang kenyataan pahit itu tak hanya terjadi di Barat, tapi juga di Dunia Islam, termasuk Indonesia.
Indonesia yang sekular juga tidak menjadikan Syariah untuk mengatur interaksi/pergaulan pria dan
wanita. Akibatnya pun sama dengan yang ada di masyarakat Barat, yaitu timbulnya berbagai penyakit
sosial yang kronis yang sulit disembuhkan. Di RSCM Jakarta, setiap minggunya didatangi 4 hingga 5
orang pasien HIV/AIDS (data tahun 2001). Kasus aborsi terjadi 2,5 juta per tahun, dan 1,5 juta di
antaranya dilakukan oleh remaja. LSM Plan bekerjasama dengan PKBI (Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia) pernah meneliti perilaku seks remaja Bogor tahun 2000. Hasilnya, dari 400-an
responden, 98,6 % remaja usia 10-18 tahun sudah melakukan apa yang disebut “pacaran”; 50,7 %
pernah melakukan cumbuan ringan, 25 % pernah melakukan cumbuan berat, dan 6,5 % pernah
melakukan hubungan seks. Sebanyak 28 responden (pria dan wanita) telah melakukan seks bebas, 6
orang dengan penjaja seks, 5 orang dengan teman, dan 17 orang dengan pacar. (Al-Jawi, 2002:69)
Data-data ini menunjukkan penyakit sosial yang parah juga melanda masyarakat kita, yang telah
mengekor pada masyarakat Barat yang bejat dan tak bermoral. Sungguh, tidak ada obat yang
mujarab untuk penyakit itu, kecuali Syariah Islam, bukan yang lain.
Di sinilah letak strategisnya gagasan An-Nabhani di atas, yaitu menjadi obat atau solusi terhadap
penyakit sosial yang kronis dengan cara mengatur kembali interaksi pria wanita secara benar dengan
Syariah Islam. Hanya dengan Syariah Islam, interaksi pria wanita dapat diatur secara sehat dan
berhasil-guna. Yaitu tanpa membangkitkan hasrat seksual secara ilegal, namun tetap dapat
mewujudkan tolong menolong di antara kedua lawan jenis untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
masyarakat. Wallahu a’lam [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Al-’Adalah Al-Ijtimaiyah fi Dhau` Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir,
(T.Tp. : T.p), 2004
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah (Jilbab
Al-Mar`ah Al-Muslimah fi al-Kitab wa As-Sunnah), Penerjemah Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf,
(At-Tibyan : Solo), 2001.
Al-Jawi, Muhammad Shiddiq, Malapetaka Akibat Hancurnya Khilafah, (Bogor : Al Azhar Press), 2004.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2003
Qal’ah Jie, Rawwas, & Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, (Beirut : Darun Nafa`is),
1988
• Artikel
Sebuah survei terbaru terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15-24 tahun di 20 kabupaten
pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja
masih menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks.
Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%) dibandingkan pada remaja
putri (42,3%) (LDFEUI & NFPCB, 1999a:92).
Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan risiko
untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 51% mengira bahwa mereka akan
berisiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) (LDFEUI &
NFPCB, 1999b:14).
Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan
kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya mereka akan berusaha untuk
mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan
masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau
media massa.
Kebanyak orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi mengenai seks dan
kesehatan reproduksi kepada remaja sebab mereka takut hal itu justru akan meningkatkan terjadinya
hubungan seks pra-nikah. Padahal, anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah
cenderung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain
(Hurlock, 1972 dikutip dari Iskandar, 1997).
Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas juga
disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan
reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-test materi dasar Reproduksi Sehat Anak dan Remaja (RSAR) di
Jakarta Timur (perkotaan) dan Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua merasa
meiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, mereka lebih yakin dan tidak
merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah seks (Iskandar,
1997:3).
Hambatan utama adalah justru bagaimana mengatasi pandangan bahwa segala sesuatu yang berbau
seks adalah tabu untuk dibicarakan oleh orang yang belum menikah (Iskandar, 1997:1).
Responden survei remaja di empat propinsi yang dilakukan pada tahun 1998 memperlihatkan sikap yang
sedikit berbeda
dalam memandang hubungan seks di luar nikah. Ada 2,2% responden setuju apabila laki-laki
berhubungan seks sebelum
menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap perempuan yang
berhubungan seks sebelum menikah. Jika hubungan seks dilakukan oleh dua orang yang saling
mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8,6%. Jika mereka berencana untuk menikah,
responden yang setuju kembali bertambah menjadi 12,5% (LDFEUI & NFPCB, 1999a:96-97).
Sebuah studi yang dilakukan LDFEUI di 13 propinsi di Indonesia (Hatmadji dan Rochani, 1993)
menemukan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa pengetahuan mengenai kontrasepsi sudah
harus dimiliki sebelum menikah.
Survei remaja di empat propinsi kembali melaporkan bahwa ada 2,9% remaja yang telah seksual aktif.
Persentase remaja
yang telah mempraktikkan seks pra-nikah terdiri dari 3,4% remaja putra dan 2,3% remaja putri (LDFEUI &
NFPCB,
1999:101). Sebuah survei terhadap pelajar SMU di Manado, melaporkan persentase yang lebih tinggi,
yaitu 20% pada remaja putra dan 6% pada remaja putri (Utomo, dkk., 1998).
Sebuah studi di Bali menemukan bahwa 4,4% remaja putri di perkotaan telah seksual aktif. Studi di Jawa
Barat menemukan perbedaan antara remaja putri di perkotaan dan pedesaan yang telah seksual aktif
yaitu berturut-turut 1,3% dan 1,4% (Kristanti & Depkes, 1996: Tabel 8b).
Sebuah studi kualitatif di perkotaan Banjarmasin dan pedesaan Mandiair melaporkan bahwa interval 8-10
tahun adalah
rata-rata jarak antara usia pertama kali berhubungan seks dan usia pada saat menikah pada remaja
putra, sedangkan pada remaja putri interval tersebut adalah 4-6 tahun (Saifuddin dkk, 1997:78).
Tentu saja angka-angka tersebut belum tentu menggambarkan kejadian yang sebenarnya, mengingat
masalah seksualitas termasuk masalah sensitif sehingga tidak setiap orang bersedia mengungkapkan
keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan apabila angka sebenarnya jauh lebih
besar daripada yang dilaporkan.
Daftar Pustaka
Iskandar, Meiwita B. "Hasil Uji Coba Modul Reproduksi Sehata Anak & Remaja untuk Orang Tua."
Makalah pada Lokakarya Penyusunan Rencana Pengembangan Media, diselenggarakan oleh PKBI,
Jakarta, 20-21 Mei 1997.
Kristanti, Ch. M dan Depkes. Status Kesehatan Remaja Propinsi Jawa Barat dan Bali: Laporan Penelitian
1995/1996. Jakarta: Depkes-Binkesmas-Binkesga, 1996.
LDFEUI dan NFPCB. Baseline Survey of Young Adult Reproductive Welfare in Indonesia 1998/1999
Book I. Jakarta: LDFEUI dan NFPCB, Juli 1999a.
LDFEUI dan NFPCB. Baseline Survey of Young Adult Reproductive Welfare in Indonesia 1998/1999.
Executive Summary and Recommendation Program. Jakarta: LDFEUI dan NFPCB, Juli 1999b.
Rosdiana, D. Pokok-Pokok Pikiran Pendidikan Seks untuk Remaja. Dalam N. Kollman (ed). Kesehatan
Reproduksi Remaja. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998:9-20.
Saifuddin, A. F., dkk. Perilaku Seksual Remaja di Kota dan di Desa: Kasus Kalimantan Selatan. Depok:
Laboratorium Antropologi, FISIP-UI, 1997.
Utomo, B., Haryanto B. Dharmaputra, D. Hartono, R. Makalew, dan J. Moran Mills. Baseline
STD/HIV/Risk Behavioral Surveillance 1996: Result from the Cities of North Jakarta, Surabaya, and
Manado. Jakarta: Center for Health Research University of Indonesia, the Ministry of Health RI, dan
HAPP/Family Health International, 1998.
Objektif
1. Mengetahui masalah kesehatan remaja di Indonesia.
2. Mengetahui program-program penanganan masalah remaja di Indonesia.
Sehat adalah keadaan sejahtera seutuhnya baik secara fisis, jiwa maupun sosial, bukan hanya terbebas dari penyakit
atau kecacatan. Remaja merupakan kelompok masyarakat yang hampir selalu diasumsikan dalam keadaan sehat.
Padahal banyak remaja yang meninggal sebelum waktunya akibat kecelakaan, percobaan bunuh diri, kekerasan,
kehamilan yang mengalami komplikasi dan penyakit lainnya yang sebenarnya bisa dicegah atau diobati. Banyak juga
penyakit serius akibat perilaku yang dimulai sejak masa remaja contohnya merokok, penyakit menular seksual,
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), Human Immunodeficiency Virus –
Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV-AIDS), kurang gizi, dan kurang berolahraga. Semua ini, yang akan
mencetuskan penyakit atau kematian pada usia muda.
Pada masa remaja terjadi perubahan baik fisis maupun psikis yang menyebabkan remaja dalam kondisi rawan pada
proses pertumbuhan dan perkembangannya. Masa ini merupakan masa terjadinya proses awal pematangan organ
reproduksi dan perubahan hormonal yang nyata. Remaja menghadapi berbagai masalah yang kompleks terkait
dengan perubahan fisis, kecukupan gizi, perkembangan psikososial, emosi dan kecerdasan yang akhirnya
menimbulkan konflik dalam dirinya yang kemudian memengaruhi kesehatannya. Remaja yang mengalami gangguan
kesehatan berupaya untuk melakukan reaksi menarik diri karena alasan-alasan tersebut. Pencegahan terhadap
terjadinya gangguan kesehatan pada remaja memerlukan pengertian dan perhatian dari lingkungan baik orangtua,
guru, teman sebayanya, dan juga pihak terkait agar mereka dapat melalui masa transisi dari kanak menjadi dewasa
dengan baik.
7. Kesadaran diri
Merupakan keterampilan pengenalan terhadap diri, sifat, kekuatan dan kelemahan, serta pengenalan akan hal yang
disukai dan dibenci. Kesadaran diri akan mengembangkan kepekaan pengenalan dini akan adanya stres dan tekanan
yang harus dihadapi. Kesadaran diri ini harus dimiliki untuk menciptakan komunikasi yang efektif dan hubungan
interpersonal yang baik, serta mengembangkan empati terhadap orang lain.
8. Empati
Dengan empati, meskipun dalam situasi yang tidak di kenal dengan baik, remaja mampu membayangkan bagaimana
kehidupan orang lain. Empati melatih remaja untuk mengerti dan menerima orang lain yang mungkin berbeda
dengan dirinya, dan juga membantu menimbulkan perilaku positif terhadap sesama yang mengalaminya.
9. Mengendalikan emosi
Keterampilan mengenali emosi diri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi dapat memengaruhi perilaku,
memudahkan menggali kemampuan merespons emosi dengan benar. Mengendalikan dan mengatasi emosi
diperlukan karena luapan emosi kemarahan atau kesedihan dapat merugikan kesehatan bila tidak disikapi secara
benar.
10. Mengatasi stres
Pengenalan stres dan mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap tubuh, membantu mengontrol stres, dan
mengurangi sumber penyebabnya. Misalnya membuat perubahan di lingkungan sekitar atau merubah cara hidup
(lifestyle). Diajarkan pula bagaimana bersikap santai sehingga tekanan yang terjadi oleh stres yang tak terhindarkan
tidak berkembang menjadi masalah kesehatan yang serius.
Dengan menerapkan ajaran PKHS, remaja dapat mengambil keputusan segera untuk menolak ajakan tersebut,
merasa yakin akan kemampuannya menolak ajakan tersebut, berpikir kreatif untuk mencari cara penolakan agar
tidak menyakiti hati temannya dan mengerahkan kemampuan berkomunikasi secara efektif dan mengendalikan
emosi, sehingga penolakan akan berhasil dilaksanakan dengan mulus.
Dalam menghindari diri dari tindak kekerasan baik fisis ataupun mental, beberapa kompetensi dari life skills ini dapat
membantu remaja mengambil keputusan agar dapat merespons ancaman atau tindak kekerasan tersebut. Kekerasan
fisis termasuk kekerasan seksual dapat dihindari dengan berpikir kritis dan kreatif serta menggunakan
komunikasi efektif untuk menghindari dan menyelamatkan diri dari ancaman tersebut. Kekerasan mental (tekanan,
pelecehan, penghinaan) tidak menimbulkan akibat psikis apabila kompetensi life skills diterapkan seperti berpikir
kreatif, pengendalian emosi dan komunikasi efektif.
Pelaksanaan PKHS di puskesmas di samping meningkatkan pengetahuan dan keterampilan hidup sehat dapat juga
menimbulkan rasa gembira bagi remaja sehingga dapat menjadi daya tarik untuk berkunjung kali berikut, serta
mendorong melakukan promosi tentang adanya PKPR di puskesmas kepada temannya dan menjadi sumber penular
pengetahuan dan keterampilan hidup sehat kepada teman-temannya.
5. Pelatihan pendidik sebaya dan konselor sebaya
Pelatihan ini merupakan salah satu upaya nyata mengikut sertakan remaja sebagai salah satu syarat keberhasilan
PKPR. Dengan melatih remaja menjadi kader kesehatan remaja atau konselor sebaya dan pendidik sebaya, beberapa
keuntungan diperoleh, yaitu kelompok ini berperan sebagai agen perubahan di antara kelompok sebayanya agar
berperilaku sehat. Lebih dari itu, kelompok ini terlibat dan siap membantu dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi PKPR. Kader yang berminat, berbakat, dan sering menjadi tempat “curhat” bagi teman yang
membutuhkannya dapat diberikan pelatihan tambahan untuk memperdalam keterampilan interpersonal relationship
dan konseling.
Kesimpulan
Remaja bukanlah kelompok masyarakat yang tidak menghadapi masalah kesehatan. Perilaku berisiko yang dijalani
akibat tidak tepatnya keputusan yang diambil pada masa remaja yang labil menghadapkan remaja kepada masalah
kesehatan. Di Indonesia, laju masalah kesehatan pada remaja sebagai akibat perilaku berisiko jauh lebih cepat
daripada penanganan yang dilakukan oleh banyak pihak. Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi menjadi esensial bagi
upaya penanganan masalah kesehatan pada remaja untuk menekan laju tersebut. Remaja dengan sifat khasnya
dilibatkan secara aktif dalam tiap upaya, selain dididik sejak dini dan dibekali dengan pendidikan ketrampilan hidup
sehat hingga terampil dalam mengembangkan potensi dirinya untuk hidup secara kreatif dan produktif. Remaja diberi
kesempatan dan akses seluas-luasnya agar berperilaku positif dan sanggup menangkal pengaruh yang merugikan
bagi dirinya sendiri maupun orang lain serta mampu menghadapi tantangan secara efektif dalam kehidupannya,
sehingga pembangunan manusia dan tujuan pembangunan milenium dapat tercapai.
Daftar Bacaan:
1. Departemen Kesehatan RI. Materi pelatihan bimbingan dan penyuluhan KRR bagi petugas kesehatan.
Jakarta: Indonesia. 2000.
2. Departemen Kesehatan RI. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA di kalangan remaja
3. Modul kesehatan reproduksi remaja, Jakarta: Indonesia. 2001.
4. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan pendidikan ketrampilan hidup sehat bagi petugas
kesehatan di puskesmas dalam laporan penyusunan materi PKHS. Jakarta: Indonesia. 2002.
5. Departemen Kesehatan RI. Jejaring nasional pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular (PTM).
Pusat promosi kesehatan, Jakarta: Indonesia. 2003.
6. Departemen Kesehatan RI. Kemitraan menuju Indonesia sehat 2010. Sekretariat Jenderal, Jakarta:
Indonesia. 2003.
7. Badan Pusat Statistik (BPS)-Statistics Indonesia and Macro International. Indonesia young adult reproductive
health survey, 2007. Calverton, Maryland, USA: BPS and Macro International. 2008.
8. Statistics Indonesia (Badan Pusat Statistik-BPS) and Macro International. Indonesia demographic and health
survey 2007. Calverton, Maryland, USA: BPS and Macro International. 2008.
9. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2007, laporan nasional 2007, badan
penelitian dan pengembangan kesehatan, Jakarta: Indonesia. 2008.
10. Departemen Kesehatan RI. Laporan triwulan kasus AIDS sampai dengan 31 Maret 2009, Direktorat jenderal
P2PL Depkes RI, Jakarta: Indonesia. 2009.
11. World Health Organization (WHO). Life skills education for children and adolescents in schools, introduction
and guidelines to facilitate the development and implementation of life skill programme, programme on
mental health, Geneva: 1997.
12. World Health Organization (WHO). Adolescent friendly health service, an agenda for change, Geneva:
Switzerland. 2002.