Indonesia kini menjadi semakin tekenal di mata dunia. Dengan “prestasi” yang luar biasa, menjadi negara terkorup di dunia. Semakin “hebat” saja negara ini ketika institusi pemangsa koruptor itu sedang terancam akan dimusnahkan. Penguasa- penguasa negara ini disinyalir mendalangi rencana ini. Inikah dampak dari degrasi nilai kemanusiaan bahkan nilai moral di negri ini? Betapa bobroknya hukum di bumi pertiwi ini. Telah matikah keadilan?
I. Kronologi Kasus Cicak vs Buaya Bagian dari Drama Pemusnahan KPK?
Istilah cicak versus buaya telah menjadi topik yang sangat hangat ditengah rakyat Indonesia saat ini sejak konflik antara KPK, Kejaksaan, dan Kapolri mencuat. Ketidakharmonisan yang terjadi diantara institusi- institusi penyelenggara hukum di tanah air tercinta ini telah berlangsung sejak lama. Perseteruan itu ibarat pamer wewenang antara penguasa-penguasa hukum di bumi pertiwi ini. Kekisruhan tersebut telah melahirkan sebuah skenario pemusnahan KPK. KPK telah menujukkan eksistensinya dengan mengganngu pesta korupsi para koruptor kelas kakap. Hal inilah yang membuat para koruptor-koruptor itu alergi dan anti KPK. Lalu benarkah kapolri dan kejaksaan menyutradarai drama pemusnahan KPK ini? Benar atau tidaknya dugaan tersebut masih membutuhkan penyelidikan yang lebih mendalam. Drama cicak versus buaya bermula pada saat tanggal 4 Mei 2009, ketua KPK yang tengah menjabat, Antasari Azhar ditangkap kepolisian atas dugaan sebagai aktor intelektual dari pembunuhan direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Skenario pembunuhan ini tak kalah serunya dari sinetron-sinetron yang sedang naik daun, yakni cinta segitiga. Antasari diduga memiliki affair dengan Rani Juliani, istri siri Nasrudin Zulkarnaen. Ditambah lagi Nasrudin dianggap tengah melakukan pemerasan terhadap Antasari Azhar. Pada akhirnya terjadilah “eksekusi mati” terhadap nasrudin Zulkarnaen. Betapa apiknya skenario tersebut. Kontan pandangan masyarakat terhadap sang ketua KPK bahkan insitusi tersebut ternodai. Pada tanggal 16 2009, Antasari menulis sebuah testimoni tentang adanya penyuapan di tubuh KPK. Testimoni ini ditulis berdasarkan hasil pertemuannya dengan Anggoro Widjojo di Singapura. Anggoro yang pada saat itu memiliki status cekal olek KPK mengaku telah memberikan uang milyaran rupiah atas permintaan sejumlah pimpinan KPK. Apakah keterangan dari seseorang yang tengah dicekal olek KPK tersebut dapat dipercaya? Kenapa tak terpikirkan indikasi kebohongan dalam pernyataan tersebut oleh orang- orang cerdas yang katanya mengerti akan hukum itu? Tidak mungkin orang yang sedang tersudut oleh KPK akan memuji insitusi tersebut. Kenapa polisi langsung menindaklanjuti kabar tersebut? Pada tanggal 30 juni 2009, Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Susno Duaji mengaku teleponnya disadap oleh pihak penegak hukum lainnya. Hal ini bertepatan dengan pengusutan KPK terhadap salah satu petinggi polri itu terkait kasus Bank Century. Dengan lancangnya Susno menyebut KPK sebagai cicak yang melawan buaya (Polri). Namun pada kenyataannya, saat ini cicak kecil itu telah tumbuh menjadi buaya putih atas dukungan rakyat. Pada tanggal 6 Juli 2009, Antasari melapor kekepolisian terkait dugaan suap yang diterima sejumlah petinggi KPK. Pelaporan tersebut tentu masih erat kaitannya dengan testimoni Anggoro di Singapura. Hal ini menyebabkan hubungan antara KPK dan Kapolri memanas. Saling tuding dimedia massa pun tak terelakkan. Apakah etis dua institusi yang sama- sama bertanggung jawab dalam penegakkan hukum ini mengumbar ketidakharmonisan mereka di depan publik? Presiden seharusnya dapat menjadi pendingin dari konflik yang kian membakar emosi tersebut. Mungkin itulah yang sekiranya dilakukan SBY pada saat memimpin rapat koordinasi pemberantasan korupsi pada tanggal 13 Juli 2009. Tapi hal ini tidak mampu mendinginkan masalah tersebut yang sudah diibaratkan bara api di ranah hukum Indonesia. Tanggal 11 September 2009, empat orang petinggi KPK diperiksa atas laporan Antasari, yakni berkenaan dengan penyalahgunaan wewenang dan tentunya kasus suap. Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah ditetapkan sebgai tersangka. Seperti membalas atas apa yang telah mereka dapatkan, KPK pun balik melaporkan Susno Duaji dengan tuduhan yang sama, penyalahgunaan wewenang. Hal ini berkaitan dengan penetapan Bibit- Chandra sebagai tersangka. Konflik antra cicak vs buaya pun memanas. Masyarakat seolah disajikan parade keanehan hukum di negri ini. Parade itu tidak mampu menjawab siapa yang telah melakukan penyalahgunaan wewenang, dan siapa pula yang telah menjadi korban dari kesewenang- wenangan itu? Si cicak kah? Atau si buaya? Ibarat benabg kusut yang semakin hari semakin kusut, konflik antara penanggungjawab ranah hukum ini tidak kunjung menemukan titik temu. Presiden SBY, sebagi tampuk tertinggi dari pimpinan di negri ini pun membentuk sebuah tim pencari fakta. Tim yang popular dengan sebutan tim 8 ini bertanggungjawab untuk melakukan verifikasi atas kasus ini dari awal. Hasil kerja tim ini yang sangat luar biasa mampu memunculkan adanya dugaan rekayasa terhadap kasus ini. Hal ini semakin dikuatkan dengan rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dengan beberapa pihak terkait skenario rekayasa kasus Bibit- Chandra. Nah siapakah sang sutradara dari skenario yang sangat apik ini? Apakah ini bagian dari rencana pemusnahan KPK? Bagaimana nasib cicak ini hingga klimaks dari cerita ini?
II. Parade Cicak vs Buaya Konkritisasi Degradasi Nilai Kemanusiaan
Ranah hukum di negri ini memang telah dikuasai oleh orang- orang yang telah teruji kepintarannya. Teramat pintar sehingga dengan teramat mudahnya mengobok- obok ranah hukum negri ini. Apa yang terjadi saat ini adalah wujud dari kebobrokan dari hukum di Indonesia. Sogok-menyongok, suap-menyuap, bahkan saling menjatuhkan pun sudah seperti sebuah kebudayaan yang mengakar di negara ini. Para mafia kasus pun merajalela. Anehnya para penegak hukum pun sebenarnya telah lama mengetahui keberadaan mereka. Tapi apa konkritisasi dari penegakkan hukum terhadap sang mafia hukum itu? Belum ada tindakan nyata. Hanya sekedar menganti-ganti nama. Apakah pergantian nama merupakan sebuah solusi? Memang telah teramat kusut ranah hukum di bumi pertiwi ini. Pada kenyataannya tidak hanya mafia kasus yang merusak harmonisasi hukum di Indonesia. Tiga lembaga hukum Indonesia, kapolri, KPK, dan kejaksaan juga bertanggung jawab terhadap kekisruhan ini. Seharusnya dugaan rekayasa terhadap kasus cicak vs buaya yang kini berkembang menjadi “ kriminalisasi KPK “ segera diungkapkan, ataupun jika memang tidak ada rekayasa terhadap semua ini maka harus segera ada klarifikasi terhadap kesimpangsiuran ini. Tapi apa yang telah diungkapkan oleh tim 8 yang tentunya terdiri dari orang-orang yang expert dibidang hukum dan politik, telah menemukan adanya indikasi rekayasa terkait skenario pemusnhan KPK. Hal ini semakin tak terbantahkan ketika rekaman suara Anggodo dengan beberapa pihak seolah semakin menegaskan dugaan itu. Degrasi nilai kemanusiaan pun secara nyata terlihat dari konflik ini. Sang sutradara skenario apik “ pemusnahan KPK “ memang pantas dicap tidak memiliki nilai kemanusiaan. Jika benar apa yang disangkakan selama ini, maka Bibit-Chandra telah menjadi korban dari ketidakmanusiawian ranah hukum ini. Dibidang karir, mereka terancam tidak bisa lagi memimpin KPK. Lalu oleh pribadi yang bagaimanakah yang akan memimpin lembaga seperti KPK? Jauh di luar koridor karir mereka, keluarga dari “korban” ini pun telah menjadi korban dari kesewenang-wenangan pelaku hukum di Indonesia. Walaupun mendapat dukungan dari berbagai pihak, tapi status tersangka yang disandang oleh Bibit-Chandra tetap menjadi beban mental oleh keluarga mereka. Betapa sulitnya situasi yang harus dihadapi keluarga saat kepala keluarga dan panutan bagi anggota keluarga dicap bersalah atas kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan. Sebagai individu, menjadi sorotan atas kesalahan yang tidak mereka lalukan tentunya menjadi beban yang tidak ringan bagi keduanya. Betapa bobroknya sisi kemanusiaan sang sutradara dari parade yang rumit ini. Dengan tidak berperasaan, director ini telah mengorbankan banyak pihak. Kenapa keadilan belum memperlihatkan taringnya? Lalu kapankah korupsi di negri ini dapat berakhir? III. Nilai Moral Tergadaikan Dalam Drama Cicak vs Buaya Sejak drama cicak vs buaya menjadi sorotan publik pantaslah moral para petinggi instansi-instansi hukum di negara ini dipertanyakan. Degradasi nilai moral telah menjadi faktor utama dari kisruh yang semakin alot ini. Saat nyawa seorang manusia dikorbankan demi meluruskan keinginan beberapa pihak, atau air mata keluarga melihat kepala keluarga mereka diperlakukan sebagai tersangka atas apa yang tidak mereka lakukan mencerminkan bobroknya moral para aparat hukum yang sebenarnya bertanggung jawab atas moral bangsa melalui penegakkan hukum. Ironisnya fenomena yang terjadi sekarang. Kesaksian Wiliardi Wizard yang mengaku dipaksa menjerat Antasari guna menjalankan skenario pemusnahan KPK menunjukkan telah terjadi penurunan moral ditubuh polri. Apalagi ditambah kelakuan Susno Duaji yang mengorbankan Bibit-Chandra pada saat Susno menjadi target KPK terkait dengan disebutnya nama Susno Duaji dalam kasus bank Century. Mencari- cari kesalahan pihak lain yang sebenarnya tidak salah adalah penggambaran moral yang buruk. Nilai moral polri semakin disorot ketika tak mampu tegas terhadap koruptor tetapi terlihat garang terhadap pemangsa koruptor, yakni KPK. Hal ini tercermin jelas saat polri tidak melakukan penahanan terhadap Anggodo Widjojo yang telah jelas-jelas telah melakukan tindakan pidana yang terungkap dari rekaman yang diputar di MK. Anggoro Widjojo yang diduga telah melarikan miliaran uang nasabah bank Century juga masih bebas melenggok di luar sana. Ditambah lagi kejaksaan yang ngotot untuk tetap melanjutkan kasus Bibit-Chandra padahal sudah jelas kalau barang bukti yang mereka miliki tidak mencukupi. Sedangkan kasus Anggoro tidak tersentuh oleh mereka sama sekali. Apa karena orang yang pantas menjadi target itu adalah orang yang bermandikan uang? Rakyat sekarang sudah pintar, dan mampu menilai sendiri betapa buruknya dampak degradasi nilai moral yang terjadi di ranah hukum baangsa ini. Moral para petinggi itu telah dimangsa oleh uang dan kekuasaan. Mereka seperti telah dininabobokkan oleh uang dari para mafia hukum dan koruptor-koruptor. Mereka yang kurang beriman, dan bermoral memang tidak pantas meguasai ketiga lembaga hukum tersebut. Bahkan mereka yang hanya berorientasi kepada kepentingan pribadi atau gologan tertentu akan dengan mudahnya melupakan sumpah jabatan mereka, tanggung jawab moral terhadap bangsa. Bangsa ini telah lelah dengan kebobrokan yang selam ini seolah menjadi menu tetap yang selalu disajikan kepada rakyat. Rakyat butuh pemimpin yang beriman, berkemanusiaan, dan bermoral. Butuh usaha yang keras dari elite negara ini untuk menghidupkan kembali hukum dan keadilan yang telah mati. Rakyat menginginkan kebenaran yang tidak lagi diselimuti oleh kebohongan.